BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Endometriosis sudah diketahui sejak masa lampau yaitu 1600 SM. Publikasi lengkap yang pertama dibuat oleh Sampson pada tahun 1921. Namun demikian hingga kini etiologi endometriosis masih belum diketahui secara pasti sehingga pengobatan maupun penanganan yang selama ini dilakukan ternyata tidak ada satu pun yang benar-benar berhasil untuk semua keadaan endometriosis. Pada tahun 1990-1998, endometriosis merupakan penyakit ginekologik ketiga terbanyak pada perempuan berusia antara 15-44 tahun. Prevalensi endometriosis pada populasi secara umum berkisar 10%. Prevalensi ini meningkat hingga 82% pada perempuan dengan nyeri pelvik dan 21% pada perempuan infertil. Di Amerika Serikat, endometriosis ditemukan 5-10% pada perempuan usia produktif,5 sementara di Indonesia ditemukan 15-25% perempuan infertil disebabkan oleh endometriosis, sedangkan prevalensi endometriosis pada perempuan infertil idiopatik mencapai 70-80%.1 Endometriosis selama 30 tahun terakhir ini menunjukan angka kejadian yang meningkat yaitu antara 5-15 % dapat ditemukan diantara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan lebih sering didapatkan pada perempuan-perempuan dari golongan sosio-ekonomi yang kuat, yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan ada perempuan yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak karena fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis. Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat. Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama dan beberapa peneliti menyatakan bahwa gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan pembedahan memberikan hasil yang lebih baik. BAB II DAFTAR PUSTAKA 2.1 Definisi Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau keduaduanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya. Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di miometrium (otot rahim). Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis eksterna atau endometriosis sejati. Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena baik secara patologik, klinik ataupun etiologik adenomiosis dan endometriosis berbeda. 2.2 Lokasi Endometrosis Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat sebagai berikut : 1) Ovarium; 2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, 3) 4) 5) 6) dan sigmoid. Septum rektovaginal; Kanalis inguinalis; Apendiks; Umbilikus; 7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum; Parut 8) laparotomi; 9) Kelenjar limfe; dan 10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium. 2.3 Patogenesis Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut: 1. Teori retrograde menstruasi Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson. Teori ini didasari atas 3 asumsi: a. Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii Hasil penelitian dengan laporoskopi ditemukan darah haid dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita dengan tuba falopii paten saat menstruasi. b. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga peritoneum c. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi. 2. Teori metaplasia soelomik Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat di tempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium. 3. Teori transplantasi langsung Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang kurang hati-hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan episiotomi, dapat mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut. 4. Teori genetik dan imun Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita yang mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa tampilan dari lesi. Penelitian tentang genetik dan fungsi imun wanita dengan endometriosis dan lingkungannya dapat menjawab pertanyaan diatas. Endometrosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar genetik. Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan penyakit-penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometrium luar biasa resisten terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap didalam sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel. Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif. Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan dan sitokin yang merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan menghambat fungsi pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut. 2.4 Gambaran Klinis Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis akan menghilang. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa : 1. Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda. Penyebab dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada 2. 3. 4. 5. waktu sebelum dan semasa haid. Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi. Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium 6. terganggu. Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya. Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto- abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi, dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mulamula dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar tinju. 2.5 Klasifikasi Endometriosis Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi, yaitu: 1. Peritoneal endometriosis Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi sehingga menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehingga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih yang miskin vaskularisasi dan ditemukan debris glandular. 2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma) Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan bisa tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dan debris ke dalam rongga kista. 3. Deep Nodular Endometriosis Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis yangberhubungan dengan endomeriosis nodular dalam. Ada banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan endometriosis dari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi (Tabel 1). Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium: a. Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal) b. Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang) c. Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat) d. Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat) Tabel 1. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS Peritoneum Endometriosis <1 cm 1-3 cm >3 cm Permukaan 1 2 4 2 4 6 1 2 4 4 16 20 Permukaan 1 2 4 Dalam 4 16 20 Ovarium Dalam Kanan Permukaan Dalam Kiri Perlekatan kavum Douglasi Sebagian Komplit Ovarium 4 40 <1/3 1/3-2/3 >2/3 1 2 4 4 8 16 1 2 4 4 8 16 1 2 4 4 8 16 1 2 4 4 8 16 Perlekatan Tipis Kanan Tebal Tipis Kiri Kiri Tuba Tebal Kanan Tipis Tebal Tipis Kir Kiri Tebal American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis Evaluasi lengkap penilaian endometriosis dilakukan searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Saat melakukan pemeriksaan panggul, perhatikan penomoran, ukuran, lokasi implantasi endometriosis, plak, endometrioma, dan atau perlekatan. Misalnya, terdapat 5 implantasi superfisial peritoneum berukuran 0,5 cm (total 2,5 cm) maka penilaiannya adalah 2. 2.6 Diagnosis Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing. Pendapat klinisi saat ini bahwa prosedur pembedahan seperti laparoskopi dibutuhkan untuk menentukan diagnosa endometriosis. Laparoskopi dilakukan untuk melihat keberadaan endometriosis. Pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan badan dapat menemukan nyeri pelvik kronik dan dysmenorrheal, pemunduran uterus, penebalan ligamen uterosakral tidak sama sekali terdiagnostik. Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni : 1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis. 2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya. 3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba. 2.7 Penanganan 1. Pencegahan Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul. 2. Terapi Medis Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi : analgesik (NSAID atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol]), agen progestogen (medroksiprogesteron asetat), hormon pelepas-gonadotropin (GnRH) misalnya leuprolid, goserelin, triptorelin, nafarelin, and antiprogestogen (gestrinone). Jenis Kandungan Fungsi Mekanisme Dosis Progestin Progesteron Menciptakan kehamilan palsu Menurunkan kadar FSH, LH, dan estrogen Danazol Androgen lemah Menciptakan menopause palsu GnRH agonis Analog GnRH Menciptakan menopause palsu Mencegah keluarnya FSH, LH, dan pertumbuhan endometrium Menekan sekresi hormon GnRH dan endometrium Medroxyprogeste ron acetate: 10 – 30 mg/hari; Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan 800 mg/hari selama 6 bulan Leuprolide 3.75 mg / bulan; Nafareline 200 mg 2 kali sehari; Goserelin 3.75 mg / bulan Efek samping Depresi, peningkatan berat badan Jerawat, berat badan meningkat, perubahan suara Penurunan densitas tulang, rasa kering mulut, gangguan emosi Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormonhormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis. Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel. 3. Terapi Pembedahan Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan. Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah konservatif yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan. pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi operatif. Pembedahan konservatif pada pasien usia duapuluhan akhir dan awal empat puluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan : 1) Reseksi endometriomata 2) Melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk mengurangi dismenorea) 3) Suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik) 4) Menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada serosa apendiks. Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang endometriosis yang ditemukan. Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan. 2.8 DIAGNOSIS BANDING Adenomiosis uteri, radang pelvik, dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis dengan kista ovarium. Sedangkan endometriosis yang berasal dari rektosigmoid perlu dibedakan dari karsinoma. 2.9 PROGNOSIS Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian rekurensi endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu 5 tahun. Ablasi komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala nyeri sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli mengatakan eksisi lesi adalah metode yang baik untuk menurunkan angka kejadian rekurensi dari gejala-gejala endometriosis. Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan dengan tingkat berat ringannya penyakit. Pasien dengan endometriosis sedang memiliki peluang untuk hamil sebanyak 60%, sedangkan pada kasus-kasus endometriosis yang berat keberhasilannya hanya 35%. DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams edisi 21. Jakarta : EGC. 2. Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 3. Mochtar. R. 1989. Sinopsis Obstetri I, Ed. II. Jakarta : EGG 4. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam : Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23. 5. http://reproduksiumj.blogspot.com/