I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki sifat perishable (mudah busuk). Banyak cara yang digunakan untuk menangani ikan agar tahan lebih lama dan meningkatkan nilai jual ikan, salah satunya yaitu dengan pengolahan. Pengolahan hasil perikanan yang banyak dilakukan saat ini adalah diversifikasi produk seperti pembuatan fish jelly. Menurut Dewi (2001), fish jelly merupakan istilah yang digunakan untuk bahan makanan seperti jeli, yang dibuat dengan memasak surimi atau daging ikan setelah dicampur dan digiling dengan garam dan bumbu-bumbu lainnya. Produk olahan yang termasuk fish jelly adalah naget, bakso, fish cake, sosis, otak-otak, siomay, dan empek-empek (Dewi, 2001; Anonim, 2014b). Gaya hidup masyarakat saat ini menghendaki kemudahan serta kepraktisan, sehingga produk fish jelly banyak diproduksi. Selain bersifat “ready to cook”, protein yang terkandung pada produk tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Salah satu produk yang digemari masyarakat adalah naget. Naget ikan merupakan produk olahan perikanan dengan menggunakan lumatan daging ikan dan atau surimi minimum 30% dicampur tepung dan bahan-bahan lainnya, dibalut dengan tepung pengikat (predust), dimasukkan dalam adonan batter mix kemudian dilapisi tepung roti dan mengalami pemasakan (BSN, 2013). Bahan dasar serta bahan pengisi dalam pembuatan naget akan menentukan karakteristik naget yang dihasilkan (Rohaya et al., 2013). Ikan tuna merupakan salah komoditas perikanan yang banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuat naget. Hal ini dikarenakan produksi tuna yang meningkat, pada tahun 2012 saja produksinya sebesar 275.779 ton atau mengalami kenaikan 21,66% dari tahun 2011 (SIDATIK, 2013). Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan naget adalah tepung terigu, tapioka maupun kombinasi dari kedua tepung tersebut (Rohaya et al., 2013). Dewasa ini, penggunaan tepung terigu dalam pengolahan makanan semakin meningkat, menyebabkan peningkatan konsumsi tepung terigu dan dapat berakibat pada ketergantungan terhadap terigu dalam pembuatan olahan makanan. Menurut Aptindo (2013), konsumsi tepung terigu di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 4,72 juta ton dan tahun 2012 mencapai 5,06 juta ton. Tingginya konsumsi tepung terigu di Indonesia menyebabkan meningkatnya impor biji gandum sebagai bahan dasar 1 pembuatan terigu, sehingga terjadi pemborosan devisa negara untuk mengimpor gandum serta menempatkan Indonesia sebagai negara importir nomor 4 di Asia dengan kapasitas import 6,5 juta ton pada tahun 2012/2013 (FAO, 2012). Kekayaan pangan sumber karbohidrat jenis umbi-umbian di Indonesia masih belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga perlu diadakannya pembangunan industri pangan berbasis tanaman pangan sumber karbohidrat sebagai pengganti gandum. Salah satu caranya adalah membuat tepung dari umbi-umbi asli Indonesia, seperti tepung ubi jalar kuning (Gardjito et al., 2013). Ubi jalar kuning merupakan ubi jalar yang berwarna kuning serta memiliki kandungan β-karoten yang tinggi (Iriani & Norma, 1996). Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu cara pengawetan dan penghematan ruang penyimpanan (Gardjito et al., 2013). Tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian kadar airnya. Tepung ubi jalar kuning mengandung 37,2% amilopektin dan 26,8 % amilosa (Aprianita et al., 2014). Kandungan amilosa dalam tepung ubi jalar kuning ini lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu (10,23%), sehingga diasumsikan bahwa tepung ubi jalar kuning dapat mengganti peran tepung terigu dalam pengikatan air pada proses pembuatan produk pangan. Kandungan yang khas dari ubi jalar kuning ini yaitu kandungan β-karotennya sebesar 2.900 μg (Kurniawati & Ayustaningwarno, 2012). Beberapa penelitian mengenai substitusi maupun penggantian tepung terigu dengan tepung ubi jalar kuning dalam pembuatan produk makanan sudah banyak dilakukan. Tepung ubi jalar kuning dikombinasikan dengan tepung ikan sebagai pengganti tepung terigu dalam pembuatan roti manis, biskuit balita, dan crackers yang ditujukan bagi penderita KEP (Kurang Energi Protein) dan KVA (Kurang Vitamin A) (Kurniawati & Ayustaningwarno, 2012; Imandira & Ayustaningwarno, 2013; Aisiyah & Rustanti, 2013). Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, diperoleh hasil yang hampir serupa yakni penambahan tepung ubi jalar hingga 25% (b/b tepung) pada produk pangan masih dapat diterima oleh konsumen dari segi kenampakan, rasa, aroma dan tekstur. Penelitian lain tentang penambahan tepung ubi jalar kuning sebesar 10% dalam pembuatan naget ayam menghasilkan warna naget cukup coklat dibandingkan dengan naget ayam dengan bahan pengisi tepung terigu dan garut (Kusumaningrum et al., 2013). 2 Penggunaan tepung ubi jalar kuning sebagai substitusi maupun pengganti tepung terigu diasumsikan dapat mengubah karakteristik naget ikan yang akan dihasilkan, sehingga perlu diketahui pengaruh penggunaan tepung ubi jalar kuning sebagai pengganti tepung terigu dalam proses pembuatan naget. Penggunaan tepung ubi jalar kuning ini diharapkan dapat menambah gizi naget dengan adanya β-karoten di dalamnya. 2. Tujuan a. Mengetahui karakteristik fisik dan kimia naget tuna dengan penambahan campuran tapioka dan tepung ubi jalar kuning. b. Mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap naget tuna dengan menggunakan tepung ubi jalar kuning sebagai bahan pengisinya. 3. Manfaat Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat meningkatkan potensi tepung ubi jalar kuning sebagai bahan pengganti tepung terigu, serta memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan tepung ubi jalar kuning sebagai pengganti tepung terigu dalam pembuatan produk olahan ikan. 3