II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Makna Pembangunan dan Pembangunan Regional Pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah: apa yang dimaksud dengan pembangunan regional? Atau, bagaimana kaitannya pembangunan nasional dengan pembangunan regional? Untuk itu, perlu memahami permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan pembangunan, pembangunan nasional, dan pembangunan regional. Walaupun masih dapat diperdebatkan, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu peningkatan dalam pengertian normatif (Seers, 1969). Pembangunan menjelaskan peningkatan dalam hal ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan dapat diartikan kenaikan pendapatan per kapita penduduk pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam ukuran sosial, pembangunan dapat diartikan sebagai makin banyaknya penduduk yang bekerja atau makin berkurangnya pengangguran. Dalam ukuran politis, pembangunan dapat diartikan makin meningkatnya demokrasi. Namun, apakah dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk, tetapi semakin banyak pengangguran atau semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan menipisnya demokrasi merupakan pembangunan? Walaupun jawabannya dapat ya dan tidak dan masih dapat diperdebatkan, namun untuk sementara, dalam penelitian ini, pembangunan diartikan sebagai peningkatan secara rata-rata bidang ekonomi masyarakat. Sehingga dengan demikian, pembangunan nasional atau pembangunan regional adalah suatu peningkatan secara rata-rata taraf hidup seluruh masyarakat di suatu negara atau regional. 14 Perbedaan mengenai kondisi alam, kekayaan sumberdaya alam, kondisi sosial, struktur perekonomian suatu regional merupakan beberapa faktor dasar yang membedakan suatu regional dengan regional-regional lainnya. Perbedaanperbedaan tersebut memberikan efek terhadap pencapaian kinerja ekonomi-sosial suatu regional. Dengan perkataan lain, pembangunan merupakan proses perubahan multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, ekonomi, kelembagaan dan oleh karena itu pembangunan merupakan suatu proses kerja yang bermuatan sisi multi dimensi yang tidak hanya mengukur kinerja dari satu sisi saja (Todaro, 1995). Dan oleh karena itu, dibutuhkan suatu koordinasi yang baik untuk memadukan pembangunan nasional dengan pembangunan regional sebagai bagian dari perencanaan nasional dan untuk dapat memperoleh hal tersebut, maka pembangunan perlu disebarkan secara geografis (Rondinelli, 1985). 2.2. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada pertumbuhan sering bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan hidup, sehingga sering dikatakan bahwa antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup terkesan kontradiktif. Tetapi hal ini tidak selalu benar karena antara dua kepentingan ini ada saling ketergantungan (saling berinteraksi) sehingga baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan lingkungan hidup dapat tercapai bersama. Berhubung dengan begitu kuatnya interaksi dan ketergantungan antara kedua sektor tersebut, maka diperlukan pendekatan perencanaan pembangunan yang dapat menopang perkembangan kedua sektor tersebut. Pendekatan ini adalah apa yang disebut dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan. 15 Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang bermanfaat tidak hanya untuk generasi sekarang, akan tetapi juga dapat mendukung keberlanjutan pembangunan bagi generasi berikutnya. Konsep ini mengandung dua unsur, yaitu: pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua Negara; kedua, keterbatasan, dalam arti penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan. Pemahaman pembangunan berkelanjutan (sustainable development) memerlukan konsep yang mendekati kelaikan yang operasional agar tujuan ideal dari pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Selain itu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan memerlukan penghargaan (recognation) tentang adanya empat jenis kapital yang membentuk kekayaan suatu bangsa (the wealth of nation), yaitu: human capital, natural capital, man-made capital, dan social capital. Tujuan Ekonomi Efisiensi Kapital •Perkiraan Dampak Lingkungan •Penilaian Sumberdaya •Internalisasi •Pemerataan Pendapatan •Kesempatan Kerja •Bantuan Khusus Tujuan Sosial Pengentasan Kemiskinan/Pemerataan •Partisipasi •Konsultasi •Pluralisme Tujuan Ekosistem Pengelolaan Sumberdaya Alam Gambar 3. Unsur-unsur Pendukung Pembangunan Berkelanjutan 16 Kapital alami dan kapital buatan manusia akan mengalami degradasi melalui depresiasi yang berlangsung dengan cepat atau lambat. Kapasitasnya akan mengalami penurunan (declining). Oleh karena itu jika ingin mewariskan tingkat kehidupan yang tidak lebih buruk kepada generasi yang akan datang maka penurunan kapasitas kedua kapital tersebut harus dapat diimbangi (compensated) dengan peningkatan kedua kapital manusia dan kapital sosial tersebut. Dalam hubungan ini sasaran yang dituju yakni mampu memanfaatkan dan memelihara keberlangsungan peningkatan pemanfaatan sumberdaya yang ada sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengatasi persoalan kemiskinan, baik di kawasan perkotaan maupun wilayah perdesaan. Selanjutnya sustainability dapat tercapai apabila human capital dan social capital dapat berkembang lebih besar, sehingga secara dinamik peningkatannya harus jauh lebih tinggi dibanding natural capital (yang relatif tetap bahkan cenderung berkurang) dan man-made capital yang terkena depresiasi, disamping peningkatan total kapital per kapita. 2.3. Teori Basis Ekspor Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model pendapatan regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini dapat memberikan kerangka teoritis yang berguna bagi banyak studi empirik mengenai multiplier regional. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom dalam pengeluaran; semua komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan. Selain itu diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak mempunyai intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan demikian, untuk daerah i dapat ditulis: 17 Yi = (Ei- Mi)+Xi ..................................................................................... (2.1) dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, (Ei, - Mi) adalah pengeluaran domestik daerah i, dan Xi adalah ekspor daerah i. Ei = ei Yi ............................................................................................... (2.2) Mi = mi Yi ............................................................................................... (2.3) Xi = X i (eksogen) ................................................................................. (2.4) Persamaan (2.2), (2.3), dan (2.4) disubsitusikan ke persamaan (2.1) menjadi: Yi = eiYi -miYi + Xi .............................................................................. (2.5) dengan demikian, Y X ....................................................................................... (2.6) 1 ei mi Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika hasrat marginal untuk membelanjakan (marginal propensity to expenditure) secara lokal (e + m) lebih kecil daripada satu (Richardson,2001). Jika persamaan (2.26) diubah susunannya maka: Menurut teori ini, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada unsurunsur eksogen lainnya daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama dengan rasio marginal. Dengan demikian, multiplier basis adalah: 2.4. Model Pendapatan Interregional Model pendapatan interregional sesungguhnya merupakan perluasan dari model basis ekspor dengan memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Perubahan penting yang dilakukan adalah mengubah asumsi-asumsi dari teori 18 basis, yakni bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur otonom, melainkan juga pengeluaran pemerintah dan investasi. Ini berarti bahwa pengeluaran pemerintah dan investasi juga ditentukan oleh faktor-faktor eksogen (Richardson, 2001). Selanjutnya, Richardson memandang bahwa dalam sistem tertutup, ekspor suatu daerah ditentukan oleh permintaan impor daerah-daerah lainnya di dalam sistem yang bersangkutan. Karena pengeluaran pemerintah telah dimasukkan ke dalam model maka logis kalau pajak juga dimasukkan ke dalam model yang bersangkutan. Walaupun model ini dapat juga mencakup pembayaran-pembayaran transfer, pajak lump-sum, pajak langsung, dan pajak tidak langsung, namun Richardson mengasumsikan bahwa semua pajak dibebankan pada pendapatan. Sedangkan pengeluaran konsumsi swasta merupakan fungsi dari disposable income. Selanjutnya, Richardson melakukan modifikasi atas rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali oleh Keynes, menjadi pendapatan regional sebagai berikut: Yi = Ci + Ii + Gi + Xi - Mi ..................................................................... (2.7) di mana, Yi adalah pendapatan regional wilayah i, Ci adalah pengeluaran konsumsi wilayah i, li, adalah investasi swasta wilayah i, Gi adalah pengeluaran pemerintah wilayah i, dan (Xi-Mi) adalah ekspor netto wilayah i. Fungsi pengeluaran konsumsi adalah : Ci=ai + ciYid .......................................................................................... (2.8) dimana, Yid = disposable income wilayah i dan c, = marginal propensity to consume wilayah i; Ii = Ii, ...................................................................................................... (2.9) Gl = Gl................................................................................................. (2.10) 19 Xi = Mij = mij Ydj ........................................................................... (2.11) Mi = mij Ydj ....................................................................................... (2.12) Ydj = Yi-Ti ............................................................................................ (2.13) Ti = tiYi ................................................................................................. (2.14) dimana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation). Ai = ai + I i Gi .................................................................................. (2.15) dimana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i. Apabila persamaan (2.19) sampai dengan (2.24) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.17) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan regional dapat dirumuskan sebagai berikut (Richardson, 2001): Ai mij Y j (1 t j ) Yi = j 1 1 (ci mij ) (1 t i ) ................................................................. (2.16) j 1 Dengan demikian, pendapatan daerah i terdiri atas penjumlahan pengeluaran-pengeluaran otonom di tambah ekspor daerah i dikalikan multiplier. Multiplier regional adalah : K= 1 .................................................................... (2.17) 1 (ci mij ) (1 ti ) j 1 Persamaan (2.26) dapat disederhanakan menjadi: Yi = Ai + KiXi........................................................................................ (2.18) Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu daerah, misalnya daerah i, yang meliputi: (1) perubahan pengeluaran-pengeluaran otonom daerah i, (2) perubahan tingkat pendapatan suatu wilayah lain di dalam suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan ekspor daerah i, 20 (3) berubahnya salah satu di antara parameter-parameter model (mpc, Koefisien perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal). Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan interregional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas regional. Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu dari variabel-variabel pengeluaran otonom. Untuk keperluan dimaksud, model tersebut dapat disempurnakan dengan memasukkan struktur pajak yang lebih kompleks, dan tingkat pengeluaran pemerintah dapat dikaitkan dengan penerimaan pajak total. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan persebaran regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam kerangka kebijakan stabilitas. Jika marginal propensity to consume di semua daerah lebih kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika marginal propensity to consume lebih besar dari satu, maka sistem yang bersangkutan tidak stabil. Menurut Chipman, (dalam Richardson, 2001), jika ci = cj bagi semua daerah (i, j, ...........,n) maka multiplier interregional adalah sama dengan rumus multiplier nasional. Ini berarti bahwa dengan marginal propensity to consume yang sama, perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah (atau pengeluaran otonom lainnya) tidak akan mengubah pendapatan nasional tetapi hanya akan mempengaruhi tingkat pendapatan regional. Akan tetapi jika ci ≠ cj, maka perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan berubahnya tingkat pendapatan nasional. Jika diasumsikan bahwa kapasitas regional tidak merupakan pembatas (kendala), maka kenaikan pendapatan regional akan 21 maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di daerah-daerah di mana c paling tinggi (biasanya daerah-daerah yang paling terkebelakang). Peluberan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor sekunder adalah sifat-sifat yang paling istimewa dari model-model pendapatan interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan pendapatan (menaikkan Ai) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan kekuatan pendorong pada semua daerah lainnya melalui kenaikan Mi (mij). Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran. Kenaikan impor ini akan mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i namun demikian, hal ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-daerah lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: m j 1 ij Yi (1 ti ) ..................................................................................(2.19) Ai Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan sekunder (kenaikan ekspor). Dalam banyak hal, kenaikan sekunder tidak akan cukup untuk mencegah kemunduran neraca pembayaran daerah i. Untuk memperbaiki neraca pembayaran daerah i, maka serentak dengan itu marginal propensity to consume daerah-daerah Iain dalam sistem yang bersangkutan haruslah lebih besar dari satu. Sudah lazim diasumsikan bahwa mekanisme penyesuaian neraca pemberian di antara daerah-daerah bekerja lebih efektif daripada di antara bangsa-bangsa. Di antara kedua kerangka institusional ini (perekonomian interregional dan perekonomian intemasional) terdapat perbedaanperbedaan yang sangat jelas. Daerah-daerah tidak mempunyai instrument- 22 instrumen kebijakan seperti yang dipunyai oleh bangsa-bangsa (seperti kurs mata uang, tariff moneter, dan fiskal). Perbedaan lain antara perekonomian interregional dalam suatu negara dan perekonomian internasional adalah bahwa mobilitas faktor-faktor produksi di antara daerah-daerah pada umumnya lebih tinggi, dan bahwa arus faktor dapat berfungsi sebagai kekuatan yang menyeimbangkan dalam neraca pembayaran. Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat diatasi dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer interregional di antara cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerahdaerah terkebelakang, arus modal dan tenaga kerja. Efek harga agaknya tidak begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku di mana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa-bangsa. Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyimpangan melalui stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut membantu mengurangi defisit pembayaran, dengan syarat c + m < 1 (Scitovsky, 1958; dalam Richardson, 2001). Mekanisme-mekanisme penyesuaian tersebut 23 didasarkan atas asumsi bahwa sumber yang menimbulkan defisit neraca pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di samping itu, defisit neraca pembayaran suatu daerah dapat bersumber dari kenaikan pendapatan, seperti dalam model pendapatan interregional, maka mekanisme-mekanisme ini pun cenderung untuk menyimpang dari keseimbangan. Perbedaan antara kedua sumber defisit neraca pembayaran di atas sangat penting, apabila peranan arus faktor (faktor flows) hendak dipertimbangkan Modal cenderung mengalir ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika modal yang relevan adalah modal di mana yang menyebabkan defisit neraca pembayaran adalah proses kenaikan pendapatan. Defisit neraca pembayaran yang bersumber dari kemerosotan ekspor merupakan defisit yang bersifat kronis. Sebab dalam kondisi ini modal cenderung mengalir keluar daripada mengalir masuk Jika tenaga kerja dapat berpindah maka mereka akan bermigrasi dari daerah yang mengalami kemerosotan ke daerah-daerah makmur. Pendapatan daerah yang disebutkan belakangan akan mengalami peningkatan, sehingga impor daerah tersebut akan meningkat. Hal ini akan meningkat ekspor daerah i (daerah yang disebutkan pertama), tetapi dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Akibatnya perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan bertambah besar. Apa pun yang menjadi penyebab timbulnya defisit neraca pembayaran, modal dan tenaga kerja akan bergerak ke arah yang sama. Namun demikian, arus faktor produksi bukanlah mekanisme penyesuaian yang penting terhadap tipe gangguan-gangguan neraca pembayaran jangka pendek. Arus tersebut lebih penting sebagai kekuatan-kekuatan penyesuaian bagi proses pertumbuhan 24 regional, walaupun dalam jangka panjang mungkin lebih cenderung mengakibatkan bertambah besar dan bukannya memperkecil perbedaan tingkat pertumbuhan regional (Richardson, 2001). 2.5. Pertumbuhan dan Pemerataan Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong minoritas. Sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar. Untuk menganalisis pengarah pembagian pendapatan terhadap investasi (I), perlu melakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor (dalam Ismail 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua kelompok masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (S w ≠ sf, dimana sw = hasrat menabung pekerja dan sF = hasrat menabung pengusaha), maka tabungan nasional bisa ditulis menjadi: S = sY = (sw W) + (sFF) ..................................................................... (2.20) dengan asumsi hasrat menabung marginal sama dengan tabungan rata-rata. 25 Dalam model makro ekonomi Keynesian sederhana, keseimbangan terjadi apabila I = S. Dengan mensubstitusikan syarat keseimbangan ini dengan persamaan (2.20) diperoleh: I = (sww)+ (sFF) ................................................................................... (2.21) jika W sama dengan Y dikurangi F, maka I = sW(Y-F) + (sFF) ............................................................................. (2.22) = (sF-sw)F +(swY) ................................................................................. (2.23) bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh: I ( S F SW ) F SW ........................................................................ (2.24) Y Y Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol (biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi ditentukan semata-mata oleh tingkat keuntungan. Atau apabila dianggap bahwa hasrat menabung kelompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis (biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat investasi. Dengan demikian, menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki distribusi pendapatan, mempunyai dampak negatif terhadap tingkat investasi Selanjutnya, persamaan (20) ditulis kembali menjadi: S= S ( s F F ) ( SW W ) F sW ( s F sW ) .......................................... (2.25) Y Y Y Dengan memasukkan persamaan: (22) ke dalam formulasi pertumbuhan Harrod-Domar (g = s/v, dimana s - hasrat menabung masyarakat, dan v = nisbah antara kapital dan output), akhirnya diperoleh: 26 g sW ( s F sW ) ( F ) Y ...................................................................... (2.26) v Dari persamaan (2.26) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi, maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang lebih merata, maka tingkat pertumbuhan akan rendah. Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni: (1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3) distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima pemilik faktor produksi tradisional dalam proses produksi (tanah, modal, dan tenaga kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah, menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modem dan industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga. Menurut Ismail (1995) teori neo-Keynesian dan juga teori distribusi pendapatan yang lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima pendapatan dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu hanya terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka 27 yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang. Sebagian besar kelompok miskin di negara berkembang bekerja secara marginal di sektor tradisional dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu kebijakan yang diarahkan untuk mempengaruhi pola pembagian pendapatan antara pekerja dan pengusaha yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan. Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori distribusi fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena konflik sosial-ekonomi di negara tersebut bukan terletak semata-mata pada konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang. Keterbatasan teori distribusi fungsional mendorong beberapa ahli mencari alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatif yang dikemukakan adalah mengkaitkan distribusi personal dengan pertumbuhan. 28 Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955. Hipotesis ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada mulanya diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapital dan variabel struktural lainnya (sebagai variabel penjelas). Studi mereka umumnya membuktikan kebenaran hipotesis U dalam pembangunan. Ini terjadi karena analisisnya didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya pertumbuhan terjadi karena adanya transfer sumber-sumber ekonomi dari sektor tradisional ke sektor modern, dan ketimpangan pendapatan dalam proses pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural yang lambat dari dualisme ekonomi. Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor modern, yang umumnya tingkat pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika terjadi pertumbuhan, hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada sejumlah hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa rendahnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh di sektor modern, maka 29 memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa dihindari. Sekalipun sejumlah studi telah membuktikan keabsahan hipotesis U, namun tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi tetapi diiringi dengan kemiskinan dan pemerataan yang semakin parah (Filipina). Di Brazilia, pertumbuhan tinggi mampu menurunkan kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin timpang. India dan Sri Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan yang semakin membaik, namun di India kemiskinan memburuk. Sedangkan Taiwan dan Costa Rica, pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya kemiskinan tetapi juga membaiknya distribusi pendapatan. Ranis, demikian juga Lai (dalan Ismail, 1995), keduanya menunjukkan bahwa dalam pembangunan Taiwan tidak terjadi tradeoff antara pertumbuhan dan pemerataan, sekalipun dalam jangka pendek. Taiwan berhasil merealisasikan pertumbuhan dan pemerataan secara simultan dengan model pembangunan dualis. Strategi pembangunan yang diterapkan oleh Taiwan berhasil mensinergikan pertumbuhan dan pemerataan, padahal di negaranegara lain justru terjadi tradeoff dalam jangka pendek. Menurut Cheng-chung Lai (dalan Ismail, 1995), Taiwan menerapkan empat strategi pada awal pembangunannya. Pertama, adanya transfer surplus (modal dan tenaga kerja) dari sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik Dalam tahap awal dari model pembangunan dualis, industrialisasi membutuhkan modal yang besar. Dana ini diambil dari surplus sektor pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah. Mekanisme semacam ini pada gilirannya 30 memungkinkan sektor industri menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Penyerapan ini menyebabkan beban penduduk di sektor pertanian menurun sehingga produktivitas rata-rata meningkat, dan akhirnya pendapatan rata-rata juga meningkat. Hal demikian memungkinkan mengecilnya perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua sektor tersebut. Kedua, industrinya bersifat padat karya dan berorientasi ekspor. Terus membaiknya distribusi pendapatan di Taiwan terutama disebabkan mekanisme penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri. Antara tahun 1961-1976, 37 sampai 56 persen kenaikan kesempatan kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor juga menyumbang terhadap perluasan kesempatan kerja, yaitu antara 20 - 27 persen dari perluasan total Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong urbanisasi ini terjadi karena industri yang memproses barang-barang pertanian di Taiwan tidak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Lokasi yang demikian pada akhirnya juga tidak mendorong terkonsentrasinya kegiatan ekonomi lain di daerah perkotaan. Akibatnya, distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif seimbang. Keempat, adanya land reform. Secara politik land reform menghilangkan konsentrasi kekayaan elit kekuasan di daerah perdesaan dan secara ekonomi mengurangi konsentrasi kekayaan dan mendorong tuan tanah untuk menanamkan modal dan aktivitas ekonominya di sektor industri yang sedang berkembang. Reformasi tanah dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah pertanian, penjualan tanah negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah (landlord) kepada petani kecil. Tuan tanah menerima 70 persen dari harga tanah dalam bentuk "Land Bond" dan 30 persen berupa saham industri dari empat perusahaan negara. Dampak ekonomi dari land-reform adalah hari kerja dan produktivitas tenaga kerja meningkat, 31 bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal menurun, sedangkan bagian pendapatan tenaga kerja meningkat secara berarti. Ini berarti bahwa landreform mendorong pendapatan buruh memngkat dan karenanya ketimpangan menurun. Dengan empat strategi ini, pemerataan pendapatan di Taiwan terkait langsung dengan pertumbuhan, sehingga pemerataan tidak hanya terjadi antar individu, tetapi juga pemerataan antar sektor ekonomi dan antar wilayah. 2.6. Distribusi Pendapatan Dalam suatu studi distribusi pendapatan adalah penting sekali untuk memahami terlebih dahulu mengenai pendapatan. Kita perlu memilih konsep pendapatan yang secara teoritis dapat diterima, dan dapat diterapkan secara praktis. Ilmu ekonomi mikro dan makro telah banyak mengupas konsep-konsep dasar mengenai pendapatan, baik itu pendapatan individu, pendapatan perusahaan, hingga pendapatan pemerintah. Bagaimana ketiga pendapatan itu terjadi, dapat kita telusuri melalui arus perputaran kegiatan ekonomi (circulair flow of economic activity) yang disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4 secara lengkap, meskipun sederhana , menunjukkan bagaimana arus perputaran pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian. Rumahtangga menerima pendapatan dari perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya. Kemudian rumahtangga akan mengeluarkan pendapatannya untuk belanja barang dan jasa, untuk ditabung, dan untuk bayar pajak kepada pemerintah. Selain pendapatan faktor -faktor produksi, rumahtangga juga memperoleh pendapatan dari pemerintah, yang kita sebut sebagai transfer pemerintah. 32 Gambar 4. Arus Uang Melalui Perekonomian Pemerintah memperoleh pendapatan dari rumahtangga dan perusahaan atas pembayaran pajak. Pendapatan pemerintah tersebut kemudian dikeluarkan sebagian untuk membeli barang dan jasa, serta untuk transfer ke rumahtangga. Jika pengeluaran pemerintah ternyata lebih banyak dari pendapatan, pemerintah akan meminjam dari pasar keuangan untuk menutupi defisit tersebut. Bigstein (1992) dalam Varina (2000) menyatakan bahwa berdasarkan claims concept (konsep tuntutan) dari Hicks, pendapatan sama dengan jumlah uang yang dapat dibelanjakan oleh seseorang atau satu keluarga selama kurun waktu tertentu, sementara nilai kekayaannya tetap utuh. Jumlah ini harus sama dengan jumlah penerimaan, keuntungan dari penjualan aktiva, nilai tunjangan tambahan dan produksi untuk konsumsi keluarga dan sewa yang diperoleh. Oleh karena itu Gemmell (1994) menyebutkan bahwa dalam prakteknya untuk mengukur pendapatan paling tidak harus ada empat pendekatan yaitu, (1) pendapatan bruto, 33 (2) pendapatan sesudah dipotong pajak, kemana transfer dapat ditambahkan, dan (3) pendapatan yang dapat dibelanjakan. Setelah konsep pendapatan ditetapkan, berikutnya kita bicarakan mengenai distribusi pendapatan. Pembicaraan mengenai distribusi pendapatan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional atau distribusi balas jasa, dan distribusi pendapatan antar rumahtangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada teori keseimbangan Neo-klasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan sempurna (Yotopoulus and Nuggent, 1976). Pada prinsipnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi, contohnya sebagai berikut. Y = f (K , L) .................................................................................................. (2.27) dimana Y adalah output fisik, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Melalui derivasi persamaan 2.37 kita akan memperoleh produk marginal faktor produksi tenaga kerja (MPL) dan produk marginal faktor produksi kapital (MPK). Dengan mengetahui besamya MPL dan MPK akan dapat ditentukan pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut harga pasar. Gambar 5 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional. Diasumsikan hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja. Dengan kurve penawaran tenaga kerja Neo-klasik, SL, dan kurve permintaan tenaga kerja, DL, maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga kerja adalah sebesar OW, dan tingkat pekerjaan sebesar OL. Jumlah output nasional digambarkan dengan daerah OREL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam dua bagian, yaitu: OWEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE 34 merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal Gambar 5. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempurna, motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempurna. Asumsiasumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990). Berikutnya adalah distribusi pendapatan rumahtangga. Disini distribusi pendapatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan absolut atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima 35 oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima 17 persen dari jumlah pendapatan. Baik jumlah pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Esmara, 1996). Selain distribusi pendapatan antar rumahtangga, distribusi pendapatan relatif dapat juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau menurut jenis pekerjaan. Meskipun distribusi antar perorangan atau rumahtangga adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejahteraan, klasifikasi lain mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994). Kakwani (1987) dalam studinya tentang distribusi pendapatan di Australia membedakan unit penerima pendapatan menjadi tiga yaitu, individu, keluarga dan rumahtangga. Menurut Sutomo dan Sulistini (1987) penerimaan individu maupun rumahtangga dapat bersumber dari, (1) pendapatan dari faktor produksi tenaga kerja berupa upah, gaji dan keuntungan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari usaha rumahtangga yang tidak berbadan hukum, (2) pendapatan yang bersumber dari faktor produksi bukan tenaga kerja, yaitu pendapatan dari harta kekayaan yang meliputi bunga, sewa dan deviden, dan (3) transfer (hibah) yang diperoleh dari rumahtangga lain, dari perusahaan dari pemerintah dan dari luar negeri. Pendapatan yang diperoleh individu dan rumahtangga atau keluarga dapat berupa pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja, transfer, warisan, hadiah dan lain sebagainya. Pendapatan yang diperoleh ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. 36 Menurut Gittelman dan Joyce (1999) pendapatan yang terbesar diperoleh individu atau keluarga adalah pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja. Pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja antar satu individu dengan individu yang lain akan berbeda-beda. Besarnya tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja tersebut. Pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama sekali bila kita ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Untuk melihat berhasil tidaknya suatu pembangunan ekonomi, belum dapat hanya diukur berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita saja. Apalah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita meningkat, namun distribusi pendapatan timpang, dimana penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, sementara penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit mengalami perbaikan pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan seperti itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi hanyalah penduduk kaya yang jumlahnya sedikit, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan. Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) distribusi pendapatan institusional atau distribusi pendapatan personal adalah distribusi pendapatan yang terjadi antar institusi maupun antar kelompok rumahtangga, dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial adalah distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran 37 yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau kelompok masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal (Semaoen, 1992). Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat berupa: (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa dan lain sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya. Selanjutnya Todaro (1991) dan Yotopolus dan Nugent (1976), menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase kumulatif. Sedangkan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor 38 produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga pada faktor produksi. Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM, ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi. 2.7. Kelembagaan dan Kebijakan Batubara Nasional Penambangan batubara yang dilakukan dengan dua pola pengusahaan yaitu KP dan PKP2B, menggunakan sistem bagi hasil dengan pemerintah dalam memproduksi batubara (Gambar 6). Pemasukan kotor adalah hasil penjualan batubara secara keseluruhan yaitu jumlah batubara yang dijual dikalikan dengan harga batubara. Pemasukan Kotor DHPB 13,5% Biaya Penjualan Pemasukan Bersih Pajak dan Iuran (iuran tetap, Bea, PPN, PBB, dll) Biaya-biaya Pendapatan Kena Pajak Pajak Badan Pendapatan Bersih Kontraktor Pemasukan Negara Gambar 6. Sistem Bagi Hasil Produksi Batubara 39 Sedangkan pemasukan bersih adalah pemasukan kotor yang dikurangi biaya penjualan dan DHPB1 13.5 persen Sedangkan biaya penjualan adalah seluruh biaya yang terkait dengan penjualan batubara, seperti biaya transportasi, biaya pemasaran yang dilakukan pihak ketiga, dsb. Dalam skema sistem bagi hasil tersebut menjelaskan bahwa penerimaan negara diperoleh dari beberapa sumber hasil kegiatan produksi batubara yang terdiri atas DHPB/royalty, pajak dan iuran, dan pajak penghasilan. Hampir semua kontrak PKP2B secara umum mengikuti pola bagi hasil seperti yang telah disajikan dalam skema di bawah ini. Yang membedakannya adalah ketentuan-ketentuan rinci mengenai biaya, tarif dan pajak dari masing-masing generasi kontrak. Berdasarkan peraturan perimbangan pusat dan daerah, semua royalty yang harus dibayar oleh perusahaan pertambangan disetorkan ke pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Keuangan. Sebanyak 20 persen bagian dari royalty untuk pemerintah pusat, 80 persen sisanya dibagikan kepada daerah dengan ketentuan: 16 persen untuk pemerintah propinsi, 32 persen, kabupaten penghasil dan sisa 32 persen lagi dibagikan kepada semua kabupaten yang ada dalam propinsi tersebut2. Akan tetapi, dalam pelaksanannya, mekanisme tersebut masih sering menimbulkan persoalan. Hingga saat ini pihak Kementerian Keuangan belum bisa mengeluarkan suatu mekanisme pembagian royalty tersebut dalam jadwal yang jelas dan pasti, sehingga pemerintah daerah propinsi dan kabupaten tidak tahu secara pasti kapan menerima royalty dari hasil tambang tersebut3. 1 DHPB merupakan bagian pemasukan pemerintah (Negara) non pajak di dalam kontrak karya, sedangkan dalam kontrak miner al disebut sebagai royalty atau iuran produksi. 2 Berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam perimbangan keuangan pusat -daerah 3 Sistem dari peserta dari Departemen Kuuangan dalam workshop persoalan regulasi di sector pertambangan yang diadakan oleh Tim Konflik Pertambangan LIPI, Hote l Maharaja Jakarta 15 Juli 2004. 40 Seperti yang terjadi pada kasus penambangan batubara di Kalimantan Selatan, alokasi dana royalty sebesar 13.5 persen yang diserahkan PT. Arutmin kepada pemerintah pusat, sebelum dibagikan kepada pemerintah daerah sudah mengalami banyak kendala. Salah satu dari keluhan yang disampaikan pihak daerah adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas atas jumlah dana royalty yang harus diberikan kepada pemerintah daerah. Sektor pertambangan batubara sampai saat ini telah berhasil dalam menunjang kebijakan energi nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia, dan industri kecil, serta bagian kecil di rumahtangga dalam bentuk briket batubara. Di samping peranan batubara yang cukup besar, maka tetap juga harus di jaga dan dijamin ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan energi di dalam negeri selama dan ekonomis mungkin. Oleh karena itu, pengolahannya perlu dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan sinergi dengan sektor-sektor pembangunan lainnya. Batubara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari komoditas pertambangan umum, sekaligus merupakan sumber energi primer yang sangat penting. Oleh karena itu, kebijakan dan pengembangan batubara, selain mengacu kepada kebijakan pertambangan umum terutama dalam hal pengelolahannya sebagai sumberdaya mineral yang efisien dan berkelanjutan, dalam pemanfaatannya juga perlu mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kedua kebijakan tersebut harus saling menunjang untuk mencapai sinergi yang maksimal. Dengan kebijakan pertambangan umum diharapkan akan dihasilkan pelaku pertambangan yang handal di hulu (pertambangan batubara) 41 melalui good mining practices, perlindungan lingkungan, dan commodity development. Sedangkan di bagian hilirnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yakni ditunjukkan terutama untuk menjamin pengadaan energi bagi kebutuhan dalam negeri selama mungkin, ekonomis mungkin, dan dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kebijakan Batubara Nasional (KBN) tertuang didalam Kepmen ESDM No. 1128/40/MEN/2004 tanggal 23 Juni 2004. Melalui KBN ini diharapkan dapat tercipta iklim yang mendukung tercapainya sasaran yang sesuai dengan strategi serta program pengembangan Batubara. KBN secara umum berisi 4 (empat) kebijakan, yaitu : 1. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Batubara a. Mereposisikan kembali status batubara sebagian bahan galian strategis. b. Membantu pembangunan sistem prasarana batubara nasional c. Melakukan tindakan hukum terhadap PETI. 2. Kebijakan Pengusahaan a. Mengupayakan terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif dan kompetitif b. Memberikan kepastian usaha secara adil kepada investor c. Mengintensifkan pencairan batubara 3. Kebijakan Pemanfaatan a. Mengarahkan dan mendorong penganekaragaman pemanfaatan dan teknologi batubara bersih. b. Memberikan perhatian lebih khusus kepada litbang dan investasi di bidang 42 pemanfaatan lignit dan Coal Bed Methane. c. Membangun Pusat Teknologi Pemanfaatan Batubara 4. Kebijakan Pengembangan : a. Mendorong pengembangan pemanfaatan batubara peringkat rendah, penambangan bawah tanah, pemanfaatan Coal Bead Methane, dan PLTU Mulut Tambang. b. Meningkatkan teknologi pemanfaatan batubara bersih dan mengurangi dampak terhadap lingkungan. c. Mengintensifkan kegiatan penelitian dan pengembangan batubara. Kebijakan Energi Nasional (KEN) Kebijakan Energi Nasional (KEN) dikeluarkan melalui PP No. 5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998 yang mempunyai tujuan utama untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, dengan sasaran tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1, dan terwujudnya baruan energi yang optimal pada tahun 2025. Untuk itu ketergantungan terhadap satu jenis sumber energi seperti BBM harus dikurangi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif seperti batubara. Kebijakan yang diambil didalam pengembangan batubara untuk mencapai baruan energi pada tahun 2025 lebih dari 33 persen adalah4. 1. Meningkatkan akses batubara, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk mendorong pengembangan batubara peringkat rendah di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energi melalui pengembangan PLTU Mulut Tambang. 4 Suherman Ijang, Triswan Suseno, dkk. 2006. Kajian Batubara Nasional.tekMIRA. Jakarta: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 43 2. Meningkatkan diversifikasi pemanfaatan batubara melalui program pembakaran langsung, pengembangan briket batubara, pencairan batubara, gasifikasi, up grading batubara, dan pengembangan Coal Bed Methane, dengan memperlihatkan faktor lingkungan. 3. Meningkatkan daya tarik investasi melalui restrukturisasi peraturan, pembangunan sarana dan prasarana terpadu terutama pada daerah yang terisolasi dengan pemberian sistem insentif. INPRES No. 2 Tahun 2006 Tentang Pencairan Batubara Disamping Kebijakan Batubara Nasional dan KEN, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan lain dalam rangka penyediaan bahan bakar yaitu pencairan batubara yang dituangkan di dalam Inpres No. 2 Tahun 2006. hal penting yang terdapat didalam peraturan tersebut adalah : 1. Perlu adanya jaminan ketersediaan batubara yang dicairkan serta jaminan kelancaran dan pemerataan distribusinya. 2. Perlu adanya kebijakan insentif untuk batubara yang dicairkan. 3. Menetapkan standar dan mutu batubara cair. 4. Menetapkan sistem dan prosedur pengujian batubara cair. 5. Menetapkan tata niaga batubara yang dicairkan. 6. Mendorong pelaku usaha di bidang pertambangan batubara untuk menyediakan bahan baku batubara yang dicairkan. Rencana Undang-undang Mineral dan Batubara saat ini juga telah dibuat pemerintah sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi terutama dengan perubahan lingkungan strategis, serta hakekat 44 pembangunan pertambangan saat ini dan pada masa mendatang yang menurut keterbukaan, penerapan HAM (dalam arti luas partisipasi daerah), demokra tisasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan perlindungan lingkungan hidup yang lebih ketat. RUU Mineral dan batubara ini dibuat untuk menghadapi tantangan ke depan yang sifatnya eksternal maupun internal. Tantangan eksternal yang akan dihadapi seperti: tuntutan terhadap adanya kepastian hukum, stabilitas politik dan ekonomi; tuntutan lingkungan hidup; tumpang tindih; masalah kebijakan investasi; pajak (tax holiday), agar kondusif dan kompetitif terhadap rezim investasi internasional, kemungkinan pengurangan royalty; serta Otonomi Daerah yang memerlukan proses transisi, antisipasi bentuk organisasi di tingkat pusat. Sedangkan tantangan internal antara lain: masalah faktor lokasi; land access dan isu lingkungan ( potential polluter); resiko investasi yang tinggi dan fluktuasi harga pasar; masalah slow yielding yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan keuntungan serta masalah keterdapatan endapan bahan galian yang mudah, umumnya telah diketahui dan dieksploatasi sehingga yang tersisa adalah endapanendapan yang sangat sulit. Akan tetapi proses pembahasan RUU Minerba sampai saat ini belum ada ketepatan yang jelas dari pemerintah, karena masih banyak terdapat kepentingan yang harus dipertimbangkan. Terdapat dua isu utama yang menjadi perdebatan dalam bahasan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) di dalam panitia kerja. Isu pertama menyangkut usulan yang menginginkan adanya semacam bentuk kontrak karya untuk mengakomodasi kepentingan investasi tambang dalam jumlah besar. Sementara sesuai dengan amanat UU Otonomi Daerah, kewenangan pengelolaan 45 tambang tidak lagi dipegang pemerintah, tetapi diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota. Sedangkan isu kedua mengenai aturan peralihan, dimana seluruh kontrak pertambangan yang telah ada harus sesuai pada UU baru tersebut. Di samping itu, pada RUU Minerba pengelolaan tambang tidak lagi mengenal istilah kontrak, yang ada hanyalah izin. Terdapat dua jenis perizinan, yaitu izin usaha pertambangan (IUP) yang menyangkut seluruh regional terbuka secara umum dan izin kuasa pertambangan (IKP) yang mengatur usaha pertambangan di regional yang termasuk pencadangan negara. IUP bersifat lebih khusus dan akan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Jika istilah kontrak mengacu pada kesepakatan bersama antara dua pihak, maka dengan rezim perizinan posisi pemerintah di atas investor. Adanya rezim perijinan tersebut tentunya akan lebih menguntungkan bagi pemerintah kabupaten dan kota. Sebab, perizinan bakal menjadi sumber pendapatan baru lagi bagi daerah. Apabila RUU Minerba disahkan, maka 440 kabupaten dan kota di Indonesia berhak mengeluarkan izin pertambangan. Akan tetapi, kewenangan pemerintah kabupaten dan kota dalam mengeluarkan izin pertambangan, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Kemudian, RUU Minerba yang saat ini masih dalam proses pembahasan, belum menyentuh aspek-aspek dampak aktivitas tambang terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Padahal bahan tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan memiliki daya rusak yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan sumberdaya alam, terutama tanah, air dan biodibersitas. RUU Minerba tersebut dirancang terkesan hanya untuk menarik investor dalam mengeksploatasi bahan tambang tanpa disertai jaminan perlindungan terhadap keselamatan rakyat dan berkelanjutan pelayanan alam di 46 lokasi-lokasi pertambangan. Dalam RUU tersebut tidak dicantumkan mengenai pengaturan penyelesaian sengketa rakyat dan pemulihan lingkungan pada lokasi tambang yang sedang berjalan mau sudah tutup. Masih banyaknya persoalan pada RUU Minerba yang menjadi perdebatan dalam panitia kerja, tentu saja dapat menyebabkan menurunnya minat investor pertambangan. Misalnya, adanya perubahan sistem kontrak karya pertambangan menjadi izin usaha pertambangan, sehingga investor atau perusahaan pertambangan harus berurusan langsung dengan pemerintah daerah sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin sesuai dengan peraturan otonomi daerah. Padahal selama ini model kontrak karya pertambangan sudah menjadi bentuk baku yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu, investor tidak ingin kontrak yang sudah berjalan, beberapa tahun kemudian tiba-tiba berubah karena ada perubahan peraturan tersebut, sehingga biaya perusahaan yang harus dikeluarkan akan bertambah. Apabila persoalan dalam pembahasan RUU Minerba ini tidak segera diselesaikan, tidak hanya investor saja yang dirugikan, melainkan keberkelanjutan sektor pertambangan khususnya batubara dikhawatirkan tidak dapat berlangsung lama hingga beberapa generasi yang akan datang sehingga negara akan mengalami kerugian yang cukup besar. Menanggapi RUU Minerba, sebaiknya dalam RUU tersebut tidak hanya membahas atau memperdebatkan masalah aturan –aturan mengenai perijinan dan perjanjian kontrak saja, melainkan dijelaskan pula mengenai aspek lingkungan dan sosial ekonomi sebagai dampak aktivitas tambang bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu sektor pertambangan akan berlanjut (sustainable) apa bila usaha tambang tersebut 47 memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat. Terkait dengan masalah tanggung jawab moral suatu usaha, saat ini DR telah mengesahkan Rancangan Undang–undang tentang Perseroan Terbatas (RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No. 1/1995. dalam salah satu pasal RUU tersebut yakni pasal 74 ayat 2 yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Artinya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewajibkan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) bagi industri yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam termasuk industri tambang batubara5. Meskipun RUU Masih mendapat reaksi penolakan dari sejumlah kalangan pengusaha, namun konsep CSR sangat diperlukan karena CSR bukanlah sebuah bentuk belas kasihan perusahaan terhadap masyarakat, melainkan sebuah tanggung jawab moral dan sosial. Apabila program ini dilakukan secara benar maka akan menciptakan masyarakat mandiri (independen) dari sifat ketergantungan serta menghindarkan konflik masyarakat dan perusahaan. Penerapan CSR dapat membantu masyarakat disekitar perusahaan tambang untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan perusahaan. Hal ini dapat membuat masyarakat sekitar merasakan manfaat keberadaan perusahaan, sehingga hubungan yang harmonis antara masyarakat dan perusahaan akan tetap terjaga. 5 Dikutip dari Tulisan Lesmana (2007). CSR Untuk Kesejahteraan Rakyat dalam OPINI Media Indonesia, 24 Juli 2007. 48 2.8. Studi Empirik Dampak Ekonomi Pertambangan di Indonesia dan beberapa Negara Penghasil Tambang Analasis Dampak Ekonomi Pertambangan di Indonesia pernah di lakukan oleh Lembaga Penelitian dan Penyelidikan Ekonomi Masyrakat (LPEM)Universitas Indonesia. Beberapa Lokasi dan perusahaan tambang yang menjadi wilayah penelitian adalah:(1) perusahan tambang Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur, (2), PT. Inco, perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan, dan (3) PT. Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang konsentrat tembaga, perak dan emas di Papua. Berikut adalah rangkuman dari hasil penelitian dimaksud. Pada studi kasus perusahaan tambang KPC di Kalimantan Timur, tercatat bahwa kontribusi perusahaan tambang KPC terhadap pemerintah cukup besar (royalty 13.5 persen dari hasil penjualan bersih), pada tahun 2000 mencapai Rp. 123 miliar, kemudian tahun 2001 meningkat menjadi Rp. 177 miliar. Dengan total penerimaan Kutai Timur yang mencapai Rp 584 miliar pada tahun 2001, maka nilai kontribusi KPC terhadap kas Pemda Kutai Timur pada tahun yang sama berkisar 30 persen yang merupakan jumlah yang cukup signifikan terhadap penerimaan daerah. Kontribusi KPC lainnya terhadap Kas Pemda adalah dalam bentuk Land-Rent, yang jika lahan yang dieksploitasi KPC mencapai 91 000 ha maka total land-rent yang harus dibayar adalah sejumlah 91 ribu USD atau sekitar Rp. 804.44 milyar. Dengan sistem bagi hasil yang baru maka bagian Pemda Kutai Timur dari Land Rent adalah sekitar Rp 515 juta. Berdasarkan perhitungan dari Tabel Input Output Kaltim tahun 1995, diperoleh output multiplier total akibat pertambangan Batubara KPC sebesar 1.878, artinya dari setiap milyar nilai ekspor batubara yang diproduksi KPC akan 49 menciptakan output perekonomian di semua sektor ekonomi di Kaltim senilai 1.878 milyar rupiah. Selanjutnya, berdasarkan angka income multiplier yakni sebesar 1.551, artinya dari setiap juta rupiah gaji dan upah para pekerja KPC, dapat mendorong pembentukan pendapatan masyarakat di seluruh Kaltim sebesar 1.551 juta rupiah Studi kasus yang ke dua adalah PT.Inco, pada tahun 2001 kontribusinya terhadap pembentukan PDRB Sulawesi Selatan adalah sebesar 12 persen. Multiplier output dari sektor ini adalah 1.79, multiplier pendapatan 1.42 dan multiplier tenaga kerja adalah sebesar 39. Kesempatan kerja yang timbul dari kegiatan PT.Inco adalah sebesar 170 ribu kesempatan kerja. Sedangkan kontribusi fiskal PT.Inco terhadap keuangan negara dari tahun 1998-2002 rata-rata sebesar Rp. 120 miliar per tahun Ketiga, adalah PT. Freeport, pada awal pelaksanaan Undang-undang tentang Otonomi Daerah, PTFI telah menyumbang sekitar 0.83 persen total APBN Indonesia, yang berasal dari Penerimaan Sumberdaya Alam, Pajak Dalam Negeri, Pajak Perdagangan Internasional, deviden, serta berbagai pajak dan bukan pajak lainnya yang dibayar PTFI. Melalui mekanisme Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat ke Daerah, pada tahun yang sama PTFI telah memberikan kontribusi fiskal secara langsung sebesar Rp. 75.5 miliar dan Rp. 115.9 miliar atau masing-masing 8.9 persen dan 54.6 persen APBD Provinsi Papua dan APBD Kabupaten Mimika. Dengan Otonomi Khusus, pada tahun 2001, Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika menerima masing-masing 48.10 persen. 3.71 persen dan 5.70 persen dari Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam yang berasal dari PTFI. Kabupaten/kota non-penghasil konsentrat tembaga di Papua 50 menerima 6.60 persen dan sisa 34.72 persen lainnya dialokasikan kepada daerahdaerah di luar Papua. Berdasarkan analisis input-ouput Papua tahun 1995, sektor pertambangan di Papua memiliki multiplier kesempatan kerja sebesar 37.5, multiplier output sebesar 1.6 dan multiplier pendapatan sebesar 1.3, bila dibandingkan dengan PT. KPC dan PT. Inco, terlihat bahwa aktivitas pertambangan PT. Freeport mempunyai dampak ekonomi yang lebih kecil. Dampak ekonomi di Australia ternyata menunjukkan hasil yang lebih baik. Berdasarkan hasil perhitungan tabel input-output diperoleh nilai multiplier output, pendapatan dan tenaga kerja sektor pertambangan batubara masing-masing sebesar 2.57; 3.92; dan 6.49. Disamping itu, Davidson and de Silva (2010), dalam “Costing of The Greens’ Economic Policies: Mining” memberikan gambaran tentang kebijakan hijau (green policy) di Australia yang terkait dengan kegiatan pertambangan mineral pada umumnya dan batubara pada khususnya, kebijakan ini akan menurunkan output perekonomian yang pada akhirnya berdampak pula pada penurunan jumlah tenaga kerja dan pendapatan masyarakat pertambangan pada khususnya. Kebijakan Green Policy menyatakan bahwa kebijakan ekonomi mensyaratkan penurunan produksi batubara dimasa mendatang. Seperti Kebijakan tersebut tertuang dalam Natural Resources Policy dan Climate Change and Energy, pemerintah Australia harus mengelola sumberdaya alam secara terintegrasi dan pengurangan ketergantungan dengan energi yang bersumber dari sumberdaya alam seperti batubara. Buerau of Bussines & Economic Research, West Virginia University and Centre for Business & Economic Researh, Marshal University (2010) melakukan 51 penelitian mengenai “The West Virginia Coal Economy 2008”. Tujuan penelitian tersebut untuk mengidentifikasi dampak ekonomi pertambangan batubara di WestVirginia. Berdasarkan multiplier input-output West Virginia tahun 2008 dapat diidentifikasi besarnya multiplier output sebesar 2.65; nilai tambah 1.46; upah gaji sebesar 1.45; dan multiplier tenaga kerja 2.24. Dari besaran multiplier tersebut diperoleh dampak pertambangan batubara terhadap pembentukan output secara total sebesar $19,7 miliar, menciptakan pendapatan masyarakat sebesar $2,8 miliar dengan jumlah lapangan kerja yang tercipta sebanyak 46 000 orang serta menciptakan nilai tambah perekonomian wilayah sebanyak $5.93 miliar. Salah satu isu kebijakan publik di West Virginia saat ini adalah consensus perkiraan penurunan produksi batubara suatu wilayah, termasuk: pembatasan emisi NOx dan SO2 di (CAIR); (CAFÉ) standar updated; (SMCRA), dan Bagian 401, 402, dan 404 dari Undang-undang Air Bersih. Berbagai peraturan yang secara langsung atau tidak langsung yang terkait penanganan emisi gas rumah kaca juga memiliki potensi untuk berpengaruh negatif terhadap produksi batubara di West Virginia.