ii. kajian pustaka

advertisement
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Makna Pembangunan dan Pembangunan Regional
Pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah: apa yang dimaksud dengan
pembangunan regional? Atau, bagaimana kaitannya pembangunan nasional
dengan pembangunan regional? Untuk itu, perlu memahami permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan pembangunan, pembangunan nasional, dan
pembangunan regional.
Walaupun masih dapat diperdebatkan, pembangunan dapat diartikan sebagai
suatu peningkatan dalam pengertian normatif (Seers, 1969). Pembangunan
menjelaskan peningkatan dalam hal ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Dalam ukuran ekonomi, pembangunan dapat diartikan kenaikan pendapatan per
kapita penduduk pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam ukuran sosial, pembangunan dapat diartikan sebagai makin banyaknya
penduduk yang bekerja atau makin berkurangnya pengangguran. Dalam ukuran
politis, pembangunan dapat diartikan makin meningkatnya demokrasi. Namun,
apakah dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk, tetapi semakin
banyak pengangguran atau semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan
menipisnya demokrasi merupakan pembangunan? Walaupun jawabannya dapat ya
dan tidak dan masih dapat diperdebatkan, namun untuk sementara, dalam
penelitian ini, pembangunan diartikan sebagai peningkatan secara rata-rata bidang
ekonomi masyarakat. Sehingga dengan demikian, pembangunan nasional atau
pembangunan regional adalah suatu peningkatan secara rata-rata taraf hidup
seluruh masyarakat di suatu negara atau regional.
14
Perbedaan mengenai kondisi alam, kekayaan sumberdaya alam, kondisi
sosial, struktur perekonomian suatu regional merupakan beberapa faktor dasar
yang membedakan suatu regional dengan regional-regional lainnya. Perbedaanperbedaan tersebut memberikan efek terhadap pencapaian kinerja ekonomi-sosial
suatu regional. Dengan perkataan lain, pembangunan merupakan proses
perubahan multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam
struktur sosial, ekonomi, kelembagaan dan oleh karena itu pembangunan
merupakan suatu proses kerja yang bermuatan sisi multi dimensi yang tidak hanya
mengukur kinerja dari satu sisi saja (Todaro, 1995). Dan oleh karena itu,
dibutuhkan suatu koordinasi yang baik untuk memadukan pembangunan nasional
dengan pembangunan regional sebagai bagian dari perencanaan nasional dan
untuk dapat memperoleh hal tersebut, maka pembangunan perlu disebarkan secara
geografis (Rondinelli, 1985).
2.2. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada pertumbuhan sering
bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan hidup, sehingga sering
dikatakan bahwa antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup terkesan
kontradiktif. Tetapi hal ini tidak selalu benar karena antara dua kepentingan ini
ada saling ketergantungan (saling berinteraksi) sehingga baik kepentingan
ekonomi maupun kepentingan lingkungan hidup dapat tercapai bersama.
Berhubung dengan begitu kuatnya interaksi dan ketergantungan antara kedua
sektor tersebut, maka diperlukan pendekatan perencanaan pembangunan yang
dapat menopang perkembangan kedua sektor tersebut. Pendekatan ini adalah apa
yang disebut dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan
berwawasan lingkungan.
15
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang
akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan kata lain,
pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang bermanfaat tidak
hanya untuk generasi sekarang, akan tetapi juga dapat mendukung keberlanjutan
pembangunan bagi generasi berikutnya. Konsep ini mengandung dua unsur, yaitu:
pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi masyarakat yang
kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua
Negara; kedua, keterbatasan, dalam arti penguasaan teknologi dan organisasi
sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.
Pemahaman
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
memerlukan konsep yang mendekati kelaikan yang operasional agar tujuan ideal
dari pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Selain itu untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan memerlukan penghargaan (recognation) tentang
adanya empat jenis kapital yang membentuk kekayaan suatu bangsa (the wealth of
nation), yaitu: human capital, natural capital, man-made capital, dan social
capital.
Tujuan Ekonomi
Efisiensi Kapital
•Perkiraan Dampak Lingkungan
•Penilaian Sumberdaya
•Internalisasi
•Pemerataan Pendapatan
•Kesempatan Kerja
•Bantuan Khusus
Tujuan Sosial
Pengentasan
Kemiskinan/Pemerataan
•Partisipasi
•Konsultasi
•Pluralisme
Tujuan Ekosistem
Pengelolaan Sumberdaya
Alam
Gambar 3. Unsur-unsur Pendukung Pembangunan Berkelanjutan
16
Kapital alami dan kapital buatan manusia akan mengalami degradasi melalui
depresiasi yang berlangsung dengan cepat atau lambat. Kapasitasnya akan
mengalami penurunan (declining). Oleh karena itu jika ingin mewariskan tingkat
kehidupan yang tidak lebih buruk kepada generasi yang akan datang maka
penurunan kapasitas kedua kapital tersebut harus dapat diimbangi (compensated)
dengan peningkatan kedua kapital manusia dan kapital sosial tersebut. Dalam
hubungan ini sasaran yang dituju yakni mampu memanfaatkan dan memelihara
keberlangsungan peningkatan pemanfaatan sumberdaya yang ada sehingga
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengatasi persoalan
kemiskinan, baik di kawasan perkotaan maupun wilayah perdesaan. Selanjutnya
sustainability dapat tercapai apabila human capital dan social capital dapat
berkembang lebih besar, sehingga secara dinamik peningkatannya harus jauh
lebih tinggi dibanding natural capital (yang relatif tetap bahkan cenderung
berkurang) dan man-made capital yang terkena depresiasi, disamping peningkatan
total kapital per kapita.
2.3.
Teori Basis Ekspor
Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model
pendapatan regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini
dapat memberikan kerangka teoritis yang berguna bagi banyak studi empirik
mengenai multiplier regional. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor
merupakan satu-satunya unsur otonom dalam pengeluaran; semua komponen
pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan. Selain itu
diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak mempunyai
intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan demikian, untuk daerah i dapat
ditulis:
17
Yi = (Ei- Mi)+Xi ..................................................................................... (2.1)
dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, (Ei, - Mi) adalah pengeluaran domestik
daerah i, dan Xi adalah ekspor daerah i.
Ei = ei Yi ............................................................................................... (2.2)
Mi = mi Yi ............................................................................................... (2.3)
Xi = X i (eksogen) ................................................................................. (2.4)
Persamaan (2.2), (2.3), dan (2.4) disubsitusikan ke persamaan (2.1) menjadi:
Yi = eiYi -miYi + Xi
.............................................................................. (2.5)
dengan demikian,
Y
X
....................................................................................... (2.6)
1  ei  mi
Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika hasrat marginal untuk
membelanjakan (marginal propensity to expenditure) secara lokal (e + m) lebih
kecil daripada satu (Richardson,2001).
Jika persamaan (2.26) diubah susunannya maka:
Menurut teori ini, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada unsurunsur eksogen lainnya daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama dengan rasio
marginal. Dengan demikian, multiplier basis adalah:
2.4. Model Pendapatan Interregional
Model pendapatan interregional sesungguhnya merupakan perluasan dari
model basis ekspor dengan memperhatikan dampak dari daerah tetangga.
Perubahan penting yang dilakukan adalah mengubah asumsi-asumsi dari teori
18
basis, yakni bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur otonom,
melainkan juga pengeluaran pemerintah dan investasi. Ini berarti bahwa
pengeluaran pemerintah dan investasi juga ditentukan oleh faktor-faktor eksogen
(Richardson, 2001). Selanjutnya, Richardson memandang bahwa dalam sistem
tertutup, ekspor suatu daerah ditentukan oleh permintaan impor daerah-daerah
lainnya di dalam sistem yang bersangkutan. Karena pengeluaran pemerintah telah
dimasukkan ke dalam model maka logis kalau pajak juga dimasukkan ke dalam
model yang bersangkutan. Walaupun model ini dapat juga mencakup
pembayaran-pembayaran transfer, pajak lump-sum, pajak langsung, dan pajak
tidak langsung, namun Richardson mengasumsikan bahwa semua pajak
dibebankan pada pendapatan. Sedangkan
pengeluaran konsumsi
swasta
merupakan fungsi dari disposable income. Selanjutnya, Richardson melakukan
modifikasi atas rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali oleh Keynes,
menjadi pendapatan regional sebagai berikut:
Yi = Ci + Ii + Gi + Xi - Mi ..................................................................... (2.7)
di mana, Yi adalah pendapatan regional wilayah i, Ci adalah pengeluaran konsumsi
wilayah i, li, adalah investasi swasta wilayah i, Gi adalah pengeluaran pemerintah
wilayah i, dan (Xi-Mi) adalah ekspor netto wilayah i.
Fungsi pengeluaran konsumsi adalah :
Ci=ai + ciYid .......................................................................................... (2.8)
dimana, Yid = disposable income wilayah i dan c, = marginal propensity to
consume wilayah i;
Ii = Ii, ...................................................................................................... (2.9)
Gl = Gl................................................................................................. (2.10)
19
Xi =  Mij =  mij Ydj ........................................................................... (2.11)
Mi =  mij Ydj ....................................................................................... (2.12)
Ydj = Yi-Ti ............................................................................................ (2.13)
Ti = tiYi ................................................................................................. (2.14)
dimana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation).
Ai = ai + I i  Gi .................................................................................. (2.15)
dimana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i.
Apabila persamaan (2.19) sampai dengan (2.24) disubstitusikan ke dalam
persamaan (2.17) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan
regional dapat dirumuskan sebagai berikut (Richardson, 2001):
Ai   mij Y j (1  t j )
Yi =
j 1
1  (ci   mij ) (1  t i )
................................................................. (2.16)
j 1
Dengan demikian, pendapatan daerah
i
terdiri
atas penjumlahan
pengeluaran-pengeluaran otonom di tambah ekspor daerah i dikalikan multiplier.
Multiplier regional adalah :
K=
1
.................................................................... (2.17)
1  (ci   mij ) (1  ti )
j 1
Persamaan (2.26) dapat disederhanakan menjadi:
Yi = Ai + KiXi........................................................................................ (2.18)
Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu
daerah, misalnya daerah i, yang meliputi: (1) perubahan pengeluaran-pengeluaran
otonom daerah i, (2) perubahan tingkat pendapatan suatu wilayah lain di dalam
suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan ekspor daerah i,
20
(3) berubahnya salah satu di antara parameter-parameter model (mpc, Koefisien
perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal).
Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan
interregional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas
regional. Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah
satu dari variabel-variabel pengeluaran otonom. Untuk keperluan dimaksud,
model tersebut dapat disempurnakan dengan memasukkan struktur pajak yang
lebih kompleks, dan tingkat pengeluaran pemerintah dapat dikaitkan dengan
penerimaan pajak total. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan
pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan persebaran
regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam kerangka
kebijakan stabilitas. Jika marginal propensity to consume di semua daerah lebih
kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika
marginal propensity to consume lebih besar dari satu, maka sistem yang
bersangkutan tidak stabil.
Menurut Chipman, (dalam Richardson, 2001), jika ci = cj bagi semua daerah
(i, j, ...........,n) maka multiplier interregional adalah sama dengan rumus multiplier
nasional. Ini berarti bahwa dengan marginal propensity to consume yang sama,
perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah (atau pengeluaran
otonom lainnya) tidak akan mengubah pendapatan nasional tetapi hanya akan
mempengaruhi tingkat pendapatan regional. Akan tetapi jika ci ≠ cj, maka
perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan berubahnya
tingkat pendapatan nasional. Jika diasumsikan bahwa kapasitas regional tidak
merupakan pembatas (kendala), maka kenaikan pendapatan regional akan
21
maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di daerah-daerah di
mana c paling tinggi (biasanya daerah-daerah yang paling terkebelakang).
Peluberan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor sekunder
adalah
sifat-sifat
yang
paling
istimewa
dari
model-model
pendapatan
interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan
pendapatan (menaikkan Ai) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan
kekuatan pendorong pada semua daerah lainnya melalui kenaikan Mi (mij).
Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran. Kenaikan impor ini akan
mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i namun demikian, hal ini
belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-daerah
lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
m
j 1
ij
Yi
(1  ti ) ..................................................................................(2.19)
Ai
Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada
sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan
sekunder (kenaikan ekspor). Dalam banyak hal, kenaikan sekunder tidak akan
cukup untuk mencegah kemunduran neraca pembayaran daerah i. Untuk
memperbaiki neraca pembayaran daerah i, maka serentak dengan itu marginal
propensity to consume daerah-daerah Iain dalam sistem yang bersangkutan
haruslah lebih besar dari satu. Sudah lazim diasumsikan bahwa mekanisme
penyesuaian neraca pemberian di antara daerah-daerah bekerja lebih efektif
daripada di antara bangsa-bangsa. Di antara kedua kerangka institusional ini
(perekonomian interregional dan perekonomian intemasional) terdapat perbedaanperbedaan yang sangat jelas. Daerah-daerah tidak mempunyai instrument-
22
instrumen kebijakan seperti yang dipunyai oleh bangsa-bangsa (seperti kurs mata
uang, tariff moneter, dan fiskal). Perbedaan lain antara perekonomian
interregional dalam suatu negara dan perekonomian internasional adalah bahwa
mobilitas faktor-faktor produksi di antara daerah-daerah pada umumnya lebih
tinggi, dan bahwa arus faktor dapat berfungsi sebagai kekuatan yang
menyeimbangkan dalam neraca pembayaran.
Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat
diatasi dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer interregional di
antara cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan
tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan
efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerahdaerah terkebelakang, arus modal dan tenaga kerja. Efek harga agaknya tidak
begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional
daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku
di mana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan
keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional
karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa-bangsa.
Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyimpangan melalui
stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung
bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana
pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan
memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut
membantu mengurangi defisit pembayaran, dengan syarat c + m < 1 (Scitovsky,
1958; dalam Richardson, 2001). Mekanisme-mekanisme penyesuaian tersebut
23
didasarkan atas asumsi bahwa sumber yang menimbulkan defisit neraca
pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di samping itu, defisit neraca pembayaran
suatu daerah dapat bersumber dari kenaikan pendapatan, seperti dalam model
pendapatan interregional, maka mekanisme-mekanisme ini pun cenderung untuk
menyimpang dari keseimbangan.
Perbedaan antara kedua sumber defisit neraca pembayaran di atas sangat
penting, apabila peranan arus faktor (faktor flows) hendak dipertimbangkan
Modal cenderung mengalir ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih
tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika modal yang relevan
adalah modal di mana yang menyebabkan defisit neraca pembayaran adalah
proses kenaikan pendapatan. Defisit neraca pembayaran yang bersumber dari
kemerosotan ekspor merupakan defisit yang bersifat kronis. Sebab dalam kondisi
ini modal cenderung mengalir keluar daripada mengalir masuk Jika tenaga kerja
dapat berpindah maka mereka akan bermigrasi dari daerah yang mengalami
kemerosotan ke daerah-daerah makmur. Pendapatan daerah yang disebutkan
belakangan akan mengalami peningkatan, sehingga impor daerah tersebut akan
meningkat. Hal ini akan meningkat ekspor daerah i (daerah yang disebutkan
pertama), tetapi dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Akibatnya
perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan bertambah besar.
Apa pun yang menjadi penyebab timbulnya defisit neraca pembayaran,
modal dan tenaga kerja akan bergerak ke arah yang sama. Namun demikian, arus
faktor produksi bukanlah mekanisme penyesuaian yang penting terhadap tipe
gangguan-gangguan neraca pembayaran jangka pendek. Arus tersebut lebih
penting sebagai kekuatan-kekuatan penyesuaian bagi proses pertumbuhan
24
regional,
walaupun
dalam
jangka
panjang
mungkin
lebih
cenderung
mengakibatkan bertambah besar dan bukannya memperkecil perbedaan tingkat
pertumbuhan regional (Richardson, 2001).
2.5. Pertumbuhan dan Pemerataan
Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi
kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan
pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat
sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong
minoritas. Sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan
pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil
menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang
semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya
rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar.
Untuk menganalisis pengarah pembagian pendapatan terhadap investasi (I),
perlu melakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor (dalam
Ismail 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua
bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima
kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua kelompok
masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (S w ≠ sf, dimana
sw = hasrat menabung pekerja dan sF = hasrat menabung pengusaha), maka
tabungan nasional bisa ditulis menjadi:
S = sY = (sw W) + (sFF) ..................................................................... (2.20)
dengan asumsi hasrat menabung marginal sama dengan tabungan rata-rata.
25
Dalam model makro ekonomi Keynesian sederhana, keseimbangan terjadi
apabila I = S. Dengan mensubstitusikan syarat keseimbangan ini dengan
persamaan (2.20) diperoleh:
I = (sww)+ (sFF) ................................................................................... (2.21)
jika W sama dengan Y dikurangi F, maka
I = sW(Y-F) + (sFF) ............................................................................. (2.22)
= (sF-sw)F +(swY) ................................................................................. (2.23)
bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh:
I
 ( S F  SW ) F  SW ........................................................................ (2.24)
Y
Y
Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat
keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol
(biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi
ditentukan semata-mata oleh tingkat keuntungan. Atau apabila dianggap bahwa
hasrat menabung kelompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis
(biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan
faktor penting dalam menentukan tingkat investasi. Dengan demikian,
menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki
distribusi pendapatan, mempunyai dampak negatif terhadap tingkat investasi
Selanjutnya, persamaan (20) ditulis kembali menjadi:
S=
S ( s F F )  ( SW W )
F

 sW  ( s F  sW ) .......................................... (2.25)
Y
Y
Y
Dengan memasukkan persamaan: (22) ke dalam formulasi pertumbuhan
Harrod-Domar (g = s/v, dimana s - hasrat menabung masyarakat, dan v = nisbah
antara kapital dan output), akhirnya diperoleh:
26
g
sW  ( s F  sW ) ( F )
Y ...................................................................... (2.26)
v
Dari persamaan (2.26) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan merupakan
dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi,
maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus
cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang
lebih merata, maka tingkat pertumbuhan akan rendah.
Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni:
(1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3)
distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan
yang diterima pemilik faktor produksi tradisional dalam proses produksi (tanah,
modal, dan tenaga kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk
lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah,
menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau
menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modem dan
industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian
pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga.
Menurut Ismail (1995) teori neo-Keynesian dan juga teori distribusi
pendapatan yang lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi
fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai
landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara
berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima
pendapatan dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu hanya
terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka
27
yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek
penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang.
Sebagian besar kelompok miskin di negara berkembang bekerja secara marginal
di sektor tradisional dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak
dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu kebijakan
yang diarahkan untuk mempengaruhi pola pembagian pendapatan antara pekerja
dan pengusaha yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan
menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan.
Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas
konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini
menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang
dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik
itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori distribusi
fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena
konflik sosial-ekonomi di negara tersebut bukan terletak semata-mata pada
konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya
antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor
yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor
dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional
mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena
jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.
Keterbatasan teori distribusi fungsional mendorong beberapa ahli mencari
alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara
pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatif yang
dikemukakan adalah mengkaitkan distribusi personal dengan pertumbuhan.
28
Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan
pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.
Hipotesis ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada mulanya
diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik
tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa
ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka
menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan
nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai
variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapital dan variabel struktural
lainnya (sebagai variabel penjelas).
Studi mereka
umumnya membuktikan
kebenaran hipotesis U dalam pembangunan. Ini terjadi karena analisisnya
didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya
pertumbuhan terjadi karena adanya transfer sumber-sumber ekonomi dari sektor
tradisional ke sektor modern, dan ketimpangan pendapatan dalam proses
pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural yang lambat dari
dualisme ekonomi.
Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor modern, yang umumnya tingkat
pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika terjadi
pertumbuhan, hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada sejumlah
hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan
tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa rendahnya tingkat
pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa
kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena
orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh di sektor modern, maka
29
memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa
dihindari.
Sekalipun sejumlah studi telah membuktikan keabsahan hipotesis U, namun
tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan
Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang pertumbuhan
ekonominya relatif tinggi tetapi diiringi dengan kemiskinan dan pemerataan yang
semakin parah (Filipina). Di Brazilia, pertumbuhan tinggi mampu menurunkan
kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin timpang. India dan Sri
Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan yang semakin membaik,
namun di India kemiskinan memburuk. Sedangkan Taiwan dan Costa Rica,
pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya kemiskinan tetapi juga
membaiknya distribusi pendapatan.
Ranis, demikian juga Lai (dalan Ismail,
1995), keduanya menunjukkan bahwa dalam pembangunan Taiwan tidak terjadi
tradeoff antara pertumbuhan dan pemerataan, sekalipun dalam jangka pendek.
Taiwan berhasil merealisasikan pertumbuhan dan pemerataan secara simultan
dengan model pembangunan dualis. Strategi pembangunan yang diterapkan oleh
Taiwan berhasil mensinergikan pertumbuhan dan pemerataan, padahal di negaranegara lain justru terjadi tradeoff dalam jangka pendek.
Menurut Cheng-chung Lai (dalan Ismail, 1995), Taiwan menerapkan empat
strategi pada awal pembangunannya. Pertama, adanya transfer surplus (modal dan
tenaga kerja) dari sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik
Dalam tahap awal dari model pembangunan dualis, industrialisasi membutuhkan
modal yang besar. Dana ini diambil dari surplus sektor pertanian yang
dikumpulkan oleh pemerintah. Mekanisme semacam ini pada gilirannya
30
memungkinkan sektor industri menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian.
Penyerapan ini menyebabkan beban penduduk di sektor pertanian menurun
sehingga produktivitas rata-rata meningkat, dan akhirnya pendapatan rata-rata
juga
meningkat.
Hal
demikian
memungkinkan
mengecilnya
perbedaan
pendapatan rata-rata antara kedua sektor tersebut. Kedua, industrinya bersifat
padat karya dan berorientasi ekspor. Terus membaiknya distribusi pendapatan di
Taiwan terutama disebabkan mekanisme penyerapan tenaga kerja oleh sektor
industri. Antara tahun 1961-1976, 37 sampai 56 persen kenaikan kesempatan
kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor juga menyumbang terhadap
perluasan kesempatan kerja, yaitu antara 20 - 27 persen dari perluasan total
Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong urbanisasi ini terjadi karena industri
yang memproses barang-barang pertanian di Taiwan tidak terkonsentrasi di daerah
perkotaan. Lokasi yang demikian pada akhirnya juga tidak mendorong
terkonsentrasinya kegiatan ekonomi lain di daerah perkotaan. Akibatnya,
distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif seimbang. Keempat, adanya
land reform. Secara politik land reform menghilangkan konsentrasi kekayaan elit
kekuasan di daerah perdesaan dan secara ekonomi mengurangi konsentrasi
kekayaan dan mendorong tuan tanah untuk menanamkan modal dan aktivitas
ekonominya di sektor industri yang sedang berkembang. Reformasi tanah
dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah pertanian, penjualan tanah
negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah (landlord) kepada petani kecil. Tuan
tanah menerima 70 persen dari harga tanah dalam bentuk "Land Bond" dan 30
persen berupa saham industri dari empat perusahaan negara. Dampak ekonomi
dari land-reform adalah hari kerja dan produktivitas tenaga kerja meningkat,
31
bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal menurun, sedangkan
bagian pendapatan tenaga kerja meningkat secara berarti. Ini berarti bahwa landreform mendorong pendapatan buruh memngkat dan karenanya ketimpangan
menurun. Dengan empat strategi ini, pemerataan pendapatan di Taiwan terkait
langsung dengan pertumbuhan, sehingga pemerataan tidak hanya terjadi antar
individu, tetapi juga pemerataan antar sektor ekonomi dan antar wilayah.
2.6. Distribusi Pendapatan
Dalam suatu studi distribusi pendapatan adalah penting sekali untuk
memahami terlebih dahulu mengenai pendapatan. Kita perlu memilih konsep
pendapatan yang secara teoritis dapat diterima, dan dapat diterapkan secara
praktis. Ilmu ekonomi mikro dan makro telah banyak mengupas konsep-konsep
dasar mengenai pendapatan, baik itu pendapatan individu, pendapatan perusahaan,
hingga pendapatan pemerintah. Bagaimana ketiga pendapatan itu terjadi, dapat
kita telusuri melalui arus perputaran kegiatan ekonomi (circulair flow of economic
activity) yang disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4 secara lengkap, meskipun sederhana , menunjukkan bagaimana
arus perputaran pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian. Rumahtangga
menerima pendapatan dari perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya.
Kemudian rumahtangga akan mengeluarkan pendapatannya untuk belanja barang
dan jasa, untuk ditabung, dan untuk bayar pajak kepada pemerintah. Selain
pendapatan faktor -faktor produksi, rumahtangga juga memperoleh pendapatan
dari pemerintah, yang kita sebut sebagai transfer pemerintah.
32
Gambar 4. Arus Uang Melalui Perekonomian
Pemerintah memperoleh pendapatan dari rumahtangga dan perusahaan atas
pembayaran pajak. Pendapatan pemerintah tersebut kemudian dikeluarkan
sebagian untuk membeli barang dan jasa, serta untuk transfer ke rumahtangga.
Jika pengeluaran pemerintah ternyata lebih banyak dari pendapatan, pemerintah
akan meminjam dari pasar keuangan untuk menutupi defisit tersebut.
Bigstein (1992) dalam Varina (2000) menyatakan bahwa berdasarkan
claims concept (konsep tuntutan) dari Hicks, pendapatan sama dengan jumlah uang
yang dapat dibelanjakan oleh seseorang atau satu keluarga selama kurun waktu
tertentu, sementara nilai kekayaannya tetap utuh. Jumlah ini harus sama dengan
jumlah penerimaan, keuntungan dari penjualan aktiva, nilai tunjangan tambahan
dan produksi untuk konsumsi keluarga dan sewa yang diperoleh. Oleh karena itu
Gemmell (1994) menyebutkan bahwa dalam prakteknya untuk mengukur
pendapatan paling tidak harus ada empat pendekatan yaitu, (1) pendapatan bruto,
33
(2) pendapatan sesudah dipotong pajak, kemana transfer dapat ditambahkan, dan (3)
pendapatan yang dapat dibelanjakan. Setelah konsep pendapatan ditetapkan,
berikutnya kita bicarakan mengenai distribusi pendapatan. Pembicaraan mengenai
distribusi pendapatan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi
pendapatan fungsional atau distribusi balas jasa, dan distribusi pendapatan antar
rumahtangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan
pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya
antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini
mengacu pada teori keseimbangan Neo-klasik, yang diturunkan dari solusi pasar
persaingan sempurna (Yotopoulus and Nuggent, 1976).
Pada prinsipnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat
dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi, contohnya sebagai berikut.
Y = f (K , L) .................................................................................................. (2.27)
dimana Y adalah output fisik, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Melalui
derivasi persamaan 2.37 kita akan memperoleh produk marginal faktor produksi
tenaga kerja (MPL) dan produk marginal faktor produksi kapital (MPK). Dengan
mengetahui besamya MPL dan MPK akan dapat ditentukan pembagian pendapatan
atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut harga
pasar. Gambar 5 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi
pendapatan dengan pendekatan fungsional.
Diasumsikan
hanya
ada
dua
faktor
produksi,
yaitu
modal
dan
tenaga kerja. Dengan kurve penawaran tenaga kerja Neo-klasik, SL, dan kurve
permintaan tenaga kerja, DL, maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga
kerja adalah sebesar OW, dan tingkat pekerjaan sebesar OL. Jumlah output nasional
digambarkan dengan daerah OREL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam
dua bagian, yaitu: OWEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE
34
merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan
nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal
Gambar 5. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional
Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada asumsi
yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempurna, motif
mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempurna. Asumsiasumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya
sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990).
Berikutnya adalah distribusi pendapatan rumahtangga. Disini distribusi
pendapatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan absolut
atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan
dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu
tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah
penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan
distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima
35
oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai
distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi
pendapatan relatif. Misalkan, 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima
17 persen dari jumlah pendapatan. Baik jumlah pendapatan yang diterima maupun
jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Esmara,
1996).
Selain distribusi pendapatan antar rumahtangga, distribusi pendapatan relatif
dapat juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber
pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau menurut jenis
pekerjaan. Meskipun distribusi antar perorangan atau rumahtangga adalah salah satu
yang terpenting ditinjau dari segi kesejahteraan, klasifikasi lain mungkin lebih
penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994).
Kakwani (1987) dalam studinya tentang distribusi pendapatan di Australia
membedakan unit penerima pendapatan menjadi tiga yaitu, individu, keluarga dan
rumahtangga. Menurut Sutomo dan Sulistini (1987) penerimaan individu maupun
rumahtangga dapat bersumber dari, (1) pendapatan dari faktor produksi tenaga kerja
berupa upah, gaji dan keuntungan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari usaha
rumahtangga yang tidak berbadan hukum, (2) pendapatan yang bersumber dari faktor
produksi bukan tenaga kerja, yaitu pendapatan dari harta kekayaan yang meliputi
bunga, sewa dan deviden, dan (3) transfer (hibah) yang diperoleh dari rumahtangga
lain, dari perusahaan dari pemerintah dan dari luar negeri.
Pendapatan yang diperoleh individu dan rumahtangga atau keluarga dapat
berupa pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja, transfer, warisan, hadiah dan lain
sebagainya. Pendapatan yang diperoleh ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan
guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.
36
Menurut Gittelman dan Joyce (1999) pendapatan yang terbesar diperoleh
individu atau keluarga adalah pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja. Pendapatan
yang diperoleh dari pasar kerja antar satu individu dengan individu yang lain akan
berbeda-beda. Besarnya tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh produktivitas tenaga
kerja tersebut.
Pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama sekali
bila kita ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Untuk melihat
berhasil tidaknya suatu pembangunan ekonomi, belum dapat hanya diukur
berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita saja.
Apalah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita
meningkat, namun distribusi pendapatan timpang, dimana penduduk kaya yang
berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, sementara
penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit mengalami perbaikan
pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan seperti itu penduduk yang
merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi hanyalah penduduk kaya yang
jumlahnya sedikit, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih banyak tidak
mengalami perbaikan pendapatan.
Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) distribusi pendapatan institusional atau distribusi pendapatan personal adalah
distribusi pendapatan yang terjadi antar institusi maupun antar kelompok
rumahtangga, dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan
faktorial adalah distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi.
Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran
37
yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan
dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah
penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima
oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari
kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja,
keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses
produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau
kelompok masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal
(Semaoen, 1992).
Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat,
dapat berupa: (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor
produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa dan lain
sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain,
atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.
Selanjutnya
Todaro
(1991)
dan
Yotopolus
dan
Nugent
(1976),
menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi
pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis,
sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan
melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam
bentuk persentase kumulatif.
Sedangkan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan
faktorial menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing
faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya
pendapatan ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor
38
produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga pada faktor
produksi.
Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total
dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM,
ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan
dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi
pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan
kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor
produksi.
2.7. Kelembagaan dan Kebijakan Batubara Nasional
Penambangan batubara yang dilakukan dengan dua pola pengusahaan yaitu
KP dan PKP2B, menggunakan sistem bagi hasil dengan pemerintah dalam
memproduksi batubara (Gambar 6). Pemasukan kotor adalah hasil penjualan
batubara secara keseluruhan yaitu jumlah batubara yang dijual dikalikan dengan
harga batubara.
Pemasukan Kotor
DHPB
13,5%
Biaya Penjualan
Pemasukan Bersih
Pajak dan Iuran
(iuran tetap, Bea,
PPN, PBB, dll)
Biaya-biaya
Pendapatan Kena Pajak
Pajak Badan
Pendapatan Bersih
Kontraktor
Pemasukan
Negara
Gambar 6. Sistem Bagi Hasil Produksi Batubara
39
Sedangkan pemasukan bersih adalah pemasukan kotor yang dikurangi biaya
penjualan dan DHPB1 13.5 persen Sedangkan biaya penjualan adalah seluruh
biaya yang terkait dengan penjualan batubara, seperti biaya transportasi, biaya
pemasaran yang dilakukan pihak ketiga, dsb. Dalam skema sistem bagi hasil
tersebut menjelaskan bahwa penerimaan negara diperoleh dari beberapa sumber
hasil kegiatan produksi batubara yang terdiri atas DHPB/royalty, pajak dan iuran,
dan pajak penghasilan. Hampir semua kontrak PKP2B secara umum mengikuti
pola bagi hasil seperti yang telah disajikan dalam skema di bawah ini. Yang
membedakannya adalah ketentuan-ketentuan rinci mengenai biaya, tarif dan pajak
dari masing-masing generasi kontrak.
Berdasarkan peraturan perimbangan pusat dan daerah, semua royalty yang
harus dibayar oleh perusahaan pertambangan disetorkan ke pemerintah pusat
dalam hal ini Departemen Keuangan. Sebanyak 20 persen bagian dari royalty
untuk pemerintah pusat, 80 persen sisanya dibagikan kepada daerah dengan
ketentuan: 16 persen untuk pemerintah propinsi, 32 persen, kabupaten penghasil
dan sisa 32 persen lagi dibagikan kepada semua kabupaten yang ada dalam
propinsi tersebut2. Akan tetapi, dalam pelaksanannya, mekanisme tersebut masih
sering menimbulkan persoalan. Hingga saat ini pihak Kementerian Keuangan
belum bisa mengeluarkan suatu mekanisme pembagian royalty tersebut dalam
jadwal yang jelas dan pasti, sehingga pemerintah daerah propinsi dan kabupaten
tidak tahu secara pasti kapan menerima royalty dari hasil tambang tersebut3.
1
DHPB merupakan bagian pemasukan pemerintah (Negara) non pajak di dalam kontrak karya,
sedangkan dalam kontrak miner al disebut sebagai royalty atau iuran produksi.
2
Berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam perimbangan keuangan pusat -daerah
3
Sistem dari peserta dari Departemen Kuuangan dalam workshop persoalan regulasi di sector
pertambangan yang diadakan oleh Tim Konflik Pertambangan LIPI, Hote l Maharaja Jakarta 15
Juli 2004.
40
Seperti yang terjadi pada kasus penambangan batubara di Kalimantan
Selatan, alokasi dana royalty sebesar 13.5 persen yang diserahkan PT. Arutmin
kepada pemerintah pusat, sebelum dibagikan kepada pemerintah daerah sudah
mengalami banyak kendala. Salah satu dari keluhan yang disampaikan pihak
daerah adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas atas jumlah dana royalty
yang harus diberikan kepada pemerintah daerah.
Sektor pertambangan batubara sampai saat ini telah berhasil dalam
menunjang kebijakan energi nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya
pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik
kertas, industri kimia, dan industri kecil, serta bagian kecil di rumahtangga dalam
bentuk briket batubara. Di samping peranan batubara yang cukup besar, maka
tetap juga harus di jaga dan dijamin ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan
akan energi di dalam negeri selama dan ekonomis mungkin. Oleh karena itu,
pengolahannya perlu dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan sinergi
dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.
Batubara
adalah
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
komoditas
pertambangan umum, sekaligus merupakan sumber energi primer yang sangat
penting. Oleh karena itu, kebijakan dan pengembangan batubara, selain mengacu
kepada kebijakan pertambangan umum terutama dalam hal pengelolahannya
sebagai
sumberdaya
mineral
yang
efisien
dan
berkelanjutan,
dalam
pemanfaatannya juga perlu mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Kedua kebijakan tersebut harus saling menunjang untuk mencapai sinergi
yang maksimal. Dengan kebijakan pertambangan umum diharapkan akan
dihasilkan pelaku pertambangan yang handal di hulu (pertambangan batubara)
41
melalui good mining practices, perlindungan lingkungan, dan commodity
development. Sedangkan di bagian hilirnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari KEN, yakni ditunjukkan terutama untuk menjamin pengadaan
energi bagi kebutuhan dalam negeri selama mungkin, ekonomis mungkin, dan
dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
Kebijakan Batubara Nasional (KBN) tertuang didalam Kepmen ESDM No.
1128/40/MEN/2004 tanggal 23 Juni 2004. Melalui KBN ini diharapkan dapat
tercipta iklim yang mendukung tercapainya sasaran yang sesuai dengan strategi
serta program pengembangan Batubara. KBN secara umum berisi 4 (empat)
kebijakan, yaitu :
1.
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Batubara
a. Mereposisikan kembali status batubara sebagian bahan galian strategis.
b. Membantu pembangunan sistem prasarana batubara nasional
c. Melakukan tindakan hukum terhadap PETI.
2.
Kebijakan Pengusahaan
a. Mengupayakan terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif dan
kompetitif
b. Memberikan kepastian usaha secara adil kepada investor
c. Mengintensifkan pencairan batubara
3. Kebijakan Pemanfaatan
a. Mengarahkan dan mendorong penganekaragaman pemanfaatan dan
teknologi batubara bersih.
b. Memberikan perhatian lebih khusus kepada litbang dan investasi di bidang
42
pemanfaatan lignit dan Coal Bed Methane.
c. Membangun Pusat Teknologi Pemanfaatan Batubara
4. Kebijakan Pengembangan :
a. Mendorong pengembangan pemanfaatan batubara peringkat rendah,
penambangan bawah tanah, pemanfaatan Coal Bead Methane, dan PLTU
Mulut Tambang.
b. Meningkatkan teknologi pemanfaatan batubara bersih dan mengurangi
dampak terhadap lingkungan.
c. Mengintensifkan kegiatan penelitian dan pengembangan batubara.
Kebijakan Energi Nasional (KEN)
Kebijakan Energi Nasional (KEN) dikeluarkan melalui PP No. 5 Tahun
2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun
1998 yang mempunyai tujuan utama untuk menciptakan keamanan pasokan energi
nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, dengan
sasaran tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1, dan terwujudnya baruan
energi yang optimal pada tahun 2025. Untuk itu ketergantungan terhadap satu
jenis sumber energi seperti BBM harus dikurangi dengan memanfaatkan sumber
energi alternatif seperti batubara.
Kebijakan yang diambil didalam pengembangan batubara untuk mencapai
baruan energi pada tahun 2025 lebih dari 33 persen adalah4.
1.
Meningkatkan akses batubara, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk
mendorong pengembangan batubara peringkat rendah di dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan energi melalui pengembangan PLTU Mulut Tambang.
4
Suherman Ijang, Triswan Suseno, dkk. 2006. Kajian Batubara Nasional.tekMIRA. Jakarta:
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
43
2. Meningkatkan
diversifikasi
pemanfaatan
batubara
melalui
program
pembakaran langsung, pengembangan briket batubara, pencairan batubara,
gasifikasi, up grading batubara, dan pengembangan Coal Bed Methane,
dengan memperlihatkan faktor lingkungan.
3. Meningkatkan daya tarik investasi melalui restrukturisasi peraturan,
pembangunan sarana dan prasarana terpadu terutama pada daerah yang
terisolasi dengan pemberian sistem insentif.
INPRES No. 2 Tahun 2006 Tentang Pencairan Batubara
Disamping Kebijakan Batubara Nasional dan KEN, pemerintah juga telah
mengeluarkan kebijakan lain dalam rangka penyediaan bahan bakar yaitu
pencairan batubara yang dituangkan di dalam Inpres No. 2 Tahun 2006. hal
penting yang terdapat didalam peraturan tersebut adalah :
1. Perlu adanya jaminan ketersediaan batubara yang dicairkan serta jaminan
kelancaran dan pemerataan distribusinya.
2. Perlu adanya kebijakan insentif untuk batubara yang dicairkan.
3. Menetapkan standar dan mutu batubara cair.
4.
Menetapkan sistem dan prosedur pengujian batubara cair.
5. Menetapkan tata niaga batubara yang dicairkan.
6. Mendorong pelaku
usaha
di
bidang
pertambangan
batubara
untuk
menyediakan bahan baku batubara yang dicairkan.
Rencana Undang-undang Mineral dan Batubara saat ini juga telah dibuat
pemerintah sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut sudah tidak
sesuai lagi terutama dengan perubahan lingkungan strategis, serta hakekat
44
pembangunan pertambangan saat ini dan pada masa mendatang yang menurut
keterbukaan, penerapan HAM (dalam arti luas partisipasi daerah), demokra tisasi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan perlindungan
lingkungan hidup yang lebih ketat.
RUU Mineral dan batubara ini dibuat untuk menghadapi tantangan ke depan
yang sifatnya eksternal maupun internal. Tantangan eksternal yang akan dihadapi
seperti: tuntutan terhadap adanya kepastian hukum, stabilitas politik dan ekonomi;
tuntutan lingkungan hidup; tumpang tindih; masalah kebijakan investasi; pajak
(tax holiday), agar kondusif dan kompetitif terhadap rezim investasi internasional,
kemungkinan pengurangan royalty; serta Otonomi Daerah yang memerlukan
proses transisi, antisipasi bentuk organisasi di tingkat pusat. Sedangkan tantangan
internal antara lain: masalah faktor lokasi; land access dan isu lingkungan (
potential polluter); resiko investasi yang tinggi dan fluktuasi harga pasar; masalah
slow yielding yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan
keuntungan serta masalah
keterdapatan endapan bahan galian yang mudah,
umumnya telah diketahui dan dieksploatasi sehingga yang tersisa adalah endapanendapan yang sangat sulit.
Akan tetapi proses pembahasan RUU Minerba sampai saat ini belum ada
ketepatan yang jelas dari pemerintah, karena masih banyak terdapat kepentingan
yang harus dipertimbangkan. Terdapat dua isu utama yang menjadi perdebatan
dalam bahasan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) di dalam panitia kerja. Isu
pertama menyangkut usulan yang menginginkan adanya semacam bentuk kontrak
karya untuk mengakomodasi kepentingan investasi tambang dalam jumlah besar.
Sementara sesuai dengan amanat UU Otonomi Daerah, kewenangan pengelolaan
45
tambang tidak lagi dipegang pemerintah, tetapi diserahkan kepada pemerintah
kabupaten dan kota. Sedangkan isu kedua mengenai aturan peralihan, dimana
seluruh kontrak pertambangan yang telah ada harus sesuai pada UU baru tersebut.
Di samping itu, pada RUU Minerba pengelolaan tambang tidak lagi
mengenal istilah kontrak, yang ada hanyalah izin. Terdapat dua jenis perizinan,
yaitu izin usaha pertambangan (IUP) yang menyangkut seluruh regional terbuka
secara umum dan izin kuasa pertambangan (IKP) yang mengatur usaha
pertambangan di regional yang termasuk pencadangan negara. IUP bersifat lebih
khusus dan akan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Jika istilah
kontrak mengacu pada kesepakatan bersama antara dua pihak, maka dengan rezim
perizinan posisi pemerintah di atas investor.
Adanya rezim perijinan tersebut tentunya akan lebih menguntungkan bagi
pemerintah kabupaten dan kota. Sebab, perizinan bakal menjadi sumber
pendapatan baru lagi bagi daerah. Apabila RUU Minerba disahkan, maka 440
kabupaten dan kota di Indonesia berhak mengeluarkan izin pertambangan. Akan
tetapi, kewenangan pemerintah kabupaten dan kota dalam mengeluarkan izin
pertambangan, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru.
Kemudian, RUU Minerba yang saat ini masih dalam proses pembahasan,
belum menyentuh aspek-aspek dampak aktivitas tambang terhadap lingkungan
dan sosial masyarakat. Padahal bahan tambang merupakan sumberdaya alam yang
tidak terbarukan dan memiliki daya rusak yang berdampak langsung maupun
tidak langsung terhadap manusia dan sumberdaya alam, terutama tanah, air dan
biodibersitas. RUU Minerba tersebut dirancang terkesan hanya untuk menarik
investor dalam mengeksploatasi bahan tambang tanpa disertai jaminan
perlindungan terhadap keselamatan rakyat dan berkelanjutan pelayanan alam di
46
lokasi-lokasi pertambangan. Dalam RUU tersebut tidak dicantumkan mengenai
pengaturan penyelesaian sengketa rakyat dan pemulihan lingkungan pada lokasi
tambang yang sedang berjalan mau sudah tutup.
Masih banyaknya persoalan pada RUU Minerba yang menjadi perdebatan
dalam panitia kerja, tentu saja dapat menyebabkan menurunnya minat investor
pertambangan. Misalnya, adanya perubahan sistem kontrak karya pertambangan
menjadi
izin
usaha
pertambangan,
sehingga
investor
atau
perusahaan
pertambangan harus berurusan langsung dengan pemerintah daerah sebagai pihak
yang berwenang mengeluarkan izin sesuai dengan peraturan otonomi daerah.
Padahal selama ini model kontrak karya pertambangan sudah menjadi bentuk
baku yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu, investor tidak ingin kontrak yang
sudah berjalan, beberapa tahun kemudian tiba-tiba berubah karena ada perubahan
peraturan tersebut, sehingga biaya perusahaan yang harus dikeluarkan akan
bertambah.
Apabila persoalan dalam pembahasan RUU Minerba ini tidak segera
diselesaikan, tidak hanya investor saja yang dirugikan, melainkan keberkelanjutan
sektor pertambangan khususnya batubara dikhawatirkan tidak dapat berlangsung
lama hingga beberapa generasi yang akan datang sehingga negara akan
mengalami kerugian yang cukup besar. Menanggapi RUU Minerba, sebaiknya
dalam RUU tersebut tidak hanya membahas atau memperdebatkan masalah aturan
–aturan mengenai perijinan dan perjanjian kontrak saja, melainkan dijelaskan pula
mengenai aspek lingkungan dan sosial ekonomi sebagai dampak aktivitas
tambang bagi kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu sektor
pertambangan akan berlanjut (sustainable) apa bila usaha tambang tersebut
47
memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi
masyarakat. Terkait dengan masalah tanggung jawab moral suatu usaha, saat ini
DR telah mengesahkan Rancangan Undang–undang tentang Perseroan Terbatas
(RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No. 1/1995.
dalam salah satu pasal RUU tersebut yakni pasal 74 ayat 2 yang menyatakan
bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan
yang
dianggarkan
dan
diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Artinya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewajibkan penerapan
Corporate Social Responsibility (CSR) bagi industri yang berkaitan dengan
ekstraksi sumberdaya alam termasuk industri tambang batubara5. Meskipun RUU
Masih mendapat reaksi penolakan dari sejumlah kalangan pengusaha, namun
konsep CSR sangat diperlukan karena CSR bukanlah sebuah bentuk belas kasihan
perusahaan terhadap masyarakat, melainkan sebuah tanggung jawab moral dan
sosial. Apabila program ini dilakukan secara benar maka akan menciptakan
masyarakat mandiri (independen) dari sifat ketergantungan serta menghindarkan
konflik masyarakat dan perusahaan. Penerapan CSR dapat membantu masyarakat
disekitar perusahaan tambang untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan perusahaan. Hal ini dapat membuat masyarakat sekitar merasakan
manfaat keberadaan perusahaan, sehingga hubungan yang harmonis antara
masyarakat dan perusahaan akan tetap terjaga.
5
Dikutip dari Tulisan Lesmana (2007). CSR Untuk Kesejahteraan Rakyat dalam OPINI Media
Indonesia, 24 Juli 2007.
48
2.8. Studi Empirik Dampak Ekonomi Pertambangan di Indonesia dan
beberapa Negara Penghasil Tambang
Analasis Dampak Ekonomi Pertambangan di Indonesia pernah di lakukan
oleh Lembaga Penelitian dan Penyelidikan Ekonomi Masyrakat (LPEM)Universitas Indonesia. Beberapa Lokasi dan perusahaan tambang yang menjadi
wilayah penelitian adalah:(1) perusahan tambang Kaltim Prima Coal (KPC) di
Kalimantan Timur, (2), PT. Inco, perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan,
dan (3) PT. Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang konsentrat tembaga,
perak dan emas di Papua. Berikut adalah rangkuman dari hasil penelitian
dimaksud.
Pada studi kasus perusahaan tambang KPC di Kalimantan Timur, tercatat
bahwa kontribusi perusahaan tambang KPC terhadap pemerintah cukup besar
(royalty 13.5 persen dari hasil penjualan bersih), pada tahun 2000 mencapai Rp.
123 miliar, kemudian tahun 2001 meningkat menjadi Rp. 177 miliar. Dengan total
penerimaan Kutai Timur yang mencapai Rp 584 miliar pada tahun 2001, maka
nilai kontribusi KPC terhadap kas Pemda Kutai Timur pada tahun yang sama
berkisar 30 persen yang merupakan jumlah yang cukup signifikan terhadap
penerimaan daerah. Kontribusi KPC lainnya terhadap Kas Pemda adalah dalam
bentuk Land-Rent, yang jika lahan yang dieksploitasi KPC mencapai 91 000 ha
maka total land-rent yang harus dibayar adalah sejumlah 91 ribu USD atau sekitar
Rp. 804.44 milyar. Dengan sistem bagi hasil yang baru maka bagian Pemda Kutai
Timur dari Land Rent adalah sekitar Rp 515 juta.
Berdasarkan perhitungan dari Tabel Input Output Kaltim tahun 1995,
diperoleh output multiplier total akibat pertambangan Batubara KPC sebesar
1.878, artinya dari setiap milyar nilai ekspor batubara yang diproduksi KPC akan
49
menciptakan output perekonomian di semua sektor ekonomi di Kaltim senilai
1.878 milyar rupiah. Selanjutnya, berdasarkan angka income multiplier yakni
sebesar 1.551, artinya dari setiap juta rupiah gaji dan upah para pekerja KPC,
dapat mendorong pembentukan pendapatan masyarakat di seluruh Kaltim sebesar
1.551 juta rupiah
Studi kasus yang ke dua adalah PT.Inco, pada tahun 2001 kontribusinya
terhadap pembentukan PDRB Sulawesi Selatan adalah sebesar 12 persen.
Multiplier output dari sektor ini adalah 1.79, multiplier pendapatan 1.42 dan
multiplier tenaga kerja adalah sebesar 39. Kesempatan kerja yang timbul dari
kegiatan PT.Inco adalah sebesar 170 ribu kesempatan kerja. Sedangkan kontribusi
fiskal PT.Inco terhadap keuangan negara dari tahun 1998-2002 rata-rata sebesar
Rp. 120 miliar per tahun
Ketiga, adalah PT. Freeport, pada awal pelaksanaan Undang-undang tentang
Otonomi Daerah, PTFI telah menyumbang sekitar 0.83 persen total APBN
Indonesia, yang berasal dari Penerimaan Sumberdaya Alam, Pajak Dalam Negeri,
Pajak Perdagangan Internasional, deviden, serta berbagai pajak dan bukan pajak
lainnya yang dibayar PTFI. Melalui mekanisme Dana Perimbangan dari
Pemerintah Pusat ke Daerah, pada tahun yang sama PTFI telah memberikan
kontribusi fiskal secara langsung sebesar Rp. 75.5 miliar dan Rp. 115.9 miliar atau
masing-masing 8.9 persen dan 54.6 persen APBD Provinsi Papua dan APBD
Kabupaten Mimika. Dengan Otonomi Khusus, pada tahun 2001, Pemerintah
Pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika menerima masing-masing 48.10
persen. 3.71 persen dan 5.70 persen dari Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam yang
berasal dari PTFI. Kabupaten/kota non-penghasil konsentrat tembaga di Papua
50
menerima 6.60 persen dan sisa 34.72 persen lainnya dialokasikan kepada daerahdaerah di luar Papua.
Berdasarkan analisis input-ouput Papua tahun 1995, sektor pertambangan di
Papua memiliki multiplier kesempatan kerja sebesar 37.5, multiplier output
sebesar 1.6 dan multiplier pendapatan sebesar 1.3, bila dibandingkan dengan PT.
KPC dan PT. Inco, terlihat bahwa aktivitas pertambangan PT. Freeport
mempunyai dampak ekonomi yang lebih kecil.
Dampak ekonomi di Australia ternyata menunjukkan hasil yang lebih baik.
Berdasarkan hasil perhitungan tabel input-output diperoleh nilai multiplier output,
pendapatan dan tenaga kerja sektor pertambangan batubara masing-masing
sebesar 2.57; 3.92; dan 6.49. Disamping itu, Davidson and de Silva (2010), dalam
“Costing of The Greens’ Economic Policies: Mining” memberikan gambaran
tentang kebijakan hijau (green policy) di Australia yang terkait dengan kegiatan
pertambangan mineral pada umumnya dan batubara pada khususnya, kebijakan ini
akan menurunkan output perekonomian yang pada akhirnya berdampak pula pada
penurunan jumlah tenaga kerja dan pendapatan masyarakat pertambangan pada
khususnya.
Kebijakan
Green
Policy
menyatakan
bahwa
kebijakan
ekonomi
mensyaratkan penurunan produksi batubara dimasa mendatang. Seperti Kebijakan
tersebut tertuang dalam Natural Resources Policy dan Climate Change and
Energy, pemerintah Australia harus mengelola sumberdaya alam secara
terintegrasi dan pengurangan ketergantungan dengan energi yang bersumber dari
sumberdaya alam seperti batubara.
Buerau of Bussines & Economic Research, West Virginia University and
Centre for Business & Economic Researh, Marshal University (2010) melakukan
51
penelitian mengenai “The West Virginia Coal Economy 2008”. Tujuan penelitian
tersebut untuk mengidentifikasi dampak ekonomi pertambangan batubara di
WestVirginia. Berdasarkan multiplier input-output West Virginia tahun 2008
dapat diidentifikasi besarnya multiplier output sebesar 2.65; nilai tambah 1.46;
upah gaji sebesar 1.45; dan multiplier tenaga kerja 2.24. Dari besaran multiplier
tersebut diperoleh dampak pertambangan batubara terhadap pembentukan output
secara total sebesar $19,7 miliar, menciptakan pendapatan masyarakat sebesar
$2,8 miliar dengan jumlah lapangan kerja yang tercipta sebanyak 46 000 orang
serta menciptakan nilai tambah perekonomian wilayah sebanyak $5.93 miliar.
Salah satu isu kebijakan publik di West Virginia saat ini adalah consensus
perkiraan penurunan produksi batubara suatu wilayah, termasuk: pembatasan
emisi NOx dan SO2 di (CAIR); (CAFÉ) standar updated; (SMCRA), dan Bagian
401, 402, dan 404 dari Undang-undang Air Bersih. Berbagai peraturan yang
secara langsung atau tidak langsung yang terkait penanganan emisi gas rumah
kaca juga memiliki potensi untuk berpengaruh negatif terhadap produksi batubara
di West Virginia.
Download