BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A

advertisement
BAB II
PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA
A. Manusia Dalam Pandangan Islam
Kemunculan manusia di alam semesta merupakan suatu proses yang
panjang dan melelahkan, pada tarap tertentu ia tetap terikat pada dunia tempat ia
muncul dan menjadi bagian dari semesta tempat ia hidup. Dengan kata lain,
manusia mendapati dirinya dalam sebuah dunia dimana ia menghadapi berbagai
rintangan yang menghalangi kehendaknya. Namun, disamping itu, manusia
memiliki peluang untuk memilih, untuk tidak menyerah begitu saja pada apa yang
terjadi dan tersedia dihadapannya.1
Manusia yang menyandang atribut hayawan al-nathiq yakni “hewan yang
berpikir” dijadikan sebagai prinsip dasar eksistensi. Ibnu Khaldun melalui
Magnum Opus-nya al-Muqaddimah mengatakan bahwa; “manusia adalah
madaniyyun bi al-thaba yakni manusia yang bergantung pada tabiatnya.”
Didasarkan atas premis itu maka hakikat manusia menurut Isaiah Berlin
yaitu; “manusia menemukan kebebasannya, dimana ia dapat menentukan segala
sesuatunya sendiri. Sehingga berbagai upaya pun dilakukannya sendiri. Karena
bagaimanapun, manusia ingin menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai makhluk
yang berpikir, berkehendak hidup dan mampu bertanggung jawab atas pilihanpilihannya sendiri.”2
1
Erich Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Kamdani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 33.
2
Isaiah Berlin, Four Essay On Liberty: Empat Esai Kebebasan, terj. A. Zaim Rofiqi
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004) hlm. 244.
30
Secara kodrati manusia merupakan sebangsa binatang.3 Dia memiliki
banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia
memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya. Ada
ciri-ciri utama yang mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup
lainnya. Ciri-ciri ini, yang juga menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai
budaya manusia, berkaitan dengan dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.4
Ikhwan al-Shafa memberikan daftar hubungan analogis antara hewan dan
ciri-ciri watak manusia, yang dikutip oleh Sachiko Murata:
Hewan-hewan itu ada banyak jenisnya, dan mereka masing-masing memiliki ciri
yang berbeda dari yang lain. Manusia memiliki ciri-ciri yang sama dengan
mereka. Tetapi hewan mempunyai dua ciri yang mencangkup semua yang lain,
selalu mencari keuntungan dan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya.
Namun, beberapa hewan mencari keuntungan melalui kekejaman dan dominasi,
seperti para hewan pemangsa. Sebagian mencari melalui bujukan, seperti anjing
dan kucing. Sebagian mencari melalui kecerdasan, seperti laba-laba. Dan semua
ini ada pada manusia. Para raja dan sultan mendapatkan keuntungan melalui
dominasi, para pengemis melalui permintaan dan kerendahan hati, para seniman
dan pedagang melalui kecerdasan dan persahabatan.5
3
Mendefinisikan manusia sebagai “binatang berakal”, menurut Ibn‟ Arabî, adalah suatu
kekeliruan yang menyesatkan. “kemampuan berpikir” bukanlah sifat utama yang membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula.
Sifat yang menjadi ciri khusus manusia, yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain,
adalah “bentuk Ilahi”, “bentuk Tuhan” (as-shûrah al-ilâhiyyah). Dikutip dari, Kautsar Azhari
Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 139.
4
Pengetahuan dan keinginan binatang hanya melalui indera yang dimiliki, binatang
mengenal (mengetahui) dunia. Itulah sebabnya. Pertama, pengetahuannya dangkal.
Pengetahuannya tidak sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubunganhubungan internal yang terjadi dalam sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya parsial dan khusus, tidak
universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu),
karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya
terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Binatang
tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia. Karena itu, binatang tidak berpikir tentang
masa depannya, dan juga tidak merencanakan masa depannya. Dari segi pengetahuannya, binatang
tak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya, dan masa
sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari keempat bidang ini. Kalau saja secara kebetulan dapat
melewati batas-batas keempat bidang ini, itu terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena
kehendak dan pilihannya sendiri.Lihat, Murtadha Mutahhari, Manusia Dan Alam Semesta;
Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya. (Jakarta: Lentera, 2002), hlm. 2. Atau bisa lihat di www.alShia.org
5
Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S Nasrullah, (Bandung,
Mizan, cet. 6, 1998), hlm. 362.
31
Melalui kerja filsafat maka manusia senantiasa ditafsirkan dan
dirumuskan. Semua bagian pokok filsafat (ontologi, epistemologi, aksiologi,
teologi, kosmologi, dan sebagainya) mengulas tentang hakikat manusia. Makhluk
yang mengkategorikan sebagai manusia menurut Heidegger, apabila ia selalu
mempertanyakan ada-nya, kemudian memeriksa dirinya sendiri. Demikian pula
Socrates berpendapat bahwa “barang siapa yang tidak mempertanyakan dirinya
sendiri, maka ia tidak layak untuk menjalani hidupnya.” Manusia dikutuk untuk
bebas demikian jargon Jean-Paul Sartre. Kemudian Alkitab melihat manusia
sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang transenden dengan tujuan yang pasti
untuk kehidupan di dunia atau di akhirat. “Hakikat riil manusia adalah
keseluruhan hubungan-hubungan sosial,” tulis Karl Marx.
Mengenai persoalan-persoalan fundamental hakikat manusia ini begitu
banyak ketidaksepakatan. Jika kita tidak jernih memandang, maka akan jatuh
kepada sikap skeptis absolut. Sebab sebetulnya tidak ada hakikat manusia yang
esensial, kecuali potensi yang dibentuk oleh lingkungan sosial—oleh kekuatankekuatan ekonomis, sosial, politis dan kebudayaan.6 Demikian dengan filsafat
yang merupakan produk pemikiran manusia maka akan nampak rentan kesalahan
(fallacy). Pertanyaan kritisnya, layakkah kita mengaku sebagai manusia, jika tidak
mengoptimalkan potensi dalam diri. Pertanyaannya kemudian bagaimana Islam
memandang manusia?
6
Lihat, Leslie Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj.
Yudi Santoso & Saut Pasaribu, (Jogjakarta: Bentang, 2001), hlm. 3-4.
32
1. Definisi Manusia
Secara etimologi kata “manusia” dalam bahasa Inggris disebut “man”7
(asal kata dari bahasa Aglo-Saxon yaitu “mann”). Apa arti dasar dari kata ini
sebetulnya tidak jelas, namun pada dasarnya bisa dikaitkan dengan “mens” (latin),
yang berarti “ada yang berpikir”. Demikian halnya arti kata “anthropos” (Yunani)
tidak begitu jelas. Pada mulanya anthropos berarti “seseorang yang melihat ke
atas”. Akan tetapi sekarang kata itu di pakai untuk mengartikan “wajah manusia”.
Dan akhirnya, “homo” dalam bahasa Latin berarti “orang yang dilahirkan diatas
bumi”.8
Istilah manusia dalam Islam menurut Wan Moh. Nor Wan Daud bahwa
sebutan-sebutan manusia dalam bentuk tunggal digambarkan dengan kata al-Insan
yang disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur‟an, dan dalam bentuk plural (jama‟)
al-Nass masing-masing disebut sebanyak 248 kali, yang kesemuannya
menggunakan kata ma‟rifat, kecuali satu yakni yang terdapat dalam QS. al-Israa‟
ayat 17.9 Namun masih ada istilah lain yang terdapat dalam al-Qur‟an, menurut
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur‟an, ada tiga kata yang
digunakan dalam al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia. Yakni, pertama
menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins,
7
Coba kita lihat kutipan diatas dari alkitab, Marx dan Sartre ketiganya memakai kata
maskulin „man‟ (dalam terjemahan Inggrisnya), yang barangkali dimaksudkan untuk merujuk pada
„semua umat manusia‟, termasuk wanita dan anak-anak. Pemakaian istilah ini masih dianggap
paling cocok sehingga dipertahankan, namun belakangan ini dikritik, sebab mendukung asumsiasumsi yang rapuh akan dominasi hakikat manusia yang bersifat maskulin sehingga konsekuansi
logisnya berakibat menindas hakikat manusia yang bersifat feminin. Leslie Stevenson & David L.
Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, hlm. 4.
8
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 256-257.
9
Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, (Surabaya: Terbit Terang, tanpa
tahun), hlm. 9-10.
33
nas, atau unas. Kedua, menggunakan kata Basyar. Dan ketiga, menggunakan kata
bani Adam, dan dzuriyat Adam.10
Kata insân terambil dari akar kata “uns” yang berarti “jiwa harmonis”, dan
“tampak” pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur‟an lebih tepat dari
yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nâsa-yanûsu
(berguncang). Kata insân, digunakan al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia
dengan segala totalitasnya, jiwa, dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.11
Dalam uraiannya Quraish Shihab lebih mengarahkan pandangannya secara
khusus pada kata basyar dan kata insân. Kata basyar terambil dari akar kata yang
pada mulanya berarti “penampakan sesuatu dengan baik dan indah”. Dari akar
kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar
karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. alQur‟an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dalam bentuk
lahiriahnya serta persamaan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad
diperintahkan untuk menyampaikan bahwa; “aku adalah basyar (manusia) seperti
kamu yang diberi wahyu.” (Q.S, al-Kahf: 110)
Berbeda dengan Ali Syari‟ati yang mengkategorikan istilah insân yakni:
10
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, cet.2, 1996), hlm. 278.
Lihat, Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, hlm. 280. Bandingkan dengan pendapat
Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan dalam Filsafat Manusia, yang mengatakan bahwa; Manusia (alInsan) berasal dari akar kata “uns” yang berarti senang, jinak, dan harmonis, atau “nisy” yang
artinya lupa, atau “daus” yang artinya pergerakan atau dinamisme. Yakni yang disebut manusia
adalah makhluk yang memiliki potensi lupa, atau memiliki kemampuan untuk begerak yang
melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang,
harmonisme dan kebahagiaan pada pihak-pihak lain. Lihat, Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan,
Filsafat Manusia, hlm. 10.
11
34
Bahwa insân berarti seorang manusia dalam arti sebenarnya. Tipe manusia ini
berada dengan tipe manusia umumnya, memiliki karakteristik khusus yang
berlainan antara orang satu dengan orang yang lainnya, sesuai dengan tingkat
realitas atau esensinya. Jadi bila kita meyebutkan insân, kita tidak
memaksudkannya pada sebagian penduduk dunia pada umumnya yakni tiga
miliar makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua
manusia adalah insan. Namun mereka mempunyai potensi untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi dari kemanusiaan lain.12
Selanjutnya Ali Syari‟ati, dalam mengekspresikan manusia dalam istilah
Insan adalah manusia yang bergerak maju ketaraf menjadi (becoming) atau
menyempurna.
Menjadi
adalah
bergerak
maju,
mencari
kesempurnaan,
merindukan keabadian, tidak pernah menghambat atau menghentikan proses terus
menerus kearah kesempurnaan.13
Sedangkan kata basyar menurut Ali Syari‟ati, adalah manusia yang esensi
kemanusiaannya tidak nampak, aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanyalah
wujud (being) ia memang makhluk Allah SWT. Tetapi bukan hamba dan
khalifahnya, karena esensi kemanusiaan tidak tampak adanya.14
Pemakaian kata Basyar untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai
pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok
itu adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat
oleh hukum-hukum alamiahnya. Persentuhan laki-laki dengan perempuan atau
persentuhan seperti yang telah disebutkan terdahulu (Q.S. Ali Imron: 47) kata
Basyar juga mengartikan manusia pada umumnya (Q.S. al-Mudatsir : 25) tentang
penciptaan manusia (Q.S. al-Mushaad: 71-76) dan menjelaskan manusia
12
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, (PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996), hlm. 51.
13
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 51.
14
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 52.
35
semuanya akan mati (Q.S. Al-Anbiya‟: 34-35). Jadi bila manusia basyar ini,
dikatakan sebagai subyek kebudayaan memang benar, sebab segala aksinya
adalah kodrat alamiah.
Semetara itu, Dawam Raharjo menulis bahwa “tafsiran modern mengenai
manusia dalam al-Qur‟an telah melihat manusia sebagai makhluk dualistis, terdiri
dari jiwa dan badan. Kemudian Dawam mengutip perkataan Jalaluddin Rakhmat,
dalam suatu ceramah di Klub Kajian Agama di Paramadina, yang mengupas
perihal konsep antropologis dalam al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an manusia disebut
sebagai makhluk biologis yang disebut basyar, sekaligus juga disebut makhluk
rohaniah berikut karakteristik-karakteristik psikologisnya dengan sebutan insân.15
Islam selalu menilik manusia yang dikaitkan dengan kisah tersendiri. Di
dalamnya, manusia tidak bisa di tegaskan melalui distingsi dualitas tubuh-jiwa,
dan tidak mampu digambarkan semata-mata sebagai hewan tingkat tinggi, yang
berkuku pipih dan berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara dan berpikir.
Melampaui itu semua, menurut al-Qur‟an, manusia lebih luhur dan ghaib dari apa
yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut. Dalam al-Qur‟an manusia
berulang kali di angkat derajatnya. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam
surga, bumi, bahkan para malaikat; tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak
lebih berarti di bandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam
sekalipun. Pada akhirnya segalanya tergantung pada pilihan manusia itu sendiri.
15
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 263.
Bandingkan dengan konsep dualismenya Descartes melalui Adagium Je pense donc je suis atau
Cogito Ergo Sum Descartes telah meniscayakan distingsi antara „benda bertempat‟ (res extensa)
dan „benda berpikir‟ (res cogitans), atau substansi yang memiliki keluasan dan substansi yang
berpikir. res extensa teraktualisasi pada tubuh, sedangkan res cogitans teraktualisasi pada jiwa.
Dengan demikian, dualisme ini telah menegaskan keterpilahan antara tubuh dengan jiwa. Lihat,
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 12.
36
2. Asal Usul Manusia
Bagaimana awal mula manusia? Salah satu teori yang mengemukakan
asal-usul manusia yang sangat populer, yakni teori evolusi yang berpuncak pada
pemikiran Charles Darwin yang tertuang dalam magnum opusnya The origin of
Species. Berkenaan dengan persoalan kemunculan spesies manusia. Darwin
melontarkan klaim bahwa berbagai spesies dari jenis tumbuh-tumbuhan
dan
binatang bermunculan diakibatkan adanya proses evolusi yang terjadi secara
alamiah karena faktor-faktor alam. Dan proses ini banyak terjadi pada sebagian
besar individu suatu spesies. Perubahan yang terjadi pada individu-individu dari
satu spesies itu diwarisi dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam kondisi yang
mengharuskan dilakukannya penyesuaian diri dengan lingkungan dalam konteks
perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival of the fittest) kecendrungan
alamiah, dan menciptakan kelanggengan yang lebih baik, mendorong terciptanya
kondisi yang kondusif bagi munculnya spesies baru. 16
Teori ini, baik di zaman Darwin masih hidup maupun setelah
kematiannya, menjadi bahan kritikan dan perdebatan yang sangat serius.
Kalangan ilmuan semacam Edward J. Steele dan Reginald M. Gorczyski (pakar
imunologi) menyebut teori tersebut sebagai teori yang cacat bahkan harus ditolak
secara mutlak. Sebagian ilmuan lain, seperti Alfred Russel Wallace, menilainya
keliru, khususnya bila disangkut-pautkan dengan penciptaan manusia.17 Teori ini
16
Lihat, Mahmoud Rajabi, Horizon Manusia, (Jakarta: al-Huda, 2006), hlm. 93-94.
Meskipun jawaban terhadap sejumlah kritik yang dialamatkan kepada teori Darwin
datang dari para pembelanya, akan tetapi jawaban atas kritik-kritik tersebut belum memuaskan.
Sebagai contoh, Voltair Valas yang berbeda dari Darwin. Dia yang merumuskan sistematika tematema “seleksi alam” berkeyakinan bahwa jarak antara otak manusia dan monyet melebihi apa yang
dikatakan Darwin dan komunitas orang-orang pedalaman tidak dapat menghilangkan jarak
17
37
sekalipun telah melalui proses evaluasi dalam penerapannya serta ditelaah dari
sudut pandang arkeologi dan genetika, mustahil berubah menjadi teori yang
absolut dan permanen. Beberapa ilmuan juga telah menjelaskan bahwa secara
arkeologis, pencarian asal-usul keturunan manusia sama sekali tidak jelas.
Teori tersebut telah menciptakan atmosfer yang memunculkan perdebatan
antara pandangan Kristen dalam hal penciptaan manusia dan perspektif ilmu
pengetahuan modern. Imbasnya, sebagian pemikir atau ilmuan dengan keliru
menyimpulkan dari teori ini bahwa antara ilmu pengetahuan dan agama tidak
terdapat kesesuaian.
Namun Muhammad Iqbal mempunyai pandangan lain dalam memikirkan
persoalan utama dan memahami proses penciptaan manusia. Dalam persoalan
penciptaan manusia, Iqbal mencoba mensintesakan antara konsep Teistik dan teori
Evolusi. Sebagai seorang muslim Iqbal mmpercayai sepenuhnya bahwa Tuhan
memegang peranan vital dalam proses penciptaan manusia.
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu, Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah
itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (Q.S: al-Mukminuun:
12-15)
Berdasarkan ayat diatas Iqbal percaya bahwa manusia pertama lahir atas
kreasi Tuhan. Sedangkan dalam teori Evolusinya, Iqbal mengambil teori evolusi
tersebut. karena kekuatan otak mereka berbanding lurus dengan kemajuan otak individu modern.
Maka seleksi alam tidak akan dapa mengarahkan kekuatan otak manusia yang paling tinggi. Lihat,
Ian Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias
M, (Mizan, Bandung, 2005), hlm. 114-115.
38
yang diperkenalkan pertama kali oleh ilmuwan muslim yaitu Ibnu Djahiz (wafat
225 H) yang kemudian pendapatnya diperkenalkan oleh perkumpulan yang
bernama Ikhwan Al-Shafa, mengatakan bahwa; “Perubahan yang terjadi dalam
kehidupan awal adalah karena adanya perpindahan dari suasana sekitar.”18 Teori
ini kemudian lebih disempurnakan lagi oleh Ibn Maskawaih, bahwa evolusi terdiri
dari empat tahap, yaitu: evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan manusia.19
Berdasarkan pemahaman teori evolusi tersebut Iqbal merumuskan kembali
bahwa evolusi manusia berasal dari Allah sebagai creator awal yang suci menuju
ke manusia sebagai ciptaannya yang rendah, hal ini berbeda dengan teori evolusi
barat (Darwinisme) yang berasal dari sesuatu yang hina dan rendah (hewan)
menuju ke derajat yang tinggi (manusia). Konsep evolusi Iqbal ini juga
dipengaruhi konsep evolusi biologis Rumi yang menyatakan penciptaan manusia
itu tidak hanya bersifat metafisis tetapi juga konkrit seperti yang dinukilkan Iqbal
dari puisi Rumi, yaitu:
“ Mula-mula manusia lahir dalam tingkat alam benda,
Dan dari memasukkan alam tumbuhan
Bertahun dia hidup sebagai tumbuh-tumbuhan
Tak lagi ingat alamnya dahulu yang jauh berbeda
Dan ketika dari sana ia pun masuk ke alam hewan
Ia pu juga tak ingat keadaannya sebagai alam tumbuhan
Kecuali tinggal kesukaannya yang dirasakan ke alam tumbuhan
Terutama dimusim semi yang penuh bunga
Seperti kesukaan anak pada bundanya yang melahirkan
Dan tak tahu mengapa ia sukai buah dadanya
Sekali lagi, pencipta, yang agung memindahkan
Manusia dari alam hewan ke dalam insan
Sehingga dari tata alam demi tata alam
Ia pun pandai, bijak, dan perkasa seperti sekarang
Tentang jiwanya pertama sama sekali ia tak terkenang
18
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, terj. Ali Autah. Dkk,
(Jogjakarta: Jalasutra, cet. II, 2008), hlm. 200.
19
M.M. Syarif, Para Filosof Islam, (Bandung; Mizan), hlm. 88.
39
Dan sekali lagi ia akan menjelma dari jiwanya sekarang”.20
Telaah atas ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tentang penciptaan
manusia, menyuguhkan kesimpulan bahwa generasi manusia yang ada sampai
sekarang ini berasal dari sosok yang bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri
merupakan sebuah pengecualian; dia berasal dari tanah.
“Hai sekalian manusia, bertaqwa kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, dan dari
keduannya Dia memperkembangbiakan lelaki dan perempuan yang banyak.”
(Q.S. an-Nisa : 1)
Imam Ali mengilustrasikan penciptaan Adam melalui bahasa metaforis:
Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis, dan asam, yang
dicelupkan-Nya ke dalam air sampai menjadi murni dan mengadonnya dengan
uap lembab hingga merekat. Darinya, Dia membuat format (raga) dengan
lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian tubuh. Dia
memadukannya sampai mongering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang
diketahui. Kemudian Dia meniupkan kedalamnya Ruh-Nya sehingga dia beroleh
pola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang digunakannya,
anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang mengubah posisinya,
kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah, rasa dan bau,
warna dan jenis. Dia adalah campuran antara lempung berbagai warna, bahanbahan rekat yang saling berlawanan, yang aneka ragam, dan sifat-sifat yang
berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.21
Dalam
bukunya
Syarh
Al-Arbâin
Haditsan,
Imam
Khomeini
mengomentari tentang lafaz “Adam”, Al-Jauhari dalam Al-Shihâh, bahwa asal
katanya adalah A‟dama, mengikuti pola af‟ala. Kemudian, hamzah yang kedua
diganti dengan alif, dan dalam penulisan tentang harakatnya alif tersebut diganti
dengan wau. Bentuk jamaknya adalah Awâdim. Alasan kenapa bapak moyang
manusia disebut dengan Adam adalah karena beliau (Nabi Adam) adalah orang
20
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, hlm. 201.
Sayyid Syarif Radhi, Nahj Al-Balaghah: Mutiara Sastra Ali Edisi Khotbah, terj.
Muhammad Hashem (Jakarta: Al-Huda, 2009), Kotbah 1, hlm. 43.
21
40
yang berkulit kuning. Dalam ungkapan kebahasaan dikatakan, “Al-Adam min alnâs: al-asmar” (Adam dari manusia: maksudnya adalah manusia berkulit
kuning).22
Al-Qur‟an secara tegas mengemukakan bahwa penciptaan semua manusia
berasal dari sosok manusia.23 Manusia awal diciptakan dari tanah sementara
generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina (air mani).
Menurut al-Qur‟an, manusia diciptakan “dengan kedua tangan-Ku” (Q.S. Shad:
75) dan diterangkan lebih lanjut: Tuhan menciptakan Adam dari tanah liat selama
empat puluh hari sebelum Ia memberikan kepada Adam dan jiwa dan meniupkan
nafas-Nya sendiri kedalam tubuh Adam. (Q.S. Ibrahim: 29, Shad: 72). Baqli
menafsirkan:
“Itu berarti bahwa kehadiran-Nya pada Adam berlaku 40.000 tahun.” Ia
melanjutkan, wujud Adam adalah pencermin dari dua dunia itu, ditempatkan
dalam wujud manusia. Dan nanti akan Kami perlihatkan kepada mereka tandatanda kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Fushshilat:
53)24
Adam adalah prototif dari manusia sempurna, sebab dalam segala hal ia
adalah karya Tuhan yang sempurna, yang mewujud melalui tiupan nafas-Nya dan
dengan demikian ia hamper merupakan sebuah pencerminan yang memantulkan
22
Imam Khomeini, 40 Hadis: telaah atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlak, terj. Musa
Kazim (Bandung: Mizan, cet.2, 2009), hlm .776.
23
Pengertian yang sama juga terdapat dalam sejumlah ayat lainnya, seperti; Q.S. al-A‟raf:
189; QS. al-An‟am :98; dan Q.S. az-Zumar: 6.
24
Dikutip dari Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 138.
41
sifat-sifat Tuhan. Sebagaimana al-Qur‟an menyatakan, “Ia menciptakan Adam
sesuai dengan bayangan-Nya” („alâ shûratih).25
Lafaz „alâ shûratih” (sesuai dengan bentuk-Nya): al-shûrah adalah
gambar atau bentuk. Kita dapat mengatakan bahwa al-shûrah mempunyai arti luas
yang di dalamnya terdapat hal-hal yang sama. Kesamaan tersebut adalah
“kenyataan dan aktualitas sesuatu”. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu itu
mempunyai aktualitas tertentu (karakteristik khas). Berdasarkan ini, sesuatu dapat
disebut sebagai dzî al-shûrah (mempunyai bentuk, gambaran) dan karakteristik
khas, yakni al-shûrah (sosok, gambar, bentuk). Pemakaian istilah “bentuk” (alshûrah) dalam bahasa para filosof sebagai “hal-hal yang ada pada aktualitas
sesuatu” tidaklah bertentangan dengan pengertian harfiahnya. Pengertian filosofis
ini tidak bisa dikategorikan sebagai lawan dari pengertian teknis atau pengertian
khususnya.26
Ibnu Sina, dalam bukuny Al-Syifâ pada bagian metafisika mengatakan, “Shûrah
(bentuk) adakalanya diterapkan untuk menunjukan semua konfigurasi dan
tindakan suatu objek, baik yang bersifat tunggal ataupun tersusun, sedemikian
sehingga segenap gerakan dan aksiden („aradh, accident) objek itu disebut
dengan Shûrah. Shûrah (bentuk) juga dipakai untuk menunjukan unsur yang
mempertahankan keutuhan sesuatu secara aktual, sehingga pelbagai substansi
intrlektual dan aksiden tidak bisa disebut sebagai Shûrah. Istilah Shûrah juga
terkadang diterapkan untuk unsur yang menyempurnakan materi (mâddah),
sekalipun unsur itu tidak mesti bersifat aktual, seperti halnya kesehatan atau
25
Bandingkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq dalam kitab „Uyûn
Akhbâr Al-Ridhâ dengan sanadnya yang bersambung kepada imam Ali Al-Ridhâ, dari Husain ibn
Khald yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Al-Ridhâ, wahai putra Rasulullah, banyak orang
yang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, „Sesungguhnya Allah telah menciptakan
Adam sesuai dengan bentuk-Nya.‟ Beliau menjawab, semoga Allah mengecam mereka. Mereka
telah menmbuang bagian pertama hadis tersebut yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw
bertemu dengan dua orang laki-laki yang Sali mencaci. Beliau mendengar salah seorang diantara
mereka berkata kepada kawannya, „Semoga Allah memburukan wajahmu dan wajah orang-orang
yang mirip denganmu.‟ Selanjutnya, Al-Ridhâ berkata, „wahai Abdullah, hendaknya engkau tidak
berkata seperti itu kepada saudaramu sebab Allah Azza wa jalla telah menciptakan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya.‟ Dikutip dari, Imam Khomeini, 40 Hadis: telaah atas Hadis-hadis Mistis dan
Akhlak, hlm .776
26
Imam Khomeini, 40 Hadis…, hlm. 778
42
tujuan yang diinginkan oleh sesuatu secara alamiah. Shûrah juga dipakai untuk
merujuk pada spesies (nau‟), jenis (genus), differentia (faktor pembeda pada
suatu species) atau pada semua makna itu secara univokal. Keuniversalan konsep
universal yang terdapat pada Shûrah (bentuk) contoh-contoh partikular juga
adakalanya disebut dengan Shûrah (bentuk).27
Berkaitan dengan sejarah Adam yang tergolong dalam karya biografi
terdapat tiga unsur yaitu: unsur-unsur murni sejarah, unsur-unsur murni fiksi, dan
unsur-unsur murni sejarah digabung dengan unsur-unsur murni fiksi.28
Muhammad Iqbal melalui karyanya the Recognition of Thought in Islam
menuliskan bahwa sesungguhnya apa yang diidendifikasi sebagai Adam bukanlah
merujuk kepada bentuk individu manusia yang kongkret, tetapi Adam hanyalah
suatu konsep.
Memang dalam ayat-ayat yang membicarakan asal mula manusia pertama
sebagai makhluk hidup, al-Qur‟an menggunakan kata-kata “basyar”, atau
“insan”, dan bukan “Adam”, karena “Adam” dipergunakan al-Qur‟an untuk
menunjukan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi dengan
menghilangkan nama-nama yang disebutkan dalam Bibel, yakni Adam dan
Hawa. Kata Adam tetap digunakan, dan lebih digunakan sebagai konsep
ketimbang sebagai nama suatu individu manusia yang kongkret, penggunaan kata
ini bukannya tidak dipertanggungjawabkan dalam al-Qur‟an sendiri. Dalam ayat
“kami telah ciptakan kalian; kemudian Kami perlengkapi kalian, kemudian Kami
pun berkata kepada para malaikat, bersujudlah kalian kepada Adam.” (QS. alAraf: 11) 29
Adam yang ditafsirkan sebentuk daging menurut Iqbal merupakan mitos
atau dongeng, namun cara al-Qur‟an memperlakukan dongeng itu akan lebih jelas
apabila diperbandingkan dengan pemaparan kitab genesis (Bibel). al-Quran
membagi dongeng itu menjadi dua episode yang jelas berbeda: yang satu
menceritakan tentang apa yang secara sederhana digambarkan sebagai “pohon
27
Imam Khomeini, 40 Hadis…., hlm. 778
Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Sejarah Adam A.S,
dalam Jurnal Universitas Paramadina (Vol. 1 No. 3, Mei 2002), hlm. 225.
29
Muhammad Iqbal, Rekontruksi Pemikiran Agama Dalam Islam), hlm. 98.
28
43
pengetahuan” 30 dan yang lain tentang “pohon kekekalan” serta kerajaan yang tak
pernah “lapuk”. Episode pertama itu disebutkan dalam surah ketujuh dan episode
kedua dalam surah kedua puluh. Menurut al-Qur‟an, Adam dan istrinya,
disesatkan oleh Iblis yang tugasnya adalah menciptakan keragu-raguan di hati
manusia, mencicipi buah dari kedua pohon itu, sedang menurut perjanjian lama
manusia diusir dari taman firdaus segera setelah pembangkangannya yang
pertama, dan Tuhan lalu meletakkan di sebelah timur kebun itu malaikat bersama
sebuah pedang yang menyala-nyala, yang menghadap kesegala jurusan untuk
menjaga jalan menuju pohon kehidupan itu.31
Dalam bab kedua ayat 16 dan 17 Genesis tentang Adam, surga, dan pohon
terlarang, dikatakan bahwa:
Dan Tuhan Yahwe juga menetapkan perintah itu atas manusia: “engkau boleh
makan sepuasnya buah dari pohon yang ada di taman ini, tetapi engkau tidak
boleh makan buah dari pohon pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini.
Karena, jika engkau memakannya, engkau pasti akan mati.”
Di dalam pasal ketiga ayat 1 sampai kedelapan dikatakan:
Adapun ular inilah yang paling cerdik dari semua binatang di darat yang
dijadikan oleh Tuhan Yahwe. Ular itu berkata kapada sang wanita: “bukankah
30
Madame Blavatski yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang simbolisme
kuno, dalam bukunya yang bernama Secret Doctrine menyatakan bahwa bagi orang-orang kuno
pohon merupakan lambang rahasia bagi ilmu ghaib. Adam dilarang mencicipi buah dari pohon ini
jelas adalah disebabkan oleh keterbatasannya sebagai suatu ego, alat-alat inderanya, dan
kemampuan intelektualnya pada umumnya adalah sesuai bagi tipe pengetahuan yang lain, yakni
tipe pengetahuan yang mengharuskan perlunya tinjauan yang saksama serta yang hanya bisa
tersusun secara perlahan-lahan. Tapi setan membujuknya supaya memakan buah terlarang dari
ilmu ghaib itu sehingga Adam pun menyerah, bukan disebabkan karena asasnya ia lemah,
melainkan karena secara kodratnya ia tergesa-gesa (ajul), sehingga ia pun berusaha mencari jalan
pintas untuk memperoleh pengetahuan. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, cet.2,
2001), hlm. 101-102.
31
Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 98-99. Berbeda dengan pendapat
Annemarie Schimmel yang mengutip pendapat al-Hallaj, mengatakan bahwa; kejatuhan Iblis,
karena Adamlah. Tuhan sudah bermaksud mengutuknya. Dalam teori Hallaj, iblis menjadi “lebih
monoteis dari pada Tuhan sendiri.” Sebab kehendak Allah yang kekal ialah tak ada yang disembah
selain Allah dan Iblis menolak menghormati seorang makhluk ciptaan, sekalipun ada perintah jelas
dari Allah. Lihat, Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 246.
44
Tuhan telah berkata bahwa engkau tidak boleh makan segala yang ada di taman
ini?” mendengar pernyataan inisang wanita berkata kepada sang ular: “Kami
boleh makan buah-buahan dari pohon yang ada di tengah taman ini, tetapi
mengenai makan buah dari pohon yang ada di tengah ini, Tuhan telah berkata:
„Engkau tidak boleh memakannya, engkau tidak boleh menyentuhnya sekalipun,
kalau tidak engkau akan mati.‟ Mendengar hal ini, sang ular berkata kepada sang
wanita: “Engkau tidak mungkin mati, karena Tuhan tahu bahwa percis pada hari
engkau memakannya matamu akan terbuka dan engkau akan menjadi seperti
Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk.
Dengan demikian, sang wanitamelihat bahwa pohon itubaik dimakan dan tampak
indah dipandang mata. Ya, pohon itu menjadi tampak menggairahkan, maka ia
pun mulai memetiki buahnya dan memakannya. Setelah itu, ia juga memberikan
beberapa kepada suaminya dan ia pun mulai memakannya, lalu mata keduanya
terbuka dan mereka pun menjadi sadar bahwa mereka telah telanjang. Karena itu,
mereka menjalin dedaunan pohon ara dan membuatnya cawat (penutup pinggang
mereka).
Dalam pasal yang sama dikatakan:
Lalu Tuhan Yahwe mengusir dia dari taman Eden supaya mengusahakan tanah
dari mana ia diambil. 32
Sesuai dengan interpretasi tentang manusia, Tuhan dan dosa seperti ini,
kehendak Tuhan menginginkan agar manusia tidak memiliki pengetahuan tentang
yang baik dan buruk dan tidak menjadi sadar sepenuhnya. Pohon larangan adalah
pohon pengetahuan. Hadis mengajarkan bahwa pohon terlarang itu adalah sesuatu
seperti keserakahan, kerakusan, kesombongan, dan sebagainya, yang termasuk
dalam kehewanan manusia bukan dalam hakikat kemanusiannya.
Jadi konsepsi pertama tentang eksistensi manusia ialah epistemologi, yaitu
teori segala sesuatu mengenai pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya? Apa sumbernya? Untuk apa pengetahuan itu? Bagaimana memperoleh
pengetahuan yang benar? Lalu apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?.
32
Dikutip dari, Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama
(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 81-82.
45
Pengetahuan yang diperoleh Adam Sesungguhnya adalah keutamaan
hidup (arete). Keutamaan hidup yang merupakan ciri manusia berpengetahuan,
oleh Socrates disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, manusia tidak berbuat salah
dengan sengaja. Kedua, Ia berbuat salah karena ketidaktahuan. Ketiga, Tidak tahu
berarti bodoh, dan setiap tindakan yang berangkat dari kebodohan menuju ke arah
pengrusakan. Jadi kehancuran diri manusia lebih disebabkan oleh miskinnya
pengetahuan. Wajar jika kaum antropolog menyimpulkan bahwa manusia adalah
„binatang yang berpikir‟. Tatkala manusia sudah tidak menggunakan pikirannya,
saat itulah ia berhenti menjadi manusia. Manusia disebut manusia karena
pemberdayaan akal yang dimiliki.33
Ada versi pemaknaan lain perihal pohon yang disimbolkan sebagai hasrat
seksual. Allah memerintahkan Adam dan pasangannya (bukan istri, yang bernama
Hawa)34 untuk bersenang-senang dengan catatan tidak boleh mendekati pohon
(Walâ taqrabâ hâdzihi al-syajarata). Kata syajarah yang dimaksud bukanlah
pohon atau tumbuhan dalam arti sebenarnya. Ia adalah pohon simbolis yang
mengandung maksud hubungan seksual. Artinya kesenangan yang ditawarkan
kepada Adam dan Hawa jangan sampai melampaui batas yakni melakukan
hubungan seksual layaknya suami istri, sebab kalau itu dilakukan nanti akan
tumbuh bayi (metafora dari tumbuhan/pohon khuldi) padahal hubungan keduanya
belum terikat pernikahan. Sungguh lucu di dalam cerita klasik, diceritakan bahwa
33
Bayraktar Bayrakti, Eksistensi Manusia: Perspektif Tasawuf dan Filsafat Mengatasi
Problema Eksisensi Manusia (Jakarta: Perenial Press, 1996), hlm. 45.
34
Makna zawjah dalam (Q.S. al-Baqarah: 35) “sesunguhnya berpasangan” Contoh dari
makna berpasangan (barat/timur, kanan/kiri, bawah/atas, laki/wanita, suami/istri). Dalam kasus
Adam dapat dimaknai bahwa berpasangan (zawjah) bukan berarti suami istri, karena belum
dinikahi. Jadi Adam a.s. berpasangan maknanya ialah Adam laki-laki dan Hawa perempuan.
46
setelah makan buah „khuldi‟ tiba-tiba keduanya (Adam dan Hawa) bugil ketika
ketahuan Tuhan. Yang benar ialah mereka bermaksud melakukan hubungan
seksual ditandai dengan dilepasnya baju mereka, saat itulah Allah memberikan
teguran tegas yaitu keluar dari Surga.35
Seorang pemikir skolastik-Kristen yang bernama Agustinus, percaya yakni
Tuhan telah menjatuhkan kutukan abadi bagi manusia, hanya karena dosa Adam.
Dosa warisan ini diteruskan kepada seluruh anak keturunannya melalui tindakan
seksual, yang dicemari oleh apa yang disebut oleh Agustinus sebagai “berahi”.36
Kutukan yang mendiskriditkan sosok perempuan mendapat dukungan melalui
surat-surat Jerome yang isinya penuh dengan penghinaan terhadap perempuan
yang kadang-kadang terasa mengganggu. Tertullian telah mencela perempuan
sebagai sosok iblis penggoda, sebuah bahaya abadi bagi umat manusia:
Apakah engkau tidak tahu bahwa masing-masing dirimu adalah Hawa? Kalimat
Tuhan tentang jenis ini tetap aktual pada masa sekarang: rasa bersalah itu pun
harus tetap ada. Kalian adalah gerbang setan; kalian adalah pelanggar pohon
terlarang itu; kalian adalah pembangkang pertama hukum Tuhan; kalian adalah
penggoda Adam, yang iblispun tak cukup mampu untuk menaklukkannya. Kalian
dengan sembrono telah menghancurkan manusia, citra Tuhan. Akibat
pembangkangan-mu, bahkan putra Tuhan pun harus mati.37
Agustinus setuju: “apa bedanya,” tulisnya kepada seorang rekan, “apakah
dia ada wujud seorang istri atau ibu, dia tetap saja Hawa pengoda yang membuat
kita mesti waspada terhadap setiap perempuan”. Agustinus sangat heran mengapa
35
Lihat, Nazwar Syamsu, Al-Quran Tentang Al-Insan. Jakarta: Ghalia, 1970. Dikutip
dari, Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Sejarah Adam A.S, dalam
Jurnal Universitas Paramadina (Vol. 1 No. 3, Mei 2002), hlm. 228.
36
Berahi adalah hasrat irasional untuk mencari kesenangan pada makhluk semata,
bukannya pada Tuhan; ini dirasakan paling kuat dalam tindakan seksual, ketika rasionalitas kita
sepenuhnya terbenam oleh gairah dan emosi, tatkala Tuhan terlupakan dan makhluk-makhluk
saling cumbu tanpa malu terhadap satu sama lain. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm.
175.
37
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 176.
47
Tuhan mesti menciptakan jenis wanita: bukankah, “seandainya yang dibutuhkan
Adam adalah teman bercakap-cakap yang baik, akan lebih baik jika yang
dirancang adalah dua orang lelaki bersama-sama sebagai sahabat, bukan seorang
lelaki dengan seorang perempuan.38
Jika pendapat Agustinus diterima sebagai kebenaran; konsepsi kedua
tentang manusia menurut al-Qur‟an ialah prinsip kemerdekaan. Kemerdekaan
ialah tersedianya pilihan-pilihan yang ditentukan oleh individu masing-masing.
Maka tindakan pembangkangan Adam dan Hawa atas larangan Tuhan (melakukan
hubungan seksual) merupakan cermin prinsip kemerdekaan. Sekiranya Tuhan
tidak memberikan kemerdekaan, tentunya Adam dan Hawa mustahil melanggar
larangan Tuhan. Makhluk yang gerakannya ditentukan sepenuhnya seperti sebuah
mesin, tidak mungkin akan menghasilkan kebaikan. Karena itu kemerdekaan
adalah syarat mutlak adanya kebaikan, sehingga kesalahan Adam a.s. dan Hawa
yang dilakukan pertama kali tidak berdosa, mengapa? Karena dapat diketahui
adanya kebenaran, menurut Iqbal, bermula dari kesalahan. Hal tersebut dikuatkan
oleh pendapat Ibn‟ Arabî yang mengatakan bahwa “kejatuhan” Adam tidaklah
harus di jadikan sebagai kejadian yang negatif.39
Berbeda halnya dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), pemotretan kisah
Adam melanggar aturan Tuhan berupa terbujuk makan buah khuldi “syajarat alkhuld” mempunyai makna simbolik pula, namun bukan diartikan hubungan
seksual sebagaimana Nazwar Syamsu atau Agustinus. Dalam pandangan Cak Nur,
38
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 176-177.
Istilah ini dikenal dengan istilah teologi negatif. Coba lihat penelitian Muhammad AlFayadl yang sudah di bukukan dengan judul; Teologi Negatif Ibn‟ Arabi: Kritik Metafisika
Ketuhanan, (Jogjakarta: Lkis, 2012)
39
48
“syajarat al-khuld” bermakna tawaran hidup abadi, karena ujung ayat ditutup
dengan “mulk lâ yablâ” (Q.S. Thaha:120) yang berarti kekuasaan yang tak akan
binasa.40
Bibel mengutuk bumi sebagai tempat pembuangan Adam karena
pembangkangannya; namun al-Qur‟an malah menyatakan bumi sebagai “tempat
tinggal” manusia sebagai “sumber keuntungan” baginya dan untuk itu manusia
harus bersyukur kepada-Nya atas karunia yang telah Tuhan berikan kepada
manusia. Karena watak dasar manusia adalah pelupa, maka ia pun tidak sadar dan
lalai atas apa yang telah Tuhan anugrahkan kepada manusia. “Dan Kami telah
mendirikan bagimu bumi serta di dalamnya Kami berikan hal-hal yang
menegakkan kehidupan. Betapa kurangnya rasa terimakasihmu.” (Q.S. al-Araf:
10)
3. Tujuan Penciptaan Manusia
Kedudukan manusia sebagai hamba Tuhan tidak berarti sama sekali.
Dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa; manusia itu nyaris hilang lenyap kehilangan
kepribadiannya dan manusia itu bukan apa-apa, kecuali hanya alat belaka dalam
taqdir abadi. Para filsuf barat merumuskan konsepsi humanisme—manusialah
ukuran segalanya dan yang menentukan nasibnya sendiri. namun Islam tidak
memandang posisi manusia hanya sekedar alat belaka. Melainkan termaktub
maksud dan tujuan dalam penciptaan manusia.
Dalam Islam apa maksud Tuhan menciptakan manusia? “Sesungguhnya
Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:
40
Nurcholish Madjid, Teks Pidato Idul Fitri. Jakarta: Masjid Istiqlal, 2000.
49
“mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30) “Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Q.S. alAn‟am: 165) Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan
penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah
dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan. Dan yang dimaksud
dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang
dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia
mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih
tingkatan tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat
tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.
“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya,” (Q.S. Al-Maidah: 48,
dan Q.S. Hud: 4) “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu
dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan
menjumpai-Nya.” (Q.S. al-Insyiqaq: 6). Ayat di atas pun menempatkan manusia
sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber wujud.
Manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturanaturan al-Qur‟an pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu
perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu
apa makna dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?
Allah swt dalam salah satu ayat al-Qur‟an berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-
50
Tiin: 4), yaitu tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki bentuk dan
struktur lebih baik dari yang dimiliki oleh manusia, dan pada kelanjutan ayat
berfirman, “Kemudian Kami akan kembalikan ia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka)” (Q.S. at-Tîn:5), yaitu manusia yang memiliki sebaik-baik
bentuk ini akan Kami kirim ke tempat yang serendah-rendahnya. Kata “ahsan”
dan “asfal” keduanya bermakna “paling baik atau sebaik-baiknya” dan “paling
rendah atau serendah-rendahnya”.
Realitas ini merupakan dalil bahwa hakikat wujud manusia adalah tidak
terbatas, dengan makna bahwa dia mampu menjangkau tingkatan yang bahkan
lebih tinggi dari tingkatan para malaikat dan manusia juga bisa jatuh terjerumus
ke tingkatan paling rendah dan paling buruknya tempat yang dimiliki oleh
binatang dan setan.
Al-Qur‟an juga memberikan isyaratnya tentang dua perjalanan tak terbatas
ini pada ayat-ayat yang berlainan. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman,
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah;
orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun” (Q.S. al-Anfal:
22). Dan pada ayat yang lain tentang perjalanan lain, Allah berfirman, “Tahukah
kamu Apakah „Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh
malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)” (Q.S. al-Mutaffifin: 19-21).
Dalam islam, Manusia adalah makhluk yang mulia dibandingkan makhluk
hidup lainnya, demikian Allah berfirman:
Dan sesungguhnya telah kami muliakan Bani Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami
lebihkan kepada mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah kami ciptakan. (Q.S. al-Isrâ‟: 70)
51
Kemuliaan yang paling besar yang Allah berikan kepada manusia adalah
akal yang dapat membuat manusia dapat mengerti realitas tempat dia berpijak,
baik dalam dunia materi maupun metafisik. Dengan akalnya, ia mampu mengenal
dirinya, mengenal penciptanya, dengan cara memikirkan makhluk-makhluk-Nya
dan merenungkan setiap fenomena di jagad semesta. Jadi, bila manusia
memikirkan tentang dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa akal—
yang keberadaanya dapat dipastikan namun sulit untuk digambarkan—maka itu
merupakan petunjuk baginya atas adanya kreator agung, pengaturnya, dan
pembentuknya.
Agama Islam tidak menganggap manusia sebagai sebuah pita kosong yang
bisa diisi sesuka hati. Sebagaimana yang diimajinasikan oleh pemikir empirisme
barat. Al-Qur‟an telah memaparkan suatu pembahasan yang dimana dapat
diketahui dengan jelas bentuk pandangannya terhadap alat epistemology.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. an-Nahl: 78)
Dalam bukunya Man the Unknown, karya A. Carel menjelaskan tentang
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan
bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia
khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang
ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar
untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki pembendaharaan yang cukup
banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli
dibidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu
52
mengetahui beberapa segi tertentu daru diri kita. kita tidk mengetahui manusia
secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagianbagian tertentu, dan inipun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita
sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
mereka yang mempelajari manusia—kepada diri mereka—hingga kini masih
tetap tanpa jawaban.41
Apa yang diilustrasikan oleh A. Carel disebabkan karena keterbatasan
pengetahuan manusia tentang dirinya. Pembahasan tentang masalah manusia
sangat terlambat, sebab mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada
penyelidikan tentang alam materi yakni arcke—tatanan semesta. Bahkan alGhazali begitu pesimis memandang pengetahuan dan apa yang diusahakan
manusia dengan kemampuan berpikirnya, ilmunya, dan hikmahnya, manusia tetap
saja tidak mampu mengenal dirinya.
Ia tidak menggambarkan dirinya dengan dirinya sendiri dengan suatu gambaran
yang lebih dari pengakuan bahwa ia berserah diri kepada Tuhan yang
membuatnya dapat mengetahui-Nya dan mengakui bahwa ia tidak mengetahui
tentang dirinya, ia mengetahui dan dapat membedakan diantara kehalusankehalusan pengaturan, dapat membedakan rincian-rincian penciptaan, dapat
merenungkan perkara-perkara yang terjadi, dapat membayangkan dan
menggambarkan akibat-akibat sesuatu, serta dapat berbagai perkara yang
berbeda-beda. Ketidaktahuannya tentang diri dan pengetahuannya untuk
merenungkan dan membedakan sesuatu menunjukan bahwa ia adalah disusun,
diciptakan, dibentuk, diatur, dan dikuasai.42
Walaupun manusia memiliki hikmah dan pengetahuan, namun sebetulnya
ia lemah dan tidak berdaya. Ia ingin mengingat sesuatu, namun ia melupakannya;
walaupun ia mengetahui sesuatu, namun ia tidak tahu tentang hakikat dari apa
yang ia ketahui; ia ingin ingat dan menyadari sesuatu, namun malah lupa dan
melalaikannya. Semua ini menunjukan bahwa ia terkalahkan dan terkuasai oleh
keterbatasan diri. Maka dari itu, Allah menyempurnakan cahaya akal dengan
41
42
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, hlm. 277.
Abu Hamid Al-Ghazali, Hikmah Penciptaan Makhluk, hlm. 110.
53
mengutus para nabi yang memberi kabar bahwa realitas bukan sekedar yang
nampak melainkan ada realitas yang tidak tampak (baca ghaib). Seperti alam
akhirat yakni kehidupan sesudah di alam dunia. Akal manusia tidak diciptakan
untuk dapat melihat sesuatupun, yang dapat membuat manusia mengetahui
tentang ketentuan-ketentuan negeri tersebut. Cahaya-cahaya yang dibawa para
nabi dengan wahyu dari Allah, “menurut al-Ghazali,” bila dibandingkan dengan
cahaya akal adalah bagaikan cahaya matahari dibandingkan dengan cahaya
bintang.43
Kita mesti mengakui bahwa setiap sistem memiliki logika internalnya
sendiri, meskipun kita tidak bisa menerima asumsi-asumsi yang mendasari
bangunan sisem tersebut. Jika kita ingin mendekati pandangan islam mengenai
manusia, maka harapan semacam itu harus dikesampingkan.
Tak ada pola konsep yang konsisten—yang disusun oleh pikiran manusia
di dalam keterbatasannya sendiri. Pikiran manusia senantiasa berhadapan dengan
paradoks-paradoks dan ambiguitas yang inheren dalam dunia makhluk dan dalam
berbagai refleksi yang terpecah-pecah yang dicerap di dunia saat ini.44
Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai
proyeksi dimensi vertikal kedalam tataran horizontal. Dasar ajaran Islam tidak
mendikotomi antara wilayah eksoteris (kehidupan dunia) dengan wilayah esoteris
(kehidupan akhirat). Melalui instrumen akal manusia mampu mengetahui realitas
yang dia sendiri menjadi salah satu manifestasinya.
43
Abu Hamid Al-Ghazali, Hikmah Penciptaan Makhluk, hlm. 113.
Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le
Gai Eaton, Manusia, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 482.
44
54
Menurut Charles Le Gai Eaton, Secara potensial jika bukan secara aktual,
manusia lebih tinggi daripada para malaikat sebab hakikatnya mencerminkan
totalitas dan tidak dapat dipuaskan oleh apapun selain Yang Total.
Dalam diri manusia terdapat kutub positif dan kutub negatif dari eksistensi atau
identitas dalam pandangan islam.Kutub-kutub itu, baik yang positif maupun yang
negatif mungkin keliatannya tidak bisa didamaikan. Namun bagi seorang muslim,
kedua kutub itu mewakili realitas kongkrit dari situasi ini dan keduannya saling
memengaruhi satu sama lain seperti halnya positif dan negatif, cahaya dan
kegelapan, dalam figur Cina Yin-Yang. Kedudukan sebagai majikan—yaitu,
kualitas sebagai khalifah—berkaitan sangat erat dengan “kedudukan sebagai
hamba”. Dan “kedudukan sebagai hamba” itu tak lebih merupakan keunggulan
sebuah cermin jernih.45
Menurut
al-Ghazali,
segala
sesuatu
termasuk
makhluk
manusia
mempunyai “wajahnya sendiri dan wajah Tuhannya: dalam kaitan dengan wajah
Tuhannya sendiri ia adalah ketiadaan, dan dalam kaitan dengan wajah Tuhannya
ia adalah wujud”. Dari perumpamaan ini dapat ditarik pada dimensi yang lebih
jauh: makhluk yang melalui sosok ini berhadapan dengan dua cara yang berbeda,
konsekuansinya menjadi titik temu, menjadi jembatan. Hati manusia—yang dalam
Islam diidentifikasi sebagai seperangkat pengetahuan dan bukan sebagai
seperangkat emosi—kadang-kadang digambarkan sebagai barzakh (tanah
genting). Hati memisahkan dan sekaligus pula menyatukan “dua lautan”, yang
bersifat ilahiah dan yang bersifat duniawi. Berdasarkan fungsi inilah maka
manusia dapat didefinisikan sebagai khalîfah Allâh fi al-ardh, khalifah Allah di
bumi.46
45
Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le
Gai Eaton, Manusia, hlm. 484.
46
Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le
Gai Eaton, Manusia, hlm. 484.
55
Menjadi wakil Tuhan (vicegerance of God). Yaitu orang telah mencapai
tahapan eksistensial yang tinggi, karena seluruh hidupnya menggambarkan
kehendak Tuhan. Pada tahap ini manusia sudah mampu menyerap sifat-sifat
Tuhan kedalam dirinya, dan mengimplementasiakan dalam kehidupan sosialnya.
Seperti yang digambarkan Iqbal dalam sajaknya:
“Jika engkau dapat kuasai untamu, niscaya dunia kau kuasai
Di kepalamu akan berkilau singgasana sulaiman
Dirimu akan jadi cemerlang dunia, selama duia ini masih berkembang
Alangkah nikmatnya menjadi khalifah dimuka bumi ini
Segala unsur tunduk dan tekun padamu
Niyabat-i-ilahi adalah bagai jiwa alam semesta
Ujudnya jadi bayangan nama yang terluhur….”47
Bagi Iqbal manusia dalam tahap ini sudah mampu mendapat gelar khalifah
dibumi, dimana ego-nya (khudi) sejajar dengan ego Mutlak. Menjadi wakil Tuhan
merupakan wujud dari kepenuhan manusia menjadi dirinya yang sejati, menjadi
diri adalah mengaktualisasikan individualitasnya dalam kehidupan didunia,
sebagaimana tuhan menunjukkan dan memberikan asma‟ dan sifat individualitasNya kepada ciptaannya.
Sebagai khalifah Tuhan, menurut Iqbal, memiliki tugas yang cukup berat.
Yakni harus mampu menjadi seorang pembaharu untuk merubah keadaan zaman
dari keadaan gelap menuju suatu kondisi yang terang benderang dan sebagai
sahabat Tuhan insan dituntut untuk turut membantu dalam penciptaan yang belum
selesai.
Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa
berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam
menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara
47
Muhammad Iqbal, Rahasia Dan Tenaga Pribadi (asrar-i khudi), hal. 48-49.
56
dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan
yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih
tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh
karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan
kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin
dekat kepada Tuhan.
Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah
Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang
dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga
dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan
penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah
diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan
mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah
kesempurnaan mutlak.
Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya
bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada
dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan ini
pun memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih
panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan
kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.
Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam
lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang
57
diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih
“dekat” lagi kepada-Nya. Ledih dekat, melampaui urat leher.
B. Konsep Manusia Sempurna dalam Filsafat Islam
Konsep Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan
pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan
manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama
dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya
ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari
kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.48
Istilah Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) terdiri dari dua kata: alinsân yang berarti manusia dan al-kâmil yang berarti sempurna. Menurut
pandangan islam. Insan kamil adalah manusia teladan atau manusia ideal. Istilah
“sempurna”, menurut Murtadha Mutahhari tidak identik dengan kata tamâm
(lengkap), meskipun keduanya berdekatan dan mirip. Kata “lengkap” mengacu
pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana, seperti rumah atau masjid. Bila
sesuatu bagiannya masih kurang atau belum selesai, maka bangunan itu disebut
belum lengkap atau kurang lengkap. Akan tetapi sesuatu mungkin saja, namun
ada sesuatu lain yang yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat; itulah yang
disebut dengan kâmil (sempurna).49
Maka
dari
itu,
Mutahhari
menginterpretasi
bahwa
pengertian
kesempurnaan itu bertingkat senantiasa menjadi (becoming) tak pernah selesai.
48
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, , (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 60.
Murtadha Mutahhari, Manusia Seutuhnya; Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis,
terj. Abdillah Hamid Ba‟Abud, Jakarta: Shadra Press, 2012) hlm 2-3
49
58
Dengan demikian bila suatu kesempurnaan tercapai, maka masih ada
kesempurnaan yang lain di atasnya, sampai pada tingkat kesempurnaan yang
sesungguhnya yakni hakiki. Melalui kematianlah maka manusia menemukan nilai
kesempurnaannya.
Istilah Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) secara teknis muncul dalam
literatur Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, atas gagasan Ibn‟ Arabî (w. 638
H/ 1240 H), yang dipakainya untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi
locus penampakan diri Tuhan. Ungkapan al-insân al-kâmil memang pernah
dipakai sebelum Ibn Arabî namun demikian, diduga secara luas bahwa sufi ini
adalah yang pertama menggunakan ungkapan ini sebagai suatu istilah teknis.
Tetapi jika di analisis ternyata substansi insan kamil itu, sebenarnya telah muncul
dalam Islam pra-Ibn‟ Arabî, hanya konsep-konsep tersebut tidak memakai istilah
insan kamil.50
Meskipun istilah insan kamil menjadi populer dikalangan para pengikut
Ibn‟ Arabî pada masa berikutnya, dan menjadi masyhur khususnya dengan karya
al-Jili, melalui karyanya al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifat al-Awakhir wa al-Awa‟il,51
Ibn‟ Arabî sendiri sebetulnya jarang menggunakan istilah tersebut dalam sejumlah
karyanya, termasuk dalam Syajarat al-Kaun,52 meskipun S. Hosssein Nasr
50
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 119.
Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, hlm. 6-7.
51
Abdul Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifat al-Awakhir wa al-Awa‟il (Kairo,
1997). Penulis Indonesia yang menelaah konsep insan kamil Al-Jili yaitu Yunasril Ali, Manusia
Citra Illahi; Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn‟ Arabi oleh al-Jili, (Jakarta: Paramadina,
1997),
52
Ibn‟ Arabi, Syajarat al-Kaun, terj. Wasmukan, (Surabaya: Risalah Gusti, cet. 2, 2001).
59
berpendapat bahwa karya ini secara khusus berkaitan dengan ide tentang insan
kamil.53
Pengertian lain yang bisa dipahami tentang manusia menurut Muhammad
Iqbal adalah makhluk kreatif yang dapat memperlihatkan keunggulannya dan
mengembangkan segala kemampuannya untuk bisa mengembangkan kebebasan
yang tidak terbatas. Sebagaimana yang diungkapkan Iqbal dalam sajaknya:
Segala sesuatu dipenuhi luapan untuk menyatakan diri
Tiap atom merupakan tunas kebesaran!
Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian
Dengan menyempurnakan diri…
Insan mengarahkan pandang pada Tuhan!
Kekuatan Khudi mengubah biji sawi setinggi gunung
Kelemahannya menciutkan gunung sekecil biji sawi
Engkaulah semata...
Realitas di Alam Semesta, Selain engkau hanyalah maya
Belaka.54
Dari sajak Iqbal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arti yang
sebenarnya adalah yang mampu menyatakan “inilah aku!”, yaitu pada tingkatan
„aku‟ yang menentukan martabat dari sesuatu dalam ukuran wujud. Dan ego
(khudi)55 disini mempunyai kekuatan yang mengarah pada kerja aktif bagi
pembaharuan, perubahan dan penciptaan. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya
„aku‟ yang bergejolak yang akan selalu mencari pembaharuan dan sebagainya ke
53
Berbagai aspek Manusia Universal dibicarakan hanpir setiap karya Ibn‟ Arabî, dan
Fhusus pada dasarnya didasarkan pada konsep ini. Juga karyanya Syajarat al-Kaun, atau the Three
of Being secara spesifik berbicara tentang gagasan Manusia Universal dan merupakan sumber
dasar kajian”doktrin logos” Ibn‟ Arabi. Lihat, S. Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat
Islam, terj. Maimun Syamsudin, (Jogjakarta: Ircisod, 2006), dalam catatan no 66, hlm. 261.
54
K. G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan…, hal. 26.
55
Tema sentral dalam setiap pemikiran Iqbal adalah insan, karena dari beberapa karya
Iqbal termasuk juga karya filsafatnya banyak mengulas tentang insan. Dan dari semua pemikiranpemikiran Iqbal itu kesemuanya mempunyai dasar berpijak pada konsepnya tentang khudi atau
ego, yang mana menurut Sardi Jufri, bahwasannya sumbangan Iqbal yang paling besar adalah ego
(khudi) yang melukiskan insan sebagai penerus ciptaan Tuhan yang membuat dunia belum
sempurna menjadi sempurna. Lihat, M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: Konsepsi Insan Menurut
Islam, (Jakarta: Pustaka Grafity Pers, 1987), hal. 16.
60
arah yang benar, sehingga terciptalah jaminan bahwa „aku‟ mampu tampil sebagai
pemimpin alam semesta, dan akhirnya mencapai tahap Insan Kamil atau insan
(„aku‟) yang sempurna.
Sejalan dengan hal di atas, menurut Iqbal Insan Kamil adalah insan
mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan
kebijaksanaan. Dan untuk mengenal Tuhan hanya ada pada dirinya sendiri dimana
insan harus mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya dengan potensi-potensi insan
yang dimilikinya. Hanya insan sendiri yang harus menciptakan sifat-sifat
ketuhanan pada dirinya agar berperilaku seperti perilaku Tuhan.56
Penulis akan mencoba mengulas konsep manusia sempurna yang dibatasi
oleh dua tokoh yang diharap cukup mewakili, yakni Ibn‟ Arabi yang lebih
bercorak tasawuf-filosofis, sedangkan Mulla Shadra pemikirannya bercorak
filosofis murni.
1. Ibn’ Arabî
Bernama lengkap Muhammad Ibn Ali bin Muhammad Ibn al-Arabi alHatimi yang dikenal dengan sebutan Ibn‟ Arabî dilahirkan di Murcia, Spanyol
bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 29 Juli 1165 M). Pada usia 8
tahun ia dibawa oleh orang tuanya ke Sevilla. Di sana ia belajar al-Quran, hadis,
fikih dan tasawuf. Pada tahun 598 H / 1202 M ia berangkat ke Timur dan
mengembara di daerah-daerah dan kota-kota: Mesir, Makkah, Yerusalem, Aleppo,
Asia Kecil dan akhirnya menetap di Damaskus sampai akhir hayatnya pada 28
Rabiul Akhir 638 H / 1240 M.
56
Danusiri, Epistimologi dalam Tasawuf Iqbal, hlm. 134.
61
Ibn‟ Arabî menunjukkan perbedaan antara Manusia Sempurna (al-insân
al-kâmil) dan Manusia Binatang (al-insân al-hayawân). Dengan menunjukkan
perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia menjadi Manusia
Sempurna; hanya manusia-manusia pilihan itu adalah para nabi dan para wali
Allah. Tentang perbedaan antara Manusia Sempurna dan Manusia Binatang,
antara lain Ibn‟ Arabî berkata:
Karena wujud Manusia Sempurna adalah menurut gambar sempurna (Tuhan),
maka ia berhak menerima khilafah dan kewakilan dari Allah Ta„âlâ di alam. Mari
kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar
hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan Manusia Binatang belaka,
tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak
menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah.
Menurut pendapat kita, Manusia Binatang benar-benar bukanlah khalifah.57
Dalam kutipan ini, dinyatakan dengan jelas bahwa khilafah di alam
diberikan Allah kepada Manusia Sempurna atas dasar kualifikasi yang
dimilikinya: gambar sempurna (al-shûrah al-kâmilah). Manusia yang tidak
mempunyai gambar sempurna bukan khalifah Allah dan bukan Manusia
Sempurna. Manusia dalam arti sebenarnya adalah Manusia Sempurna, yang
menjadi khalifah Allah. Manusia dalam arti sebenarnya berbeda dengan Manusia
Binatang.
Ibn‟ Arabî membedakan antara Manusia Sempurna pada tingkat universal
atau kosmik dan Manusia Sempurna pada tingkat partikular atau individual.
Perbedaan dasar ini dimaksudkan agar kita terhindar dari kekacauan. Manusia
Sempurna pada tingkat universal, sebagaimana dikatakan W.C. Chittick, adalah
hakikat Manusia Sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari
57
Uqat al-Mustawfiz, dalam H.S. Nyberg, Kleinere, hh. 45-6. Dikutip dari, Kautsar
Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 129.
62
Manusia Sempurna individual; sedangkan Manusia Sempurna pada tingkat
partikular adalah perwujudan Manusia Sempurna, yaitu para nabi dan para wali
Allah.58 Ketika Ibn‟ Arabî berbicara tentang “manusia” (al-insân), biasanya yang
dimaksud adalah “Manusia Sempurna” (al-insân al-kâmil), baik pada tingkat
universal maupun pada tingkat partikular.
Ibn„ Arabî mengatakan;
Alam adalah cermin bagi Tuhan. Alam mempunyai banyak bentuk yang
jumlahnya tidak terbatas. Karena itu, dapat dikatakan bagi Tuhan terdapat banyak
cermin yang jumlahnya tidak terbatas. Ibarat seseorang yang berdiri di depan
banyak cermin yang ada di sekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau
gambar-Nya banyak sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu.
Kejelasan gambar pada suatu cermin tergantung kepada kualitas kebeningan
cermin itu. Semakin bening atau bersih suatu cermin, semakin jelas dan sempurna
gambar yang dipantulkannya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah
Manusia Sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan,
sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifat
itu.59
Setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majlâ, mazhhar) Tuhan
dan Manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada Manusia
Sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan
seimbang. Pandangan ini sesuai dengan teori Ibn‟ Arabî tentang tafâdhul, keadaan
bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian lain. tafâdhul menunjukkan hirarki,
baik pada nama-nama Tuhan maupun pada makhluk-makhluk-Nya. Intensitas
penampakan nama-nama Tuhan pada masing-masing makhluk bervariasi sesuai
dengan
“kesiapan”
58
(isti„dâd)
masing-masing
makhluk
untuk
menerima
W.C. Chittick, "Microcosm, Macrocosm, and Perfect Man in the View of Ibn al„Arabî," Islamic Culture 63 I-ii (1989):1.
59
Dikutip dari, Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm.
120.
63
penampakan itu. Benda-benda mineral mempunyai “kesiapan” yang paling kecil
untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan. Tumbuh-tumbuhan mempunyai
“kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki benda-benda mineral. Binatang
mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuh-tumbuhan.
Manusia mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuhtumbuhan. Manusia mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang miliki oleh
binatang. Jadi, manusia berada pada puncak hirarki makhluk-makhluk Tuhan.
Manusia mempunyai “kesiapan” paling besar menerima penampakan nama-nama
Tuhan. Apabila makhluk-makhluk lain hanya bisa menerima penampakan
sebagian nama Tuhan, maka manusia bisa menerima penampakan semua nama
Tuhan.60
Sifat asli atau primordial manusia sebagai makhluk teomorfis, yang
mempunyai potensi untuk menerima penampakan semua nama Tuhan, didasarkan
pada sebuah hadis yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah telah
menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” (Inna Allâh khalaqa Adam „ala
shûratihi). Adam dalam hadis ini bukanlah Adam historis, Adam Bapak umat
manusia, tetapi manusia dalam arti universal, atau hakikat manusia. Nama Allâh
dalam hadis Imago Dei ini, yang disebut pula “Hadis Bibel” (Biblical Hadîth)
karena terdapat dalam Bibel, mempunyai arti penting karena nama Allâh adalah
“nama yang mencakup” (al-ism al-jâmi„), yang berarti mencakup semua nama
Tuhan. Hadis ini ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa manusia diciptakan
“menurut bentuk Allâh.” Ini berarti bahwa manusia diciptakan “menurut bentuk
60
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…., 120-121
64
semua nama-Nya yang lain.” Itulah sebabnya mengapa Allah mengatakan bahwa
“Dia telah mengajar Adam semua nama.” (QS al-Baqarah: 31) Dengan sifat
teomorfisnya itu, manusia dapat memperlihatkan suatu variasi tak terbatas namanama dan sifat-sifat Tuhan; nama dan sifat Tuhan yang mana pun dapat muncul
dan tampak pada manusia.
Ibn‟ Arabî kemudian menuturkan:
Apa sifat Adam? Jawabannya adalah: jika Anda menghendaki, sifatnya adalah
kehadiran ilahi; jika Anda menghendaki, (sifatnya) adalah totalitas nama-nama
ilahi; jika Anda menghendaki, (sifatnya) adalah (sebagaimana dinayatakan
dalam) perkataan Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam
menurut bentuk-Nya.” Jadi, ini adalah sifatnya. Ketika Dia menyatukan kedua
tangan-Nya untuk penciptaan Adam, kita mengetahui bahwa Dia memberi Adam
sifat kesempurnaan dan menciptakannya sebagai yang sempurna, yang
mencakup. Karena alasan ini, ia menerima semua nama. Maka, ia adalah totalitas
alam dari segi realitasnya.61
Karena itu, Nabi saw. berkata tentang penciptaan Adam, yang merupakan
rancangan yang mencakup sifat-sifat kehadiran ilahi, yang merupakan zat, sifatsifat, dan perbuatan-perbuatan: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam
menurut bentuk-Nya.” Bentuk-Nya tidak lain dari kehadiran ilahi. Ia menciptakan
dalam miniatur mulia ini, yang merupakan Manusia Sempurna, semua nama ilahi
dan realitas-realitas apa yang keluar dari ia ke dalam makrokosmos yang terpisah.
Tuhan menjadikannya roh bagi alam.62
Dalam kutipan di atas jelas bahwa “bentuk-Nya” (shûratuhu) adalah
“kehadiran ilahi (al-hadhrah al-ilâhiyyah), yang identik dengan nama-nama
Tuhan, yang meliputi nama-nama zat, nama-nama sifat, dan nama-nama
perbuatan. Keidentikan “bentuk Allah” dengan semua nama-Nya dikatakan pula
oleh Ibn„ Arabî sebagai berikut: “Semua nama Ilahi terpaut padanya (yaitu Adam,
61
Ibn „Arabî, al-Futûhât al-Makkiyyah, 4 jilid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 2:67.
Ibn „Arabî, Fushûs al-Hikam;Mutiara Hikmah 27 Nabi. Terj. Ahmad Sahidah &
Nurjannah arianti (Jogjakarta: Islamika, 2004), hlm. 199.
62
65
manusia) tanpa pengecualian. Maka, Adam muncul menurut bentuk nama Allah,
karena nama ini mencakup semua nama Ilahi.”63
Konsekuensi ontologis sifat teomorfis manusia, yang mencakup semua
nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya, adalah
bahwa ia mencakup semua realitas alam. Manusia adalah “totalitas alam” (maju„
al-„âlam). Karena itu, manusia oleh Ibn al-„Arabî disebut “miniatur alam”
(mukhtashar al-„âlam) atau “alam kecil” atau “mikrokosmos” (al-„âlam alsaghîr). Bila manusia oleh Ibn al-„Arabî disebut “alam kecil” atau “mikroksmos,”
maka alam olehnya disebut “alam besar” atau “makrokosmos” (al-„âlam alkabîr). Biasanya pula, manusia oleh sufi ini disebut “manusia kecil” atau
“mikroantropos” (al-insân al-saghîr) dan alam olehnya disebut “manusia besar”
atau “makroantropos” (al-insân al-kabîr).
“Perpaduan” (jam„iyyah) pada manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat
yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang
berlawanan, yang termanifestasi pada dirinya dan pada alam. Bentuk luar Adam
secara jelas menunjukan tubuh fisik manusia, dan bentuk terdalam menandakan
kemampuan spiritualnya.64 Ibn„ Arabî berkata, “Ia adalah manusia, yang baharu,
yang azali; ia adalah bentuk yang kekal, yang abadi, dan Kata (Logos) yang
memisahkan dan yang memadukan.” Manusia adalah baharu (hâdits) dari aspek
bentuk badaniahnya dan azali (azalî) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya.
Jasad manusia adalah baharu dan ruhnya adalah azali. Manusia adalah Kata yang
memisahkan (kalimah fâshilah), artinya ia berdiri sebagai batas pemisah atau
63
Ibn „Arabî, Futûhât, 2:124.
Masataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibn‟ Arabi, terj. Harir Muzakki,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 54.
64
66
pembeda antara Tuhan dan alam karena ia adalah bentuk Tuhan dan alam adalah
cermin yang memantulkan bentuk itu, sedangkan Tuhan adalah zat yang
bentuknya adalah manusia. Karena itu, Manusia Sempurna, kadang kala oleh Ibn„
Arabî disebut “perantara” atau “posisi tengah” (barzakh), yang berarti “perantara”
antara Tuhan dan alam.65 Pada saat yang sama, manusia adalah Kata yang
memadukan (kalimah jâmi„ah) karena ia, seperti dikatakan di atas, adalah,
pertama, perpaduan semua nama Tuhan, dan kedua, perpaduan sifat-sifat
ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan.
“Perpaduan” (jam„iyyah) adalah keutamaan manusia di atas makhlukmakhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (khilâfah, vicegerency,
“kewakilan”) sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah kepada makhlukmakhluk lain. “Perpaduan” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan
khilafah. Tanpa syarat ini, khilafah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi
syarat ini adalah manusia, atau tepatnya Manusia Sempurna. Ibn„ Arabî berkata:
Khilafah hanyalah milik Adam, bukan milik makhluk-makhluk lain dalam alam,
karena Allah Swt. telah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya. Khilafah
(khalîfah, vicegerent, “wakil”) harus muncul bagi apa yang berada di bawah
khilafahnya, dalam bentuk siapa yang memberinya kedudukan ini. Jika tidak
demikian, maka sesungguhnya ia bukan khalifah di antara mereka.66
Iblis adalah bagian dari alam, yang tidak mempunyai “perpaduan” (jam„iyyah).
Karena (“perpaduan”) ini, Adam adalah khalifah. Jika ia tidak muncul dalam
bentuk siapa yang mengangkatnya sebagai khalifah, bagi apa yang berada di
bawah khilafahnya, maka sesungguhnya ia bukan khalifah. Jika dalam dirinya
tidak terkandung semua yang dituntut warga-warga yang berada di bawah
khilafahnya, yang atas mereka itulah ia diberi kedudukan ini—karena
ketergantungan mereka kepadanya, ia harus memenuhi semua yang mereka
butuhkan darinya—sesungguhnya ia bukan khalifah atas mereka. Karena itu,
khilafah hanya sah bagi Manusia Sempurna.67
65
Tampaknya teori bahwa manusia adalah "peraantara" antara Tuhan dan alam dipinjam
oleh Ibn al-„Arabî dari Filo dari Iskandariah yang menyifati manusia dengan sifat ini.
66
Ibn „Arabî, Futûhât, 1:263.
67
Ibn „Arabî, Fushûsh, 1:55.
67
Sebagai khalifah Allah, tentu manusia adalah yang tertinggi di antara
semua makhluk. Bahkan, ia lebih tinggi dari alam dan sangat penting bagi alam.
Kesempurnaan alam tergantung kepadanya. Bagi Ibn„ Arabî, manusia dalam
hubungan dengan alam adalah ibarat roh bagi jasad.
Manusia adalah roh alam dan alam adalah jasad … Jika Anda memperhatikan
alam tanpa manusia, niscaya Anda akan menemukannya seperti tubuh yang tidak
berbentuk tanpa roh. Kesempurnaan alam karena manusia seperti kesempurnaan
jasad karena roh. Manusia ditiupkan ke dalam tubuh alam. Karena itu, ia adalah
tujuan (al-maqshûd) alam.68
Seperti dijelaskan di atas, alam adalah cermin bagi Tuhan. Cermin itu
semula adalah buram, tidak bening, dan karena itu, tidak dapat memantulkan
kesempurnaan Tuhan. Maka, Tuhan tidak dapat dikenal. Sedangkan tujuan
penciptaan alam, adalah supaya Tuhan dapat dikenal melalui alam, yang
merupakan cermin bagi-Nya. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa manusia. Itulah
sebabnya mengapa manusia oleh Ibn„ Arabî dipandang sebagai tujuan (almaqshûd) alam atau sebagai tujuan terakhir (al-ghâyah al-qushwâ) bagi
penciptaan alam, yaitu bahwa manusia adalah perantara bagi perealisasian tujuan
ini karena Allah menciptakan alam supaya melaluinya Dia dikenal. Dapat pula
dikatakan bahwa manusia adalah sebab turunnya rahmat bagi setiap makhluk, atau
sebab adanya setiap makhluk.
Alam tanpa manusia adalah ibarat cermin buram yang tidak dapat
memantulkan gambar. Gambar Tuhan tidak dapat dilihat dengan jelas dalam
cermin seperti itu. Maka, perintah Tuhan mengharuskan kebeningan cermin alam
itu agar dapat memantulkan gambar-Nya dengan jelas. Adam, atau manusia,
68
Ibn „Arabî, Futûhât, 2:67.
68
adalah kebeningan cermin itu sendiri dan sekaligus roh bentuk atau gambar itu.
Karena itulah, cermin itu menjadi bening dan memantulkan gambar Tuhan dengan
jelas. Manusia sendiri adalah cermin dan gambar Tuhan yang paling sempurna.
Dalam doktrin Ibn„ Arabî, Manusia Sempurna bukan hanya sebab bagi
adanya alam, tetapi juga adalah pemelihara dan pelestarian alam. Ibn„ Arabî
berkata:
Dia (Allah) menundukkan (sakhkhara) kepadanya (Adam, manusia) segala
sesuatu, yang tinggi dan yang rendah, karena kesempurnaan bentuknya.
Sebagaimana tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak memuji Tuhan, demikian
pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk (musakhkhar) kepada
manusia karena sesuatu yang diberikan kepadanya oleh hakikat bentuknya. Allah
Swt. berkata: “Dia menundukkan kepadamu semua yang ada di langit dan yang
ada di bumi, (sebagai rahmat) dari Dia.” Q 45: 13 Karena itu, segala sesuatu
yang ada dalam alam tunduk kepada manusia. Barang siapa yang mengetahui ini
adalah Manusia Sempurna, sedangkan barang siapa yang tidak mengetahuinya
adalah Manusia Binatang (al-insân al-hayawân).69
Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa Allah menundukkan segala sesuatu
dalam alam kepada manusia. Maka, segala sesuatu dalam alam tunduk kepadanya.
“Menundukkan” (taskhîr) dalam firman Allah, “Dia menundukkan kepadamu
semua yang ada di langit dan yang ada di bumi (sebagai rahmat) dari Dia,” bukan
berarti bahwa Allah menjadikan semua makhluk di langit dan di bumi patuh
kepada kehendak dan perintah manusia, tetapi berarti bahwa Allah menampakkan
(izhhâr) semua realitas alam pada manusia. Segala sesuatu dalam alam tunduk
kepada manusia karena manusia adalah perpaduan semua realitas wujud, termasuk
realitas alam, baik yang tinggi maupun yang rendah.
Dalam analisis ini terlihat dengan jelas bahwa Manusia Sempurna dalam
doktrin Ibn‟ Arabî mengandung paradoks kesempurnaan. Manusia Sempurna
69
Ibn „Arabî, Futûhât, 1:199.
69
adalah manusia yang “merendah” dalam arti tunduk, patuh, dan pasrah kepada
Tuhan; ia mengaktualisasikan „ubûdiyyah-nya. Pada saat yang sama, Manusia
Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti derajatnya tinggi dan
mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan
seimbang; ia mengaktualisasikan khilâfah-nya. Semakin “merendah” manusia di
hadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Semakin tunduk ia kepada Tuhan,
semakin banyak ia menyerap nama-nama Tuhan. Semakin banyak „ubûdiyyahnya, semakin sempurna khilâfah-nya, dan semakin maningkat ia kepada derajat
Manusia Sempurna.
Penempatan manusia oleh Ibn „Arabî pada kedudukan yang begitu tinggi
dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa ia mengajarkan “metafisika
antroposentris” dan “humanisme teosentris.”70 Kesimpulan ini memang didukung
oleh pandangannya bahwa manusia adalah yang tertinggi di antara semua
makhluk, manusia adalah perpaduan semua nama dan sifat Tuhan dan semua
realitas alam, manusia adalah perantara antara Tuhan dan alam karena tanpa
manusia Tuhan tidak dapat menciptakan dan memelihara alam, dan Tuhan
menundukkan segala sesuatu dalam alam kepada manusia.
70
Sistem Ibn al-„Arabî berpusat pada Tuhan, pada tawhîd dalam bentuk wahdat al-wujûd,
paham bahwa tiada wujud selain Tuhan; hanya ada satu Wujud Hakiki, yaitu
Tuhan.Kesempurnaan akan terwujud dalam diri manusia pada tingkat individual atau historis,
apabila ia mampu mengubah gambar Tuhan dalam potensialitas yang telah ada dalam dirinya
menjadi gambar Tuhan dalam aktualitas. Meskipun mencapai kesempurnaan, Manusia Sempurna
tetap milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Lihat, Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial:
Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 144-145.
70
2. Mullâ Shadrâ
Shadr al-Din Muhammad bin Ibrahim lahir di Syiraz pada tahun
979H/1571M. dia lebih dikenal dengan nama Mullâ Shadrâ atau Shadr alMuta‟alihin. Ayah Mullâ Shadrâ khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari
Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar. Mullâ
Shadrâ dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya,
Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk
menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus
secara bertahap filsuf-filsuf untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikathakikat yang lebih tinggi. Filsuf Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di
kota Bashrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki.
Mullâ Shadrâ memperkenalkan aliran filsafatnya dengan sebutan alHikmah al-muta‟âliyyah.71 Ungkapan al-Hikmah al-muta‟âliyyah terdiri dari dua
istilah, yaitu al-Hikmah (yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari
filsafat, iluminasionalisme, dan sufisme) dan al-muta‟âliyyah yang berarti tinggi,
agung dan transenden. Sebetulnya Mullâ Shadrâ sendiri tidak menyatakan secara
eksplisit bahwa al-Hikmah al-muta‟âliyyah adalah nama dari aliran filsafatnya.
Penyebutan istilah tersebut lebih didasarkan pada judul karyanya bukan
71
Penyebutan al-Hikmah al-muta‟âliyyah sebagai aliran filsafat Mullâ Shadrâ
diperkenalkan untuk pertama kali oleh „Abd al-Razzâq Lâhîjî (w. 1072 H/1661 M), salah seorang
murid sekaligus menentunya yang terkenal. Penggunaan tersebut semakin meluas pada periode
Qajar. Pada periode ini, tokoh yang penuh semangat menjelaskan alas an penggunaan alas an
tersebut sebagai nama dari aliran filsafat Mullâ Shadrâ adalah Mullâ Hâdî Sabzawârî (1212-1295
H/1797-1878 M), seorang filosof dan mistikus terbesar Persia pada abad ke-13 H/19M. Lihat
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Dîn Shîrazî and his Transendent Philosophy (Tehran: Imperial
Iranian Academy of Philosophy, 1978), hlm. 85, 94-95.
71
berdasarkan aliran filsafatnya, yaitu: al-Hikmah al-muta‟âliyyah72 maupun alSyawâhid al-Rubûbiyyah.73
Sebagaimana yang dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, ada dua faktor
yang menjadi alas an mengapa murid-muridnya serta masyarakat luas
mengidentifikasi istilah al-Hikmah al-muta‟âliyyah dengan doktrin-doktrin Mullâ
Shadrâ. Kedua faktor tersebut adalah; pertama, judul buku al-Hikmah almuta‟âliyyah menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran
dan pandangan dunia, yang di dalamnya tergambar doktrin-doktrin metafisika
Mullâ Shadrâ. Kedua, adanya ajaran oral dari Mullâ Shadrâ yang menunjukan
bahwa pengertian al-Hikmah al-muta‟âliyyah tidak saja menunjuk kepada judul
tulisannya.74
Persoalan yang mendasar yang senantiasa di diskusikan oleh para filsuf
adalah persoalan gerak (harakah) karena gerak merupakan bagian fundamen
ketika membicarakan kuiditas. Teori gerak ini sangat beragam, diantaranya ada
yang memandang bahwa gerak merupakan suatu proses kejadian dan kehancuran
yang berasal dari al-Farabi. Ibn Rusyd menuliskan teori ini dalam karya khusus
yang diberi judul Talkhis al-Kawn wa al-Fasâd yang di dalamnya ibn Rusyd
berusaha membenarkan teori ini. Menurutnya, gerak merupakan proses
72
Lihat Mullâ Shadrâ, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Aqliyyah al-Arba‟ah,
(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâs al-„Arabî, 1981), jil. I, hlm. 13.
73
Lihat Mullâ Shadrâ , al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fi al-Manâhij al-Sulûkiyyah, ed. S.J.
Asystiyani (Meshhed: Meshhed University Press, 1967), hlm. 34.
74
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullâ Shadrâ, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
102-103.
72
perpindahan dari satu titik menuju titik berikutnya dengan menghilangkan titik
pertama dan membentuk titik kedua, demikian seterusnya.75
Dalam Tahafut al-Tahafut Ibn Rusyd menolak tesis Ibn Sina bahwa
“eksistensi” adalah aksiden “quiditas”. Kritik ini didasarkan pada kesalah
pahaman yang mendasar terhadap pendapat Ibn Sina, penegasan itu sendiri bahwa
konsep “eksistensi”, seperti konsep “satu” tidak menambahkan sesuatu yang nyata
bagi “quiditas” jika yang terakhir dilihat dalam kondisi aktualisasi yang utuh,
sesungguhnya tetap benar.76
Mengenal diri kemanusiaan merupakan metode untuk menelusuri jejakjejak Zat Allah setelah metode ash-shîddiqûn (metode kaum yang benar),
kemudian memperhatikan cakrawala dan diri sendiri.77 Mîrza Hasan Nûri
menafsirkan konsep nafs atas pemikiran Mullâ Shadrâ:
Agar diketahui bahwa nafs dari asal pembentukan jasmaniahnya hingga puncak
kesempurnaan intelektualnya selalu berada dalam perubahan-perubahan internal,
pergantian-pergantian dan gerakan substansial (al-harakât al-jauhariyyah).
Kadang-kadang ia merupakan kekuatan jasmani, bentuk materi dan sesekali
merupakan jiwa sensitif dalam tingkatan-tingkatannya, lalu menjadi sesuatu yang
dikonseptualisasikan, terpikirkan, berbicara, dan dihasilkan akan teoritis setelah
akal aktual dan akal efektif yang diungkapkan dengan ar-rûh al-amrî dalam
fiman Allah: Katakanlah, “Ruh itu adalah amr Tuhanku”. Tidak diragukan lagi
bahwa yang mengeluarkannya dari yang potensial menjadi aktual dan dari
lingkup kekurangan ketingkat kesempurnaan sudah pasti merupakan maujud yang
esensinya, secara potensial, membebaskan hakikat dari segala kekurangan seraya
menolak tasalsul yang mustahil.78
Semua form kesempurnaan dan sifat-sifat kesempurnaan hanya dapat
ditemukan pada eksistensi, bukan pada yang lain, karena tidak ada selain
75
Lihat, Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 49
76
Toshihiko Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari, hlm. 31.
77
Mullâ Shadrâ, Manifestasi-Manifestasi Illahi, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2006), hlm. 35-36.
78
Mullâ Shadrâ, Manifestasi-Manifestasi Illahi, hlm,.36. Lihat catatan kaki no 1.
73
eksistensi kecuali non-eksistensi dan kuiditas. Ketidak-beradaan (non-eksistensi)
adalah fana, dan kuiditas adalah pembatasan eksistensi yang memiliki aktualisasi
yang tergantung pada eksistensi. Dengan begitu, maka seluruh kesempurnaan
teraktualisasi pada eksistensi. Eksistensi pada tingkatannya masing-masing
diberikan
pengetahuan,
(eksistensial)
lainnya.79
kekuatan,
Maka
kehendak,
setiap
dan
eksistensi
sifat-sifat
mempunyai
keberadaan
tingkatan
kesempurnaan.
Harakah Jawhariyyah (Gerakan Transubstansial) terjadi meliputi segala
sesuatu, baik pada jasmaniah maupun pada ruhaniah. Manusia menurut Mullâ
Shadrâ, sesuatu yang awalnya berasal dari materi pertama (al-mâddah al-Ûla)
yang bergabung dengan bentuk (sûrah), melalui gerakan transubstansial, unsureunsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang
menjadi gumpalan darah, kemudian janin, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua
dan hancur, sedangkan bentuknya berkembang menjadi jiwa bergerak (an-nafs almutaharikkah), kemudian jiwa hewani (an-nafs al-hayawâniyyah), dan jiwa
manusiawi (an-nafs al-insâniyyah). Gerakan transubstansial yang terjadi pada
materi menuju kehancuran, sedangkan gerakan transubstansial pada jiwa menuju
kesempurnaan.80
Berdasarkan prinsip ini, manusia sempurna—tergantung pada ekstensi
keberadaannya—merupakan manifestasi yang paling lengkap dari segala sifatsifat kesempurnaan. Karena itu, kehidupan, kekuasaan, penglihatan, pengetahuan,
79
Mullâ Shadrâ, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Aqliyyah al-Arba‟ah, ed.
Thabathabai, Tehran, 1958, Vol. H. 4. Dikutip dari, Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia
Sempurna, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), hlm. 74.
80
Lihat, Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm 51-52.
74
dan sebagainya yang dimiliki manusia sempurna adalah yang paling tinggi dan
paling dalam jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Sebagaimana ungkapan Mullâ Shadrâ mengenai kesempurnaan jiwa
manusia, yaitu:
Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala
sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan
mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar
persangkaan dan mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada
pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia
melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang
bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai
keserupaan dengan Tuhan.81
Mullâ Shadrâ menganalogikan eksistensi dengan sebuah lingkaran, dimana
ujungnya terletak pada pangkalnya. Dalam lingkaran terdapat dua rah, satunya
turun dan lainnya naik yang masing-masing memiliki sejumlah tingkatan dan anak
tangga. Pada arah turun, eksistensi bermula dari hakikat kebenaran dan melalui
tiga alam, yakni; Intelek, ide, dan materi yang merupakan makhluk dan efek
(akibat) dari hakikat kebenaran dan masing-masing bergantung pada yang lain
secara berturut-turut. Selanjutnya, arah menaik pada dasarnya sama dengan arah
turun yang terdiri dari tiga level dunia, hanya saja bermula dari arah sebaliknya.
Mullâ Shadrâ percaya bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. 82 Raga
adalah eksistensi materi yang menyatu dengan jiwa dan sebagai sarana bagi jiwa
81
Lihat, Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah, hlm. 20.
Dualisme Shadra berbeda dengan Rene Descartes (1596-1650) sang bapak filsafat
modern menetapkan fondasi kebenaran melalui metode kesangsian (le doute methodique) dengan
mengemukakan diktum; fundamentum certum et itconcussum veritatis (kepastian dasariah dan
kebenaran yang kokoh). Melalui Adagium Je pense donc je suis atau Cogito Ergo Sum Descartes
telah meniscayakan distingsi antara „benda bertempat‟ (res extensa) dan „benda berpikir‟ (res
cogitans). Dengan demikian, dualisme ini telah menegaskan keterpilahan antara tubuh dengan
pikiran. F. Budi Hardiman. Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia, cet. 2, 2007) hal. 38. Bandingkan
dengan pendapat Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat (Jogjakarta:
82
75
untuk mencapai kesempurnaan. Untuk menunjukan antara jiwa dan raga bukanlah
sesuatu yang satu secara dimensional, Mullâ Shadrâ mengemukakan beberapa
argumentaasi yang disebut dengan Arsyiyyah, yaitu:
Seperti yang diketahui bahwa persepsi merupakan hadirnya objek pada diri
subjek, sekiranya terjadi persepsi pada daya fisik (Tabi‟ah al-Jasmaniyyah),
sedangkan jiwa merupakan daya fisik, maka yang akan terjadi adalah aksiden
berdiri dengan dirinya dan ini jelas tidak mungkin. Penjelasan untuk hal ini
adalah sebagai berikut: jiwa mempersepsi daya fisik karena merupakan cara
bagaimana merasakan sesuatu merupakan aksiden. Sekiranya jiwa merupakan
daya fisik maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri pada dirinya. Hal ini
tidak mungkin, mengingat aksiden jika berada di luar berada pada substansi dan
tidak pada dirinya. Oleh karena itu, pasti subjek yang mempersepsi, bukan daya
fisik, tetapi dia berada pada locus yang lain. Locus yang dimaksud bukan fisik
mutlak karena hal tersebut tidak mungkin karena akan mengakibatkan setiap
forma fisik akan dapat melakukan persepsi, bukan pula bagian dari fisik karena
akan menyebabkan seluruh bagian dari fisik dapat melakukan persepsi, dan ini
bertentangan dengan fakta. Karenanya, daya yang melakukan persepsi terhadap
daya fisik tersebut pastilah selain dari daya fisik, dan bukan pula fisik tempat
bersandarnya daya fisik. Pastilah sesuatu selain dari keduannya, yaitu jiwa.83
Dengan argumentasi ini, Mullâ Shadrâ membuktikan dualisme pada diri
manusia dan keduannya memiliki perbedaan secara dimensional. Namun
demikian, dualisme ini bukan sebagai mana yang dipahami Ibnu Sina—jiwa dan
raga merupakan dua substansi yang berhubungan sejak awal keberadaan. 84
Jiwa manusia memiliki beberapa derajat dan maqam, dari awal pembangkitannya
hingga akhir tujuannya; dan ia miliki keadaan-keadaan esensial dan modusBentang, 2001), hlm. 326-327. Dengan kata lain, kenyataan itu diciptakan oleh kesadaran aku
yang berpikir (ragu-ragu). Berdasarkan asumsi itu, maka manusia menurut Descartes dapat
dikatakan „ada‟ apabila ia berfikir (meragu).
83
Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 85.
84
Mulla Shadra mengutip pendapat Bahmanyar (murid Ibnu Sina) memunculkan sebuah
muskyllah; mengikuti gurunya, tentang gerak-gerak yang disebabkan oleh jiwa: bagaimana halnya
bahwa dalam hal ini alam ditransformasikan sehingga menjadi sebab gerak anggota-anggota tubuh
melawan keinginan-keinginan (alaminya) dengan suatu cara sehingga tidak ada tegangan,
meskipun tarikan-tarikan menentang keinginan-keinginan jiwa dan keinginan (alami) tubuh?
Masalahnya hanya dapat dipecahkan dengan (mengenal) bahwa alam ang ditaklukan jiwa dalam
ketaatan bebas, yang merupakan satu dari kekuatan-kekuatan jiwa itu sendiri yang
dipekerjakannya, yang melalui perantaraan kekuatan-kekuatan itu jiwa melaksanakan aksi-aksi
tubuh yang berbeda, adalah sesuatu yang berbeda dari alam ang ada dalam unsur-unsur (material)
dan angggota-anggota tubuh yang terpisah. Lihat, Mulla Shadra, Kearifan Puncak, terj. Dimitri
Mahayana, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2004 ), hlm. 157.
76
modus keberadaan tertentu. Pertama, dalam keadaan berhubungan (dengan tubuh)
jiwa merupakan substansi korporeal (baca material). Kemudian jiwa menjadi
lebih intens secara bergradasi dan berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda
dari aturan alaminya hingga ia hidup dengan dirinya sendiri dan bergerak dari
dunia ini kedunia lain hingga kembali pada Tuhannya.85
Jiwa menurut filsafat tradisional, adalah bentuk dari badan bahkan ia telah
dibangun sebagai substansi. Sedangkan menurut Mulla Shadra yang didasarkan
pada pandangannya sendiri, yang ia miliki bersama Suhrawardi, yakni bahwa jiwa
manusia adalah realitas hakikat cahaya yang spiritual dan transenden, yakni wujud
murni yang bukan substansi atau aksiden.86 Diantara sepuluh kategori (ma‟qûlât)
dalam pembagian kuiditas yang dikemukakan Mulla Shadra, pembagian dasar
utama dari kategori tersebut adalah substansi dan aksiden. Substansi merupakan
gambaran dari sesuatu yang “jika ada secara eksternal tidak bergantung pada locus
dan tidak membutuhkannya dalam wujudnya” (iza wujjidat fi al-khârij wujidat la
fi maudhu‟ mustaghni anha fi wujûdihi), sedangkan aksiden merupakan gambaran
dari jika “ada secara eksternal keberadaannya bergantung pada locus dan tidak
membutuhkannya dalam wujudnya” (iza wujiddat fi al-khârij wujidat fi maudhu‟
mustaghni anha fi wujûdihî).87 Menurut Thabathaba‟i dalam Bidayah mengatakan
85
Mulla Shadra, Kearifan Puncak, hlm. 180.
Kritikan Fazlur Rahman terhadap penafsiran jiwa yakni, Shadra pertama-tama
berusaha memberikan jawaban lain, dengan menggunakan konsep-konsep filsafat aristoteles
tradisional yang selalu mengacaukan dua makna substansi yang berbeda, yakni wujud individual
pertama dan hakikat khusus. Inti jawabannya adalah meskipun jiwa dalam dirinya merupakan
“wujud partikular dan unik,” namun dalam hubungannya dengan badan ia bertindak sebagai
bentuk atau diferensia. Lihat, Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Terj. Munir A. Muin (Bandung:
Pustaka, 2000), hlm. 72. Bandingkan dengan pendapat Kholid alwalid yang menulis dalam
bukunya, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, yakni; keberadaan substansi adalah keberadaan yang
independen, dalam pengertian bahwa keberadaannya di luar tidaklah menempel atau bergantung
kepada keberadaan yang lain, bahkan dirinya menjadi locus bagi keberadaan aksiden, sedangkan
genus yang ada di atasnya adalah sesuatu yang tidak mungkin lagi didefinisikan. Lihat hlm. 79.
87
Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 79.
86
77
bahwa, jiwa merupakan gambaran dari substansi yang secara zatnya non materi,
tetapi terikat dengan materi dalam aktivitasnya.
Menurut Mullâ Shadrâ Jiwa memiliki dua kesempurnaan untuk mencapai
kesempurnaan dan level yang lebih tinggi: kemampuan spekulatif dan praktis.
Kemampuan spekulatif: menyangkut intelek, pemahaman, pengertian manusia,
yang terdiri atas empat level: pertama, Intelek Potensial (al-aql bi al-quwwah).
Level ini ada bersama dengan jiwa sejak dari awal dan intelek ini mirip dengan
jiwa itu sendiri, ia masih lemah dan tidak memiliki pembuktian-diri dan objek
intelek spekulatif. Kedua, Intelek Posesif (al-aql bi al-malakah). Level ini terjadi
segera setelah sesuatu teraktualisasi oleh akuisisi dari objek intelek primer
(konsep dan pembenaran) atau data primer, data melalui eksperimen, data melaui
transmisi, dan seterusnya (dimana setiap orang sama). Ketiga, Intelek Actual (alaql bi al-fi‟l). Ketika objek-objek intelek tersebut dihasilkan oleh jiwa, maka
refleksi dan pengambilan kesimpulan terhadap objek intelek yang belum dipahami
akan terjadi pada diri manusia yang akan menjadikannya merefleksikan
pengertian yang tercerahkan dengan menggunakan ingatan sebelumnya untuk
mencapai mental yang lebih segar. Keempat, Level Tercerahkan (al-aql almustafad). Level ini sebenarnya sama dengan intelek actual hanya saja level ini
menganggap bahwa semua pengetahuan spekulatif sebenarnya hadir bersamanya
dan tidak perlu adanya perhatian dan keinginan.
Sedangkan kemampuan praktis dalam mencapai kesempurnaan yakni;
pertama, penyucian penampilan dengan memperhatikan hukum Tuhan dan ajaran
agama, seperti; shalat, puasa, zakat, peduli pada keluarga, lingkungan sosial, dan
78
sebagainya. Kedua, penyucian jiwa dan batin dari hal-hal yang tidak bermoral.
Ketiga, menghiasi jiwa dengan berbagai bentuk dan keuntungan yang suci.
Keempat, menfanakan jiwa dalam Tuhan sambil memperhatikan eksklusivitas
Tuhan dan kerajaan-Nya—yang merupakan akhir dari petualangan pertama.88
Mulla Shadra percaya adanya empat perjalanan batin manusia, signifikansi
spiritual. Perjalanan batin tersebut sangat penting bagi Mulla Shadra yakni
sebagai landasan corak dan struktur sistem filsafatnya dalam korpusnya “alHikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Arba‟ah al-Aqliyyah” yang berkaitan dengan
empat perjalanan tersebut. Keempat perjalanan yang dimaksud dapat dijelaskan
sebagai berikut yaitu;89
Perjalanan pertama sebagai perjalanan dari makhluk menuju Tuhan (Sâfar
min al-Khalq ila al-Haqq) perjalanan yang dilakukan dengan mengangkat hijab
kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dan Tuhannya.
Dari multiplisitas menuju kesatuan bersama dimana para petualang memulai
migrasinya menuju kepada hakikat kebenaran melalui migrasi dari dirinya sendiri
dan dari melalaikan keinginan duniawi. Dalam perjalanan ini, manusia akan
menghindari setiap rintangan dan halangan bagi dirinya dari segala pemikiran
yang mencegah pikirannya terhadap hakikat, disamping memperhitungkan
perbuatan-perbuatan jiwanya dan berhati-hati terhadap dirinya sendiri; mencintai
hawa nafsu adalah salah satu karakteristik inheren dari jiwa duniawi.
88
Dikutip dari, Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu
(Jakarta: Teraju, 2004) hal. 82-84.
89
Dikutip dari Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 87-91. Dan dikutip dari,
Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, dalam Pendahuluan, hlm xxxiii.
79
Perjalanan kedua adalah perjalanan dari hakikat kebenaran menuju hakikat
kebenaran itu sendiri yang dilakukan oleh hakikat kebenaran sendiri atau
perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan (Sâfar bi al-Haqq fi al-Haqq).
Perjalanan ini adalah perjalanan jauh dari esensi hakikat kebenaran menuju pada
sifat-sifat dan nama-Nya satu persatu sehingga seorang petualang dapat melihat
seluruh kesempurnaan Hakikat Kebenaran dan menyaksikan secara intuitif
seluruh sifat-sifat-Nya kecuali apa yang Dia jaga dalam diri-Nya.
Perjalanan ketiga, perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan
(Sâfar min al-Haqq ila al-Khalq bi al-Haqq). Dalam maqam ini, seorang salik
menempuh perjalanan dalam Af‟âl Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi
kesadarannya, dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarût, Malakut dan
Nasut, serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui
pandangan Tuhan.
Perjalanan keempat adalah perjalanan dari seluruh makhluk menuju
makhluk itu sendiri bersama Tuhan (Sâfar min al-Kalq ila al-Khalq bi al-Haqq),
dimana seorang petualang mencari seluruh makhluk dan sifat-sifatnya dan
kemudian ia benar-benar menjadi sadar terhadap sebab-sebab kebahagiaan dan
penderitaan serta akan mengetahui keadaan proses kembali kepada Hakikat
Kebenaran.
Dalam sebuah Hadis Qudsi yang sangat populer Allah berfirman:
Hambaku-Ku tidak akan dapat mencapai kedekapan pada-Ku yang lebih baik
daripada melaksanakan segala kewajiban yang Aku perintahkan padanya. Dan
hamba-Ku akanselalu akan mencapai kedekatan pada-Ku dengan melaksanakan
segala apa yang Aku sunatkan padanya, sehingga Aku mencintainya; dan ketika
Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganya ketika ia mendengar, Aku
80
akan menjadi matanya ketika ia melihat, dan Aku akan menjadi tangannya ketika
ia memegang sesuatu.90
Manusia sebagai pilihan Tuhan, sebagai penggantinya diantara makhlukmakhluk yang lain di semesta, adalah bahwa manusia sempurna dilengkapi
dengan keseluruhan level dari mata rantai eksistensi—sebuah stasiun dimana
tidak ada satu makhluk pun, kecuali intelek yang dapat mencapainya. Atau
dengan kata lain manusia sempurna adalah makhluk yang komprehensif yang
mencangkup keseluruhan makhluk di jagad raya ini, dan itulah sebabnya kenapa
manusia disebut sebagai mikrokosmos.
Mullâ Shadrâ mengkategorikan beberapa karakteristik dalam diri manusia
sempurna,91 antara lain;
Pertama, kekuasaan yang menghasilkan sesuatu di dunia eksternal. Seperti
kita ketahui, kekuasaan kreatif manusia berkaitan dengan konsep subjektif adalah
bahwa apapun yang mereka hendak imajinasikan dalam pikirannya, maka hal itu
akan ada melalui kehendaknya tanpa memerlukan adanya persiapan, kondisi, dan
waktu.
Kedua, ketika Tuhan mentransformasikan aspek batin dan jiwa Manusia
Sempurna melalui manifestasi-Nya, maka ia (petualang) akan dibangkitkan
kembali di dunia ini sebelum memasuki dunia akhirat.
Ketiga, Mullâ Shadrâ mengatakan bahwa: Tuhan yang disembah oleh
sebagian besar manusia bukanlah Hakikat atau Tuhan yang wajib adanya dan
memiliki semua kesempurnaan. Bahkan, mereka menyembah Tuhan yang dibuat
90
91
Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 92.
Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 92-96
81
sendiri oleh kepercayaan intelektual dan imajinatif dalam pikiran mereka yang
pada realitasnya adalah hasil ciptaan mereka sendiri. Atau setidak-tidaknya,
maereka telah mengenal hakikat dalam sejumlah manifestasi-Nya yang mereka
sembah dan karena mengikuti perkembangan dari manifestasi lain, ia menolak
adanya kesempurnaan lain dari Hakikat Kebenaran.
Keempat, seorang sufi yang telah mencapai hakikat dan fana pada-Nya,
sementara ia mendapatkan hidup dari-Nya dan ia bukan lagi objek yang dapat
berubah dan bergonta ganti. Baginya ia telah melewati segala dunia kontinjensi
dan posibilitas, ia telah mencapai dunia ketuhanan, dan ia telah tenggelam dalam
kegembiraan yang luar biasa.
Kelima, pada perjalanan pertama, manusia sempurna tidak akan terhalang
oleh rintangan apapun bahkan oleh entitasnya sendiri, yang ada mengantarkan
dirinya dan Hakikat Kebenaran, karena begitu ia menginginkan dan mencintaiNya. Pada saat pencarian cahaya sifat asimilasi dan negasi Hakikat dan ketika
tercerahkan oleh cahaya-Nya maka tidak ada lagi yang dekat dengan dirinya, baik
dirinya sendiri maupun yang lain, kecuali hanya Tuhan—bahkan ia tidak dekat
dengan pengetahuan transendennya, keyakinan, dan aliran mistinya sendiri.
Keenam, dalam al-Qur‟an disebutkan: “Kami menawarkan amanah kepada
langit dan bumi serta gunung-gunung, tapi mereka enggan memikulnya dan takut
karenanya….” (Q.S. Al-Ahzab: 72) Apa yang dimaksud dengan amanah? Mulla
Shadra percaya bahwa yang dimaksud dengan amanah yang dimaksud adalah Nur
Illahi dan sifat-sifat Hakikat (Tuhan). Manusia sejak awal geraknya menuju
Hakikat sampai ia mencapai stasiun Manusia Sempurna, telah memiliki Nur Illahi
82
dan manifestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan tersebut pada semua
level, namun pada level tertinggi yang ia capai semuanya itu semakin sempurna
muncul dari dalam dirinya.
Ketujuh, ketika Manusia Sempurna telah memiliki kesempurnaan
spekulatif
dan
praktis,
maka
ia
telah
memutuskan
seluruh
sifat-sifat
keduniawiannya dan menghilangkan rasa cinta pada dunia materi ini dan segala
apa yang ada di dalamnya dan kesucian hatinya, maka kesempurnaan
eksistensialnya akan lebih tinggi dari seluruh eksistensi yang ada, ia dapat
merefleksikan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, ia dapat menerima rahmat yang tertinggi
nilainya dari Tuhan, dan keinginan dan cintanya kepada Tuhan melebihi yang
dimiliki oleh seluruh eksistensi yang lain, karena cinta kepada Tuhan didasarkan
pada level eksistensial sesuatu dan level Manusia Sempurna adalah yang tertinggi.
Download