II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Talas Di Indonesia talas biasa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dari permukaan laut.Tanaman ini tumbuh tegak dengan tinggi 1 m atau lebih. Talas merupakan tanaman pangan yang berupa herbal dan merupakan tanaman semusim atau tanaman sepanjang tahun (Purwono dan Heni, 2007). Tanaman talas merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki peranan cukup strategis tidak hanya sebagai sumber bahan pangan, dan bahan baku industri tetapi juga untuk pakan ternak. Tanaman talas memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir sebagian besar bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi manusia. Tanaman talas yang merupakan penghasil karbohidrat berpotensi sebagai substitusi beras. Talas mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan karena berbagai manfaat dan dapat dibudidayakan dengan mudah sehingga potensi talas ini cukup besar (Anonimus, 2010). Talas banyak dimanfaatkan sebagai tanaman sayuran dan sumber karbohidrat pangan. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemampuan bagian ubi talas dalam hal penyediaan zat gizi bagi tubuh cukup tinggi. Dibandingkan dengan ubi jalar dan ubi kayu, talas mempunyai keunggulan dalam kandungan protein, vitamin B1, unsur P dan Fe yang lebih tinggi dan kadar lemak yang rendah. Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan dikenal secara luas terutama di wilayah Asia dan Oceania. Di Indonesia, talas sebagai bahan makanan cukup 5 6 populer dan produksinya cukup tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa (Bogor, Sumedang, dan Malang) yang merupakan sentra-sentra produksi talas. Tingkat produksi tanaman talas tergantung pada kultivar, umur tanaman dan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Pada kondisi optimal produktivitas talas dapat mencapai 30 ton/hektar. Pengolahan talas saat ini kebanyakan memanfaatkan ubi segar yang dijadikan berbagai hasil olahan, diantaranya yang paling populer adalah keripik talas. Produk olahan ubi talas dengan bahan baku tepung talas masih terbatas karena tepung talas belum banyak tersedia di pasaran (Lemmens dan Bunyapraphatsara,2003) Komposisi zat yang terkandung dalam 100 g talas, Menurut Rawuh (2008), dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 1. Komposisi Zat yang Terkandung dalam 100 g Talas Komponen Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fospor (mg) Besi (mg) Vit. A (mg) Vit. C (mg) Vit. B1 (mg) Air (ml) Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Rawuh, 2008. Gambar 1. Tanaman talas (Saputra 2015) Talas Mentah 98 1,9 0,2 23,7 28,0 61,0 1,0 3,0 4,0 0,13 73,0 85,0 Gambar 2. Ubi Talas (Saputra 2015) 7 2.2 Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang (Jane, 1995; Koswara, 2006).Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berupa bubuk putih, tidak berasa dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Pati dapat dibuat dari tumbuhan singkong (ubi kayu), ubi jalar, kentang, jagung, sagu, dan lain-lain (Widowati, 2001). Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras sedangkan amilopektin memberikan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi (Anonim, 2011).Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Bentuk asli pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi.Di alam, lebih banyak ditemukan pati berstruktur amilopektin, yaitu 80-90%, sedangkan sisanya 10-20% merupakan pola amilosa. Kedua tipe tersebut dapat dipisahkan, yaitu dengan melarutkannya di dalam air mendidih, amilosa akan mengendap sedangkan amilopektin membentuk koloid yang kalau dibiarkan akan menarik air dan 8 terbentuk pasta (Hawab, 2004). Karena belum adanya syarat mutu tentang pati ubi talas maka digunakan syarat mutu pati singkong yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 .Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992 No Jenis Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan Khas singkong - Bau Khas singkong - Rasa Putih - Warna 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Benda Asing Derajat Putih Kadar Abu Kadar Air Derajat Asam Asam Sianida Kehalusan Kadar Pati Bahan Tambahan Pangan 11 Cemaran Logam - Tmbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen 12 Cemaan Mikroba - Angka Lempeng Total - E.coli - Kapang % % b/b % b/b ml N NaOH/100g mg/kg % lolos (80 mesh) % b/b Sesuai SNI 010222-199 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Koloni/g APM/g Koloni/g Tidak Boleh Ada Min 85 Maks 1.5 Maks 12 Maks 3 Maks 40 Min 90 Min 75 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0,5 Maks. 1.0 x 106 <3 Maks. 1.0 x 104 Sumber : SNI 01-2997-1992 2.2.1 Amilosa Amilosa merupakan polisakarida, yaitu polimer yang tersusun dari glukosa sebagai monomernya. Setiap monomer terhubung dengan ikatan -(1,4) glikosidik. 9 Amilosa adalah polimer yang tidak bercabang. Dalam masakan, amilosa memberi efek keras bagi tepung atau pati. Amilosa sangat berperan pada saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakteristik pasta pati. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang besar untuk gelatinisasi (Sunarti dkk., 2007). Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Gambar 3. Rumus Bangun Amilosa (Hart 1987) 2.2.2 Amilopektin Bagian dari pati yang tidak larut dalam air dan mempunyai berat molekul antara 70.000 sampai satu juta disebut amilopektin. Amilopektin merupakan polisakarida bercabang bagian dari pati, terdiri atas molekul-molekul glukosa yang terikat satu sama lain melalui ikatan 1,4-glikosidik dengan percabangan melalui ikatan 1,6-glikosidik pada setiap 20-25 unit molekul glukosa. Amilopektin merupakan molekul raksasa dan mudah ditemukan karena menjadi satu dari dua senyawa penyusun pati, bersama-sama dengan amilosa. Walaupun tersusun dari monomer yang sama, amilopektin berbeda dengan amilosa, yang terlihat dari karakteristik fisiknya. 10 Pemanasan pati dengan asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil secara acak dan hasilnya adalah glukosa (Lehninger, 1988). Pada dasarnya, struktur amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek α-(1,4)- D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat percabangan yang tinggi dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa dan bobot molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Gambar 4. Rumus Bangun Amilopektin (Hart 1987) 2.2.3 Pembuatan Pati Talas (suku talas-talasan atau Araceae) merupakan tumbuhan penghasil umbi yang cukup penting. Tanaman ini mulanya berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk India, Cina, Afrika Barat, Afrika Utara dan Hindia Barat. Di Indonesia talas dapat dijumpai hampir diseluruh daerah serta dipergunakan sebagai makanan tambahan baik sebagai olahan sayur ataupun jajanan. Sedangkan dibeberapa kepulauan Oseania, talas merupakan makanan pokok selain sukun. Jaman moderen saat ini, peningkatan akan kebutuhan hidup sangatlah tinggi. Hal tersebut ditandai salah satunya dengan harga beras yang merupakan 11 makanan pokok rakyat Indonesia sudah sangat mahal. Untuk mensiasati hal tersebut kita dapat melakukan pengolahan terhadap talas yang sebelumnya hanya sebagai makanan pendamping biasa menjadi makanan pokok yang bernilai ekonomis tinggi dengan terlebih dahulu memperoleh pati dari talas tersebut. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam pembuatan pati tersebut diantaranya adalah baskom, pisau, lap, saringan, tempeh, parutan, dan air dengan langkah pembuatan pati ubi talas sebagai berikut : 1) Ubi talas dikupas dari kulitnya. 2) Dibersihkan ubi yang telah dikupas dengan air bersih. 3) Direndam ubi talas dengan air selama 10 menit. 4) Diparut ubi talas yang sudah direndam hingga menjadi bubur. 5) Dimasukkan hasil parutan kedalam baskom, kemudian ditambahkan air. Perbandingan ubi talas dengan air adalah 1 : 4. 6) Parutan ubi talas yang telah ditambahkan air kemudian disaring hingga didapatkan sari patinya. 7) Setelah diperoleh ampas, kemudian diperas kembali agar keluar sari patinya, namun ampas tersebut jangan dibuang karena masih dapat dipergunakan. 8) Sari pati dari ubi talas dibiarkan mengendap selama 12 jam dengan konsentrasi Na Metabisulfit 0,3%. 9) Setelah dibiarkan selama 12 jam, cairan yang terdapat diatas saripati tersebut dibuang. 10) Endapan dari pembiaran selama 12 jam tersebut dikeringkan. 12 11) Setelah dikeringkan dilakukan pengayakan dengan ayakan 80 mesh. 12) Didapatkan pati ubi talas yang dapat dilakukan pengolahan berikutnya. 13 Ubi Talas Pengupasan Air Pencucian Pemarutan Hancuran Ubi Talas Perendaman dengan perbandingan air dan hancuran ubi talas (4 : 1) Pemerasan Sari Pati Ubi Talas Pengendapan (12 jam) dengan konsentrasi Na Metabisulfit 0,3 % Penirisan (5 menit) Endapan Sari Pati Pengeringan 3 jam (70oC) Pati Kasar Penumbukan Pati Halus Pengayakan (80 Mesh) Pati Ubi Talas Gambar 5. Diagram alir pembuatan pati ubi talas (Puriartini 2011) modifikasi (Farhandi, 2015) 14 2.3 Hidrolisis Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Purba, 2009). Hidrolisa pati terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi hidrolisa pati banyak diaplikasikan secara komersial untuk memproduksi glukosa, dan maltodekstrin (Kusnandar, 2010). Proses hidrolisa dapat berjalan dengan baik apabila menggunakan data kinetika yang tepat untuk mengendalikan produk yang dihasilkan. Proses hidrolisa pati dapat dijalankan dengan menggunakan katalisator bisa berupa enzim ataupun asam. 2.3.1 Enzim Hidrolisis disini adalah dengan memecah rantai pada pati baik amilosa maupun amilopektin. Enzim yang memecah yaitu α - amilase terdapat pada tanaman, jaringan mamalia, jaringan mikroba. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis (Niba dkk., 2002). Cara kerja enzim αamilase terjadi melalui dua tahap yakni pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan amiltrotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α- amilase pada molekul amilosa (Koswara, 2006). Hal-hal yang mempengaruhi hidrolisa enzim antara lain konsentrasi asam, temperatur, dan waktu pemasakan (Azeez, 2002). Laju 15 hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai lurus. Menurut Purba (2009) proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran partikel, Suhu, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan. Enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan isoamilase. Enzim yang biasa digunakan untuk proses pembuatan sirup glukosa secara sinergis adalah enzim α-amylase dan enzim glukoamilase. Enzim α-amylase akan memotong ikatan amilosa dengan cepat pada pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Kemudian enzim glukoamilase akan menguraikan pati secara sempurna menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi. 2.3.2 Asam Proses hidrolisis pati dalam suasana asam pertama kali ditemukan oleh Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial mulai terjadi sejak tahun 1850. Hidrolisis secara asam merupakan proses liquifaksi, yakni berupa pemutusan rantai-rantai molekul pati yang lemah sehingga perolehan glukosanya belum maksimal. Penurunan energi aktivasi (menurunkan suhu reaksi) dan mempercepat jalannya reaksi hidrolisis pati dibutuhkan suatu katalis. Mekanisme kerja katalis dapat dijelaskan sebagai terjadinya tumbukan antar elektron yang mengakibatkan adanya perubahan konfigurasi elektron sehingga didapat unsur baru yang pada akhirnya menghasilkan zat (senyawa) baru. Penambahan katalis asam dapat 16 menciptakan kondisi asam dan pH yang sesuai. Efektivitas dari kerja katalis juga sangat dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi pati. Hidrolisis dengan menggunakan asam menyebabkan gelatinisasi sempurna dari semua pati, dan menghasilkan hidrolisat yang mudah disaring, tetapi didapat juga produk reversi, garam-garam dan timbulnya warna akibat kerja katalitik yang tidak spesifik. Pati yang derajat kemuriannya kurang, mengandung kontaminan protein yang akan ikut terhidrolisis bila digunakan asam, hal ini merupakan penyebab timbulnya warna coklat pada produk. Perlakuan pati di bawah titik pembentukan gel pada larutan asam akan menghasilkan produk dengan viskositas pasta panas yang rendah dan mempunyai rasio viskositas pasta dingin dan panas yang tinggi dan angka alkali (alkali number) yang tinggi dari pati-pati alami. Demikian halnya dalam pemecahan granula pati oleh air panas tidak sama dengan pati alami walaupun mempunyai bentuk granula yang hampir sama dengan pati alami. Pati termodifikasi asam dibandingkan dengan pati aslinya menunjukkan sifat-sifat yang berbeda, seperti (1) penurunan viskositas, sehingga memungkinkan penggunaan pati dalam jumlah yang lebih besar (2) penurunan kemampuan pengikatan iodine (3) pengurangan pembengkakan granula selama gelatinisasi (4) penurunan viskositas intrinsik (5) peningkatan kelarutan dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi (6) suhu gelatinisasi lebih rendah (7) penurunan tekanan osmotik (penurunan berat molekul) (8) peningkatan rasio viskositas panas terhadap viskositas dingin dan (9) peningkatan penyerapan NaOH. Akan tetapi sama seperti pati alami, pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin (Koswara, 2006). Karakteristik utama dari pati termodifikasi asam ini adalah 17 kecenderungan untuk rhetrogradasi lebih rendah dibanding pati lainnya (Sriroth, 2002). Konsentrasi asam, temperatur, konsentrasi pati dan waktu reaksi dapat bervariasi tergantung dari sifat pati yang diinginkan. Dengan pemberian asam pada tapioka, kentang, pati gandum maka produk akan menjadi lebih bersifat cair, membentuk gel yang kuat pada pendingin dimana kekuatannya sama dengan pati jagung. Adanya aktivitas asam akan meningkat dengan peningkatan suhu atau dengan penambahan asam lemah akan memperpendek waktu reaksi. 2.4 Hasil Hidrolisis Pati Produk hasil hidrolisat pati sangat banyak digunakan dan diterapkan dalam penggunaan pati pada produk-produk pengolahan hasil pangan. Proses hidrolisat pati menggunakan asam maupun enzim adalah proses yang umum digunakan untuk mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan hingga mengubah pati menjadi gula sederhana. Hidrolisis yang sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan Dextrose Equivalent (DE) yang merupakan besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. Secara komersial penggunaan pati dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Nilai DE mempengaruhi karakteristik maltodekstrin (Kuntz, 1997). Nilai DE yang tinggi maka nilai hygroscopicity, plasticity, sweeteness, solubility, dan osmolality juga tinggi. Selain itu pati akan lebih mudah mengalami 18 proses browning. Namun jika nilai DE turun, yang akan meningkat adalah berat molekul, viscocity, cohesiveness, dan film-forming properties. Selain itu, nilai DE yang rendah mengakibatkan pembentukan kristal gula yang besar dapat dicegah. Konsentrasi katalis dapat berpengaruh pada nilai DE dari produk yang dihasilkan. Makin tinggi konsentrasi katalis, makin banyak gula pereduksi yang terbentuk. Hal ini berarti nilai DE akan semakin tinggi. Meskipun demikian, penentuan konsentrasi katalis memiliki batas optimum. Jika melebihi batas tersebut, hidrolisis akan terhambat. Perbedaan waktu hidrolisis juga dapat menyebabkan jumlah pati yang termodifikasi juga berbeda. Makin lama waktu hidrolisis makin besar persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Hal ini dapat dilihat dari nilai DE yang semakin tinggi (Griffin dan Brooks, 1989).