P OP RISET RABU, 1 JUNI 2011 5 USIA PENGARUHI TINDAKAN MORAL Respons moral manusia atas situasi yang sama ternyata mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia. DAVID TOBING D EMIKIAN kesimpulan kajian terbaru yang dilakukan peneliti di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Kesimpulan itu dihasilkan dari riset yang mengombinasikan pengukuran atas pemindaian otak, pelacakan pergerakan mata, dan tingkah laku, demi memahami cara kerja otak dalam menanggapi skenario yang sarat implikasi moral. Respons moral sebagai tindakan memang dapat terjadi secara intensional ataupun aksidental. Intensional berarti si pelaku meniatkan tindakan moral tersebut, sedangkan aksidental berarti si pelaku tidak meniatkan tindakan moral tersebut. Berbeda dengan anak prasekolah, orang dewasa cenderung berpikir untuk mencari orang yang seharusnya dihukum atas respons moral yang keliru. “Khususnya tindakan mereka yang bersifat aksidental,” ujar Jean Decety, penulis kajian tersebut, yang juga profesor psikologi dan psikiatri dari Universitas Chicago, pakar afeksi, dan social neuroscience. Decety menyatakan bahwa ada korelasi antara respons moral dan tahapan perkembangan otak. Respons moral itu dipengaruhi pertimbangan rasional otak atas suatu putusan moral, serta pemahaman pelaku atas kondisi mental orang lain sehubungan dengan hasil dari tindakan yang akan dia lakukan. Emosi-emosi negatif mengingatkan seseorang akan adanya situasi moral tertentu yang ditandai ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan itulah yang mendahului penilaian moral. “Tanggapan yang lebih bersifat emosional itu cenderung kuat pada anak-anak,” jelas Decety. Seperti dituliskannya dalam artikel berjudul The Contribution of Emotion and Cognition to Moral Sensitivity: A Neurodevelopmental Study yang dipublikasikan dalam jurnal Cerebral Cortex, ini merupakan kajian pertama REUTERS/CCTV VIA REUTERS TV AKSI KEKERASAN: Sebuah tayangan TV menampilkan aksi kekerasan yang terjadi di China, beberapa waktu lalu. Dalam riset yang dilakukan di Amerika dengan menampilkan adegan kekerasan dalam televisi, orang dewasa lebih menoleransi tindakan-tindakan yang aksidental daripada seorang anak. Pelacakan pergerakan mata menyingkapkan fakta bahwa para partisipan lebih memperhatikan orang yang dilukai dan benda yang rusak daripada pelaku.” dari perspektif perkembangan syaraf yang memeriksa relasi antara otak dan tindakan dalam memberikan respons moral dan nonmoral atas situasi tertentu. Kajian itu juga memberikan pembuktian kuat bahwa penalaran moral adalah integrasi kompleks antara proses afeksi dan kognitif yang mengalami per ubahan secara gradual, seiring dengan pertambahan usia. Tayangan video Demi riset tersebut, Decety dan para koleganya mengkaji 127 partisipan riset yang berusia antara 4 dan 36 tahun. Para peneliti menyuguhkan videoklip pendek kepada mereka. Peneliti juga melakukan functioning magnetic resonance imaging scan (fMRI scan) ketika para partisipan menonton videoklip pendek itu. Scan fMRI merupakan pemindaian otak demi mengetahui apa yang ada dan yang bersembunyi dalam pikiran seseorang. Bersamaan dengan fMRI scan, tim peneliti juga mengukur perubahan perluasan daya jangkau melihat dari pupil di saat para partisipan menonton video tersebut. Para partisipan menonton 96 klip yang menggambarkan tindakan seseorang, baik intensional atau aksidental, yang membahayakan orang lain atau melukai orang lain. Tindakan yang secara intensional membahayakan orang lain misalnya pelaku mendorong orang lain secara paksa. Tindakan yang secara aksidental dapat membahayakan orang lain misalnya ketika seorang pemain golf mengayunkan tongkat. Selain peristiwa yang berpotensi membahayakan orang lain, tim peneliti juga menyuguhkan videoklip pendek yang menyaji- kan tayangan perusakan benda, baik secara intensional maupun aksidental. Perusakan benda secara intensional misalnya ditampilkan lewat tayangan seorang pelaku menendang ban sepeda. Adapun perusakan benda secara aksidental misalnya ditampilkan lewat tayangan seseorang yang mengetuk-ngetuk teko yang ada di atas rak. Pelacakan pergerakan mata menyingkapkan fakta bahwa para partisipan--tanpa memperhitungkan usia mereka--lebih memperhatikan orang yang dilukai dan benda yang rusak daripada pelaku. Analisis atas ukuran pupil memperlihatkan bahwa pupil lebih memperluas daya jangkau penglihatan saat menyaksikan tindakan yang intensional daripada tindakan yang aksidental. Perbedaan perluasan daya jangkau penglihatan pupil itu terjadi secara konstan dan sama bagi setiap partisipan. “Perluasan daya jangkau pupil itu ternyata berkorelasi dengan aktivitas amygdala dan anterior cingulated cortex,” tambah Decety. Hukuman Riset itu pun menyingkapkan bahwa ketika para partisipan menyaksikan video, ternyata wilayah bagian otak tertentu mengalami peningkatan aktivitas yang berbeda-beda, ditentukan usia partisipan. Pada anak-anak, amygdala-yang biasanya diasosiasikan dengan penggerak pertumbuhan respons emosional atas suatu situasi sosial--lebih mengalami peningkatan ketimbang pada orang dewasa. Secara kontras, pada orang dewasa, aktivitas pada wilayah dorsolateral dan ventromedial prefrontal cortex--wilayah pada otak yang memungkinkan manusia mempertimbangkan nilai dari suatu putusan dengan memperhitungkan hasil yang akan diperoleh dari suatu tindakan-mengalami peningkatan. Sebagai tambahan, tim peneliti pun meminta para partisipan riset untuk menentukan apa niat si pelaku dan hukuman apa yang patut diterima sehubungan dengan kerusakan dan luka yang disebabkan tindakannya itu. “Anak-anak cenderung mem- pertimbangkan segala kejahatan si pelaku. Tak masalah apakah tindakan itu intensional atau aksidental, apakah target si pelaku itu orang atau benda. Tetapi, para partisipan yang lebih tua tampaknya dapat memaklumi tindakan si pelaku yang bersifat aksidental, dan sasaran dari tindakan pelaku adalah benda,” terang Decety. Ketika memberikan hukuman, orang dewasa lebih menoleransi tindakan-tindakan yang aksidental. Orang dewasa lebih memiliki kemampuan untuk membuat putusan moral. “Pada anak-anak, tingkat empati terhadap korban begitu tinggi untuk kemudian berkurang secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia. Hal itu berkorelasi dengan aktivitas di daerah insula dan subgenual prefrontal cortex,” imbuh Decety. Hubungan antara empati dan aktivitas insula serta subgenual prefrontal cortex secara konsisten memperlihatkan bahwa moralitas berkaitan dengan aktivitas otak. (Science Daily/M-3) [email protected] Memahami Gangguan Dyscalculia SISWA yang kesulitan belajar matematika mungkin memiliki gangguan neurokognitif yang menghambat pemahaman konsep numerik dan aritmatika dasar. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Sains menyebutkan pengajaran khusus bagi individu dengan dyscalculia--semacam disleksia di bidang matematika-harus disediakan secara luas dalam dunia pendidikan. Meskipun prevalensi diperkirakan mencapai 7% dari populasi penduduk, dyscalculia banyak diabaikan sebagai gangguan perkembangan kognitif. Namun, para ilmuwan dan pendidik di seluruh dunia terus berupaya mengungkap kelainan dalam jaringan otak para penderita gangguan dyscalculia dan membangun jaringan saraf yang membantu pemahaman aritmatika. Penelitian neuroscience menunjukkan jenis bantuan yang paling dibutuhkan bagi penderita dyscalculia adalah penguatan terhadap konsep angka sederhana. Hal itu dapat dicapai melalui skema mengajar yang dirancang khusus. Skema pengajaran itu dapat didukung dengan pemberian gim perangkat lunak yang disesuaikan dengan tingkat kompetensi peserta didik. Menurut Profesor Brian But- terworth, anggota Pusat Pendidikan Neuroscience (CEN) dari UCL Institute of Cognitive Neuroscience, jumlah dyscalculia setidaknya sama banyaknya dengan disleksia. Hal itu membuat beban negara sangat berat. “Di Inggris biaya diperkirakan mencapai 2,4 miliar pound sterling.” “Namun demikian, hanya ada sedikit referensi terhadap gangguan ini dalam situs departemen pendidikan. Tidak ada indikasi yang ditawarkan untuk membantu, baik itu untuk pelajar, guru atau orang tua. Seolah-olah pemerintah tidak mau mengakui keberadaannya,” tambahnya. Seperti halnya disleksia, dyscalculia adalah kondisi yang sudah ada saat kita dilahirkan. Dan dalam banyak kasus mungkin diwariskan dari orang tua. Penelitian terhadap orang kembar dan populasi khusus menunjukkan cacat aritmatika memiliki komponen genetik yang besar, tapi gen mana yang bertanggung jawab belum ditemukan. Profesor Diana Laurillard, anggota CEN dari Institut Pendidikan (IOE), University of London, mengatakan meskipun dyscalculia merupakan warisan, itu tidak berarti tidak ada yang dapat dilakukan. Sama seperti disleksia, pengajaran khusus da- pat membantu mengatasi gangguan ini. “Di IOE kami telah mengembangkan perangkat lunak khusus untuk membantu anak-anak dengan dyscalculia.” Salah satu tantangan utama dari upaya memahami dyscalculia adalah para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda perlu saling memahami metode dan hasil penelitian satu sama lain. Pendirian pusat-pusat interdisipliner dan antarinstitusi untuk mempromosikan kerja bersama, seperti Pusat Pendidikan Neuroscience yang didirikan UCL (University College London), lembaga pendidikan, Universitas London, dan Birkbeck University of London, bertujuan mengatasi tantangan ini. Profesor Laurillard menambahkan, hasil penelitian dari ilmu saraf dan psikologi perkembangan menunjukkan peserta didik penderita dyscalculia perlu berlatih lebih banyak jika dibandingkan dengan pelajar umumnya. REUTERS DYSCALCULIA: Murid sekolah dasar mengikuti pelajaran matematika di Filipina, beberapa waktu lalu. Penelitian menyebutkan pengajaran bagi individu dengan dyscalculia--semacam disleksia di bidang matematika--harus disediakan secara luas dalam dunia pendidikan. Memahami dyscalculia Beberapa contoh indikator umum dyscalculia: (i) sering melakukan perbandingan jumlah dan penambahan sederhana dengan menggunakan jari dan (ii) menemukan kesulitan dalam estimasi perkiraan. Individu yang diidentifikasi menderita dyscalculic berperilaku berbeda dari rekan-rekan mereka pada umumnya, misalnya: • Untuk mengatakan mana yang lebih besar dari dua kartu yang menampilkan 5 dan 8, mereka menghitung semua simbol pada setiap kartu. • Untuk menempatkan kartu 8 secara berurutan di antara kartu 3 dan 9 mereka menghitung ruang antara keduanya untuk mengidentifikasi di mana 8 harus ditempatkan. • Untuk menghitung mundur dari 10 mereka menghitung dari 1 sampai 10, kemudian 1 sampai 9, dan lain-lain. • Untuk menghitung naik dari 70 puluhan, mereka mengatakan ‘70, 80, 90, 100, 200, 300,... ‘ • Mereka memperkirakan ketinggian ruang normal adalah 200 kaki. (ScinceDaily.com/ Dip/M-7)