BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam Dalam bahasa inggris Ilmu Pengetahuan Alam disebut natural science, natural yang artinya berhubungan dengan alam dan science artinya ilmu pengetahuan. Dari terjemahan kata-kata tersebut ilmu pengetahuan alam atau natural science dapat diartikan sebagai ilmu tentang alam. Menurut Samatowa (2010: 3) “IPA adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini.” Definisi ini menyebutkan dengan jelas, bahwa objek dari IPA adalah peristiwa yang terjadi di alam. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Powler (dalam Samatowa, 2010: 3) “IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen.” Dari pengertian tersebut, Powler menyatakan bahwa IPA adalah ilmu yang membahas tentang gejala alam dan kebendaan. Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu yang sistematis atau teratur, artinya pengetahuan yang tersusun dalam suatu sistem yang saling berhubungan. Juga disebutkan pengetahuan IPA merupakan suatu hasil perolehan dari eksperimen atau observasi yang dilakukan. Pengertian IPA menurut Samatowa hanya ditekankan pada objek pengetahuan yang dipelajarinya saja, yaitu segala peristiwa yang terjadi di alam. Powler juga menyatakan bahwa IPA merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan alam. Hanya saja Powler menyebutkan lebih rinci bahwa IPA merupakan sistem yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan yang saling berhubungan. Selain itu, dalam definisinya Powler juga menyebutkan bahwa pengetahuan IPA merupakan perolehan dari sebuah percobaan yang dilakukan secara umum. Dari dua pendapat tersebut ada 3 hal yang menjadi kunci dalam pengertian IPA yaitu peristiwa alam, sistematis dan eksperimen. 7 8 IPA merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisir tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian kegiatan ilmiah. IPA tidak hanya menekankan pada produk saja, tetapi juga menekankan pada proses. Hal tersebut bertujuan untuk pemberian pengalaman langsung guna mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, termasuk pada jenjang sekolah dasar. IPA merupakan pengetahuan penting yang harus diajarkan agar siswa dapat memahami alam yang ada di sekitarnya. Selain itu, IPA juga dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis. Berdasarkan dua pendapat tersebut penulis menyimpulkan, IPA adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang objek belajarnya adalah segala peristiwa yang ada di alam dan pengetahuan tersebut dapat diperoleh menggunakan model ilmiah. 2.1.2 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Menurut Suprihatiningrum (2012: 75), “pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar.” Lingkungan yang dimaksud tidak hanya lingkungan fisik saat pembelajaran itu berlangsung, tetapi juga model serta media untuk menyampaikan informasi dalam pembelajaran. Sedangkan Susanto (2012: 19) mengemukakan bahwa “pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.” Secara sengaja guru menciptakan suasana agar siswanya dapat belajar dengan baik. Belajar dengan baik dalam hal ini dimaksudkan agar tujuan dari proses belajar tersebut tercapai dengan maksimal. Pembelajaran menurut dua pendapat tersebut diartikan sebagai suatu kondisi yang sengaja diciptakan. Kondisi tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan kemudahan bagi siswa dalam belajar. Belajar yang disertai proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik, dari pada hanya belajar sendiri. Belajar dengan proses pembelajaran meliputi peran guru, bahan ajar, dan 9 lingkungan yang kondusif yang sengaja diciptakan. Sehingga dalam hal ini kemampuan guru untuk mengorganisir komponen-komponen yang ada dalam pembelajaran sangat diperlukan agar antara komponen-komponen tersebut dapat berinteraksi secara optimal sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. “Pembelajaran IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan prosedur dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapat suatu kesimpulan.” (Susanto, 2012: 167) Dari pengertian tersebut dijelaskan bahwa dalam mempelajari IPA dibutuhkan aktivitas berpikir yang kompleks berupa pengamatan, sesuai prosedur dan penalaran hingga akhirnya dapat menyimpulkan. Dalam pembelajaran tersebut terjadi proses berpikir yang tidak berhenti pada sekedar mengetahui saja. Pembelajaran yang semacam ini tidak dapat dicapai jika hanya menggunakan model hafalan atau penanaman konsep secara konvensional. Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Dalam pembelajaran IPA di SD yang perlu diajarkan adalah produk dan proses IPA karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA adalah serangkaian proses yang direncanakan guru untuk membantu siswa mempelajari segala tentang alam dengan menggunakan model ilmiah. Pembelajaran IPA di sekolah dasar dimaksudkan agar siswa mendapatkan pengalaman serta kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap terhadap alam. Tujuan umum pembelajaran IPA di sekolah dasar seperti yang diungkap dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 untuk SD agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 10 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsepkonsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. 4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Tujuan pembelajaran mata pelajaran IPA tersebut tidak dapat tercapai jika hanya menggunakan model pembelajaran yang konvensional tanpa melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang menekankan pada konsep saja tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran IPA. Tujuan tersebut adalah pengembangan keterampilan proses siswa. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA adalah untuk mengembangkan keterampilan proses, pengetahuan dan pemahaman konsep yang bermanfaat untuk menyelidiki alam sekitar. Agar tujuan tersebut tercapai, hendaknya guru dapat menciptakan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dan berpikir kritis. Hal tersebut menjadi dasar di terapkannya pembelajaran kooperatif tipe Scramble yang memadukan pembelajaran dengan bermain. 2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Scramble Menurut Suprihatiningrum (2012: 142), “model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur dalam mengoraganisasikan pengalaman pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.” Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran biasanya disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh guru. Dengan 11 model pembelajaran diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan mampu membuat siswa untuk berpikir kritis. Salah satu model pembelajaran adalah model pembelajaran Kooperatif. Model pembelajaran Kooperatif adalah pembelajaran yang dirancang untuk saling bekerja sama. Menurut Hans (dalam Suprihatiningrum, 2012: 191), “pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau strategi yang dirancang khusus untuk memberi dorongan kepada siswa untuk bekerja sama dalam pembelajaran.” Dalam pembelajaran kooperatif ini, siswa biasanya dibagikan ke dalam kelompok, baik kelompok banyak maupun kelompok kecil. Melalui kerja kelompok tersebut siswa tidak hanya dituntut mengerti untuk dirinya sendiri, tetapi juga bertangggung jawab dalam pemahaman setiap anggota kelompoknya. Pembelajaran kooperatif termasuk pembelajaran yang student oriented, berpusat pada siswa, sehingga siswa akan terlibat aktif dalam pembelajaran. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah scramble. Menurut Huda (2013: 303), “model pembelajaran scramble adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok dengan mencocokkan kartu pertanyaan dengan kartu jawaban yang telah disediakan.” Dalam model ini terdapat dua kartu yang disediakan guru, yaitu kartu soal dan kartu jawaban yang diacak. Model ini tidak hanya menuntut siswa dapat menjawab soal, tetapi juga menemukan dengan cepat jawaban soal yang sudah tersedia namun masih dalam kondisi acak. Rober B. Taylor (dalam Huda, 2013: 303), “Scramble merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan konsentrasi dan kecepatan berpikir siswa.” Untuk menyusun kembali jawaban yang masih acak, membutuhkan konsentrasi yang tinggi dari siswa. Kecepatan dalam berpikir juga merupakan hal penting dalam pembelajaran scramble ini, karena siswa akan berlomba-lomba untuk mendapatkan jawaban yang benar secara cepat. Yang dimaksud dengan scramble adalah sebuah permainan yang dapat dilakukan oleh 3 atau 5 orang dalam satu kelompok, dalam permaianan tersebut para pemainnya harus menyusun kembali kata-kata dari huruf-huruf, kalimat dari kata-kata, dan wacana dari potongan kalimat-kalimat yang susunannya telah diacak terlebih dahulu. Teknik ini digunakan untuk sejenis permainan anak-anak. 12 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe scramble adalah model pembelajaran dengan membagi siswa menjadi kelompok untuk menemukan jawaban dari huruf atau kata yang acak, yang dapat melatih siswa untuk konsentrasi dan berpikir cepat. Dari teknik-teknik yang digunakan dalam model scramble, tujuan dari pembelajaran scramble adalah untuk merangsang siswa berpikir secara kritis dan cepat. Selain itu juga melatih konsentrasi siswa dan kerja sama dalam kelompok. Dengan digunakannya model yang teraplikasi seperti sebuah perminan ini juga akan membuat siswa merasa senang dan termotivasi dalam pembelajaran. Menurut Huda (2013: 304) model pembelajaran scramble mempunyai kelemahan dan kelebihan sebagai model pembelajaran, yaitu sebagai berikut: 1) Kelebihan a. Melatih siswa berpikir cepat dan tepat b. Mendorong siswa untuk belajar mengerjakan soal dengan jawaban acak. c. Melatih kedisiplinan siswa. 2) Kelemahan a. Siswa bisa saja mencontek jawaban temannya. b. Siswa tidak dilatih berfikir kreatif. c. Siswa hanya menerima bahan mentah. Model pembelajaran scramble memungkinkan siswa untuk belajar sambil bermain, sehingga siswa dapat berkreasi sekaligus dapat berfikir. Hal ini akan membangkitkan motivasi siswa dalam pembelajaran, siswa akan tertarik untuk mengikuti pembelajaran ini. Dengan teknik berkelompok, dapat mengembangkan kerjasama siswa dengan temannya dan melatih kompetisi antar kelompok. Materi yang disampaikan dengan model ini, akan menimbulkan kesan tersendiri bagi siswa, sehingga tidak mudah dilupakan oleh siswa. Namun, model ini juga mempunyai kelemahan seperti siswa hanya dituntut berpikir cepat tetapi tidak untuk berpikir kreatif. Siswa hanya menerima materi secara mentah saja. Suatu model pembelajaran memiliki sintaks yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam suatu kegiatan pembelajaran. Sintaks model pembelajaran scramble menurut Huda (2013: 304) adalah sebagai berikut: 13 a. Guru menyiapkan sebuah wacana, kemudian keluarkan kalimat-kalimat yang terdapat dalam wacana tersebut ke dalam kartu-karu kalimat. b. Guru membuat kartu soal beserta kartu jawaban yang diacak nomornya sesuai materi bahan ajar teks yang telah dibagikan sebelumnya dan membagikan kartu soal tersebut. c. Siswa dalam kelompok masing-masing mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok, sebelumnya jawaban telah di acak sedemikian rupa. d. Siswa di haruskan dapat menyusun kata jawaban yang telah tersedia dalam waktu yang telah ditentukan. Setelah selesai mengerjakan soal, hasil pekerjaan siswa dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan. Dari langkah-langkah tersebut dijelaskan bagaimana cara melaksanakan model pembelajaran scramble. Terlihat bahwa model pembelajaran scramble dimulai dengan guru menyampaikan materi. Setelah itu guru menyiapkan kartu soal dengan kartu jawaban, kartu jawaban berupa kata dengan huruf yang diacak. Siswa dibagi menjadi kelompok secara heterogen untuk memasangkan kartu soal dan kartu jawaban. Dalam kerja kelompok tersebut guru memberikan batasan waktu penyelesaian. Kemudian yang terakhir adalah memeriksa hasil pekerjaan siswa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah model pembelajaran scramble sebagai berikut: 1. Guru menyampaikan materi pembelajaran. 2. Guru membagi siswa menjadi kelompok heterogen yang terdiri dari 3-5 siswa. 3. Siswa bekerja dalam kelompok untuk mencocokkan kartu soal dengan kartu jawaban yang terdiri dari kata dengan huruf acak. 4. Penyampaian dan pembahasan hasil kerja siswa. 5. Pemeriksaan dan penilaian hasil kerja siswa. Dari 5 langkah yang dijabarkan dalam model pembelajaran scramble tersebut, kemudian disusun menjadi langkah-langkah pembelajaran berdasarkan Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Pengaplikasian langkah-langkah model pembelajaran scramble ke dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses adalah sebagai berikut: 14 a. Kegiatan Pendahuluan a. Guru membuka pembelajaran, salam, doa dan apersepsi. b. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. c. Guru menjelaskan tentang rencana pembelajaran yang akan ditempuh. b. Kegiatan Inti Eksplorasi a. Siswa menyimak penjelasan materi yang disampaikan oleh guru. b. Siswa diberikan kesempatan luas untuk berfikir mengenai materi yang disampaikan guru, dan diberikan kesempatan untuk mengutarakan hasil pemikirannya. c. Guru membagi siswa menjadi kelompok secara heterogen. Elaborasi a. Siswa dalam kelompok dibagikan kartu soal dan kartu jawaban yang acak sesuai dengan materi. b. Siswa melakukan penyelidikan untuk menemukan pasangan antara kartu soal dan kartu jawaban yang acak hurufnya. c. Siswa dapat menciptakan pengertian baru setelah menemukan hasil pasangan antara kartu soal dan kartu jawaban tersebut. d. Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. e. Kelompok lain menanggapi atau mengomentari hasil dari kelompok yang presentasi didepan kelas. Konfirmasi a. Guru memberikan umpan balik dan penguatan terhadap kerja siswa dalam menemukan pasangan antara kartu soal dan kartu jawaban yang acak hurufnya. b. Guru memberikan konfirmasi mengenai kegiatan menemukan pasangan antara kartu soal dan kartu jawaban yang acak hurufnya. c. Dengan bimbingan guru, siswa mengkomunikasikan pengalamannya dalam melakukan tugas dalam kelompok dan mencocokkan kartu soal dengan kartu jawaban yang acak hurufnya. 15 c. Kegiatan Penutup a. Guru dan siswa membuat penegasan atau kesimpulan pembelajaran. b. Siswa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru sebagai proses penilaian pembelajaran. c. Melakukan kegiatan tindak lanjut. 2.1.4 Hasil Belajar Hasil belajar sangat erat kaitannya dengan belajar atau proses belajar. Hasil belajar merupakan sasaran atau tujuan dari proses belajar tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan proses perolehan dari proses belajar siswa dengan tujuan pengajaran. Keberhasilan dari suatu proses belajar dapat dilihat dari hasil belajar yang diperoleh. Menurut Gagne & Briggs (dalam Suprihatiningrum, 2012: 37), “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa.” Jadi menurut Gagne dan Briggs, setelah siswa melalui proses belajar, siswa akan memperoleh kemampuan-kemampuan. Kemampuan tersebut tentunya kemampuan yang baru didapat setelah mengikuti proses belajar. Selain itu, menurut Gagne kemampuan tersebut dapat dilihat atau diamati dari siswa tersebut. Winkel berpendapat (dalam Purwanto 2008: 45), “hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya, perubahan itu mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.” Winkel menekankan bahwa hasil belajar merupakan perubahan mengenai sikap dan tingkah laku siswa. Perubahan akibat dari proses belajar tersebut mencakup tiga aspek yaitu aspek pengetahuan atau kognitif, aspek sikap atau afektif dan aspek perbuatan atau psikomotorik. Setelah melalu proses belajar individu seharusnya mengalami perubahan perilaku, perubahan tersebut yang disebut dengan hasil belajar. Perubahan akibat proses belajar, tidak hanya pada perubahan secara kognitif saja, tetapi juga perubahan secara sikap dan perbuatan. Ketiga aspek tersebut merupakan 16 taksonomi pembelajaran yang diklasifikasikan oleh Bloom (dalam Suprihatiningrum, 2012: 38), yaitu: 1. Aspek kognitif Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berfikir, mengetahui, dan memecahkan masalah seperti pengetahuan kompehensif, aplikatif, sintesis, analisis, dan pengetahuan evaluatif. 2. Aspek Afektif Dimensi afektif adalah kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat dan apresiasi. 3. Aspek Psikomotorik Dimensi Psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan keterampilan yang bersifat motorik. Dalam proses belajar-mengajar di sekolah saat ini, hasil belajar aspek kognitif lebih dominan jika dibandingkan dengan hasil belajar aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini yang menjadi permasalahan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Karena seharusnya ketiga aspek tersebut harus tercapai dengan baik dan seimbang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siswa telah berhasil dalam belajarnya. Menurut Mulyasa (2009: 190) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berasal dari dalam diri seseorang (internal) dan dari luar diri seseorang (eksternal). Berikut adalah faktor-faktor tersebut: a. Faktor Eksternal Faktor Eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digolongkan kedalam faktor sosial dan non sosial. 1) Faktor sosial menyangkut hubungan antar manusia yang terjadi dalam situasi sosial. Termasuk lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. 2) Sedangkan faktor non sosial adalah faktor-faktor lingkungan yang bukan sosial seperti lingkungan alam dan fisik, misalnya keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber dan sebagainya. b. Faktor Internal 1) Faktor Jasmaniah (fisiologi), yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini ialah panca indera yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti mengalami sakit, cacat tubuh atau perkembangan yang tidak sempurna, berfungsinya kelenjar tubuh yang membawa kelainan tingkah laku. 17 2) Faktor Psikologi, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas: a) Faktor Intelektif yang meliputi faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat serta faktor kecakapan nyata, yaitu prestasi yang dimiliki. b) Faktor Non Intelektif yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri. 3) Faktor kematangan fisik maupun psikis, faktor yang berasal dari diri sendiri (internal), seperti intelegensi, minat, sikap dan motivasi. Faktor eksternal dalam lingkungan keluarga baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Di samping itu, diantara beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar ialah peranan faktor guru atau fasilitator. Dalam sistem pendidikan dan khususnya dalam pelajaran yang berlaku, peranan guru dan keterlibatannya masih menempati posisi yang penting. Karena bagaimanapun juga guru akan menjadi sutradara serta sumber dalam pembelajaran, meskipun bukan satu-satunya sumber. Dalam hal ini efektivitas pengelolaan faktor bahan, lingkungan, dan instrumen sebagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar, hampir keseluruhannya bergantung pada guru. Selain itu, faktor sosial yang juga banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga. Sifat-sifat orang tua, keadaan keluarga dan letak rumah dapat memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. Sedangkan pada faktor internal, kesiapan siswa baik secara jasmani maupun psikologi sangat berpengaruh pada prestasi belajarnya. Intelegensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar. Secara logika, semakin tinggi tingkat intelegensi maka semakin tinggi pula kemungkinan tingkat hasil belajar yang dapat dicapai. Begitu juga sebaliknya, jika intelegensinya rendah maka kecenderungan hasil yang dicapainyapun rendah. Namun, hal ini bukan satu-satunya faktor mengenai tinggi rendahnya prestasi belajar, karena banyak faktor lain juga mempengaruhinya. Faktor selanjutnya adalah minat, minat merupakan kecenderungan, kegairahan menginginkan sesuatu. Oleh karena itu minat dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar 18 dalam mata pelajaran tertentu. Motivasi serta emosi siswa mempengaruhi proses belajarnya, sehingga juga akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan yang dialami siswa setelah mengikuti pembelajaran, perubahan tersebut mencakup tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam hasil belajar terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, salah satu dari faktor tersebut adalah motivasi. Dari pengertian tersebut, hasil belajar tidak hanya dapat diukur dengan teknik tes. Akan tetapi juga menggunakan teknik non tes. Hal ini dikarenakan terdapat tiga aspek yang akan diukur. Untuk aspek kognitif pengukuran menggunakan teknik tes yaitu tes hasil belajar yang dilakukan pada akhir pembelajaran. Sedangkan untuk mengukur aspek afektif dan psikomotor menggunakan teknik non tes yaitu observasi langsung pada saat proses pembelajaran berlangsung. 2.1.5 Keterkaitan Model Pembelajaran Scramble dan Hasil Belajar IPA Indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran IPA adalah hasil belajar IPA. Keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran merupakan bukti dari keberhasilan ketercapaian SK dan KD yang diajarkan dalam pembelajaran. Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, yang dijadikan standar dalam pencapaian tujuan adalah SK dan KD. Tujuan pembelajaran IPA tersebut tidak dapat tercapai jika hanya menggunakan model pembelajaran yang konvensional tanpa melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang hanya berpusat pada guru dan kurang melibatkan siswa akan menghilangkan rasa ingin tahu yang tinggi pada setiap siswa. Pembelajaran yang menekankan pada konsep saja tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran IPA. Tujuan tersebut adalah pengembangan keterampilan proses siswa. Agar tujuan tersebut tercapai, hendaknya guru dapat menciptakan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dan berpikir kritis. Model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model kooperatif tipe scramble. Langkah-langkah dan karakteristik dalam model ini, memungkinkan untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan pembelajaran IPA di SD. 19 2.2 Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Febri Belandina dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VA pada mata pelajaran PKN Semester 2 SDN Madyopuro 4 Kecamatan Kedung Kandang Kota Malang Tahun Pelajaran 2011/2012.” Juga penelitian yang dilakukan Nurbaety dalam skripsinya yang berjudul “Upaya meningkatkan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam melalui model pembelajaran scramble pada siswa kelas IV SDN Blotongan 01 Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2012/2013.” Hasil penelitian yang dilakukan oleh Febri Belandina terhadap siswa kelas VA SDN Madyopuro 4 Kecamatan Kedung Kandang Kota Malang menyebutkan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan, sebelum penelitian ketuntasan hanya 40,85%. Setelah dilakukan tindakan, pada siklus1 ketuntasan belajar siswa 69,54% dengan 22 siswa telah tuntas karena nilai mencapai KKM dan 11 siswa belum tuntas karena belum mencapai KKM. Pada siklus 2 ketuntasan belajar siswa 74,54% dengan 24 siswa telah tuntas karena nilai mencapai KKM dan 9 siswa belum tuntas karena belum mencapai KKM. Pada penelitian tersebut, mengalami peningkatan hasil belajar yang bertahap. Hal ini ditunjukkan dengan presentase ketuntasan dan nilai rata-rata kelas dari sebelum penelitian dan setelah siklus 1 serta siklus 2. Dengan penerapan model pembelajaran scramble secara tepat dan sesuai standar proses, sehingga keberhasilan tersebut tercapai. Selain itu, penelitian tindakan yang dilakukan oleh Nurbaety terhadap siswa kelas IV SDN Blotongan 01 Salatiga juga menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa. Hasil penelitian menyebutkan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan, sebelum penelitian ketuntasan hanya 72%. Setelah dilakukan tindakan, pada siklus 1 ketuntasan belajar siswa 92% dengan 23 siswa telah tuntas karena nilai mencapai KKM dan 2 siswa belum tuntas karena belum mencapai KKM. Pada siklus 2 ketuntasan belajar siswa 100% dengan semua siswa sejumlah 25 telah mencapai KKM. Simpulan dari penelitian tersebut adalah pembelajaran ilmu pengetahuan alam menggunakan model scramble dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDN Blotongan 01 Salatiga tahun ajaran 2012/2013. 20 Berdasarkan dua penelitian yang telah menerapkan model pembelajaran scramble tersebut menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa. Melihat keberhasilan yang dicapai oleh peneliti sebelumnya, maka penulis juga optimis dengan keberhasilan yang akan tercapai pada penelitian tindakan ini. Penulis yakin dan optimis bahwa melalui penerapan model pembelajaran scramble dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri Ampel 03 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2.3 Kerangka Berpikir Keberhasilan peningkatan hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain siswa, guru, kurikulum, sarana prasarana, fasilitas sekolah, lingkungan sekolah dan lain-lain. Penggunaan model secara tepat, efektif dan efisien mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Pembelajaran IPA seringkali menggunakan metode pembelajaran yang konvensional yang hanya berpusat pada guru. Bagi guru penggunaan model secara tepat memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran karena mendorong guru untuk selalu berpikir kreatif dalam setiap materi yang diajarkan. Yang terpenting adalah siswa akan terlibat secara aktif, tertarik dan tidak jenuh dalam pembelajaran. Dan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran juga akan muncul. Model pembelajaran scramble dilaksanakan dengan langkah-langkah: guru menyampaikan materi pembelajaran, guru membagi siswa menjadi kelompok heterogen yang terdiri dari 3-5 siswa, siswa bekerja dalam kelompok untuk mencocokkan kartu soal dengan kartu jawaban yang terdiri dari kata dengan huruf acak, penyampaian dan pembahasan hasil kerja siswa, pemeriksaan dan penilaian hasil kerja siswa. Model pembelajaran scramble, siswa akan lebih tertarik mengikuti pelajaran karena dirancang dalam bentuk permainan. Dengan model ini siswa dituntut untuk berkonsentrasi, berpikir cepat dan tepat, sehingga siswa akan terlibat secara aktif dan nantinya akan lebih mudah mengingat. Sehingga diharapkan model pembelajaran scramble dapat digunakan sebagai usaha perbaikan atau sebuah tindakan untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA. 21 2.4 Hipotesis Tindakan Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Melalui penerapan model pembelajaran scramble dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri Ampel 03 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. b. Model pembelajaran scramble dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri Ampel 03 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dikarenakan model pembelajaran scramble dilaksanakan dengan langkah-langkah: guru menyampaikan materi pembelajaran, guru membagi siswa menjadi kelompok heterogen yang terdiri dari 3-5 siswa, siswa bekerja dalam kelompok untuk mencocokkan kartu soal dengan kartu jawaban yang terdiri dari kata dengan huruf acak, penyampaian dan pembahasan hasil kerja siswa, pemeriksaan dan penilaian hasil kerja siswa. Melalui model pembelajaran ini siswa dituntut untuk berkonsentrasi, berpikir cepat dan tepat, sehingga siswa akan terlibat secara aktif dan nantinya akan lebih mudah mengingat.