Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan empiema et causa Tuberkulosis pleura DD: masa paru sinistra dan anemia et causa infeksi kronis dan defisiensi besi Pendahuluan Empiema didefinisikan sebagai adanya cairan purulen didalam rongga pleura sebagai akibat dari proses inflamasi.1,2 Cairan ini dapat terlokalisasi maupun bebas didalam rongga pleura yang disebabkan karena adanya dead space dan inokulasi bakteri. Empiema merupakan suatu gejala yang tergolong berat dan berhubungan dengan morbiditas yang tinggi, terapi antibiotik jangka lama dan sering memerlukan intervensi invasive.1 Secara epidemiologis insidens empiema dilaporkan meningkat sekitar 1-4 per 100.000 anak diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi komplikasi yang berat. Insidens empiema meningkat secara cepat dimana terdapat sedikitnya 6500 anak menderita empiema ataupun efusi parapneumonia di Amerika Serikat dan Inggris setiap tahunnya, dengan mortalitas sebesar 20%, demikian pula di Australia dan Kanada.3,4 Sedangkan di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema dan paling banyak ditemukan pada usia 2 – 9 tahun.5,6 Empiema pada anak lebih sering terjadi pada usia bayi dan anak usia pra sekolah dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Streptokokus pneumoniae (terutama serotipe 1,3 dan 19A), Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes merupakan kuman patogen utama penyebab empiema di Inggris dan Asia.4,5 Namun penting untuk dipikirkan organisme penyebab lainnya terutama Mycobacterium tuberculosis dan MRSA (multi-drug resistance Staphylococcus aureus) jika terdapat faktor risiko pada anak atau tidak membaik dengan terapi empiris.4,6,7 Sedangkan di India, etiologi empiema yang paling sering ditemukan pada anak dalam isolasi mikrobiologi yakni Staphylococcus aureus sekitar 80% kasus dan selebihnya adalah bakteri gram negatif oleh karena tingginya insidensi resisten akibat pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia.1,6 Tuberkulosis juga merupakan penyebab empiema terutama pada sebagian besar masyarakat di India, meskipun sangat sulit diisolasi. Namun pada negara barat justru ditemukan biakan Mycobacterium tuberculosis yang tinggi sebagai mikroorganisme penyebab empiema pada anak.1 Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis, 1 torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan torakotomi standar dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru).8-10 Masih banyak perdebatan dan sampai sekarang belum dicapai kesepakatan tentang manajemen efusi parapneumonia pada anak, antara pemberian antibiotik saja atau dengan drainase (chest tube) maupun video-assisted thoracoscopic surgical (VATS).11-14 Tujuan sajian kasus ini adalah untuk menampilkan sebuah kasus yang jarang dijumpai dan complicated serta mendiskusikan bagaimanakah alur diagnosis, pemilihan manajemen terapi baik non operatif (suportif, medikamentosa) maupun operatif serta prognosis empiema pada anak dengan keterbatasan sarana dan prasarana manajemen invasif di Rumah Sakit DR. Moewardi (RSDM) Surakarta. Kasus Seorang anak laki-laki, L, berusia 3 tahun, dengan nomor rekam medik 01125937 datang di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSDM Surakarta pada tanggal 1 Mei 2012 dengan keluha utama sesak nafas. Orang tua mulai khawatir dengan kondisi pasien yang mengalami sesak nafas sejak 3 bulan yang lalu. Sesak nafas hilang timbul dan tidak hilang dengan istirahat maupun perubahan posisi. Pasien tidak nyeri dada, tidak tampak biru saat sesak, tidak demam, batuk, pilek, nyeri telan, mengi, kejang, diare, muntah maupun nyeri perut. pasien masih mau makan dan minum meskipun sedikitsedikit. Buang air besar (BAB) seperti biasa, 1x setiap hari, warna coklat dan lunak serta tidak ada keluhan. Buang air kecil (BAK) seperti biasa, warna kuning, banyak dan tidak ada keluhan. Pada saat itu pasien diperiksakan ke dokter spesialis anak dan mendapatkan obat namun keluhan sesak tetap sama seperti sebelumnya. Pada saat 2 minggu sebelum masuk RS, pasien masih sesak hilang timbul, dan berkurang dengan 2-3 bantal atau posisi setengah duduk. Pasien demam sumer-sumer namun tidak pernah demam tinggi. Satu minggu sebelum masuk RS pasien bertambah sesak disertai batuk ngikil dengan dahak yang sulit keluar serta demam sumer-sumer naik turun dan tidak pernah demam tinggi. Keluhan batuk dan sesak berkurang saat pasien tidur menggunakan 2-3 bantal dan tampak nyaman dengan posisi miring kekiri. Pasien tidak tersedak, tidak kejang, diare maupun muntah. Nafsu makan dan minum semakin menurun, namun berat badan tidak menurun. BAB dan BAK masih sama 2 seperti sebelumnya dan tidak ada keluhan, BAK terakhir 1 jam sebelum dibawa ke RS. Riwayat penyakit dahulu, pasien pernah mondok di RS dua kali, pada usia 4 bulan karena tidak bisa BAB dan pada usia 2 tahun karena diare. Pasien tidak pernah sakit sesak sebelumnya, sering mengi ataupun asma. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi, demikian juga pada keluarganya. Riwayat kehamilan merupakan kehamilan yang pertama. Ibu kontrol teratur ke bidan selama hamil, mendapat vitamin tambah darah, tidak pernah sakit selama hamil, seperti demam, sering batuk pilek, sakit gigi ataupun gigi berlubang. Pasien lahir spontan di rumah bersalin (RB), ditolong oleh bidan, lahir spontan, berat badan lahir 3000 gram. Ibu tidak ingat ukuran panjang badan dan lingkar kepala pasien. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sejak kecil sesuai dengan usia anak-anak sebayanya, riwayat imunisasi dinyatakan lengkap sesuai jadwal kartu menuju sehat (KMS) namun tidak lengkap sesuai jadwal imunisasi IDAI 2011. Riwayat nutrisi pasien minum ASI dan susu formula sejak kecil sampai usia 1 tahun, saat ini makan nasi sehari 3 kali dengan sayur dan lauk pauk bervariasi, sering dengan tahu, tempe ikan asin dan ayam, kesan kualitas dan kuantitas cukup. Aktivitas seharihari pasien suka bermain dengan teman sebayanya serta duduk menonton televisi dirumah. Ayah pasien berusia 35 tahun, agama Islam, suku Jawa, berpendidikan STM, bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan rata-rata Rp 1.000.000 perbulan. Ibu pasien berusia 30 tahun, agama Islam, suku Jawa, berpendidikan SMA, bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ayah dan Ibu tidak ada hubungan keluarga. Pasien tinggal di lingkungan sekitar persawahan dan jauh dari polusi udara atau asap pabrik, bertempat tinggal di rumah yang berpenghuni 8 orang, dan dari keluarga yang tinggal satu rumah atau lingkungan sekitar tidak ada yang menderita penyakit sesak nafas, batuk lama ataupun sakit paru-paru. Dari pohon keluarga baik dari keluarga ayah maupun dari keluarga ibu tidak didapatkan kondisi atau riwayat penyakit keluarga sakit jantung, sakit paru-paru ataupun menderita kanker serta penyakit lain yang berhubungan dengan kondisi pasien saat ini, namun dari anggota keluarga yang tinggal serumah dilaporkan ada yang sering sakit batuk dan keluhan saluran nafas. 3 I II III 35 th 30 th hari An. L Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemah, sesak nafas, komposmentis, tidak sianosis, gizi kesan baik. Tanda vital : tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi sama dengan laju jantung 132 kali permenit, isi dan tegangan cukup, teratur, laju napas 62 kali permenit, teratur, kedalaman cukup, suhu aksila 36,5°C, saturasi O2 98%. Pada pemeriksaan wajah tidak dismorfik. Pemeriksaan pada kedua mata didapatkan pupil isokor dengan diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya positif, konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik, ditemukan napas cuping hidung. Mukosa mulut dan daerah sekitar mulut tidak biru. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis. Pada pemeriksaan kepala, leher dan aksila tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan inspeksi toraks, tidak ada kelainan bentuk, didapatkan retraksi dinding dada, suprasternal, interkosta dan subkosta, pergerakan dada sebelah kiri tertinggal. Iktus kordis tidak tampak, teraba di sela iga IV garis tengah klavikula kiri dan tidak kuat angkat. Hasil pemeriksaan auskultasi jantung tidak didapatkan bising. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi redup pada hemitoraks kiri dan sonor pada hemitoraks kanan sedangkan pada palpasi paru fremitus raba menurun pada hemitoraks kiri. Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan penurunan suara dasar vesikuler di hemitoraks kiri, serta ronki di hemitoraks kanan. Pemeriksaan pada abdomen didapatkan dinding perut sejajar dinding dada, pada auskultasi didapatkan bising usus normal, palpasi abdomen masih supel, hepar dan lien tidak teraba. Pada perkusi didapatkan timpani dan tidak didapatkan asites. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan penis, skrotum dan teraba testis, tidak didapatkan fimosis. Pemeriksaan pada keempat ekstremitas tidak didapatkan edema, akral dingin, tidak ada sianosis pada kuku, serta tidak didapatkan pucat pada telapak 4 tangan maupun kaki. Berat badan pasien 13 kg, tinggi badan 95 cm, berdasarkan antropometri BB/U: -2< z-score <0 (WHO, 2007), TB/U: -2< z-score < 0 (WHO, 2007), BB/TB: z-score = -1 (WHO, 2007). Kesimpulan status gizi secara antropometri adalah gizi baik. Pada pemeriksaan penunjang di IGD didapatkan hasil laboratorium darah: hemoglobin 11,2 g/dl, hematokrit 34%, jumlah eritrosit 4,59.106/µl, jumlah lekosit 15.100/µl, hasil hitung jenis leukosit granulosit55/L36/M9, jumlah trombosit 642.000/µl, MCV 74,5/um, MCH 24,4 pg, MCHC 32,8 g/dl, kadar gula darah sewaktu 83 mg/dL, golongan darah A, ureum 14 mg/dL, albumin 3,5 g/dL, kreatinin 0,3 mg/dL, natrium 135 mmol/L, kalium 6,2 mmol/L dan klorida 104 mmol/L. Hasil analisis gas darah (dengan oksigen masker 5L/menit) didapatkan hasil: pH 7,42, BE 2,2, pCO2 35 mmHg, pO2 82 mmHg, Hct 27%, HCO3 22,2 mmol/L, total CO2 23,4 mmol/L, saturasi O2 97%. Hasil foto toraks anteroposterior: tampak efusi pleura massif kiri dengan batas jantung sulit dievaluasi. Diagnosis kerja saat itu adalah efusi pleura kiri et causa infeksi DD keganasan dan anemia mikrositik hipokromik et causa proses infeksi kronis DD defisiensi besi. Tatalaksana pada saat itu diberikan oksigenasi masker rebreathing 6 L/menit dan dilakukan konsutasi cito ke bagian bedah toraks kardiovaskuler (BTKV) untuk pemasangan water sealed drainage (WSD) serta analisis dan kultur cairan pleura. 5 Pasien diprogramkan untuk pemeriksaan gambaran darah tepi (GDT), SI, TIBC, saturasi transferin, ferritin, LED, retikulosit, PT/APTT, SGOT. SGPT, LDH dan kultur darah, EKG, pelacakan skoring TB, serta urinalisis dan analisis feses rutin. Pasien diberikan terapi diet sonde 1300 kalori/hari, IVFD D1/4S 10 tpm makro, diberikan injeksi antibiotik Ampisilin 350 mg/6 jam i.v dan Kloramfenikol 350 mg/6 jam i.v, serta Parasetamol 120 mg bila demam. Dari hasil pemasangan WSD dengan NGT no 18 keluar cairan serohemoragik sebanuak 500 cc, undulasi (+), buble (-). Pada pemantauan hari pertama 2 Mei 2012, kondisi umum pasien tampak lemah, kompos mentis, sesak berkurang, demam, batuk, dahak sulit keluar, makan dan minum baik. Tanda vital didapatkan tensi 90/60 mmHg, laju nadi 128x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 50 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 38,10C. Didapatkan napas cuping hidung, retraksi suprasternal, interkosta dan subkosta dan pergerakan dinding dada kiri masih tampak tertinggal. Pada pemeriksaan fisik paru masih relatif sama dengan sebelumnya. Pada selang WSD mengalir produk cairan warna serohemoragik 200 cc. Keseimbangan cairan (+)110 cc/24jam, diuresis 1,3 cc/kgbb/jam. Hasil laboratorium darah: hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 34%, jumlah eritrosit 4,32.106/µl, jumlah lekosit 13.400/µl, hasil hitung jenis leukosit E0,3/B0,6/N62,5/L26/M10, jumlah trombosit 709.000/µl, MCV 78,5/um, MCH 22,9 pg, MCHC 29,2 g/dl, SGOT 37 u/l, SGPT 11 u/l, protein total 5,7 g/dL, LDH 638 u/l, LED 1 jam 17 mm/jam, SI 11 µg/dl, TIBC 272 µg/dl, saturasi transferin 4%, ferritin 62,7 ng/ml. gambaran darah tepi menunjukkan eritrosit: normokrom, tampak sebagian populasi hipokromik, normosit, anisositosis, mikrosit, polikromasi, ovalosit, eritroblas (-). Lekosit: jumlah dalam batas normal, metamielosit dan band netrofil (+), vakuolosasi netrofil (+), monosit teraktivasi (+), sel blast (-). Trombosit: jumlah meningkat, giant trombosit (+), penyebaran merata. Simpulan: anemia normokromik mormositik dengan reaktif trombositosis suspek e/c proses kronik bersamaan dengan proses infeksi dan perdarahan. Saran: CRP, retikulosit, PT/APTT. Hasil analisis cairan pleura didapatkan cairan eksudat, warna merah kecokelatan, keruh, tidak ada bekuan, bau (-), Rivalta (+), protein 5,9 gram/dl, glukosa 121 mg/dl, LDH 1557 U/L, jumlah sel 950/ul, hitung jenis MN 66%, PMN 34%. Urinalisis: warna kuning keruh, BJ 1.015, pH 6, leukosit (-), nitrit (-), protein 25 mg/dl, glukosa normal, keton 150 mg/dl, urobilinogen normal, eritrosit (-). Mikros: leukosit 22,6/ul, 4/LPB. Analisis feses: warna coklat, lunak, darah (-). Pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi, tidak ada gambaran hipertrofi atrium maupun ventrikel. Pada pemeriksaan sitologi 6 patologi anatomi cairan pleura dinyatakan didapatkan sel-sel radang dan sel-sem mesotel, namun tidak didapatkan sel ganas, sedangkan dari laboratorium mikrobiologi klinik dilaporkan tidak ditemukan BTA (bakteri tahan asam) dari cairan pleura pada pemeriksaan 3 kali berturut-turut. Diagnosis pada saat itu adalah empiema sinistra et causa infeksi TB DD: non infeksi (massa paru, keganasan), anemia et causa infeksi kronis bersamaan dengan defisiensi besi serta gizi kurang. Penatalaksanaan tetap dengan pemantauan produk WSD serta kultur TB pada cairan pleura. Pada pemantauan 3-5 Mei 2012, kondisi umum pasien tampak membaik, kompos mentis, sesak berkurang, demam sumer-sumer, batuk berkurang, makan dan minum baik. Tanda vital didapatkan tensi 110/60 mmHg, laju nadi 110x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 37,80C. Napas cuping hidung sudah tidak didapatkan, retraksi dinding dada berkurang dari sebelumnya, masih ada retraksi subkosta dan pergerakan dinding dada kiri masih tampak sedikit tertinggal. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi redup berkurang pada hemitoraks kiri, penurunan fremitus raba pada hemitoraks kiri dan pada pemeriksaan auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler di hemitoraks kiri menurun, namun sudah lebuh terdengar disbanding pemeriksaan sebelumnya. Pada selang WSD mengalir produk cairan warna serohemoragik 50-75 cc, undulasi (+), buble (-). Keseimbangan cairan (+)125 cc/24jam, diuresis 1,6 cc/kgbb/jam. Hasil tes PPD = 0 mm dan total skoring TB 5. Hasil kultur cairan pleura maupun kultur darah steril. Hasil pemeriksaan CT scan toraks dengan kontras dinyatakan: mediastinum tampak bergeser ke kontralateral dengan pelebaran pleural space kiri yang berisi cairan dengan dinding yang tebal. Pada sisi atas tampak cairan lobulated dan apeks paru kiri yang kelihatan memadat; tak tampak pembesaran limfonodi mediastinum. Pada window vaskuler paru tampak lesi noduler pada hemithorak kanan parahiler dengan dinding yang halus, juga tampak lesi infiltrat yang halus pada kostophrenicus posterior. Melihat tanda-tanda lesi tersebut perlu di DD dengan: 1. Proses TB dan 2. Mesothelioma. Diagnosis saat itu tetap. Penatalaksanaan pada saat itu terapi oksigen diturunkan dengan pemberian O2 nasal 2L/menit dan ditambahkan diet bubur nasi 3x/hari karena pasien sudah mulai kooperatif, terapi medikamentosa lainnya dilanjutkan. Untuk pelacakan diagnostik selanjutnya, pasien diprogramkan untuk pemeriksaan dahak dengan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, serta kadar AFP dan β-HCG dalam darah. 7 Pada pemantauan 8-11 Mei 2012 kondisi umum pasien lemah, kompos mentis, sesak berkurang, demam selama 2 hari, batuk berkurang, makan dan minum baik. Tanda vital didapatkan tensi 110/70 mmHg, laju nadi 130x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 42 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 38,00C. Masih didapatkan retraksi subkosta minimal. Pada pemeriksaan fisik paru masih relatif sama dengan hari sebelumnya. Produk WSD warna kuning tua, keruh, sebanyak 50 cc. Keseimbangan cairan (+)105 cc/24jam, diuresis 1,7 cc/kgbb/jam. Diagnosis pada waktu itu tetap. Penatalaksanaan pada saat itu dilanjutkan. Hasil evaluasi pemeriksaan laboratorium darah: hemoglobin 9,3 g/dl, hematokrit 30%, jumlah eritrosit 4,07.106/µl, jumlah lekosit 9.400/µl, hasil hitung jenis leukosit E6,5/B0,1/N55,3/L27,8/M10.2, jumlah trombosit 435.000/µl, MCV 74/um, MCH 22,8 pg, MCHC 30,8 g/dl, albumin 2,8 g/dL, natrium 137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L dan ion Calsium 0,92 mmol/L. Hasil AFP (tumor marker) 0,65 IU/mL (N: <6,56 IU/ml) dan hasil β-HCG <1,0 mIU/mL (N: < 2,5 mIU/mL). Hasil pemeriksaan bilas lambung pada waktu 3 hari berturut-turut menyatakan tidak ditemukan kuman BTA. Diagnosis saat itu menjadi empiema sinistra et causa tuberkulosis fase intensif bulan I dan dilakukan motivasi keluarga untuk operasi torakotomi dengan tujuan diagnostik dan terapeutik, namun keluarga menolak dengan alasan anak tunggal, biaya dan besarnya risiko operasi. Terapi medikamentosa dimulai dengan pemberian obat antituberkulosis (OAT): Isoniazid 1x100 mg, Rifampisin 1x150 mg, Pirazinamid 1x200mg dan Prednison 3x5mg per oral. Pasien direncanakan untuk transfusi albumin serum 20% sebanyak 50 cc, namun keluarga pasien menolak karena alasan biaya. Pada pemantauan 12-15 Mei 2012 kondisi umum pasien membaik, kompos mentis, sesak berkurang, sudah bebas demam selama 2 hari, batuk berkurang, nafsu makan dan minum membaik. Tanda vital didapatkan tensi 110/80 mmHg, laju nadi 100x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 37,40C. Masih didapatkan retraksi subkosta minimal dan pergerakan dinding kiri yang tertinggal. Pada pemeriksaan fisik perkusi paru kiri masih redup, namun berkurang dari sebelumnya, sedangkan paru kanan sonor. Pada auskultasi terdengar suara dasar vesikuler di paru kiri, dan suara paru kanan dalam batas normal. Produk WSD (-). Keseimbangan cairan (+)120 cc/24jam, diuresis 1,4 cc/kgbb/jam. Pada saat itu dilakukan pemeriksaan evaluasi laboratorium darah dengan hasil: hemoglobin 9,3 g/dl, hematokrit 31%, jumlah eritrosit 4,14.106/µl, jumlah lekosit 7.400/µl, hasil hitung jenis leukosit E1,0/B0,6/N59/L30/M6.5, jumlah trombosit 8 640.000/µl, MCV 75,7/um, MCH 22,5 pg, MCHC 29,7 g/dl, albumin 4,0 g/dL, natrium 140 mmol/L, kalium 4,6 mmol/L dan ion Calsium 1,14 mmol/L. Diagnosis pada saat itu tetap. Hasil evaluasi foto toraks pada tanggal 12 Mei 2012 menunjukkan perbaikan yang nyata seiring dengan perbaikan klinis pasien. Penatalaksanaan saat itu pelepasan selang WSD dilepas, terapi oksigen dan infus dihentikan, pemberian antibiotik diganti per oral dengan Amoxisilin 3x250mg dan Kloramfenikol 3x250mg dan untuk terapi lainnya tetap dilanjutkan. Program pelacakan diagnostik yakni menunggu hasil kultur kuman TB. Dari bagian bedah direncanakan untuk pleurodesis, namun menunggu kesepakatan keluarga. Pada tanggal 16-18 Mei 2012 kondisi umum pasien membaik, kompos mentis, sesak berkurang, sudah bebas demam selama 5 hari, batuk berkurang, nafsu makan dan minum semakin baik. Tanda vital didapatkan tensi 90/60 mmHg, laju nadi 100x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 37,10C. Sudah tidak didapatkan retraksi dinding dada, namun pergerakan dada kiri masih tampak tertinggal. Pada pemeriksaan fisik paru masih relatif sama dengan hari sebelumnya. Keseimbangan cairan (+)115 cc/24jam, diuresis 1,2 cc/kgbb/jam. Diagnosis pada waktu itu tetap dan dari bagian BTKV menunda untuk dilakukan pleurosdesis. Pasien diperbolehkan untuk pulang dengan terapi OAT dan Prednison, serta diberikan edukasi tentang komplikasi dan penatalaksanaan penyakitnya serta rutin kontrol ke RSDM. 9 Pada saat kontrol ke poliklinik respirologi anak RSDM 23 Mei 2012 kondisi umum pasien baik, sesak masih didapatkan namun tidak seberat dahulu, OAT rutin diminum, didapatkan keluhan batuk dan pilek, namun tidak demam. Berat badan pasien stabi, nafsu makan dan minum baik. Diagnosis saat itu adalah TB paru fase intensif bulan I dengan riwayat empiema sinistra massif. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad malam, karena diagnosis pasti penyebab empiema belum dapat ditegakkan, dan terapi yang diberikan merupakan terapi empiris berdasarkan epidemiologi penyebab terbanyak kasus empiema pada anak. Apabila penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif meliputi suportif, medikamentosa, serta operatif tentunya akan didapatkan hasil yang lebih baik sesuai dengan penyakit dasar utama etiologi empiema pada pasien. Analisis kasus Pada kasus ini didapatkan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 3 bulan, 13 kg datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak napas yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu dan memberat sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda distress nafas, yakni adanya dispneu, nafas cuping hidung, dan retraksi dinding dada. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan pengembangan dada kiri tertinggal, perkusi redup pada hemitoraks kiri dan auskultasi ditemukan penurunan suara dasar vesikuler pada hemitoraks kiri. Berdasarkan alur pendekatan diagnostik dispneu15 maka dilakukan pemeriksaan penunjang foto toraks dengan hasil efusi pleura masif pada paru kiri. Efusi pleura adalah akumulasi cairan dalam jumlah besar di dalam rongga pleura. Insiden efusi pleura berjumlah sekitar 3,3 per 100.000 anak setiap tahunnya di Inggris. Efusi pleura ini merupakan suatu indikator proses patologis yang mungkin berasal dari paru-paru atau organ sistemik maupun penyakit sistemik. Kondisi ini dapat terjadi baik akut maupun kronis. Secara fisiologis, dalam keadaan normal terdapat 5 – 15 ml cairan di rongga pleura anak. Fungsi utama cairan pleura adalah sebagai pelumas untuk memberikan permukaan tanpa friksi antar dua pleura sebagai respon terhadap perubahan dalam volume paru dengan respirasi.16 Inflamasi pada pleura sering sekali disertai efusi pleura. Penyebab utama efusi pleura pada anak adalah pneumonia bacterial, gagal jantung, penyakit rematologi dan metastasis keganasan intratorakal. Etiologi lainnya seperti tuberkulosis, lupus eritematosus, abses subdiafragma dan pancreatitis. Proses inflamasi pada pleura 10 dibagi menjadi 3 tahap, yakni kering, serofibrinosa atau serosanguinus serta purulen atau empiema.5 Berdasarkan jenis cairan pleura, etiologi efusi pleura dibagi menjadi 2 golongan besar, yang dapat dilihat pada tabel 1.17 Gambar 1. Alur diagnostik dispneu15 Tabel 1. Penyebab cairan pleura transudat dan eksudat pada anak 5 Transudat Gagal jantung kongestif Sirosis dengan asites Gejala nefrotik Dialisis peritoneal Myedema Atelektasis akut Perikarditis konstriktif Obstruksi vena kava superior Emboli paru Eksudat Pneumonia Kanker Emboli paru Infeksi bakteri Tuberkulosis Penyakit jaringan ikat Infeksi virus Infeksi jamur Infeksi rickettsial Infeksi parasit Asbestosis Sindrom Meigs Penyakit pankreas Uremia Atelektasis kronis Trapped lung Chylothorax Sarkoidosis Reaksi obat Sindrom post infark miokard 11 Tes diagnostik untuk efusi pleura meliputi makroskopis dan mikroskopis. Cairan pleura mempunyai karakteristik tertentu. Kriteria Light merupakan cara yang paling akurat dan paling banyak digunakan untuk membedakan transudat dan eksudat. Cairan pleura dikatakan eksudat apabila memnuhi salah satu kriteria sebagai berikut: (1) Protein cairan pleura dibagi protein serum > 0,50; (2) LDH cairan pelura dibagi LDH serum > 0,60; (3) Nilai LDH cairan pleura lebih besar dari 2/3 batas atas LDH serum normal.17,18 Bila terbukti cairan pleura adalah eksudat, dilanjutkan dengan pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur bakteri serta pemeriksaan hitung jenis leukosit, dimana netrofil >50% menunjukkan proses akut sedangkan dominasi sel mononuclear menunjukkan proses kronis.Selain itu juga pemeriksaan kadar glukosa darah, pH cairan pleura, pelacakan tuberkulosis bila ada limfositosis dan analisis sitologi.18 Pada pasien dengan efusi eksudat, pH sangat membantu menentukan keputusan untuk drainase, bila dijumpai pH < 7,2 maka memelukan chest-tube drainage.Jika rasio glukosa serum < 0,5 biasanya mempunyai diagnosis banding yang sama dengan kadar pH yang rendah, dan apabila ditemukan kadar glukosa pada cairan pleura < 60 mg/dL dapat berupa suatu infeksi, penyakit kolagen vaskuler ataupun malignansi.17 Empat jenis utama cairan dalam rongga pleura adalah serous (hidrotoraks), darah (hemotoraks), lipid (chylothorax), dan pus (pyothorax atau empiema).19 Efusi merupakan empiema bila didapatkan bakteri dengan pengecatan Gram, pH < 7,2 dan dijumpai > 100.000 netrofi yang disajikan pada tabel 2 dan 3. 5 Tabel 2. Interpretasi cairan pleura 20 12 Tabel 3. Interpretasi cairan pleura 5,17-20 Tipe Efusi Warna Protein LDH (g/dL) (IU/L) Transudat Empiema Kuning Keruh Purulen Keruh/ susu <3 ≥3 ≥3 Kilotorak Rasio LDH P/S ≥0.6 ≥0.6 pH Glucosa (mg/dL) <200 >1000 Rasio Protein P/S <0.5 ≥0.5 ≥7.2 <7.2 >40 <40 >200 ≥0.5 ≥0.6 ≥7.4 Pada pasien ini secara makroskopik didapatkan cairan pleura berwarna serohemoragik dan massif dan dari hasil analisis cairan pleura didapatkan warna merah kecokelatan, keruh, protein 5,9 gram/dl, glukosa 121 mg/dl, LDH 1557 U/L, jumlah sel 950/ul, hitung jenis MN 66%, PMN 34%. Kadar total protein serum 5,7 grsm/dl dan LDH serum 638 U/L. Dari rasio protein maupun LDH cairan pleura disbanding serum, keduanya menyokong suatu eksudat sesuai kriteria Light. Pada pasien dewasa maupun anak, jumlah leukosit pada cairan pleura tidak membantu menegakkan diagnosis ataupun menentukan pemasangan chest tube drainage.17 Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid atau dan terjadi pengeluaran cairan kedalam rongga pleura . 1 7 -1 9 Berdasarkan algoritma efusi pleura pada gambar 2 dan jenis cairan eksudat maka langkah diagnosis dilanjutkan dengan mencari etiologi empiema pada pasien ini. Infeksi pleura meliputi 3 stadium, yakni: (1). Stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura yang masih sedikit pada tahap awal. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang sebagian besar terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal. Pada stadium ini, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan secara klinis. (2). Stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang semakin meluas disertai bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat mengandung banyak leukosit polimorfonuklear, 13 bakteri, serta debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin akan membentuk bagian atau lokulasi didalam rongga pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan kadar LDH meningkat. Stadium ini akan berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan chest tube. (3). Stadium organisasi (kronik) ditandai dengan pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tube torakostomi untuk drainase. Membran pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan serta merupakan hasil dari proliferasi fibroblast sehingga membatasi parenkim paru dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.5,17,19 Pada pediatrik, oleh karena mayoritas efusi pleura merupakan suatu eksudat, maka klasifikasi difokuskan pad a etiologi dasar efusi tersebut, yakni merupakan suatu proses infeksi ataukah non infeksi . 1 7 Efusi pleura lokal asimtomatik sangat sering terjadi pada TB primer sebagai komponen dasar dari kompleks primer. Efusi yang lebih besar secara klinis terjadi dalam beberapa bulan sampai tahun pasca infeksi primer. Efusi pleura TB tidak biasanya dijumpai pada anak usia dibawah 6 tahun dan sangat jarang pada anak dibawah 2 tahun. Onset klinis efusi pleura TB seringkali mendadak, pasien dapat demam bervasiasi dari rendah sampai tinggi, sesak nafas, nyeri dada pada inspirasi dalam serta hilangnya suara nafas. Demam dan gejala lainnya dapat terjadi pada beberapa minggu setelah pengobatan TB.21 14 Gambar 2. Algoritma diagnosis efusi pleura 19 15 Efusi pleura Apakah pasien mempunyai: Penyakit koinsiden utama: kardiovaskuler, onkologi, rematologik? Durasi efusi > 3 minggu Tidak Ya Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis Kultur darah Total protein serum dan LDH Serologi akut Sputum untuk pengecatan gram dan kultur Evaluasi lebih lanjut sebelum torakosistesis Efusi massif atau paling sedikit moderat? Tidak Ya Pada USG apakah efusi dapat dilakukan tapping? Tidak Evaluasi dan tatalaksana kondisi klinis sesuai dengan penyakit dasar torakosistesi s Apakah cairan adalah pus (purulen, kental?) Ya Torakosistesis dg guiding USG Tidak Pemeriksaan cairan pleura: Pengecatan Gram, kultur aerob dan anaerob pH glukosa, protein dan LDH jumlah sel leukosit dengan hitung jenis Kultur Mikobakterial Ya Pemasangan chest tube setelah tapping untuk diagnostik Gambar 3. Algoritma diagnosis efusi pleura 17 16 Insidens empiema dilaporkan meningkat sekitar 1-4 per 100.000 anak diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi komplikasi yang berat. Insidens ini mengalami peningkatan dimana terdapat sedikitnya 6500 anak menderita empiema ataupun efusi parapneumonia di Amerika Serikat dan Inggris setiap tahunnya, dengan mortalitas sebesar 20%, demikian pula di Australia dan Kanada.1,3,4,7 Sedangkan di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema dan paling banyak ditemukan pada usia 2 – 9 tahun.22 Tabel 4. Organisme penyebab empiema pada anak 20 Empiema pada anak lebih sering terjadi usia bayi dan balita, dilaporkan juga insiden meningkat pada usia 2-9 tahun pada anak laki-laki. Di India, etiologi empiema yang paling sering ditemukan pada anak dalam isolasi mikrobiologi yakni Staphylococcus aureus sekitar 80% kasus dan selebihnya adalah bakteri gram negatif oleh karena tingginya insidensi resisten akibat pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. 1,2,4 Streptokokus pneumoniae (terutama serotipe 1,3 dan 19A), Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes merupakan kuman patogen utama penyebab empiema di Inggris, namun penting untuk dipikirkan organisme penyebab lainnya terutama Mycobacterium tuberculosis dan MRSA (multi-drug resistance Staphylococcus aureus) jika terdapat faktor risiko pada anak atau tidak membaik dengan terapi empiris.4,6,7 Tuberkulosis juga merupakan penyebab empiema terutama pada sebagian besar masyarakat di India, meskipun sangat sulit diisolasi. Namun pada negara barat justru ditemukan biakan Mycobacterium tuberculosis yang tinggi sebagai 17 mikroorganisme penyebab empiema pada anak.4,6 Spesies Bakteroides atau Clostridium, Streptokokus serta Aktinomises anaerob kadang juga dapat menyebabkan empiema terutama pada usia dewasa, sehingga dibutuhkan kultur cairan pleura secara anaerob. Pada kasus ini, secara epidemiologis usia pasien sesuai dengan insiden empiema pada anak. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang, pasien demam sumer-sumer yang tidak jelas naik turun, sesak nafas berlangsung lama selama 3 bulan, didukung adanya efusi pleura masif berupa cairan eksudat maka diduga adanya proses infeksi kronis yang tidak spesifik. Hasil laboratorium darah jumlah leukosit normal-meningkat, namun tidak menunjukkan peningkatan leukosit yang nyata dengan dominasi netrofil pada hitung jenisnya. Pada gambaran darah tepi menyokong adanya proses infeksi kronis dengan morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, adanya netrofil segmen, vakuolisasi netrofil serta giant trombosit. Hal ini didukung dengan kadar acute phase reactan, yakni ferritin dan CRP yang masih dalam batas normal. LDH merupakan suatu enzim intraseluler yang terdapat pada semua jaringan, terutama pada hepar, otak, ginjal, sel darah dan paru. Peningkatan LDH serum menunjukkan adanya kerusakan jaringan dengan akibat peningkatan proliferasi sel mitotik aktif dan pembentukan jaringan baru abnormal pada keganasan. Pada pasien ini didapatkan peningkatan kadar LDH serum maupun cairan pleura dimana menunjukkan kerusakan jaringan pleura dan kemungkinan parenkim paru, sehingga diduga adanya fokus infeksi pada jaringan parenkim paru. Infeksi tuberkulosis dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura maupun empiema. Efusi pleura terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman tuberkulosis dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya fokus subpleura yang pada umumnya terjadi dalam kurun waktu 6 – 12 minggu setelah infeksi primer. Rangsangan pembentukan cairan pleura yang terkait dengan infeksi kuman tuberkulosis dapat terjadi melaui 2 mekanisme tersebut di atas. Sebagian besar efusi pleura tuberkulosis bersifat unilateral (95%), namun dapat juga bilateral. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Mula-mula yang dominan adalah sel PMN namun kemudian sel limfosit. Jumlah maupun lokasi terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma.Drainase cairan pleura secara rutin tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir jangka panjang.23,24 18 Pada sebagian kasus, efusi pleura tuberkulosis dapat berupa pseudokilotoraks atau empiema. Empiema tuberkulosis merupakan infeksi pleura oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengakibatkan akumulasi produksi cairan pleura purulen.24 Diagnosis empiema tuberkulosis dikonfirmasi dengan identifikasi bacil pada cairan pleura atau biopsy pleura, atau visualisasi granuloma pada pleura. Sebagian besar kasus efusi pleura tuberculosis tidak menampakkan gejala klinis yang spesifik yang membedakannya dengan tipe efusi karena pathogen lain.23,24 Analisis cairan pleura dan membrane pleura sangat penting untuk diagnosis pleural TB, makroskopis biasanya berwarna kuning dan terkadang sedikit kemerahan bercampur darah dengan berat jenis 1.012-1.025 dan protein 2-4 g/dl.21 Analisis ini sangat berguna untuk investigasi tuberkulosis karena sebagian besar cairan efusi adalah eksudat dengan predominan limfosit pada 93% kasus meskipun sel polimorfonuklear dapat mendominasinya pada pasien dengan gejala awal yang muncul dalam waktu 2 minggu sebelumnya dan bila efusi eosinofilik maka bukan infeksi tuberkulosis.24,25 Diagnosis pasti efusi pleura tuberkulosis ditegakkan dengan isolasi Mycobacterium tuberculosis pada cairan pleura atau biopsi pleura. Pengecatan ZiehlNeelsen dan kultur cairan pleura dilaporkan tidak banyak membantu dalam penegakan diagnosis, namun bila ditemukan basil pada kultur spesimen jaringan pleura sangat bermakna dalam menegakkan diagnosis. Pada pleuritis tuberkulosa, biakan cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan hasil positif sekitar 20%-30% kasus.21 Selain itu ada beberapa marker biokimia utnuk diagnosis efusi pleura tuberculosis yang telah dikembangkan di sebagian besar negara maju, antara lain: ADA (adenosine deaminase), IFN-γ (interferon gamma), lisosim, IL-2.4,21 Pada kasus ini riwayat kontak TB pada keluarga dan lingkungan pasien tidak jelas, dari scoring TB didapatkan skor 4 dan pemeriksaan tes PPD berukuran 0 mm. Namun dari epidemiologis penyebab empiema terbanyak pada anak usia 2-9 tahun di negara berkembang seperti India adalah tuberculosis didukung dengan analisis cairan efusi pleura predominan limfosit (mononuklear 66%) maka pada pasien ini didiagnosis banding dengan infeksi tuberculosis.19,25,26 Sehingga dilakukan pemeriksaan bilas lambung, analisis dan kultur cairan pleura. Pada kasus ini bilas lambung dan cairan pleura tidak ditemukan bakteri tahan asam (BTA), namun kultur cairan pleura untuk kuman tuberculosis belum ada hasil sampai pasien dipulangkan. 19 Penatalaksanaan efusi pleura tuberkulosis yakni inisial terapi dengan Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid selama 2 bulan dilanjutkan dengan Rifampisin dan Isoniazid selama 4 bulan sesuai dengan protap tuberkulosis paru pada anak. Pengobatan ini menyebabkancairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapatdilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadangdapat diberikan kortikosteroid secara sistematik, dapat digunakan Prednison 1 mg/kg BB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan.23 Apakah infeksi pada kasus ini merupakan penyebab primer ataukah sekunder dari empiema, seperti metastasis akibat malignansi, masih perlu dipikirkan lebih lanjut. Neoplasma ganas sering dilaporkan terjadi bersamaan atau sebagai penyebab dari pleuritis tuberculosis atau kondisi empiema kronis. Manifestasi yang sering ditemukan seperti sesak nafas, nyeri dada dan gejala konstitusional lainnya seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan imunodefisiensi. Pada pemeriksaan penunjang tampak bayangan abnormal pada mediastinum, pleura ataupun parenkim paru yang sering ditemukan. Meskipun sulit, namun sangatlah penting untuk membedakan proses empiema berasal dari progresivitas suatu neoplasma ganas ataukah dari peradangan kronis yang memburuk.27 Neoplasma yang sering mengakibatkan komplikasi empiema pada anak sangatlah jarang, sebagian besar empiema pada anak disebabkan oleh karena infeksi. Pada dewasa, salah satu neoplasma yang menyebablan empiema adalah mesothelioma.Mesothelioma merupakan neoplasma pada rongga dada yang mempengaruhi pleura paru bersama dengan mesothelium. Mesothelium adalah lapisan internal paru-paru dan organ internal lainnya, seperti jantung, dada, perut, dan daerah sekitar jantung. Paparan asbes adalah penyebab utama dari mesothelioma rongga dada pada dewasa. Asbes merupakan mineral alami yang digunakan dalam berbagai aplikasi industri dan konstruksi. Serat asbes ringan dan sangat tahan lama dan tidak mudah dihilangkan dari tubuh jika pernah terpapar. Setelah terhirup, partikel asbes menjadi bersarang di pleura dan mesothelium sekitarnya, merusak jaringan dan menyebabkan sel-sel mesothelial pleura menjadi abnormal yang akhirnya mengarah pada pengembangan mesothelioma, namun, pada anak insiden mesothelioma ini jarang ditemukan, karena butuh waktu yang lama untuk terpaparnya asbes sebelum munculnya gejala. Meskipun penelitian Brener dkk melaporkan data pasien anak 20 dengan mesotelioma malignan pada pleura dan peritoneum dimana tidak ada 1 pasien pun yang mempunyai riwayat terpapar asbes.1,27,28 Pada kasus ini, pasien tidak hidup dalam lingkungan industri, dan gejala gangguan saluran nafas muncul sejak 3 bulan terakhir, namun pada analisis cairan pleura didapatkan banyak sel mesothel meskipun tidak tampak tanda-tanda malignansi. Selain itu pada pasien ini dari hasil CT scan toraks dengan kontras didapatkan hasil adanya lesi noduler pada hemithorak kanan parahiler dengan dinding yang halus, juga tampak lesi infiltrat yang halus pada kostophrenicus posterior yang dapat didiagnosis banding sebagai suatu mesothelioma. Marker tumor dari pemeriksaan kadar AFP dan β-HCG serum menunjukkan hasil yang normal, sehingga proses malignansi kemungkinan dapat disingkirkan, meskipun demikian penegakan diagnosis pasti adalah dengan open torakotomi, namun pada kasus ini tidak dilakukan karena penolakan keluarga. CT scan dapat mengidentifikasi konsolidasi parenkim dengan abses paru, bila didapatkan cairan lobulated/loculated, maka menyokong empiema yang diliputi lapisan fibrin dan merupakan indikasi drainase dengan pembedahan. Para pakar BTKV dan konsultan penyakit infeksi merekomendasikan torakoskopi sebagai manajemen inisial pada anak dengan empiema, jarang untuk disarankan prosedur open thoracotomy.22 Empiema yang tak ditangani dengan drainase yang baik dapat membahayakan rongga toraks.Eksudat akibat peradangan akan mengalami organisasi dan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan viseralis. Aspirasi multipel pada rongga pleura tidak dibenarkan, jika dideteksi cairan pleura bersepta, maka dilakukan VATS sesegera mungkin. Closed-chest tube drainage dikontrol dengan WSD atau continuous suction dan biasanya dilakukan selama 1 minggu.5 Pada umumnya drainase pada empiema sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya lokulasi fibrin dalam ruang pleura, sehingga diperlukan torakotomi atau video-assisted thoracoscopic surgical (VATS) sedini mungkin untuk membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah sakit.9,12 Penatalaksanaan empiema meliputi antibiotik sistemik dan torakosistesis serta chest tube drainage dengan atau tanpa fibrinolitik, VAST ataupun dekortikasi. Namun masih banyak perdebatan dan sampai sekarang belum dicapai kesepakatan tentang manajemen efusi parapneumonia pada anak, antara pemberian antibiotik saja atau dengan drainase (chest tube) maupun VATS.8,13,29 21 Selain itu dapat dilakukan pleurodesis, yakni penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi cairan maupun udara dalam rongga pleura. Pemakaian fibrinolitik kedalam cairan pleura dapat meningkatkan drainase, sehingga menurunkan demam dan meminimalisasi intervensi pembedahan. Preparat yang biasa digunakan yakni Streptokinase 15.000u/kg dalam 50 ml NaCl 0,9% tiap hari selama 3-5 hari atau dengan urokinase 40.000 u dalam 40 ml NaCl 0,9% setiap 12 jam pemberian 6 dosis.5 Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis, antibiotik, pemilihan pasien, serta evaluasi hasil tindakan merupakan hal yang sering diperdebatkan. Hal itu menyebabkan belum didapat kesepakatan antara para ahli di dunia tentang prosedur ini. Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi dengan cepat), menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura. 8,29 Antibiotik harus diberikan pada kasus empiema, sebaiknya berdasarkan hasil kultur dan sesitivitas. Pada kasus dengan hasil kultur negatif, antibiotik yang diberikan disesuaikan dengan pola kuman yang ada di masyarakat dan pola kuman di RS setempat. Antibiotik yang diberikan hendaknya merupakan spektrum luas yang sensitif dengan patogen utama penyebab empiema, yakni, S. pneumonia dan S. aureus, seperti golongan penicillin, sefuroxime, co-amoxiclav dan clindamicin.18,26 Belum ada penelitian tentang durasi pemberian antibiotik untuk empiema, tetapi terapi selama 3 minggu dianggap cukup memadai.6,26 Tabel 5. Pilihan antibiotik untuk terapi awal empiema dengan kultur negatif 6 Jika empiema dapat didiagnosis lebih dini, maka dengan pemberian antibiotic adekuat dan prosedur torakosistesis saja dapat memberikan hasil yang baik. Respon 22 klinis pada terapi empiema ini tergolong lambat meskipun dengan terapi yang optimal, bahkan selama 2 minggu saat awal mendapatkan terapi, tidak menunjukkan respon klinis yang nyata.5 Pada kasus ini, dari pemeriksaan CT scan toraks dinyatakan bahwa cairan pleura pada kasus ini adalah loculated/lobulated menyerupai gambaran stadium fibropurulen, sehingga diperlukan pemasangan chest tube (WSD), dan sesuai alur penatalaksanaan empiema, pasien direncanakan untuk torakotomi atau VATS. Namun dari bagian BTKV RSDM belum dapat melakukan VATS, sedangkan pasien menolak untuk torakotomi. Sedangkan untuk pleurodesis, masih belum dicapai kesepakatan dari bagian BTKV. Antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah Ampisilin dan Kloramfenikol intravena selama dirawat di RS sesuai dengan terapi empiris pada community acquired bacterial pathogen dan hospital acquired bacterial pathogen di RSDM. Hasil kultur darah maupun cairan pleura steril pada kasus ini, namun pasien menunjukkan respon klinis yang membaik dari berkurangnya gejala sesak dan demam maka antibiotik tetap dilanjutkan sampai pasien diperbolehkan pulang, dan dilanjutkan secara per oral sampai 3-4 minggu sesuai dengan rekomendasi. 6,18,26 Menurut rekomendasi British Thoracic Society (BTS) tahun 2005 tentang manajemen infeksi pleura pada anak, terapi untuk Mikobakterium tidak diberikan secara empiris kecuali jika ada faktor risiko atau endemis. Pada pasien ini, diberikan terapi TB sesuai fase inisial dengan pertimbangan jumlah skor TB=5 dan pasien tinggal didaerah endemis TB, dimana diduga ada anggota keluarga yang menderita penyakit TB dan memerlukan investigasi lebih lanjut.26 Prognosis empiema tergantung pada umur, penyakit yang mendasari dan pengobatan adekuat. Empiema memerlukan rawat inap yang lama dan pemantauan panjang setelah pulang dari RS disbanding pasien efusi pleura non-empiema. Mortalitas sebesar 2-15% pada anak < 1tahun. Kematian pada anak empiema akibat infeksi Staphylococcus masih cukup tinggi karena progresivitas penyakit dan keganasannya. Resolusi pada infeksi pleura, khususnya kuman Staphylococcus sangat lambat sehingga terapi antibiotik sistemik tetap diberikan sampai kurun waktu 3-4 minggu. Prognosis jangka panjang pada empiema yang mendapatkan terapi adekuat adalah baik dan akan terjadi resolusi tanpa sekuele. Resolusi abnormalitas radiologis akan terjadi setelah 3-6 bulan pengobatan, sebaliknya bila tidak diobati, maka akan terbentuk jaringan parut dan mengganggu pengembangan paru. Beberapa studi 23 pemantauan jangka panjang fungsi paru dalam evaluasi terapi empiema menyatakan bahwa tidak ada komplikasi penyakit paru restriktif pada anak empiema dengan ataupun tanpa intervensi pembedahan. Komplikasi efusi pleura maupun empiema ini dapat berupa infeksi Staphylococcus, fistula bronkopleura, pyo-pneumotoraks, perikarditis, abses paru serta sepsis. Dalam jangka panjang, efusi pleura dapat menjadi lapisan tebal dan banyak mengandung fibrin mengakibatkan restriksi ekspansi paru, demam persisten yang hilang timbul dan skoliosis.5,17,18 Keadaan-keadaan seperti infeksi virus maupun bakteri dapat menekan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Karena cadangan zat besi di dalam tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru.30 Dari gambaran profil besi pada pasien ini didapatkan penurunan besi dalam serum serta ferritin dan TIBC (total iron binding capacity) normal. Penurunan SI dikarenakan tertahannya besi dalam sel akibat peningkatan produksi hepcidin oleh hepar karena adanya rangsangan dari sitokin (IL-6) dan lipopolisakarida, sehingga ketersediaan besi dalam sirkulasi berkurang dan produksi eritropoeitin akan menurun. Jadi, turunnya kadar besi pada kasus ini merupakan mekanisme homeostasis imunitas sebagai adaptasi terhadap paparan antigen yang terjadi.31 Adanya defisiensi besi pada pasien ini masih belum dapat disingkirkan, karena adanya kadar feritin yang normal dapat menggambarkan defisiensi besi bersamaan dengan infeksi kronis, maka diperlukan untuk pemeriksaan marker defisiensi besi lain yang tidak terpengaruh oleh inflamasi yakni zinc protoporfirin. Maka pada kasus ini, meskipun intake pasien sebelum sakit baik, dan tidak ada penurunan berat badan yang bermakna serta pengukuran status gizi secara antropometi adalah gizi baik, namun diduga pasien mengalami defisiensi besi akibat perdarahan dari cairan pleura serohemoragik dan kekurangan mikronutrien, khususnya besi, sebagai mekanisme adaptasi terhadap kronisitas penyakitnya. 24 DAFTAR PUSTAKA 1. Barnes NP, Hull J, Thomson AH. Medical management of parapneumonic pleural disease. Pediatr Pulmonol 2005; 39:127-34. 2. Colice GL, Curtis A, Deslauriers J, Heffner J, Light R, Littenberg B, Yusen RD, for the American College of Chest Physicians Parapneumonic Effusions Panel. Medical and surgical treatment of parapneumonic effusions. An evidence-based guideline. Chest 2000; 18(4):1158-71. 3. Li ST and Tancredi DJ, Empyema Hospitalizations Increased in US Children Despite Pneumococcal Conjugate Vaccine, Pediatrics (2010) vol. 125 (1) pp. 26-33 4. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, et al. Position statement from the Thoracic Society of Australia and New Zealand, TSANZ, 2011. 5. Winnie GB, Lossef SV. Pleurisy, pleural effusion and empyema. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.h.1505-09. 6. Baranwal AK, Singh M, Marwaha RK, Kumar L. Empyema thoraxis: a 10-year comparative review of hospitalized children from South Asia. Arch Dis Child. 2003;88:1009-14. 7. Strachan R and Jaffé A, Assessment of the burden of paediatric empyema in Australia. Journal of Paediatrics and Child Health (2009) vol. 45 (7-8) pp. 431-436 8. Avansino JR, Goldman B, Sawin RS, Flum DR. Primary operative versus nonoperative therapy for pediatric empyema: a meta-analysis. Pediatrics. Jun 2005;115(6):1652-9 9. Grewal H, Jackson RJ, Wagner CW, Smith SD. Early video-assisted thoracic surgery in the management of empyema. Pediatrics 1999; 103(5):e63. 10. Hoff SJ, Neblett WW, Edwards KM, Heller RM, Pietsch JB, Holcomb GW Jr,Holcomb GW III. Parapneumonic empyema in children: decortication hastensrecovery in patients with severe pleural infections. Pediatr Infect Dis J 1991;10(3):194-9. 11. Khakoo GA, Goldstraw P, Hansell DM, Bush A. Surgical treatment of parapneumonic empyema. Pediatr Pulmonol 1996; 22:348-56. 12. Lim TK, Chin NK. Empirical treatment with fibrinolysis and early surgery reduces the duration of hospitalization in pleural sepsis. Eur Respir J 1999; 13:514-8. 13. Shoseyov D, Bibi H, Shatzberg G, Klar A, Akerman J, Hurvitz H, Maayan C. Shortterm course and outcome of treatments of pleural empyema in pediatric patients. Repeated ultrasound-guided needle thoracocentesis vs chest tube drainage. Chest 2002; 121(3)836-40. 14. Wait MA, Sharma S, Hohn J, Dal Nogare A. A randomized trial of empyema therapy. Chest 1997; 111:1548-51. 15. Zoorob RJ, Campbell JS. Acute dyspnea in the office. American Family Physician. 2003;68(9):1803-10. 16. Baumer JH. Guideline review: parapneumonic effusion and empyema. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2005;90:21-24. 17. Nagler J. Pulmonary emergencies. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Lippincott Williams and Wilkins. 2010. h. 1082-85. 18. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Ikatan dokter Anak Indonesia. 2008.h.550-7. 25 19. Light RW. Pleural effusion. N Engl j Med. 2002;346:1971-6. 20. Schultz KD, Fan LL, Pinsky J, Ochoa L, O’Brian Smith E, Kaplan SL, Brandt ML. The changing face of pleural empyemas in children: epidemiology and management. Pediatrics 2004; 113(6):1735-40. 21. Starke JL. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.h.996-1011. 22. Lee GE, Lorch SA, Sheffler-Collins S, Kronman MP, Shah SS. National hospitalization trends for pediatric pneumonia and associated complications. Pediatrics.2010;126: 204–213. 23. Working group on tuberculosis, Indian Academy of pediatric. Consessus statement on childhood tuberculosis. Indian Ped;2010;47:17. 24. Garrido VV, Sancho JF, Blasco H, Gafas AP, Rodiguez EP, Panadero FR, dkk. Diagnosis and treatment of pleural effusion. Arch bronconeumol. 2006;42(7):349-72. 25. Light RW. Update: management of the difficult to diagnose pleural effusion. Clin Pulm Med. 2003;10:39–46. 26. Lynn IMB, Abrahamson E, Cohen G, Hartley J, King S, Parikh D, dkk. BTS guidelines for the management of pleural infection in children. Thorax. 2005;60:suppl 1:11-21. 27. Kodama Y, Hoshi S, Minami M, Kiso M, Takezawa T, Arai T, dkk. Malignant mesothelioma associated with chronic empyema with elevation of serum CYFRA19: A case report. Biosci Trends. 2008 Dec;2(6):250-4. 28. Brener J, Sordillo PP, Magill G. Malignant mesothelioma in children: Report of seven cases and review of the literature. 2006;9(4):367-73. 29. Freitas, José Carlos Fraga, Fernanda Canani. Thoracoscopy in children with complicated parapneumonic pleural effusion at the fibrinopurulent stage: a multiinstitutional study. J Bras Pneumol. 2009;35(7):660-668. 30. Litchtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Manual of hematology. Edisi 6. Boston: McGraw-Hill, 2003. h. 55-60. 31. Sullivan M. Anemia of chronic disease (iron-reutilization anemia). Diunduh: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000565.htm. Diakses tanggal: 21 Juli 2012. 26 KAJIAN KRITIS KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI (EVIDENCE BASED MEDICINE) PERMASALAHAN Kasus empiema pada bayi dan usia balita masih sangat jarang. Berbagai bukti klinis yang ada masih sangat kurang untuk membantu diagnostik, terapi maupun prognostik pada kasus empiema pada anak, terutama balita. Munculnya berbagai kontroversial mengenai penatalaksanaan kasus ini menyebabkan kesulitan bahkan keterlambatan dalam penatalaksanaannya. Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak. Berlawanan dengan penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada pederita dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak. ANALISIS PICO Dari masalah yang ada maka dapat dijabarkan dalam bentuk komponen PICO sebagai berikut : Population/problem : empiema pada anak Intervention :- Comparation/control : Outcome : guideline FORMULASI PERTANYAAN KLINIS Bagaimanakah guideline kasus empiema pada anak? METODE PENELUSURAN BUKTI Penelusuran dilakukan melalui situs pubmed (http://www.pubmed.org/), PubMed Clinical Queries, dengan memakai kata kunci “guideline”, “empyemae” dan “children”, kategori “diagnosis”, scope “broad” dan systematic review. Pembatasan literature (manage filters) meliputi: clinical trial, studi pada manusia, artikel berbahasa Inggris dan dipublikasikan dalam 5 tahun terakhir serta free full-text. 27 HASIL PENELUSURAN JURNAL Dari langkah penelusuran tersebut didapatkan 2 artikel, dan dipilih salah satu guideline dengan judul: Pembahasan Guideline ini merupakan ekstrapolasi dari guideline sebelumnya yang dipublikasi oleh BTS pada tahun 2003 untuk manajemen efusi pleura pada pasien dewasa. Guideline ini memuat lengkap tentang metodologi penelusuran bukti, pendapat dan diskusi para ahli secara sistematis khusus untuk pediatrik. Penelusuran bukti diperoleh dari Cochrane database of systematic review sebanyak 2 artikel, NHS centre for reviews sebanyak 3 artikel, dan OVID medline, artikel khusus yang berbahasa Inggris dan meneliti efusi pleura pada anak usia 0-18 tahun. Guideline ini membahas mulai dari definisi efusi pleura sampai proses terjadinya empiema, epidemiologi, etiologi, gejala klinis, mikrobiologi, langkah-langkah investigasi mencakup algoritma diagnosis serta manajemen terapi. Untuk empyema tuberculosis didapatkan 14 artikel dari tahun 1996-2003, namun hanya 3 yang masuk dalam inklusi review ini. Secara keseluruhan ada 135 artikel yang dikaji untuk menghasilkan guideline ini dan kesemuanya dilengkapi dengan level of evidence, sehingga dapat membantu untuk pendekatan diagnostik kasus anak dengan efusi pleura atau empiema. 28 . 29 30