BAB III PENGETAHUAN DAN AKTIFITAS PENGELOLAAN MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT Daerah pinggir laut atau wilayah darat yang berbatas langsung dengan bagian laut disebut sebagai pantai. Pantai bisa juga didefinisikan sebagai wilayah pertemuan dari dua segi yang berlawanan, yakni: - Dari segi daratan Pesisir adalah wilayah daratan sampai wilayah laut yang masih dipengaruhi sifat-sifat darat (seperti: angin darat, drainase air tawar dari sungai, sedimentasi) - Dari segi laut Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi sifatsifat lau (seperti: pasang surut, angina laut, salinitas, intrusi air ke wilayah daratan) Adapun fungsi laut bagi bangsa Indonesia menurut hasil yang dicapai dalam seminar laut nasional menyebutkan antara lain: 1. Sebagai media komunikasi dan transportasi 2. Sebagai sumber mineral dan hasil-hasil tambang 3. Sebagai sumber daya hayati laut yang dapat menghasilkan sumber protein konsumtif di samping protein hewani yang berasal dari ternak potong dan nabati didaratan. 4. Sebagai media pertahanan dan keamanan nasional 5. Sebagai media olahraga dan sarana pariwisata yang mampu menghasilkan devisa Negara 56 Universitas Sumatera Utara 6. Sebagi sumber ilmu pengetahuan. (Wibisono: 2005) Selain fungsi pesisir pantai dan laut seperti yang tertera diatas, pesisir pantai dan laut juga memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar. Seperti halnya dengan pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Potensi wilayah Pantai Timur Sumatera Utara yang memiliki garis panjai sepanjang 545 km berupa berbagai jenis ikan diantaranya: ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, dan berbagai macam jenis udang-udangan. Wilayah pesisir Pantai Sumatera Utara yang terdiri dari 7 kabupaten yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran baru dari kabupaten induk yaitu kabupaten Deli Serdang dengan luas 1999,2 km2. Kabupaten Serdang Bedagai berbatasan langsung dengan Selat Malaka di Utara, kabupaten Simalungun di Selatan, Deli Serdang di sebelah barat dan kabupaten Asahan dan Simalungun di sebelah timur. Panjang garis pantai sepanjang 95 km mencakup lima kecamatan yaitu: Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah. Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin adalah wilayah pesisir kabupaten Serdang Bedagai yang memiliki potensi kekayaan hayati laut yang sangat besar namun sampai saat ini belum dikelola secara baik. Karakteristik ekosistem laut mewarnai geografis wilayah ini, paling tidak ada tiga jenis bentuk ekosistem laut diantaranya ekosistem hutan bakau (mangrove), muara sungai (Estuaria), dan Terumbu karang (Coral Reef). 57 Universitas Sumatera Utara Penyebaran ekosistem laut tersebut terkonsentrasi dan terbagi di berbagai tempat di dua wilayah ini. A. Ekosistem Mangrove (Bakau) Kawasan populasi hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air dikenal masyarakat dengan sebutan hutan bakau. Bakau menjadi salah satu lokasi masyarakat desa beraktifitas mencari biota-biota laut, menjaring ikan, menebang pepohonan bakau, mengambil daun nipah, sarana transportasi, kayu gelondongan, dan tempat pengelolaan budidaya udang. Pesatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan ekonomi menimbulkan kawasan bakau yang menyimpan keanekaragaman hayati dan sebagai pusat kawasan pertumbuhan flora dan fauna laut (Nursery Groud) semakin menyempit terdegradasi oleh eksploitasi masyarakat terhadap sumberdaya didalamnya. Biota-biota, ikan dan tumbuhan bakau yang beranekaragam jenis telah dimanfaatkan penduduk sekitar untuk bermacam-macam keperluan sehari-hari antara lain dikonsumsi, obat, bahan bangunan dan bahan bakar. Penduduk setempat sebenarnya memahami fungsi bakau, namun mereka tidak begitu menghiraukan keberadaan bakau yang sangat bermanfaat dan hanya aktif menggali, mencari dan mengambil jenis hewan, tumbuhan bermanfaat untuk kebutuhan ekonomi atau konsumsi mereka tanpa memikirkan pengaruh merosotnya kelestarian kawasan ekosistem mangrove (bakau) sebagai daerah pertumbuhan. Pemahaman masyarakat tentang bakau sesungguhnya sudah sangat jelas. Bentuk pemahaman itu terlihat ketika mereka mengatakan bahwa hutan bakau adalah kumpulan pepohonan 58 Universitas Sumatera Utara yang hidup di sekitar tepi pantai, di pinggr muara atau bahkan dipinggir sungai yang dengan dengan muara yang didalamnya sering terdapat binatang-binatang tertentu seperti biawak, ular bakau, ketam dan lain-lain. Menurut sebahagian masyarakat di kedua desa hutan bakau memiliki banyak fungsi yang diantaranya adalah sebagai: - Tempat ikan serta udang bertelur dan juga merupakan tempat ketam bakau berkembang biak. - Benteng yang mencegah tanah dari erosi yang disebabkan oleh arus sungai/paluh atau akibat pasang surutnya air laut. - Sumber bahan bangunan dan bahan kayu bakar. Selain daripada itu yang namanya hutan bakau (mangrove), pepohonan yang ada didalamnya harus terdiri dari pepohonan yang biasanya berupa pohon bakau (Rhizopora), api-api (Avicenia), lenggadai, tengat dan lainnya. Menurut sebagian informan bahwa sebuah hutan bakau biasanya akan terdapat didalamnya berbagai hewan serta beberapa jenis ikan seperti ikan belacak. Di kawasan hutan bakau yang terendam oleh air laut maupun sungai akan terdapat berbagai jenis hewan air seperti udang-udangan, kepiting, dan berbagai jenis ikan-ikanan. Dalam banyak kajian diterangkan bahwa hutan bakau memiliki beberapa fungsi yaitu: 1. Perlindungan Pantai dengan ciri pohon-pohon yang kuat dan berakar banyak berfungsi sebagai peredam ombak dan mempercepat pengendapan yang dibawa oleh sungai-sungai sekitarnya. Tanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penahan abrasi, pelindung pemukiman penduduk dan sarana perhubungan (jalan). 59 Universitas Sumatera Utara 2. Pengendalian banjir yang ditandai dengan banyaknya pohon yang ada didalamnya dan fungsi ini akan hilang apabila tanaman ditebang. 3. Penyerapan bahan pencemaran yang bisa berupa gas buangan industri, kendaraan dan lainya. 4. Sumber energi lingkungan perairan. Daun tanaman mangrove berguguran, oleh jasad-jasad mikro diurai menjadi komponen bahan organik, menjadi sumber makanan bagi biota perairan seperti kepiting, udang dan sebagainya. Bagi daerah hutan bakau di sepanjang pantai akan merupakan daerah perawatan udang. 5. Penunjang kondisi lingkungan yang ditandai banyaknya manfaat hutan bakau bagi manusia dengan penggunaan peralatan yang baik dan dapat dikonservasi untuk menunjang program ekstensifikasi tambak maupun budidaya laut. 6. Sumber produksi kayu, dan ini diperjelas dengan kenyataan bahwa sejak dahulu hutan bakau telah dieksploitasi untuk berbagai macam kegunaan, yaitu kayu baker, arang, bahan balu pulp/kertas, bahan penyamak dan bahan bangunan. 7. Sumber produksi akuatik. Hal ini terjadi dikarenakan ekosistem mangrove terkenal sebagai penghasil bahan organik, yang merupakan mata rantai jaringan makanan di daerah patai, tempat bertelur dan memijah binatang perairan (ikan, udang) dan tempat berlindung (suaka alam) berbagai jenis binatang (burung, kalong, dan binatang mamalia lainnya). 60 Universitas Sumatera Utara 8. Sumber rekreasi. Hutan mangrove merupakan tempat rekreasi yang nyaman untuk olah raga pancing, berperahu dan rekreasi burung (seperti burung pemakan ikan: Belekok rawa, Pecuk ular, trinil dan lainnya) 9. Sumber Pelindung. Hutan mangrove memberikan perlindungan terhadap angina dan gelombang ombang sehingga dibelakangnya terhindar dari erosi pantai. (Dahuri: 2000) Menurut masyarakat di kedua wilayah ini, kira-kira tahun 1980-an kondisi hutan Mangrove (bakau) masih sangat baik, hutan bakau masih sangat lebat dengan berbagai jenis tumbuhan mangrove didalamnya. Namun saat ini hutan tersebut sudah tidak ada lagi, saat ini yang ada hanya tumbuhan jenis nipah, api-api dan tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi air payau. Bakau yang berguna untuk perlindungan terhadap ombak laut sudah hampir habis, keberadaannya hanya tinggal beberapa saja yang masih hidup. Kondisi hutan mangrove di kedua wilayah sekitar tahun 1980-an terkesan begitu asri dan alami. Namun keadaan seperti itu tidak bisa dipertahankan dan pada akhirnya kemunculan tambak, pembangunan perumahan, perkebunan kelapa sawit serta perkembangan pariwisata berakibat penebangan dan penggundulan hutan bakau. Penebangan itu sendiri tidaklah dilakukan secara langsung melainkan tahap demi tahap. Pada mulanya hutan bakau yang ditebangi hanyalah yang berada disekitar wilayah pemukiman penduduk dan kemudian semakin meluas hingga akhirnya habis. A. 1. Pengumpul Daun Nipah Ada beberapa warga di dua desa ini yang memanfaatkan daun nipah sebagai penambah penghasilan ekonomi mereka. Pekerjaan pengumpul daun nipah (Nypa 61 Universitas Sumatera Utara puticans) yang tumbuh menyebar, mengelompok di daerah pasang surut dilakukan oleh sebagian warga yang berketrampilan merajuk daun sehingga membentuk atap yang berguna bagi atap rumah, dan tankahan. Ada beberapa warga di desa Pekan Tanjung Beringin malah memiliki kebun pohon nipah yang sengaja ditanami di belakang rumah mereka. Pohon nipah ini ditanam karena menurut mereka pohon tersebut mudah ditanam dan perawatannya tidak begitu sulit. Sekaligus pohon nipah tersebut bisa dijadikan penambah penghasilan bila hasil laut tidak mencukupi. Namun banyak diantara para warga masyarakat di dua desa ini mengambil langsung daun nipah tersebut langsung dari lahan-lahan hutan yang ada didua desa tersebut. Mereka biasanya melaksanakan pengambilan daun ketika siang hari dan ketika air surut. Biasanya yang melakukan pengambilan daun nipah ini adalah para perempuan beserta anak-anaknya dengan peralatan sederhana yaitu parang, tali dan beberapa kain sebagai alas pundak atau kepala ,mereka ketika mengangkat daun nipah tersebut Setelah daun nipah terkumpul dirasa cukup maka periode berikutnya daun nipah dijalin membentuk atap bertulang bambu agar daun tersusun rapi, kemudian dijahit dengan tali pelastik maka terbentuklah sebuah atap yang siap dipasarkan dengan harga perlembar atap Rp. 1000-2500 tergantung kondisi nipah yang telah di bentuk tersebut. Para konsumen yang membeli tidak serta merta tiap hari ada. Mereka biasanya menunggu sampai dihargai atau dibeli oleh para peminat yang datang langsung ke tempat mereka tetapi tidak jarang pula mereka harus memasarkannya ke desa tetangga dengan menggunakan sepeda atau mereka langsung membawanya ke pasar terdekat. 62 Universitas Sumatera Utara A.2. Penebangan dan Pemanfaatan Hutan Bakau Saat ini di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada lagi hutan yang khusus dijadikan wilayah hutan lindung bakau (PPA) yang tidak boleh di ganggu dan dirusak. Hal tersebut dikarenakan wilayah hutan pada saat ini memang sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya pohon-pohon yang dapat hidup diperairan payau saja seperti pohon nipah, bakau jenis api-api, dan berbagai tumbuhan yang tahan terhadap air payau. Pada awalnya, penebangan hutan bakau adalah untuk dijadikan areal tambak saja namun karena tambak-tambak yang dibangun tersebut lambat laun tidak menghasilkan lagi maka areal tersebut secara berlahan dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pepohonan bakau yang tersisapun tidak lebih dari satu lapis tanaman semata. Selain itu bila semakin menuju kearah daratan, sekarang ini perkebunanperkebunan juga dapat dijumpai semakin banyak. Hal ini mengakibatkan pemukiman penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit, dan khususnya di desa Pantai Cermin Kanan yang saat ini merupakan salah satu tempat yang sedang dikembangkan oleh Kabupaten untuk pengembangan wisata. Menurut masyarakat setempat pembangunan objek wisata di desa Pantai Cermin tersebut juga telah melakukan penebangan hutan bakau yang ada untuk kepentingan pengembangan objek wisata tersebut. Seperti penuturan Ibu Tumini (desa Pantai Cermin): “Dulu sebelum kawasan pantai wisata belum dibangun, hutan bakau masih ada disekitar sana, meskipun sedikit tapi masih bisa digunakanlah untuk mengambil kayunya, atau daun nipah sekalian juga bisa untuk melindungi desa ini dari ombak sama angin.” 63 Universitas Sumatera Utara Pemanfaatan hutan bakau bagi masyarakat didua wilayah tersebut bukan hanya sekedar lokasi aktifitas pencaharian biota-biota laut atau ikan semata. Tidak menjadi rahasia lagi bagi para warga, kayu bakau banyak berguna untuk berbagai kebutuhan masyarakat seperti pembuatan pondasi bangunan, arang, kayu bakar dan lainya. Dahulu ketika keberadaan hutan masih sangat lebat dan asri, komersialisme kayu bakau sangat menggiurkan bagi masyarakat hingga saat ini. Sehingga mendorong masyarakat semakin menebangi pohon bakau. Sebatang pohon bakau yang standar saat ini mempunyai harga mencapai Rp 10.000-12.000/batang, panjang 5m dan diameter20an cm. Dengan peralatan kampak atau parang mereka mengadakan penebangan walaupun berbagai resiko yang dihadapi. Untuk kayu arang atau pondasi bangunan biasanya standar yang harus dipunyai pohon bakau tersebut harus lebih bagus lagi. Sebab akan menentukan hasil arang atau ke kokohan pondasi bangunan. Pemasaran kayu bakau tergantung permintaan oleh para penampungnya. Selain kedua jenis penggunaan di atas kayu bakau yang kecil atau ranting yang sudah kering dijadikan untuk kayu bakar, dikumpulkan sampai banyak lalu dijual per ikatnya seharga Rp 1500 kepada para pembeli yang datang langsung atau dibawa ke pasar saat hari onan (pasar) tiba, bagian kayu yang kecil dan lurus terkadang dibuat pagar pekarangan rumah dan lantaran penjemur ikan. Perambahan hutan bakau saat ini sudah diatur oleh pemerintah dalam Undangundang No. 5 tahun 1990, tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dimana tercantum pelarangan terhadap pengerusakan hutan bakau. Udang-undang ini diberlakukan karena melihat keberadaan hutan pesisir pantai yang 64 Universitas Sumatera Utara sudah sangat buruk kondisinya dan untuk memelihara dan melindungi hutan yang masih ada saat ini. Masyarkat menyadari akan pelarangan tersebut namun bagi sebagian warga yang masih tergiur akan nilai ekonomisnya dan kurangnya bahan laut saat ini serta kurang tersedia lapangan pekerjaan yang lain bagi mereka, dengan cara apapun tetap melaksanakan penebangan walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi saat ini intensitasnya telah menurun sebab telah berkurangnya lahan pohon bakau yang berstandar ekonomis dan juga pihak pemerintah setempat mengontrol dengan ketat lahan-lahan bakau yang tersisa. Seperti penuturan bapak Bahtiar (desa Pekan Tanjung Beringin): “Sudah sekitar 5 tahun terakhir pemerintah membuat larangan itu. Hasilnya penebangan lama-lama makin berkurang. Tapi aku rasa sia-sia aja karena hutan bakaunya udah habis duluan baru ada pelarangan. Itukan sama aja dengan bohong” Dilihat dari keberadaan bakau di dua wilayah ini yang sudah sangat kritis, terlihat bahwa masyarakat tidak ambil pusing atas masalah ini. Dan pemerintah sepertinya hampir terambat mengatasinya. A. 3. Pertambakan Dan Perkebunan Sawit Potensi lahan hutan mangrove merupakan lirikan para pengusaha untuk menanamkan investasi pertambakan udang, karapu dan perkebunan secara besar dan profesional dengan dukungan modal, tenaga ahli pembudidayaan tambak dan kelapa sawit serta tenaga-tenaga buruh padat karya yang berfungsi merawat, mengawasi sampai usaha tersebut menghasilkan. Namun saat ini pertambakan kerapu di dua desa 65 Universitas Sumatera Utara ini sudah sejak lima belas tahun yang lalu sudah tidak produktif lagi. Hal ini dikarenakan kondisi air laut yang menurut para nelayan sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan pertambakan kerapu. Air laut disekitar pesisir sudah menjadi tawar akibat pengikisan air laut yang sudah mencapai daratan sehingga aliran air sungai yang ada di desa tersebut mempengaruhi kondisi air laut. Dan yang dapat di budidayakan hanyalah budidaya tambak udang. Sarana pertambakan udang yang ada hanya ada di desa Pantai Cermin Kanan. Sementara di desa Pekan Tanjung Beringin sudah tidak ada lagi pertambakan apapun. Dahulu setidaknya keberadaan tambak udang dan kerapu mempengaruhi masyarakat setempat untuk ikut membudidayakannya, tentunya bagi mereka yang mempunyai kesanggupan modal. Saat ini lahan yang dikelola secara produktif untuk tambak udang air payau yang ada di desa Pantai Cermin Kanan ada sekitar 10 ha dari 25 ha lahan yang potensial. Pada tahun 2006 produksi usaha tambak udang tersebut kira-kira 14 ton dari 10 ha yang produktif tersebut. Hal tersebut menggambarkan bahwasanya bila seluruh lahan yang potensial (25 ha) di kelola secara baik dan terpadu maka produksi untuk tiap tahunnya pastilah akan memberikan hasil yang sangat tinggi bagi kondisi dan perekonomian kabupaten Serdang Bedagai pada umumnya. Sementara perkebunan kelapa sawit adalah usaha yang terbanyak yang saat ini dilakoni oleh para pemilik modal. Hampir separuh luas wilayah perkebunan tersebut menutupi desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan. Hal tersebut terlihat dari sepanjang jalan yang menuju kedua wilayah ini terbentang luas hamparan kelapa sawit. Menurut para masyarakat pembangunan perkebunan yang dilakukan di 66 Universitas Sumatera Utara dua desa ini sudah optimal dilakukan, karena sumbangan pajak terbesar adalah berasal dari perkebunan kelapa sawit tersebut. Dan ketika pembangunan kelapa sawit banyak sekali hutan-hutan bakau yang ditebang oleh para pemodal tersebut. Pembudidayaan udang dan Perkebunan kelapa sawit telah menyempitkan tempat aktifitas nelayan tradisional hutan bakau dalam berburu biota atau ikan yang bermanfaat. Akar-akar bakau sebagai lokasi pengembangan mengalami disfungsi begitu juga dengan sarang ketam, kerang-kerangan ikut terbongkar oleh mesin-mesin pembukaan areal pertambakan dan perkebunan. A. 4. Organisasi Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove Masyarakat nelayan di dua daerah ini umumnya tidak mengenal organisasi yang mengelola lahan-lahan bakau semenjak dahulu sampai sekarang. Masyarakat bebas beraktifitas di lokasi-lokasi yang memang dianggap sebagai lahan mata pencarian sebelum masuknya kepemilikan beserta investasi para pengusaha maka terjadilah perpindahan tangan atas otoritas kepemilikan suatu kawasan hutan bakau. Pranata-pranata desa sebagai lembaga yang mengatur akivitas budaya masyarakat tidak menyentuh kepada kepedulian aturan main dalam suatu eksploitasi sumberdaya laut. Termasuk hutan mangrove, lingkungan seakan independen dalam pandangan pemangku adat atau ketua-ketua agama. Tetapi tidaklah murni aturan main dalam masyarakat pesisir tidak menyentuh sama sekali akses kelingkungan hidup. Dahulu aturan melarang aktifitas perikanan pada waktu-waktu tertentu saat hari jum’at dengan sangsi adapt pengucilan dari komunitasnya setidaknya berkolerasi terhadap masyarakat desa berinteraksi mengelola lingkungan laut termasuk hutan-hutan bakau. Namun saat ini norma-norma tersebut telah longgar, memudar dari hati nurani 67 Universitas Sumatera Utara masyarakat disebabkan perubahan konstelasi kebudayaan dari masyarakat bersangkutan, sejalan dengan krisis kemerosotan produksi sumberdyaa, moral masyarakat dan perkembangan teknologi yang semakin bersaing di antara komunitas masyarakat itu sendiri. Pranata masyarakat nelayan termarjinalisasikan beserta norma adat, agama yang selama beberapa dekade masih mewarnai kehidupan masyarakat pantai. Akhirnya rumah tangga individu-individu yang berusaha mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan norma yang ada menjadikan masyarakat pantai menjadi tanpa kesatuan sosial, hal tersebutlah yang menumbuhkan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya pesisir dan laut serta hutan bakau. Hutan Mangrove (bakau) pada dasarnya bukanlah kepunyaan semacam hak pribadi masyarakat tetapi telah mengalami polarisasi kepemilikan dan kepentingan orang-orang yang mengelolanya. Telah banyak lahan-lahan mangrove yang berubah fungsi menjadi tempat budidaya udang, pemukiman penduduk, dan pemabangunan perkebunan kelapa sawit yang terlebih dahulu lahan-lahan bakau ditebang lalu ditimbun dengan tanah. Dengan demikian kawasan bakau sebagai tempat keanekaragaman flora dan fauna semakin teracam punah yang akan berakibat langsung kepada aktifitas penangkapan ikan, pencarian biota yang menjadikan hutan bakau sebagai mata pencaharian sehari-hari atau tambahan para nelayan setempat. Masyarakat nelayan yang ada di dua wilayah ini cenderung memiliki persepsi yang bertolak belakang tentang keberadaan mangrove. Menurut sebahagian dari mereka yang tidak begitu peduli akan keberadaan bakau ekosistem mangrove tidaklah begitu 68 Universitas Sumatera Utara penting keberadaanya bagi warga dan sama sekali tidak mempengaruhi ekosistem sumberdaya laut. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Suhairi (Pekan Tanjung Beringin): “ Hutan bakau sebenarnya enggak ada pengaruhnya sama bahan-bahan laut. Karena ikan, udang sama kepiting tetapnya ada walaupun enggak ada bakau. Karena bakau untuk melindungi pantai aja kok fungsinya.” Hampir senada pula dengan perkataan Bapak Anwar (Pantai Cermin Kanan): “Mana mungkin ikan-ikan, udang atau kepiting berkembang biak di hutan bakau. Buktinya aja sekarang enggak ada lagi hutan bakau, tapi tetap ada kok ikan, udang sama kepiting. Malah kadang-kadang makin banyak pun” Pelarangan penebangan yang ada saat ini adalah oleh pemerintah. Dengan kekuasaan yang dimilikinya pemerintah bisa membuat keputusan hutan bakau di daerah mana yang bisa ditebangi dan mana yang tidak. Selama ini peran pemerintah mulai tampak dalam menjaga kelestarian hutan bakau di dua desa ini, namun tidak jarang pula pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak udang terlihat dilakukan oleh oknumoknum pemerintah itu sendiri. Peraturan untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau yang dianjurkan pemerintah melalui aparat-aparatnya sedikit yang masih dipraktekkan. Dan ada kalanya anjuran tersebut malah tidak dijalankan. B. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Dan Laut Trumbu karang di perairan dua wilayah ini, oleh masyarakat nelayan setempat sudah lama dikenal. Mereka mengenal trumbu karang dengan pengertian bahwa trumbu karang adalah kelompok karang-karang laut yang berada ditengah laut dan yang ditumbuhi berbagai macam rumput laut atau tumbuhan laut lainnya atau biasa disebut 69 Universitas Sumatera Utara hutan laut, yang merupakan sarang atau rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, yang ada di dasar laut. Selain hutan laut masyarakat juga menamakan terumbu karang sebagai pondasi pulau sebab dimana terdapat pulau pasti terdapat juga gugusan trumbu karang, ditambah lagi masyarakat nelayan sering juga menyebut terumbu karang sebagai rumah ikan yang berada di dasar laut atau dapat juga ke permukaan membentuk pulau karang yang sewaktu-sewaktu sangat rawan bagi pelayaran kapal-kapal, sebab kapal mereka bisa mengalami kandas di karang tersebut. Gugusan karang merupakan lokasi-lokasi ikan-ikan, biota laut untuk mencari makanan, bermain dan berkembang biak (berpijah). Hampir seluruh jenis ikan akan datang mengunjungi kawasan karang, dan cirri khas yang dengan demikian itu makna masyarakat banyak memanfaatkan daerah terumbu karang sebagai lokasi operasional perburuan jenis-jenis ikan konsumsi, ikan hias, serta memanfaatkan biota-biota yang terdapat di daerah tersebut. Karang yang berada dilaut terbagi atau dibedakan juga berdasarkan jenisnya yaitu: 1. Sebutan dengan jenis karang Gadung (karang gedung) karena biasanya karang ini berbentuk besar dan luas. 2. Sebutan dengan jenis karang bunga. Disebut demikian karena karang ini terdiri dari berbagai macam tumbuhan atau bunga-bunga laut. Karang gadung, karang bunga (bunga karang) dan tumbuhan laut seperti jariamun, akar bahar dan anemone bersosialisasi membentuk terumbu karang yang memiliki asset keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi bermanfaat bagi nelayan maupun 70 Universitas Sumatera Utara bagi keseimbangan ekosistem lingkungan laut. Karang gadung sudah banyak digunakan sebagai bahan-bahan bangunan, pembuatan jalan, kapur dan lainnya. Karang bunga lebih banyak digunakan untuk hiasan rumah tangga, perkantoran dan lainya. Sedangkan jenis tumbuhan laut juga berguna sebagai bahan obat-obatan yang aktif dan mujarab diramu masyarakat nelayan. Kelompok karang bunga tumbuh diatas karang gadung, memerlukan waktu yang sangat lama untuk mewujudkan bentuk pendukungnya. Sekuntum bunga karang memerlukan waktu setahun untuk tumbuh setinggi 1 cm, dengan bentuk fisik setiap 1 cm2 bulat melingkar, berlubang-lubang kecil atau pori-pori (Spoon) Yang menandakan umur bunga karang. Semakin besar kuntum bunga, semakin jelas garis-garis spoonya, berarti hampai sama dengan lingkaran tahun yang menentukan umur pada pohon-pohon di daratan namun pada karang sangat sulit menentukan umur kumpulan bunga karang, sampai saat ini belum terjawab secara ilmiah. Proses pengguguran alamiah dari bunga karang dan langsung berganti dengan tunas yang baru tumbuh, begitu seterusnya pertumbuhan bunga karang. Versi biologi laut terumbu karang dibentuk binatangbinatang karang hermatypik yang hanya hidup pada perairan kaut tropis. (Saptarni dkk, 1996.II.10 dalam Syamsuri Sulham, 2000). Terumbu karang senantiasa rentan terhadap kerusakan, kerusakan alamiah lebih disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti terjadinya badai lautan yang menimbulkan gelombang air besar sehingga arus air menerpa bunga-bunga karang, biasanya setelah badai reda serpihan-serpihan bunga karang akan terlihat terdampar di tepi pantai. Namun karang gadung tahan akan terpaan arus laut sehingga sulit untuk mengalami kerusakan tanpa disengaja untuk mengusiknya, kemampuan untuk melawan gelombang 71 Universitas Sumatera Utara arus laut tersebut sangat penting bagi masyarakat pesisir pantai guna melindungi bahaya abrasi daratan atau laut yanbg sering ditimbulkan gelombang laut. Kerusakan terhadap terumbu karang yang lebih tinggi adalah oleh pencemaran perairan, pertambangan dan penerapan metode atau alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif. Berdasarkan penelitian ilmiah pencemaran perairan penyebabnya adalah limbah logam-logam hasil endapan pemakaian pupuk pertanian (revolusi hijau), limbah pabrikpabrik yang mengalir dari hulu sungai menuju perairan laut serta endapan erosi lumpur atau tanah akibat banjir yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang. Disamping itu limbah hasil rumah tangga yang langsung menuju laut, limbah industri perikanan dan akibat kegiatan pariwisata bahari dengan penyelaman bawah laut yang berlebihan seluruhnya unsure-unsur diatas dapat mengganggu kelestarian ekosistem laut khususnya terumbu karang (Syamsuri Sulhan, 2000). Nelayan yang selalu beraktifitas di lokasi karang memiliki kontribusi untuk merusak kawasan terumbu karang dengan penerapan penangkapan ikan yang menggunakan zat-zat kimia, pemboman, dan pengoperasian pukat harimau (trawl) yang selama ini menggunakan alat panel besi jarring yang dapat meratakan haling rintang karang sehingga jaring tidak mengalami kerusakan saat melewati gugusan karang. Sebaliknya nelayan tradisional dengan penerapan alat tangkap seadanya seperti pancing, perangkap, atau bubu/lukka setidaknya tidak menggangu kehidupan karang-karang sehingga dapat membantu kesinambungan pelestrian kawasan terumbu karang sebagai wilayah penangkapan utama mereka. 72 Universitas Sumatera Utara Saat ini keberadaan trumbu karang di kedua desa ini sudah sangat menghawatirkan. Di Tanjung Beringin kawasan lokasi trumbu karang yang masih baik ada di Pulau Berhala. Pulau ini memiliki kekayaan alam yang masih alami berupa keindahan trumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Pulau Berhala tersebut masih alami karena pemerintah daerah Serdang Bedagai secara berkala mengawasi dan melindungi lokasi tersebut guna untuk melindungi sumber daya alam yang ada ditempat tersebut. Sementara di desa Pantai Cermin Kanan kondisi trumbu karang menurut masyarakat setempat sudah tidak ada lagi. Rusaknya lokasi-lokasi trumbu karang dimulai sejak 15-tahun terakhir dan dikarenakan oleh banyaknya nelayan luar dan nelayan setempat yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan zona yang telah ditentukan. Para nelayan tidak segan-segan menerapkan metode penangkapan dengan berbagai alat tangkap yang menggunakan teknologi canggih. Biasanya nelayan luar yang datang melaut ke wilayah tersebut adalah nelayan yang berasal dari Belawan, Tanjung Balai, dan dari luar pulau Sumatera. Mereka rata-rata menggunakan kapal yang sangat besar dengan alat tangkap berteknologi tinggi. Mereka melaut di wilayah Serdang Bedagai dikarenakan kondisi laut di tempat mereka sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk memenuhi kebutuhan mereka atau dengan kata lain kondisi laut di wilayah mereka sudah rusak total, sehingga mereka pergi ketempat lokasi yang masih memiliki kondisi laut yang masih memiliki banyak ikan. 73 Universitas Sumatera Utara B. 1. Organisasi Dan Aturan Formal Terhadap Trumbu Karang Secara umum, masyarakat nelayan di kedua wilayah tersebut tidak mengetahui organisasi-organisasi yang mengatur tentang keberadaan dan kelestarian trumbu karang. Mereka hanya tahu bahwa pemerintah saja yang saat ini melarang penangkapan ikan yang ada disekitar trumbu karang, hal ini terutama ada didesa Pekan Tanjung Beringin. Sementara di desa Pantai Cermin Kanan yang tidak ada lagi memiliki trumbu karang yang masih bagus kondisinya tidak tahu sama sekali tentang larangan tersebut. Trumbu karang yang kondisinya masih bagus hanya terdapat di satu wilayah saja yaitu di perairan Tanjung Beringin. Trumbu karang tersebut sudah dilindungi oleh pemerintah daerah sekitar tahun 1995-sampai sekarang. Pelarangan tersebut dilakukan guna untuk melindungi suatu pulau kecil yang ada pada batas yang berdekatan dengan negara Malaysia. Pulau tersebut bernama Pulau Berhala, dimana menurut rencana pembangunan daerah kabupaten akan dijadikan sebagai tempat wisata bahari. Pranata di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak memiliki andil dalam mengatur pengelolaan sumberdaya laut baik trumbu karang atau hutan mangrove. Sebab pranata masyarakat lebih terfokus dalam peranan seremoni adat istiadat daripada mengurusi pengelolaan sumber daya dan pelestariannya. Ketiadaan organisasi pengelolaan baik organisasi berdasarkan adat (manajemen tradisional), orospol, LSM dan organisasi formal pemerintah yang memotavasi mekanisme pengelolaan berkelanjutan mengakibatkan nelayan-nelayan kurang memahami tindakannya. 74 Universitas Sumatera Utara Aparat desa tidak mampu berbuat banyak dalam mencegah para nelayan yang merusak karang dengan alat tangkap mereka, begitu juga nelayan setempat tidak mempunyai keberanian bertindak terhadap aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan luar dilokasi yang seharusnya tidak cocok untuk alat tangkap mereka. Nelayan setempat berperinsip asalkan mereka tidak mengganggu alat tangkap nelayan setempat. B. 2. Wilayah Penangkapan atau jalur Penangkapan Secara umum komunitas nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan nelayan desa Pantai Cermin Kanan tidak mengenal atau batas-batas wilayah pengelolaan. Proses perburuan sumber daya laut lebih tergantung kepada kemampuan penerapan teknologi penangkapan nelayan di perairan, hal ini terbukti bila ikan timbul pada zona nelayan pantai 3-4 mil laut masih saja banyak terlihat pukat-pukat moderen seperti pukat cincin, bagan boat ber GT 40-60 yang bebas beroperasi menangkap ikan sementara alat tangkap tradisional seperti bagan pancang, pukat tepi, jaring salam dan lain-lain tidak dapat berbuat apa-apa hanya melihat, mengomentari perilaku-perilaku nelayan moderen tersebut. Pemerintah melalui dinas perikanan sebenarnya telah mengeluarkan aturan zona-zona batas wilayah penangkapan bagi para nelayan sebagai katub pengaman berdimensi publik dalam rangka untuk pelestarian sumber daya laut dari kecenderungan eksploitasi yang berlebihan, disamping bertujuan untuk melindungi kepentingan nelayan-nelayan kecil. Maka surat keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 yang diperkuat Undang-undang No. 329/Kpts/IK.120/4/1999 tersebut secara mekanik berfungsi menghindari konflik kepentingan diantara pihak- 75 Universitas Sumatera Utara pihak yang berkompoten dalam mengeksploitasi potensi sumber daya laut melalui pengaturan jalur-jalur operasi penangkapan ikan. Pengaturan jalur-jalur penangkapan tersebut berhubungan dengan wilayah (Non ZEE) yang dapat digali dan penggunaan kapal, alat tangkap ikan yang sesuai. 1. Jalur penangkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut, yang tertutup bagi: 1). Kapal penangkap ikan bermesin dalam (In Board) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan in board berkekuatan di atas 10 daya kuda (PK), 2). Semua jenis jaring Trawl, 3). Jaring Pukat cincin/langgar dan sejenisnya, 4). Jaring Pukat lingkar dan jaring pukat hanyut tongkol, 5). Pukat paying/lempar/banting diatas 120 m panjang dari ujung sayap atau kaki yang satu ke ujung yang lain. 2. Jalur penangkapan II, adalah perairan 4 mil laut yang di ukur dari luar garis jalur penangkapan I, dan tertutup bagi: 1). Kapal penangkapan ikan bermesin in board berukuran >25 GT atau penangkapan ikan bermesin in board yang berkekuatan di atas 50 daya kuda (PK), 2). Jaring Trawl dasar berpanel (Otte Board) yang panjang tali ris atas/bawah di atas 12 m, 3). Jaring Trawl melayang (Pelagis Trawl) jaring trawl yang ditarik dua kapal (Pair Bull Trawl), 4). Jaring Pukat cincin/langgar dan sejenisnya yang mempunyai panjang di atas 300-m. 3. Jalur penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II, dimana tertutup bagi 1). Kapal penangkap ikan bermesin in board berukuran diatas 100 GT atau kapal penangkap ikan yang berkekuatan di atas 200 daya kuda (PK), 2). Jaring trawl dasar dan melayang 76 Universitas Sumatera Utara berpanel (Otter Boad) yang panjang tali rias atas/bawah di atas 20 m, 3). Pair Bull Trawl, 4). Jaring pukat cincin/langgar dan sejenisnya yang panjangnya di atas 600-m. 4. Jalur penangkapan IV, terbuka bagi: semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah terkecuali pair bull trawl hanya boleh beroperasi di perairan samudera Indonesia. Selain itu, disebabkan pula untuk semua jenis jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine cakalang (pukat cincin tuna) yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang dipergunakan untuk semua jalur penangkapan. Dari bunyi SK Mentan No. 607/Kpts/Um/ 9/1976 diatas, sebagian nelayan terutama nelayan tradisional kurang tahu atau tidak tahu sama sekali dan merasa kabur dalam penentuan titik batas wilayah penangkapan, karena sifat territorial, apalagi bagi armada nelayan yang tidak dilengkapi dengan petunjuk arah dan jarak sedangkan nelayan moderen di sisi lain tetap saja melanggar aturan wilayah penangkapan di atas sehingga masalahmasalah yang berhubungan dengan konteks wilayah penagkapan ini masih memerlukan penanganan, khususnya dalam penentuan batas-batas permanen perairan yang menjadi acuan bagi jalur atau penangkapan ikan. Faktor-faktor mendasar yang menjadi acuan dalam penentuan kawasan penangkapan ikan berdasarkan atas: (a). jenis-jenis ikan yang dimanfaatkan atau jenis ikan yang berpeluang bagi pengembangan penangkapan, (b). bentuk dan geografi perairan, (c) migrasi dan penyebaran ikan-ikan, (d) ukuran dan jenis kapal perikanan, 77 Universitas Sumatera Utara (e). ukuran dan jenis alat tangkap, (f). dukungan kelembagaan perikanan dan peraturan yang telah ada (Dinas Perikanan Dati I Sumatera Utara, 1993, 122). Lokasi penangkapan ikan sangat bergantung kepada besarnya potensi lestari dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, penyebaran sumber daya biota laut, ikan dan musim penangkapan serta tingkat produktifitas nelayan. Nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak saja melakukan penangkapan ikan di perairan Sergai saja, namun mencakup seluruh perairan yang berada dekat dengan kawasan daerah mereka. Ruang lingkup penangkapan tergantung kemampuan daya jelajah dan penurunan produksi penangkapan yang ada di wilayah mereka. C. Jenis Alat Tangkap Nelayan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Laut Pemanfaatan sumber daya laut yang dilakukan para nelayan tidak terlepas dari model-model perlengkapan atau peralatan penangkapan ikan. Pilihan dalam penerapan peralatan sebagai alat tangkapnya pada dasarnya harus sesuai dengan kondisi dan stok biota-biota didalamnya. Peralatan eksploitasi ikan sangat ditentukan menurut jenis alat, hasil tangkapan, daya jelajah teknologi pembantu, sumber daya nelayan (skill) sifat dan lokasi ikan serta pilihan nelayan dalam beradaptasi terhadap musim. Nelayan di dua wilayah ini terbagi aktif pada berbagai jenis unit nelayan yang mengoperasikan beraneka ragam alat tangkap dalam usahanya memanfaatkan ekosistem perairan laut. Jenis-jenis alat tangkap nelayan tersebut diantaranya adalah nelayan bagan pancang, bagan boat, pukat cincin (Purse Seine), jaring udang (Trammel Net), pukat pantai (Beach Seine Net), perangkap/bubu (Portable Traps), dan pancing (Line Fishing). Namun tidak jarang karena diakibatkan situsi dan kondisi keadaan perairan yang saat ini 78 Universitas Sumatera Utara tidak menentu banyak para nelayan yang memiliki jenis alat tangkap yang lebih dari dua jenis. Ketika musim satu jenis ikan yang menjadi sumberdaya laut yang biasa mereka tangkap mulai berkurang hasilnya maka mereka segera merubah jenis alat tangkap mereka dengna jenis yang berbeda untuk menangkap ikan yang menjadi musim disaat itu. Jenis-jenis alat tangkap yang ada di dua desa ini dapat dilihat dalam tabel data berikut: Tabel 6: Data Kapal Dan Alat Tangkap No Kapal/Perahu Motor Dengan Alat Tangkap Desa Pekan Tanjung Beringin Pantai Cermin Kanan 1. Purse Seine 7 - 2. Gill Net 84 15 3. Trammel Net - 62 4. Line Fishing 36 4 5. Trap 29 - 6. Seine Net 13 - 7. Drage 27 - 8. Stow Net (Jermal) - 2 196 83 Jumlah Sumber: Data Base Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007 Keteranagan: Purse Seine : Pukat Cincin, Pukat Langgar, Pukat Lingkar Gill Net : Jaring Insang, Jaring Hanyut Tramel Net : Jaring Tiga Lapis, Jaring Lingkar, Jaring Insang Tetap Line Fishing : Pancing, Pancing Tonda, Jaring Appolo, Rawai Hanyut Seine Net : Payang, Dogol, Pukat Pantai, Songko, Langgei Drage : Penangkap Kerang, Penangkap Kepiting (Mangrove) Stow Net : Jermal 79 Universitas Sumatera Utara Karena sumber daya laut bersifat universal dan terbuka dalam penerapan zonazona penangkapan terdapat juga nelayan yang mengoperasikan jenis alat tangkap lain seperti nelayan pancing kakap, nelayan pukat gerandong (pukat Tarik), nelayan pukat ikan atau pukat harimau (PI/Trawl/Katrol), dan nelayan-nelayan penyelam biota-biota laut, meskipun alat tangkap tersebut tidak dipakai masyarakat setempat. C. 1. Nelayan Kawasan Hutan Mangrove Dan Pantai Komunitas nelayan hutan bakau (mangrove) dan kawasan pantai merupakan mayoritas kelompok nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan tradisional terbatas kemampuan daya jelajahnya dan aktif beroperasi hanya disekitar kawasan bakau dan pantai disebut juga perikanan rakyat. C. 1. 1. Nelayan Pencari Biota-biota Bakau Saat ini penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan yang melakukan aktifitas penangkapan biota laut yang ada di lokasi hutan bakau sudah hampir tidak ada lagi. Hal tersebut dikarenakan lokasi hutan bakau di dua wilayah ini hampir tidak ada lagi yang kondisinya masih baik. Keberadaan nelayan ini hanya beberapa orang saja yang tetap aktif melakukan penangkapan biota-biota laut di pinggiran bakau tersebut. Hewan yang banyak menghuni bakau diantaranya: dari jenis kerang-kerangan, hewan melata, ketpiting, siput, kepah dan lainnya. Kerang-kerangan yang hidup di bakau selalu berkelompok, untuk menandakan tempat mereka tidak terlalu sulit, biasanya mereka hidup berkoloni didalam lumpur bakau atau pasir lunak. Sementara untuk kepiting dan siput biasanya mereka berada di sekita akar-akar bakau yang 80 Universitas Sumatera Utara berlumpur dan beriaran. Para nelayan cukup menggunakan jaring yang khusus dapat menangkap kepiting. Biasanya mereka akan menebar jaring mereka di sekitar akar-akar bakau ketika air laut sedang pasang, dan setelah surut maka mereka akan datang kembali kelokasi dan mengambil jaring kepiting tersebut. Biasanya mereka selalu mendapatkan 5-10 ekor sekali menebar jaring setiap harinya. Pencarian biota-biota dilakukan biasanya pada saat air sedang surut di pagi hari, siang atau sore sehingga untuk berjalan di lumpur hutan bakau tersebut tidak akan sulit. Pekerjaan pencari biota-biota ini biasanya didominasi kaum wanita dewasa dan anak laki-lakinya, namun laki-laki dewasa dapat melakukan aktifitas ini meskipun jumlahnya lebih sedikit. Biasanya mereka akan mengumpulkan hasil pencarian mereka kedalam wadah masing-masing berupa ember, lalu bila ember mereka penuh maka akan dimasukkan kedalam satu wadah yang terbuat dari goni plastik yang berada didalam satu ember pastik atau baskom, lalu kemudian mereka akan menggotongnya secara bersama-sama. Pekerjaan ini bukanlah mata pencaharian pokok masyarakat nelayan, namun untuk sekedar menambah penghasilan atau untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga mereka. Hasil pencarian nelayan ini sekembalinya dari lokasi akan langsung dibersihkan dan kemudian di jual kepada pedagang pengumpul yang menjadi langganan mereka. Biota-biota ini saat ini dijual dengan harga Rp.700-800,- per kilo, sementara pedagang pengumpul akan menjualnya dipasaran dengan harga Rp. 1100-1400,- per kilo. 81 Universitas Sumatera Utara C. 1. 2. Nelayan Penangkap Ketam dan Kepiting Sama halnya dengan nelayan pencari biota-biota, nelayan penangkap ketam dan kepiting yang kebanyakan beroperasi di hutan bakau, saat ini sudah jauh berkurang jumlah nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal ini terjadi akibat kemerosotan kualitas dan kuantitas hutan bakau akibat perubahan fungsi, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil tangkap mereka dimana populasi ketam dan kepiting ini sudah berkurang. Diantara dua wilayah ini, nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan kepiting yang paling banyak adalah di desa Pantai Cermin Kanan. Sementara di Pekan Tanjung Beringin hampir tidak ada nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal tersebut dikarenakan nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin lebih terkofokus dengan jaring Gembung sebagai alat tangkapnya. Dan rata-rata nelayan di desa ini adalah nelayan buruh yang notabene tidak memiliki sampan/kapal pribadi. Di desa Pantai Cermin Kanan banyak yang melakukan penangkapan ini karena menurut mereka keadaan pesisir mereka memang dari dahulu sangat banyak kepitingnya sebagai sumber daya alam. Ditambah lagi biasanya nelayan yang melakukan aktifitas ini adalah nelayan dengan modal yang pas-pasan. Mereka juga menimbang struktur harga kepiting yang semakin hari semakin mahal harganya, jarang harga kepiting yang bisa turun drastis harganya. Ditambah lagi di daerah tersebut adalah wilayah wisata. Sehingga bila mendapat hasil tangkap akan segera laku terjual ke pedagang penampung dengan harga yang cukup mahal per kilonya. Saat ini harga kepiting per kilonya Rp. 15.000,Penangkapan ketam dan kepiting ini termasuk zona perikanan pantai. Mereka biasanya menebar jaring mereka ke wilayah bakau yang hampir menuju laut kira-kira 82 Universitas Sumatera Utara 30-50 meter dari pinggiran hutan. Biasanya mereka menebar jaring jam 4 pagi lalu sore datang kembali kelokasi sekitar jam 3 sore untuk melihat hasil tangkapan mereka. Jaring yang mereka gunakan biasanya adalah jaring yang di rajut sendiri oleh mereka. Mereka akan membeli bahan-bahan yang menjadi bahan utama pembuatan jaring yaitu benang, besi yang berbentuk bulat lonjong yang berukuran 1cm sebanyak yang mereka butuhkan, lalu jarum kait untuk mengkait benang-benang tersebut. Mereka biasanya membuat jaring dengan panjang kira-kira 10-30m dengan tinggi 40-50cm tergantung modal yang mereka punya. Hasil tangkapan mereka biasanya tergantung musim. Bila sekitar bulan Desember sampai pertengahan bulan February biasanya hasil tangkapan mereka banyak. Namun di sekitar bulan Maret sampai awal November maka hasil tangkap mereka tidak terlalu banyak. Biasanya hasil tangkapan mereka akan di jual kepada para pedagang yang memang khusus menampung hasil laut berupa kepiting. Para nelayan biasanya menjual kepada pedagang penampung yang menjadi langganan mereka. Ada hal yang cukup menarik dari hubungan pedagang penampung dan nelayan penangkap kepiting ini. Untuk mengikat para nelayan agar mau menjual hasil tangkap kepiting mereka, biasanya para pedagang ini akan langsung mendatangi si nelayan sehari sebelum si nelayan pergi kelaut. Hal ini mereka lakukan agar si nelayan tidak menjualkan hasil tangkapnya ke pedagang yang lain. Dan para pedagang ini akan memberi uang muka awal untuk nelayan sebagai tanda jadinya. Hal tersebut dikarenakan lokasi Pantai Cermin Kanan yang saat ini sedang mengembangkan wisata pantainya yang cukup terkenal yaitu Theme Park. Di lokasi wisata tersebut banyak 83 Universitas Sumatera Utara sekali rumah makan atau yang biasa disebut kafe oleh warga setempat menyediakan berbagai menu makanan yang terbuat dari bahan kepiting atau ketam laut yang harganya cukup mahal per porsinya sekitar Rp. 45.000-75.000,-. Dan menurut para pemilik kafe makanan yang terbuat dari bahan kepiting dan ketam tersebutlah yang menjadi primadona oleh para pengunjung pantai. C. 1. 3. Penjaring Ikan Alat tangkap yang digunakan nelayan penjaring ini adalah jaring insang (gill net) yang berbentuk empat persegi panjang dan dilengkapi dengan pemberat-pemberat pada tali ris dibawahnya dan pelampung-pelampung pada tali ris di atasnya. Jaring ini dipasang tegak lurus dalam air dan menghadang arah gerak ikan atau dipasang melingkar. Ikan-ikan tertangkap karena tersangkut pada mata jaring atau tergulung pada jaring tersebut. Jenis ikan yang sering tertangkap oleh jaring ini adalah ikan belanak, ikan bulan-bulan, bandeng, tertangkap juga kedalam jaring saat dioperasikan. Pembuatan jaring dirakit sendiri dengan membeli bahan-bahan yang diperlukan seperti benang nilon, pelampung dan timah pemberat. Panjang jaring berkisar 15-20 m, lebar 11,5 m. Total harga sebuah jaring gill net ini sekitar Rp. 100.000,- lebih murah dan hemat bila dibandingkan membeli jaring yang telah siap dari toko, begitupun jaring yang bentuk siap dari toko biasanya terlalu panjang dan lebar sehingga tidak sesuai diterapkan di perairan disana, serta daya tahan jaringnya pun kurang kuat dibanding buatan nelayan sendiri. Disamping alat tangkap jaring, alat tangkap jala (Cast Net) pun digunakan nelayan untuk berburu ikan daerah bakau, mereka menelusuri air setinggi pinggang 84 Universitas Sumatera Utara lantas menyebar jala pada lokasi-lokasi yang dianggap berikan. Jenis ikan yang tertangkap hampir sama dengan penjaring, aktivitas menjala hanya dilakukan seorang nelayan sedangkan menjaring terdiri dari dua orang nelayan dan tidak tertutup kemungkinan mereka menggunakan transportasi sampan (perahu) dalam mempelancar aktifitas menangkap ikan. C. 1. 4. Nelayan Pukat Pantai (Beach Seine Net) Pukat pantai lazim disebut dengan jaring tepi, nelayan yang mengoperasikan biasnya selalu berkelompok 5-10 orang bahkan lebih terdiri dari seorang kepala regu, 2 orang pembangkit pukat lebihnya anak buah biasa. Bentuk pukat ini rata-rata lebar kotak jaring awal kurang lebih 5cm, lebar jaring penghalang atas bawah 1 m dan lebar kotak kantong jaring tempat terperangkapnya ikan 2 mm dengan demikian ikan kecil 1cm bila masuk kantong jaring maka akan terperangkap. Jaring juga dilengkapi dengan pelampung pengapung berjarak 1m antar pelampung terbuat dari bahan gabus jika tidak nelayan menggantikan dengan sandal bekas, sebagai pemberat terbuat dari batu atau timah seberat 3-6 Kg yang terletak pada ujung jaring pukat tepi. Harga satu unit pukat tepi Rp 7.000.000 jika dibeli siap, namun nelayan cenderung merakit sendiri bahan-bahan jaring sehingga terbentuk sebuah jaring pukat yang siap pakai dengan alasan lebih hemat biaya dan kualitas jaring lebih tahan lama atau kuat dibanding jaring yang dibeli siap pakai dari toko. Pembuatan satu unit jaring membutuhkan sekitar 1 bulan yang dikerjakan secara bersama-sama dengan anggotaanggota. 85 Universitas Sumatera Utara Saat ini yang masih menekuni alat tangkap model pukat tepi hanya nelayan yang tidak memiliki modal yang besar, baik di desa Pekan Tanjung Beringin maupun Pantai Cermin Kanan. Para nelayan dalam operasi penangkapan selalu membawa bekal makan siang (akomodasi) sebab tidak ada waktu untuk kembali ke rumah saat menjatuhkan jaring di pantai yang agak jauh dari tempat tinggal mereka atau mereka cukup makan dan minum di warung-warung terdekat dengan pusat operasi dan penjual ikan tangkapan. Pukat tepi beroperasi di perairan laut yang landai atau berlumpur harus menghindari kawasan terumbu karang sebab akan menghambat kelancaran jaring, karena jaring akan tersangkut pada karang dan akan fatal akibatnya pada jaring. Namun tidak jarang juga ada beberapa nelayan yang berani menebarkan jaring di areal trumbu karang, biasanya mereka mengambil resiko tersebut dikarenakan alasan ketiadaan ikanikan di luar perairan trumbu karang tersebut. Biasanya mereka yang menebar jaring di areal trumbu karang dengan memperhitungkan titik rawan dan mekanisme penarikan jaring untuk menghindari kerusakan. Faktor musim sangat mempengaruhi kinerja nelayan pukat tepi, arus deras saat bulan-bulan musim Barat Desember-Maret terkadang mengganggu penebaran dan penarikan jaring sebab jaring akan menyamping terbawa arus menyebabkan ikan sukar terperangkap, tetapi suasana ini tidak selalu datang. Musim Barat menurut kebiasaan nelayan ikan cenderung ke pinggir, air laut keruh maka musim ini menjadi masa panen nelayan pukat tepi. Dibandingkan pada Musim Timur bulan Juni-September dan musim peralihan (Musin Selatan) bulan April, Mei, Oktober, Nopember menurut kebiasaan air 86 Universitas Sumatera Utara laut tenang, jernih menyebabkan kecenderungan ikan akan ketengah, dan dikarenakan air laut terlihat jernih, ikan akan melihat ketika jaring sedang ditebarkan sehingga ikanikan akan sangat sulit untuk terperangkap di jaring. Bila keadaan begini maka nelayan pukat tepi melaksanakan operasi pada malam hari. Dimana menurut mereka keliaran ikan berkurang saat malam. Namun para nelayan pukat tepi ini bila mengadakan operasi di malam hari akan bersaing dengan para nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat cincin sebab mereka aktif melampu ikan (menangkap ikan) di tengah laut dengan demikian lampu ransangan akan menghambat arah ikan ke peinggir, ikan akan lebih tertarik kepada gejala fototaksis (gerak rangsang makhluk hidup untuk bergerak menuju cahaya atau benda yang bercaya) alat-alat tangkap moderen. Hambatan teknis maupun non teknis sangat mempengaruhi hasil pendapatan mereka, semakin hari pendapatan mereka semakin menurun sebab utamanya adalah persaingan alat tangkap perairan laut yang makin kompleks, daya efektifitas pukat tepi dan semakin berkurangnya persediaan ikan (over fishing) di pesisir dan laut. Seperti penuturan seorang informan Agustaf (Pekan Tanjung Beringin): “Dulu kita tidak perlu ketengah laut untuk menangkap ikan, cukup dipinggir-pinggir saja sudah banyak ikan yang dapat. 1 atau 2 kali tebar jaring ikannya sudah banyak yang dapat. Dulupun musim mempengaruhi hasil tangkapan tapi sekarang karena ikan mulai berkurang jadi musim tidak diperhitungkan lagi. Banyaknya persaingan antar nelayan aja sudah membuat hasil laut berkurang. Apalagi 87 Universitas Sumatera Utara ditambah nelayan yang datang dari luar pakai pukat yang seharusnya tidak boleh dipakai di pinggir, maka ikan-ikan jadi cepatlah habisnya”. Pemorsiran nelayan pukat turun untuk melaut terdorong oleh semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkap maksimal sehingga mengenyampingkan faktor-faktor musim (gejala alam) terkecuali cuaca yang sangat rawan baik aktifitas turun beroperasi, selama ini musim seyogyanya menjadi perhitungan kaun nelayan dalam penangkapan ikan. Hasil tangkap nelayan pukat tepi berupa ikan pelagis seperti ikan asoaso/gembung, gembung kuring, teri/bada, bawal, tenggiri, pandan-pandan, sinangin dan lain-lain. Ikan demersal (button Fish) seperti sumbelang, pari, jenis udang-udangan (udang putih, udang kelong, udang windu, udang batu, udang kotak dan lain-lain). Biasanya jenis-jenis hasil tangkap sesuai dengan musimnya, namun saat ini tidak tentu lagi. Ikan hasil penangkapan sangat bervariasi dan masih berdasarkan kecenderungan musim-musim koloni-koloni jenis ikan yang terdapat dalam areal perairan. Tetapi tidak jarang nelayan hanya mendapatkan banyak berjenis-jenis ikan namun sangat sedikit hasilnya sehingga harus dipilih ikan-ikan yang berkualitas baik, berharga mahal bila dipasarkan seperti tenggiri, aso-aso/gembung dan lain-lain. Ikan-ikan seperti itu nelayan menyebutnya dengan istilah lauk baik (ikanbagus) sedangkan ikan berharga rendah disebut dengan istilah lauk campur. Biasanya ikan-ikan tersebut tidak dijual, nelayan mengolahnya menjadi ikan asin supaya agak terangkat harganya jika dijual kepasar. 88 Universitas Sumatera Utara Saat operasi penangkapan di antara kru nelayan pukat terkadang mengkombinasikan alat tangkap tepi dengan jaring lampu disebut dengan istilah melampu, dengan melilitkan jaring ke arah kantong pukat kegunaannya menangkap ikan-ikan yang terlepas dari jaring pukat, dilaksanakan ketika jaring utama telah berada 10-15m dari tepi pantai. Jika ikan dirasa banyak masuk jaring tetapi banyak yang terlepas maka dihambat dengan jaring lampu, biasanya dilakukan 2-3 orang nelayan dengan merenangkan jaring untuk melilitkannya. Jaring lampu sama seperti jaring gill net, besar mata jaring 1-2cm dilengkapi dengan pemberat. Hasil tangkapan jaring ini hanya dibagi kepada nelayan aktif melampu sebagai penambah dari pembagian hasil tangkapan pukat tepi. Pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan ada dua jenis. Yang pertama dengan sistem penjualan hasil langsung kepada toke-toke mereka, yang kedua dengan menjualnya secara langsung dengan sistem borong per keranjang kepada para pedagang berjalan atau langsung dengan konsumen yang biasanya adalah masyarakat setempat dengan harga kiloan. Bila dijual kepada si toke, maka harga akan ditentukan oleh toke mereka tersebut. Biasanya nelayan yang menjual kepada toke adalah nelayan yang mempunyai ikan patron-klien. Si toke adalah patron dan si nelayan adalah kliennya. Sistem ini ada dikarenakan si nelayan adalah nelayan yang tidak memiliki kapal/boat sendiri sehingga mereka bekerja membawa kapal milik toke dengan perjanjian bahwa hasil yang ditangkap akan dijual hanya kepada toke. Ada pula yang hubungan antara toke dan nelayan adalah hubungan pinjaman modal melaut. Biasanya nelayan tersebut memiliki perahu sendiri namun ketika melaut mereka meminjam atau meminta dana 89 Universitas Sumatera Utara dari seorang toke ketika mereka akan melaut. Hal ini dilakukan oleh nelayan karena mereka kehabisan modal atau sedang dalam kesulitan keuangan sehingga mereka akan berhutang dengan si toke. Pembayaran yang dilakukan oleh nelayan dengan cara menjual hasil laut mereka kepada toke. Mekanisme lelang melibatkan beberapa orang pembeli yang terlebih dahulu berembuk, mengumpulkan uang untuk modal membeli ikan tersebut, setelah ikan sesuai harganya dengan nelayan ikan yang dibeli itu dilelangkan kembali kepada anggota-anggota pengumpul modal tadi. Jika telah ada yang bersedia membeli maka ia akan mengembalikan modal awal hasil pengumpulan untuk membeli ikan dari nelayan kepada pihak-pihak yang terlibat rembuk pengumpul modal tersebut. C. 1. 5. Nelayan Jaring Gembung (Jaring Salam/Gill Net) Komunitas nelayan yang menggunakan jaring gembung lebih banyak di desa Pekan Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari aktifitas mereka yang setiap hari melakukan penangkapan dan perawatan jaring di pelataran-pelataran mereka. Menurut data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007 perbandingan antara kedua desa ini, jumlah nelayan yang menggunakan jaring ini adalah untuk desa Pekan Tanjung Beringin sebanyak 84 nelayan dan untuk desa Pantai Cermin Kanan sebanyak 15 nelayan. Jaring ini banyak digunakan nelayan yang pemasangannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan salah satu ujungnya diikatkan pada perahu/kapal atau nelayan sering meninggalkan/menahan jaring tersebut selama beberapa jam sebelum ditarik kemabali yang ditandai dengan pelampung-pelampung 90 Universitas Sumatera Utara kecil sebagai tanda lokasi jaring terpasang. Tetapi jaring ini juga dapat dilingkarkan sesuai dengan inisiatif nelayan dalam pengoperasiannya. Wilayah penangkapan jaring adalah jalur I, 3 mil laut. Namun pada prakteknya nelayan sampai ke jalur II dan III, 4 sampai 12 mil laut dan zona terbuka bagi seluruh nelayan karena biasanya kemampuan mesin kapal untuk melakukan pengoperasian ini sudah memadai untuk mengadakan penjelajahan daerah penangkapan. Pengoperasian alat ini dibantu dengan kapal/boat bermesin 3-15 PK disamping mesin tempel. Satu unit kapal/boat terdiri dari 1-2 orang anggota kru, panjang jaring 2-4 set atau sama dengan 200-400 m. Jaring terbuat dari benang nilon, ditambah pelampung, timah pemberat dan tali ris untuk penarik jaring. Lebar mata jaring tergantung jenis dan besar ikan yang akan ditangkap yaitu anak pari, hiu dan ikan sebelah dapat pula tertangkap. Tetapi pada umumnya jaring ini dikhususkan untuk menangkap jenis-jenis ikan aso-aso/gembung, gembung kuring, dan lainnya. Harga jaring gembung berkisar Rp. 11.000.000,- dengan ukuran 24 kaki. Nelayan jaring gembung beroperasi 2 kali sehari, waktu pagi hari jam 05.0010.00 WIB kemudian dilanjutkan jam 15.00-21.00 WIB. Pemilihan waktu tersebut berhubungan dengan perubahan pola siklus angin darat menuju laut dan dari laut menuju darat hal ini menurut nelayan berkorelasi dengan kecenderungan ikan untuk timbul dalam bermain dan mencari makan. Nelayan jaring ini juga beroperasi bersamaan dengan bagan boat saat mengatrol jaringnya untuk memburu ikan-ikan gembung/aso-aso, menurut mereka bagan sulit untuk menangkap ikan-ikan tersebut 91 Universitas Sumatera Utara yang sering terlepas dari perangkap mereka untuk itu nelayan jaring salam telah siap menghambat ikan-ikan itu dengan alat tangkap yang mereka miliki. Dalam pengoperasiannya jaring gembung ini mudah sekali mengalami kerusakan. Kerusakan jaring bisa saja diakibatkan tersangkut di karang atau ada kepiting yang terperangkap yang dapat memutuskan benang-benang jaring karena terkadang dioperasikan didasar laut. Dan bila dalam kondisi seperti ini nelayan terpaksa selalu menambal agar jaring kembali layak pakai. Untuk memperbaiki jaring biasanya akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Bila kerusakannya tidak begitu parah maka nelayan akan mengeluarkan dana minimal Rp. 100.000 perharinya, tetapi bila kerusakan cukup parah maka nelayan akan mengeluarkan dana bisa sampai minimanl Rp. 500.000,- perharinya. Kegiatan penambalan ini biasanya dilakukan disaat para nelayan sedang tidak melaut, dan dilakukan dipelataran para toke mereka. C. 1. 6. Nelayan Jaring Udang (Trammel Net) Penangkapan menggunakan jaring udang mulai berkembang setelah nelayan mengetahui banyaknya sumber daya jenis udang di perairan Serdang Bedagai. Ditambah lagi nilai jual berbagai jenis udang yang sangat tinggi saat ini, membuat para nelayan tertarik untuk menangkapnya. Desa yang banyak menggunakan alat tangkap ini adalah desa Pantai Cermin Kanan dengan jumlah 62 nelayan, sementara untuk wilayah desa Pekan Tanjung Beringin saat ini menurut data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007 tidak ada yang menggunakan alat tangkap ini. Mulanya tidak ada alat khusus yang diterapkan, udang-udang tertangkap oleh jaringjaring yang sering mereka gunakan dan yang tertangkap hanya beberapa ekor saja. 92 Universitas Sumatera Utara Pengalaman dan nilai harga jual yang tinggi mendorong nelayan untuk menyiapkan alat khusus untuk menangkap udang-udangan yaitu jaring udang (Trammel Net). Jaring udang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang terdiri dari tiga lapis jaring, dimana ukuran mata jaring bagian dalam lebih kecil sekitar 2 cm daripada kedua lapis jaring luarnya selebar 4 cm. Tujuan utama penangkapan alat ini adalah jenis udang sehingga pemasangannya dilakukan di dasar perairan. Bahan jaring terbuat dari benang pukat dan benang nilon biasanya berwarna-warni, bagian dalam berwarna putih sedangkan luar biru atau merah tetapi ada juga seluruhnya benang jaring berwarna polos putih atau biru. Panjang jaring berkisar 20-30 m. Jaring udang hanya dapat dibeli dalam bentuk siap pakai sebab nelayan tidak mampu menjalin tiga lapis seperti jaring gembung. Harga rata-rata per unit jaring udang berkisar Rp. 300.00500.000,Pengoperasian alat tangkap masih termasuk aktifitas perikanan pantai di jalur I dengan bantuan biduk atau boat berkekuatan 2 PK. Nelayan kadang mengkombinasikan jaring udang dengan jaring gembung/salam, sebelum menjaring terlebih dahulu menahan jaring udang yang dilaksanakan pada sore hari, lama waktu penahanan selama sepanjang malam apabila jaring udang diangkat kembali atau dapat juga hanya beberapa jam sebelum penarikan dilakukan. Sasaran utama jenis udang yang ditangkap adalah jenis udang kelong, udang maradona, udang windu karena nilai ekonominya sangat tinggi sekitar Rp. 45.000,-/kg bila dijual ke penampung/toke tetapi jika dijual ke pasar dapat pencapai Rp.75.00080.000,-/kg. Sedangkan jenis udang batu kualitas nomor dua hanya seharga Rp. 8.000- 93 Universitas Sumatera Utara 8.500,-/kg. Namun harga tersebut saat ini bisa saja berubah naik atau pun turun bila persedian hasil tanggkap nelayan banyak ataupun sedikit. Dalam pengoperasian jaring udang mudah sekali mengalami kerusakan. Kerusakan jaring bisa diakibatkan tersangkut di karang atau ada kepiting yang terperangkap dapat memutuskan benang-benang jaring karena dioperasikan di dasar perairan laut, bisa juga rusak dikarenakan banyaknya benda-benda atau sampah-sampah yang terbuat dari ranting-ranting kayu yang hanyut ke lautan. Dalam kondisi seperti itu terpaksa nelayan menambal agar jaring kembali layak untuk dipergunakan. Biasanya dalam memperbaiki jaring tersebut para nelayan mengeluarkan biaya yang cukup banyak tergantung kerusakannya. Semakin parah kerusakan maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar. C. 1. 7. Nelayan Pancing acar (Line Fishing) Alat pancing Acar adalah sejenis pancing yang pada talinya terdapat puluhan mata pancing bahkan bisa sampai ratusan mata pancing (kail) tergantung pada kemampuan modal para nelayan. Pancing dengan rupa kail seperti garpu dimasukkan ke dalam laut, kemudian dengan berlahan akan di tarik dengan sentakkan bila ada kumpulan ikan yang melintas di mata kail jaring ini agar ikan tersebut dapat tersangkut ke mata kail yang berjumblah banyak tadi. Biasanya mata kail jaring ini tidak di beri umpan namun ada pula beberapa nelayan yang menggunakan umpan sebagai penarik perhatian ikan-ikan. Jika ikan memakan umpan tersebut maka pancing akan disentak dan ditarik. Umpan yang dipakai adalah umpan mati dan umpan hidup, umpan mati antara lain ikan kecil teri, cumi-cumi 94 Universitas Sumatera Utara dan lain-lain. Sedangkan umpan hidup biasanya digunakan jenis udang bakau, menurut pengalaman para nelayan yang menggunakan jaring ini ikan-ikan lebih menyukai memakan umpan yang hidup seperti ikan kakap, gabu, kerapu dan lainnya. Para nelayan yang menggunakan jaring ini biasanya memilih lokasi penangkapan di kawasan terumbu karang dan lokasi-lokasi bagan pancang yang telah runtuh dan tidak dipergun akan lagi. Waktu yang mereka pergunakan menangkap ikan biasanyanya pagi hari 06.00-10.00 WIB karena saat itu air laut masih tenang, jernih dan ikan pun biasanya tidak enggan memakan umpan pancing. Kemudian saat sore hari menjelang malam, diluar waktu tersebut ikan-ikan enggan memakan umpan karena angin biasanya telah berhembus kencang dan membuat air menjadi keruh. C. 2. Nelayan Lepas Pantai Dan Laut Lepas Nelayan Lepas Pantai melakukan aktifitas di perairan wilayah jalur penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil. Semantara nelayan Laut Lepas memusatkan aktifitas penangkapan ikan di wilayah perairan yang sangat dalam dan bebas di luar kedua kawasan pantai lepas pantai dengan mengaplikasikan teknologi penangkapan yang sangat moderen dan kemampuannya pun cukup besar untuk mengeksploitasi segala sumberdaya perikanan di perairan laut dalam. Nelayan Pekan Tanjung Beringin untuk wilayah perairan laut lepas ada sekitar 7 kapal nelayan yang beroperasi di wilayah tersebut, sementara untuk Pantai Cermin Kanan tidak ada nelayan yang beroperasi di wilayah laut lepas. Rata-rata nelayan yang beroperasi pada wilayah tersebut adalah nelayan yang datang dari luar daerah seperti Tanjung Balai, Belawan, Sibolga dan lainnya. Nelayan di kedua desa ini tidak banyak 95 Universitas Sumatera Utara beroperasi diwilayah tersebut dikarenakan rata-rata nelayan di dua desa tersebut adalah nelayan yang masih memiliki modal yang kecil atau dengan kata lain masih tradisional. Sementara nelayan-nelayan yang beroperasi di wilayah Lepas Pantai dan Laut Lepas harus memiliki kapal yang besar dan alat tangkap yang canggih. Dan untuk memiliki alat tangkap tersebut para nelayan harus mempunyai uang yang cukup banyak. Dengan kata lain bila ada yang menggunakan alat tangkap ini maka nelayan tersebut dapat dikatakan adalah nelayan yang kaya. C.2.1. Bagan Boat (Boat Lift Net) Desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada yang mengoperasikan alat ini. Nelayan yang mengoperasikan alat ini adalah nelayan yang berasal dari luar wilayah Sergai. Bagan Boat merupakan sarana penangkapan kapal motor berkonstruksi kayu keras dengan panjang buritan sampai 20-30m. Daya mesin Bagan Boat 150 PK dan 40-60 GT umumnya memakai mesin merek Kubota, Fuso, Hino, Isuzu, Mitsubishi yang khusus didatangkan dari Taiwan dan Thailand, dilengkapi dengan fasiltas kotak es pendingin, fish fender dan lampu pijar, halogen berkekuatan total 5.000 watt, jumlah 34 lamou holagen setiap lampu memerlukan 1.000 watt. Alat tangkap ikan utama yang digunakan adalah jaring angkat (lift net) ukuran mata jaring 2-3 mm dan panjang 25-30 m, lebar 15 m2 yang ditarik dan dijatuhkan dengan gulungan (katrol) bertenaga mesin bersamaan dengan kerangka bagan (jaring) terbuat dari kayu-kayu kecil memanjang, dibingkai berbentuk segi empat masuk ke dalam laut sedalam 20-40m. Posisi bergandengan cadik kapal berbentuk tangan-tangan tempat jaring turun naik. Kelengkapan lain yang digunakan radio single band (SSB), 96 Universitas Sumatera Utara peta laut, kompas manual, atau digital merangkap dengan deteksi fish fender yang menentukan posisi kapal, jarak tempuh, kedalam laut, kecepatan angin, arus laut, posisi ikan. Semuanya mempermudah nelayan dalam mengoperasikan dan untuk berkomunikasi antar sesama nelayan mengenai situasi dan kondisi perairan, cuaca, lokasi ikan, bergerombol serta menghubungkan nelayan dengan toke, pemasaran, dan pihak keamanan laut. Inisiatif untuk merubah teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan tergantung ketersediaan modal yang sangat sulit dirasakan para nelayan kecil untuk menyediakan modal sebesar itu, hanya nelayan-nelayan modal besar dapat menyediakan dana demi merubah alat tangkap mereka. Keunggulan bagan boat dibanding bagan tradisional terletak pada kemampuan jelajah dan gaya manufer mencakup kawasan wilayah penangkapan ikan (fishing ground). Di samping itu bagan boat lebih mudah dipindah-pindahkan ke lokasi-lokasi tertentu yang dianggap lebih melimpah stok ikannya dengan bantuan alat deteksi ikan yang mampu memantau lokasi ikan, jumlah, jenis dan kedalaman laut dengan radius 1 mil laut. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan pelagis antara lain ikan teri, ikan jenis gembung, aso-aso, tenggiri, ikan tongkol, bawal, sotong dan jenis cumi-cumi. Proses penangkapan merupakan inti kegiatan kru bagan boat dalam menghasilkan produksi ikan maksimal, keberhasilan dalam proses penangkapan berkaitan dengan persiapan yang dilakukan seperti kelayakan bagan boat beroperasi, modal kerja, kerjasama kru. Selain itu planing di darat akan teruji melalui proses 97 Universitas Sumatera Utara penangkapan, yang tergantung pada kerjasama, keterampilan dan etos kerja masingmasing kru serta peran tekong sebagai pemimpin operasi. Wilayah penangkapan bagan boat menurut aturan baku berada pada jalur III antara 8-12mil dan perairan bebas, namun pada prakteknya sangat tergantung pada putusan tekong dengan berbagai pertimbangan kecenderungan lokasi kantong ikan. Kemampuan mesin telah mempermudah nelayan bagan boat menjelajahi wilayah penangkapan sampai ke perairan Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu dan Aceh. Penyusuran lokasi penangkapan dilakukan siang sampai sore hari sembari dikombinasikan dengan metode deteksi fish fender. Lalu ketika malam hari penelusuran segera dihentikan jatuh sauh/jangkar dengan pertimbangan telah ditemukan lokasi yang tepat sebab bila malam tiba bagan boat tidak bisa berpindah-pindah lagi. Menyalakan lampu rangsangan harus bedasarkan posisi timbul dan kelamnya bulan sebab cahaya bulan dapat mengganggu bahkan mengalahkan intensitas cahaya lampu halogen sehingga gerombolan ikan tidak mengumpul ke jaring. Tetapi sebelum mati bulan atau masih dalam waktu bulan timbul 3-2 jam sebelum lampu mulai dinyalakan, atau dapat pula walaupun saat terang bulan namun tidak terang total serta cuaca hujan kondisi gelap cahaya bulan sehingga intensitas cahaya rendah menerangi perairan maka bagan boat dapat beroperasi jatuh jaring seiring dinyalakannya lampu rangsangan. Setelah diamati dan diperkirakan melalui fish fender bahwa gerombolan ikan sudah banyak berkumpul disekitar jaring dan layak untuk ditangkap, maka setelah beberapa jam atau ½ jam berikutnya seluruh lampu utama serentak dimatikan kecuali lampu-lampu pijar pendukung yang dinyalakan terus 100-200 watt yang berfungsi 98 Universitas Sumatera Utara sebagai stimulan terhadap ikan agar tidak lari menyebar jauh dari dalam jaring dan agar ikan-ikan yang agak jauh dari jaring semakin mendekat mengumpul. Kira-kira ½ jam berikutnya secara berlahan jaring bagan ditarik (katrol) ke atas oleh para anggota kru secara bergantian atau dapat ditarik dengan menggunakan mesin katrol kapal yang telah tersedia sampai ikan-ikan tertangkap. Lalu ikan-ikan disortir menurut jenis, besar untuk dikategorikan dalam msaing-masing kotak pendingin dan wahana lainnya seperti drum, fiber, kulkas/kerangjang/goni atau ember plastik). Bila ikan hasil tangkapan belum mencapai target, maka proses penangkapan (jatuh Jaring) tersebut akan terus dilakukan berulang-ulang pada daerah yang sama atau keesokan harinya dengan daerah yang berbeda (operasinya tetap malam hari) biasanya dalam satu malam turun angkat jaring dapat dilaksanakan sebanyak 2-3 kali. Penangkapan akan dihentikan bila hasil tangkapan telah memenuhi target atau dianggap berhasil, penangkapan dihentikan sementara jika lokasi penangkapan dekat dengan wilayah pangkalan bongkar muat dan hasil penangkapan melimpah, sementara akomodasi masih tersedia maka hasil produksi harus dibongkar lalu langsung kembali beroperasi sampai persediaan bahan makanan habis. Waktu yang dibutuhkan untuk bagan boat dalam melakukan trip operasi sekitar 4-5 hari, saat musim Barat tiba terkadang tidak teratur beroperasi namun tetap pergi melaut. Pengeluaran uang belanja operasional dalam satu trip sekitar Rp. 5.000.0007.000.000,-. Uang belanja boat tersebut biasany dipegang oleh toke atau dipegang oleh tekong. Uang tersebut mencakup biaya perehaban boat yang difakturkan kepada hutang para kru bagan boat yang selalu diperhitungkan saat akhir masa operasi (wajib bayar) 99 Universitas Sumatera Utara dari penghasilan penjualan ikan hasil tangkapan. Biaya pengeluran sering kali menurut para awak dimar-ap toke dan tekong sedangkan para anggota tidak diperkenankan mengetahui kalkulasi perbelanjaan tekong yang notabene adalah tangan kanan toke. Mereka tidak tranparan berkenaan dengan pengeluaran setiap trip operasi, hal tersebut lumrah dikalangan anggota kru bagan boat. Bila dalam satu operasi penangkapan hasil tangkapan tidak mampu menutupi biaya operasional berbelanjaan karena minimnya pendapatan atau sama sekali tidak mendapat hasil tangkap maka kru bagan boat akan sangat merugi sebab mereka terhitung terutang kepada toke, maka untuk menutupi hutang tersebut dibebankan kepada hasil tangkap berikutnya. Dalam hal merugi ini toke sama sekali tidak menanggungjawabi atau kerugian tidak dibebankan kepadanya, semuanya dibebankan kepada tekong dan kru bagan boat bersangkutan. Bila masa panceklik berkelanjutan dari masa operasi ke operasi selanjutnya maka proses terhutang tersebut akan membengka, dan toke akan memutuskan hubungan atau kontaro kerja dengan tekong beserta krunya, maka posisi unit bagan boat tersebut dengan gantung artinya tidak dioperasikan menanti datangnya tekong baru dan kru-kru yang baru. Resesi penangkapan membawa para nelayan bagan boat kepada keterlilitan hutang yang mengarah kepada jaringan patron-klien, apalagi saat kebutuhan uang mendesak misalnya menghadapi hari-hari besar seperti halnya hari raya Idul Fitri tekong akan meminta pinjaman kepada toke, kru biasa tidak berurusan kepada toke maka mereka meminjam kepada tekong. Pola patron-klien sudah mengental di kalangan nelayan baik nelayan besar maupun nelayan tradisional. Nelayan toke sengaja membuat 100 Universitas Sumatera Utara kondisi seperti demikian agar ketergantungan para nelayan sangat besar kepadanya mulai dari pinjaman operasi, belanja boat, pembagian hasil serta pinjaman lainya yang semuanya menjurus agar hasil tangkapan pun didistribusikan melalui tangan-tangan toke. Keadaan paceklik dan hutang yang menumpuk akan membuat para nelayan bagan boat berusaha untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Hal tersebut akan membuat mereka berusaha mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Mereka menjadi tidak memandang keadaan ekosistem laut yang akan rusak nantinya. Mereka hanya berfikir bagaimana memperoleh hasil tangkapan yang besar, untuk membayar hutang mereka kepada para toke. Contohnya perilaku para kru yang melakukan aktifitas memancing untuk menambah penghasilan diluar pembagian kerja sebagai kru bagan boat. Aktifitas memancing dilaksanakan saat siang hari sewaktu istirahat, sebab malam hari memancing tidak memungkinkan dilakukan karena mereka akan dituntut aktif menjaring atau mengatrol ikan. Hasil memancing tidak termasuk pedapatan bagan boat namun pendapatan individu awak kapal. Lokasi pemancingan dicari berdasarkan petunjuk fish fender biasanya tekong selalu mengarahkan kapal kelokasi-lokasi berstok ikan anatar zona terumbu karang yang tampak jelas memiliki karakter hidup atau mati menurut tampilan layar fish fender. C.2.2. Nelayan Pukat Ikan (PI) atau Pukat Harimau Pengoperasian pukat ikan atau pukat harimau diperairan Sumatera Utara khususnya di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai adalah termasuk wilayah yang sangat banyak yang mengoperasikansnya. Tetapi pada umumnya tidak ada warga 101 Universitas Sumatera Utara setempat yang memiliki alat tangkap tersebut, biasanya nelayan yang menggunakannya adalah nelayan yang berasal dari luar daerah. Legalitas operasional pukat ikan sampai saat ini masih mendapat tantangan keras dari berbagai kalangan nelayan terutama nelayan tradisional. Mereka menganggap pukat tersebut merusak ekosistem laut terutama terumbu karang, memusnahkan bibit ikan yang akhirnya akan mengancam lahan mata pencaharian nelayan. Aturan formal KEPPRES. No. 39/1980 tentang larangan pengoperasian pukat harimau (trawl) tidak membuat para nelayan yang menggunakan pukat tersebut takut untuk beroperasi secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Malah untuk saat ini banyak kabar yang masih sulit dipastikan kebenarannya mengatakan aturan formal pelarangan terhadap pengoperasian pukat harimau dan sejenisnya telah dicabut dan telah diizinkan keberadaannya. Malah ada beberapa berita yang belum bisa di jelaskan kebenarannya bahwa dibeberapa wilayah di Indonesia seperti pesisir Kalimantan, Sulawesi, dan dibeberapa wilayah jawa pengoperasian pukat tersebut yang sudah sangat meresahkan ekosistem laut telah diperbolehkan dan ada undang-undang yang baru telah dikeluarkan antara tahun 20042006 bahwa pengoperasian alat tangkap ini sudah dapat dilakukan guna untuk menambah penghasilan dan pendapatan para nelayan di daerah tersebut. Menurut para nelayan di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan para penggunan pukat-pukat ini mengubah nama-nama pukat tersebut walaupun secara hakiki cara kerjanya sama. Mulai dari sengso, pukat trawl, pukat tarik, pukat gerandong, pukat ikan, dan lain sebagainya. Pukat Ikan adalah jenis pukat tarik yang efektif untuk menangkap ikan pelagis atau pun ikan demersal, dan jenis udang-udangan. Kedalaman 102 Universitas Sumatera Utara operasi dapat diatur sesuai dengan kelompok ikan yang dituju yaitu lapisan tengah atau lapisan dasar, menggunakan satu buah kapal berbobot > 60-100 GT berkekuatan 1500 PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan-rintangan karang dan lain-lain saat beroperasi. Pengoperasiannya dapat melibatkan 1-2 kapal. Sesuai dengan tujuannya menangkap semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm. fasilitas penghubung lainnya adalah sarana komunikasi, kesturi, fiber, kulkas papan dan lainnya. Zona operasional pukat ikan sebenarnya adalah di luar 12 mil laut sampai perairan bebas di luar ZEE tetapi selalu saja ada pelanggaran wilayah penangkapan yang dilakukan para pukat tersebut, sehingga menimbulkan persoalan dengan nelayan tradisional. Daya jelajah pukat ikan yang sangat luas dengan teknologi yang canggih membuat mereka tanpa keterbatasan dalam beroperasi dimana dan kapan saja. Nelayan Pukat Ikan tidak mengenal musim paceklik setiap kali beroperasi selalu mengantongi puluhan ataupun ratusan ton hasil dari berbagai jenis ikan, udang, cumi-cumi, dan lainnya yang disortir berdasarkan jenis dan kualitas masing-masing, tidak jarang pukat ikan mengalami over produksi, ikan-ikan dimasukkan ke dalam goni (ikan dengan kualitas yang rendah) dibiarkan menjadi busuk yang merupakan bahan baku pabrik pengolahan pakan ternak yang diolah menjadi tepung-tepung ikan dan sebagian lagi dipasok menjadi ikan asin ke penjemuran warga nelayan. Terkadang nelayan Pukat Ikan membuang ikan-ikan yang telah membusuk berharga murah di tengah laut sebab harga jualnya yang rendah, satu goni ikan ukuran 50 kg hanya berharga Rp. 3.000-4.000,- 103 Universitas Sumatera Utara sedangkan ikan kualitas ekspor dipertahankan secara baik dalam kotak-kotak pendingin seperti ikan Kerapu, ikan kakap, udang, cumi-cumi dan lain-lain. Kedudukan tekong Pukat ikan sangat ekslusif para anggota biasa jarang dan terlarang memasuki ruang tekong kapal, begitupun di darat sulit terjadi komunikasi antar sesama mereka, hal tersebut dikarenakan unsur kesengajaan agar anggota biasa tidak mengenal sama sekali siapa pemilik atau toke armada kapal yang mereka tumpangi. Prinsipnya kerja dan diberi gaji, resiko tertangkap pihak-pihak tertentu atau bila terjadi kecelakaan lainnya menjadi tanggung jawab individu para anggota. Rata-rata para anggota yang dipilih adalah mereka yang masih awam dan sangat buta terhadap fenomena alam laut namun dengan bantuan teknologi Pukat ikan yang tergolong canggih tanpa kendala mereka meraup keuntungan yang sangat besar dari potensi laut. C.2.3. Nelayan Pukat Langgai Pukat Langgai pada prinsipnya jenis dan sifatnya hampir sama pula dengan pukat Harimau yaitu dengan menggunakan besi ataupun balok kayu pada pukat untuk mengeruk isi laut dengan dibantu katrol bermesin sebagai penarik pukat. Perbedaannya terletak pada ukuran perahu dan pukat, dimana Langgai ukurannya lebih kecil agar dapat beroperasi pada perairan laut dangkal. Hasil yang didapat dari pukat ini sangat memuaskan, sebab tidak ada udang, ataupun ikan-ikan kecil mampu lepas dari alat tangkap ini. Dengan kata lain Langgai dapat menangkap ikan atau udang dengan ukuran yang sangat kecil sekali pun. Hal inilah menurut masyarakat yang merusak regenerasi bahan laut (ikan, udang, dan sebagainya) sehingga sumber daya laut menjadi turun secara drastis bagi nelayan 104 Universitas Sumatera Utara tradisional. Penggunaan papan yang kuat dan keras sebagai pemberat pukat tersebut agar sampai kedasar laut mengakibatkan rusaknya segala hal yang ada di dasar laut termasuk pula trumbu karang karena terbentur atau tabrakan dengan pemberat tersebut ketika perahu menarik pukat tersebut. Dengan keberadaan pukat Langgai di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin membuat warga setempat menjadi resah. Hal tersebut dikarenakan para nelayan pukat Langgai tersebut yang lebih mengkonsentrasikan lokasi penangkapannya pada areal trumbu karang. Sehingga menurut masyarakat akan mengakibatkan trumbu karang tersebut rusak dan kemudian ikan-ikan tidak tidak akan lagi bergerombol pada trumbu karang tersebut hal hasil ikan-ikan dan lainnya akan berpindah tempat kelokasi yang lebih jauh lagi dan akibatkan akan mengurangi penghasilan mereka sebagai nelayan tradisional. C.2.4. Nelayan Pukat Cincin/Pukat Tongkol Untuk alat tangkap ini ada sekitar 7 orang nelayan yang mengoperasikannya yaitu di desa Pekan Tanjung Beringin, sementara untuk desa Pantai Cermin Kanan tidak ada yang menggunakan alat tangkap ini. Namun untuk perairan laut lepas di wilayah tersebut yang terbanyak menggunakannya adalah nelayan yang berasal dari Tanjung Balai, Belawan ataupun yang berasal dari Sibolga. Karena menurut nelayan Tanjung Beringin nelayan di daerah-daerah tersebut rata-rata adalah nelayan besar. Mereka jauh lebih memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan ratarata para toke atau pemilik kapal adalah warga keturunan Cina yang memiliki modal besar. 105 Universitas Sumatera Utara Pukat Cincin (Purse Seine) dari segi jaring adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (ikan Pelagis). Cara operasionalnya adalah dengan cara melingkarkan jaring sehingga mengurung gerombolan ikan, setelah ikan terkurung maka bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dipasang sepanjang bagian bawah jaring melalui cincin. Sama halnya dengan Bagan Boat, Pukat Cincin juga dilengkapi seperangkat lampu yang berfungsi sebagai perangsang terhadap ikan-ikan yang berada dilokasi tangkap. Armada Pukat Cincin berbobot >60-120 GT, berkekuatan 600-1.000 PK berfasilitas Fish Fender, kesturi, dan radio komunikasi dengan jumlah anggota maksimal 30 orang. Kapasitas tersebut menandakan bahwa Pukat Cincin ratarata lebih besar daya jelajahnya, badan boat panjang 30-45 m, lebar 7-9 m dan diameter panjang dan kedalaman jaring 30-200 m2 serta waktu melaut 5-7 hari dibandingkan dengan Bagan Boat. Maka biaya operasionalnya pun jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan para kru yang tergolong banyak jumlahnya. Pengoperasian mencakup malam dan siang hari, saat malam nelayan menggunakan lampu rangsangan sedangkan pada siang hari nelayan selalu memantau gerombolan ikan yang kadang-kadang timbul ke permukaan baik dengan cara manual ataupun dengan cara deteksi bantuan alat fish fender. Mekanisme penangkapan siang dan malam hari sangat berbeda, dimana saat malam nelayan mengadakan rangsangan lampu kapal dan lampu bantuan diatas perahu yang menjadi lampu utama saat menggantikan lampu halogen, lampu neon pengganti khusus dijaga beberapa orang nelayan yang dinamai tukang lampu, setelah ikan bergerombolan menuju lampu perahu 106 Universitas Sumatera Utara maka nelayan melilitkan jaring. Dalam satu malam nelayan dapat melakukan dua kali penjatuhan jaring, sedangkan siang hari nelayan aktif menjelajahi segenap wilayah perairan dalam rangka mencari atau memburu gerombolan-gerombolan ikan. Wilayah operasional pukat ini tergolong sangat jauh sampai zona perairan bebas wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan lain-lain. Namun bila timbul ikan di zona pantai nelayan Pukat Cincin tersebut tidak segan-segan menjatuhkan jaringnya. Hasil tangkapan Pukat Cincin adalah kelompok ikan pelagis besar dan kecil seperti ikan tongkol, tuna sisik, aso-aso, gembung dan lain-lain. Sedangkan ikan pelagis kecil seperti teri dan lainnya tidak akan tertangkap sebab mata jaring berukuran 1-2 cm. Dilihat dari hasil tangkapannya Pukat Cincin biasa disebut oleh nelayan pada umumnya adalah pukat Tongkol. C.2.5. Budidaya Selain perikanan tangkap, dua desa ini memiliki budidaya perikanan air tawar dan payau. Hal tersebut dikarenakan adanya sejumlah warga yang memiliki cukup modal untuk membuat budidaya tersebut. Rata-rata budidaya tersebut adalah milik para nelayan setempat dengan modal sendiri, adan juga pemilik dari budidaya tersebut adalah warga yang berasal dari luar desa. Untuk budidaya air payau desa Pantai Cermin memiliki jenis budidaya udang dan di desa Pekan Tanjung Beringin tidak memiliki budidaya jenis air payau. Desa Pekan Tanjung Beringin hanya memiliki budiday air tawar saja yang berjenis kolam air tenang yang berisi lele dumbo ataupun ikan nila. Secara singkatnya dapat dilihat dalam tabel berikut: 107 Universitas Sumatera Utara Tabel 7: Data Sarana Budidaya, Produksi dan Pemasaran No 1. Kriteria Pekan Tanjung Beringin Pantai Cermin Kanan Lele Dumbo / nila Udang (kolam air tenang) (air payau) 3 25 1 / 0,2 10 - 15 15.000 / 400 14 10.000,- / 12.000,- 45.000,- 150.000 / 4.800 630.000 500 / 50 200 14.500 / 350 13.800 Jenis Budidaya 2. Luas Potensi (ha) 3. Produktif (ha) 4. Tidak Produktif (ha) 5. Produksi Tahun 2006 (ton) 6. Harga rata-rata /kg Rp 7. Nilai produksi xRp.1.000,- 8. Pemasaran dalam daerah (Kg) 9. Pemasaran luar daerah (Kg) Sumber: Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007 D. Pemasaran Dan Pengelolaan Hasil Tangkap Bentuk pengelolaan dan pemasaran hasil tangkap di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak jauh berbeda, hanya jenis hasil tangkapan saja yang sedikit berbeda. Bila di desa Pekan Tanjung Beringin hasil tangkap yang paling dominan adalah jenis ikan gembung, maka di desa Pantai Cermin Kanan lebih mendominasi berbagai jenis kepiting sebagai hasil tangkap paling diminati para nelayan. Para nelayan di kedua wilayah ini yang merupakan nelayan tradisional lebih cenderung melakukan pemasaran yang bersifat tidak langsung atau dengan kata lain para nelayan menjual hasil tangkapannya melalui para toke yang menjadi penampung ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Lalu toke akan menjualkannya lagi kepada para 108 Universitas Sumatera Utara pengecer atau menjualnya langsung kepasaran. Nelayan jarang menjual secara langsung hasil tangkapannya ke pasar. Keterkaitan hubungan antar toke dan para nelayan pada dasarnya adalah hubungan bisnis antara pembeli dan penjual, namun dikarenakan persaingan yang begitu banyak antar toke dan persediaan ikan hasil tangkapan yang terbatas maka para toke secara sengaja maupun tidak mencoba untuk mengikat para nelayan dengan cara memberikan berbagai kemudahan baik secara ekonomi maupun finansial. Toke dengan memberikan bantuan berupa pinjaman modal ataupun bantuan alat tangkap yang diperhitungkan sebagai pinjaman kepada si nelayan dengan syarat nelayan tidak menjual hasil tangkapnya kepada toke yang lainnya dan hanya menjual semua hasil kepada toke yang memberikan kemudahan-kemudahan tersebut. Disisi lain toke sebagai penampung ikan selalu saja menerapkan pembelian ikan yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar atau timbangan selalu dimanipulasi (jumlah hasil tangkap yang ditimbang oleh toke). Keadaan tersebut dapat dilakukan kerja sama atau main mata antar toke agar para nelayan tidak tahu secara pasti harga pasaran ikan. Hasil penjual nelayan ke toke biasanya digunakan untuk pemotongan hutang yang diberikan oleh para toke sebagai bentuk bantuan ekonomi dan finansial tadi. Bila hasil tangkap melebihi hutang tersebut maka para nelayan akan mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapnya, namun bila hasil tangkapnya kurang dari jumlah pinjaman maka nelayan tidak akan melunasinya semuanya. Mereka akan membayarkannya setelah hasil penangkapan selanjutnya. Biasanya para toke tidak akan memaksakan nelayan harus melunasi seluruh 109 Universitas Sumatera Utara pinjamannya, malah mereka memberi kemudahan dengan cara menambah pinjaman tersebut agar nelayan dapat lebih terikat dengan toke. Dengan keadaan seperti itu para nelayan akan selalu terikat dan akan selalu tergantung kepada si toke, sehingga tidak akan menjual lagi hasil tangkapannya kepada toke-toke yang lainnya. Bila toke memiliki sendiri kapalnya maka dia juga akan menerapkan sistem yang berbeda pada nelayan buruh yang membawa kapal miliknya. Pola yang diterapkan oleh mereka ada dua bentuk, pertama bentuk sistem tangkap bagi: pembagian hasil dilakukan tiap-tiap trip kepulangan setelah beroperasi (biasanya pola ini diberlakukan bila yang digunakan adalah kapal yang berdaya tampung cukup besar) dan penangkapan dilakukan dengan 5-10 orang nelayan. Kedua, bentuk sistem pembagian hasil dengan cara sistem sewa kapal (kapal yang digunakan nelayan adalah kapal kecil), biasanya yang melakukan penangkapan hanya seorang atau dua orang saja. Pola yang pertama dalam garis besarnya perhitungannya adalah sebagai berikut: penghasilan kotor dipotong 20% untuk toke, potong uang belanja selama operasional, potong 10% untuk tekong, kemudian penghasilan bersih dibagi dua antara toke dengan tekong dan para kru anggota operasi jika dibuat dalam bentuk persenan dari hasil pembagian pemilik kapal mendapat 65% sementara tekong dan nelayan buruh 35%. Namun dengan catatan seluruh biaya operasional, kerusakan kapal dan alat tangkap dilibatkan kepada anggota kru (nelayan buruh) atau dengan kata lain dimaksudkan dalam anggaran belanja yang setiap hasil penangkapan selalu diperhitungkan. Masalah timbul dikarenakan setiap kali turun ke laut belum tentu sebuah kapal mengalami hasil maksimal dengan mendapatkan laba cukup besar, terkadang sama sekali tidak 110 Universitas Sumatera Utara mendapatkan hasil untuk menutupi biaya produksi atau mengalami kerugian maka nelayan yang menanggung kerugian tersebut dianggap berhutang kepada toke. Untuk pola yang kedua, sistemnya adalah sistem sewa kapal, yaitu dengan sistem bayar sewa kepada toke pemilik kapal. Hasil tangkap nelayan yang menjadi penyewa akan dibagi tiga yaitu untuk toke, untuk perbaikan kapal dan alat tangkap dan untuk nelayan. Pembagian untuk perbaikan kapal biasanya dipegang oleh toke, sehingga menjadikan perhitungannya menjadi 2/3 untuk toke dan 1/3 untuk nelayan. Hasil tangkap nelayan penyewa ini harus dijual kepada toke pemilik kapal tidak boleh kepada toke lain. Bila nelayan tersebut menjual kepada toke lain maka pemilik kapal tidak akan segan-segan memberikan sangsi, baik secara jalur hukum ataupun jalur kekeluargaan yang dapat melibatkan kepala desa atau pun aparatur desa. Sama halnya dengan sistem yang pertama para toke pemilik hanya mendapat keuntungan saja dari cara ini, karena bila terjadi kerusakan yang cukup parah, toke biasanya tidak akan membiayai seluruh perbaikannya dia akan meminta nelayan yang menyewa kapalnya ikut andil membiayainya. Alasan mereka biasanya adalah biaya perbaikan yang cukup mahal dan kebiasaan nelayan yang tidak bisa menjaga alat tangkap tersebut saat beroperasi. Pemasaraan ikan hasil tangkap nelayan berjalan lancar sesuai dengan mekanisme pasar ikan yang berlaku di dalam komunitas nelayan, kelembagaan ekonomi akan sangat mendukung aktivitas jual beli ikan antara produsen dan konsumen. Terstrukturnya kelembagaan dan tersedianya sarana-sarana pemasaran membantu nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan sesuai dengan harga tawar menawar yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak yang berkepentingan. Pada prakteknnya 111 Universitas Sumatera Utara di lapangan kondisi pasar ikan justru melemahkan sebagian nelayan skala tradisional dan nelayan buruh yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Untuk nelayan tradisional lebih dikarenakan tingkat pengolahan ikan yang kurang memadai, penghasilan sedikit sehingga mengambil jalan pintas melelang ikan secara tradisional tanpa mengikuti mekanisme pasar. Sedangkan nelayan moderen (buruh) hasil tangkapan sudah dimonopoli langsung oleh pihak pemilik kapal atau toke yang sering mempermainkan harga dan timbangan berat ikan hasil tangkapan. Begitu juga akan menutup peluang menyalurkan ikan ke pembeli lain seperti TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang menerapkan standar baku pada ikan, di samping itu nelayan juga enggan menjual ikan ke TPI karena terbatasnya pengetahuan mereka terhadap institusi ekonomi tersebut. Pemasaran dalam pola ekonomi nelayan terdiri dari dua bentuk, pertama bentuk tradisional dan bentuk rantai pemasaran moderen. Pemasaran tradisional dilakoni antara para nelayan dengan para penampung-penampung ikan dan para pengelola ikan berskala kecil yang menampung jenis-jenis ikan kualitas lokal. Sedangkan pemasaran moderen dilakoni para toke besar, pemasaran (marketing pihak pemilik modal) dan TPI yang menampung memasarkan jenis ikan yang berkualitas ekspor. Untuk penampung mata rantai pemasaran tradisional daya tampungnya terhadap kebutuhan ikan masih sangat terbatas, sistem pembeliannya pun dominan borongan tanpa timbang sebab jenis ikan yang dibeli sangat beraneka ragam tanpa sortir terkecuali jenis ikan yang sangat mahal di pasaran seperti udang kelong. Untuk pemasaran dengan sistem yang moderen kapasitas penampungan sangat besar khususnya ikan-ikan besar berkualitas pangsa pasar luar daerah dan ekspor. Sortiran-sortiran ikan tersusun rapi berdasarkan jenis ikan 112 Universitas Sumatera Utara dengan pengawet yang terjamin setelah sampai di tangkahan daratan, tak lama kemudian seluruh fiber-fiber ikan tersebut akan diangkut untuk dipasarkan melalui jasa transportasi darat maupun laut menuju berbagai kota antara lain Medan, Sei Rampah, Aceh dan lain-lain, tidak jarang pula dipasarkan ke kota manca negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Hongkong sebagai sasaran utama untuk pemasaran jenis ikan berkualitas tinggi. Seperti Udang-udangan, ikan kerapu, ikan kakap, ikan tuna/sisik dan lainnya. Biasanya untuk pemsaran moderen tersebut dilakukan oleh toke-toke yang memiliki kapal yang besar dan lebih dari satu. Di desa Pekan Tanjung Beringinlah yang paling banyak memiliki toke-toke yang besar dibandingkan desa Pantai Cermin Kanan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa bisa terjadi demikian. Dalam beberapa tahun terakhir menurut para nelayan di dua wilayah ini kondisi laut saat ini sangat parah, dimana para nelayan yang melaut bisa saja tidak mendapat ikan sama sekali. Menurut mereka hal ini disebabkan kondisi laut yang sudah tidak dapat ditebak lagi keadaannya. Hal tersebut menyebabkan melemahnya kondisi pasar ikan nelayan. Bila ditelusuri secara mendalam ada beberapa faktor struktural yang menyebabkan hal ini terjadi selain diakibatkan kondisi laut. Pertama, dipengaruhi permintaan yang lebih kecil daripada pembeli dibanding persediaan ikan yang ditawarkan penjual jika saat musim panen. Kedua, masih terbatasnya jumlah pedagang yang memborong ikan sehingga tawar-menawar tidak seimbang dan bersifat monopolistik. Ketiga, penerapan sistem patron-klien antara pihak pemilik armada dengan para toke, dimana pihak nelayan buruh tidak leluasa memasarkan ikan hasil 113 Universitas Sumatera Utara tangkapannya dan menerapkan monopoli dengan melarang keras memasarkan produksi ke TPI. Keempat, keberadaan organisasi nelayan berupa HNSI atau pun LSM-LSM nelayan belum mampu berfungsi sepenuhnya melindungi kepentingan ekonomi nelayan tradisional. E. Pengetahuan Nelayan Terhadap Gejala alam, Konflik Nelayan Dan Mitos Laut Sumberdaya perairan laut lebih bersifat milik umum (Common property), di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan nelayannya tidak menetapkan wilayah-wilayah penangkapan secara absolut, nelayan dari wilayah lain dapat melakukan penangkapan di zona perairan mereka. Misalnya saja banyak nelayan luar dengan teknologi penangkapan yang lebih canggih lagi dari mereka yang secara notebene seharusnya tidak dapat melakukan penangkapan di zona tradisional yang melarang alat tangkap mereka melabuh disana dan melakukan penangkapan ikan. Nelayan tidak sama dengan kehidupan petani yang membudidayakan tanaman sekitar lingkungan hidupnya, nelayan menggantungkan kebutuhan hidup dengan melakukan perburuan ikan-ikan, biota laut yang hidup bebas, liar di perairan laut. Namun hal tersebut kiranya harus segera berubah, karena nelayan harus mulai berinisiatif membudidayakan ikan dan biota laut sebab ketergantungan kepada sumberdaya yang berasal dari alam semata, sewaktu-waktu akan mengalami penipisan atau krisis stok sumberdaya laut (over fising) karena pemanfaatan yang tanpa batas oleh sesama nelayan dengan penerapan aneka ragam teknologi eksploitasi. Di kedua wilayah desa yaitu desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan usaha pembudidayaan masih sangat kurang. Keterbatasan pengetahuan, modal 114 Universitas Sumatera Utara menjadikan kendala untuk merealisasikannya. Komunitas nelayan masih sangat besar ketergantungannya terhadap sumberdaya perairan bebas yang diwarisi dari generasigenerasi berikutnya. Dalam usaha mengelola sumberdaya laut nelayan telah dibekali atau selalu tersosialisasi akan pengetahuan menyangkut seluk beluk fenomena dilautan yang sangat berpengaruh kepada pengambilan keputusan alternatif yang tempuh dalam melaksanakan mekanisme aktifitas atau operasi kelautan. Nelayan memahami segala sesuatu yang terdapat di sekitar lingkungan perairan laut, fenomena alam (iklim, cuaca, musim yang berhubungan dengan ikan dan aneka sumberdaya laut) yang tentunya akan mendorong terwujudnya kelakuan nelayan dalam mengeksploitasi atau memberlakukan sumberdaya dilingkungannya. E. 1. Pengetahuan Tentang Gejala alam (Membaca Cuaca dan Rotasi Bulan) Faktor penting yang selalu mempengaruhi operasi penangkapan ikan para nelayan walaupun pengaruhnya relatif berdampak langsung kepada nelayan adalah faktor kondisi cuaca. Hanya kondisi cuaca yang sangat dahsyat, buruk atau tidak mengenal kompromi yang sanggup total menonaktifkan aktiofitas para nelayan melaut. Sebagian nelayan dengan teknologi yang moderen telah mampu menjinakkan atau meminimalisasikan pengarug cuaca seperti badai, hujan, dan lain-lain, namun sebagian besar nelayan masih ada yang mempertahankan alat tangkap tradisional dan terbatas kemampuannya, tentunya sangat merasakan dampak cuaca tersebut. Di sisi lain ada juga nelayan yang menyelaraskan operasi penangkapan dengan pengaruh-pengaruh gejala alam baik nelayan moderen maupun tradisional. 115 Universitas Sumatera Utara Nelayan secara umum mengetahui beberapa jenis perubahan cuaca atau musim yang mengalami rotasi namun musim tidak lagi menjadi patokan baku komunitas nelayan, sebab adanya kecenderungan perubahan yang tidak stabil di saat-saat musim itu tiba dan kontribusi teknologi penangkapan moderen serta kondisi kebutuhan sosial ekonomi yang mendesak mendorong para nelayan semakin mengabaikan faktor cuaca atau musim. Para nelayan mengenal beberapa musim yang populer yang di dasarkan pada arah angin yang berhembus adalah musim angin Barat (musim Barat), musim Angin Timur (Musim Timur), musim Angin Selatan (Musim Selatan), dan musim peralihan. Musim Barat terjadi bulan Desember, Januari, Februari, Maret (4 bulan) dimana frekuensi angin Barat Daya dan hujan sangat tinggi dalam satu atau dua minggu pasti kondisi hembusan cuaca memburuk melanda sehingga nelayan mengalami kendala besar dalam beroperasi menangkap ikan. Memasuki bulan April dan Mei terjadi musim Selatan atau musim Peralihan dari musim Barat menuju musim Timur, angin Barat masih berhembus tetapi kecepatannya dan kemampuannya berkurang. Dalam bulan ini arah angin sudah tidak menentu berhembus dari segala arah mata angin. Periode ini dikenal juga musim pancaroba awal tahun (paceklik) yang berimbas dari musim Barat. Kemudian memasuki bulan Juni, Juli, Agustus, September terjadilah apa yang disebut musim Timur, masa-masa panennya nelayan sebab peluang beroperasi cukup besar dengan dukungan keadaan cuaca, arah mata angin, dan gelombang laut sangat tenang. Setelah itu memasuki bulan Oktober dan November musim peralihan terjadi lagi dari musim Timur ke musim Barat arah mata angin kembali tidak menentu. 116 Universitas Sumatera Utara Menurut pengalaman para nelayan angin yang membuat suasana paling kondusif untuk beroperasi menangkap ikan adalah angin tenang, angin yang berhembus dari beberapa penjuru mata angin berfrekuensi sedang dan lambat (Barat Daya, Timur, Selatan, Utara) kondisi ini dapat terjadi pada segala jenis angon musim tetapi paling dominan terjadi pada bulan-bulan musim Timur yang memungkinkan para nelayan dapat menangkap berbagai jenis ikan perairan laut. Musim penangkapan berhubungan dengan ukuran (besar/kecil) dan jenis tangkapan baik ikan-ikan dasar laut, ikan yang biasa di permukaan laut, maupun udang, cumi-cumi yang tertangkap, karena adaptasi alamiah dan siklus ekologi. Bagi nelayan Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan, mereka mengidentifikasikan hasil tangkap ikan tertentu berdasarkan lamanya musim suatu koloni ikan. Khususnya saat musim Timur nelayan akan mendapatkan hasil tangkapan berupa jenis-jenis ikan pelagis antara lain ikan aso-aso/gembung, gembung kuring, dencis, selar, tongkol, dan lain-lain. Sedangkan saat musim Barat, maka yang timbul adalah jenis-jenis udang, kepiting/rajungan. Tetapi bila diamati secara umum nelayan di dua wilayah ini mendapatkan jenis ikan yang beraneka ragam, dikategorikan atas ikan yang hidup didasar perairan disebut kelompok ikan demersal, ikan yang hidup dipermukaan laut disebut kelompok ikan pelagis dan kelompok non ikan seperti udangudang dan cumi-cumi, sotong dan lain-lain. Dari ukurannya ikan pelagis dapat dibedakan atas ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan sebagainya, dan ikan pelagis kecil misalnya aso-aso/gembung, jenis ikan layang, ikan selar, tenggiri, ikan 117 Universitas Sumatera Utara tongkol, bawal dan sebagainya, disamping itu terdapat ikan-ikan pelagis yang sangat peka terhadap cahaya misalnya ikan badar/teri, dencis dan lainnya. Disamping angin musim, masyarakat nelayan juga mengetahui dan memanfaatkan angin laut dan angin darat. Angin laut dan angin darat terjadi karena perbedaan pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan pada siang hari dan malam hari, sedangkan angin musim terjadi karena perbedaan pemanasan dan pendinginan antara benua dengan laut luas pada musim panas dan musim dingin. Angin laut adalah angin permukaan yang berhembus dari arah laut ke arah darat dan terjadi pada siang hari. Sebaliknya angin darat ialah angin permukaan yang berhembus dari darat ke arah laut yang terjadi pada malam hari. Segolongan nelayan tradisional memanfaatkan angin darat sekitar jam 05.0006.00 pagi untuk pergi beroperasi menangkap ikan sebab menurut mereka suasana angin, arus laut tenang tidak bergelombang besar dan pagi hari bertepatan dengan tabiat ikan-ikan akan muncul dan mencari makanan sampai batas bertiupnya angin laut jam 10.00-11.00 pada siang hari, perairan bergelombang, air laut keruh serta ikan-ikan menjadi liar. Begitu juga disaat sore hari perubahan air laut menuju angin darat nelayan juga memanfaatkannya dengan baik. Nelayan yang sering memanfaatkan rotasi angin darat, angin laut dan sebaliknya angin laut dan angin darat untuk beroperasi adalah nelayan dengan alat tangkap jaring gill net, pemancing tradisional, pukat tepi, dan lainlain. Selain peredaran musim untuk memahami gejala-gejala alam nelayan berpegang juga kepada sandi atau tanda-tanda alam dengan mengamati posisi bintang, bulan yang 118 Universitas Sumatera Utara diyakini nelayan menentukan, berpengaruh terhadap kondisi berikutnya yang akan datang atau sesuatu akan melanda mereka saat beroperasi ditengah laut. Bulan beredar mengelilingi bumi dengan bantuan cahaya matahari planet bulan menyinari belahan bumi pada saat malam hari. Peredaran cahaya bulan berpengaruh terhadap aktifitas nelayan di lingkungan laut sebagai tempat perburuan ikan-ikan. Pengaruhnya sangat dirasakan nelayan yang menggunakan rangsangan cahaya (gejala fotoaksis) dengan bantuan alat tangkap lampu dalam operasi penangkapannya yaitu meliputi nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat cincin. Peredaran rotasi bulan dimulai dari arah Timur 1 hari bulan dari kuartir pertama menuju kuartir kedua berusia 7 hari bulan berada tepat di tengah angkasa, setelah itu bergerak ke kuartir ketiga menuju arah Barat, terbit berbentuk bulan purnama (15 hari bulan) dari arah Barat, kembali bergerak menuju kuartir ke empat terbit tepat berada di tengah angkasa 23 hari bulan kemudian berakhir menuju kuartir ke empat dari peredarannya kembali ke arah Timur 30 hari bulan (bulan mati/kalam bulan). Khususnya bagi nelayan yang beraktifitas di hutan bakau desa Hajoran, nelayan jala, jaring belanak, memungkinkan mereka mendapatkan hasil yang banyak sebab kondisi waktu-waktu pasang besar koloni-koloni ikan akan menuju pinggir ke dalam zona hutan bakau (wilayah penangkapan), mereka akan memanfaatkan momen-momen tersebut sebaik mungkin agar mendapatkan produksi penangkapan yang maksimal. Sebaliknya nelayan pencari biota-biota laut: kerang, ketam, kepiting dan lainnya, kondisi pasang besar akan menghambat aktifitas pencarian biota-biota tersebut. Mereka lebih aktif beroperasi saat-saat kondisi pasang air laut surut serendah-rendahnya. 119 Universitas Sumatera Utara Disamping hal tersebut diatas, secara umum pengetahuan mengenai gejala alam semakin lama semakin ditinggalkan para komunitas nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan sebab dianggap kurang efektif seperti sediakalanya dulu. Banyak nelayan tidak mau tahu akan hal ini, yang paling utama bagi mereka adalah bagaimana meningkatkan kecanggihan alat tangkap agar mampu meningkatkan produksi dan bersaing dengan nelayan yang telah lebih dahulu menggunakan alat tangkap yang canggih dan moderen, menurut mereka teknologi alat tangkap yang moderen tidak lagi terlalu dipengaruhi gejala-gejala alam. Secara langsung ataupun tidak moderenisasi teknologi kelautan ikut andil menekan nelayan tradisional kehilangan tradisi pengetahuan lokal mereka. E. 2. Konflik-Konflik Nelayan Kebebasan penerapan dan penggunaan teknologi dalam penangkapan ikan di perairan laut memberi peluang besar bagi pihak-pihak nelayan moderen berperan lebih menonjol dalam operasi penangkapan di lokasi-lokasi zona penangkapan tradisional sementara nelayan tradisional kalah bersaing terhadap teknologi penangkapan mutakhir, kondisi lautnya pun semakin hari produktifitasnya menurun drastis. Persaingan bebas antara nelayan menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke konflik terbuka karena salah satu pihak merasa dirugikan terus menerus oleh pihak lain. Persaingan antar nelayan ini menimbulkan konflik yang semakin hari berlarut-larut yang mengakibatkan para nelayan mengambil sikap diam dalam menanggapi semua persaingan yang ada. Bukan hanya persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan 120 Universitas Sumatera Utara moderen saja yang timbul namun sesama nelayan tradisional pun selalu merasa dirugikan satu dan yang lainnya. E. 2. 1. Konflik Sesama Nelayan Tradisional Pemanfaatan zona perairan perikanan pantai yang semakin padat oleh para nelayan tradisional antara lain pukat tepi, jaring udang, jaring salam, jaring kepiting dan nelayan yang menggunakan alat pancing sederhana mengakibatkan persaingan diantara mereka dalam penangkapan dan perebutan lokasi tangkap. Walaupun secara tidak langsung, tetapi mereka akan berusaha mempertahankan lokasi mereka bila mereka mendapatkan hasil yang banyak dari suatu lokasi tangkap. Mereka tidak akan memberitahukan kepada nelayan lain bila suatu waktu mereka menemukan lokasi tangkap yang kebetulan mempunyai banyak hasil tangkap. Walapun masing-masing nelayan memiliki lokasi-lokasi tertentu dalam pengoperasiannya, tidak jarang diantara mereka juga terjadi keributan kecil akibat terjadinya perebutan wilayah secara tidak sengaja ataupun disengaja. Hal tersebut dikibatkan ketidak adannya keterbatasan nelayan untuk menangkap ikan di perairan laut. Contoh lainnya adalah saat komunitas nelayan jaring gembung di desa Pekan Tanjung Beringin atau komunitas nelayan jaring Kepiting di desa Pantai Cemin Kanan sangat terganggu bila pendirian bagan pancang semakin menjamur tanpa mengenal batas-batas perairan daerah pembangunannya, baik yang didirikan di pinggir maupun agak ke tengah perairan terlihat seperti perumahan kecil berderet di tengah laut. Rasa keberatan mereka berupa alasan bahwa bekas-bekas reruntuhan bagan pancang yang berada didalam perairan laut dapat mengganggu kelancaran kegiatan menangkap ikan 121 Universitas Sumatera Utara sebab jaring akan mudah tersangkut dan mengalami kerusakan parah Begitu juga yang dirasakan penjaring udang dan pukat tepi jika bagan-bagan tersebut sudah sangat banyak berdiri dan tegak ke tepi akan mengganggu jaring yang dibentangkan, maka tindakan yang mereka ambil adalah meruntuhkan bagan-bagan yang berdiri seenaknya saja tanpa sepengetahuan sipemilik bagan. Lalu oleh si pemilik bagan yang diruntuhkan tersebut dengan ikhlas hati harus rela memindahkan bagan miliknya. Konflik yang sering juga terjadi pada nelayan jaring kepiting di desa Pantai Cermin Kanan, dimana para nelayan ini sering sekali kehilangan jaring mereka ketika sedang di tinggalkan oleh pemiliknya di tengah laut. Cara penggunaan jaring kepiting yang mengharuskan nelayan tersebut pergi untuk memasang jaringnya ketika pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 Wib dan meninggalkan jaringnya di tempat dimana mereka biasa melakukan penangkapan, lalu akan kembali lagi ke lokasi untuk melihat hasil tangkapan sekitar jam 10.00 Wib. Namun tidak jarang mereka sering kehilangan jaring akibat adanya pencurian oleh nelayan lainnya. Bila hal tersebut terjadi biasanya mereka tidak dapat melakukan apapun. Alasannya, mereka tidak bisa menuduh siapapun dan bila mereka menuduh tanpa bukti maka si nelayan akan di cap pembuat onar. Nelayan yang kehilangan jaring hanya bisa diam dan segera mengganti jaring tersebut dengan yang baru. Dikalangan interen nelayan, pembangunan unit yang saling berdekatan akan menimbulkan kecurigaan satu sama lainnya, terutama operasi mekanisme penangkapannya sama maka salah satu diantaranya harus pindah membangun bagan baru yang jaraknya relatif jauh. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya 122 Universitas Sumatera Utara kecurigaan antar nelayan bila suatu waktu salah satu dari jaring mereka terjadi kerusakan atau kehilangan. Hal tersebutlah yang biasa dilakukan untuk mencegah terjadinya keributan. E. 2. 2. Konflik Antar Nelayan Tradisional Dan Nelayan Moderen Persaingan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya laut terlihat antara nelayan tradisional dengan mereka yang menerapkan teknologi penangkapan moderen (nelayan moderen). Daya jelajah yang tinggi memungkinkan bagi nelayan moderen untuk leluasa beroperasi pada seluruh wilayah penangkapan baik lokasi penangkapan tradisional dan lokasi penangkapan bebas. Nelayan-nelayan bagan boat, pukat cincin, dan pukat trawl (pukat harimau) sering kali melakukan aktifitas penangkapan yang sebenarnya melanggar aturan yang berlaku. Menurut nelayan di dua wilayah ini, perilaku tersebut merupakan unsur kesengajaan meskipun telah beberapa kali mendapat keluhan dan protes dari nelayan-nelayan tradisional yang melihat langsung aktifitas mereka. Nelayan sangat mengeluh akan beroperasinya kelompok-kelompok nelayan moderen karena dirasa dapat berpengaruh mengurangi produksi penangkapan, dimana ikan-ikan terhambat, terlebih dahulu dieksploitasi dan lebih banyak kepada nelayan moderen sehingga nelayan tradisional yang beroperasi agak kepinggir dengan mengaplikasikan teknologi apa adanya kalah bersaing dalam memperoleh sumberdaya ikan yang memadai. Protes-protes keras berdatangan dari para nelayan tradisional. Mereka pernah melakukan protes kepada pihak-pihak yang berwenang seperti polisi laut, hingga ke 123 Universitas Sumatera Utara pemerintah setempat dan DPRD. Mereka meminta agar pengusaha yang mengoperasikan pukat harimau hendaknya di usut secara hukum, menghentikan operasionalnya pada wilayah tradisional karena melanggar hukum serta dapat merusak kelestarian laut yang akan berpengaruh terhadap mata pencaharian komunitas nelayan tradisional. Pertama mereka menyikapi protes tersebut dengan sikap positif dan terbuka. Namun karena banyaknya faktor-faktor kepentingan dari nelayan moderen, pihak-pihak yang memiliki otoritas selalu saja tidak mampu berlaku di lapangan. Permasalahan pelanggaran zona penangkapan selalu saja mewarnai pemanfaatan pengelolaan sumberdaya laut dan nelayan tradisional menduka hal tersebut merupakan bentuk kerja sama antara pihak nelayan moderen dengan pihak polisi laut dan pihak-pihak terkait lainnya sehingga pelanggaran-pelanggaran wilayah operasi tersebut hingga saat ini tetap ada. E. 3. Kepercayaan Nelayan Terhadap Mitos Laut Saat ini dikarenakan perkembangan pendidikan, pengetahuan moderen, perkembangan teknologi serta meningkatnya keyakinan beragama masyarakat nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan kepercayaan terhadap mitos-mitos laut yang dahulu ada sudah tidak lagi berlaku bagi masyarakat nelayan setempat. Menurut masyarakat setempat berakhirnya kepercayaan terhadap mitos-mitos sejak 15 atau 20 tahun yang lalu dan sejak itu tidak ada lagi upacara-upacara untuk menolak bala ataupun yang lazim disebut mitos. Dahulu kira-kira tahun 1980-an masyarakat nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan mempercayai suatu upacara untuk menghormati 124 Universitas Sumatera Utara para penunggu laut (makhluk halus), upacara tersebut bernama Jamu Laut. Upacara Jamu Laut adalah upacara yang dilakukan guna untuk menenangkan penunggupenunggu laut yang suatu saat dapat memberi musibah bila hatinya sedang marah akibat perilaku para nelayan yang semena-mena menangkap hasil laut tanpa memperhitungkan kondisi laut. Fungsi upacara Jamu laut pada umumnya memiliki fungsi yang beranea ragam, walaupun fungsi tersebut lebih cenderung kepada fungsi magis. Fungsi-fungsi bila upacara ini dilakukan adalah para penunggu laut tersebut tidak akan memberi musibah (bencana ombak besar, kecelakaan di laut, penyakit-penyakit dan lainnya)malah akan memberi suatu rezeki (hasil laut yang melimpah, terhindar dari bencana, penyakit dan lainnya) yang berlimpah bagi nelayan-nelayan sekitar, terlebih lagi bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang terkandung di dalam perairan laut. Upacara ini dulunya wajib dilakukan setiap kali ada tanda-tanda terjadinya suatu musibah besar, penyakit menular yang tidak ada obatnya, dan penurunan hasil laut yang secara mendadak turun drastis. Maka rangkaian upcara Jamu Laut tersbut akan dilakukan. Mulanya akan diadakan pertemuan para tetua-tetua adat dan kepala desa dengan dukun atau orang pintar yang dipercayai dapat berhubungan dengan para rohroh tersebut. Hal ini dilakukan guna untuk mencari tahu apa yang diinginkan oleh penunggu-penunggu laut tersebut. Lalu setelah mengetahui segala kehendak si roh maka segenap masyarakat akan menyediakannya tanpa boleh satupun yang terlupakan. Maka setelah itu akan diadakan lagi pertemuan antara tetua adat dengan dukun tersebut untuk mendengar dan meminta hari yang pasti untuk melakukan upacara tersebut kepada 125 Universitas Sumatera Utara penunggu/roh laut tersebut. Biasanya upacara tersebut diadakan selama tiga hari-tiga malam secara besar-besaran. Masyarakat mempercayai bila upacara tersebut telah dilakukan maka mereka akan mendapatkan berbagai kelimpahan rezeki dari hasil laut. Namun bila mereka tetap mendapatkan kemalangan maka mereka akan berserah diri menerima segala bencana tersebut. Mereka mempercayai bahwa bila penunggu laut tetap memberi kemalangan itu karena penunggu/roh laut tersebut sudah sangat marah dan tidak bisa memaafkan kesalahan yang mereka perbuat. 126 Universitas Sumatera Utara BAB IV KETERKAITAN AKTIFITAS DAN PENGELOLAAN MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP KELESTARIAN EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT A. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Dan Laut Akibat Aktivitas Manusia Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan begitu pula pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir meningkat secara pasti, akibat dari bertambahnya jumlah penduduk maka aktivitas manusia di wilayah pesisir terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir meningkat pula secara drastis. Berbagai macam aktivitas manusia yang dilakukan baik di daratan maupun di lautan mendorong terjadinya perubahan lingkungan wilayah pesisir. Usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya perairan secara intensif tanpa batasan-batasan tertentu dengan segala bentuk-bentuk pengaplikasian teknologi skala tradisional atau teknologi penangkapan muktahir (moderen) akan menimbulkan reaksi-reaksi positif maupun negatif terhadap manusia dan lingkungan sumberdaya tersebut antara lain: (1). Ekosistem lingkungan hutan bakau (mangrove), (2). Ekosistem trumbu karang dan eksosistem laut secara keseluruhan. Aspek-aspek positif eksploitasi akan memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan sementara pengaruh negatifnya pengelolaan berlebihan mengakibatkan putusnya mata rantai lingkungan hidup. Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan mengalami over eksploitasi, diantaranya adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada tahun 1997 baru mencapai 58,5% dari potensi lestarinya, akan tetapi pada beberapa wilayah di Indonesia sudah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing) (Dinas Perikanan dan Kelautan Serdang Bedagai 127 Universitas Sumatera Utara 2007). Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami tangkap lebih adalah ikanikan komersial seperti ikan jenis pelagis, udang dan ikan karang. Udang mengalami over fishing hampir di seluruh perairan Indonesia. Begitu pula halnya di wilayah desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan, bila dilihat secara umum perairan laut di wilayah ini adalah salah satu wilayah yang memiliki banyak sekali sumberdaya alam laut yang sangat kaya. Dimana masyarakat nelayannya adalah ratarata nelayan tradisional dengan alat tangkap yang masih tergolong sederhana. Namun dikarenakan persaingan yang terjadi diperairan laut yang begitu tinggi mau tidak mau membuat nelayan di dua desa ini harus meningkatkan kinerja alat tangkap mereka agar dapat bersaing dengan nelayan yang berasal dari luar wilayah yang sengaja datang melakukan penangkapan dengan alat tangkap yang jauh sangat moderen dibandingkan mereka. Persaingan inilah yang mengakibatkan semakin besarnya eksplotasi laut atau penangkapan yang berlebih. Perlombaan dalam meraup potensi yang lebih banyak diwujudkan dengan meningkatkan kecanggihan alat penangkapan demi memaksimalkan hasil tangkapan, memperluas wilayah operasi dan lainnya yang hanya dimiliki sebagian komunitas nelayan sedangkan komunitas lain tetap saja tertinggal secara teknologi yang berhubungan langsung dengan pendapatan sektor ekonomi laut. Sehingga nelayan dari kriteria tersebut terbagi dua yaitu nelayan moderen yang mengoperasionalkan teknologi canggih, pendapatannya sangat mencukupi bahkan over produksi dan nelayan tradisional yang kemampuan teknologinya terbatas, terbatas pula dalam hasil penangkapan yang berkorelasi langsung terhadap income pendapatan ekonomi, dari itu banyak nelayan-nelayan tradisional memperbanyak jenis alat tangkapnya agar mampu 128 Universitas Sumatera Utara bertahan memanfaatkan potensi laut sesuai dengan kecenderungan musim jenis-jenis ikan hasil tangkapan, atau mencari usaha sampingan seperti berdagang, buruh, ataupun bertani. Persaingan yang terjadi antar nelayan telah mengakibatkan stok potensi sumberdaya laut yang semakin menipis. Kondisi persaingan dan semakin marjinalnya nelayan tradisional bukan saja dialami nelayan perairan tetapi juga dialami nelayan yang beroperasi di kawasan hutan mangrove, akibat penyempitan lahan, berubah menjadi lahan-lahan perkebunan, tambak, perumahan dan lain-lain. Pengerusakan hutan mangrove, terumbu karang menambah runyamnya suasana kondusif nelayan untuk memaksimalkan hasil penangkapan sebab kelestarian kedua jenis eksosistem menyumbang sangat berarti terhadap kawasan pengembangan semua jenis biota laut yang menjadi sumber penghidupan nelayan. Menurut Dahuri (2001), setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya seperti pencemaran, erosi dan perubahan secara drastis regim aliran air tawar yang terjadi di ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir. Antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir juga terdapat keterkaitan dan interaksi satu sama lain, sehingga saling mempengaruhi. Sebagai contoh tipe keterkaitan ekosistem adalah: pembukaan hutan mangrove besar-besaran mengakibatkan mangrove kehilangan fungsi sebagai perangkap sedimen sehingga sedimen masuk ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang dan mengganggu fungsi kedua ekosistem tersebut. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam gambar yang ada di berikut ini: 129 Universitas Sumatera Utara Gambar: Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2002) A. 1. Kelestarian Ekosistem Mangrove Hutan mangrove memegang peranan yang sangat penting dalam eksosistem wilayah pesisir. Peran ini telah diketahui oleh masyarakat umum walupun tidak begitu dalam, namun sudah cukup menjadi dasar acuan bagi pemerintah untuk membangkitkan semangat dalam diri masyarakat agar melakukan penyelamatan terhadap areal hutan mangrove yang masih tersisa. Namun terkadang dikarenakan kebutuhan ekonomi dan pengetahuan yang masih tipis tersebut mereka malah tidak peduli dan melakukan penebangan baik secara terang-terangan maupun diam-diam yang akibatnya kerugian banyak pihak. Seiring dengan peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan maka hutan mangrove banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat antara lain: dikonversi menjadi lahan 130 Universitas Sumatera Utara perikanan, pertanian/perkebunan dan pemukiman, penebangan untuk dijadikan kayu. Hal ini menyebabkan mangrove tidak berfungsi dengan baik sehingga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan pesisir seperti: peningkatan salinitas hutan mangrove karena kurangnya aliran air tawar, menurunnya tingkat kesuburan, mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan, pendangkalan perairan pantai, erosi garis pantai dan intrusi garam, terjadinya pencemaran laut, sedimentasi dan lainlain. Masyarakat nelayan sudah sejak lama memanfaatkan beraneka ragam sumberdaya hayati flora dan fauna yang hidup bebas di kawasan hutan-hutan bakau tersebut, dan masih terlihat aktivitas pemanfaatan sampai saat ini walaupun intensitasnya telah mengalami pengurangan drastis seiring berkurangnya lahan-lahan bakau dan stok sumberdaya akibat langsung daei menipisnya habitat asli hutan mangrove. Tercatat ada 4 jenis alat penangkapan tradisional yang digunakan nelayan dalam mengelolanya yaitu: jaring insang kecil, jala, parang untuk mengorek jenis kerang-kerangan. Ditambah lagi pemanfaatan tumbuh-tumbuhan bakau (kayu) dan daun nipah yang ada dilokasi mangrove tersebut. Karakter tradisional setidaknya mampu bertahan untuk menutupi sebagian kebutuhan nelayan akan ikan dan biota-biota laut, akan tetapi mulai timbul persoalan saat kawasan mangrove terdegradasi oleh kepentingan bentuk-bentuk pengusahaan yang mulai di minati dan yang dibutuhkan masyarakat dua desa ini yaitu: pembuatan areal pertambakan udang, penebangan areal hutan bakau yang tidak terkendali untuk dijadikan kayu bakar, arang dan bahan bangunan, perluasan areal pemukiman, 131 Universitas Sumatera Utara pembuatan areal perkebunan dan lain-lain. Aktifitas tersebut akan mengganggu mata rantai siklus hidup berupa ikan, udang, kerang-kerangan dan biota lainnya. A. 2. Kelestarian Ekosistem Trumbu Karang dan Padang Lamun Terumbu karang merupakan lahan subur bagi pertumbuhan berbagai jenis biotabiota dan ikan maupun tumbuhan laut. Trumbu karang yang ada di dua wilayah perairan Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan saat ini sudah hampir tidak ada lagi. Terumbu karang yang kondisinya masih baik hanya terdapat di wilayah perairan Tanjung Beringin. Hal tersebut dikarenakan adanya perlindungan dari pemerintah setempat atas wilayah tersebut sehingga menjadikannya wilayah terlarang. Lokasi terumbu karang tersebut berada di satu pulau kecil yang disebut Pulau Berhala. Pulau Berhala ini dilindungi oleh pemerintah dikarenakan lokasinya yang sangat potensial yang dapat dikembangakan menjadi wisata bahari karena panorama pantai yang unik dan indah. Selain itu pantai di pulai tersebut memiliki kekayaan alam berupa karang bawah laut yang sangat indah, kecenderungan hayati yang tinggi dan menjadi habitat jenis flora dan fauna. Selain itu, kondisi pulau yang berada di Selat Malaka yang menjadi jalur pelayaran internasional, menyebabkan pulau ini cenderung rawan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kerusakan alam. Letaknya yang terpencil mengakibatkan pulau ini terbuka dari berbagai peluang maupun ancaman dari negara tetangga. Ancaman yang serius adalah kemungkinan terjadinya penguasaan secara ilegal oleh negara tetangga dan eksploitasi sumberdaya perikanan oleh nelayan asing. Pada umumnya masyarakat dua desa ini tidak melakukan perusakan secara langsung terhadap terumbu karang yang ada diperairan mereka. Kerusakan terumbu 132 Universitas Sumatera Utara karang menurut mereka lebih banyak dikarenakan oleh kapal-kapal yang datang dari luar daerah yang melakukan operasi diperairan mereka. Kapal-kapal tersebut sangat banyak jenisnya dengan teknologi yang tinggi. Pada dasarnya mereka hanya tahu kegunaan terumbu karang hanya sebagai tempat ikan-ikan dan makhluk laut lainnya berkembang biak. Meskipun saat ini mereka juga mulai memakai alat tangkap yang menggunakan teknologi yang cukup moderen namun tetap saja kalah saing dengan para pendatang tersebut. Secara umum mereka sadar mereka juga telah melakukan perusakan terhadap terumbu karang karena telah menggunakan alat tangkap yang mewajibkan mereka harus melakukan penangkapan di wilayah terumbu karang, namun hal tersebut tidak lebih dikarenakan mereka harus berusaha untuk tetap bertahan. Adapun nelayan yang melakukan penangkapan di perairan yang berhubungan lanngsung atau atau tidak langsung dengan kawasan terumbu karang adalah: 1. Nelayan yang berhubungan langsung. aa.. Nelayan pemancing ikan. bb.. Nelayan penyelam, ikan hias, bunga karang dan lainnya. cc.. Nelayan penangkap berbagai jenis kepiting laut, lobster dan biota lainnya. dd.. Nelayan yang menggunakan perangkap ikan karang. 2. Nelayan yang tidak berhubungan langsung namun sering beroperasi juga di kawasan terumbu karang adalah: a. Bagan boat. b. Pukat cincin. c. Pukat Ikan/jaring gembung. d. Bagan pancang. 133 Universitas Sumatera Utara e. Jaring salam. f. Pukat tepi dan, g. Jaring udang, dan lain-lain. Khusus untuk nelayan desa setempat yang paling berperan aktif mengeksploitasi sumber daya terumbu karang adalah nelayan penambang, pemancing, perangkap tradisional dan nelayan penyelam ikan hias, bunga karang dan biota lainnya yang sengaja datang dari luar wilayah maupun yang berasal dari desa tersebut untuk mengambil segala jenis sumberdaya yang terkandung didalamnya. Hal tersebut diakibatkan oleh nilai ekonomis ikan-ikan hias dan biota laut tersebut sangat tinggi. Sehingga nelayan yang merasa bahwa mereka harus mencari penghasilan tambahan melakukan hal tersebut. Bertambah parahnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan pengoperasian alat tangkap moderen seperti pukat harimau (trawl/PI) lebih mengakibatkan merosotnya sumberdaya ikan atau biota, untuk saat ini yang paling terkena dampaknya adalah nelayan tradisional yang terbatas secara kemampuan teknologi penangkapan. Kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian alat tangkap pukat harimau dapat menghancurkan karang secara fisik, menangkap ikan-ikan yang belum maksimal besar dan berlebihan sebab pemakaian panel besi dan mata jaring yang terlalu kecil. Sementara itu perilaku pemakaian alat tangkap dengan bantuan lampu rangsangan yang diaplikasikan bagan boat dan pukat cincin memerlukan >5000 watt kekuatan arus listrik dan beberapa pasang lampu halogen mendapat tudingan atau disinyalir juga memiliki akses negatif terhadap terumbu karang serta biota lain penghuni 134 Universitas Sumatera Utara laut, sebab dalam operasinya, cahaya lampu-lampu halogen telah mengkondisikan malam hari menjadi siang hari di laut yang merangsang tidak saja ikan yang menjadi sasaran penangkapan, karangpun sebagai makhluk hidup laut ikut beraktifitas atau berfotosintesis seperti layaknya siang hari. Hal tersebut dapat membuat terumbu karang mati karena kelebihan energi aktifitas dan radiasi lampu tersebut Nelayan tradisional di wilayah ini dari segi alat tangkap sebagian tidak merusak ekosistem laut baik penerapannya maupun lokasi operasinya seperti bagan pancang, jaring salam dan lainnya namun resiko penyimpangan tetap saja ada sebab sebagian mata jaring mereka juga menangkap ikan-ikan yang belum layak panen (anak ikan) tetapi resiko yang diakibatkan belum sebesar jenis penangkapan moderen seperti pukat harimau yang lebih banyak mengakibatkan kerusakan dan penangkapan yang berlebihan. Perilaku yang merusak kelestarian sumberdaya laut sangat signifikan berpengaruh untuk lahan sumber mata pencaharian nelayan, penangkapan yang tidak mencukupi telah mendorong para nelayan menngambil jalan pintas dengan semakin merusak sumberdaya atau beralih kepada alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan masa depan keluarga mereka seperti buruh, berdagang sambil membuat pengolahan ikan. Kompetisi teknologi dan wilayah penangkapan dapat menimbulkan pergeseran sosial menjurus konflik dalam komunitas antar sesama nelayan yang mengaplikasikan beraneka ragam teknologi penangkapan, hal tersebut didorong juga oleh terjadinya kemerosotan potensi laut yang selama ini menjadi kebutuhan pokok mereka. Normanorma, pranata-pranata tradisional berupa kesepakatan perjanjian informal atau peraturan formal keputusan Menteri Pertanian no. 607/Kpts/Um/9/1976. Dan diperkuat 135 Universitas Sumatera Utara kembali Undang-Undang no. 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang pengaturan wilayahwilayah lokasi penangkapan berdasarkan kemampuan teknologi acap kali dilanggar sehingga sebagian nelayan merasa dirugikan dengan melakukan aksi balasan semacam protes. Namun protes tersebut sama sekali tidak berpengaruh karena para kapal tersebut tetap beroperasi hingga saat ini. Krisis lingkungan laut sangat berpengaruh langsung terhadap prilaku-prilaku nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan. Ketiadaan pranata-pranata lokal spesifik bersifat absolut; Bersumber dari karakter budaya yang mengatur langsung mengenai lingkungan hidup sperti yang diterapkan di masyarakat Aceh yang disebut panglima laut, masyarakat Bugis Makasar yang disebut dengan pranata Ongko. Mitos-mitos laut pun saat ini sudah tidak lagi diperhitungkan sebagai pembatasan pengelolaan sumberdaya laut, hal tersebut dikarenakan kecenderungan pengikisan segala bentuk pengetahuan lokal oleh moderenisasi yang semakin aktual di kalangan seluruh kominitas nelayan. Hubungan nelayan dengan lingkungan laut mencerminkan penguasaan, penaklukkan sehingga mereka harus mengeksploitasinya seintensif mungkin, apalagi bila didukung peralatan penangkapan yang memadai sementara wujud keserasian dan keharmonisan nelayan dengan lingkungan sumberdaya laut lambat laun semakin ditinggalkan akibat produksi maksimal hasil penangkapan. Perusakan tidak diakui oleh masyarakat setempat semata-mata dilakukan oleh mereka, namun menurut mereka aktifitas tersebut didalangi oleh pihak-pihak yang berkompoten di perairan laut antara lain TNI AL, AIRUD dan aparat lain dengan cara membekingi para pengusaha-pengusaha perikanan moderen sejenis pukat harimau (trawl/PI). Bebasnya kapal-kapal tersebut beroperasi lebih dikarenakan kerjasama antara 136 Universitas Sumatera Utara pengusaha perikanan besar dengan aparat laut dan mantan-mantan purnawirawan ABRI yang melindungi mereka dari sudut pandang hukum kelautan. Hal ini juga yang mendorong nelayan tradisional untuk melakukan tindakan yang sama sebagimana ungkapan bapak Arian di desa Pekan Tanjung Beringin (nelayan pukat cincin): “ Gimana kami bisa bertahan kalau kapal besar itu terus-terusan menangkap ikan dengan cara kayak gitu. Jadi daripada mereka aja yang dapat bahan laut, kan lebih bagus kami ikut bersaing aja. Lagian penghasilan kami bisa bertambah dengan menggunakan alat yang sama meskipun alat mereka itu tetap lebih besar dan canggih. Tapi setidaknya kami nggak habis-habis kali lah” A. 3. Kelestarian Pesisir Pantai Dan Sungai Aktifitas masyarakat nelayan memang sebagian besar berada di perairan laut lepas, namun aktifitas masyarakat di dua desa ini yang notabene bertempat tinggal di sepanjang sungai juga dapat berakibat terhadap kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Dimana menurut Dahuri 2001 bahwa Berbagai aktifitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS) mengakibatkan terjadinya pencemaran dan perobahan lingkungan wilayah pesisir. Di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan terlihat nyata bahwa masyarakatnya secara langsung maupun tidak langsung melakukan pembuangan sampah rumah tangga ke sungai yang mengalir ke laut lepas. Mereka mengatakan bahwa sampah tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap ekosistem lautan. Mereka secara pasti tidak mengetahui bahwa sampah-sampah tersebut akan berakibat 137 Universitas Sumatera Utara buruk pula terhadap kondisi laut. Karena proses pembusukan atas sampah tersebut akan menimbulkan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan dan akan mempengarihi kehidupan laut. Dampak negatif dari pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan dan menimbulkan kerugian secara sosial ekonomi. Disamping itu pula aktiftas dari para industri-industri yang membuang bahan beracun yang menjadi limbah industri mereka ke aliran sungai juga dapat mengganggu eksosistem laut. Namun akibat yang akan dirasakan secara pasti adalah oleh masyarakat sekitar. Seperti yang diuatarakan oleh beberepa masyarakat di dua desa ini bahwa pernah terjadi pencemaran sekitar tahun 2002-2004 akibat beberapa pabrikan yang ada diwilayah tersebut membuang limbah mereka ke aliran sungai. Akibatnya masayarakat yang menggunakan sungai tersebut sebagai tempat MCK menderita penyakit kulit yang cukup lama dan parah. Perkembangan dunia pariwisata di desa Pantai Cermin saat ini pula menyumbang limbah-limbah rumah tangga dan industri yang cukup besar pula. Memang pada dasarnya tempat wisata tersebut melakukan beberapa kegiatan perlindungan dan kebersihan terhadap pesisir pantai yang mereka gunakan sebagai tempat wisata, tempat wisata tersebut telah melakukan hal-hal yang penting dalam membangunan sarana dan prasarana wisata mereka dengan baik. Salah satunya adalah progaram pengendalian limbah yang mereka hasilkan dengan cara membuat fasilitas bak-bak penampungan sampah padat di sekitar wilayah pantai wisata tersebut dan membuangnya jauh dari lokasi wisata. Dan mereka mebuat pula sumur-sumur resapan untuk air kotor, namun 138 Universitas Sumatera Utara untuk wilayah pesisir pantai yang lain yang ada disekitarnnya tidak mereka perdulikan. Hal tersebut akan mengakibatkan kecemburuan sosial bagi masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Dan penagruh dunia pertanian darat seperti sawah dan ladang yang dimiliki oleh sebagian masyarakat menurut mereka tidak mempengaruhi ekosistem lautan dan pesisir, karena menurut para petani ini tingkat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang mereka gunakan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sering. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan sungai yang mereka gunakan untuk mengaliri sawah mereka. Mereka bisa saja menggunakan aliran sungai setiap hari namun tidak terjadi apa-apa dengan kesehatan mereka. Bilapun terjadi suatu pencenaran itu adalah akibat pera pemilik pabrik yang membuang limbah mereka ke sungai tampa di sterilkan terlebih dahulu. B. Pandangan Dan Sikap Nelayan Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove, Dan Ekosistem Trumbu Karang. Kehidupan nelayan baik secara sosial dan ekonomi dipengaruhi secara langsung oleh kualitas dan kuantitas ekosistem laut, terutama nelayan tradisional yang hari demi hari jumlah hasil tangkapnya semakin berkurang akibat potensi laut, ikan dan biotabiota laut sudah tidak mendukung lagi kelestariannya. Situasi kerusakan ekosistem ditanggapi berbeda-beda oleh komunitas nelayan secara khususnya dan masyarakat pesisir pantai umumnya. Sebagian menanggapi kurangnya hasil penangkapan dikarenakan kerusakan tersebut, sebagian lagi menanggapi dengan menekankan kepada kurang layaknya mempertahankan pemakaian ternologi tradisional yang terbatas kemampuannya dan ada juga beralasan bahwa kemerosotan produksi hasil tangkap 139 Universitas Sumatera Utara dikarenakan persaingan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin ramai dan kompetitif. Perubahan lahan hutan mangrove menjadi lahan-lahan perumahan, pertambakan, perkebunan dan lainnya dianggap menjadi faktor utama nelayan yang beroperasi di lokasi hutan kehilangan lahan yang menjadi sumber kehidupan, berkurangnya stok biota/ikan akan mempengaruhi hasil tangkapan. namun banyak pula masyarakat di dua wilayah ini yang mempercayai bahwa rusaknya hutan bakau bukan menjadi alasan utama karena menurut mereka bahwa tidak semua ikan yang ada di perairan laut bebas bertelur dan berkembang biak di hutan mangrove tersebut. Karena menurut sebagian masyarakat yang paling merusak adalah nelayan dengan alat tangkap pukat harimau dan sejenisnyalah yang paling berperan penting dalam pengrusakan eksosistem. Pengerusakan ekosistem laut sebagian disadari nelayan dapat menimbulkan efek-efek sampingan kepada lingkungan setempat seperti bahaya abrasi laut, kerusakan hutan mangrove dapat mengakibatkan masuknya air laut kedalam tanah sehingga akan menyebabkan air sumur akan asin dan bila terjadi pasang maka tidak ada lagi yang menahan gelombangnya. Tepi pantai terancam terimbas air laut yang meruntuhkan rumah-rumah, pohon-pohon kelapa yang masih berproduksi dan lainnya, serta kerusakan itu lambat laun akan mematikan kelangsungan sumber mata pencahrian nelayan. Namun untuk mencegah perilaku-perilaku pengerusakan setiap individu warga masyarakat nelayan rasanya tidak mampu karena pertimbangan rasa perihatin atas nasib situasi perekonomian nelayan yang hanya menggantungkan pendapatannya dengan mengambil dan menjual hasil-hasil laut. 140 Universitas Sumatera Utara Dan di pihak lain ada pula nelayan yang tidak percaya terhadap kerusakan terhadap eksosistem laut baik itu hutan mangrove dan trumbu karang dapat berpengaruh langsung kepada kehidupan makhluk-makhluk laut, ikan, ataupun biota-biota lainnya. Seperti yang diutarakan oleh bapak Muslim (Pekan Tanjung Beringin): “Ikan, dan bahan-bahan laut yang ada di perairan laut tidak mungkin akan punah atau berkurang akibat dari rusaknya hutan ataupun hancurnya terumbu karang sebab perairan laut itu masih sangat luas untuk dijadikan pertumbuhan ataupun perkembangan ikan-ikan dan lainnya. Kalaupun sekarang hasil tangkapan berkurang itu karena bertambahnya jumlah orang-orang yang menangkap ikan, terus karena teknologi yang digunakankan pun sudah maju sekarang. Jadi harus bisa bersaing lah dengan alat yang lebih canggih itu” Menurut masyarakat yang tidak mempercayai bahwa rusaknya hutan mangrve dan hancurnya terumbu karang tidak akan mempengaruhi berkurangnya hasil laut namun yang mengakibatkan hasil laut sangat berkurang saat ini adalah dikarenakan semakin banyaknya jumlah nelayan sehingga persaingan semakin banyak. Bila ada orang yang mempercayai bahwa hancurnya hutan mangrove dan terumbu karang tidak lebih adalah orang-orang yang tidak bisa bersaing secara alat tangkap. Mereka tidak lebih hanya dapat menggunakan alat-alat tangkap yang masih dapat dikatakan tradisional. Bila mereka melarang penggunaan alat tangkap tersebut maka itu artinya mereka tidak mempercayai kebesaran Tuhan sebagai pencipta alam. Lagi pula laut bukan hanya milik nelayan tradisional semata. 141 Universitas Sumatera Utara Pendapat nelayan yang tidak mempercayai adanya hubungan antara kerusakan ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang dengan kurangnya ikan dan biota-biota laut ditanggapi oleh nelayan tradisional yang percaya saat ini denbgan sikap pasrah. Pernah memang di antara kedua belah pihak berkonflik akibat dari beda pendapat ini, namun nelayan yang merasa lebih kecil dan tidak mampu secara ekonomi menjadi putus asa akibat perilaku-perilaku nelayan moderen tersebut. Saat ini mereka hanya bersikap bertahan saja atas kondisi ini. Beragam pengaruh dari penggunaan alat tangkap dan beragam aktifitas masyarakat nelayan dapat dirangkup kedalam tabel 8 berikut: 142 Universitas Sumatera Utara Kegiatan Alat Atau Bahan Dampak Terhadap Ekosistem Mangrove Pesisir Dan Laut Yang Sosial Budaya Dan Ekonomi Solusi Kebijakan Pengembangan SDA Dan SDM Dipergunakan A. Kegiatan yang dilakukan di ekosistem mangrove dan pesisir pantai. - Tebang habis - Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman - Pembuangan sampah cair dan sampah padat - pencemaran minyak tumpahan - pengalihan aliran air tawar, misalnnya pembangunan irigasi. - Pengerukan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, Alat-alat yang digunakan untuk mengeksploitasi hutan mangrove: - Parang, - Guris, - Cangkul, - Pisau, - Dan bendabenda keras lainnya. - Berubahnya - Mengancam komposisi regenerasi stok ikan tumbuhan dan udang si mangrove. perairan lepas pantai yang memerlukan - Peningkatan salinitasi hutan hutan. mangrove. - Terjadinya - Menurunnya tingkat pencemaran laut oleh bahan kesuburan hutan. pencemar yang - Penurunan kandungan oksigen sebelumnya diikat oleh substrat hutan terlarut. Alat-alat yang - Kematian pohon mangrove. digunakan untuk mangrove akibat - Pendangkalan pembangunan perairan pantai. pengendapan industri dan sedimen dan - Erosi garis pantai pertanian: dan intrusi air tumpahan minyak. - Logam-logam - Kerusakan total garam. - Perembesan bahanberat. ekosistem - Bahan kimia mangorve (daerah bahan pencemar berupa Semen. mencari makanan dalam sampah - Pestisida untuk padat. dan asupan). - Lapisan minyak - Pengerusakan total pertanian. - Pupuk berbahan dapat menghalangi padang lamun. kimia. proses fotosintesis - Pencemaran daun hutan pestisida dapat mematikan hewan mangrove. yang bersosiasi - Pengerusakan habitat dilokasi dengan padang pembuangan hasil lamun. - Hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di sekitar hutan mangrove berkurang secara drastis. - Sering terjadi banjir bila pasang naik hingga ke daerah pemukiman dan pertanian. - Dengan berkembangnya industri di wilayah pesisir maka para nelayan akan segera merubah mata pencaharian sebagai buruh pabrik, akibatnya jumlah nelayan untuk penghasil ikan akan berkurang. - Melarang - Memberi Penebangan dan pengetahuan kepada pengunaan bahan masyarakat akan kimia di sekitar fungsi penting hutan hutan mangrove mangrove. - Membuat program - Menyediakan tempat pengelolaan pesisir yang relatif tidak secara terganggu untuk berkelanjutan observasi dan berupa penanam monitoring jangka kembali hutan panjang. mangrove. - Meningkatkan - Mempertegas pendidikan kepada para masyarakat pengusaha untuk berkaitan dengan membuat program pentingnya perlindungan konservasi laut dan pesisir. dampak aktifitas - Membuat program manusia terhadap perlindungan keanekaragaman konservasi hutan hayati laut. sebagai wilayah keanekaragaman hayati dan hewani. 143 Universitas Sumatera Utara pengerukan. pelabuhan, industri, saluran navigasi. - Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa kimia. - Pembuangan sampah organik. - Pencemaran oleh limbah pertanian. B. Kegiatan penangkapan dan pengoperasian alat tangkap. 1. Pencarian biota laut di hutan mangrove. (Nelayan penangkap ketam, kepiting, kerang dll.) Alat yang digunakan: - Parang - Pisau - Jaring kepiting dll Bahan-bahan - Dibuat sebuah peraturan lokal - Para nelayan sering berupa peringatan - Bila air keruh maka melakukan bagi nelayan yang biota-biota laut pemotongan akar melakukan (ikan, udang dll) bakau ketika pengrusakan akan pencarian sehingga tidak akan diberikan hukuman berkembang biak di bakau menjadi atau ganjaran yang lokasi mangrove itu - Penghasilan rusak. setimpal atas nelayan yang - Pengerukan lumpur lagi. pengrusakan yang untuk mencari biota - Dengan penggunaan melakukan dilakukannya. penangkapan dengan alat keras tersebut akan berkurang. menggunakan alat maka bibit-bibit keras dapat biota yang ada akan - Pemerintah mengakibatkan air mati akibat setempat kiranya keruh. terbentur benda perlu membuat keras tersebut. sebuah program - Bahan-bahan bila - Limbah tersebut kebersihan rusak akan dibuang termasuk kedalam lingkungan pesisir begitu saja oleh limbah yang sulit dan laut bersama nelayan. Maka akan busuk. Maka akan dengan masyarakat mengakibatkan berefeksamping nelayan. pencemaran sampah kepada trumbu padat di wilayah karang dan padang - Nelayan yang melakukan pencarian biota laut diberi pengetahuan bahwa bila beroperasi tidak perlu merusak pohon mangrove. - Peningkatan pengetahuan kepada nelayan bahaya dari sampah padat tersebut terhadap ekosistem laut dan pesisir. 144 Universitas Sumatera Utara hutan mangrove. jaring tersebut adalah terbuat dari: - Minyak 2. Nelayan yang - Benang Nilon, pembuangan dari menggunakan - Pelampung mesin Boat akan alat tangkap: pelastik, gabus, mempengaruhi - Jaring ikan sendal jepit. pertumbuhan - Jala dan pohon-pohon -Pancing mangrove. tradisional. Bahan-bahan jaring terbuat dari: 3. Nelayan yang - Benang nilon. menggunakan - Pelampung alat tangkap: Pelastik - Pukat Tepi/ - Kayu sebagai pukat pantai alat pancang. - Jaring udang - Timah - Pancing Pemberat. acar/cumi- Lampu cumi Penerangan. - Jaring - Boat bermesin Gembung tempel. Bahan-bahan pukat terbuat dari: 4. Nelayan yang - Kapal Besar - Pembuangan limbah padat dan cair (minyak) oleh para nelayan saat alat ini dioperasikan akan mengakibatkan bertambahnya limbah yang dapat mempengaruhi eksosistem mangrove. - Pengoperasian kapal yang kadangkadang dekat dengan wilayah lamun juga. - Perlunya - Penghasilan penegasan wilayah nelayan yang tangkap. melakukan penangkapan - Akan menambah sampah padat akibat akan berkurang. pembuangan alatalat yang rusak oleh nelayan. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang dan hutan mangrove. - Perebutan dan persaingan teknologi alat tangkap akan memicu konflik antar nelayan. Perebutan ini terjadi akibat - Perlunya kebijakan - kayu dan besi panel kurangnya penegasan wilayah bahan-bahan yang digunakan tangkap yang lebih laut yang untuk pemberat, tegas lagi. diperoleh. pengeruk dan pembuka mulut - Dan juga akan - Pengontrolan oleh pemerintah atas jaring akan menimbulkan pelanggaran yang mengakibatkan eksploitasi sering dilakukan trumbu karang yang berlebihan oleh nelayan alat ada di dasar laut terhadap tangkap ini. rusak. penangkapan - Penanganan serius - Lumpur dasar laut ikan (over oleh pemerintah akan terkorek dan fishing). atas kerusakan mengakibatkan air pesisir dan laut di - Keberadaan menjadi keruh. wilayah ini. - trumbu karang yang kapal ini akan rusak akan membuat membuat habitan ikan dan nelayan - Penyadaran terhadap nelayan oleh pemerintah setempat agar saling menghargai ketika melakukan penangkapan. - Meberi tahu kepada nelayan akibat dari over fishing. - Pemberian hukuman atas pelanggaran, berupa tindakan ikut andil dalam memperbaiki wilayah laut yang telah mereka rusak. - Kerjasama masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk yang lebih erat dalam melarang beoperasinya alat ini di perairan mereka. 145 Universitas Sumatera Utara Menggunakan <40-60 GT. alat tangkap: - memiliki jaring yang kuat dan - Bagan Boat. - Pukat Ikan (PI, memiliki trawl, harimau diameter yang kecil. mini.) - Pukat Langgai. - kayu berbentuk - Pukat segi empat cincin/pukat sebagai tongkol. pengeruk. - Besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan karang atau benda lain yang ada di dasar laut. - Memiliki fasilitas komunikasi, komputer sebagai alat pelacak keberadaan ikan, fiber, kulkas papan dll. - Memiliki lebih C. Kegiatan dari 10 awak lainnya: 1. Pengerukan Bahan yang sekitar terumbu dipergunakan: karang - Bahan-bahan 2. kimia untuk Kepariwisataan pembangunan biota yang mangrove akan tradisional berinteraiksi disana kehilangan mengakibatkan kerusakan habitat di akan pindah lokasi. lahan dan mangrove akibat - Bibit ikan akan ikut penghasilan. pembungan minyak tertangkap oleh - Terjadi konflik kapal. yang jaring karena mengakibatkan memiliki jaring - Pelanggaran jatuhnya yang kecil. wilayah tangkap. korban. - Persaingan yang akan menimbulkan - Pambangunan - Meningkatkan over fishing. wilayah Pariwisata keruhnya air dan pembuatan sehingga tambak udang menggangu dilakukan dengan pertumbuhan cara menebang karang. habis hutan - Rusaknya pesisir mangrove. pantai akibat limbah - Tambak udang yang yang di buang oleh dibiarkan kosong para pengunjung. akan menimbulkan banjir dan penyakit demam berdarah. - Penanganan serius dari pemerintah dalam mengadakan komunikasi kepada pihak pengusaha secara terbuka dengan masyarakat. - Pengusaha ikut andil dalam melestarikan wilayah pesisir yang mereka kelola. - Mengakibatkan ikan tidak lagi dapat berkembang biak dan akhirnya lama – kelamaan 146 Universitas Sumatera Utara 3. Pembuatan Tambak udang penghasilan mereka akan menurun wilayah pariwisata dan pembangunan tambak udang. - Benda keras yang dipakai untuk penghancur karang. Dan lainnya. 147 Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan tata ruang desa pesisir yang meliputi pemukiman, lahan pertanian, dan hutan mangrove sebagian besar areal hutan telah dikonversikan menjadi areal pemukiman perkebunan/pertanian, pertambakan, penebangan. Potensi-potensi sumberdaya perairan laut dimanfaatkan secara intensif oleh komunitas nelayan untuk memenuhi kebutuhan biologis. Aktifitas masyarakat nelayan selalu saja dengan pengetahuan mereka terhadap aset-aset sumberdaya laut, lokasi, dan sistem penangkapan serta musim-musim yang mempengaruhi segala yang berada didalamnya. Dalam memanfaatkan eksosistem laut nelayan menerapkan bentuk-bentuk teknologi penangkapan baik tradisional maupun teknologi penangkapan yang moderen. Diantara teknologi tradisional tersebut semakin hari semakin berkurang nelayan yang memakainya karena dianggap kurang produktif hasil tangkapannya, antara lain yang mulai ditinggalkan adalah: Pukat pantai (Beach Seine) yang dulunya pemakaiannya sangat banyak oleh nelayan di kedua desa ini, mereka beralih kepada penangkapan yang agak memadai bahkan cenderung moderen seperti memakai bagan boat. Pengetahuan dan pemanfaatan masyarakat atau nelayan terhadap ekosistem laut telah menimbulkan perubahan-perubahan lingkungan dan sumberdaya yang terkandung didalamnya. Perubahan lahan bakau mengalami disfungsi akibat perluasan areal perumahan, pertambakan, penebangan, perkebunan/pertanian dan lainnya disamping eksploitasi biota-biota/ikan yang cenderung menyimpang atau 148 Universitas Sumatera Utara berlebihan. Begitupun trumbu karang yang saat ini di wilayah perairan Serdang Bedagai sudah hampir tidak ada lagi keberadaannya telah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh model-model penangkapan yang cenderung merusak antara lain pemakaian zat kimia, operasional pukat harimau dan sejenisnya. Kerusakan tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan para nelayan tradisional, baik yang beroperasi di hutan bakau, lokasi terumbu karang, dan itu juga lambat laun akan dirasakan seluruh nelayan secara umum. Hal ini telah terbukti bahwa nelayan-nelayan yang berasal dari wilayah Sibolga, Tanjung Balai dan lainnya sudah memperluas wilayah operasinya hingga ke perairan tradisional Serdang Bedagai. Nelayan yang berasal dari luar tersebut melakukan operasional penangkapan hingga ke perairan Timur Sumatera ini dikarenakan wilayah perairan mereka yang sudah tidak efektif dan tidak memberikan hasil yang baik lagi. Sementara itu nelayan yang asli berasal dari wilayah desa perairan Serdang Bedagai seperti desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan yang tidak mampu bertahan dengan alat penangkapannya (di hutan bakau/pantai) banyak yang berubah profesi sebagai buruh dan lain-lain. Walaupun sikap dan pandangan nelayan sangat bervariasi dalam menyikapi kerusakan-kerusakan ekosistem laut pengaruhnya terhadap hasil penangkapan mereka terjadi semacam pro dan kontra. Pengelolaan keseluruhan sumberdaya laut yang tidak terkendali menjadi penyebab utama kerusakan-kerusakan ekosistem, perilaku-perilaku tersebut dilatar belakangi cueknya atau kurangnya masyarakat terhadap pengetahuan akan kelestarian lingkungan. Kepentingan komersial belaka dan persaingan antar atau antara nelayan yang semakin kompetitif sehingga meninggalkan nilai-nilai kearifan. Serta ketiadaan 149 Universitas Sumatera Utara kontrol, pengawasan dan penerapan hukum kelautan formal yang tegas dari pihak pemerintah untuk mengatur, mengawasi dan menindak segala bentuk usaha-usaha pengelolaan bersifat menyimpang dan merusak ekosistem laut. Kemerosotan hasil produksi penangkapan nelayan skala kecil akibat persaingan dan rusaknya berbagai ekosistem laut merupakan faktor-faktor yang mensugesti pola-pola pemanfaatan nelayan tradisional sudah mulai meninggalkan hubungan keselarasan nelayan terhadap alam dan norma-norma tradisional.hal tersebut telah didahului nelayan yang mengaplikasi teknologi penangkapan mutahir, mereka lebih percaya kemampuan fasilitas penangkapan canggih mengatasi segala bentuk halangan rintangan alam walaupun sebagian masih saja mengkombinasikannya. Sehingga pola-pola pemanfaatan, norma tradisional seperti ritus niat tahunan (tolak bala/Jamu Laut) dan pantangan-pantangan yang selama ini masih mewarnai perilaku komunitas nelayan cenderung memudar, meski tidak terkikis sampai habis, masih ada saja nelayan moderen dan tradisional yang percaya akan mitos-mitos, ilmu gaib yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perairan laut. Indikasi terjadinya bahaya pengelolaan sumberdaya laut di lingkungan perairan laut nelayan Kabupaten Serdang Bedagai umumnya dan desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan khususnya sudah terlihat dengan maraknya terjadi persaingan, konflik para nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya laut yang menuju kesenjangan pendapatan antar nelayan sehingga terbentuknya kelas kaya dan miskin dalam komunitas nelayan, perubahan sistem jaringan ekosistem perairan laut yang akan berpengaruh langsung merosotnya stok-stok sumberdaya 150 Universitas Sumatera Utara hayati biota/ikan yang selama ini masih lestari. Akibatnya secara keseluruhan akan mengurangi kualitas hidup komunitas nelayan yang hanya tergantung dari hasil laut. Sementara itu pranata-pranata lokal dan kearifan tradisional nelayan dalam mengarahkan mekanisme pemanfaatan sumberdaya laut di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak terdapat acuan untuk diaplikasikan serta semakin memudar dari tatanan sosial nelayan. Perubahan ekosistem laut dengan indikator perusakan-peruskaan terumbu karang dan hutan mangrove sehingga menimbulkan kemerosotan sumberdaya biota/ikan laut telah mendorong sebagian komunitas turut mengalami perubahan kebiasaan-kebiasaan operasi bahkan merubah alternatif mata pencaharian. Nelayan selama ini masih kental atau rentan terhadap gejala alam (rotasi bulan/simbol-simbol bintang) yang menjadi acuan operasi semakin ditinggalkan, pengaruh angin musim, musim ikan penangkapan tidak atau kurang diperdulikan nelayan lagi baik nelayan tradisional (pukat pantai, jaring, bagan pancang dan lain-lain) dan nelayan skala moderen (bagan boat, pukat cincin dan lain-lain). Khusus nelayan tradisional perilaku tersebut terdorong juga oleh keterdesakan pemenuhan kebutahan primerdan bentuk strategi adaptasi disamping kombinasi bermacam ragam pengaplikasian teknologi penangkapan ikan karena sulitnya untuk berhasil menangkap ikan. Segala cara akan ditempuh, tidak jarang banyak terjadi prilaku menyimpang dalam pemanfaatan tersebut. Sedangkan komunitas nelayan moderen semakin meninggalkan pengaruhpengaruh diatas lebih dikarenakan daya dan kemampuan penerapan teknologi yang diaplikasikan dalam operasi penangkapan sudah mapan untuk tidak dipengaruhi pengaruh-pengaruh fenomena alam walaupun memang masih ada saja yang 151 Universitas Sumatera Utara menyelaraskan teknologi penangkapan mutahir dengan pengetahuan membaca, mengamati dan menganalisa kecenderungan fenomena gejala alam. Keminiman pengetahuan dan ketidak sadaran menjaga kelestarian ekosistem laut yang berkesinambungan dari komunitas nelayan turut berperan memotivasi untuk memanfaatkan segala sumberdaya secara berlebihan dan tidak terkontrol sesuai dengan perilaku yang layak bernuansa kelestarian. Kondisi sosial budaya nelayan yang cenderung terkotak-kotak baik didarat maupun di laut menerapkan beraneka jenis alat tangkapan menjurus kepada perbedaan akan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya laut sehingga sulit menemukan rasa kesatuan sosial diantara mereka, kalaupun ada hanya sebagian kecil saja dari nelayan-nelayan tradisional yang merasa terus menerus dirugikan oleh nelayan-nelayan lainnya. Sementara keberadaan organisasi-organisasi kenelayanan yang bertujuan menampung aspirasi maupun mengurusi perburuan seperti STM nelayan, HNSI dan lain-lain kurang diperdayakan mencari, menyumbangkan solusi-solusi terbaik dalam mengantisipasi atau menjembatani kepentingan-kepentingan nelayan tradisional dengan nelayan moderen dan pengusaha-pengusaha perikanan besar dengan para ABK agar menemukan suatu sistem yang proporsional mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut. Dengan kata lain secara singkat dapat dijelaskan bahwa kerusakan pesisir dan laut yang ada di dua desa ini erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi yang mereka lakukan. Aktifitas ekonomi tersebut berupa: 1. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut terbuka (perikanan tangkap, budidaya tambak, dan kegiatan pengolahan ikan). 152 Universitas Sumatera Utara Bila kegiatan perikanan tersebut selalu di lakukan tanpa melihat kondisi lingkungan maka yang ada hanya sebuah eksploitasi yang berlebihan tanpa ada pemeliharaan, seperti yang tertera pada bab-bab sebelumnya. Seperti contohnya banyaknya tambak-tambak, perkebunan sawit dan lain sebagainya yang dibangun dengan menebang hutan mangrove. Namun untuk tambak yang dibangun tidak dimanfaatkan secara baik, karena tidak menghasilkan lalu ditinggalkan sedemikian rupa oleh pemiliknya. 2. Kegiatan Pariwisata dan rekkreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air. 3. Kegiatan transportasi laut. 4. Kegiatan industri yang memanfaatkan lahan darat tetapi menghasilkan limbah yang dibuang ke laut dalam bentuk limbah cair ataupun limbah padat. 5. Kegiatan industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan lahan laut: pemukiman yang memerlukan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas pelayanan umum serta menghasilkan limbah rumah tangga. Ditambah lagi rendahnya tingkat Sumberdaya Manusia masyarakat pesisir desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan yang masih rendah hal ini terlihat dari: 1. Alat tangkap yang digunakan/teknologi masih jauh dibawah nelayan pendatang meskipun sudah ada yang mencoba mengikuti, namun masih banyak yang menggunakan alat tangkap yang masih berteknologi rendah. 2. Banyaknya nelayan di kedua desa ini masih memiliki modal yang kecil malah ada pula nelayan yang selama hidupnya tetap menjadi nelayan buruh yang hanya selalu membawa kapal pemilik toke. Dan biasanya nelayan ini memiliki 153 Universitas Sumatera Utara ikatan yang sangat erat dengan tokenya, ikatan tersebut berupa hubungan ekonomi (hutang). 3. Bila dilihat dari tingkat pendidikan para nelayan dan anak-anaknya masih banyak yang dibawah SLTP malah banyak nelayan yang tidak tamat Sekolah Dasar ataupun tidak bersekolah sama sekali. Hal ini dikarenakan sedikitnya penghasilan yang mereka peroleh sehari-hari. Sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. B. Saran Untuk kondisi lingkungan yang terjadi di perairan desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan ini ternyata bahwa pengetahuan serta aktifitas ekonomi masyarakat nelayan terhadap sumberdaya laut dan pemanfaatannya sangat bervariasi dari segi penerapan teknologi sangat mempengaruhu kondisi pesisir dan laut secara ekosistemnya. Selain itu faktor persaingan dan konflik turut mewarnai pemanfaatan sumberdaya perairan laut yang sangat dipengaruhi oleh kelestarian potensi-potensi sumberdaya laut tersebut. Dengan kesimpulan tersebut diatas terdapatlah ide-ide berupa saran dimana bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan yang berketaraturan, berdimensi sosial dan menjaga kelestarian ekosistem laut, beberapa alternatif tindakannya adalah: 1. Untuk Ekosistem Mangrove Pengelolaan di lahan-lahan hutan bakau (mangrove) harus diplaning secara matang agar jangan merusak ekosistem laut, lebih dahulu mengkaji pengaruhnya terhadap nelayan sekitar dan lingkungan laut secara umum sebab wilayah hutan bakau ada yang layak untuk direklamasi menjadi tambak udang 154 Universitas Sumatera Utara sebab kurang berfungsi sebagai kawasan penyangga dan pertumbuhan, disamping itu ada yang tidak layak untuk direklamasi sebab fungsinya sangat berguna untuk kawasan pengembangan, penyangga dan pertumbuhan segala jenis makhluk hidup laut. Alangkah baiknya pengelolaan hutan bakau dibuat berdasarkan program khusus yang berdimensi ekowisata yang melibatkan semua pihak, pengusaha, nelayan/masyarakat setempat dan pemerintah, hal ini dilakukan agar semua komponen ikut terlibat dan merasakan bahwa ekosistem mangrove sangat baik untuk lingkungan sekitar. Dan untuk semua program penghijauan ataupun penanaman mangrove yang dilakukan sebaiknya selalu melibatkan secara aktif masyarakat nelayan. Agar penanaman mangrove dapat dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan pesisir desa, karena pastinya yang mengetahui wilayah mana yang perlu ditanam/dihijaukan adalah masyarakat setempat. 2. Untuk Ekosistem Pesisir Dan Laut Khusus di dua wilayah desa pesisir Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan kiranya ada langkah-langkah peningkatan produksi perikanan darat ataupun budidaya tumbuhan selain perikanan laut misalnya budidaya pohon nipah. Hal ini dikarenakan menurut masyarakat sekitar bahwa perairan dua desa ini tidak bagus bila dijadikan tambak udang ataupun kerambah ikan kerapu karena air laut di pesisir mereka kondisinya sedikit payau dan dangkal. 155 Universitas Sumatera Utara Pengawasan undang-undang yang berhubungan dengan pemanfaatan sumderdaya laut, dan alur-alur wilayah penangkapan harus dipertegas agar dalam menghindari perilaku pengrusakan dan persaingan/konflik sesama nelayan dalam mengelola ekosistem laut. Membuat sebuah program pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, dimana program tersebut dicapai melalui tiga komponen penting yaitu Keseimbangan ekologis, keseimbangan pemanfaatan dan keseimbangan dalam pencegahan bencana. Dan program ini sebaiknya dilakukan di semua wilayah pesisir tanpa terkecuali karena pada umumnya seluruh wilayah peisir yang ada memerlukan jenis-jenis program yang bersifat seperti ini. 3. Untuk Pemberdayaan Sumberdaya Masyarakat Pesisir Sumberdaya manusia masyarakat pesisir lebih ditingkatkan melalui pendidikan (pendidikan Formal), diklat, kursus ketrampilan, sosialisasi hukum serta perlunya menjaga ekosistem laut lebih digalakkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir sehingga nantinya komunitas nelayan memiliki kesadaran menjaga kelestarian laut. Dibuat suatu program dimana progam tersebut dibuat berdasarkan pemikiran atas semua masyarakat yang diawasi oleh elemen pemerintah. Program ini bertujuan untuk menyatukan aspirasi dari berbagai kelompok-kelompok nelayan mulai dari nelayan besar hingga nelayan kecil atau yang biasanya 156 Universitas Sumatera Utara disebut nelayan tradisional demi keberlangsungan dan kemajuan perekonomian masyarakat nelayan. Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut akibat moderenisasi yang telah menimbulkan eksploitasi berlebihan (over fishing) maka sebaiknya jenis moderenisasi yang dilakukan harus tepat guna dan tetap memperhatikan kemampuan masyarakat lokal yang dibangun tanpa mengikis struktur tradisional seperti nilai budaya yang mendukung upaya pelestarian lingkungan sehingga moderenisasi berjalan dengan baik yang selaras dengan alam serta nilai budaya masyarakat tersebut. Otoritas kepemilikan lokasi penangkapan berpranata tradisional atau formal untuk memproteksi nelayan-nelayan yang masih tradisional perlu disosialisasikan dalam masyarakat nelayan perikanan pantai agar menghindari persaingan terbuka yang akan mematikan teknologi penangkapan tersbut. Dari rasa kepemilikan itu sehingga menimbulkan kepedulian nelayan. Dalam pemberian bantuan, hendaknya betul-betul sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan nelayan. Serta adanya pembinaan secara berkesinambungan atau terus menerus terhadap nelayan dan kepastian hukum yang pasti dalam pengelolaan pesisir. 157 Universitas Sumatera Utara