56 BAB III PENGETAHUAN DAN AKTIFITAS PENGELOLAAN

advertisement
BAB III
PENGETAHUAN DAN AKTIFITAS PENGELOLAAN MASYARAKAT
NELAYAN TERHADAP EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT
Daerah pinggir laut atau wilayah darat yang berbatas langsung dengan bagian
laut disebut sebagai pantai. Pantai bisa juga didefinisikan sebagai wilayah pertemuan
dari dua segi yang berlawanan, yakni:
-
Dari segi daratan
Pesisir adalah wilayah daratan sampai wilayah laut yang masih dipengaruhi
sifat-sifat darat (seperti: angin darat, drainase air tawar dari sungai, sedimentasi)
-
Dari segi laut
Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi sifatsifat lau (seperti: pasang surut, angina laut, salinitas, intrusi air ke wilayah
daratan)
Adapun fungsi laut bagi bangsa Indonesia menurut hasil yang dicapai dalam
seminar laut nasional menyebutkan antara lain:
1. Sebagai media komunikasi dan transportasi
2. Sebagai sumber mineral dan hasil-hasil tambang
3. Sebagai sumber daya hayati laut yang dapat menghasilkan sumber protein
konsumtif di samping protein hewani yang berasal dari ternak potong dan nabati
didaratan.
4. Sebagai media pertahanan dan keamanan nasional
5. Sebagai media olahraga dan sarana pariwisata yang mampu menghasilkan
devisa Negara
56
Universitas Sumatera Utara
6. Sebagi sumber ilmu pengetahuan. (Wibisono: 2005)
Selain fungsi pesisir pantai dan laut seperti yang tertera diatas, pesisir pantai dan
laut juga memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar. Seperti halnya dengan
pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Potensi wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
yang memiliki garis panjai sepanjang 545 km berupa berbagai jenis ikan diantaranya:
ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, dan berbagai macam jenis udang-udangan.
Wilayah pesisir Pantai Sumatera Utara yang terdiri dari 7 kabupaten yaitu: Kabupaten
Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan
Batu, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran baru dari
kabupaten induk yaitu kabupaten Deli Serdang dengan luas 1999,2 km2. Kabupaten
Serdang Bedagai berbatasan langsung dengan Selat Malaka di Utara, kabupaten
Simalungun di Selatan, Deli Serdang di sebelah barat dan kabupaten Asahan dan
Simalungun di sebelah timur. Panjang garis pantai sepanjang 95 km mencakup lima
kecamatan yaitu: Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan
Bandar Khalifah.
Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin dan desa Pantai
Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin adalah wilayah pesisir kabupaten Serdang
Bedagai yang memiliki potensi kekayaan hayati laut yang sangat besar namun sampai
saat ini belum dikelola secara baik. Karakteristik ekosistem laut mewarnai geografis
wilayah ini, paling tidak ada tiga jenis bentuk ekosistem laut diantaranya ekosistem
hutan bakau (mangrove), muara sungai (Estuaria), dan Terumbu karang (Coral Reef).
57
Universitas Sumatera Utara
Penyebaran ekosistem laut tersebut terkonsentrasi dan terbagi di berbagai tempat di dua
wilayah ini.
A. Ekosistem Mangrove (Bakau)
Kawasan populasi hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi
pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu
tergenang air dikenal masyarakat dengan sebutan hutan bakau. Bakau menjadi salah
satu lokasi masyarakat desa beraktifitas mencari biota-biota laut, menjaring ikan,
menebang pepohonan bakau, mengambil daun nipah, sarana transportasi, kayu
gelondongan, dan tempat pengelolaan budidaya udang.
Pesatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan ekonomi
menimbulkan kawasan bakau yang menyimpan keanekaragaman hayati dan sebagai
pusat kawasan pertumbuhan flora dan fauna laut (Nursery Groud) semakin menyempit
terdegradasi oleh eksploitasi masyarakat terhadap sumberdaya didalamnya. Biota-biota,
ikan dan tumbuhan bakau yang beranekaragam jenis telah dimanfaatkan penduduk
sekitar untuk bermacam-macam keperluan sehari-hari antara lain dikonsumsi, obat,
bahan bangunan dan bahan bakar.
Penduduk setempat sebenarnya memahami fungsi bakau, namun mereka tidak
begitu menghiraukan keberadaan bakau yang sangat bermanfaat dan hanya aktif
menggali, mencari dan mengambil jenis hewan, tumbuhan bermanfaat untuk kebutuhan
ekonomi atau konsumsi mereka tanpa memikirkan pengaruh merosotnya kelestarian
kawasan ekosistem mangrove (bakau) sebagai daerah pertumbuhan. Pemahaman
masyarakat tentang bakau sesungguhnya sudah sangat jelas. Bentuk pemahaman itu
terlihat ketika mereka mengatakan bahwa hutan bakau adalah kumpulan pepohonan
58
Universitas Sumatera Utara
yang hidup di sekitar tepi pantai, di pinggr muara atau bahkan dipinggir sungai yang
dengan dengan muara yang didalamnya sering terdapat binatang-binatang tertentu
seperti biawak, ular bakau, ketam dan lain-lain. Menurut sebahagian masyarakat di
kedua desa hutan bakau memiliki banyak fungsi yang diantaranya adalah sebagai:
-
Tempat ikan serta udang bertelur dan juga merupakan tempat ketam bakau
berkembang biak.
-
Benteng yang mencegah tanah dari erosi yang disebabkan oleh arus
sungai/paluh atau akibat pasang surutnya air laut.
-
Sumber bahan bangunan dan bahan kayu bakar.
Selain daripada itu yang namanya hutan bakau (mangrove), pepohonan yang ada
didalamnya harus terdiri dari pepohonan yang biasanya berupa pohon bakau
(Rhizopora), api-api (Avicenia), lenggadai, tengat dan lainnya. Menurut sebagian
informan bahwa sebuah hutan bakau biasanya akan terdapat didalamnya berbagai
hewan serta beberapa jenis ikan seperti ikan belacak. Di kawasan hutan bakau yang
terendam oleh air laut maupun sungai akan terdapat berbagai jenis hewan air seperti
udang-udangan, kepiting, dan berbagai jenis ikan-ikanan.
Dalam banyak kajian diterangkan bahwa hutan bakau memiliki beberapa fungsi
yaitu:
1. Perlindungan Pantai dengan ciri pohon-pohon yang kuat dan berakar banyak
berfungsi sebagai peredam ombak dan mempercepat pengendapan yang dibawa
oleh sungai-sungai sekitarnya. Tanaman mangrove dapat berfungsi sebagai
penahan abrasi, pelindung pemukiman penduduk dan sarana perhubungan
(jalan).
59
Universitas Sumatera Utara
2. Pengendalian banjir yang ditandai dengan banyaknya pohon yang ada
didalamnya dan fungsi ini akan hilang apabila tanaman ditebang.
3. Penyerapan bahan pencemaran yang bisa berupa gas buangan industri,
kendaraan dan lainya.
4. Sumber energi lingkungan perairan.

Daun tanaman mangrove berguguran, oleh jasad-jasad mikro diurai menjadi
komponen bahan organik, menjadi sumber makanan bagi biota perairan
seperti kepiting, udang dan sebagainya.

Bagi daerah hutan bakau di sepanjang pantai akan merupakan daerah
perawatan udang.
5. Penunjang kondisi lingkungan yang ditandai banyaknya manfaat hutan bakau
bagi manusia dengan penggunaan peralatan yang baik dan dapat dikonservasi
untuk menunjang program ekstensifikasi tambak maupun budidaya laut.
6. Sumber produksi kayu, dan ini diperjelas dengan kenyataan bahwa sejak dahulu
hutan bakau telah dieksploitasi untuk berbagai macam kegunaan, yaitu kayu
baker, arang, bahan balu pulp/kertas, bahan penyamak dan bahan bangunan.
7. Sumber produksi akuatik. Hal ini terjadi dikarenakan ekosistem mangrove
terkenal sebagai penghasil bahan organik, yang merupakan mata rantai jaringan
makanan di daerah patai, tempat bertelur dan memijah binatang perairan (ikan,
udang) dan tempat berlindung (suaka alam) berbagai jenis binatang (burung,
kalong, dan binatang mamalia lainnya).
60
Universitas Sumatera Utara
8. Sumber rekreasi. Hutan mangrove merupakan tempat rekreasi yang nyaman
untuk olah raga pancing, berperahu dan rekreasi burung (seperti burung
pemakan ikan: Belekok rawa, Pecuk ular, trinil dan lainnya)
9. Sumber Pelindung. Hutan mangrove memberikan perlindungan terhadap angina
dan gelombang ombang sehingga dibelakangnya terhindar dari erosi pantai.
(Dahuri: 2000)
Menurut masyarakat di kedua wilayah ini, kira-kira tahun 1980-an kondisi hutan
Mangrove (bakau) masih sangat baik, hutan bakau masih sangat lebat dengan berbagai
jenis tumbuhan mangrove didalamnya. Namun saat ini hutan tersebut sudah tidak ada
lagi, saat ini yang ada hanya tumbuhan jenis nipah, api-api dan tumbuhan yang dapat
hidup dalam kondisi air payau. Bakau yang berguna untuk perlindungan terhadap
ombak laut sudah hampir habis, keberadaannya hanya tinggal beberapa saja yang masih
hidup.
Kondisi hutan mangrove di kedua wilayah sekitar tahun 1980-an terkesan begitu
asri dan alami. Namun keadaan seperti itu tidak bisa dipertahankan dan pada akhirnya
kemunculan tambak, pembangunan perumahan, perkebunan kelapa sawit serta
perkembangan pariwisata berakibat penebangan dan penggundulan hutan bakau.
Penebangan itu sendiri tidaklah dilakukan secara langsung melainkan tahap demi tahap.
Pada mulanya hutan bakau yang ditebangi hanyalah yang berada disekitar wilayah
pemukiman penduduk dan kemudian semakin meluas hingga akhirnya habis.
A. 1. Pengumpul Daun Nipah
Ada beberapa warga di dua desa ini yang memanfaatkan daun nipah sebagai
penambah penghasilan ekonomi mereka. Pekerjaan pengumpul daun nipah (Nypa
61
Universitas Sumatera Utara
puticans) yang tumbuh menyebar, mengelompok di daerah pasang surut dilakukan oleh
sebagian warga yang berketrampilan merajuk daun sehingga membentuk atap yang
berguna bagi atap rumah, dan tankahan.
Ada beberapa warga di desa Pekan Tanjung Beringin malah memiliki kebun
pohon nipah yang sengaja ditanami di belakang rumah mereka. Pohon nipah ini ditanam
karena menurut mereka pohon tersebut mudah ditanam dan perawatannya tidak begitu
sulit. Sekaligus pohon nipah tersebut bisa dijadikan penambah penghasilan bila hasil
laut tidak mencukupi. Namun banyak diantara para warga masyarakat di dua desa ini
mengambil langsung daun nipah tersebut langsung dari lahan-lahan hutan yang ada
didua desa tersebut. Mereka biasanya melaksanakan pengambilan daun ketika siang hari
dan ketika air surut. Biasanya yang melakukan pengambilan daun nipah ini adalah para
perempuan beserta anak-anaknya dengan peralatan sederhana yaitu parang, tali dan
beberapa kain sebagai alas pundak atau kepala ,mereka ketika mengangkat daun nipah
tersebut
Setelah daun nipah terkumpul dirasa cukup maka periode berikutnya daun nipah
dijalin membentuk atap bertulang bambu agar daun tersusun rapi, kemudian dijahit
dengan tali pelastik maka terbentuklah sebuah atap yang siap dipasarkan dengan harga
perlembar atap Rp. 1000-2500 tergantung kondisi nipah yang telah di bentuk tersebut.
Para konsumen yang membeli tidak serta merta tiap hari ada. Mereka biasanya
menunggu sampai dihargai atau dibeli oleh para peminat yang datang langsung ke
tempat mereka tetapi tidak jarang pula mereka harus memasarkannya ke desa tetangga
dengan menggunakan sepeda atau mereka langsung membawanya ke pasar terdekat.
62
Universitas Sumatera Utara
A.2. Penebangan dan Pemanfaatan Hutan Bakau
Saat ini di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada lagi
hutan yang khusus dijadikan wilayah hutan lindung bakau (PPA) yang tidak boleh di
ganggu dan dirusak. Hal tersebut dikarenakan wilayah hutan pada saat ini memang
sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya pohon-pohon yang dapat hidup diperairan payau
saja seperti pohon nipah, bakau jenis api-api, dan berbagai tumbuhan yang tahan
terhadap air payau. Pada awalnya, penebangan hutan bakau adalah untuk dijadikan areal
tambak saja namun karena tambak-tambak yang dibangun tersebut lambat laun tidak
menghasilkan lagi maka areal tersebut secara berlahan dirubah menjadi perkebunan
kelapa sawit. Pepohonan bakau yang tersisapun tidak lebih dari satu lapis tanaman
semata. Selain itu bila semakin menuju kearah daratan, sekarang ini perkebunanperkebunan juga dapat dijumpai semakin banyak. Hal ini mengakibatkan pemukiman
penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan dikelilingi oleh
perkebunan kelapa sawit, dan khususnya di desa Pantai Cermin Kanan yang saat ini
merupakan salah satu tempat yang sedang dikembangkan oleh Kabupaten untuk
pengembangan wisata. Menurut masyarakat setempat pembangunan objek wisata di
desa Pantai Cermin tersebut juga telah melakukan penebangan hutan bakau yang ada
untuk kepentingan pengembangan objek wisata tersebut. Seperti penuturan Ibu Tumini
(desa Pantai Cermin):
“Dulu sebelum kawasan pantai wisata belum dibangun, hutan bakau masih ada
disekitar sana, meskipun sedikit tapi masih bisa digunakanlah untuk mengambil
kayunya, atau daun nipah sekalian juga bisa untuk melindungi desa ini dari
ombak sama angin.”
63
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan hutan bakau bagi masyarakat didua wilayah tersebut bukan hanya
sekedar lokasi aktifitas pencaharian biota-biota laut atau ikan semata. Tidak menjadi
rahasia lagi bagi para warga, kayu bakau banyak berguna untuk berbagai kebutuhan
masyarakat seperti pembuatan pondasi bangunan, arang, kayu bakar dan lainya.
Dahulu ketika keberadaan hutan masih sangat lebat dan asri, komersialisme
kayu bakau sangat menggiurkan bagi masyarakat hingga saat ini. Sehingga mendorong
masyarakat semakin menebangi pohon bakau. Sebatang pohon bakau yang standar saat
ini mempunyai harga mencapai Rp 10.000-12.000/batang, panjang 5m dan diameter20an cm. Dengan peralatan kampak atau parang mereka mengadakan penebangan
walaupun berbagai resiko yang dihadapi. Untuk kayu arang atau pondasi bangunan
biasanya standar yang harus dipunyai pohon bakau tersebut harus lebih bagus lagi.
Sebab akan menentukan hasil arang atau ke kokohan pondasi bangunan. Pemasaran
kayu bakau tergantung permintaan oleh para penampungnya.
Selain kedua jenis penggunaan di atas kayu bakau yang kecil atau ranting yang
sudah kering dijadikan untuk kayu bakar, dikumpulkan sampai banyak lalu dijual per
ikatnya seharga Rp 1500 kepada para pembeli yang datang langsung atau dibawa ke
pasar saat hari onan (pasar) tiba, bagian kayu yang kecil dan lurus terkadang dibuat
pagar pekarangan rumah dan lantaran penjemur ikan.
Perambahan hutan bakau saat ini sudah diatur oleh pemerintah dalam Undangundang No. 5 tahun 1990, tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dimana tercantum pelarangan terhadap pengerusakan hutan bakau.
Udang-undang ini diberlakukan karena melihat keberadaan hutan pesisir pantai yang
64
Universitas Sumatera Utara
sudah sangat buruk kondisinya dan untuk memelihara dan melindungi hutan yang masih
ada saat ini.
Masyarkat menyadari akan pelarangan tersebut namun bagi sebagian warga
yang masih tergiur akan nilai ekonomisnya dan kurangnya bahan laut saat ini serta
kurang tersedia lapangan pekerjaan yang lain bagi mereka, dengan cara apapun tetap
melaksanakan penebangan walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi saat ini
intensitasnya telah menurun sebab telah berkurangnya lahan pohon bakau yang
berstandar ekonomis dan juga pihak pemerintah setempat mengontrol dengan ketat
lahan-lahan bakau yang tersisa. Seperti penuturan bapak Bahtiar (desa Pekan Tanjung
Beringin):
“Sudah sekitar 5 tahun terakhir pemerintah membuat larangan itu. Hasilnya
penebangan lama-lama makin berkurang. Tapi aku rasa sia-sia aja karena
hutan bakaunya udah habis duluan baru ada pelarangan. Itukan sama aja
dengan bohong”
Dilihat dari keberadaan bakau di dua wilayah ini yang sudah sangat kritis,
terlihat bahwa masyarakat tidak ambil pusing atas masalah ini. Dan pemerintah
sepertinya hampir terambat mengatasinya.
A. 3. Pertambakan Dan Perkebunan Sawit
Potensi lahan hutan mangrove merupakan lirikan para pengusaha untuk
menanamkan investasi pertambakan udang, karapu dan perkebunan secara besar dan
profesional dengan dukungan modal, tenaga ahli pembudidayaan tambak dan kelapa
sawit serta tenaga-tenaga buruh padat karya yang berfungsi merawat, mengawasi
sampai usaha tersebut menghasilkan. Namun saat ini pertambakan kerapu di dua desa
65
Universitas Sumatera Utara
ini sudah sejak lima belas tahun yang lalu sudah tidak produktif lagi. Hal ini
dikarenakan kondisi air laut yang menurut para nelayan sudah tidak cocok lagi untuk
dijadikan pertambakan kerapu. Air laut disekitar pesisir sudah menjadi tawar akibat
pengikisan air laut yang sudah mencapai daratan sehingga aliran air sungai yang ada di
desa tersebut mempengaruhi kondisi air laut. Dan yang dapat di budidayakan hanyalah
budidaya tambak udang.
Sarana pertambakan udang yang ada hanya ada di desa Pantai Cermin Kanan.
Sementara di desa Pekan Tanjung Beringin sudah tidak ada lagi pertambakan apapun.
Dahulu setidaknya keberadaan tambak udang dan kerapu mempengaruhi masyarakat
setempat untuk ikut membudidayakannya, tentunya bagi mereka yang mempunyai
kesanggupan modal.
Saat ini lahan yang dikelola secara produktif untuk tambak udang air payau yang
ada di desa Pantai Cermin Kanan ada sekitar 10 ha dari 25 ha lahan yang potensial.
Pada tahun 2006 produksi usaha tambak udang tersebut kira-kira 14 ton dari 10 ha yang
produktif tersebut. Hal tersebut menggambarkan bahwasanya bila seluruh lahan yang
potensial (25 ha) di kelola secara baik dan terpadu maka produksi untuk tiap tahunnya
pastilah akan memberikan hasil yang sangat tinggi bagi kondisi dan perekonomian
kabupaten Serdang Bedagai pada umumnya.
Sementara perkebunan kelapa sawit adalah usaha yang terbanyak yang saat ini
dilakoni oleh para pemilik modal. Hampir separuh luas wilayah perkebunan tersebut
menutupi desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan. Hal tersebut
terlihat dari sepanjang jalan yang menuju kedua wilayah ini terbentang luas hamparan
kelapa sawit. Menurut para masyarakat pembangunan perkebunan yang dilakukan di
66
Universitas Sumatera Utara
dua desa ini sudah optimal dilakukan, karena sumbangan pajak terbesar adalah berasal
dari perkebunan kelapa sawit tersebut. Dan ketika pembangunan kelapa sawit banyak
sekali hutan-hutan bakau yang ditebang oleh para pemodal tersebut.
Pembudidayaan udang dan Perkebunan kelapa sawit telah menyempitkan tempat
aktifitas nelayan tradisional hutan bakau dalam berburu biota atau ikan yang
bermanfaat. Akar-akar bakau sebagai lokasi pengembangan mengalami disfungsi begitu
juga dengan sarang ketam, kerang-kerangan ikut terbongkar oleh mesin-mesin
pembukaan areal pertambakan dan perkebunan.
A. 4. Organisasi Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove
Masyarakat nelayan di dua daerah ini umumnya tidak mengenal organisasi yang
mengelola lahan-lahan bakau semenjak dahulu sampai sekarang. Masyarakat bebas
beraktifitas di lokasi-lokasi yang memang dianggap sebagai lahan mata pencarian
sebelum masuknya kepemilikan beserta investasi para pengusaha maka terjadilah
perpindahan tangan atas otoritas kepemilikan suatu kawasan hutan bakau.
Pranata-pranata desa sebagai lembaga yang mengatur akivitas budaya
masyarakat tidak menyentuh kepada kepedulian aturan main dalam suatu eksploitasi
sumberdaya laut. Termasuk hutan mangrove, lingkungan seakan independen dalam
pandangan pemangku adat atau ketua-ketua agama. Tetapi tidaklah murni aturan main
dalam masyarakat pesisir tidak menyentuh sama sekali akses kelingkungan hidup.
Dahulu aturan melarang aktifitas perikanan pada waktu-waktu tertentu saat hari jum’at
dengan sangsi adapt pengucilan dari komunitasnya setidaknya berkolerasi terhadap
masyarakat desa berinteraksi mengelola lingkungan laut termasuk hutan-hutan bakau.
Namun saat ini norma-norma tersebut telah longgar, memudar dari hati nurani
67
Universitas Sumatera Utara
masyarakat
disebabkan
perubahan
konstelasi
kebudayaan
dari
masyarakat
bersangkutan, sejalan dengan krisis kemerosotan produksi sumberdyaa, moral
masyarakat dan perkembangan teknologi yang semakin bersaing di antara komunitas
masyarakat itu sendiri.
Pranata masyarakat nelayan termarjinalisasikan beserta norma adat, agama yang
selama beberapa dekade masih mewarnai kehidupan masyarakat pantai. Akhirnya
rumah tangga individu-individu yang berusaha mengatur dirinya sendiri tanpa campur
tangan norma yang ada menjadikan masyarakat pantai menjadi tanpa kesatuan sosial,
hal tersebutlah yang menumbuhkan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya pesisir
dan laut serta hutan bakau. Hutan Mangrove (bakau) pada dasarnya bukanlah
kepunyaan semacam hak pribadi masyarakat tetapi telah mengalami polarisasi
kepemilikan dan kepentingan orang-orang yang mengelolanya.
Telah banyak lahan-lahan mangrove yang berubah fungsi menjadi tempat
budidaya udang, pemukiman penduduk, dan pemabangunan perkebunan kelapa sawit
yang terlebih dahulu lahan-lahan bakau ditebang lalu ditimbun dengan tanah. Dengan
demikian kawasan bakau sebagai tempat keanekaragaman flora dan fauna semakin
teracam punah yang akan berakibat langsung kepada aktifitas penangkapan ikan,
pencarian biota yang menjadikan hutan bakau sebagai mata pencaharian sehari-hari atau
tambahan para nelayan setempat.
Masyarakat nelayan yang ada di dua wilayah ini cenderung memiliki persepsi
yang bertolak belakang tentang keberadaan mangrove. Menurut sebahagian dari mereka
yang tidak begitu peduli akan keberadaan bakau ekosistem mangrove tidaklah begitu
68
Universitas Sumatera Utara
penting keberadaanya bagi warga dan sama sekali tidak mempengaruhi ekosistem
sumberdaya laut. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Suhairi (Pekan Tanjung Beringin):
“ Hutan bakau sebenarnya enggak ada pengaruhnya sama bahan-bahan
laut. Karena ikan, udang sama kepiting tetapnya ada walaupun enggak
ada bakau. Karena bakau untuk melindungi pantai aja kok fungsinya.”
Hampir senada pula dengan perkataan Bapak Anwar (Pantai Cermin Kanan):
“Mana mungkin ikan-ikan, udang atau kepiting berkembang biak di
hutan bakau. Buktinya aja sekarang enggak ada lagi hutan bakau, tapi
tetap ada kok ikan, udang sama kepiting. Malah kadang-kadang makin
banyak pun”
Pelarangan penebangan yang ada saat ini adalah oleh pemerintah. Dengan
kekuasaan yang dimilikinya pemerintah bisa membuat keputusan hutan bakau di daerah
mana yang bisa ditebangi dan mana yang tidak. Selama ini peran pemerintah mulai
tampak dalam menjaga kelestarian hutan bakau di dua desa ini, namun tidak jarang pula
pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak udang terlihat dilakukan oleh oknumoknum pemerintah itu sendiri. Peraturan untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau
yang dianjurkan pemerintah melalui aparat-aparatnya sedikit yang masih dipraktekkan.
Dan ada kalanya anjuran tersebut malah tidak dijalankan.
B. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Dan Laut
Trumbu karang di perairan dua wilayah ini, oleh masyarakat nelayan setempat
sudah lama dikenal. Mereka mengenal trumbu karang dengan pengertian bahwa trumbu
karang adalah kelompok karang-karang laut yang berada ditengah laut dan yang
ditumbuhi berbagai macam rumput laut atau tumbuhan laut lainnya atau biasa disebut
69
Universitas Sumatera Utara
hutan laut, yang merupakan sarang atau rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang,
yang ada di dasar laut.
Selain hutan laut masyarakat juga menamakan terumbu karang sebagai pondasi
pulau sebab dimana terdapat pulau pasti terdapat juga gugusan trumbu karang, ditambah
lagi masyarakat nelayan sering juga menyebut terumbu karang sebagai rumah ikan yang
berada di dasar laut atau dapat juga ke permukaan membentuk pulau karang yang
sewaktu-sewaktu sangat rawan bagi pelayaran kapal-kapal, sebab kapal mereka bisa
mengalami kandas di karang tersebut.
Gugusan karang merupakan lokasi-lokasi ikan-ikan, biota laut untuk mencari
makanan, bermain dan berkembang biak (berpijah). Hampir seluruh jenis ikan akan
datang mengunjungi kawasan karang, dan cirri khas yang dengan demikian itu makna
masyarakat banyak memanfaatkan daerah terumbu karang sebagai lokasi operasional
perburuan jenis-jenis ikan konsumsi, ikan hias, serta memanfaatkan biota-biota yang
terdapat di daerah tersebut.
Karang yang berada dilaut terbagi atau dibedakan juga berdasarkan jenisnya
yaitu:
1. Sebutan dengan jenis karang Gadung (karang gedung) karena biasanya karang
ini berbentuk besar dan luas.
2. Sebutan dengan jenis karang bunga. Disebut demikian karena karang ini terdiri
dari berbagai macam tumbuhan atau bunga-bunga laut.
Karang gadung, karang bunga (bunga karang) dan tumbuhan laut seperti jariamun, akar
bahar dan anemone bersosialisasi membentuk terumbu karang yang memiliki asset
keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi bermanfaat bagi nelayan maupun
70
Universitas Sumatera Utara
bagi keseimbangan ekosistem lingkungan laut. Karang gadung sudah banyak digunakan
sebagai bahan-bahan bangunan, pembuatan jalan, kapur dan lainnya. Karang bunga
lebih banyak digunakan untuk hiasan rumah tangga, perkantoran dan lainya. Sedangkan
jenis tumbuhan laut juga berguna sebagai bahan obat-obatan yang aktif dan mujarab
diramu masyarakat nelayan.
Kelompok karang bunga tumbuh diatas karang gadung, memerlukan waktu yang
sangat lama untuk mewujudkan bentuk pendukungnya. Sekuntum bunga karang
memerlukan waktu setahun untuk tumbuh setinggi 1 cm, dengan bentuk fisik setiap 1
cm2 bulat melingkar, berlubang-lubang kecil atau pori-pori (Spoon) Yang menandakan
umur bunga karang. Semakin besar kuntum bunga, semakin jelas garis-garis spoonya,
berarti hampai sama dengan lingkaran tahun yang menentukan umur pada pohon-pohon
di daratan namun pada karang sangat sulit menentukan umur kumpulan bunga karang,
sampai saat ini belum terjawab secara ilmiah. Proses pengguguran alamiah dari bunga
karang dan langsung berganti dengan tunas yang baru tumbuh, begitu seterusnya
pertumbuhan bunga karang. Versi biologi laut terumbu karang dibentuk binatangbinatang karang hermatypik yang hanya hidup pada perairan kaut tropis. (Saptarni dkk,
1996.II.10 dalam Syamsuri Sulham, 2000).
Terumbu karang senantiasa rentan terhadap kerusakan, kerusakan alamiah lebih
disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti terjadinya badai lautan yang menimbulkan
gelombang air besar sehingga arus air menerpa bunga-bunga karang, biasanya setelah
badai reda serpihan-serpihan bunga karang akan terlihat terdampar di tepi pantai.
Namun karang gadung tahan akan terpaan arus laut sehingga sulit untuk mengalami
kerusakan tanpa disengaja untuk mengusiknya, kemampuan untuk melawan gelombang
71
Universitas Sumatera Utara
arus laut tersebut sangat penting bagi masyarakat pesisir pantai guna melindungi bahaya
abrasi daratan atau laut yanbg sering ditimbulkan gelombang laut. Kerusakan terhadap
terumbu karang yang lebih tinggi adalah oleh pencemaran perairan, pertambangan dan
penerapan metode atau alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif.
Berdasarkan penelitian ilmiah pencemaran perairan penyebabnya adalah limbah
logam-logam hasil endapan pemakaian pupuk pertanian (revolusi hijau), limbah pabrikpabrik yang mengalir dari hulu sungai menuju perairan laut serta endapan erosi lumpur
atau tanah akibat banjir yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang. Disamping
itu limbah hasil rumah tangga yang langsung menuju laut, limbah industri perikanan
dan akibat kegiatan pariwisata bahari dengan penyelaman bawah laut yang berlebihan
seluruhnya unsure-unsur diatas dapat mengganggu kelestarian ekosistem laut khususnya
terumbu karang (Syamsuri Sulhan, 2000).
Nelayan yang selalu beraktifitas di lokasi karang memiliki kontribusi untuk
merusak kawasan terumbu karang dengan penerapan penangkapan ikan yang
menggunakan zat-zat kimia, pemboman, dan pengoperasian pukat harimau (trawl) yang
selama ini menggunakan alat panel besi jarring yang dapat meratakan haling rintang
karang sehingga jaring tidak mengalami kerusakan saat melewati gugusan karang.
Sebaliknya nelayan tradisional dengan penerapan alat tangkap seadanya seperti pancing,
perangkap, atau bubu/lukka setidaknya tidak menggangu kehidupan karang-karang
sehingga dapat membantu kesinambungan pelestrian kawasan terumbu karang sebagai
wilayah penangkapan utama mereka.
72
Universitas Sumatera Utara
Saat ini keberadaan trumbu karang di kedua desa ini sudah sangat
menghawatirkan. Di Tanjung Beringin kawasan lokasi trumbu karang yang masih baik
ada di Pulau Berhala. Pulau ini memiliki kekayaan alam yang masih alami berupa
keindahan trumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati
yang tinggi serta menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Pulau Berhala tersebut
masih alami karena pemerintah daerah Serdang Bedagai secara berkala mengawasi dan
melindungi lokasi tersebut guna untuk melindungi sumber daya alam yang ada ditempat
tersebut. Sementara di desa Pantai Cermin Kanan kondisi trumbu karang menurut
masyarakat setempat sudah tidak ada lagi.
Rusaknya lokasi-lokasi trumbu karang dimulai sejak 15-tahun terakhir dan
dikarenakan oleh banyaknya nelayan luar dan nelayan setempat yang menangkap ikan
dengan menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan zona yang telah ditentukan.
Para nelayan tidak segan-segan menerapkan metode penangkapan dengan berbagai alat
tangkap yang menggunakan teknologi canggih. Biasanya nelayan luar yang datang
melaut ke wilayah tersebut adalah nelayan yang berasal dari Belawan, Tanjung Balai,
dan dari luar pulau Sumatera. Mereka rata-rata menggunakan kapal yang sangat besar
dengan alat tangkap berteknologi tinggi. Mereka melaut di wilayah Serdang Bedagai
dikarenakan kondisi laut di tempat mereka sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka atau dengan kata lain kondisi laut di wilayah mereka
sudah rusak total, sehingga mereka pergi ketempat lokasi yang masih memiliki kondisi
laut yang masih memiliki banyak ikan.
73
Universitas Sumatera Utara
B. 1. Organisasi Dan Aturan Formal Terhadap Trumbu Karang
Secara umum, masyarakat nelayan di kedua wilayah tersebut tidak mengetahui
organisasi-organisasi yang mengatur tentang keberadaan dan kelestarian trumbu karang.
Mereka hanya tahu bahwa pemerintah saja yang saat ini melarang penangkapan ikan
yang ada disekitar trumbu karang, hal ini terutama ada didesa Pekan Tanjung Beringin.
Sementara di desa Pantai Cermin Kanan yang tidak ada lagi memiliki trumbu karang
yang masih bagus kondisinya tidak tahu sama sekali tentang larangan tersebut. Trumbu
karang yang kondisinya masih bagus hanya terdapat di satu wilayah saja yaitu di
perairan Tanjung Beringin. Trumbu karang tersebut sudah dilindungi oleh pemerintah
daerah sekitar tahun 1995-sampai sekarang. Pelarangan tersebut dilakukan guna untuk
melindungi suatu pulau kecil yang ada pada batas yang berdekatan dengan negara
Malaysia. Pulau tersebut bernama Pulau Berhala, dimana menurut rencana
pembangunan daerah kabupaten akan dijadikan sebagai tempat wisata bahari.
Pranata di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak
memiliki andil dalam mengatur pengelolaan sumberdaya laut baik trumbu karang atau
hutan mangrove. Sebab pranata masyarakat lebih terfokus dalam peranan seremoni adat
istiadat daripada mengurusi pengelolaan sumber daya dan pelestariannya. Ketiadaan
organisasi pengelolaan baik organisasi berdasarkan adat (manajemen tradisional),
orospol, LSM dan organisasi formal pemerintah yang memotavasi mekanisme
pengelolaan
berkelanjutan
mengakibatkan
nelayan-nelayan
kurang
memahami
tindakannya.
74
Universitas Sumatera Utara
Aparat desa tidak mampu berbuat banyak dalam mencegah para nelayan yang
merusak karang dengan alat tangkap mereka, begitu juga nelayan setempat tidak
mempunyai keberanian bertindak terhadap aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan luar
dilokasi yang seharusnya tidak cocok untuk alat tangkap mereka. Nelayan setempat
berperinsip asalkan mereka tidak mengganggu alat tangkap nelayan setempat.
B. 2. Wilayah Penangkapan atau jalur Penangkapan
Secara umum komunitas nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan nelayan desa
Pantai Cermin Kanan tidak mengenal atau batas-batas wilayah pengelolaan. Proses
perburuan sumber daya laut lebih tergantung kepada kemampuan penerapan teknologi
penangkapan nelayan di perairan, hal ini terbukti bila ikan timbul pada zona nelayan
pantai 3-4 mil laut masih saja banyak terlihat pukat-pukat moderen seperti pukat cincin,
bagan boat ber GT 40-60 yang bebas beroperasi menangkap ikan sementara alat
tangkap tradisional seperti bagan pancang, pukat tepi, jaring salam dan lain-lain tidak
dapat berbuat apa-apa hanya melihat, mengomentari perilaku-perilaku nelayan moderen
tersebut.
Pemerintah melalui dinas perikanan sebenarnya telah mengeluarkan aturan
zona-zona batas wilayah penangkapan bagi para nelayan sebagai katub pengaman
berdimensi publik dalam rangka untuk pelestarian sumber daya laut dari kecenderungan
eksploitasi yang berlebihan, disamping bertujuan untuk melindungi kepentingan
nelayan-nelayan
kecil.
Maka
surat
keputusan
Menteri
Pertanian
No.
607/Kpts/Um/9/1976 yang diperkuat Undang-undang No. 329/Kpts/IK.120/4/1999
tersebut secara mekanik berfungsi menghindari konflik kepentingan diantara pihak-
75
Universitas Sumatera Utara
pihak yang berkompoten dalam mengeksploitasi potensi sumber daya laut melalui
pengaturan jalur-jalur operasi penangkapan ikan. Pengaturan jalur-jalur penangkapan
tersebut berhubungan dengan wilayah (Non ZEE) yang dapat digali dan penggunaan
kapal, alat tangkap ikan yang sesuai.
1. Jalur penangkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari
titik terendah pada waktu air surut, yang tertutup bagi: 1). Kapal penangkap ikan
bermesin dalam (In Board) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan in
board berkekuatan di atas 10 daya kuda (PK), 2). Semua jenis jaring Trawl, 3).
Jaring Pukat cincin/langgar dan sejenisnya, 4). Jaring Pukat lingkar dan jaring
pukat hanyut tongkol, 5). Pukat paying/lempar/banting diatas 120 m panjang
dari ujung sayap atau kaki yang satu ke ujung yang lain.
2. Jalur penangkapan II, adalah perairan 4 mil laut yang di ukur dari luar garis jalur
penangkapan I, dan tertutup bagi: 1). Kapal penangkapan ikan bermesin in board
berukuran >25 GT atau penangkapan ikan bermesin in board yang berkekuatan
di atas 50 daya kuda (PK), 2). Jaring Trawl dasar berpanel (Otte Board) yang
panjang tali ris atas/bawah di atas 12 m, 3). Jaring Trawl melayang (Pelagis
Trawl) jaring trawl yang ditarik dua kapal (Pair Bull Trawl), 4). Jaring Pukat
cincin/langgar dan sejenisnya yang mempunyai panjang di atas 300-m.
3. Jalur penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari
garis luar jalur penangkapan II, dimana tertutup bagi 1). Kapal penangkap ikan
bermesin in board berukuran diatas 100 GT atau kapal penangkap ikan yang
berkekuatan di atas 200 daya kuda (PK), 2). Jaring trawl dasar dan melayang
76
Universitas Sumatera Utara
berpanel (Otter Boad) yang panjang tali rias atas/bawah di atas 20 m, 3). Pair
Bull Trawl, 4). Jaring pukat cincin/langgar dan sejenisnya yang panjangnya di
atas 600-m.
4. Jalur penangkapan IV, terbuka bagi: semua jenis kapal dan alat penangkapan
yang sah terkecuali pair bull trawl hanya boleh beroperasi di perairan samudera
Indonesia.
Selain itu, disebabkan pula untuk semua jenis jaring yang ukuran matanya
kurang dari 25 mm dan purse seine cakalang (pukat cincin tuna) yang ukuran matanya
kurang dari 60 mm dilarang dipergunakan untuk semua jalur penangkapan. Dari bunyi
SK Mentan No. 607/Kpts/Um/ 9/1976 diatas, sebagian nelayan terutama nelayan
tradisional kurang tahu atau tidak tahu sama sekali dan merasa kabur dalam penentuan
titik batas wilayah penangkapan, karena sifat territorial, apalagi bagi armada nelayan
yang tidak dilengkapi dengan petunjuk arah dan jarak sedangkan nelayan moderen di
sisi lain tetap saja melanggar aturan wilayah penangkapan di atas sehingga masalahmasalah yang berhubungan dengan konteks wilayah penagkapan ini masih memerlukan
penanganan, khususnya dalam penentuan batas-batas permanen perairan yang menjadi
acuan bagi jalur atau penangkapan ikan.
Faktor-faktor mendasar yang menjadi acuan dalam penentuan kawasan
penangkapan ikan berdasarkan atas: (a). jenis-jenis ikan yang dimanfaatkan atau jenis
ikan yang berpeluang bagi pengembangan penangkapan, (b). bentuk dan geografi
perairan, (c) migrasi dan penyebaran ikan-ikan, (d) ukuran dan jenis kapal perikanan,
77
Universitas Sumatera Utara
(e). ukuran dan jenis alat tangkap, (f). dukungan kelembagaan perikanan dan peraturan
yang telah ada (Dinas Perikanan Dati I Sumatera Utara, 1993, 122).
Lokasi penangkapan ikan sangat bergantung kepada besarnya potensi lestari dan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan, penyebaran sumber daya biota laut, ikan dan
musim penangkapan serta tingkat produktifitas nelayan. Nelayan desa Pekan Tanjung
Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak saja melakukan penangkapan ikan di
perairan Sergai saja, namun mencakup seluruh perairan yang berada dekat dengan
kawasan daerah mereka. Ruang lingkup penangkapan tergantung kemampuan daya
jelajah dan penurunan produksi penangkapan yang ada di wilayah mereka.
C. Jenis Alat Tangkap Nelayan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Laut
Pemanfaatan sumber daya laut yang dilakukan para nelayan tidak terlepas dari
model-model perlengkapan atau peralatan penangkapan ikan. Pilihan dalam penerapan
peralatan sebagai alat tangkapnya pada dasarnya harus sesuai dengan kondisi dan stok
biota-biota didalamnya. Peralatan eksploitasi ikan sangat ditentukan menurut jenis alat,
hasil tangkapan, daya jelajah teknologi pembantu, sumber daya nelayan (skill) sifat dan
lokasi ikan serta pilihan nelayan dalam beradaptasi terhadap musim.
Nelayan di dua wilayah ini terbagi aktif pada berbagai jenis unit nelayan yang
mengoperasikan beraneka ragam alat tangkap dalam usahanya memanfaatkan ekosistem
perairan laut. Jenis-jenis alat tangkap nelayan tersebut diantaranya adalah nelayan bagan
pancang, bagan boat, pukat cincin (Purse Seine), jaring udang (Trammel Net), pukat
pantai (Beach Seine Net), perangkap/bubu (Portable Traps), dan pancing (Line Fishing).
Namun tidak jarang karena diakibatkan situsi dan kondisi keadaan perairan yang saat ini
78
Universitas Sumatera Utara
tidak menentu banyak para nelayan yang memiliki jenis alat tangkap yang lebih dari dua
jenis. Ketika musim satu jenis ikan yang menjadi sumberdaya laut yang biasa mereka
tangkap mulai berkurang hasilnya maka mereka segera merubah jenis alat tangkap
mereka dengna jenis yang berbeda untuk menangkap ikan yang menjadi musim disaat
itu. Jenis-jenis alat tangkap yang ada di dua desa ini dapat dilihat dalam tabel data
berikut:
Tabel 6: Data Kapal Dan Alat Tangkap
No
Kapal/Perahu Motor Dengan
Alat Tangkap
Desa
Pekan Tanjung
Beringin
Pantai Cermin
Kanan
1.
Purse Seine
7
-
2.
Gill Net
84
15
3.
Trammel Net
-
62
4.
Line Fishing
36
4
5.
Trap
29
-
6.
Seine Net
13
-
7.
Drage
27
-
8.
Stow Net (Jermal)
-
2
196
83
Jumlah
Sumber: Data Base Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007
Keteranagan: Purse Seine
: Pukat Cincin, Pukat Langgar, Pukat Lingkar
Gill Net
: Jaring Insang, Jaring Hanyut
Tramel Net
: Jaring Tiga Lapis, Jaring Lingkar, Jaring Insang Tetap
Line Fishing
: Pancing, Pancing Tonda, Jaring Appolo, Rawai Hanyut
Seine Net
: Payang, Dogol, Pukat Pantai, Songko, Langgei
Drage
: Penangkap Kerang, Penangkap Kepiting (Mangrove)
Stow Net
: Jermal
79
Universitas Sumatera Utara
Karena sumber daya laut bersifat universal dan terbuka dalam penerapan zonazona penangkapan terdapat juga nelayan yang mengoperasikan jenis alat tangkap lain
seperti nelayan pancing kakap, nelayan pukat gerandong (pukat Tarik), nelayan pukat
ikan atau pukat harimau (PI/Trawl/Katrol), dan nelayan-nelayan penyelam biota-biota
laut, meskipun alat tangkap tersebut tidak dipakai masyarakat setempat.
C. 1. Nelayan Kawasan Hutan Mangrove Dan Pantai
Komunitas nelayan hutan bakau (mangrove) dan kawasan pantai merupakan
mayoritas kelompok nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan tradisional
terbatas kemampuan daya jelajahnya dan aktif beroperasi hanya disekitar kawasan
bakau dan pantai disebut juga perikanan rakyat.
C. 1. 1. Nelayan Pencari Biota-biota Bakau
Saat ini penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan
yang melakukan aktifitas penangkapan biota laut yang ada di lokasi hutan bakau sudah
hampir tidak ada lagi. Hal tersebut dikarenakan lokasi hutan bakau di dua wilayah ini
hampir tidak ada lagi yang kondisinya masih baik. Keberadaan nelayan ini hanya
beberapa orang saja yang tetap aktif melakukan penangkapan biota-biota laut di
pinggiran bakau tersebut.
Hewan yang banyak menghuni bakau diantaranya: dari jenis kerang-kerangan,
hewan melata, ketpiting, siput, kepah dan lainnya. Kerang-kerangan yang hidup di
bakau selalu berkelompok, untuk menandakan tempat mereka tidak terlalu sulit,
biasanya mereka hidup berkoloni didalam lumpur bakau atau pasir lunak. Sementara
untuk kepiting dan siput biasanya mereka berada di sekita akar-akar bakau yang
80
Universitas Sumatera Utara
berlumpur dan beriaran. Para nelayan cukup menggunakan jaring yang khusus dapat
menangkap kepiting. Biasanya mereka akan menebar jaring mereka di sekitar akar-akar
bakau ketika air laut sedang pasang, dan setelah surut maka mereka akan datang
kembali kelokasi dan mengambil jaring kepiting tersebut. Biasanya mereka selalu
mendapatkan 5-10 ekor sekali menebar jaring setiap harinya.
Pencarian biota-biota dilakukan biasanya pada saat air sedang surut di pagi hari,
siang atau sore sehingga untuk berjalan di lumpur hutan bakau tersebut tidak akan sulit.
Pekerjaan pencari biota-biota ini biasanya didominasi kaum wanita dewasa dan anak
laki-lakinya, namun laki-laki dewasa dapat melakukan aktifitas ini meskipun jumlahnya
lebih sedikit.
Biasanya mereka akan mengumpulkan hasil pencarian mereka kedalam wadah
masing-masing berupa ember, lalu bila ember mereka penuh maka akan dimasukkan
kedalam satu wadah yang terbuat dari goni plastik yang berada didalam satu ember
pastik atau baskom, lalu kemudian mereka akan menggotongnya secara bersama-sama.
Pekerjaan ini bukanlah mata pencaharian pokok masyarakat nelayan, namun untuk
sekedar menambah penghasilan atau untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga mereka.
Hasil pencarian nelayan ini sekembalinya dari lokasi akan langsung dibersihkan
dan kemudian di jual kepada pedagang pengumpul yang menjadi langganan mereka.
Biota-biota ini saat ini dijual dengan harga Rp.700-800,- per kilo, sementara pedagang
pengumpul akan menjualnya dipasaran dengan harga Rp. 1100-1400,- per kilo.
81
Universitas Sumatera Utara
C. 1. 2. Nelayan Penangkap Ketam dan Kepiting
Sama halnya dengan nelayan pencari biota-biota, nelayan penangkap ketam dan
kepiting yang kebanyakan beroperasi di hutan bakau, saat ini sudah jauh berkurang
jumlah nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal ini terjadi akibat kemerosotan kualitas
dan kuantitas hutan bakau akibat perubahan fungsi, dan hal ini sangat berpengaruh
terhadap hasil tangkap mereka dimana populasi ketam dan kepiting ini sudah berkurang.
Diantara dua wilayah ini, nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan
kepiting yang paling banyak adalah di desa Pantai Cermin Kanan. Sementara di Pekan
Tanjung Beringin hampir tidak ada nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal tersebut
dikarenakan nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin lebih terkofokus dengan jaring
Gembung sebagai alat tangkapnya. Dan rata-rata nelayan di desa ini adalah nelayan
buruh yang notabene tidak memiliki sampan/kapal pribadi. Di desa Pantai Cermin
Kanan banyak yang melakukan penangkapan ini karena menurut mereka keadaan
pesisir mereka memang dari dahulu sangat banyak kepitingnya sebagai sumber daya
alam. Ditambah lagi biasanya nelayan yang melakukan aktifitas ini adalah nelayan
dengan modal yang pas-pasan. Mereka juga menimbang struktur harga kepiting yang
semakin hari semakin mahal harganya, jarang harga kepiting yang bisa turun drastis
harganya. Ditambah lagi di daerah tersebut adalah wilayah wisata. Sehingga bila
mendapat hasil tangkap akan segera laku terjual ke pedagang penampung dengan harga
yang cukup mahal per kilonya. Saat ini harga kepiting per kilonya Rp. 15.000,Penangkapan ketam dan kepiting ini termasuk zona perikanan pantai. Mereka
biasanya menebar jaring mereka ke wilayah bakau yang hampir menuju laut kira-kira
82
Universitas Sumatera Utara
30-50 meter dari pinggiran hutan. Biasanya mereka menebar jaring jam 4 pagi lalu sore
datang kembali kelokasi sekitar jam 3 sore untuk melihat hasil tangkapan mereka.
Jaring yang mereka gunakan biasanya adalah jaring yang di rajut sendiri oleh mereka.
Mereka akan membeli bahan-bahan yang menjadi bahan utama pembuatan jaring yaitu
benang, besi yang berbentuk bulat lonjong yang berukuran 1cm sebanyak yang mereka
butuhkan, lalu jarum kait untuk mengkait benang-benang tersebut. Mereka biasanya
membuat jaring dengan panjang kira-kira 10-30m dengan tinggi 40-50cm tergantung
modal yang mereka punya.
Hasil tangkapan mereka biasanya tergantung musim. Bila sekitar bulan
Desember sampai pertengahan bulan February biasanya hasil tangkapan mereka
banyak. Namun di sekitar bulan Maret sampai awal November maka hasil tangkap
mereka tidak terlalu banyak. Biasanya hasil tangkapan mereka akan di jual kepada para
pedagang yang memang khusus menampung hasil laut berupa kepiting. Para nelayan
biasanya menjual kepada pedagang penampung yang menjadi langganan mereka.
Ada hal yang cukup menarik dari hubungan pedagang penampung dan nelayan
penangkap kepiting ini. Untuk mengikat para nelayan agar mau menjual hasil tangkap
kepiting mereka, biasanya para pedagang ini akan langsung mendatangi si nelayan
sehari sebelum si nelayan pergi kelaut. Hal ini mereka lakukan agar si nelayan tidak
menjualkan hasil tangkapnya ke pedagang yang lain. Dan para pedagang ini akan
memberi uang muka awal untuk nelayan sebagai tanda jadinya. Hal tersebut
dikarenakan lokasi Pantai Cermin Kanan yang saat ini sedang mengembangkan wisata
pantainya yang cukup terkenal yaitu Theme Park. Di lokasi wisata tersebut banyak
83
Universitas Sumatera Utara
sekali rumah makan atau yang biasa disebut kafe oleh warga setempat menyediakan
berbagai menu makanan yang terbuat dari bahan kepiting atau ketam laut yang
harganya cukup mahal per porsinya sekitar Rp. 45.000-75.000,-. Dan menurut para
pemilik kafe makanan yang terbuat dari bahan kepiting dan ketam tersebutlah yang
menjadi primadona oleh para pengunjung pantai.
C. 1. 3. Penjaring Ikan
Alat tangkap yang digunakan nelayan penjaring ini adalah jaring insang (gill
net) yang berbentuk empat persegi panjang dan dilengkapi dengan pemberat-pemberat
pada tali ris dibawahnya dan pelampung-pelampung pada tali ris di atasnya. Jaring ini
dipasang tegak lurus dalam air dan menghadang arah gerak ikan atau dipasang
melingkar. Ikan-ikan tertangkap karena tersangkut pada mata jaring atau tergulung pada
jaring tersebut. Jenis ikan yang sering tertangkap oleh jaring ini adalah ikan belanak,
ikan bulan-bulan, bandeng, tertangkap juga kedalam jaring saat dioperasikan.
Pembuatan jaring dirakit sendiri dengan membeli bahan-bahan yang diperlukan seperti
benang nilon, pelampung dan timah pemberat. Panjang jaring berkisar 15-20 m, lebar 11,5 m. Total harga sebuah jaring gill net ini sekitar Rp. 100.000,- lebih murah dan
hemat bila dibandingkan membeli jaring yang telah siap dari toko, begitupun jaring
yang bentuk siap dari toko biasanya terlalu panjang dan lebar sehingga tidak sesuai
diterapkan di perairan disana, serta daya tahan jaringnya pun kurang kuat dibanding
buatan nelayan sendiri.
Disamping alat tangkap jaring, alat tangkap jala (Cast Net) pun digunakan
nelayan untuk berburu ikan daerah bakau, mereka menelusuri air setinggi pinggang
84
Universitas Sumatera Utara
lantas menyebar jala pada lokasi-lokasi yang dianggap berikan. Jenis ikan yang
tertangkap hampir sama dengan penjaring, aktivitas menjala hanya dilakukan seorang
nelayan sedangkan menjaring terdiri dari dua orang nelayan dan tidak tertutup
kemungkinan mereka menggunakan transportasi sampan (perahu) dalam mempelancar
aktifitas menangkap ikan.
C. 1. 4. Nelayan Pukat Pantai (Beach Seine Net)
Pukat pantai lazim disebut dengan jaring tepi, nelayan yang mengoperasikan
biasnya selalu berkelompok 5-10 orang bahkan lebih terdiri dari seorang kepala regu, 2
orang pembangkit pukat lebihnya anak buah biasa.
Bentuk pukat ini rata-rata lebar kotak jaring awal kurang lebih 5cm, lebar jaring
penghalang atas bawah 1 m dan lebar kotak kantong jaring tempat terperangkapnya ikan
2 mm dengan demikian ikan kecil 1cm bila masuk kantong jaring maka akan
terperangkap. Jaring juga dilengkapi dengan pelampung pengapung berjarak 1m antar
pelampung terbuat dari bahan gabus jika tidak nelayan menggantikan dengan sandal
bekas, sebagai pemberat terbuat dari batu atau timah seberat 3-6 Kg yang terletak pada
ujung jaring pukat tepi.
Harga satu unit pukat tepi Rp 7.000.000 jika dibeli siap, namun nelayan
cenderung merakit sendiri bahan-bahan jaring sehingga terbentuk sebuah jaring pukat
yang siap pakai dengan alasan lebih hemat biaya dan kualitas jaring lebih tahan lama
atau kuat dibanding jaring yang dibeli siap pakai dari toko. Pembuatan satu unit jaring
membutuhkan sekitar 1 bulan yang dikerjakan secara bersama-sama dengan anggotaanggota.
85
Universitas Sumatera Utara
Saat ini yang masih menekuni alat tangkap model pukat tepi hanya nelayan yang
tidak memiliki modal yang besar, baik di desa Pekan Tanjung Beringin maupun Pantai
Cermin Kanan. Para nelayan dalam operasi penangkapan selalu membawa bekal makan
siang (akomodasi) sebab tidak ada waktu untuk kembali ke rumah saat menjatuhkan
jaring di pantai yang agak jauh dari tempat tinggal mereka atau mereka cukup makan
dan minum di warung-warung terdekat dengan pusat operasi dan penjual ikan
tangkapan.
Pukat tepi beroperasi di perairan laut yang landai atau berlumpur harus
menghindari kawasan terumbu karang sebab akan menghambat kelancaran jaring,
karena jaring akan tersangkut pada karang dan akan fatal akibatnya pada jaring. Namun
tidak jarang juga ada beberapa nelayan yang berani menebarkan jaring di areal trumbu
karang, biasanya mereka mengambil resiko tersebut dikarenakan alasan ketiadaan ikanikan di luar perairan trumbu karang tersebut. Biasanya mereka yang menebar jaring di
areal trumbu karang dengan memperhitungkan titik rawan dan mekanisme penarikan
jaring untuk menghindari kerusakan.
Faktor musim sangat mempengaruhi kinerja nelayan pukat tepi, arus deras saat
bulan-bulan musim Barat Desember-Maret terkadang mengganggu penebaran dan
penarikan jaring sebab jaring akan menyamping terbawa arus menyebabkan ikan sukar
terperangkap, tetapi suasana ini tidak selalu datang. Musim Barat menurut kebiasaan
nelayan ikan cenderung ke pinggir, air laut keruh maka musim ini menjadi masa panen
nelayan pukat tepi. Dibandingkan pada Musim Timur bulan Juni-September dan musim
peralihan (Musin Selatan) bulan April, Mei, Oktober, Nopember menurut kebiasaan air
86
Universitas Sumatera Utara
laut tenang, jernih menyebabkan kecenderungan ikan akan ketengah, dan dikarenakan
air laut terlihat jernih, ikan akan melihat ketika jaring sedang ditebarkan sehingga ikanikan akan sangat sulit untuk terperangkap di jaring. Bila keadaan begini maka nelayan
pukat tepi melaksanakan operasi pada malam hari. Dimana menurut mereka keliaran
ikan berkurang saat malam. Namun para nelayan pukat tepi ini bila mengadakan operasi
di malam hari akan bersaing dengan para nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat
cincin sebab mereka aktif melampu ikan (menangkap ikan) di tengah laut dengan
demikian lampu ransangan akan menghambat arah ikan ke peinggir, ikan akan lebih
tertarik kepada gejala fototaksis (gerak rangsang makhluk hidup untuk bergerak menuju
cahaya atau benda yang bercaya) alat-alat tangkap moderen.
Hambatan teknis maupun non teknis sangat mempengaruhi hasil pendapatan
mereka, semakin hari pendapatan mereka semakin menurun sebab utamanya adalah
persaingan alat tangkap perairan laut yang makin kompleks, daya efektifitas pukat tepi
dan semakin berkurangnya persediaan ikan (over fishing) di pesisir dan laut. Seperti
penuturan seorang informan Agustaf (Pekan Tanjung Beringin):
“Dulu kita tidak perlu ketengah laut untuk menangkap ikan, cukup
dipinggir-pinggir saja sudah banyak ikan yang dapat. 1 atau 2 kali tebar
jaring
ikannya
sudah
banyak
yang
dapat.
Dulupun
musim
mempengaruhi hasil tangkapan tapi sekarang karena ikan mulai
berkurang jadi musim tidak diperhitungkan lagi. Banyaknya persaingan
antar nelayan aja sudah membuat hasil laut berkurang. Apalagi
87
Universitas Sumatera Utara
ditambah nelayan yang datang dari luar pakai pukat yang seharusnya
tidak boleh dipakai di pinggir, maka ikan-ikan jadi cepatlah habisnya”.
Pemorsiran nelayan pukat turun untuk melaut terdorong oleh semakin sulitnya
mendapatkan hasil tangkap maksimal sehingga mengenyampingkan faktor-faktor
musim (gejala alam) terkecuali cuaca yang sangat rawan baik aktifitas turun beroperasi,
selama ini musim seyogyanya menjadi perhitungan kaun nelayan dalam penangkapan
ikan.
Hasil tangkap nelayan pukat tepi berupa ikan pelagis seperti ikan asoaso/gembung, gembung kuring, teri/bada, bawal, tenggiri, pandan-pandan, sinangin dan
lain-lain. Ikan demersal (button Fish) seperti sumbelang, pari, jenis udang-udangan
(udang putih, udang kelong, udang windu, udang batu, udang kotak dan lain-lain).
Biasanya jenis-jenis hasil tangkap sesuai dengan musimnya, namun saat ini tidak tentu
lagi.
Ikan hasil penangkapan sangat bervariasi dan masih berdasarkan kecenderungan
musim-musim koloni-koloni jenis ikan yang terdapat dalam areal perairan. Tetapi tidak
jarang nelayan hanya mendapatkan banyak berjenis-jenis ikan namun sangat sedikit
hasilnya sehingga harus dipilih ikan-ikan yang berkualitas baik, berharga mahal bila
dipasarkan seperti tenggiri, aso-aso/gembung dan lain-lain. Ikan-ikan seperti itu nelayan
menyebutnya dengan istilah lauk baik (ikanbagus) sedangkan ikan berharga rendah
disebut dengan istilah lauk campur. Biasanya ikan-ikan tersebut tidak dijual, nelayan
mengolahnya menjadi ikan asin supaya agak terangkat harganya jika dijual kepasar.
88
Universitas Sumatera Utara
Saat
operasi
penangkapan
di
antara
kru
nelayan
pukat
terkadang
mengkombinasikan alat tangkap tepi dengan jaring lampu disebut dengan istilah
melampu, dengan melilitkan jaring ke arah kantong pukat kegunaannya menangkap
ikan-ikan yang terlepas dari jaring pukat, dilaksanakan ketika jaring utama telah berada
10-15m dari tepi pantai. Jika ikan dirasa banyak masuk jaring tetapi banyak yang
terlepas maka dihambat dengan jaring lampu, biasanya dilakukan 2-3 orang nelayan
dengan merenangkan jaring untuk melilitkannya. Jaring lampu sama seperti jaring gill
net, besar mata jaring 1-2cm dilengkapi dengan pemberat. Hasil tangkapan jaring ini
hanya dibagi kepada nelayan aktif melampu sebagai penambah dari pembagian hasil
tangkapan pukat tepi.
Pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan ada dua jenis. Yang pertama dengan
sistem penjualan hasil langsung kepada toke-toke mereka, yang kedua dengan
menjualnya secara langsung dengan sistem borong per keranjang kepada para pedagang
berjalan atau langsung dengan konsumen yang biasanya adalah masyarakat setempat
dengan harga kiloan. Bila dijual kepada si toke, maka harga akan ditentukan oleh toke
mereka tersebut. Biasanya nelayan yang menjual kepada toke adalah nelayan yang
mempunyai ikan patron-klien. Si toke adalah patron dan si nelayan adalah kliennya.
Sistem ini ada dikarenakan si nelayan adalah nelayan yang tidak memiliki kapal/boat
sendiri sehingga mereka bekerja membawa kapal milik toke dengan perjanjian bahwa
hasil yang ditangkap akan dijual hanya kepada toke. Ada pula yang hubungan antara
toke dan nelayan adalah hubungan pinjaman modal melaut. Biasanya nelayan tersebut
memiliki perahu sendiri namun ketika melaut mereka meminjam atau meminta dana
89
Universitas Sumatera Utara
dari seorang toke ketika mereka akan melaut. Hal ini dilakukan oleh nelayan karena
mereka kehabisan modal atau sedang dalam kesulitan keuangan sehingga mereka akan
berhutang dengan si toke. Pembayaran yang dilakukan oleh nelayan dengan cara
menjual hasil laut mereka kepada toke.
Mekanisme lelang melibatkan beberapa
orang pembeli yang terlebih dahulu berembuk, mengumpulkan uang untuk modal
membeli ikan tersebut, setelah ikan sesuai harganya dengan nelayan ikan yang dibeli itu
dilelangkan kembali kepada anggota-anggota pengumpul modal tadi. Jika telah ada
yang bersedia membeli maka ia akan mengembalikan modal awal hasil pengumpulan
untuk membeli ikan dari nelayan kepada pihak-pihak yang terlibat rembuk pengumpul
modal tersebut.
C. 1. 5. Nelayan Jaring Gembung (Jaring Salam/Gill Net)
Komunitas nelayan yang menggunakan jaring gembung lebih banyak di desa
Pekan Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari aktifitas mereka yang setiap hari
melakukan penangkapan dan perawatan jaring di pelataran-pelataran mereka. Menurut
data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007
perbandingan antara kedua desa ini, jumlah nelayan yang menggunakan jaring ini
adalah untuk desa Pekan Tanjung Beringin sebanyak 84 nelayan dan untuk desa Pantai
Cermin Kanan sebanyak 15 nelayan. Jaring ini banyak digunakan nelayan yang
pemasangannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan salah satu ujungnya diikatkan
pada perahu/kapal atau nelayan sering meninggalkan/menahan jaring tersebut selama
beberapa jam sebelum ditarik kemabali yang ditandai dengan pelampung-pelampung
90
Universitas Sumatera Utara
kecil sebagai tanda lokasi jaring terpasang. Tetapi jaring ini juga dapat dilingkarkan
sesuai dengan inisiatif nelayan dalam pengoperasiannya.
Wilayah penangkapan jaring adalah jalur I, 3 mil laut. Namun pada prakteknya
nelayan sampai ke jalur II dan III, 4 sampai 12 mil laut dan zona terbuka bagi seluruh
nelayan karena biasanya kemampuan mesin kapal untuk melakukan pengoperasian ini
sudah memadai untuk mengadakan penjelajahan daerah penangkapan. Pengoperasian
alat ini dibantu dengan kapal/boat bermesin 3-15 PK disamping mesin tempel. Satu unit
kapal/boat terdiri dari 1-2 orang anggota kru, panjang jaring 2-4 set atau sama dengan
200-400 m. Jaring terbuat dari benang nilon, ditambah pelampung, timah pemberat dan
tali ris untuk penarik jaring. Lebar mata jaring tergantung jenis dan besar ikan yang
akan ditangkap yaitu anak pari, hiu dan ikan sebelah dapat pula tertangkap. Tetapi pada
umumnya jaring ini dikhususkan untuk menangkap jenis-jenis ikan aso-aso/gembung,
gembung kuring, dan lainnya. Harga jaring gembung berkisar Rp. 11.000.000,- dengan
ukuran 24 kaki.
Nelayan jaring gembung beroperasi 2 kali sehari, waktu pagi hari jam 05.0010.00 WIB kemudian dilanjutkan jam 15.00-21.00 WIB. Pemilihan waktu tersebut
berhubungan dengan perubahan pola siklus angin darat menuju laut dan dari laut
menuju darat hal ini menurut nelayan berkorelasi dengan kecenderungan ikan untuk
timbul dalam bermain dan mencari makan. Nelayan jaring ini juga beroperasi
bersamaan dengan bagan boat saat mengatrol jaringnya untuk memburu ikan-ikan
gembung/aso-aso, menurut mereka bagan sulit untuk menangkap ikan-ikan tersebut
91
Universitas Sumatera Utara
yang sering terlepas dari perangkap mereka untuk itu nelayan jaring salam telah siap
menghambat ikan-ikan itu dengan alat tangkap yang mereka miliki.
Dalam pengoperasiannya jaring gembung ini mudah sekali mengalami
kerusakan. Kerusakan jaring bisa saja diakibatkan tersangkut di karang atau ada
kepiting yang terperangkap yang dapat memutuskan benang-benang jaring karena
terkadang dioperasikan didasar laut. Dan bila dalam kondisi seperti ini nelayan terpaksa
selalu menambal agar jaring kembali layak pakai. Untuk memperbaiki jaring biasanya
akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Bila kerusakannya tidak begitu parah maka
nelayan akan mengeluarkan dana minimal Rp. 100.000 perharinya, tetapi bila kerusakan
cukup parah maka nelayan akan mengeluarkan dana bisa sampai minimanl Rp.
500.000,- perharinya. Kegiatan penambalan ini biasanya dilakukan disaat para nelayan
sedang tidak melaut, dan dilakukan dipelataran para toke mereka.
C. 1. 6. Nelayan Jaring Udang (Trammel Net)
Penangkapan menggunakan jaring udang mulai berkembang setelah nelayan
mengetahui banyaknya sumber daya jenis udang di perairan Serdang Bedagai.
Ditambah lagi nilai jual berbagai jenis udang yang sangat tinggi saat ini, membuat para
nelayan tertarik untuk menangkapnya. Desa yang banyak menggunakan alat tangkap ini
adalah desa Pantai Cermin Kanan dengan jumlah 62 nelayan, sementara untuk wilayah
desa Pekan Tanjung Beringin saat ini menurut data Base Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007 tidak ada yang menggunakan alat tangkap ini.
Mulanya tidak ada alat khusus yang diterapkan, udang-udang tertangkap oleh jaringjaring yang sering mereka gunakan dan yang tertangkap hanya beberapa ekor saja.
92
Universitas Sumatera Utara
Pengalaman dan nilai harga jual yang tinggi mendorong nelayan untuk menyiapkan alat
khusus untuk menangkap udang-udangan yaitu jaring udang (Trammel Net).
Jaring udang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang terdiri
dari tiga lapis jaring, dimana ukuran mata jaring bagian dalam lebih kecil sekitar 2 cm
daripada kedua lapis jaring luarnya selebar 4 cm. Tujuan utama penangkapan alat ini
adalah jenis udang sehingga pemasangannya dilakukan di dasar perairan. Bahan jaring
terbuat dari benang pukat dan benang nilon biasanya berwarna-warni, bagian dalam
berwarna putih sedangkan luar biru atau merah tetapi ada juga seluruhnya benang jaring
berwarna polos putih atau biru. Panjang jaring berkisar 20-30 m. Jaring udang hanya
dapat dibeli dalam bentuk siap pakai sebab nelayan tidak mampu menjalin tiga lapis
seperti jaring gembung. Harga rata-rata per unit jaring udang berkisar Rp. 300.00500.000,Pengoperasian alat tangkap masih termasuk aktifitas perikanan pantai di jalur I
dengan bantuan biduk atau boat berkekuatan 2 PK. Nelayan kadang mengkombinasikan
jaring udang dengan jaring gembung/salam, sebelum menjaring terlebih dahulu
menahan jaring udang yang dilaksanakan pada sore hari, lama waktu penahanan selama
sepanjang malam apabila jaring udang diangkat kembali atau dapat juga hanya beberapa
jam sebelum penarikan dilakukan.
Sasaran utama jenis udang yang ditangkap adalah jenis udang kelong, udang
maradona, udang windu karena nilai ekonominya sangat tinggi sekitar Rp. 45.000,-/kg
bila dijual ke penampung/toke tetapi jika dijual ke pasar dapat pencapai Rp.75.00080.000,-/kg. Sedangkan jenis udang batu kualitas nomor dua hanya seharga Rp. 8.000-
93
Universitas Sumatera Utara
8.500,-/kg. Namun harga tersebut saat ini bisa saja berubah naik atau pun turun bila
persedian hasil tanggkap nelayan banyak ataupun sedikit.
Dalam pengoperasian jaring udang mudah sekali mengalami kerusakan.
Kerusakan jaring bisa diakibatkan tersangkut di karang atau ada kepiting yang
terperangkap dapat memutuskan benang-benang jaring karena dioperasikan di dasar
perairan laut, bisa juga rusak dikarenakan banyaknya benda-benda atau sampah-sampah
yang terbuat dari ranting-ranting kayu yang hanyut ke lautan. Dalam kondisi seperti itu
terpaksa nelayan menambal agar jaring kembali layak untuk dipergunakan. Biasanya
dalam memperbaiki jaring tersebut para nelayan mengeluarkan biaya yang cukup
banyak tergantung kerusakannya. Semakin parah kerusakan maka biaya yang
dikeluarkan akan semakin besar.
C. 1. 7. Nelayan Pancing acar (Line Fishing)
Alat pancing Acar adalah sejenis pancing yang pada talinya terdapat puluhan
mata pancing bahkan bisa sampai ratusan mata pancing (kail) tergantung pada
kemampuan modal para nelayan. Pancing dengan rupa kail seperti garpu dimasukkan ke
dalam laut, kemudian dengan berlahan akan di tarik dengan sentakkan bila ada
kumpulan ikan yang melintas di mata kail jaring ini agar ikan tersebut dapat tersangkut
ke mata kail yang berjumblah banyak tadi.
Biasanya mata kail jaring ini tidak di beri umpan namun ada pula beberapa
nelayan yang menggunakan umpan sebagai penarik perhatian ikan-ikan. Jika ikan
memakan umpan tersebut maka pancing akan disentak dan ditarik. Umpan yang dipakai
adalah umpan mati dan umpan hidup, umpan mati antara lain ikan kecil teri, cumi-cumi
94
Universitas Sumatera Utara
dan lain-lain. Sedangkan umpan hidup biasanya digunakan jenis udang bakau, menurut
pengalaman para nelayan yang menggunakan jaring ini ikan-ikan lebih menyukai
memakan umpan yang hidup seperti ikan kakap, gabu, kerapu dan lainnya.
Para nelayan yang menggunakan jaring ini biasanya memilih lokasi
penangkapan di kawasan terumbu karang dan lokasi-lokasi bagan pancang yang telah
runtuh dan tidak dipergun akan lagi. Waktu yang mereka pergunakan menangkap ikan
biasanyanya pagi hari 06.00-10.00 WIB karena saat itu air laut masih tenang, jernih dan
ikan pun biasanya tidak enggan memakan umpan pancing. Kemudian saat sore hari
menjelang malam, diluar waktu tersebut ikan-ikan enggan memakan umpan karena
angin biasanya telah berhembus kencang dan membuat air menjadi keruh.
C. 2. Nelayan Lepas Pantai Dan Laut Lepas
Nelayan Lepas Pantai melakukan aktifitas di perairan wilayah
jalur
penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil. Semantara nelayan Laut Lepas
memusatkan aktifitas penangkapan ikan di wilayah perairan yang sangat dalam dan
bebas di luar kedua kawasan pantai lepas pantai dengan mengaplikasikan teknologi
penangkapan yang sangat moderen dan kemampuannya pun cukup besar untuk
mengeksploitasi segala sumberdaya perikanan di perairan laut dalam.
Nelayan Pekan Tanjung Beringin untuk wilayah perairan laut lepas ada sekitar 7
kapal nelayan yang beroperasi di wilayah tersebut, sementara untuk Pantai Cermin
Kanan tidak ada nelayan yang beroperasi di wilayah laut lepas. Rata-rata nelayan yang
beroperasi pada wilayah tersebut adalah nelayan yang datang dari luar daerah seperti
Tanjung Balai, Belawan, Sibolga dan lainnya. Nelayan di kedua desa ini tidak banyak
95
Universitas Sumatera Utara
beroperasi diwilayah tersebut dikarenakan rata-rata nelayan di dua desa tersebut adalah
nelayan yang masih memiliki modal yang kecil atau dengan kata lain masih tradisional.
Sementara nelayan-nelayan yang beroperasi di wilayah Lepas Pantai dan Laut Lepas
harus memiliki kapal yang besar dan alat tangkap yang canggih. Dan untuk memiliki
alat tangkap tersebut para nelayan harus mempunyai uang yang cukup banyak. Dengan
kata lain bila ada yang menggunakan alat tangkap ini maka nelayan tersebut dapat
dikatakan adalah nelayan yang kaya.
C.2.1. Bagan Boat (Boat Lift Net)
Desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada yang
mengoperasikan alat ini. Nelayan yang mengoperasikan alat ini adalah nelayan yang
berasal dari luar wilayah Sergai. Bagan Boat merupakan sarana penangkapan kapal
motor berkonstruksi kayu keras dengan panjang buritan sampai 20-30m. Daya mesin
Bagan Boat 150 PK dan 40-60 GT umumnya memakai mesin merek Kubota, Fuso,
Hino, Isuzu, Mitsubishi yang khusus didatangkan dari Taiwan dan Thailand, dilengkapi
dengan fasiltas kotak es pendingin, fish fender dan lampu pijar, halogen berkekuatan
total 5.000 watt, jumlah 34 lamou holagen setiap lampu memerlukan 1.000 watt.
Alat tangkap ikan utama yang digunakan adalah jaring angkat (lift net) ukuran
mata jaring 2-3 mm dan panjang 25-30 m, lebar 15 m2 yang ditarik dan dijatuhkan
dengan gulungan (katrol) bertenaga mesin bersamaan dengan kerangka bagan (jaring)
terbuat dari kayu-kayu kecil memanjang, dibingkai berbentuk segi empat masuk ke
dalam laut sedalam 20-40m. Posisi bergandengan cadik kapal berbentuk tangan-tangan
tempat jaring turun naik. Kelengkapan lain yang digunakan radio single band (SSB),
96
Universitas Sumatera Utara
peta laut, kompas manual, atau digital merangkap dengan deteksi fish fender yang
menentukan posisi kapal, jarak tempuh, kedalam laut, kecepatan angin, arus laut, posisi
ikan.
Semuanya
mempermudah
nelayan
dalam
mengoperasikan
dan
untuk
berkomunikasi antar sesama nelayan mengenai situasi dan kondisi perairan, cuaca,
lokasi ikan, bergerombol serta menghubungkan nelayan dengan toke, pemasaran, dan
pihak keamanan laut.
Inisiatif untuk merubah teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan
tergantung ketersediaan modal yang sangat sulit dirasakan para nelayan kecil untuk
menyediakan modal sebesar itu, hanya nelayan-nelayan modal besar dapat menyediakan
dana demi merubah alat tangkap mereka. Keunggulan bagan boat dibanding bagan
tradisional terletak pada kemampuan jelajah dan gaya manufer mencakup kawasan
wilayah penangkapan ikan (fishing ground). Di samping itu bagan boat lebih mudah
dipindah-pindahkan ke lokasi-lokasi tertentu yang dianggap lebih melimpah stok
ikannya dengan bantuan alat deteksi ikan yang mampu memantau lokasi ikan, jumlah,
jenis dan kedalaman laut dengan radius 1 mil laut. Jenis-jenis ikan yang tertangkap
adalah ikan-ikan pelagis antara lain ikan teri, ikan jenis gembung, aso-aso, tenggiri, ikan
tongkol, bawal, sotong dan jenis cumi-cumi.
Proses penangkapan merupakan inti kegiatan kru
bagan boat dalam
menghasilkan produksi ikan maksimal, keberhasilan dalam proses penangkapan
berkaitan dengan persiapan yang dilakukan seperti kelayakan bagan boat beroperasi,
modal kerja, kerjasama kru. Selain itu planing di darat akan teruji melalui proses
97
Universitas Sumatera Utara
penangkapan, yang tergantung pada kerjasama, keterampilan dan etos kerja masingmasing kru serta peran tekong sebagai pemimpin operasi.
Wilayah penangkapan bagan boat menurut aturan baku berada pada jalur III
antara 8-12mil dan perairan bebas, namun pada prakteknya sangat tergantung pada
putusan tekong dengan berbagai pertimbangan kecenderungan lokasi kantong ikan.
Kemampuan mesin telah mempermudah nelayan bagan boat menjelajahi wilayah
penangkapan sampai ke perairan Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu dan Aceh.
Penyusuran lokasi penangkapan dilakukan siang sampai sore hari sembari
dikombinasikan dengan metode deteksi fish fender. Lalu ketika malam hari penelusuran
segera dihentikan jatuh sauh/jangkar dengan pertimbangan telah ditemukan lokasi yang
tepat sebab bila malam tiba bagan boat tidak bisa berpindah-pindah lagi. Menyalakan
lampu rangsangan harus bedasarkan posisi timbul dan kelamnya bulan sebab cahaya
bulan dapat mengganggu bahkan mengalahkan intensitas cahaya lampu halogen
sehingga gerombolan ikan tidak mengumpul ke jaring. Tetapi sebelum mati bulan atau
masih dalam waktu bulan timbul 3-2 jam sebelum lampu mulai dinyalakan, atau dapat
pula walaupun saat terang bulan namun tidak terang total serta cuaca hujan kondisi
gelap cahaya bulan sehingga intensitas cahaya rendah menerangi perairan maka bagan
boat dapat beroperasi jatuh jaring seiring dinyalakannya lampu rangsangan.
Setelah diamati dan diperkirakan melalui fish fender bahwa gerombolan ikan
sudah banyak berkumpul disekitar jaring dan layak untuk ditangkap, maka setelah
beberapa jam atau ½ jam berikutnya seluruh lampu utama serentak dimatikan kecuali
lampu-lampu pijar pendukung yang dinyalakan terus 100-200 watt yang berfungsi
98
Universitas Sumatera Utara
sebagai stimulan terhadap ikan agar tidak lari menyebar jauh dari dalam jaring dan agar
ikan-ikan yang agak jauh dari jaring semakin mendekat mengumpul. Kira-kira ½ jam
berikutnya secara berlahan jaring bagan ditarik (katrol) ke atas oleh para anggota kru
secara bergantian atau dapat ditarik dengan menggunakan mesin katrol kapal yang telah
tersedia sampai ikan-ikan tertangkap. Lalu ikan-ikan disortir menurut jenis, besar untuk
dikategorikan dalam msaing-masing kotak pendingin dan wahana lainnya seperti drum,
fiber, kulkas/kerangjang/goni atau ember plastik). Bila ikan hasil tangkapan belum
mencapai target, maka proses penangkapan (jatuh Jaring) tersebut akan terus dilakukan
berulang-ulang pada daerah yang sama atau keesokan harinya dengan daerah yang
berbeda (operasinya tetap malam hari) biasanya dalam satu malam turun angkat jaring
dapat dilaksanakan sebanyak 2-3 kali.
Penangkapan akan dihentikan bila hasil tangkapan telah memenuhi target atau
dianggap berhasil, penangkapan dihentikan sementara jika lokasi penangkapan dekat
dengan wilayah pangkalan bongkar muat dan hasil penangkapan melimpah, sementara
akomodasi masih tersedia maka hasil produksi harus dibongkar lalu langsung kembali
beroperasi sampai persediaan bahan makanan habis. Waktu yang dibutuhkan untuk
bagan boat dalam melakukan trip operasi sekitar 4-5 hari, saat musim Barat tiba
terkadang tidak teratur beroperasi namun tetap pergi melaut.
Pengeluaran uang belanja operasional dalam satu trip sekitar Rp. 5.000.0007.000.000,-. Uang belanja boat tersebut biasany dipegang oleh toke atau dipegang oleh
tekong. Uang tersebut mencakup biaya perehaban boat yang difakturkan kepada hutang
para kru bagan boat yang selalu diperhitungkan saat akhir masa operasi (wajib bayar)
99
Universitas Sumatera Utara
dari penghasilan penjualan ikan hasil tangkapan. Biaya pengeluran sering kali menurut
para awak dimar-ap toke dan tekong sedangkan para anggota tidak diperkenankan
mengetahui kalkulasi perbelanjaan tekong yang notabene adalah tangan kanan toke.
Mereka tidak tranparan berkenaan dengan pengeluaran setiap trip operasi, hal tersebut
lumrah dikalangan anggota kru bagan boat.
Bila dalam satu operasi penangkapan hasil tangkapan tidak mampu menutupi
biaya operasional berbelanjaan karena minimnya pendapatan atau sama sekali tidak
mendapat hasil tangkap maka kru bagan boat akan sangat merugi sebab mereka
terhitung terutang kepada toke, maka untuk menutupi hutang tersebut dibebankan
kepada hasil tangkap berikutnya. Dalam hal merugi ini toke sama sekali tidak
menanggungjawabi atau kerugian tidak dibebankan kepadanya, semuanya dibebankan
kepada tekong dan kru bagan boat bersangkutan. Bila masa panceklik berkelanjutan dari
masa operasi ke operasi selanjutnya maka proses terhutang tersebut akan membengka,
dan toke akan memutuskan hubungan atau kontaro kerja dengan tekong beserta krunya,
maka posisi unit bagan boat tersebut dengan gantung artinya tidak dioperasikan menanti
datangnya tekong baru dan kru-kru yang baru.
Resesi penangkapan membawa para nelayan bagan boat kepada keterlilitan
hutang yang mengarah kepada jaringan patron-klien, apalagi saat kebutuhan uang
mendesak misalnya menghadapi hari-hari besar seperti halnya hari raya Idul Fitri
tekong akan meminta pinjaman kepada toke, kru biasa tidak berurusan kepada toke
maka mereka meminjam kepada tekong. Pola patron-klien sudah mengental di kalangan
nelayan baik nelayan besar maupun nelayan tradisional. Nelayan toke sengaja membuat
100
Universitas Sumatera Utara
kondisi seperti demikian agar ketergantungan para nelayan sangat besar kepadanya
mulai dari pinjaman operasi, belanja boat, pembagian hasil serta pinjaman lainya yang
semuanya menjurus agar hasil tangkapan pun didistribusikan melalui tangan-tangan
toke.
Keadaan paceklik dan hutang yang menumpuk akan membuat para nelayan
bagan boat berusaha untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Hal tersebut
akan membuat mereka berusaha mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan.
Mereka menjadi tidak memandang keadaan ekosistem laut yang akan rusak nantinya.
Mereka hanya berfikir bagaimana memperoleh hasil tangkapan yang besar, untuk
membayar hutang mereka kepada para toke. Contohnya perilaku para kru yang
melakukan aktifitas memancing untuk menambah penghasilan diluar pembagian kerja
sebagai kru bagan boat. Aktifitas memancing dilaksanakan saat siang hari sewaktu
istirahat, sebab malam hari memancing tidak memungkinkan dilakukan karena mereka
akan dituntut aktif menjaring atau mengatrol ikan. Hasil memancing tidak termasuk
pedapatan bagan boat namun pendapatan individu awak kapal. Lokasi pemancingan
dicari berdasarkan petunjuk fish fender biasanya tekong selalu mengarahkan kapal
kelokasi-lokasi berstok ikan anatar zona terumbu karang yang tampak jelas memiliki
karakter hidup atau mati menurut tampilan layar fish fender.
C.2.2. Nelayan Pukat Ikan (PI) atau Pukat Harimau
Pengoperasian pukat ikan atau pukat harimau diperairan Sumatera Utara
khususnya di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai adalah termasuk wilayah yang
sangat banyak yang mengoperasikansnya. Tetapi pada umumnya tidak ada warga
101
Universitas Sumatera Utara
setempat yang memiliki alat tangkap tersebut, biasanya nelayan yang menggunakannya
adalah nelayan yang berasal dari luar daerah. Legalitas operasional pukat ikan sampai
saat ini masih mendapat tantangan keras dari berbagai kalangan nelayan terutama
nelayan tradisional. Mereka menganggap pukat tersebut merusak ekosistem laut
terutama terumbu karang, memusnahkan bibit ikan yang akhirnya akan mengancam
lahan mata pencaharian nelayan. Aturan formal KEPPRES. No. 39/1980 tentang
larangan pengoperasian pukat harimau (trawl) tidak membuat para nelayan yang
menggunakan pukat tersebut takut untuk beroperasi secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi. Malah untuk saat ini banyak kabar yang masih sulit dipastikan
kebenarannya mengatakan aturan formal pelarangan terhadap pengoperasian pukat
harimau dan sejenisnya telah dicabut dan telah diizinkan keberadaannya. Malah ada
beberapa berita yang belum bisa di jelaskan kebenarannya bahwa dibeberapa wilayah di
Indonesia seperti pesisir Kalimantan, Sulawesi, dan dibeberapa wilayah jawa
pengoperasian pukat tersebut yang sudah sangat meresahkan ekosistem laut telah
diperbolehkan dan ada undang-undang yang baru telah dikeluarkan antara tahun 20042006 bahwa pengoperasian alat tangkap ini sudah dapat dilakukan guna untuk
menambah penghasilan dan pendapatan para nelayan di daerah tersebut.
Menurut para nelayan di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan para
penggunan pukat-pukat ini mengubah nama-nama pukat tersebut walaupun secara
hakiki cara kerjanya sama. Mulai dari sengso, pukat trawl, pukat tarik, pukat gerandong,
pukat ikan, dan lain sebagainya. Pukat Ikan adalah jenis pukat tarik yang efektif untuk
menangkap ikan pelagis atau pun ikan demersal, dan jenis udang-udangan. Kedalaman
102
Universitas Sumatera Utara
operasi dapat diatur sesuai dengan kelompok ikan yang dituju yaitu lapisan tengah atau
lapisan dasar, menggunakan satu buah kapal berbobot > 60-100 GT berkekuatan 1500
PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan
pengaman
dari
rintangan-rintangan
karang
dan
lain-lain
saat
beroperasi.
Pengoperasiannya dapat melibatkan 1-2 kapal. Sesuai dengan tujuannya menangkap
semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm. fasilitas
penghubung lainnya adalah sarana komunikasi, kesturi, fiber, kulkas papan dan lainnya.
Zona operasional pukat ikan sebenarnya adalah di luar 12 mil laut sampai
perairan bebas di luar ZEE tetapi selalu saja ada pelanggaran wilayah penangkapan
yang dilakukan para pukat tersebut, sehingga menimbulkan persoalan dengan nelayan
tradisional. Daya jelajah pukat ikan yang sangat luas dengan teknologi yang canggih
membuat mereka tanpa keterbatasan dalam beroperasi dimana dan kapan saja. Nelayan
Pukat Ikan tidak mengenal musim paceklik setiap kali beroperasi selalu mengantongi
puluhan ataupun ratusan ton hasil dari berbagai jenis ikan, udang, cumi-cumi, dan
lainnya yang disortir berdasarkan jenis dan kualitas masing-masing, tidak jarang pukat
ikan mengalami over produksi, ikan-ikan dimasukkan ke dalam goni (ikan dengan
kualitas yang rendah) dibiarkan menjadi busuk yang merupakan bahan baku pabrik
pengolahan pakan ternak yang diolah menjadi tepung-tepung ikan dan sebagian lagi
dipasok menjadi ikan asin ke penjemuran warga nelayan. Terkadang nelayan Pukat Ikan
membuang ikan-ikan yang telah membusuk berharga murah di tengah laut sebab harga
jualnya yang rendah, satu goni ikan ukuran 50 kg hanya berharga Rp. 3.000-4.000,-
103
Universitas Sumatera Utara
sedangkan ikan kualitas ekspor dipertahankan secara baik dalam kotak-kotak pendingin
seperti ikan Kerapu, ikan kakap, udang, cumi-cumi dan lain-lain.
Kedudukan tekong Pukat ikan sangat ekslusif para anggota biasa jarang dan
terlarang memasuki ruang tekong kapal, begitupun di darat sulit terjadi komunikasi
antar sesama mereka, hal tersebut dikarenakan unsur kesengajaan agar anggota biasa
tidak mengenal sama sekali siapa pemilik atau toke armada kapal yang mereka
tumpangi. Prinsipnya kerja dan diberi gaji, resiko tertangkap pihak-pihak tertentu atau
bila terjadi kecelakaan lainnya menjadi tanggung jawab individu para anggota. Rata-rata
para anggota yang dipilih adalah mereka yang masih awam dan sangat buta terhadap
fenomena alam laut namun dengan bantuan teknologi Pukat ikan yang tergolong
canggih tanpa kendala mereka meraup keuntungan yang sangat besar dari potensi laut.
C.2.3. Nelayan Pukat Langgai
Pukat Langgai pada prinsipnya jenis dan sifatnya hampir sama pula dengan
pukat Harimau yaitu dengan menggunakan besi ataupun balok kayu pada pukat untuk
mengeruk isi laut dengan dibantu katrol bermesin sebagai penarik pukat. Perbedaannya
terletak pada ukuran perahu dan pukat, dimana Langgai ukurannya lebih kecil agar
dapat beroperasi pada perairan laut dangkal.
Hasil yang didapat dari pukat ini sangat memuaskan, sebab tidak ada udang,
ataupun ikan-ikan kecil mampu lepas dari alat tangkap ini. Dengan kata lain Langgai
dapat menangkap ikan atau udang dengan ukuran yang sangat kecil sekali pun. Hal
inilah menurut masyarakat yang merusak regenerasi bahan laut (ikan, udang, dan
sebagainya) sehingga sumber daya laut menjadi turun secara drastis bagi nelayan
104
Universitas Sumatera Utara
tradisional. Penggunaan papan yang kuat dan keras sebagai pemberat pukat tersebut
agar sampai kedasar laut mengakibatkan rusaknya segala hal yang ada di dasar laut
termasuk pula trumbu karang karena terbentur atau tabrakan dengan pemberat tersebut
ketika perahu menarik pukat tersebut.
Dengan keberadaan pukat Langgai di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai
Cermin membuat warga setempat menjadi resah. Hal tersebut dikarenakan para nelayan
pukat Langgai tersebut yang lebih mengkonsentrasikan lokasi penangkapannya pada
areal trumbu karang. Sehingga menurut masyarakat akan mengakibatkan trumbu karang
tersebut rusak dan kemudian ikan-ikan tidak tidak akan lagi bergerombol pada trumbu
karang tersebut hal hasil ikan-ikan dan lainnya akan berpindah tempat kelokasi yang
lebih jauh lagi dan akibatkan akan mengurangi penghasilan mereka sebagai nelayan
tradisional.
C.2.4. Nelayan Pukat Cincin/Pukat Tongkol
Untuk alat tangkap ini ada sekitar 7 orang nelayan yang mengoperasikannya
yaitu di desa Pekan Tanjung Beringin, sementara untuk desa Pantai Cermin Kanan tidak
ada yang menggunakan alat tangkap ini. Namun untuk perairan laut lepas di wilayah
tersebut yang terbanyak menggunakannya adalah nelayan yang berasal dari Tanjung
Balai, Belawan ataupun yang berasal dari Sibolga. Karena menurut nelayan Tanjung
Beringin nelayan di daerah-daerah tersebut rata-rata adalah nelayan besar. Mereka jauh
lebih memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan ratarata para toke atau pemilik kapal adalah warga keturunan Cina yang memiliki modal
besar.
105
Universitas Sumatera Utara
Pukat Cincin (Purse Seine) dari segi jaring adalah jaring yang umumnya
berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap
gerombolan ikan permukaan (ikan Pelagis). Cara operasionalnya adalah dengan cara
melingkarkan jaring sehingga mengurung gerombolan ikan, setelah ikan terkurung
maka bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dipasang sepanjang bagian
bawah jaring melalui cincin. Sama halnya dengan Bagan Boat, Pukat Cincin juga
dilengkapi seperangkat lampu yang berfungsi sebagai perangsang terhadap ikan-ikan
yang berada dilokasi tangkap. Armada Pukat Cincin berbobot >60-120 GT, berkekuatan
600-1.000 PK berfasilitas Fish Fender, kesturi, dan radio komunikasi dengan jumlah
anggota maksimal 30 orang. Kapasitas tersebut menandakan bahwa Pukat Cincin ratarata lebih besar daya jelajahnya, badan boat panjang 30-45 m, lebar 7-9 m dan diameter
panjang dan kedalaman jaring 30-200 m2 serta waktu melaut 5-7 hari dibandingkan
dengan Bagan Boat. Maka biaya operasionalnya pun jauh lebih besar untuk memenuhi
kebutuhan para kru yang tergolong banyak jumlahnya.
Pengoperasian mencakup malam dan siang hari, saat malam nelayan
menggunakan lampu rangsangan sedangkan pada siang hari nelayan selalu memantau
gerombolan ikan yang kadang-kadang timbul ke permukaan baik dengan cara manual
ataupun dengan cara deteksi bantuan alat fish fender. Mekanisme penangkapan siang
dan malam hari sangat berbeda, dimana saat malam nelayan mengadakan rangsangan
lampu kapal dan lampu bantuan diatas perahu yang menjadi lampu utama saat
menggantikan lampu halogen, lampu neon pengganti khusus dijaga beberapa orang
nelayan yang dinamai tukang lampu, setelah ikan bergerombolan menuju lampu perahu
106
Universitas Sumatera Utara
maka nelayan melilitkan jaring. Dalam satu malam nelayan dapat melakukan dua kali
penjatuhan jaring, sedangkan siang hari nelayan aktif menjelajahi segenap wilayah
perairan dalam rangka mencari atau memburu gerombolan-gerombolan ikan.
Wilayah operasional pukat ini tergolong sangat jauh sampai zona perairan bebas
wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan lain-lain. Namun bila
timbul ikan di zona pantai nelayan Pukat Cincin tersebut tidak segan-segan
menjatuhkan jaringnya. Hasil tangkapan Pukat Cincin adalah kelompok ikan pelagis
besar dan kecil seperti ikan tongkol, tuna sisik, aso-aso, gembung dan lain-lain.
Sedangkan ikan pelagis kecil seperti teri dan lainnya tidak akan tertangkap sebab mata
jaring berukuran 1-2 cm. Dilihat dari hasil tangkapannya Pukat Cincin biasa disebut
oleh nelayan pada umumnya adalah pukat Tongkol.
C.2.5. Budidaya
Selain perikanan tangkap, dua desa ini memiliki budidaya perikanan air tawar
dan payau. Hal tersebut dikarenakan adanya sejumlah warga yang memiliki cukup
modal untuk membuat budidaya tersebut. Rata-rata budidaya tersebut adalah milik para
nelayan setempat dengan modal sendiri, adan juga pemilik dari budidaya tersebut
adalah warga yang berasal dari luar desa. Untuk budidaya air payau desa Pantai Cermin
memiliki jenis budidaya udang dan di desa Pekan Tanjung Beringin tidak memiliki
budidaya jenis air payau. Desa Pekan Tanjung Beringin hanya memiliki budiday air
tawar saja yang berjenis kolam air tenang yang berisi lele dumbo ataupun ikan nila.
Secara singkatnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
107
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7: Data Sarana Budidaya, Produksi dan Pemasaran
No
1.
Kriteria
Pekan Tanjung Beringin
Pantai Cermin
Kanan
Lele Dumbo / nila
Udang
(kolam air tenang)
(air payau)
3
25
1 / 0,2
10
-
15
15.000 / 400
14
10.000,- / 12.000,-
45.000,-
150.000 / 4.800
630.000
500 / 50
200
14.500 / 350
13.800
Jenis Budidaya
2.
Luas Potensi (ha)
3.
Produktif (ha)
4.
Tidak Produktif (ha)
5.
Produksi Tahun 2006 (ton)
6.
Harga rata-rata /kg Rp
7.
Nilai produksi xRp.1.000,-
8.
Pemasaran dalam daerah (Kg)
9.
Pemasaran luar daerah (Kg)
Sumber: Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007
D. Pemasaran Dan Pengelolaan Hasil Tangkap
Bentuk pengelolaan dan pemasaran hasil tangkap di desa Pekan Tanjung
Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak jauh berbeda, hanya jenis hasil tangkapan saja
yang sedikit berbeda. Bila di desa Pekan Tanjung Beringin hasil tangkap yang paling
dominan adalah jenis ikan gembung, maka di desa Pantai Cermin Kanan lebih
mendominasi berbagai jenis kepiting sebagai hasil tangkap paling diminati para
nelayan. Para nelayan di kedua wilayah ini yang merupakan nelayan tradisional lebih
cenderung melakukan pemasaran yang bersifat tidak langsung atau dengan kata lain
para nelayan menjual hasil tangkapannya melalui para toke yang menjadi penampung
ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Lalu toke akan menjualkannya lagi kepada para
108
Universitas Sumatera Utara
pengecer atau menjualnya langsung kepasaran. Nelayan jarang menjual secara langsung
hasil tangkapannya ke pasar.
Keterkaitan hubungan antar toke dan para nelayan pada dasarnya adalah
hubungan bisnis antara pembeli dan penjual, namun dikarenakan persaingan yang
begitu banyak antar toke dan persediaan ikan hasil tangkapan yang terbatas maka para
toke secara sengaja maupun tidak mencoba untuk mengikat para nelayan dengan cara
memberikan berbagai kemudahan baik secara ekonomi maupun finansial. Toke dengan
memberikan bantuan berupa pinjaman modal ataupun bantuan alat tangkap yang
diperhitungkan sebagai pinjaman kepada si nelayan dengan syarat nelayan tidak
menjual hasil tangkapnya kepada toke yang lainnya dan hanya menjual semua hasil
kepada toke yang memberikan kemudahan-kemudahan tersebut.
Disisi lain toke sebagai penampung ikan selalu saja menerapkan pembelian ikan
yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar
atau timbangan selalu dimanipulasi (jumlah hasil tangkap yang ditimbang oleh toke).
Keadaan tersebut dapat dilakukan kerja sama atau main mata antar toke agar para
nelayan tidak tahu secara pasti harga pasaran ikan. Hasil penjual nelayan ke toke
biasanya digunakan untuk pemotongan hutang yang diberikan oleh para toke sebagai
bentuk bantuan ekonomi dan finansial tadi. Bila hasil tangkap melebihi hutang tersebut
maka para nelayan akan mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapnya, namun bila
hasil tangkapnya kurang dari jumlah pinjaman maka nelayan tidak akan melunasinya
semuanya. Mereka akan membayarkannya setelah hasil penangkapan selanjutnya.
Biasanya para toke tidak akan memaksakan nelayan harus melunasi seluruh
109
Universitas Sumatera Utara
pinjamannya, malah mereka memberi kemudahan dengan cara menambah pinjaman
tersebut agar nelayan dapat lebih terikat dengan toke. Dengan keadaan seperti itu para
nelayan akan selalu terikat dan akan selalu tergantung kepada si toke, sehingga tidak
akan menjual lagi hasil tangkapannya kepada toke-toke yang lainnya.
Bila toke memiliki sendiri kapalnya maka dia juga akan menerapkan sistem
yang berbeda pada nelayan buruh yang membawa kapal miliknya. Pola yang diterapkan
oleh mereka ada dua bentuk, pertama bentuk sistem tangkap bagi: pembagian hasil
dilakukan tiap-tiap trip kepulangan setelah beroperasi (biasanya pola ini diberlakukan
bila yang digunakan adalah kapal yang berdaya tampung cukup besar) dan penangkapan
dilakukan dengan 5-10 orang nelayan. Kedua, bentuk sistem pembagian hasil dengan
cara sistem sewa kapal (kapal yang digunakan nelayan adalah kapal kecil), biasanya
yang melakukan penangkapan hanya seorang atau dua orang saja.
Pola yang pertama dalam garis besarnya perhitungannya adalah sebagai berikut:
penghasilan kotor dipotong 20% untuk toke, potong uang belanja selama operasional,
potong 10% untuk tekong, kemudian penghasilan bersih dibagi dua antara toke dengan
tekong dan para kru anggota operasi jika dibuat dalam bentuk persenan dari hasil
pembagian pemilik kapal mendapat  65% sementara tekong dan nelayan buruh 35%.
Namun dengan catatan seluruh biaya operasional, kerusakan kapal dan alat tangkap
dilibatkan kepada anggota kru (nelayan buruh) atau dengan kata lain dimaksudkan
dalam anggaran belanja yang setiap hasil penangkapan selalu diperhitungkan. Masalah
timbul dikarenakan setiap kali turun ke laut belum tentu sebuah kapal mengalami hasil
maksimal dengan mendapatkan laba cukup besar, terkadang sama sekali tidak
110
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan hasil untuk menutupi biaya produksi atau mengalami kerugian maka
nelayan yang menanggung kerugian tersebut dianggap berhutang kepada toke.
Untuk pola yang kedua, sistemnya adalah sistem sewa kapal, yaitu dengan
sistem bayar sewa kepada toke pemilik kapal. Hasil tangkap nelayan yang menjadi
penyewa akan dibagi tiga yaitu untuk toke, untuk perbaikan kapal dan alat tangkap dan
untuk nelayan. Pembagian untuk perbaikan kapal biasanya dipegang oleh toke, sehingga
menjadikan perhitungannya menjadi 2/3 untuk toke dan 1/3 untuk nelayan. Hasil
tangkap nelayan penyewa ini harus dijual kepada toke pemilik kapal tidak boleh kepada
toke lain. Bila nelayan tersebut menjual kepada toke lain maka pemilik kapal tidak akan
segan-segan memberikan sangsi, baik secara jalur hukum ataupun jalur kekeluargaan
yang dapat melibatkan kepala desa atau pun aparatur desa. Sama halnya dengan sistem
yang pertama para toke pemilik hanya mendapat keuntungan saja dari cara ini, karena
bila terjadi kerusakan yang cukup parah, toke biasanya tidak akan membiayai seluruh
perbaikannya dia akan meminta nelayan yang menyewa kapalnya ikut andil
membiayainya. Alasan mereka biasanya adalah biaya perbaikan yang cukup mahal dan
kebiasaan nelayan yang tidak bisa menjaga alat tangkap tersebut saat beroperasi.
Pemasaraan ikan hasil tangkap nelayan berjalan lancar sesuai dengan
mekanisme pasar ikan yang berlaku di dalam komunitas nelayan, kelembagaan ekonomi
akan sangat mendukung aktivitas jual beli ikan antara produsen dan konsumen.
Terstrukturnya kelembagaan dan tersedianya sarana-sarana pemasaran membantu
nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan sesuai dengan harga tawar menawar yang
saling menguntungkan antar kedua belah pihak yang berkepentingan. Pada prakteknnya
111
Universitas Sumatera Utara
di lapangan kondisi pasar ikan justru melemahkan sebagian nelayan skala tradisional
dan nelayan buruh yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Untuk nelayan tradisional
lebih dikarenakan tingkat pengolahan ikan yang kurang memadai, penghasilan sedikit
sehingga mengambil jalan pintas melelang ikan secara tradisional tanpa mengikuti
mekanisme pasar. Sedangkan nelayan moderen (buruh) hasil tangkapan sudah
dimonopoli langsung oleh pihak pemilik kapal atau toke yang sering mempermainkan
harga dan timbangan berat ikan hasil tangkapan. Begitu juga akan menutup peluang
menyalurkan ikan ke pembeli lain seperti TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang
menerapkan standar baku pada ikan, di samping itu nelayan juga enggan menjual ikan
ke TPI karena terbatasnya pengetahuan mereka terhadap institusi ekonomi tersebut.
Pemasaran dalam pola ekonomi nelayan terdiri dari dua bentuk, pertama bentuk
tradisional dan bentuk rantai pemasaran moderen. Pemasaran tradisional dilakoni antara
para nelayan dengan para penampung-penampung ikan dan para pengelola ikan
berskala kecil yang menampung jenis-jenis ikan kualitas lokal. Sedangkan pemasaran
moderen dilakoni para toke besar, pemasaran (marketing pihak pemilik modal) dan TPI
yang menampung memasarkan jenis ikan yang berkualitas ekspor. Untuk penampung
mata rantai pemasaran tradisional daya tampungnya terhadap kebutuhan ikan masih
sangat terbatas, sistem pembeliannya pun dominan borongan tanpa timbang sebab jenis
ikan yang dibeli sangat beraneka ragam tanpa sortir terkecuali jenis ikan yang sangat
mahal di pasaran seperti udang kelong. Untuk pemasaran dengan sistem yang moderen
kapasitas penampungan sangat besar khususnya ikan-ikan besar berkualitas pangsa
pasar luar daerah dan ekspor. Sortiran-sortiran ikan tersusun rapi berdasarkan jenis ikan
112
Universitas Sumatera Utara
dengan pengawet yang terjamin setelah sampai di tangkahan daratan, tak lama
kemudian seluruh fiber-fiber ikan tersebut akan diangkut untuk dipasarkan melalui jasa
transportasi darat maupun laut menuju berbagai kota antara lain Medan, Sei Rampah,
Aceh dan lain-lain, tidak jarang pula dipasarkan ke kota manca negara seperti
Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Hongkong sebagai sasaran utama untuk
pemasaran jenis ikan berkualitas tinggi. Seperti Udang-udangan, ikan kerapu, ikan
kakap, ikan tuna/sisik dan lainnya. Biasanya untuk pemsaran moderen tersebut
dilakukan oleh toke-toke yang memiliki kapal yang besar dan lebih dari satu. Di desa
Pekan Tanjung Beringinlah yang paling banyak memiliki toke-toke yang besar
dibandingkan desa Pantai Cermin Kanan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa bisa
terjadi demikian.
Dalam beberapa tahun terakhir menurut para nelayan di dua wilayah ini kondisi
laut saat ini sangat parah, dimana para nelayan yang melaut bisa saja tidak mendapat
ikan sama sekali. Menurut mereka hal ini disebabkan kondisi laut yang sudah tidak
dapat ditebak lagi keadaannya. Hal tersebut menyebabkan melemahnya kondisi pasar
ikan nelayan. Bila ditelusuri secara mendalam ada beberapa faktor struktural yang
menyebabkan hal ini terjadi selain diakibatkan kondisi laut. Pertama, dipengaruhi
permintaan yang lebih kecil daripada pembeli dibanding persediaan ikan yang
ditawarkan penjual jika saat musim panen. Kedua, masih terbatasnya jumlah pedagang
yang memborong ikan sehingga tawar-menawar tidak seimbang dan bersifat
monopolistik. Ketiga, penerapan sistem patron-klien antara pihak pemilik armada
dengan para toke, dimana pihak nelayan buruh tidak leluasa memasarkan ikan hasil
113
Universitas Sumatera Utara
tangkapannya dan menerapkan monopoli dengan melarang keras memasarkan produksi
ke TPI. Keempat, keberadaan organisasi nelayan berupa HNSI atau pun LSM-LSM
nelayan belum mampu berfungsi sepenuhnya melindungi kepentingan ekonomi nelayan
tradisional.
E. Pengetahuan Nelayan Terhadap Gejala alam, Konflik Nelayan Dan Mitos Laut
Sumberdaya perairan laut lebih bersifat milik umum (Common property), di
desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan nelayannya tidak
menetapkan wilayah-wilayah penangkapan secara absolut, nelayan dari wilayah lain
dapat melakukan penangkapan di zona perairan mereka. Misalnya saja banyak nelayan
luar dengan teknologi penangkapan yang lebih canggih lagi dari mereka yang secara
notebene seharusnya tidak dapat melakukan penangkapan di zona tradisional yang
melarang alat tangkap mereka melabuh disana dan melakukan penangkapan ikan.
Nelayan tidak sama dengan kehidupan petani yang membudidayakan tanaman
sekitar lingkungan hidupnya, nelayan menggantungkan kebutuhan hidup dengan
melakukan perburuan ikan-ikan, biota laut yang hidup bebas, liar di perairan laut.
Namun hal tersebut kiranya harus segera berubah, karena nelayan harus mulai
berinisiatif membudidayakan ikan dan biota laut sebab ketergantungan kepada
sumberdaya yang berasal dari alam semata, sewaktu-waktu akan mengalami penipisan
atau krisis stok sumberdaya laut (over fising) karena pemanfaatan yang tanpa batas oleh
sesama nelayan dengan penerapan aneka ragam teknologi eksploitasi.
Di kedua wilayah desa yaitu desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin
Kanan usaha pembudidayaan masih sangat kurang. Keterbatasan pengetahuan, modal
114
Universitas Sumatera Utara
menjadikan kendala untuk merealisasikannya. Komunitas nelayan masih sangat besar
ketergantungannya terhadap sumberdaya perairan bebas yang diwarisi dari generasigenerasi berikutnya. Dalam usaha mengelola sumberdaya laut nelayan telah dibekali
atau selalu tersosialisasi akan pengetahuan menyangkut seluk beluk fenomena dilautan
yang sangat berpengaruh kepada pengambilan keputusan alternatif yang tempuh dalam
melaksanakan mekanisme aktifitas atau operasi kelautan. Nelayan memahami segala
sesuatu yang terdapat di sekitar lingkungan perairan laut, fenomena alam (iklim, cuaca,
musim yang berhubungan dengan ikan dan aneka sumberdaya laut) yang tentunya akan
mendorong terwujudnya kelakuan nelayan dalam mengeksploitasi atau memberlakukan
sumberdaya dilingkungannya.
E. 1. Pengetahuan Tentang Gejala alam (Membaca Cuaca dan Rotasi
Bulan)
Faktor penting yang selalu mempengaruhi operasi penangkapan ikan para
nelayan walaupun pengaruhnya relatif berdampak langsung kepada nelayan adalah
faktor kondisi cuaca. Hanya kondisi cuaca yang sangat dahsyat, buruk atau tidak
mengenal kompromi yang sanggup total menonaktifkan aktiofitas para nelayan melaut.
Sebagian nelayan dengan teknologi yang moderen telah mampu menjinakkan atau
meminimalisasikan pengarug cuaca seperti badai, hujan, dan lain-lain, namun sebagian
besar nelayan masih ada yang mempertahankan alat tangkap tradisional dan terbatas
kemampuannya, tentunya sangat merasakan dampak cuaca tersebut. Di sisi lain ada juga
nelayan yang menyelaraskan operasi penangkapan dengan pengaruh-pengaruh gejala
alam baik nelayan moderen maupun tradisional.
115
Universitas Sumatera Utara
Nelayan secara umum mengetahui beberapa jenis perubahan cuaca atau musim
yang mengalami rotasi namun musim tidak lagi menjadi patokan baku komunitas
nelayan, sebab adanya kecenderungan perubahan yang tidak stabil di saat-saat musim
itu tiba dan kontribusi teknologi penangkapan moderen serta kondisi kebutuhan sosial
ekonomi yang mendesak mendorong para nelayan semakin mengabaikan faktor cuaca
atau musim.
Para nelayan mengenal beberapa musim yang populer yang di dasarkan pada
arah angin yang berhembus adalah musim angin Barat (musim Barat), musim Angin
Timur (Musim Timur), musim Angin Selatan (Musim Selatan), dan musim peralihan.
Musim Barat terjadi bulan Desember, Januari, Februari, Maret (4 bulan) dimana
frekuensi angin Barat Daya dan hujan sangat tinggi dalam satu atau dua minggu pasti
kondisi hembusan cuaca memburuk melanda sehingga nelayan mengalami kendala
besar dalam beroperasi menangkap ikan. Memasuki bulan April dan Mei terjadi musim
Selatan atau musim Peralihan dari musim Barat menuju musim Timur, angin Barat
masih berhembus tetapi kecepatannya dan kemampuannya berkurang. Dalam bulan ini
arah angin sudah tidak menentu berhembus dari segala arah mata angin. Periode ini
dikenal juga musim pancaroba awal tahun (paceklik) yang berimbas dari musim Barat.
Kemudian memasuki bulan Juni, Juli, Agustus, September terjadilah apa yang disebut
musim Timur, masa-masa panennya nelayan sebab peluang beroperasi cukup besar
dengan dukungan keadaan cuaca, arah mata angin, dan gelombang laut sangat tenang.
Setelah itu memasuki bulan Oktober dan November musim peralihan terjadi lagi dari
musim Timur ke musim Barat arah mata angin kembali tidak menentu.
116
Universitas Sumatera Utara
Menurut pengalaman para nelayan angin yang membuat suasana paling kondusif
untuk beroperasi menangkap ikan adalah angin tenang, angin yang berhembus dari
beberapa penjuru mata angin berfrekuensi sedang dan lambat (Barat Daya, Timur,
Selatan, Utara) kondisi ini dapat terjadi pada segala jenis angon musim tetapi paling
dominan terjadi pada bulan-bulan musim Timur yang memungkinkan para nelayan
dapat menangkap berbagai jenis ikan perairan laut.
Musim penangkapan berhubungan dengan ukuran (besar/kecil) dan jenis
tangkapan baik ikan-ikan dasar laut, ikan yang biasa di permukaan laut, maupun udang,
cumi-cumi yang tertangkap, karena adaptasi alamiah dan siklus ekologi. Bagi nelayan
Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan, mereka mengidentifikasikan hasil
tangkap ikan tertentu berdasarkan lamanya musim suatu koloni ikan.
Khususnya saat musim Timur nelayan akan mendapatkan hasil tangkapan
berupa jenis-jenis ikan pelagis antara lain ikan aso-aso/gembung, gembung kuring,
dencis, selar, tongkol, dan lain-lain. Sedangkan saat musim Barat, maka yang timbul
adalah jenis-jenis udang, kepiting/rajungan. Tetapi bila diamati secara umum nelayan di
dua wilayah ini mendapatkan jenis ikan yang beraneka ragam, dikategorikan atas ikan
yang hidup didasar perairan disebut kelompok ikan demersal, ikan yang hidup
dipermukaan laut disebut kelompok ikan pelagis dan kelompok non ikan seperti udangudang dan cumi-cumi, sotong dan lain-lain. Dari ukurannya ikan pelagis dapat
dibedakan atas ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan sebagainya, dan ikan
pelagis kecil misalnya aso-aso/gembung, jenis ikan layang, ikan selar, tenggiri, ikan
117
Universitas Sumatera Utara
tongkol, bawal dan sebagainya, disamping itu terdapat ikan-ikan pelagis yang sangat
peka terhadap cahaya misalnya ikan badar/teri, dencis dan lainnya.
Disamping
angin
musim,
masyarakat
nelayan
juga
mengetahui
dan
memanfaatkan angin laut dan angin darat. Angin laut dan angin darat terjadi karena
perbedaan pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan pada siang hari dan
malam hari, sedangkan angin musim terjadi karena perbedaan pemanasan dan
pendinginan antara benua dengan laut luas pada musim panas dan musim dingin. Angin
laut adalah angin permukaan yang berhembus dari arah laut ke arah darat dan terjadi
pada siang hari. Sebaliknya angin darat ialah angin permukaan yang berhembus dari
darat ke arah laut yang terjadi pada malam hari.
Segolongan nelayan tradisional memanfaatkan angin darat sekitar jam 05.0006.00 pagi untuk pergi beroperasi menangkap ikan sebab menurut mereka suasana
angin, arus laut tenang tidak bergelombang besar dan pagi hari bertepatan dengan tabiat
ikan-ikan akan muncul dan mencari makanan sampai batas bertiupnya angin laut jam
10.00-11.00 pada siang hari, perairan bergelombang, air laut keruh serta ikan-ikan
menjadi liar. Begitu juga disaat sore hari perubahan air laut menuju angin darat nelayan
juga memanfaatkannya dengan baik. Nelayan yang sering memanfaatkan rotasi angin
darat, angin laut dan sebaliknya angin laut dan angin darat untuk beroperasi adalah
nelayan dengan alat tangkap jaring gill net, pemancing tradisional, pukat tepi, dan lainlain.
Selain peredaran musim untuk memahami gejala-gejala alam nelayan berpegang
juga kepada sandi atau tanda-tanda alam dengan mengamati posisi bintang, bulan yang
118
Universitas Sumatera Utara
diyakini nelayan menentukan, berpengaruh terhadap kondisi berikutnya yang akan
datang atau sesuatu akan melanda mereka saat beroperasi ditengah laut.
Bulan beredar mengelilingi bumi dengan bantuan cahaya matahari planet bulan
menyinari belahan bumi pada saat malam hari. Peredaran cahaya bulan berpengaruh
terhadap aktifitas nelayan di lingkungan laut sebagai tempat perburuan ikan-ikan.
Pengaruhnya sangat dirasakan nelayan yang menggunakan rangsangan cahaya (gejala
fotoaksis) dengan bantuan alat tangkap lampu dalam operasi penangkapannya yaitu
meliputi nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat cincin.
Peredaran rotasi bulan dimulai dari arah Timur 1 hari bulan dari kuartir pertama
menuju kuartir kedua berusia 7 hari bulan berada tepat di tengah angkasa, setelah itu
bergerak ke kuartir ketiga menuju arah Barat, terbit berbentuk bulan purnama (15 hari
bulan) dari arah Barat, kembali bergerak menuju kuartir ke empat terbit tepat berada di
tengah angkasa 23 hari bulan kemudian berakhir menuju kuartir ke empat dari
peredarannya kembali ke arah Timur 30 hari bulan (bulan mati/kalam bulan).
Khususnya bagi nelayan yang beraktifitas di hutan bakau desa Hajoran, nelayan
jala, jaring belanak, memungkinkan mereka mendapatkan hasil yang banyak sebab
kondisi waktu-waktu pasang besar koloni-koloni ikan akan menuju pinggir ke dalam
zona hutan bakau (wilayah penangkapan), mereka akan memanfaatkan momen-momen
tersebut sebaik mungkin agar mendapatkan produksi penangkapan yang maksimal.
Sebaliknya nelayan pencari biota-biota laut: kerang, ketam, kepiting dan lainnya,
kondisi pasang besar akan menghambat aktifitas pencarian biota-biota tersebut. Mereka
lebih aktif beroperasi saat-saat kondisi pasang air laut surut serendah-rendahnya.
119
Universitas Sumatera Utara
Disamping hal tersebut diatas, secara umum pengetahuan mengenai gejala alam
semakin lama semakin ditinggalkan para komunitas nelayan di desa Pekan Tanjung
Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan sebab dianggap kurang efektif seperti
sediakalanya dulu. Banyak nelayan tidak mau tahu akan hal ini, yang paling utama bagi
mereka adalah bagaimana meningkatkan kecanggihan alat tangkap agar mampu
meningkatkan produksi dan bersaing dengan nelayan yang telah lebih dahulu
menggunakan alat tangkap yang canggih dan moderen, menurut mereka teknologi alat
tangkap yang moderen tidak lagi terlalu dipengaruhi gejala-gejala alam. Secara
langsung ataupun tidak moderenisasi teknologi kelautan ikut andil menekan nelayan
tradisional kehilangan tradisi pengetahuan lokal mereka.
E. 2. Konflik-Konflik Nelayan
Kebebasan penerapan dan penggunaan teknologi dalam penangkapan ikan di
perairan laut memberi peluang besar bagi pihak-pihak nelayan moderen berperan lebih
menonjol dalam operasi penangkapan di lokasi-lokasi zona penangkapan tradisional
sementara nelayan tradisional kalah bersaing terhadap teknologi penangkapan mutakhir,
kondisi lautnya pun semakin hari produktifitasnya menurun drastis. Persaingan bebas
antara nelayan menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke konflik terbuka
karena salah satu pihak merasa dirugikan terus menerus oleh pihak lain. Persaingan
antar nelayan ini menimbulkan konflik yang semakin hari berlarut-larut yang
mengakibatkan para nelayan mengambil sikap diam dalam menanggapi semua
persaingan yang ada. Bukan hanya persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan
120
Universitas Sumatera Utara
moderen saja yang timbul namun sesama nelayan tradisional pun selalu merasa
dirugikan satu dan yang lainnya.
E. 2. 1. Konflik Sesama Nelayan Tradisional
Pemanfaatan zona perairan perikanan pantai yang semakin padat oleh para
nelayan tradisional antara lain pukat tepi, jaring udang, jaring salam, jaring kepiting dan
nelayan yang menggunakan alat pancing sederhana mengakibatkan persaingan diantara
mereka dalam penangkapan dan perebutan lokasi tangkap. Walaupun secara tidak
langsung, tetapi mereka akan berusaha mempertahankan lokasi mereka bila mereka
mendapatkan hasil yang banyak dari suatu lokasi tangkap. Mereka tidak akan
memberitahukan kepada nelayan lain bila suatu waktu mereka menemukan lokasi
tangkap yang kebetulan mempunyai banyak hasil tangkap. Walapun masing-masing
nelayan memiliki lokasi-lokasi tertentu dalam pengoperasiannya, tidak jarang diantara
mereka juga terjadi keributan kecil akibat terjadinya perebutan wilayah secara tidak
sengaja ataupun disengaja. Hal tersebut dikibatkan ketidak adannya keterbatasan
nelayan untuk menangkap ikan di perairan laut.
Contoh lainnya adalah saat komunitas nelayan jaring gembung di desa Pekan
Tanjung Beringin atau komunitas nelayan jaring Kepiting di desa Pantai Cemin Kanan
sangat terganggu bila pendirian bagan pancang semakin menjamur tanpa mengenal
batas-batas perairan daerah pembangunannya, baik yang didirikan di pinggir maupun
agak ke tengah perairan terlihat seperti perumahan kecil berderet di tengah laut. Rasa
keberatan mereka berupa alasan bahwa bekas-bekas reruntuhan bagan pancang yang
berada didalam perairan laut dapat mengganggu kelancaran kegiatan menangkap ikan
121
Universitas Sumatera Utara
sebab jaring akan mudah tersangkut dan mengalami kerusakan parah Begitu juga yang
dirasakan penjaring udang dan pukat tepi jika bagan-bagan tersebut sudah sangat
banyak berdiri dan tegak ke tepi akan mengganggu jaring yang dibentangkan, maka
tindakan yang mereka ambil adalah meruntuhkan bagan-bagan yang berdiri seenaknya
saja tanpa sepengetahuan sipemilik bagan. Lalu oleh si pemilik bagan yang diruntuhkan
tersebut dengan ikhlas hati harus rela memindahkan bagan miliknya.
Konflik yang sering juga terjadi pada nelayan jaring kepiting di desa Pantai
Cermin Kanan, dimana para nelayan ini sering sekali kehilangan jaring mereka ketika
sedang di tinggalkan oleh pemiliknya di tengah laut. Cara penggunaan jaring kepiting
yang mengharuskan nelayan tersebut pergi untuk memasang jaringnya ketika pagi-pagi
buta sekitar jam 05.00 Wib dan meninggalkan jaringnya di tempat dimana mereka biasa
melakukan penangkapan, lalu akan kembali lagi ke lokasi untuk melihat hasil tangkapan
sekitar jam 10.00 Wib. Namun tidak jarang mereka sering kehilangan jaring akibat
adanya pencurian oleh nelayan lainnya. Bila hal tersebut terjadi biasanya mereka tidak
dapat melakukan apapun. Alasannya, mereka tidak bisa menuduh siapapun dan bila
mereka menuduh tanpa bukti maka si nelayan akan di cap pembuat onar. Nelayan yang
kehilangan jaring hanya bisa diam dan segera mengganti jaring tersebut dengan yang
baru.
Dikalangan interen nelayan, pembangunan unit yang saling berdekatan akan
menimbulkan
kecurigaan
satu
sama
lainnya,
terutama
operasi
mekanisme
penangkapannya sama maka salah satu diantaranya harus pindah membangun bagan
baru yang jaraknya relatif jauh. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
122
Universitas Sumatera Utara
kecurigaan antar nelayan bila suatu waktu salah satu dari jaring mereka terjadi
kerusakan atau kehilangan. Hal tersebutlah yang biasa dilakukan untuk mencegah
terjadinya keributan.
E. 2. 2. Konflik Antar Nelayan Tradisional Dan Nelayan Moderen
Persaingan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya laut terlihat
antara nelayan tradisional dengan mereka yang menerapkan teknologi penangkapan
moderen (nelayan moderen). Daya jelajah yang tinggi memungkinkan bagi nelayan
moderen untuk leluasa beroperasi pada seluruh wilayah penangkapan baik lokasi
penangkapan tradisional dan lokasi penangkapan bebas. Nelayan-nelayan bagan boat,
pukat cincin, dan pukat trawl (pukat harimau) sering kali melakukan aktifitas
penangkapan yang sebenarnya melanggar aturan yang berlaku. Menurut nelayan di dua
wilayah ini, perilaku tersebut merupakan unsur kesengajaan meskipun telah beberapa
kali mendapat keluhan dan protes dari nelayan-nelayan tradisional yang melihat
langsung aktifitas mereka.
Nelayan sangat mengeluh akan beroperasinya kelompok-kelompok nelayan
moderen karena dirasa dapat berpengaruh mengurangi produksi penangkapan, dimana
ikan-ikan terhambat, terlebih dahulu dieksploitasi dan lebih banyak kepada nelayan
moderen sehingga nelayan tradisional yang beroperasi agak kepinggir dengan
mengaplikasikan teknologi apa adanya kalah bersaing dalam memperoleh sumberdaya
ikan yang memadai.
Protes-protes keras berdatangan dari para nelayan tradisional. Mereka pernah
melakukan protes kepada pihak-pihak yang berwenang seperti polisi laut, hingga ke
123
Universitas Sumatera Utara
pemerintah
setempat
dan
DPRD.
Mereka
meminta
agar
pengusaha
yang
mengoperasikan pukat harimau hendaknya di usut secara hukum, menghentikan
operasionalnya pada wilayah tradisional karena melanggar hukum serta dapat merusak
kelestarian laut yang akan berpengaruh terhadap mata pencaharian komunitas nelayan
tradisional. Pertama mereka menyikapi protes tersebut dengan sikap positif dan terbuka.
Namun karena banyaknya faktor-faktor kepentingan dari nelayan moderen, pihak-pihak
yang memiliki otoritas selalu saja tidak mampu berlaku di lapangan. Permasalahan
pelanggaran zona penangkapan selalu saja mewarnai pemanfaatan pengelolaan
sumberdaya laut dan nelayan tradisional menduka hal tersebut merupakan bentuk kerja
sama antara pihak nelayan moderen dengan pihak polisi laut dan pihak-pihak terkait
lainnya sehingga pelanggaran-pelanggaran wilayah operasi tersebut hingga saat ini tetap
ada.
E. 3. Kepercayaan Nelayan Terhadap Mitos Laut
Saat ini dikarenakan perkembangan pendidikan, pengetahuan moderen,
perkembangan teknologi serta meningkatnya keyakinan beragama masyarakat nelayan
di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan kepercayaan terhadap
mitos-mitos laut yang dahulu ada sudah tidak lagi berlaku bagi masyarakat nelayan
setempat. Menurut masyarakat setempat berakhirnya kepercayaan terhadap mitos-mitos
sejak 15 atau 20 tahun yang lalu dan sejak itu tidak ada lagi upacara-upacara untuk
menolak bala ataupun yang lazim disebut mitos.
Dahulu kira-kira tahun 1980-an masyarakat nelayan desa Pekan Tanjung
Beringin dan Pantai Cermin Kanan mempercayai suatu upacara untuk menghormati
124
Universitas Sumatera Utara
para penunggu laut (makhluk halus), upacara tersebut bernama Jamu Laut. Upacara
Jamu Laut adalah upacara yang dilakukan guna untuk menenangkan penunggupenunggu laut yang suatu saat dapat memberi musibah bila hatinya sedang marah akibat
perilaku para nelayan yang semena-mena menangkap hasil laut tanpa memperhitungkan
kondisi laut. Fungsi upacara Jamu laut pada umumnya memiliki fungsi yang beranea
ragam, walaupun fungsi tersebut lebih cenderung kepada fungsi magis. Fungsi-fungsi
bila upacara ini dilakukan adalah para penunggu laut tersebut tidak akan memberi
musibah (bencana ombak besar, kecelakaan di laut, penyakit-penyakit dan
lainnya)malah akan memberi suatu rezeki (hasil laut yang melimpah, terhindar dari
bencana, penyakit dan lainnya) yang berlimpah bagi nelayan-nelayan sekitar, terlebih
lagi bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang terkandung di
dalam perairan laut.
Upacara ini dulunya wajib dilakukan setiap kali ada tanda-tanda terjadinya suatu
musibah besar, penyakit menular yang tidak ada obatnya, dan penurunan hasil laut yang
secara mendadak turun drastis. Maka rangkaian upcara Jamu Laut tersbut akan
dilakukan. Mulanya akan diadakan pertemuan para tetua-tetua adat dan kepala desa
dengan dukun atau orang pintar yang dipercayai dapat berhubungan dengan para rohroh tersebut. Hal ini dilakukan guna untuk mencari tahu apa yang diinginkan oleh
penunggu-penunggu laut tersebut. Lalu setelah mengetahui segala kehendak si roh maka
segenap masyarakat akan menyediakannya tanpa boleh satupun yang terlupakan. Maka
setelah itu akan diadakan lagi pertemuan antara tetua adat dengan dukun tersebut untuk
mendengar dan meminta hari yang pasti untuk melakukan upacara tersebut kepada
125
Universitas Sumatera Utara
penunggu/roh laut tersebut. Biasanya upacara tersebut diadakan selama tiga hari-tiga
malam secara besar-besaran. Masyarakat mempercayai bila upacara tersebut telah
dilakukan maka mereka akan mendapatkan berbagai kelimpahan rezeki dari hasil laut.
Namun bila mereka tetap mendapatkan kemalangan maka mereka akan berserah diri
menerima segala bencana tersebut. Mereka mempercayai bahwa bila penunggu laut
tetap memberi kemalangan itu karena penunggu/roh laut tersebut sudah sangat marah
dan tidak bisa memaafkan kesalahan yang mereka perbuat.
126
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KETERKAITAN AKTIFITAS DAN PENGELOLAAN MASYARAKAT
NELAYAN TERHADAP KELESTARIAN EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT
A. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Dan Laut Akibat Aktivitas Manusia
Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan
begitu pula pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir meningkat secara pasti, akibat
dari bertambahnya jumlah penduduk maka aktivitas manusia di wilayah pesisir terutama
dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir meningkat pula secara
drastis. Berbagai macam aktivitas manusia yang dilakukan baik di daratan maupun di
lautan mendorong terjadinya perubahan lingkungan wilayah pesisir. Usaha-usaha
pemanfaatan sumberdaya perairan secara intensif tanpa batasan-batasan tertentu dengan
segala bentuk-bentuk pengaplikasian teknologi skala tradisional atau teknologi
penangkapan muktahir (moderen) akan menimbulkan reaksi-reaksi positif maupun
negatif terhadap manusia dan lingkungan sumberdaya tersebut antara lain: (1).
Ekosistem lingkungan hutan bakau (mangrove), (2). Ekosistem trumbu karang dan
eksosistem laut secara keseluruhan. Aspek-aspek positif eksploitasi akan memenuhi
kebutuhan masyarakat nelayan sementara pengaruh negatifnya pengelolaan berlebihan
mengakibatkan putusnya mata rantai lingkungan hidup.
Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan mengalami over
eksploitasi, diantaranya adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional
pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada tahun 1997 baru mencapai 58,5% dari
potensi lestarinya, akan tetapi pada beberapa wilayah di Indonesia sudah mengalami
kondisi tangkap lebih (over fishing) (Dinas Perikanan dan Kelautan Serdang Bedagai
127
Universitas Sumatera Utara
2007). Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami tangkap lebih adalah ikanikan komersial seperti ikan jenis pelagis, udang dan ikan karang. Udang mengalami
over fishing hampir di seluruh perairan Indonesia. Begitu pula halnya di wilayah desa
Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan, bila dilihat secara umum
perairan laut di wilayah ini adalah salah satu wilayah yang memiliki banyak sekali
sumberdaya alam laut yang sangat kaya. Dimana masyarakat nelayannya adalah ratarata nelayan tradisional dengan alat tangkap yang masih tergolong sederhana. Namun
dikarenakan persaingan yang terjadi diperairan laut yang begitu tinggi mau tidak mau
membuat nelayan di dua desa ini harus meningkatkan kinerja alat tangkap mereka agar
dapat bersaing dengan nelayan yang berasal dari luar wilayah yang sengaja datang
melakukan penangkapan dengan alat tangkap yang jauh sangat moderen dibandingkan
mereka. Persaingan inilah yang mengakibatkan semakin besarnya eksplotasi laut atau
penangkapan yang berlebih.
Perlombaan dalam meraup potensi yang lebih banyak diwujudkan dengan
meningkatkan kecanggihan alat penangkapan demi memaksimalkan hasil tangkapan,
memperluas wilayah operasi dan lainnya yang hanya dimiliki sebagian komunitas
nelayan sedangkan komunitas lain tetap saja tertinggal secara teknologi yang
berhubungan langsung dengan pendapatan sektor ekonomi laut. Sehingga nelayan dari
kriteria tersebut terbagi dua yaitu nelayan moderen yang mengoperasionalkan teknologi
canggih, pendapatannya sangat mencukupi bahkan over produksi dan nelayan
tradisional yang kemampuan teknologinya terbatas, terbatas pula dalam hasil
penangkapan yang berkorelasi langsung terhadap income pendapatan ekonomi, dari itu
banyak nelayan-nelayan tradisional memperbanyak jenis alat tangkapnya agar mampu
128
Universitas Sumatera Utara
bertahan memanfaatkan potensi laut sesuai dengan kecenderungan musim jenis-jenis
ikan hasil tangkapan, atau mencari usaha sampingan seperti berdagang, buruh, ataupun
bertani. Persaingan yang terjadi antar nelayan telah mengakibatkan stok potensi
sumberdaya laut yang semakin menipis.
Kondisi persaingan dan semakin marjinalnya nelayan tradisional bukan saja
dialami nelayan perairan tetapi juga dialami nelayan yang beroperasi di kawasan hutan
mangrove, akibat penyempitan lahan, berubah menjadi lahan-lahan perkebunan,
tambak, perumahan dan lain-lain. Pengerusakan hutan mangrove, terumbu karang
menambah runyamnya suasana kondusif nelayan untuk memaksimalkan hasil
penangkapan sebab kelestarian kedua jenis eksosistem menyumbang sangat berarti
terhadap kawasan pengembangan semua jenis biota laut yang menjadi sumber
penghidupan nelayan. Menurut Dahuri (2001), setiap perubahan bentang alam daratan
dan dampak negatif lainnya seperti pencemaran, erosi dan perubahan secara drastis
regim aliran air tawar yang terjadi di ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan
berdampak terhadap ekosistem pesisir. Antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir juga
terdapat
keterkaitan
dan
interaksi
satu
sama
lain,
sehingga
saling
mempengaruhi. Sebagai contoh tipe keterkaitan ekosistem adalah: pembukaan hutan
mangrove besar-besaran mengakibatkan mangrove kehilangan fungsi sebagai perangkap
sedimen sehingga sedimen masuk ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang dan
mengganggu fungsi kedua ekosistem tersebut. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam
gambar yang ada di berikut ini:
129
Universitas Sumatera Utara
Gambar: Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove
dan terumbu karang (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2002)
A. 1. Kelestarian Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove memegang peranan yang sangat penting dalam eksosistem
wilayah pesisir. Peran ini telah diketahui oleh masyarakat umum walupun tidak begitu
dalam, namun sudah cukup menjadi dasar acuan bagi pemerintah untuk membangkitkan
semangat dalam diri masyarakat agar melakukan penyelamatan terhadap areal hutan
mangrove yang masih tersisa. Namun terkadang dikarenakan kebutuhan ekonomi dan
pengetahuan yang masih tipis tersebut mereka malah tidak peduli dan melakukan
penebangan baik secara terang-terangan maupun diam-diam yang akibatnya kerugian
banyak pihak.
Seiring dengan peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk di desa Pekan
Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan maka hutan mangrove banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat antara lain:
dikonversi menjadi lahan
130
Universitas Sumatera Utara
perikanan, pertanian/perkebunan dan pemukiman, penebangan untuk dijadikan kayu.
Hal ini menyebabkan mangrove tidak berfungsi dengan baik sehingga memberikan
dampak negatif terhadap lingkungan pesisir seperti: peningkatan salinitas hutan
mangrove karena kurangnya aliran air tawar, menurunnya tingkat kesuburan,
mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan, pendangkalan perairan pantai,
erosi garis pantai dan intrusi garam, terjadinya pencemaran laut, sedimentasi dan lainlain.
Masyarakat nelayan sudah sejak lama memanfaatkan beraneka ragam
sumberdaya hayati flora dan fauna yang hidup bebas di kawasan hutan-hutan bakau
tersebut, dan masih terlihat aktivitas pemanfaatan sampai saat ini walaupun
intensitasnya telah mengalami pengurangan drastis seiring berkurangnya lahan-lahan
bakau dan stok sumberdaya akibat langsung daei menipisnya habitat asli hutan
mangrove. Tercatat ada 4 jenis alat penangkapan tradisional yang digunakan nelayan
dalam mengelolanya yaitu: jaring insang kecil, jala, parang untuk mengorek jenis
kerang-kerangan. Ditambah lagi pemanfaatan tumbuh-tumbuhan bakau (kayu) dan daun
nipah yang ada dilokasi mangrove tersebut.
Karakter tradisional setidaknya mampu bertahan untuk menutupi sebagian
kebutuhan nelayan akan ikan dan biota-biota laut, akan tetapi mulai timbul persoalan
saat kawasan mangrove terdegradasi oleh kepentingan bentuk-bentuk pengusahaan yang
mulai di minati dan yang dibutuhkan masyarakat dua desa ini yaitu: pembuatan areal
pertambakan udang, penebangan areal hutan bakau yang tidak terkendali untuk
dijadikan kayu bakar, arang dan bahan bangunan, perluasan areal pemukiman,
131
Universitas Sumatera Utara
pembuatan areal perkebunan dan lain-lain. Aktifitas tersebut akan mengganggu mata
rantai siklus hidup berupa ikan, udang, kerang-kerangan dan biota lainnya.
A. 2. Kelestarian Ekosistem Trumbu Karang dan Padang Lamun
Terumbu karang merupakan lahan subur bagi pertumbuhan berbagai jenis biotabiota dan ikan maupun tumbuhan laut. Trumbu karang yang ada di dua wilayah perairan
Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan saat ini sudah hampir tidak ada lagi.
Terumbu karang yang kondisinya masih baik hanya terdapat di wilayah perairan
Tanjung Beringin. Hal tersebut dikarenakan adanya perlindungan dari pemerintah
setempat atas wilayah tersebut sehingga menjadikannya wilayah terlarang. Lokasi
terumbu karang tersebut berada di satu pulau kecil yang disebut Pulau Berhala. Pulau
Berhala ini dilindungi oleh pemerintah dikarenakan lokasinya yang sangat potensial
yang dapat dikembangakan menjadi wisata bahari karena panorama pantai yang unik
dan indah. Selain itu pantai di pulai tersebut memiliki kekayaan alam berupa karang
bawah laut yang sangat indah, kecenderungan hayati yang tinggi dan menjadi habitat
jenis flora dan fauna.
Selain itu, kondisi pulau yang berada di Selat Malaka yang menjadi jalur
pelayaran internasional, menyebabkan pulau ini cenderung rawan terhadap berbagai
kemungkinan terjadinya kerusakan alam. Letaknya yang terpencil mengakibatkan pulau
ini terbuka dari berbagai peluang maupun ancaman dari negara tetangga. Ancaman yang
serius adalah kemungkinan terjadinya penguasaan secara ilegal oleh negara tetangga
dan eksploitasi sumberdaya perikanan oleh nelayan asing.
Pada umumnya masyarakat dua desa ini tidak melakukan perusakan secara
langsung terhadap terumbu karang yang ada diperairan mereka. Kerusakan terumbu
132
Universitas Sumatera Utara
karang menurut mereka lebih banyak dikarenakan oleh kapal-kapal yang datang dari
luar daerah yang melakukan operasi diperairan mereka. Kapal-kapal tersebut sangat
banyak jenisnya dengan teknologi yang tinggi. Pada dasarnya mereka hanya tahu
kegunaan terumbu karang hanya sebagai tempat ikan-ikan dan makhluk laut lainnya
berkembang biak. Meskipun saat ini mereka juga mulai memakai alat tangkap yang
menggunakan teknologi yang cukup moderen namun tetap saja kalah saing dengan para
pendatang tersebut. Secara umum mereka sadar mereka juga telah melakukan perusakan
terhadap terumbu karang karena telah menggunakan alat tangkap yang mewajibkan
mereka harus melakukan penangkapan di wilayah terumbu karang, namun hal tersebut
tidak lebih dikarenakan mereka harus berusaha untuk tetap bertahan. Adapun nelayan
yang melakukan penangkapan di perairan yang berhubungan lanngsung atau atau tidak
langsung dengan kawasan terumbu karang adalah:
1. Nelayan yang berhubungan langsung.
aa.. Nelayan pemancing ikan.
bb.. Nelayan penyelam, ikan hias, bunga karang dan lainnya.
cc.. Nelayan penangkap berbagai jenis kepiting laut, lobster dan biota lainnya.
dd.. Nelayan yang menggunakan perangkap ikan karang.
2. Nelayan yang tidak berhubungan langsung namun sering beroperasi juga di kawasan
terumbu karang adalah:
a. Bagan boat.
b. Pukat cincin.
c. Pukat Ikan/jaring gembung.
d. Bagan pancang.
133
Universitas Sumatera Utara
e. Jaring salam.
f. Pukat tepi dan,
g. Jaring udang, dan lain-lain.
Khusus untuk nelayan desa setempat yang paling berperan aktif mengeksploitasi
sumber daya terumbu karang adalah nelayan penambang, pemancing, perangkap
tradisional dan nelayan penyelam ikan hias, bunga karang dan biota lainnya yang
sengaja datang dari luar wilayah maupun yang berasal dari desa tersebut untuk
mengambil segala jenis sumberdaya yang terkandung didalamnya. Hal tersebut
diakibatkan oleh nilai ekonomis ikan-ikan hias dan biota laut tersebut sangat tinggi.
Sehingga nelayan yang merasa bahwa mereka harus mencari penghasilan tambahan
melakukan hal tersebut.
Bertambah parahnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan
pengoperasian alat tangkap moderen seperti pukat harimau (trawl/PI) lebih
mengakibatkan merosotnya sumberdaya ikan atau biota, untuk saat ini yang paling
terkena dampaknya adalah nelayan tradisional yang terbatas secara kemampuan
teknologi penangkapan. Kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian alat tangkap
pukat harimau dapat menghancurkan karang secara fisik, menangkap ikan-ikan yang
belum maksimal besar dan berlebihan sebab pemakaian panel besi dan mata jaring yang
terlalu kecil.
Sementara itu perilaku pemakaian alat tangkap dengan bantuan lampu
rangsangan yang diaplikasikan bagan boat dan pukat cincin memerlukan >5000 watt
kekuatan arus listrik dan beberapa pasang lampu halogen mendapat tudingan atau
disinyalir juga memiliki akses negatif terhadap terumbu karang serta biota lain penghuni
134
Universitas Sumatera Utara
laut, sebab dalam operasinya, cahaya lampu-lampu halogen telah mengkondisikan
malam hari menjadi siang hari di laut yang merangsang tidak saja ikan yang menjadi
sasaran penangkapan, karangpun sebagai makhluk hidup laut ikut beraktifitas atau
berfotosintesis seperti layaknya siang hari. Hal tersebut dapat membuat terumbu karang
mati karena kelebihan energi aktifitas dan radiasi lampu tersebut
Nelayan tradisional di wilayah ini dari segi alat tangkap sebagian tidak merusak
ekosistem laut baik penerapannya maupun lokasi operasinya seperti bagan pancang,
jaring salam dan lainnya namun resiko penyimpangan tetap saja ada sebab sebagian
mata jaring mereka juga menangkap ikan-ikan yang belum layak panen (anak ikan)
tetapi resiko yang diakibatkan belum sebesar jenis penangkapan moderen seperti pukat
harimau yang lebih banyak mengakibatkan kerusakan dan penangkapan yang
berlebihan. Perilaku yang merusak kelestarian sumberdaya laut sangat signifikan
berpengaruh untuk lahan sumber mata pencaharian nelayan, penangkapan yang tidak
mencukupi telah mendorong para nelayan menngambil jalan pintas dengan semakin
merusak sumberdaya atau beralih kepada alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan
masa depan keluarga mereka seperti buruh, berdagang sambil membuat pengolahan
ikan.
Kompetisi teknologi dan wilayah penangkapan dapat menimbulkan pergeseran
sosial menjurus konflik dalam komunitas antar sesama nelayan yang mengaplikasikan
beraneka ragam teknologi penangkapan, hal tersebut didorong juga oleh terjadinya
kemerosotan potensi laut yang selama ini menjadi kebutuhan pokok mereka. Normanorma, pranata-pranata tradisional berupa kesepakatan perjanjian informal atau
peraturan formal keputusan Menteri Pertanian no. 607/Kpts/Um/9/1976. Dan diperkuat
135
Universitas Sumatera Utara
kembali Undang-Undang no. 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang pengaturan wilayahwilayah lokasi penangkapan berdasarkan kemampuan teknologi acap kali dilanggar
sehingga sebagian nelayan merasa dirugikan dengan melakukan aksi balasan semacam
protes. Namun protes tersebut sama sekali tidak berpengaruh karena para kapal tersebut
tetap beroperasi hingga saat ini.
Krisis lingkungan laut sangat berpengaruh langsung terhadap prilaku-prilaku
nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan. Ketiadaan
pranata-pranata lokal spesifik bersifat absolut; Bersumber dari karakter budaya yang
mengatur langsung mengenai lingkungan hidup sperti yang diterapkan di masyarakat
Aceh yang disebut panglima laut, masyarakat Bugis Makasar yang disebut dengan
pranata Ongko. Mitos-mitos laut pun saat ini sudah tidak lagi diperhitungkan sebagai
pembatasan pengelolaan sumberdaya laut, hal tersebut dikarenakan kecenderungan
pengikisan segala bentuk pengetahuan lokal oleh moderenisasi yang semakin aktual di
kalangan seluruh kominitas nelayan. Hubungan nelayan dengan lingkungan laut
mencerminkan penguasaan, penaklukkan sehingga mereka harus mengeksploitasinya
seintensif mungkin, apalagi bila didukung peralatan penangkapan yang memadai
sementara wujud keserasian dan keharmonisan nelayan dengan lingkungan sumberdaya
laut lambat laun semakin ditinggalkan akibat produksi maksimal hasil penangkapan.
Perusakan tidak diakui oleh masyarakat setempat semata-mata dilakukan oleh
mereka, namun menurut mereka aktifitas tersebut didalangi oleh pihak-pihak yang
berkompoten di perairan laut antara lain TNI AL, AIRUD dan aparat lain dengan cara
membekingi para pengusaha-pengusaha perikanan moderen sejenis pukat harimau
(trawl/PI). Bebasnya kapal-kapal tersebut beroperasi lebih dikarenakan kerjasama antara
136
Universitas Sumatera Utara
pengusaha perikanan besar dengan aparat laut dan mantan-mantan purnawirawan ABRI
yang melindungi mereka dari sudut pandang hukum kelautan. Hal ini juga yang
mendorong nelayan tradisional untuk melakukan tindakan yang sama sebagimana
ungkapan bapak Arian di desa Pekan Tanjung Beringin (nelayan pukat cincin):
“ Gimana kami bisa bertahan kalau kapal besar itu terus-terusan
menangkap ikan dengan cara kayak gitu. Jadi daripada mereka aja yang
dapat bahan laut, kan lebih bagus kami ikut bersaing aja. Lagian
penghasilan kami bisa bertambah dengan menggunakan alat yang sama
meskipun alat mereka itu tetap lebih besar dan canggih. Tapi setidaknya
kami nggak habis-habis kali lah”
A. 3. Kelestarian Pesisir Pantai Dan Sungai
Aktifitas masyarakat nelayan memang sebagian besar berada di perairan laut
lepas, namun aktifitas masyarakat di dua desa ini yang notabene bertempat tinggal di
sepanjang sungai juga dapat berakibat terhadap kerusakan ekosistem pesisir dan laut.
Dimana menurut Dahuri 2001 bahwa Berbagai aktifitas manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan
industri, penebangan kayu dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS)
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan perobahan lingkungan wilayah pesisir.
Di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan terlihat nyata
bahwa masyarakatnya secara langsung maupun tidak langsung melakukan pembuangan
sampah rumah tangga ke sungai yang mengalir ke laut lepas. Mereka mengatakan
bahwa sampah tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap ekosistem lautan.
Mereka secara pasti tidak mengetahui bahwa sampah-sampah tersebut akan berakibat
137
Universitas Sumatera Utara
buruk pula terhadap kondisi laut. Karena proses pembusukan atas sampah tersebut akan
menimbulkan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan dan akan mempengarihi
kehidupan laut. Dampak negatif dari pencemaran tidak hanya membahayakan
kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan
manusia atau bahkan menyebabkan kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika
lingkungan pesisir dan lautan dan menimbulkan kerugian secara sosial ekonomi.
Disamping itu pula aktiftas dari para industri-industri yang membuang bahan
beracun yang menjadi limbah industri mereka ke aliran sungai juga dapat mengganggu
eksosistem laut. Namun akibat yang akan dirasakan secara pasti adalah oleh masyarakat
sekitar. Seperti yang diuatarakan oleh beberepa masyarakat di dua desa ini bahwa
pernah terjadi pencemaran sekitar tahun 2002-2004 akibat beberapa pabrikan yang ada
diwilayah tersebut membuang limbah mereka ke aliran sungai. Akibatnya masayarakat
yang menggunakan sungai tersebut sebagai tempat MCK menderita penyakit kulit yang
cukup lama dan parah.
Perkembangan dunia pariwisata di desa Pantai Cermin saat ini pula menyumbang
limbah-limbah rumah tangga dan industri yang cukup besar pula. Memang pada
dasarnya tempat wisata tersebut melakukan beberapa kegiatan perlindungan dan
kebersihan terhadap pesisir pantai yang mereka gunakan sebagai tempat wisata, tempat
wisata tersebut telah melakukan hal-hal yang penting dalam membangunan sarana dan
prasarana wisata mereka dengan baik. Salah satunya adalah progaram pengendalian
limbah yang mereka hasilkan dengan cara membuat fasilitas bak-bak penampungan
sampah padat di sekitar wilayah pantai wisata tersebut dan membuangnya jauh dari
lokasi wisata. Dan mereka mebuat pula sumur-sumur resapan untuk air kotor, namun
138
Universitas Sumatera Utara
untuk wilayah pesisir pantai yang lain yang ada disekitarnnya tidak mereka perdulikan.
Hal tersebut akan mengakibatkan kecemburuan sosial bagi masyarakat yang bertempat
tinggal di wilayah tersebut.
Dan penagruh dunia pertanian darat seperti sawah dan ladang yang dimiliki oleh
sebagian masyarakat menurut mereka tidak mempengaruhi ekosistem lautan dan pesisir,
karena menurut para petani ini tingkat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang
mereka gunakan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sering. Hal tersebut dibuktikan
dengan keberadaan sungai yang mereka gunakan untuk mengaliri sawah mereka.
Mereka bisa saja menggunakan aliran sungai setiap hari namun tidak terjadi apa-apa
dengan kesehatan mereka. Bilapun terjadi suatu pencenaran itu adalah akibat pera
pemilik pabrik yang membuang limbah mereka ke sungai tampa di sterilkan terlebih
dahulu.
B. Pandangan Dan Sikap Nelayan Terhadap Kerusakan Ekosistem
Mangrove, Dan Ekosistem Trumbu Karang.
Kehidupan nelayan baik secara sosial dan ekonomi dipengaruhi secara langsung
oleh kualitas dan kuantitas ekosistem laut, terutama nelayan tradisional yang hari demi
hari jumlah hasil tangkapnya semakin berkurang akibat potensi laut, ikan dan biotabiota laut sudah tidak mendukung lagi kelestariannya. Situasi kerusakan ekosistem
ditanggapi berbeda-beda oleh komunitas nelayan secara khususnya dan masyarakat
pesisir pantai umumnya. Sebagian menanggapi kurangnya hasil penangkapan
dikarenakan kerusakan tersebut, sebagian lagi menanggapi dengan menekankan kepada
kurang layaknya mempertahankan pemakaian ternologi tradisional yang terbatas
kemampuannya dan ada juga beralasan bahwa kemerosotan produksi hasil tangkap
139
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan persaingan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin ramai dan
kompetitif.
Perubahan lahan hutan mangrove menjadi lahan-lahan perumahan, pertambakan,
perkebunan dan lainnya dianggap menjadi faktor utama nelayan yang beroperasi di
lokasi hutan kehilangan lahan yang menjadi sumber kehidupan, berkurangnya stok
biota/ikan akan mempengaruhi hasil tangkapan. namun banyak pula masyarakat di dua
wilayah ini yang mempercayai bahwa rusaknya hutan bakau bukan menjadi alasan
utama karena menurut mereka bahwa tidak semua ikan yang ada di perairan laut bebas
bertelur dan berkembang biak di hutan mangrove tersebut. Karena menurut sebagian
masyarakat yang paling merusak adalah nelayan dengan alat tangkap pukat harimau dan
sejenisnyalah yang paling berperan penting dalam pengrusakan eksosistem.
Pengerusakan ekosistem laut sebagian disadari nelayan dapat menimbulkan
efek-efek sampingan kepada lingkungan setempat seperti bahaya abrasi laut, kerusakan
hutan mangrove dapat mengakibatkan masuknya air laut kedalam tanah sehingga akan
menyebabkan air sumur akan asin dan bila terjadi pasang maka tidak ada lagi yang
menahan gelombangnya. Tepi pantai terancam terimbas air laut yang meruntuhkan
rumah-rumah, pohon-pohon kelapa yang masih berproduksi dan lainnya, serta
kerusakan itu lambat laun akan mematikan kelangsungan sumber mata pencahrian
nelayan. Namun untuk mencegah perilaku-perilaku pengerusakan setiap individu warga
masyarakat nelayan rasanya tidak mampu karena pertimbangan rasa perihatin atas nasib
situasi perekonomian nelayan yang hanya menggantungkan pendapatannya dengan
mengambil dan menjual hasil-hasil laut.
140
Universitas Sumatera Utara
Dan di pihak lain ada pula nelayan yang tidak percaya terhadap kerusakan
terhadap eksosistem laut baik itu hutan mangrove dan trumbu karang dapat berpengaruh
langsung kepada kehidupan makhluk-makhluk laut, ikan, ataupun biota-biota lainnya.
Seperti yang diutarakan oleh bapak Muslim (Pekan Tanjung Beringin):
“Ikan, dan bahan-bahan laut yang ada di perairan laut tidak mungkin
akan punah atau berkurang akibat dari rusaknya hutan ataupun
hancurnya terumbu karang sebab perairan laut itu masih sangat luas
untuk dijadikan pertumbuhan ataupun perkembangan ikan-ikan dan
lainnya. Kalaupun sekarang hasil tangkapan berkurang itu karena
bertambahnya jumlah orang-orang yang menangkap ikan, terus karena
teknologi yang digunakankan pun sudah maju sekarang. Jadi harus bisa
bersaing lah dengan alat yang lebih canggih itu”
Menurut masyarakat yang tidak mempercayai bahwa rusaknya hutan mangrve
dan hancurnya terumbu karang tidak akan mempengaruhi berkurangnya hasil laut
namun yang mengakibatkan hasil laut sangat berkurang saat ini adalah dikarenakan
semakin banyaknya jumlah nelayan sehingga persaingan semakin banyak. Bila ada
orang yang mempercayai bahwa hancurnya hutan mangrove dan terumbu karang tidak
lebih adalah orang-orang yang tidak bisa bersaing secara alat tangkap. Mereka tidak
lebih hanya dapat menggunakan alat-alat tangkap yang masih dapat dikatakan
tradisional. Bila mereka melarang penggunaan alat tangkap tersebut maka itu artinya
mereka tidak mempercayai kebesaran Tuhan sebagai pencipta alam. Lagi pula laut
bukan hanya milik nelayan tradisional semata.
141
Universitas Sumatera Utara
Pendapat nelayan yang tidak mempercayai adanya hubungan antara kerusakan
ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang dengan kurangnya ikan dan biota-biota
laut ditanggapi oleh nelayan tradisional yang percaya saat ini denbgan sikap pasrah.
Pernah memang di antara kedua belah pihak berkonflik akibat dari beda pendapat ini,
namun nelayan yang merasa lebih kecil dan tidak mampu secara ekonomi menjadi putus
asa akibat perilaku-perilaku nelayan moderen tersebut. Saat ini mereka hanya bersikap
bertahan saja atas kondisi ini. Beragam pengaruh dari penggunaan alat tangkap dan
beragam aktifitas masyarakat nelayan dapat dirangkup kedalam tabel 8 berikut:
142
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan
Alat Atau
Bahan
Dampak Terhadap Ekosistem
Mangrove
Pesisir Dan Laut
Yang
Sosial Budaya
Dan Ekonomi
Solusi
Kebijakan
Pengembangan
SDA Dan SDM
Dipergunakan
A. Kegiatan
yang dilakukan
di ekosistem
mangrove dan
pesisir pantai.
- Tebang habis
- Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan,
pemukiman
- Pembuangan
sampah cair
dan sampah
padat
- pencemaran
minyak
tumpahan
- pengalihan
aliran air
tawar,
misalnnya
pembangunan
irigasi.
- Pengerukan
yang berkaitan
dengan
pembangunan
pemukiman
pinggir laut,
Alat-alat yang
digunakan untuk
mengeksploitasi
hutan mangrove:
- Parang,
- Guris,
- Cangkul,
- Pisau,
- Dan
bendabenda
keras
lainnya.
- Berubahnya
- Mengancam
komposisi
regenerasi stok ikan
tumbuhan
dan udang si
mangrove.
perairan lepas pantai
yang memerlukan
- Peningkatan
salinitasi
hutan hutan.
mangrove.
- Terjadinya
- Menurunnya tingkat pencemaran laut
oleh bahan
kesuburan hutan.
pencemar yang
- Penurunan
kandungan oksigen sebelumnya diikat
oleh substrat hutan
terlarut.
Alat-alat yang
- Kematian
pohon mangrove.
digunakan untuk
mangrove
akibat - Pendangkalan
pembangunan
perairan pantai.
pengendapan
industri dan
sedimen
dan - Erosi garis pantai
pertanian:
dan intrusi air
tumpahan minyak.
- Logam-logam - Kerusakan
total garam.
- Perembesan bahanberat.
ekosistem
- Bahan kimia
mangorve (daerah bahan pencemar
berupa Semen.
mencari makanan dalam sampah
- Pestisida untuk
padat.
dan asupan).
- Lapisan
minyak - Pengerusakan total
pertanian.
- Pupuk berbahan dapat menghalangi padang lamun.
kimia.
proses fotosintesis - Pencemaran
daun
hutan pestisida dapat
mematikan hewan
mangrove.
yang bersosiasi
- Pengerusakan
habitat
dilokasi dengan padang
pembuangan hasil lamun.
- Hasil tangkapan
nelayan yang
beroperasi di
sekitar hutan
mangrove
berkurang
secara drastis.
- Sering terjadi
banjir bila
pasang naik
hingga ke
daerah
pemukiman dan
pertanian.
- Dengan
berkembangnya
industri di
wilayah pesisir
maka para
nelayan akan
segera merubah
mata
pencaharian
sebagai buruh
pabrik,
akibatnya
jumlah nelayan
untuk penghasil
ikan akan
berkurang.
- Melarang
- Memberi
Penebangan dan
pengetahuan kepada
pengunaan bahan
masyarakat akan
kimia di sekitar
fungsi penting hutan
hutan mangrove
mangrove.
- Membuat program - Menyediakan tempat
pengelolaan pesisir yang relatif tidak
secara
terganggu untuk
berkelanjutan
observasi dan
berupa penanam
monitoring jangka
kembali hutan
panjang.
mangrove.
- Meningkatkan
- Mempertegas
pendidikan
kepada para
masyarakat
pengusaha untuk
berkaitan dengan
membuat program
pentingnya
perlindungan
konservasi laut dan
pesisir.
dampak aktifitas
- Membuat program
manusia terhadap
perlindungan
keanekaragaman
konservasi hutan
hayati laut.
sebagai wilayah
keanekaragaman
hayati dan hewani.
143
Universitas Sumatera Utara
pengerukan.
pelabuhan,
industri,
saluran
navigasi.
- Pencemaran
limbah industri
terutama logam
berat, dan
senyawa kimia.
- Pembuangan
sampah
organik.
- Pencemaran
oleh limbah
pertanian.
B. Kegiatan
penangkapan
dan
pengoperasian
alat tangkap.
1. Pencarian
biota laut di
hutan
mangrove.
(Nelayan
penangkap
ketam,
kepiting,
kerang dll.)
Alat yang
digunakan:
- Parang
- Pisau
- Jaring kepiting
dll
Bahan-bahan
- Dibuat sebuah
peraturan lokal
- Para nelayan sering
berupa peringatan
- Bila air keruh maka
melakukan
bagi nelayan yang
biota-biota laut
pemotongan akar
melakukan
(ikan, udang dll)
bakau ketika
pengrusakan akan
pencarian sehingga tidak akan
diberikan hukuman
berkembang biak di
bakau menjadi
atau ganjaran yang
lokasi mangrove itu - Penghasilan
rusak.
setimpal atas
nelayan yang
- Pengerukan lumpur lagi.
pengrusakan yang
untuk mencari biota - Dengan penggunaan melakukan
dilakukannya.
penangkapan
dengan
alat keras tersebut
akan berkurang.
menggunakan alat
maka bibit-bibit
keras dapat
biota yang ada akan
- Pemerintah
mengakibatkan air
mati akibat
setempat kiranya
keruh.
terbentur benda
perlu membuat
keras tersebut.
sebuah program
- Bahan-bahan bila
- Limbah tersebut
kebersihan
rusak akan dibuang termasuk kedalam
lingkungan pesisir
begitu saja oleh
limbah yang sulit
dan laut bersama
nelayan. Maka akan busuk. Maka akan
dengan masyarakat
mengakibatkan
berefeksamping
nelayan.
pencemaran sampah kepada trumbu
padat di wilayah
karang dan padang
- Nelayan yang
melakukan pencarian
biota laut diberi
pengetahuan bahwa
bila beroperasi tidak
perlu merusak pohon
mangrove.
- Peningkatan
pengetahuan kepada
nelayan bahaya dari
sampah padat
tersebut terhadap
ekosistem laut dan
pesisir.
144
Universitas Sumatera Utara
hutan mangrove.
jaring tersebut
adalah terbuat
dari:
- Minyak
2. Nelayan yang - Benang Nilon,
pembuangan dari
menggunakan - Pelampung
mesin Boat akan
alat tangkap:
pelastik, gabus,
mempengaruhi
- Jaring ikan
sendal jepit.
pertumbuhan
- Jala dan
pohon-pohon
-Pancing
mangrove.
tradisional.
Bahan-bahan
jaring terbuat
dari:
3. Nelayan yang - Benang nilon.
menggunakan - Pelampung
alat tangkap:
Pelastik
- Pukat Tepi/
- Kayu sebagai
pukat pantai
alat pancang.
- Jaring udang - Timah
- Pancing
Pemberat.
acar/cumi- Lampu
cumi
Penerangan.
- Jaring
- Boat bermesin
Gembung
tempel.
Bahan-bahan
pukat terbuat
dari:
4. Nelayan yang - Kapal Besar
- Pembuangan limbah
padat dan cair
(minyak) oleh para
nelayan saat alat ini
dioperasikan akan
mengakibatkan
bertambahnya
limbah yang dapat
mempengaruhi
eksosistem
mangrove.
- Pengoperasian
kapal yang kadangkadang dekat
dengan wilayah
lamun juga.
- Perlunya
- Penghasilan
penegasan wilayah
nelayan yang
tangkap.
melakukan
penangkapan
- Akan menambah
sampah padat akibat akan berkurang.
pembuangan alatalat yang rusak oleh
nelayan. Hal ini
akan mengakibatkan
kerusakan pada
terumbu karang dan
hutan mangrove.
- Perebutan dan
persaingan
teknologi alat
tangkap akan
memicu konflik
antar nelayan.
Perebutan ini
terjadi akibat
- Perlunya kebijakan
- kayu dan besi panel kurangnya
penegasan wilayah
bahan-bahan
yang digunakan
tangkap yang lebih
laut yang
untuk pemberat,
tegas lagi.
diperoleh.
pengeruk dan
pembuka mulut
- Dan juga akan - Pengontrolan oleh
pemerintah atas
jaring akan
menimbulkan
pelanggaran yang
mengakibatkan
eksploitasi
sering dilakukan
trumbu karang yang berlebihan
oleh nelayan alat
ada di dasar laut
terhadap
tangkap ini.
rusak.
penangkapan
- Penanganan serius
- Lumpur dasar laut
ikan (over
oleh pemerintah
akan terkorek dan
fishing).
atas kerusakan
mengakibatkan air
pesisir dan laut di
- Keberadaan
menjadi keruh.
wilayah ini.
- trumbu karang yang kapal ini akan
rusak akan membuat membuat
habitan ikan dan
nelayan
- Penyadaran terhadap
nelayan oleh
pemerintah setempat
agar saling
menghargai ketika
melakukan
penangkapan.
- Meberi tahu kepada
nelayan akibat dari
over fishing.
- Pemberian hukuman
atas pelanggaran,
berupa tindakan ikut
andil dalam
memperbaiki
wilayah laut yang
telah mereka rusak.
- Kerjasama
masyarakat dan
pemerintah setempat
dalam bentuk yang
lebih erat dalam
melarang
beoperasinya alat ini
di perairan mereka.
145
Universitas Sumatera Utara
Menggunakan <40-60 GT.
alat tangkap: - memiliki jaring
yang kuat dan
- Bagan Boat.
- Pukat Ikan (PI, memiliki
trawl, harimau diameter yang
kecil.
mini.)
- Pukat Langgai. - kayu berbentuk
- Pukat
segi empat
cincin/pukat
sebagai
tongkol.
pengeruk.
- Besi panel
sebagai
pembuka mulut
jaring dan
pengaman dari
rintangan karang
atau benda lain
yang ada di
dasar laut.
- Memiliki
fasilitas
komunikasi,
komputer
sebagai alat
pelacak
keberadaan ikan,
fiber, kulkas
papan dll.
- Memiliki lebih
C. Kegiatan
dari 10 awak
lainnya:
1. Pengerukan Bahan yang
sekitar terumbu dipergunakan:
karang
- Bahan-bahan
2.
kimia untuk
Kepariwisataan pembangunan
biota yang
mangrove akan
tradisional
berinteraiksi disana kehilangan
mengakibatkan
kerusakan habitat di akan pindah lokasi.
lahan dan
mangrove akibat
- Bibit ikan akan ikut penghasilan.
pembungan minyak tertangkap oleh
- Terjadi konflik
kapal.
yang
jaring karena
mengakibatkan
memiliki jaring
- Pelanggaran
jatuhnya
yang kecil.
wilayah tangkap.
korban.
- Persaingan
yang akan
menimbulkan
- Pambangunan
- Meningkatkan
over fishing.
wilayah Pariwisata
keruhnya air
dan pembuatan
sehingga
tambak udang
menggangu
dilakukan dengan
pertumbuhan
cara menebang
karang.
habis hutan
- Rusaknya pesisir
mangrove.
pantai akibat limbah
- Tambak udang yang yang di buang oleh
dibiarkan kosong
para pengunjung.
akan menimbulkan
banjir dan penyakit
demam berdarah.
- Penanganan serius
dari pemerintah
dalam mengadakan
komunikasi kepada
pihak pengusaha
secara terbuka
dengan
masyarakat.
- Pengusaha ikut andil
dalam melestarikan
wilayah pesisir yang
mereka kelola.
- Mengakibatkan
ikan tidak lagi
dapat
berkembang
biak dan
akhirnya lama –
kelamaan
146
Universitas Sumatera Utara
3. Pembuatan
Tambak udang
penghasilan
mereka akan
menurun
wilayah
pariwisata dan
pembangunan
tambak udang.
- Benda keras
yang dipakai
untuk
penghancur
karang. Dan
lainnya.
147
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan
tata ruang desa pesisir yang meliputi pemukiman, lahan pertanian, dan hutan
mangrove sebagian besar areal hutan telah dikonversikan menjadi areal pemukiman
perkebunan/pertanian,
pertambakan,
penebangan.
Potensi-potensi
sumberdaya
perairan laut dimanfaatkan secara intensif oleh komunitas nelayan untuk memenuhi
kebutuhan biologis. Aktifitas masyarakat nelayan selalu saja dengan pengetahuan
mereka terhadap aset-aset sumberdaya laut, lokasi, dan sistem penangkapan serta
musim-musim yang mempengaruhi segala yang berada didalamnya. Dalam
memanfaatkan eksosistem laut nelayan menerapkan bentuk-bentuk teknologi
penangkapan baik tradisional maupun teknologi penangkapan yang moderen.
Diantara teknologi tradisional tersebut semakin hari semakin berkurang nelayan yang
memakainya karena dianggap kurang produktif hasil tangkapannya, antara lain yang
mulai ditinggalkan adalah: Pukat pantai (Beach Seine) yang dulunya pemakaiannya
sangat banyak oleh nelayan di kedua desa ini, mereka beralih kepada penangkapan
yang agak memadai bahkan cenderung moderen seperti memakai bagan boat.
Pengetahuan dan pemanfaatan masyarakat atau nelayan terhadap ekosistem
laut telah menimbulkan perubahan-perubahan lingkungan dan sumberdaya yang
terkandung didalamnya. Perubahan lahan bakau mengalami disfungsi akibat
perluasan areal perumahan, pertambakan, penebangan, perkebunan/pertanian dan
lainnya disamping eksploitasi biota-biota/ikan yang cenderung menyimpang atau
148
Universitas Sumatera Utara
berlebihan. Begitupun trumbu karang yang saat ini di wilayah perairan Serdang
Bedagai sudah hampir tidak ada lagi keberadaannya telah mengalami kerusakan yang
diakibatkan oleh model-model penangkapan yang cenderung merusak antara lain
pemakaian zat kimia, operasional pukat harimau dan sejenisnya. Kerusakan tersebut
sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan para nelayan tradisional, baik yang
beroperasi di hutan bakau, lokasi terumbu karang, dan itu juga lambat laun akan
dirasakan seluruh nelayan secara umum. Hal ini telah terbukti bahwa nelayan-nelayan
yang berasal dari wilayah Sibolga, Tanjung Balai dan lainnya sudah memperluas
wilayah operasinya hingga ke perairan tradisional Serdang Bedagai. Nelayan yang
berasal dari luar tersebut melakukan operasional penangkapan hingga ke perairan
Timur Sumatera ini dikarenakan wilayah perairan mereka yang sudah tidak efektif
dan tidak memberikan hasil yang baik lagi. Sementara itu nelayan yang asli berasal
dari wilayah desa perairan Serdang Bedagai seperti desa Pekan Tanjung Beringin dan
desa Pantai Cermin Kanan yang tidak mampu bertahan dengan alat penangkapannya
(di hutan bakau/pantai) banyak yang berubah profesi sebagai buruh dan lain-lain.
Walaupun sikap dan pandangan nelayan sangat bervariasi dalam menyikapi
kerusakan-kerusakan ekosistem laut pengaruhnya terhadap hasil penangkapan mereka
terjadi semacam pro dan kontra.
Pengelolaan keseluruhan sumberdaya laut yang tidak terkendali menjadi
penyebab utama kerusakan-kerusakan ekosistem, perilaku-perilaku tersebut dilatar
belakangi cueknya atau kurangnya masyarakat terhadap pengetahuan akan kelestarian
lingkungan. Kepentingan komersial belaka dan persaingan antar atau antara nelayan
yang semakin kompetitif sehingga meninggalkan nilai-nilai kearifan. Serta ketiadaan
149
Universitas Sumatera Utara
kontrol, pengawasan dan penerapan hukum kelautan formal yang tegas dari pihak
pemerintah untuk mengatur, mengawasi dan menindak segala bentuk usaha-usaha
pengelolaan bersifat menyimpang dan merusak ekosistem laut.
Kemerosotan hasil produksi penangkapan nelayan skala kecil akibat
persaingan dan rusaknya berbagai ekosistem laut merupakan faktor-faktor yang
mensugesti pola-pola pemanfaatan nelayan tradisional sudah mulai meninggalkan
hubungan keselarasan nelayan terhadap alam dan norma-norma tradisional.hal
tersebut telah didahului nelayan yang mengaplikasi teknologi penangkapan mutahir,
mereka lebih percaya kemampuan fasilitas penangkapan canggih mengatasi segala
bentuk
halangan
rintangan
alam
walaupun
sebagian
masih
saja
mengkombinasikannya. Sehingga pola-pola pemanfaatan, norma tradisional seperti
ritus niat tahunan (tolak bala/Jamu Laut) dan pantangan-pantangan yang selama ini
masih mewarnai perilaku komunitas nelayan cenderung memudar, meski tidak
terkikis sampai habis, masih ada saja nelayan moderen dan tradisional yang percaya
akan mitos-mitos, ilmu gaib yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya
perairan laut.
Indikasi terjadinya bahaya pengelolaan sumberdaya laut di lingkungan
perairan laut nelayan
Kabupaten Serdang Bedagai umumnya dan desa Pekan
Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan khususnya sudah terlihat dengan
maraknya terjadi persaingan, konflik para nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya
laut yang menuju kesenjangan pendapatan antar nelayan sehingga terbentuknya kelas
kaya dan miskin dalam komunitas nelayan, perubahan sistem jaringan ekosistem
perairan laut yang akan berpengaruh langsung merosotnya stok-stok sumberdaya
150
Universitas Sumatera Utara
hayati biota/ikan yang selama ini masih lestari. Akibatnya secara keseluruhan akan
mengurangi kualitas hidup komunitas nelayan yang hanya tergantung dari hasil laut.
Sementara itu pranata-pranata lokal dan kearifan tradisional nelayan dalam
mengarahkan mekanisme pemanfaatan sumberdaya laut di desa Pekan Tanjung
Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak terdapat acuan untuk diaplikasikan
serta semakin memudar dari tatanan sosial nelayan.
Perubahan ekosistem laut dengan indikator perusakan-peruskaan terumbu
karang dan hutan mangrove sehingga menimbulkan kemerosotan sumberdaya
biota/ikan laut telah mendorong sebagian komunitas turut mengalami perubahan
kebiasaan-kebiasaan operasi bahkan merubah alternatif mata pencaharian. Nelayan
selama ini masih kental atau rentan terhadap gejala alam (rotasi bulan/simbol-simbol
bintang) yang menjadi acuan operasi semakin ditinggalkan, pengaruh angin musim,
musim ikan penangkapan tidak atau kurang diperdulikan nelayan lagi baik nelayan
tradisional (pukat pantai, jaring, bagan pancang dan lain-lain) dan nelayan skala
moderen (bagan boat, pukat cincin dan lain-lain). Khusus nelayan tradisional perilaku
tersebut terdorong juga oleh keterdesakan pemenuhan kebutahan primerdan bentuk
strategi adaptasi disamping kombinasi bermacam ragam pengaplikasian teknologi
penangkapan ikan karena sulitnya untuk berhasil menangkap ikan. Segala cara akan
ditempuh, tidak jarang banyak terjadi prilaku menyimpang dalam pemanfaatan
tersebut. Sedangkan komunitas nelayan moderen semakin meninggalkan pengaruhpengaruh diatas lebih dikarenakan daya dan kemampuan penerapan teknologi yang
diaplikasikan dalam operasi penangkapan sudah mapan untuk tidak dipengaruhi
pengaruh-pengaruh fenomena alam walaupun memang masih ada saja yang
151
Universitas Sumatera Utara
menyelaraskan teknologi penangkapan mutahir dengan pengetahuan membaca,
mengamati dan menganalisa kecenderungan fenomena gejala alam.
Keminiman pengetahuan dan ketidak sadaran menjaga kelestarian ekosistem
laut yang berkesinambungan dari komunitas nelayan turut berperan memotivasi untuk
memanfaatkan segala sumberdaya secara berlebihan dan tidak terkontrol sesuai
dengan perilaku yang layak bernuansa kelestarian. Kondisi sosial budaya nelayan
yang cenderung terkotak-kotak baik didarat maupun di laut menerapkan beraneka
jenis alat tangkapan menjurus kepada perbedaan akan kepentingan dalam
memanfaatkan sumberdaya laut sehingga sulit menemukan rasa kesatuan sosial
diantara mereka, kalaupun ada hanya sebagian kecil saja dari nelayan-nelayan
tradisional yang merasa terus menerus dirugikan oleh nelayan-nelayan lainnya.
Sementara keberadaan organisasi-organisasi kenelayanan yang bertujuan
menampung aspirasi maupun mengurusi perburuan seperti STM nelayan, HNSI dan
lain-lain kurang diperdayakan mencari, menyumbangkan solusi-solusi terbaik dalam
mengantisipasi atau menjembatani kepentingan-kepentingan nelayan tradisional
dengan nelayan moderen dan pengusaha-pengusaha perikanan besar dengan para
ABK agar menemukan suatu sistem yang proporsional mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut.
Dengan kata lain secara singkat dapat dijelaskan bahwa kerusakan pesisir dan
laut yang ada di dua desa ini erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi yang mereka
lakukan. Aktifitas ekonomi tersebut berupa:
1. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut
terbuka (perikanan tangkap, budidaya tambak, dan kegiatan pengolahan ikan).
152
Universitas Sumatera Utara
Bila kegiatan perikanan tersebut selalu di lakukan tanpa melihat kondisi
lingkungan maka yang ada hanya sebuah eksploitasi yang berlebihan tanpa
ada pemeliharaan, seperti yang tertera pada bab-bab sebelumnya. Seperti
contohnya banyaknya tambak-tambak, perkebunan sawit dan lain sebagainya
yang dibangun dengan menebang hutan mangrove. Namun untuk tambak
yang dibangun tidak dimanfaatkan secara baik, karena tidak menghasilkan
lalu ditinggalkan sedemikian rupa oleh pemiliknya.
2. Kegiatan Pariwisata dan rekkreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air.
3. Kegiatan transportasi laut.
4. Kegiatan industri yang memanfaatkan lahan darat tetapi menghasilkan limbah
yang dibuang ke laut dalam bentuk limbah cair ataupun limbah padat.
5. Kegiatan industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan lahan laut:
pemukiman yang memerlukan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas
pelayanan umum serta menghasilkan limbah rumah tangga.
Ditambah lagi rendahnya tingkat Sumberdaya Manusia masyarakat pesisir
desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan yang masih rendah hal
ini terlihat dari:
1. Alat tangkap yang digunakan/teknologi masih jauh dibawah nelayan
pendatang meskipun sudah ada yang mencoba mengikuti, namun masih
banyak yang menggunakan alat tangkap yang masih berteknologi rendah.
2. Banyaknya nelayan di kedua desa ini masih memiliki modal yang kecil malah
ada pula nelayan yang selama hidupnya tetap menjadi nelayan buruh yang
hanya selalu membawa kapal pemilik toke. Dan biasanya nelayan ini memiliki
153
Universitas Sumatera Utara
ikatan yang sangat erat dengan tokenya, ikatan tersebut berupa hubungan
ekonomi (hutang).
3. Bila dilihat dari tingkat pendidikan para nelayan dan anak-anaknya masih
banyak yang dibawah SLTP malah banyak nelayan yang tidak tamat Sekolah
Dasar ataupun tidak bersekolah sama sekali. Hal ini dikarenakan sedikitnya
penghasilan yang mereka peroleh sehari-hari. Sehingga mereka tidak mampu
menyekolahkan anak-anaknya.
B. Saran
Untuk kondisi lingkungan yang terjadi di perairan desa Pekan Tanjung
Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan ini ternyata bahwa pengetahuan serta
aktifitas ekonomi masyarakat nelayan terhadap sumberdaya laut dan pemanfaatannya
sangat bervariasi dari segi penerapan teknologi sangat mempengaruhu kondisi pesisir
dan laut secara ekosistemnya. Selain itu faktor persaingan dan konflik turut mewarnai
pemanfaatan sumberdaya perairan laut yang sangat dipengaruhi oleh kelestarian
potensi-potensi sumberdaya laut tersebut. Dengan kesimpulan tersebut diatas
terdapatlah ide-ide berupa saran dimana bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan
yang berketaraturan, berdimensi sosial dan menjaga kelestarian ekosistem laut,
beberapa alternatif tindakannya adalah:
1. Untuk Ekosistem Mangrove

Pengelolaan di lahan-lahan hutan bakau (mangrove) harus diplaning secara
matang agar jangan merusak ekosistem laut, lebih dahulu mengkaji
pengaruhnya terhadap nelayan sekitar dan lingkungan laut secara umum sebab
wilayah hutan bakau ada yang layak untuk direklamasi menjadi tambak udang
154
Universitas Sumatera Utara
sebab kurang berfungsi sebagai kawasan penyangga dan pertumbuhan,
disamping itu ada yang tidak layak untuk direklamasi sebab fungsinya sangat
berguna untuk kawasan pengembangan, penyangga dan pertumbuhan segala
jenis makhluk hidup laut.

Alangkah baiknya pengelolaan hutan bakau dibuat berdasarkan program
khusus yang berdimensi ekowisata yang melibatkan semua pihak, pengusaha,
nelayan/masyarakat setempat dan pemerintah, hal ini dilakukan agar semua
komponen ikut terlibat dan merasakan bahwa ekosistem mangrove sangat
baik untuk lingkungan sekitar.

Dan untuk semua program penghijauan ataupun penanaman mangrove yang
dilakukan sebaiknya selalu melibatkan secara aktif masyarakat nelayan. Agar
penanaman mangrove dapat dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan
pesisir desa, karena pastinya yang mengetahui wilayah mana yang perlu
ditanam/dihijaukan adalah masyarakat setempat.
2. Untuk Ekosistem Pesisir Dan Laut

Khusus di dua wilayah desa pesisir Pekan Tanjung Beringin dan Pantai
Cermin Kanan kiranya ada langkah-langkah peningkatan produksi perikanan
darat ataupun budidaya tumbuhan selain perikanan laut misalnya budidaya
pohon nipah. Hal ini dikarenakan menurut masyarakat sekitar bahwa perairan
dua desa ini tidak bagus bila dijadikan tambak udang ataupun kerambah ikan
kerapu karena air laut di pesisir mereka kondisinya sedikit payau dan dangkal.
155
Universitas Sumatera Utara

Pengawasan
undang-undang
yang
berhubungan
dengan
pemanfaatan
sumderdaya laut, dan alur-alur wilayah penangkapan harus dipertegas agar
dalam menghindari perilaku pengrusakan dan persaingan/konflik sesama
nelayan dalam mengelola ekosistem laut.

Membuat sebuah program pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dan
berkelanjutan, dimana program tersebut dicapai melalui tiga komponen
penting yaitu Keseimbangan ekologis, keseimbangan pemanfaatan dan
keseimbangan dalam pencegahan bencana. Dan program ini sebaiknya
dilakukan di semua wilayah pesisir tanpa terkecuali karena pada umumnya
seluruh wilayah peisir yang ada memerlukan jenis-jenis program yang bersifat
seperti ini.
3. Untuk Pemberdayaan Sumberdaya Masyarakat Pesisir

Sumberdaya
manusia masyarakat pesisir lebih ditingkatkan melalui
pendidikan (pendidikan Formal), diklat, kursus ketrampilan, sosialisasi hukum
serta perlunya menjaga ekosistem laut lebih digalakkan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan berfikir sehingga nantinya komunitas nelayan
memiliki kesadaran menjaga kelestarian laut.

Dibuat suatu program dimana progam tersebut dibuat berdasarkan pemikiran
atas semua masyarakat yang diawasi oleh elemen pemerintah. Program ini
bertujuan untuk menyatukan aspirasi dari berbagai kelompok-kelompok
nelayan mulai dari nelayan besar hingga nelayan kecil atau yang biasanya
156
Universitas Sumatera Utara
disebut
nelayan
tradisional
demi
keberlangsungan
dan
kemajuan
perekonomian masyarakat nelayan.

Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut akibat moderenisasi yang telah
menimbulkan eksploitasi berlebihan (over fishing) maka sebaiknya jenis
moderenisasi yang dilakukan harus tepat guna dan tetap memperhatikan
kemampuan masyarakat lokal yang dibangun tanpa mengikis struktur
tradisional seperti nilai budaya yang mendukung upaya pelestarian lingkungan
sehingga moderenisasi berjalan dengan baik yang selaras dengan alam serta
nilai budaya masyarakat tersebut.

Otoritas kepemilikan lokasi penangkapan berpranata tradisional atau formal
untuk
memproteksi
nelayan-nelayan
yang
masih
tradisional
perlu
disosialisasikan dalam masyarakat nelayan perikanan pantai agar menghindari
persaingan terbuka yang akan mematikan teknologi penangkapan tersbut. Dari
rasa kepemilikan itu sehingga menimbulkan kepedulian nelayan.

Dalam pemberian bantuan, hendaknya betul-betul sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan nelayan. Serta adanya pembinaan secara berkesinambungan atau
terus menerus terhadap nelayan dan kepastian hukum yang pasti dalam
pengelolaan pesisir.
157
Universitas Sumatera Utara
Download