II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA PROSES PEMBUATAN TAHU Tahu merupakan makanan yang terbuat dari bahan baku kedelai dan prosesnya masih sederhana dan terbatas pada skala rumah tangga. Hartati (1994) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tahu adalah makanan padat yang dicetak dari sari kedelai (Glycine sp) dengan proses pengendapan protein pada titik isoelektriknya tanpa atau dengan penambahan zat lain yang diizinkan. Pembuatan tahu pada prinsipnya dibuat dengan mengekstrak protein, kemudian mengumpulkannya sehingga terbentuk padatan protein. Cara penggumpalan susu kedelai umumnya dilakukan dengan penambahan bahan penggumpal berupa asam. Bahan penggumpal yang biasa digunakan adalah asam cuka (CH3COOH), batu tahu (CaSO4nH2O), dan larutan bibit tahu (larutan perasan tahu yang telah diendapkan satu malam). Secara umum tahapan proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut : a. Kedelai yang telah dipilih dibersihkan dan disortasi. Pembersihan dilakukan dengan ditampi atau menggunakan alat pembersih b. Perendaman dalam air bersih agar kedelai dapat mengembang dan cukup lunak untuk digiling. Lama perendaman berkisar 4-10 jam c. Pencucian dengan air bersih. Jumlah air yang digunakan tergantung pada besarnya atau jumlah kedelai yang digunakan d. Penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai dengan mesin giling. Untuk memperlancar penggilingan perlu ditambahkan air dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah kedelai e. Pemasakan kedelai dilakukan di atas tungku dan dididihkan selama 5 menit. Selama pemasakan ini dijaga agar tidak berbuih dengan cara menambahkan air dan diaduk f. Penyaringan bubur kedelai dilakukan dengan kain penyaring. Ampas yang diperoleh diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah kurang lebih 70% sampai 90% dari bobot kering kedelai g. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan air asam, pada suhu 50oC, kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan besar. Selanjutnya air di atas endapan dibuang dan sebagian digunakan untuk proses penggumpalan kembali. h. Langkah terakhir adalah pengepresan dan pencetakan yang dilapisi dengan kain penyaring sampai padat. Setelah air tinggal sedikit, maka cetakan dibuka dan diangin-anginkan. Proses pembuatan tahu ditunjukkan pada Gambar 1. Kedelai air untuk pencucian air limbah Pencucian Kedelai bersih air untuk perendaman Perendaman air limbah Kedelai rendaman Penirisan dan Penggilingan dengan penambahan air Bubur kedelai Air Pemasakan Penyaringan ampas tahu Susu Kedelai Penambahan larutan pengendap sedikit demi sedikit dan diaduk perlahan Campuran padatan tahu dan cairan Pembuangan Cairan Pencetakan Tahu Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Tahu (Hartati, 1994) air limbah 2.2 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU Limbah industri tahu terdiri atas dua jenis, yaitu limbah cair dan padat. Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari lingkungan. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan bersumber dari cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses, dan lantai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43,5 liter untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu, sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khususnya air dadih) dimanfaatkan kembali sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat, 1990). Perincian pengggunaan air dalam setiap tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai Tahapan Proses Kebutuhan Air (Liter) Pencucian 10 Perendaman 12 Penggilingan 3 Pemasakan 30 Pencucian ampas 50 Perebusan 20 Jumlah 135 Sumber : Nuraida (1985) Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino dalam bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut. Adanya senyawasenyawa organik tersebut menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi (Husin, 2003). Apabila dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran. 2.3 PARAMETER FISIK DAN KIMIA LIMBAH TAHU 2.3.1 Total Suspended Solid (TSS) Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan pori-pori 0,45 μm (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi menunjukkan bahan padat yang tidak terendapkan. Bahan ini terdiri atas bahan organik dan anorganik. Bahan-bahan tersuspensi tidak mesti bersifat toksik tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan kekeruhan air kemudian pendangkalan pada badan air serta penurunan kualitas air akibat peruraian dari bakteri ini. Proses dekomposisi secara aerob terjadi di dalam air limbah yang terdapat oksigen (O2) dan nitrat (NO3) sebagai penerima elektron (Suryadiputra, 1994). Produk akhir dari dekomposisi secara aerob adalah karbondioksida (CO2), air, dan sel bakteri baru. Pada proses dekomposisi secara anaerob yang berperan sebagai penerima elektron adalah sulfat (SO42), karbondioksida (CO2), dan hidrogen sulfida (H2S). Produk akhir dari dekomposisi secara anaerob adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan air. Analisis terhadap kandungan padatan tersuspensi di dalam air limbah penting untuk mengontrol kondisi fisika dan biologi dari pengolahan air limbah dan pendugaan dampaknya dengan membandingkannya terhadap baku mutu. Pengendapan padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengganggu organisme air, seperti ikan akan terganggu proses metabolismenya akibat tertutupnya insang oleh bahan-bahan tersuspensi. 2.3.2 pH pH adalah ukuran kualitas dari air ataupun dari air limbah. Kadar yang baik adalah kadar yang masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan dengan baik. Air limbah dengan pH tidak netral akan menyulitkan proses biologis sehingga akan mengganggu proses penjernihannya. pH yang baik bagi air limbah adalah 7 (Sugiharto, 1987). Metcalf dan Eddy (1991) mengatakan secara umum nilai optimum pH untuk pertumbuhan bakteri aerob adalah 6,5-8,5. Perubahan pH pada pengolahan dengan tumbuhan air terkait dengan proses fotosintesis dari algae dan tumbuhan air yang tenggelam. Mara (1976) mengatakan bahwa pada proses fotosintesis berlangsung intensif (siang hari), CO2 bebas dalam air akan habis terpakai. Pada kondisi seperti ini, bikarbonat (HCO3-) berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Dominansi oleh ion-ion hidroksil ini mengakibatkan meningkatnya nilai pH di perairan. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : HCO3- 2.3.3 CO2 + OH- Chemical Oxygen Demand (COD) Nilai COD diperlukan untuk menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Dengan menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95-100% bahan organik dapat dioksidasi. Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1984) menyatakan keunggulan tes COD dibandingkan dengan tes BOD yaitu, analisis COD hanya memerlukan waktu kurang lebih 3 jam sedangkan analisis BOD memerlukan waktu selama 5 hari, untuk menganalisis COD antara 50 sampai 800 mg/l tidak dibutuhkan pengenceran sampel sedangkan pada umumnya analisis BOD selalu membutuhkan pengenceran, serta gangguan dan zat yang dapat bersifat racun terhadap mikroorganisme pada tes BOD tidak menjadi masalah pada tes COD. 2.3.4 Dissolve Oxygen (DO) Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air. Selain itu, kehadiran senyawa organik dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut di dalam air sebagai akibat dari terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerob (Barus, 2002). 2.3.5 Nitrogen Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis. Nitrogen mengisi sekitar 12 persen protoplasma bakteri dan 5 hingga 6 persen protoplasma kapang. Nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasikan menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Davis dan Cornwell (1991), unsur nitrogen sebagai nutrien atau biostimulan karena memiliki peranan penting untuk pertumbuhan protista dan tumbuhan. Unsur tersebut harus berada dalam lingkungan perairan untuk mendukung rantai makanan. Masalah akan muncul ketika nitrogen berada dalam jumlah yang berlebih dan jaring makanan pun terganggu. Nutrien yang berlebihan akan mendorong untuk terjadinya pertumbuhan alga yang pesat yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kandungan DO. Nitrogen merupakan unsur penyusun yang penting dalam sintesa protein, karena itu diperlukan data tentang nitrogen dan siklusnya agar dapat tercapai pengolahan air yang tepat (Metcalf dan Eddy, 1991). Sebagian besar dari nitrogen total dalam air dapat terikat sebagai nitrogen organik, yaitu bahan-bahan berprotein. Nitrogen juga terdapat dalam senyawa-senyawa pencemar seperti asam sianida (HCN), asam etilen tetra asetat (EDTA), atau asam nitrilotriasetat (NTA). Sumber-sumber nitrogen dalam air dapat bermacam-macam, meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, peternakan, dan pupuk. Bentuk utama nitrogen di air limbah adalah material protein dan urea. Dekomposisi oleh bakteri merubahnya menjadi amonia. Umur dari air limbah dapat ditentukan dari jumlah amonia yang ada. Bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam lingkungan aerobik. Jumlah nitrogen nitrat yang lebih banyak menunjukkan bahwa air limbah telah distabilkan dengan keberadaan nitrogen. Nitrat sebagai nutrien dapat digunakan oleh binatang untuk membentuk N-organik yaitu protein. Dekomposisi dari matinya tanaman ataupun binatang oleh bakteri dapat meningkatkan jumlah amonia (Metcalf dan Eddy, 1991). Nitrit dan nitrat akan dirubah menjadi N2 oleh mikroorganisme dengan proses yang disebut denitrifikasi. Molekul nitrogen atmosfer (N2) difiksasi menjadi NH3 dan kemudian amonia akan diasimilasi menjadi asam amino (Jackson dan Jackson, 2000). Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut atau sebagai bahan tersuspensi. Jenis nitrogen di air meliputi nitrogen organik, amonia, nitrit, dan nitrat (Saeni, 1989). Pada sistem perairan alami, nitrat merupakan senyawa yang paling dominan dan selanjutnya berturut-turut adalah amonia dan nitrit. Semua bentuk nitrogen dapat ditemui pada berbagai jenis lingkungan karena sifatnya yang mudah dioksidasi atau direduksi oleh berbagai proses lingkungan (Waite 1984; Wiesmann, 1994). Berikut penjelasan dari berbagai bentuk-bentuk nitrogen di alam : 2.3.5.1 Nitrogen Organik Menurut Sawyer et al. (1994), semua nitrogen yang ada dalam komponen organik bisa dikatakan nitrogen organik. Nitrogen tersebut termasuk dalam asam amino, amina, amida, imida, dan turunan nitro. Metcalf dan Eddy (1991) mengatakan bahwa nitrogen organik berhubungan dengan suspended solids dalam air limbah dengan sedimentasi dan filtrasi. Nitrogen organik yang berwujud padat dapat langsung masuk ke tanah yang memiliki molekul organik kompleks yaitu karbohidrat, protein, dan lignin. Beberapa nitrogen organik dihidrolisis menjadi asam amino yang terlarut dan memungkinkan pemecahan lebih lanjut untuk melepas ion amonium (NH4+). 2.3.5.2 Amonia Menurut Metcalf dan Eddy (1991) amonia terdapat dalam larutan baik dalam bentuk ion amonium ataupun amonia, tergantung pH dari larutan tersebut. Widigdo (2000) menyatakan bahwa amonia di perairan dapat berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen (protein) oleh mikroba (amonifikasi), ekskresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan penumpukan (jika ada). Jenie dan Rahayu (1993) mengatakan pada bentuk cairan amonia terdapat dalam 2 bentuk yaitu amonia bebas atau tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion amonia (NH4+). Perbandingan amonia dalam kedua bentuk tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai pH dan suhu. Persamaan reaksinya dapat dilihat sebagai berikut : NH3+H2O NH4+ + OHNilai pH keseimbangan sistem amonia-amonium sekitar 9,3 sehingga pada sistem alami dengan pH netral akan ditemui bahwa ion amonium merupakan bentuk yang dominan (Waite, 1984; Wiesmann, 1994). Amonia ditentukan dengan kenaikan pH dan didestilasi dengan mendidihkan sampel hingga menghasilkan uap air. Kondensasi dari uap air tersebutlah yang mengandung gas amonia. Perhitungan dapat dilakukan dengan metode kolorimetrik, titrimetrik, atau dengan elektroda ion. Kebanyakan dari amonia di alam mengalami adsorbsi sementara dengan reaksi ion exchange dalam partikel tanah. Adsorbsi amonia tersebut tersedia untuk tanaman dan mikroorganisme atau dikonversi menjadi nitrat melalui nitrifikasi biologis dalam keadaan aerobik. Kemampuan alam mengadsorbsi amonia adalah pasti adanya maka nitrifikasi dibutuhkan untuk melepas amonia dan memperbaiki lokasi adsorbsi (Metcalf dan Eddy, 1991). Menurut Jenie dan Rahayu (1993), konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air dapat menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Keasaman air atau nilai pH-nya sangat mempengaruhi apakah jumlah amonia yang ada akan bersifat racun atau tidak. Pengaruh pH terhadap toksisitas amonia ditunjukkan dengan kondisi pH yang rendah akan bersifat racun bila jumlah amonia banyak sedangkan dengan kondisi pH tinggi, hanya dengan jumlah amonia rendah pun sudah bersifat racun. Jenie dan Rahayu (1993) menambahkan, amonia dapat mengakibatkan keadaan kekurangan oksigen pada air karena pada konversi amonia menjadi nitrat membutuhkan 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia. Dengan keadaan tersebut, maka kadar oksigen terlarut dalam cairan akan turun yang menyebabkan makhluk biologis misalnya ikan tidak dapat hidup di sana. 2.3.5.3 Nitrit Nitrit relatif stabil dan mudah teroksidasi menjadi nitrat. Sawyer et al. (1994) mengemukakan bahwa nitrit nitrogen jarang sekali berada dalam konsentrasi lebih besar dari 1 mg/l bahkan di efluen penanganan limbah. Konsentrasi di air permukaan dan air dalam tanah adalah di bawah 0,1 mg/l. Menurut Metcalf dan Eddy (1991), konsentrasi yang kecil bukan berarti tidak berbahaya terhadap lingkungan karena sangat beracun terhadap ikan dan spesies air lainnya. Alaerts dan Santika (1987) menambahkan, nitrit biasanya tidak bertahan lama dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Nitrit membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen lagi. Keadaan ini disebut sebagai methemoglobinemia atau yang disebut sebagai penyakit bayi biru (baby blue diseases). Akibatnya dapat menyebabkan kematian. Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat mereduksi aktivitas bakteri nitrifikasi pada kondisi asam. Daya racun nitrit yang tinggi dipengaruhi oleh bentuk persenyawaan nitritnya, yaitu bila terdapat bentuk asam (HNO2) maka akan lebih toksik daripada bentuk ion nitrit. Dalam larutan, nitrit akan terdisosiasi sehingga tercapai bentuk keseimbangannya, seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut : NO2- + H3O+ HNO2 + H2O Keseimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh keasaman larutan yaitu pada kondisi asam maka konsentrasi asam nitrit akan meningkat bila dibandingkan dengan keadaan netral (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Fardiaz (1992), tinggi rendahnya nilai kandungan nitrit ini disebabkan oleh faktorfaktor seperti waktu retensi, kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, dan konsentrasi amonia atau nitrit itu sendiri. Waktu retensi menunjukkan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk merombak amonia. Semakin banyak jumlah bakteri nitrifikasi maka semakin banyak kandungan nitrit yang terbentuk. Begitu juga dengan kandungan oksigen terlarut, konsentrasi amonia atau nitrit, suhu, dan pH. Semakin optimum faktor-faktor tersebut maka kandungan nitrit yang terbentuk semakin bertambah. 2.3.5.4 Nitrat Nitrat nitrogen yang merupakan turunan dari nitrit adalah bentuk nitrogen yang paling teroksidasi dalam limbah. Nitrat merupakan nutrien utama untuk pertumbuhan tanaman air. Nitrat jika tidak dihilangkan melalui tanaman atau denitrifikasi, dapat mencemari air bawah tanah (Metcalf dan Eddy, 1991). Nitrat merupakan jenis nitrogen yang paling dinamis dan menjadi bentuk paling dominan pada sungai, keluaran air tanah, dan deposisi atmosfer ke laut (Kirchman, 2000). Menurut Alaerts dan Santika (1987), nitrat adalah bentuk senyawa yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein dalam tumbuhan dan hewan. Akan tetapi, nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang berlebih sehingga air kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian ikan. Nitrat dapat ditangkap tanaman, tetapi penangkapan hanya terjadi di sekitar akar selama pertumbuhan. Jika ingin menghilangkan nitrat, maka tanaman tersebut harus dipanen dan dipindahkan dari sistem. Jika tanaman tetap dibiarkan dalam sistem, nitrat akan masuk kembali dalam sistem sebagai nitrogen organik. Kisaran nilai nitrat sebagai N adalah 15-20 mg/l dalam efluen limbah (Metcalf dan Eddy, 1991). 2.3.5.5 Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Nitrogen dalam berbagai bentuk di alam (NH3, NH4+, NO2-, dan NO3- terkecuali gas N2) merupakan nutrien yang harus dibatasi jumlahnya dari air buangan. Transformasi dan penghilangan nitrogen di alam melibatkan proses dan reaksi yang kompleks. Mekanisme penghilangan nitrogen dari air limbah tergantung dari bentuk nitrogen yang ada, sebagai nitrat, amonia, atau nitrogen organik. Penyisihan nitrogen dapat dicapai baik secara kimiawi (air striping, breakpoint chlorination, dan ion exchange) ataupun biologis (nitrifikasi dan denitrifikasi) (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), diantara metode-metode penyisihan yang ada, nitrifikasi dan denitrifikasi merupakan metode terbaik karena efisiensi penyisihan yang tinggi, reabilitas dan stabilitas proses yang tinggi, pengontrolan proses yang mudah, kebutuhan lahan yang minim, dan biaya yang relatif murah. Proses penyisihan limbah secara biologis terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kebutuhan proses terhadap keberadaan oksigen terlarut, yaitu : 1. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron merupakan mekanisme untuk menghasilkan energi kimiawi bagi mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara aerobik 2. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan pengoksidasi selain oksigen seperti karbondioksida, senyawa-senyawa organik yang telah teroksidasi sebagian sulfat dan nitrat dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara anaerobik 3. Proses pengolahan limbah yang menggunakan mikroorganisme yang bersifat obligat aerob dan anaerob atau fakultatif. Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut dapat melakukan metabolisme terhadap bahan-bahan organik secara sempurna dengan adanya oksigen terlarut (Jenie dan Rahayu, 1993). Prinsip penyisihan nutrien secara biologis didasarkan pada perubahan siklus perubahan senyawa nitrogen sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Nitrogen Organik sintesa Bahan Organik + O2 + NH3 Sel CH2O +O2 +H2O Sel + CO2 + H2O Otooksidasi NH3 + CO2 + H2O NO2 Nitrifikasi NO3 Denitrifikasi + CH2O N2 + N2O Gambar 2. Siklus Nitrogen dalam proses oksidasi biologi (Eckenfelder, 1989). 2.3.6 Fosfor Fosfat yang dijumpai di air merupakan hasil pelapukan dan melarutnya mineral fosfat, karena erosi tanah, pupuk, proses asimilasi dan disimilasi tumbuhan, detergen, serta limbah industri dan limbah domestik (Stumm dan Morgan, 1970). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fosfat dalam perairan terdapat dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Fosfor terlarut pada perairan alami berada dalam bentuk ortofosfat, fosfat anorganik terkondensasi (tripolifosfat dan trimetafosfat), ortofosfat organik, fosfat organik terkondensasi, dan pestisida yang mengandung fosfor. Bentuk fosfat yang tidak larut di perairan alami dapat berupa mineral-mineral tanah batuan dalam bentuk fase campuran dan dalam bentuk tersuspensi. Fosfor yang dapat diserap oleh jasad nabati adalah dalam bentuk ortofosfat sedangkan total fosfat berperan sebagai sumber (potensi) tersedianya ortofosfat. Dalam perairan yang belum tercemar, bentuk-bentuk fosfat tersebut berada dalam keadaan berimbang (Sastrawijaya,1991). Fosfor juga disimpan dalam sel sebagai polifosfat. Siklus fosfor dari sedimen, degradasi fosfat organik, dan hidrolisis polifosfat menjadi ortofosat merupakan sumber P untuk alga (Porcella dan Bishop, 1975). Fosfat merupakan unsur hara kunci dalam produktivitas primer perairan dan kesuburan perairan dipengaruhi bentuk senyawa fosfat yang ditemukan. Fosfat dalam perairan alami terdapat dalam jumlah sedikit sehingga fosfat sering merupakan faktor pembatas bagi produktivitas perairan (Hutchinson, 1967). Tingkat kerawanan (critical level) fosfat bagi perkembangan populasi alga adalah pada konsentrasi 0,55 mg per meter kubik air. Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kandungan fosfat yang tinggi dalam air melebihi kebutuhan normal organisme nabati adalah terjadinya keadaan lewat subur (eutrofikasi) sehingga pada akhirnya terjadi pertumbuhan ganggang yang berlebihan (blooming). Hal ini akan menyebabkan berkurangnya hara dengan sangat drastis dan pada akhirnya menyebabkan kematian tumbuhan itu sendiri. Pembusukan akan terjadi dan keadaan ini akan menyebabkan pembentukan zat-zat beracun seperti N-NO2, N-NH3, H2S, dan CO2 dalam air akan meningkat sedangkan kandungan oksigen menurun akibatnya akan terjadi kematian massal organisme termasuk ikan (McNeely et al. 1979). 2.4 ECENG GONDOK (Eichornia crassipes (Mart) Solms) 2.4.1 Tinjauan Umum dan Morfologi Eceng Gondok Menurut Gopal dan Sharma (1981) klasifikasi Eceng Gondok : Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies Nama Lokal Nama Lain Tipe tumbuhan : Spermatophyta : Monocotyledone : Farinosae : Pontederiaceae : Eichhornia : Eichhornia crassipes (Mart) Solms. : Bengkok, Eceng Gondok, Eceng Padi, Gendet : Water Hyacinth : Mengapung (floating) F1 B L I F S R rh rc Gambar 3. Morfologi Eceng Gondok (Rudiyanto. F, 2004) Keterangan : B:helai daun (Leaf blade); F1: bunga (Flower); L: ligula (Ligule); F: gabus pengapung; I: leher daun (Isthmus); R: akar; S: stolon; rc: ujung akar; rh: akar rambut Orang lebih banyak mengenal tanaman ini tumbuhan pengganggu (gulma) diperairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor, ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak. Tumbuhan ini berbatang dengan buku pendek, mempunyai garis tengah 1-2,5 cm, panjang 130 cm, dan lebar 5-25 cm. Eceng Gondok berakar serabut, tidak bercabang, dan tidak berbulu dengan panjang 0,30-0,50 m. Akarnya sangat kuat dan dibungkus oleh semacam zat tanduk dan berat akarnya adalah 20-50 % dari berat tumbuhan Eceng Gondok (Sculthorpe, 1967). Bagian akar Eceng Gondok ditumbuhi dengan bulu-bulu akar yang berserabut dan berfungsi sebagai pegangan atau jangkar tanaman. Sebagian besar peranan akar untuk menyerap zat-zat yang diperlukan tanaman dari dalam air. Pada ujung akar terdapat kantung akar yang mana di bawah sinar matahari kantung akar ini berwarna merah, susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur atau partikel-partikal yang terlarut dalam air (Ardiwinata, 1950). Menurut Gopal dan Sharma (1981) Eceng Gondok yang tumbuh pada air yang kaya akan unsur hara akan mempunyai petiole (batang) yang panjang hingga lebih dari 100 cm dan akar yang pendek kurang dari 20 cm sedangkan Eceng Gondok yang tumbuh pada air yang miskin hara, panjang petiole kurang dari 20 cm dan berbentuk bulat namun akarnya lebih dari 60 cm. Tanaman ini mempunyai stolon dengan garis tengah 0,5-2 cm, panjang sampai 40 cm atau lebih pendek bila tumbuh rapat. Tangkai daun panjangnya hingga 30 cm (Soerjani, 1975) berbatasan dengan helai daun yang menyempit dan sifatnya mendangkalkan dan menimbulkan spon yang menggelembung seperti gondok yang di dalamnya penuh dengan udara yang berperan untuk mengapungkan tanaman di permukaan air. Lapisan terluar petiole adalah lapisan epidermis, kemudian dibagian bawahnya terdapat jaringan tipis sklerenkim dengan bentuk sel yang tebal disebut lapisan parenkim, kemudian didalam jaringan ini terdapat jaringan pengangkut xylem dan phloem. Rongga-rongga udara dibatasi oleh dinding penyekat berupa selaput tipis berwarna putih (Pandey, 1980). Daun Eceng Gondok berbentuk bulat dan lebar serta tulang daun melengkung rapat dengan panjang 7-25 cm. Daun paling bawah mempunyai helaian kecil dan pelepah yang berbentuk tabung sedangkan daun yang teratas berbentuk tabung. Daun Eceng Gondok tergolong dalam makrofita yang terletak di atas permukaan air, yang di dalamnya terdapat lapisan rongga udara dan berfungsi sebagai alat pengapung tanaman. Zat hijau daun (klorofil) Eceng Gondok terdapat dalam sel epidemis. Di permukaan atas daun dipenuhi oleh mulut daun (stomata) dan bulu daun. Rongga udara yang terdapat dalam akar, batang, dan daun selain sebagai alat penampungan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan O2 dari proses fotosintesis. Oksigen hasil dari fotosintesis ini digunakan untuk respirasi tumbuhan dimalam hari dengan menghasilkan CO2 yang akan terlepas kedalam air (Pandey, 1980). Bunga Eceng Gondok berwarna ungu muda seperti mahkota yang terbesar berbecak kuning di tengah (Soerjani, 1980), tersusun melingkar poros pada suatu kelompok yang berbentuk bulir dan bertangkai panjang. Bunga terdapat di ujung batang, berada pada tangkai dengan dua daun pelindung, dan dalam satu karangan bunga berjumlah 10-35 (Widjaja, 2004). Benang sari berjumlah enam dan bengkok serta tiga benang sari lebih besar dari yang lain. Besarnya kepala sari kerap kali berbeda dan dapat berbunga secara serempak sepanjang tahun. Eceng Gondok setiap tahun berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, kemudian buah masak, lepas dan pecah sampai akhirnya biji tersebut masuk ke dalam air (biji dapat mencapai 5-6 ribu per tanaman dengan masa hidupnya kurang lebih 15 tahun). Eceng Gondok berkembang biak dengan cara vegetatif (stolon) dan generatif. Perkembangbiakan secara vegetatif memegang peranan penting dalam pembentukan koloni. Perkembangbiakan tersebut yaitu dengan melalui perpanjangan stolon yang pada ujungnya akan tumbuh tunas baru dan dapat terlepas setelah tumbuhan tersebut menjadi dewasa. Perkembangbiakan bergantung kepada kadar oksigen yang terlarut dalam air dan pada konsentrasi 3,5-4,8 ppm perkembangbiakan dapat berlangsung cepat. Eceng Gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Kemampuan tanaman inilah yang banyak digunakan untuk mengolah air buangan karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestik dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Eceng Gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara biokimiawi dan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, dan Zn dengan baik, serta kemampuan menyerap logam persatuan berat kering Eceng Gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur tua (Widianto, 1986 dalam Mukti, 2008). Faktor lingkungan yang menjadi syarat untuk pertumbuhan Eceng Gondok adalah sebagai berikut: 1. Cahaya matahari, pH, dan Suhu Pertumbuhan Eceng Gondok sangat memerlukan cahaya matahari yang cukup dengan suhu optimum antara 25oC- 30oC. Hal ini dapat dipenuhi dengan baik di daerah beriklim tropis. Di samping itu untuk pertumbuhan yang lebih baik, Eceng Gondok lebih cocok terhadap pH 7,0 - 7,5, jika pH lebih atau kurang maka pertumbuhan akan terlambat (Dhahiyat, 1974). 2. Ketersediaan nutrien pH air Pada umumnya jenis tanaman gulma air tahan terhadap kandungan unsur hara yang tinggi sedangkan unsur N dan P sering kali merupakan faktor pembatas. Kandungan N dan P kebanyakan terdapat dalam air buangan domestik. Jika pada perairan kelebihan nutrien ini maka akan terjadi proses eutrofikasi. Eceng Gondok dapat hidup di lahan yang mempunyai pH air 3,5 - 10. Agar pertumbuhan Eceng Gondok menjadi baik, pH air optimum berkisar antara 4,5 – 7. Pemilihan tanaman Eceng Gondok didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan berikut ini : 1. Tanaman Eceng Gondok merupakan jenis tanaman yang banyak dijumpai di Indonesia. 2. Dari segi ekonomi, tanaman Eceng Gondok harganya relatif murah. 3. Tidak memerlukan perawatan khusus dan pemeliharaan sangat mudah. 2.4.2 Ciri-ciri Fisiologis Eceng Gondok Eceng Gondok memiliki daya adaptasi yang besar terhadap berbagai macam hal yang ada disekelilingnya dan dapat berkembang biak dengan cepat. Eceng Gondok dapat hidup ditanah yang selalu tertutup oleh air yang banyak mengandung makanan. Selain itu daya tahan Eceng Gondok juga dapat hidup ditanah asam dan tanah yang basah (Gopal dan Sharma, 1981). Kemampuan Eceng Gondok untuk melakukan proses-proses sebagai berikut : 1. Transpirasi Jumlah air yang digunakan dalam proses pertumbuhan hanyalah memerlukan sebagian kecil jumlah air yang diadsorbsi atau sebagian besar dari air yang masuk kedalam tumbuhan dan keluar meninggalkan daun dan batang sebagai uap air. Proses tersebut dinamakan proses transpirasi. Sebagian menyerap melalui batang tetapi kehilangan air umumnya berlangsung melalui daun. Laju hilangnya air dari tumbuhan dipengaruhi oleh kuantitas sinar matahari dan musim penanaman. Laju transpirasi akan ditentukan oleh struktur daun Eceng Gondok yang terbuka lebar yang memiliki stomata yang banyak sehingga proses transpirasi akan besar dan beberapa faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, udara, cahaya, dan angin (Gopal dan Sharma, 1981). 2. Fotosintesis Fotosintesis adalah sintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air oleh klorofil menggunakan cahaya sebagai energi dengan oksigen sebagai produk tambahan. Dalam proses fotosintesis ini tanaman membutuhkan CO2 dan H2O dan dengan bantuan sinar matahari akan menghasilkan glukosa dan oksigen dan senyawa-senyawa organik lain. Karbondioksida yang digunakan dalam proses ini berasal dari udara dan energi matahari (Sastroutomo, 1991). 3. Respirasi Sel tumbuhan dan hewan mempergunakan energi untuk membangun dan memelihara protoplasma, membran plasma dan dinding sel. Energi tersebut dihasilkan melalui pembakaran senyawasenyawa. Dalam respirasi molekul gula atau glukosa (C6H12O6) diubah menjadi zat-zat sederhana yang disertai dengan pelepasan energi (Tjitrosomo, 1983). 2.4.3 Manfaat Eceng Gondok Little (1968) dalam Moenandir (1990) serta Sukman dan Yakup (1991) menyebutkan bahwa Eceng Gondok banyak menimbulkan masalah pencemaran sungai dan waduk, tetapi mempunyai manfaat sebagai berikut : 1. Mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri. 2. Sebagai bahan penutup tanah dan kompos dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. 3. Sebagai sumber gas yang antara lain berupa gas amonium sulfat, gas hidrogen, nitrogen, dan metan yang dapat diperoleh dengan cara fermentasi. 4. Bahan baku pupuk tanaman yang mengandung unsur NPK yang merupakan tiga unsur utama yang dibutuhkan tanaman. 5. Sebagai bahan industri kertas dan papan buatan. 6. Sebagai bahan baku karbon aktif. 2.4.4 Kerugian Eceng Gondok Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali di antaranya : 1. Meningkatnya evapotranspirasi. 2. Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air 3. Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya. 4. Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit manusia. 5. Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan. 2.4.5 Penyerapan Oleh Eceng Gondok Tumbuhan ini mempunyai daya regenerasi yang cepat karena potongan-potongan vegetatifnya yang terbawa arus akan terus berkembang menjadi Eceng Gondok dewasa. Eceng Gondok sangat peka terhadap keadaan yang unsur haranya di dalam air kurang mencukupi tetapi responnya terhadap kadar unsur hara yang tinggi juga besar. Proses regenerasi yang cepat dan toleransinya terhadap lingkungan yang cukup besar, menyebabkan Eceng Gondok dapat dimanfaatkan sebagai pengendali pencemaran lingkungan (Soerjani, 1975). Sel-sel akar tanaman umumnya mengandung ion dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari pada medium sekitarnya yang biasanya bermuatan negatif. Penyerapan ini melibatkan energi sebagai konsekuensi dan keberadaannya, kation memperlihatkan adanya kemampuan masuk ke dalam sel secara pasif ke dalam gradien elektrokimia, sedangkan anion harus diangkut secara aktif kedalam sel akar tanaman sesuai dengan keadaan gradien konsentrasi melawan gradien elektrokimia (Foth, 1988). Di dalam akar, tanaman biasa melakukan perubahan pH kemudian membentuk suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor. Zat inilah yang kemudian mengikat logam kemudian dibawa kedalam sel akar. Agar penyerapan logam meningkat, maka tumbuhan ini membentuk molekul rediktase di membran akar sedangkan model tranportasi di dalam tubuh tumbuhan adalah logam yang di bawa masuk ke sel akar kemudian ke jaringan pengangkut yaitu xylem dan phloem, ke bagian tumbuhan lain. Lokalisasi logam pada jaringan bertujuan untuk mencegah keracunan logam terhadap sel, maka tanaman akan melakukan detoksifikasi misalnya menimbun logam ke dalam organ tertentu seperti akar. Menurut Fitter dan Hay (1991), terdapat dua cara penyerapan ion ke dalam akar tanaman : 1. Aliran massa, ion dalam air bergerak menuju akar gradien potensial yang disebabkan oleh transpirasi. 2. Difusi, gradien konsentrasi dihasilkan oleh pengambilan ion pada permukaan akar. Dalam pengambilan ada dua hal penting yaitu pertama, energi metabolik yang diperlukan dalam penyerapan unsur hara sehingga apabila respirasi akan dibatasi maka pengambilan unsur hara sebenarnya sedikit. Kedua, proses pengambilan bersifat selektif dan tanaman mempunyai kemampuan menyeleksi penyerapan ion tertentu pada kondisi lingkungan yang luas (Foth, 1988). 2.5 KIAMBANG (Salvinia molesta) Menurut Sastrapradja dan Bimantoro (1981), Kiambang (dari ki: pohon, tumbuhan, dan ambang: mengapung) adalah nama umum bagi paku air dari genus Salvinia. Tumbuhan ini biasa ditemukan mengapung di air menggenang, seperti kolam, sawah, dan danau atau di sungai yang mengalir tenang. Klasifikasi Kiambang adalah: Kingdom Subkingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies (Storey, 2006) : Plantae : Traceobionta : Pteridophyta : Filicopsida : Hydropteridales : Salviniaceae : Salvinia : Salvinia molesta daun daun tereduksi (akar) Gambar 4. Morfologi Kiambang (Anonim, 2009). Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan. Rambut-rambut ini mencegah daun menjadi basah dan juga membantu Kiambang mengapung. Daun tipe kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat mirip akar, tidak berklorofil dan berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Orang awam menganggap ini adalah akar Kiambang. Kiambang sendiri akarnya (dalam pengertian anatomi) tereduksi. Kiambang tidak menghasilkan bunga karena masuk golongan paku-pakuan (Smith, 1955). Sebagaimana paku air (misalnya semanggi air dan azolla) lainnya, Kiambang juga bersifat heterospor, memiliki dua tipe spora yaitu makrospora yang akan tumbuh menjadi protalus betina dan mikrospora yang akan tumbuh menjadi protalus jantan. Tumbuhan ini mempunyai daun berbulu yang diperkirakan sebagai akar. Selama daur hidupnya, Kiambang melalui tiga tahap yang jelas secara morfologi. Tahap pertama, terjadi selama periode permulaan dari kolonisasi daunnya terletak datar di permukaan air. Tahap kedua, daunnya menggulung ke atas sepanjang rusuk tengahnya. Bila ruang semakin sempit atau terbatas, pelipatan akan terus berlangsung sampai dua sisi dari belahan daun bersatu (mengatup). Tahap ketiga, sporocarp infertil (tidak subur) berkembang dalam segmen-segmen daun tenggelam yang bermodifikasi. Untuk mempermudah, daun yang tenggelam disebut “akar” (Widjaja, 2004). Paku air ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, kecuali sebagai sumber humus karena tumbuhnya pesat dan orang mengumpulkannya untuk dijadikan pupuk. Selain itu, dipakai juga sebagai bagian dari dekorasi dalam ruang atau sebagai tanaman hias di kolam atau akuarium (Sudarmaji, 1991).