BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan perekonomian dan sektor industri melahirkan beragam produk dan layanan jasa. Di satu sisi konsumen senang karena semakin bervariasi produk konsumsi untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk merebut perhatian konsumen, para produsen berlomba melakukan kegiatan promosi yang menarik. Hadirlah iklan di media massa sebagai media komunikasi pemasaran dari produsen kepada konsumen. Di lain sisi, banjir iklan di media massa membingungkan konsumen dalam memilih suatu produk atau jasa. Iklan merupakan salah satu dari 5 alat bauran komunikasi pemasaran. Selain iklan masih ada sales promotion, personal selling, Public Relations dan direct marketing, namun iklanlah yang paling banyak digunakan untuk promosi produk. Hal ini dapat dilihat dari belanja iklan di Indonesia yang terus meningkat. Dari data Nielsen, belanja iklan tahun 2012 mencapai Rp. 87 trilyun, naik 20% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar dialokasikan ke media televisi. Melihat belanja iklan yang besar, tentu saja produsen menaruh harapan besar pada iklan. Namun belakangan, kepercayaan konsumen pada iklan di media konvensional mulai memudar. Berdasarkan riset majalah AdWeek dan biro iklan JWT menguak bahwa sekitar 72% orang mengakui sudah tidak terlalu percaya iklan karena infomasinya bersifat promosi (Kartajaya, 2010: 163). Semakin melemahnya efektivitas iklan di media massa menimbulkan permasalahan baru, yaitu bagaimanakah cara yang efektif untuk menarik perhatian dan mempengaruhi konsumen. Ketika beriklan melalui media massa sudah dirasa tidak efektif lagi, maka produsen harus mencari alternatif lain untuk mempromosikan produknya. Hal tersebut yang mendasari produsen mencari media alternatif untuk memasarkan produk mereka. 1 Media untuk kegiatan promosi dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: media lini atas (above the line), media lini tengah (through the line) dan media lini bawah (below the line). Media lini atas (above the line) adalah periklanan yang menggunakan media primer seperti media elektronik maupun media cetak. Media lini tengah (through the line) merupakan wilayah abu-abu, dimana promosi above the line mengandung unsur below the line. Sedangkan media lini bawah (below the line) adalah alternatif untuk mempromosikan produk. Pada perkembangannya media above the line minim daya persuasif, penggunaan alat komunikasi pemasaran yang menggunakan media above the line kemudian lebih difokuskan untuk menumbuhkan dan meningkatkan brand awareness. Sementara itu untuk promosi yang lebih persuatif, produsen menggunakan media below the line. Kedua jenis media komunikasi pemasaran tersebut saling mendukung sesuai dengan kapasitasnya. Maka produsen tidak dapat hanya mengandalkan satu media untuk menghasilan promosi yang efektif. Promosi melalui media below the line sering disebut promosi melalui media alternatif. Meski demikian media below the line dapat lebih ampuh dibandingkan media konvensional. Hal tersebut diungkapkan Hermawan Kartajaya. Menurutnya konsumen sudah tidak mempercayai marketer atau pihak perusahaan, konsumen lebih mempercayai rekomendasi dari suatu komunitas yang mahir atau berkompeten di bidangnya. Informasi dalam suatu komunitas dapat bergerak dengan sangat cepat. Media yang digunakan dalam penyebaran informasi ini adalah melalui mulut ke mulut (word of mouth) baik secara online maupun offline (Kartajaya, 2010: 276). Peran komunitas sebagai alat komunikasi pemasaran sering tidak disadari atau bahkan sering tidak ditindaklanjuti oleh produsen, sehingga komunitas hanya sebagai fenomena yang muncul dari loyalitas konsumen. Komunitas yang tidak diajak bergabung dengan perusahaan dapat dengan mudah hilang apabila pengelolaan organisasi dalam interal komunitas tidak mumpuni. 2 Sementara itu perusahaan yang menyadari potensi keuntungan dari munculnya komunitas konsumen berlomba membina komunitas agar dapat menjadi mitra perusahaan untuk mempromosikan merek atau produknya. Menyadari hal tersebut, perusahaan kini lebih menggiatkan kegiatan promosi yang berbasis komunitas atau komunitisasi. Program keanggotaan klub atau klub konsumen merupakan contoh upaya perusahaan membentuk komunitas berbasis merek. Komunitas yang berafiliasi nantinya lebih dikenal dengan istilah brand community. Brand community tidak hanya dibentuk oleh perusahaan, namun juga dapat terbentuk dengan sendirinya atas dasar kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman mengenai produk dan merek yang mereka gunakan. Sebagai penggemar suatu merek, komunitas dapat memberikan rekomendasi kepada calon konsumen lain tentang produk atau merek yang digunakan. Kegiatan tersebut merupakan salah satu strategi pemasaran yang ampuh, mengingat kini konsumen ingin terhubung dengan konsumen lain, bukan dengan perusahaan. Pembentukan komunitas juga dilakukan oleh PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang relatif gencar membangun komunitas mereka. Hal ini terbukti dari pesatnya pertumbuhan komunitas dari segi kuantitas. Komunitas motor Honda maupun Yamaha muncul seiring dengan peluncuran produk baru. Bahkan proses pembentukan brand community Honda dan Yamaha tidak hanya diprakarsai oleh perusahaan, konsumen sendiri berinisiatif membentuk komunitas. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik meneliti penggunaan brand community sebagai media baru dalam strategi komunikasi pemasaran PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. Penelitian ini berdasarkan pada fenomena maraknya kemunculan komunitas yang melabelkan diri dan mengkaitkan diri dengan suatu brand. 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah: “Bagaimana penggunaan brand community sebagai alat komunikasi pemasaran pada PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Mortor Manufacturing?” C. Objek Penelitian Pada penelitian ini, penulis akan menyajikan data dua objek, yaitu PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing region DIY. Pemilihan objek penelitian berdasarkan pada persaingan penjualan dan brand community kedua perusahaan tersebut. D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang hendak dijawab, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta membandingkan penggunaan brand community sebagai alat komunikasi pemasaran PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai peran brand community dalam komunikasi pemasaran pada organisasi bisnis serta menjadi literasi bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih lanjut. 2. Bagi organisasi bisnis khususnya PT Astra International-Honda dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam pelasanaan brand community yang efektif 4 sebagai media komunikasi pemasaran. Penelitian ini juga diharapkan dapat sebagai bahan informasi dalam implementasi program brand community dalam mencapai tujuan perusahaan. F. Kerangka Pemikiran dan Teori Pada penelitian ini, penulis ingin membedah bagaimana pemanfaatan komunitas sebagai alat komunikasi pemasaran dalam praktek yang dilakukan organisasi yang berorientasi pada profit dengan kerangka pemikiran sebagai berikut: 1. Komunikasi pemasaran Menyikapi dinamika dunia bisnis produsen memerlukan strategi yang tepat sesuai dengan perkembangan pasar. Pasar yang terus berubah menuntut produsen terus berinovasi agar dapat memenangkan persaingan di era pasar bebas ini. Untuk memenangkan persaingan, dibutuhkan strategi bisnis yang mampu menciptakan kepuasan bagi para pemegang kepentingan. Strategi bisnis untuk memenangkan persaingan pasar disebut strategi pemasaran. Berikut berbagai definisi pemasaran menurut para ahli: Menurut Kotler dan Keller (2012:27) Marketing has been defined as an organizational function and a set of processes for communicating, and delivering value to costumer and for managing customer relationship in ways that benefit the organization and its stakeholder. Menurut Hermawan Kartajaya (2010: 20), Pemasaran adalah sebuah konsep strategi bisnis dengan tujuan untuk menciptakan kepuasan yang berkelanjutan kepada tiga stakeholder utama perusahaan, yaitu pelanggan, karyawan, dan pemegang saham. Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa pemasaran adalah fungsi organisasi dan seperangkat proses komunikasi untuk memberikan nilai kepada konsumen dan mengelola hubungan demi menciptakan kepuasan yang berkelanjutan kepada tiga stakeholder utama perusahaan, yaitu pelanggan, karyawan, dan pemegang saham. 5 Pemasaran pada saat ini telah menjadi sebuah faktor penting dalam dunia bisnis terutama bagi perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, berkembang dan mendapatkan laba, kegiatan pemasaran perusahaan juga harus dapat memberikan kepuasan pada konsumen jika menginginkan usahanya tetap berjalan. Pemasaran tidak bersifat statis, namun terus berubah seiring dengan perubahan lingkungan perusahaan. Perubahan lingkungan perusahaan dapat berupa perubahan perilaku konsumen, peta persaingan antar perusahaan, dan peraturan yang berlaku. Segala kegiatan pemasaran perusahaan membutuhkan ilmu komunikasi agar pesan pemasaran tersampaikan dengan tepat. Dari pemaparan di atas, bahkan pemasaran didefinisikan sebagai seperangkat proses komunikasi perusahaan. Komunikasi mendapatkan peran penting pada pemasaran, karena dengan pemilihan strategi komunikasi yang tepat, maka pesan pemasaran akan lebih efektif tersampaikan kepada khalayak. Komunikasi dalam kegiatan pemasaran sering disebut sebagai komunikasi pemasaran. Proses komunikasi pemasaran dapat dijelaskan melalui model di bawah ini: Model Komunikasi Pemasaran Umpan Balik Sumber Encoding Transmisi Decoding Tindakan Perusahaan Advertising Selling promotion Public Relations Personal selling Direct selling Radio, TV, surat kabar, majalah, brosur, event, word of mouth, internet Respon dan interpretasi oleh penerima Perilaku konsumen Sumber: Sutisna, 2002: 270 6 Pada model di atas, komunikasi pemasaran merupakan suatu proses. Proses komunikasi mempelajari bagaimana pengirim dan penerima pesan mengkonstruksikan pesan (encode), menerjemahkan pesan (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Komunikasi pemasaran cenderung membahas tahap-tahap dalam proses komunikasi. Sumber pesan dalam komunikasi pemasaran adalah perusahaan. Perusahaan menentukan bagaimana pesan disusun agar bisa dipahami dan direspon sesuai dengan keinginan perusahaan. Tahap selanjutnya adalah encoding. Encoding adalah proses menerjemahkan tujuan-tujuan komunikasi ke dalam bentuk pesan yang akan dikirim kepada penerima (konsumen). Pada proses encoding, perusahaan dapat memilih menggunakan alat komunikasi pemasaran, seperti advertising, Public Relations, atau direct selling. Pemilihan alat komunikasi dalam proses encoding disesuaikan dengan pesan komunikasi pemasaran, kondisi pasar, dan karakteristik alat komunikasi pemasaran. Setelah perusahaan memilih alat komunikasi pemasaran, langkah selanjutnya adalah transmisi. Proses transmisi merupakan proses penyampaian pesan melalui media. Pemilihan media komunikasi disesuaikan dengan alat komunikasi pemasaran. Tahap-tahap tersebut merupakan tahap pemberian stimulus. Misal apabila ada produk barunya, perusahaan melakukan promosi melalui iklan (advertising). Iklan yang dipilih adalah iklan media massa melalui televisi. Pemilihan televisi didasarkan pada keunggulan televisi yang dapat menjangkau khalayak luas dan serentak. Tahap selanjutnya adalah pemberian respon dari penerima (konsumen). Pada tahap ini erat kaitannya dengan kesesuaian antara harapan pengirim dengan tanggapan penerima inilah yang diharapkan terjadi, karena hal ini akan mempengaruhi perilaku konsumen secara positif. Hal yang tidak diharapkan terjadi adalah respons negatif atau netral dari konsumen (penerima pesan). Respon negatif terjadi karena tidak terjadinya keserasian antara harapan pengirim pesan dengan respons dilakukan oleh penerima. Proses memberikan respons dan interpretasi pesan 7 yang diterima disebut sebagai proses decoding. Proses decoding berarti penerima pesan memberi interprestasi atas pesan yang diterima. Proses decoding ini akan dilanjutkan dengan tindakan konsumen sebagai penerima pesan, jika pesan yang sampai diterima secara positif, maka hal ini akan memberikan pengaruh positif pada sikap dan perilaku konsumen. Sikap positif konsumen terhadap suatu produk akan mendorong konsumen untuk melakukan tindakan pembelian. Sedangkan sikap negatif terhadap produk akan menghalangi konsumen untuk melakukan tindakan pembelian. Pembentukan sikap positif terhadap produk juga sangat penting dilakukan oleh perusahaan. Proses terakhir yaitu umpan balik atas pesan yang dikirimkan. Perusahaan mengevaluasi apakah pesan yang disampaikan sesuai dengan harapan, Pengukuran efektifitas pesan adalah tingkat penjualan produk yang ditawarkan ke pasar. Pesan melalui alat komunikasi disebut berhasil atau efektif jika tingkat penjualan produk setelah proses penyampaian pesan meningkat. Sebaliknya, pesan yang disampaikan tidak efektif jika setelah pesan disampaikan penjualan produk tidak meningkat, atau justru turun. Indikator penjualan ini seharusnya menjadi sinyal awal bagi perusahaan untuk melakukan penelitian atas pesan yang sampaikan ke konsumen. Dalam penyampaian proses encoding, terdapat berbagai pilihan alat komunikasi yang umum. Berdasarkan media yang digunakan, dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu above the line, through the line, dan below the line. Istilah line yang berarti garis dalam ATL dan BTL itu berawal dari kategorisasi dalam neraca keuangan. Kategori pertama berlaku bagi kegiatan pemasaran yang kena komisi biro iklan. Kategori kedua untuk kegiatan pemasaran non iklan yang tidak kena komisi. Biayanya dimasukkan dalam biaya operasional dan dikurangi sebelum ditentukan net profit. Kedua jenis budget tersebut dipisahkan dengan sebuah garis. Yang mengandung unsur komisi, ditulis di bagian atas neraca, disebut sebagai above the line (ATL). Sisanya, dijadikan satu di bawah garis, disebut kelompok Below the line (BTL). 8 Perbedaan pormosi above the line dan below the line Above the line (ATL) Target audiens luas Below the line (BTL) Target audiens terbatas Lebih untuk menjelaskan sebuah Media atau kegiatannya memberikan konsep atau ide. Tidak ada audiens kesempatan untuk merasakan, interaksi langsung dengan audiens. menyentuh atau berinteraksi, bahkan langsung membeli. TV, Radio, Majalah, koran, Event, Sponsorship, Sampling, Pointbillboard of-Sale (POS) materials, Consumer promotion, Trade promotion, dll Sumber: disadur dari berbagai sumber Terdapat wilayah grey area yang mendorong timbulnya istilah baru, yaitu Through the Line (TTL). Istilah ini secara harfiah berarti cakupan dari ujung satu ke ujung lainnya. Grey area yang menjadi TTL misalnya ada kegiatan ATL yang mengandung unsur BTL. Atau sebaliknya, BTL yang mengandung unsur ATL. Contoh ATL dengan BTL adalah iklan sebuah brand di majalah yang sekaligus ditempel sample produknya. Sedangkan contoh BTL dengan ATL misalnya kegiatan event di outlet tertentu yang disebarluaskan lewat iklan radio atau TV. Setiap alat komunikasi pemasaran memiliki fungsi sesuai dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing. Alat komunikasi pemasaran ATL lebih bersifat mengenalkan dan meningatkan dengan jangkauan khalayak luas, namun minim daya persuasifnya. Sedangkan alat komunikasi pemasaran BTL hanya mampu menjangkau khalayak sempit namun lebih persuasif. Kedua alat komunikasi pemasaran tersebut saling melengapi agar program komunikasi pemasaran dapat lebih efektif. Namun dalam prakteknya perusahaan lebih memfokuskan penggunaan alat komunikasi pemasaran ATL untuk kegiatan branding. 9 2. Brand Berdasarkan definisi American Marketing Association dalam Mustafa (2013: 9), brand atau merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari beberapa hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari suatu penjual atau sekelompok penjual untuk membedakan mereka dengan pesaingnya. Dari definisi tersebut, brand tidak hanya berbentuk nama suatu produk, namun brand dapat juga berupa istilah, tanda, simbol, atau desain dari suatu produk. Brand dan branding merupakan dua hal yang berbeda. Menurut Baladi dalam Mustafa (2013: 10) brand merupakan positioning dari suatu produk dalam pikiran konsumen, sedangkan branding merupakan proses yang bertujuan untuk dapat memikat dan membuat pelanggan loyal dengan cara mempromosikan nilai, image, prestise, atau lifestyle dari brand tersebut. Branding juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk komunikasi yang digunakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan. Branding tidak sama dengan atau tidak terbatas hanya melakukan kegiatan promosi, tetapi branding harus dipandang sebagai suatu proses yang utuh dan berkesinambungan serta terintegrasi dengan seluruh kegiatan pemasaran. Menurut Joewono dalam Mustafa (2013: 11). Terdapat 5 tahapan dalam membangun strategi branding, yaitu: 1. Menentukan target market 2. Brand positioning dan brand personality 3. Brand identity 4. Brand communication messages 5. Brand communication channel Suatu brand yang telah lahir perlu dilakukan monitoring, pengukuran, dan evaluasi terhadap kualitas dan efektivias dari suatu brand agar terjadi kesesuaian antara harapan produsen dengan persepsi konsumen. Dengan adanya evaluasi, maka nilai dari suatu brand dapat diketahui. Nilai dari suatu brand disebut brand equity. Jadi brand equity juga disebut sebagai kekuatan suatu brand yang dapat menambah 10 atau mengurangi nilai dari brand itu sendiri. Brand equity dapat ditahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual. Menurut Susanto dan Wijanarko (2004: 87-89) yang mengadaptasi teori Aaker, brand equity dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori: a) Brand awareness Brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori merek tertentu. Brand awareness adalah pengakuan dan pengingatan dari sebuah merek dan pembedaan dari merek yang lain yang ada di lapangan. Jadi brand awareness adalah kemampuan konsumen untuk mengingat suatu brand dan yang menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan brand lainnya. b) Perceived quality Perceived quality adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang diharapkan. c) Brand association Brand association adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah produk. Asosiasi ini tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. d) Brand loyalty Brand loyalty merupakan ukuran kesetiaan seorang pelanggan pada sebuah merek. Loyalitas memiliki tingkatan sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 1. Tingkat loyalitas yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal atau sama sekali tidak tertarik pada merek-merek apapun yang ditawarkan. Dengan demikian, merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian. Pada umumnya, jenis konsumen seperti ini suka berpindah-pindah merek atau 11 disebut tipe konsumen switcher atau price buyer (konsumen lebih memperhatikan harga di dalam melakukan pembelian). 2. Tingkat kedua adalah para pembeli merasa puas dengan produk yang digunakan, atau minimal tidak mengalami kekecewaan. Pada dasarnya, tidak terdapat dimensi ketidakpuasan yang cukup memadai untuk mendorong suatu perubahan, terutama apabila pergantian ke merek lain memerlukan suatu tambahan biaya. Para pembeli tipe ini dapat disebut pembeli tipe kebiasaan (habitual buyer). 3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun memikul biaya peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau resiko sehubungan dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek lain. Kelompok ini biasanya disebut dengan konsumen loyal yang merasakan adanya suatu pengorbanan apabila melakukan penggantian ke merek lain. Para pembeli tipe ini disebut satisfied buyer. 4. Tingkat keempat adalah konsumen benar-benar menyukai merek tersebut. Pilihan konsumen terhadap suatu merek dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakannya, atau kesan kualitas yang tinggi. Para pembeli pada tingkat ini disebut sahabat merek, karena terdapat perasaan emosional dalam menyukai merek. 5. Tingkat teratas adalah para pelanggan yang setia. Para pelanggan mempunyai suatu kebanggaan dalam menemukan atau menjadi pengguna suatu merek. Merek tersebut sangat penting bagi pelanggan baik dari segi fungsinya, maupun sebagai ekspresi mengenai siapa pelanggan sebenarnya (commited buyers). e) Other proprietary brand assets Terdapat hal-hal lain yang tidak termasuk dalam 4 kategori diatas tetapi turut membangun brand equity. Menurut Kim dan Kim, brand equity meliputi 4 hal, antara lain loyalitas merek, perceived quality, citra merek, dan brand awareness. 12 3. Brand community Pada era sebelumnya, praktek promosi didominasi oleh iklan di media konvensional seperti televisi dan radio. Media tersebut mempunyai kelebihan dapat menjangkau khalayak luas dan seketika. Namun belakangan ini konsumen mulai tidak percaya pada informasi yang diberikan perusahaan melalui iklan di media konvensional. Konsumen bahkan menghindar dari bentuk promosi dan pemasaran melalui berbagai media. Promosi melalui media konvensional juga menelan biaya promosi yang banyak. Tentu saja biaya promosi itu nantinya akan dibebankan ke konsumen. Meski kepercayaan konsumen telah menurun dan ber-budget tinggi, promosi melalui media konvensional masih dibutuhkan untuk brand awareness dan prestige. Melihat fenomena tersebut, perusahaan membutuhkan pihak-pihak yang dipercaya konsumen untuk tetap menginformasikan dan mempromosikan produk atau mereknya kepada konsumen. Kemunculan komunitas yang beranggotakan konsumen yang loyal pada brand dapat menjadi alternatif alat promosi. Perusahaan merespon kemunculan komunitas konsumen dengan berbagai macam kegiatan pemasaran untuk meretensi keberadaan komunitas konsumen yang sudah terbentuk. Keberadaan komunitas konsumen perlu mendapatkan perhatian khusus agar dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Apabila menilik lebih lanjut mengenai keberadaan komunitas konsumen dewasa ini memberikan kontribusi kepada perusahaan. Berikut keuntungan yang diperoleh perusahaan terhadap keberadaan komunitas: 1. Komunitas konsumen yang puas terhadap performa perusahaan atau merek akan menjadi komunitas konsumen yang loyal pada brand. 2. Kebersamaan konsumen yang loyal terhadap produk atau merek akan meningkatkan komitmen konsumen pada brand tersebut. 3. Komunitas dapat digunakan sebagai ajang untuk mengedukasi konsumen. 4. Komunitas dapat menjadi agen word of mouth yang efektif bagi perusahaan. 5. Komunitas konsumen dapat menjadi media feedback. 13 6. Komunitas konsumen dapat dijadikan media untuk kegiatan Corporate (Brand) Social Responsibility atau Corporate Societal Marketing yang efektif bagi perusahaan. Dalam konteks pemasaran Alexander dan Schouten, dalam (Hartono, 2008: 19) mendefinisikan brand community sebagai: Communities whose primary basic of identification are either brands or consumption activities, that is, where meaningfulness is negotiated through the symbolism of the marketplace. A Brand community is a specialized, non geographically bound community, based on a structured set of social relationships among admirers of a brand. It is specialized because at its center is a branded or service Definisi brand community menurut Alexander dan Schouten menyatakan bahwa brand community adalah komunitas khusus yang tidak terikat berdasarkan lokasi (geografis), melainkan komunitas yang terikat berdasarkan suatu hubungan sosial di antara pengagum suatu merek. Pusat dari komunitas adalah merek tersebut. Komunitas ini secara khusus berafiliasi dengan brand tertentu, baik itu dari inisiatif perusahaan maupun brand itu sendiri. Brand community dapat berupa komunitas online maupun offline. Tidak hanya berdasarkan ketertarikan terhadap suatu brand atau produk, salah satu syarat penting terbentuknya brand community adalah komunikasi antar anggota komunitas. Dari komunikasi tersebut akan terbentuk rasa kepercayaan dan independensi sehingga mengguatkan rasa saling ketertarikan antara sesama anggota komunitas tersebut. Dilihat dari asal mulanya, brand community terbentuk dengan dua cara, yaitu komunitas yang dibentuk atas kemauan sendiri (by default) dari para anggotanya. Komunitas ini yang memiliki loyalitas yang tinggi secara emosional terhadap suatu produk. Mereka akan sangat membanggakan produk bahkan merekomendasikan ke orang lain yang belum mempunyainya. Terdapat pula komunitas yang dibentuk perusahaan (by design), biasanya bertujuan untuk dapat menjalin relasi kemitraan antar kedua belah pihak sehingga sama-sama memperoleh manfaat dari hubungan relasi tersebut atau untuk keperluan marketing dan promosi. 14 Brand community sebagai suatu organisasi memiliki pengaruh terhadap anggotanya sendiri. Pengaruh tersebut lebih kuat karena anggotanya mengikat diri secara sukarela tanpa paksaan pada komunitas tersebut. Komunitas juga dapat menjadi acuan bagi anggotanya karena adanya ikatan yang dirasakan oleh anggota dapat membuat mereka saling tergantung satu sama lain dan timbulnya rasa saling percaya diantara mereka. Tugas perusahaan adalah memberikan fasilitas kepada komunitas binaannya serta selalu menegaskan kepada komunitas bahwa tugas mereka adalam membangun brand. Jika dimanfaatkan dengan benar, brand community dapat menjadi perpanjangan alat untuk melakukan aktivitas pemasaran. Namun jika brand community tidak dibina dan demonitoring dengan baik oleh perusahaan hanya akan menghabiskan anggaran perusahaan. 4. Strategi Communitization Perusahaan diharapkan dapat membentuk komunitas atau memanfaatkan komunitas yang telah ada untuk kepentingan pemasaran. Hal ini tentu berbeda dengan strategi pemasaran STP (segmenting, targeting, positioning) yang sebelumnya diterapkan sebagai strategi marketing di banyak perusahaan. Pada strategi SPT, segmentasi1 tidak memperdulikan kedekatan personal antar konsumen. Selain hal itu masih ada beberapa hal yang berbeda antara segmentasi dengan communitization, yaitu prosesnya lebih horizontal dan low-budget high-impact (Kartajaya, 2010: 86). Dalam communitization, perusahaan tidak harus melakukan riset pasar. Perusahaan hanya perlu melakukan identifikasi komunitas yang sudah ada atau membentuk komunitas baru. Komunitas ini dapat berupa komunitas online, komunitas offline, atau gabungan antara keduanya. Hal terpenting dalam menarget atau membentuk komunitas baru adalah melihat kesamaan interest antar anggotanya. 1 Segmentasi adalah pengelompokan pasar berdasarkan atribut statis dan dinamis. Atribut statis seperti segmentasi berdasar variabel geografis dan demografis. Atribut dinamis berdasar psikografis dan behavioral (Kartajaya, 2010: 85). 15 Menurut Kartajaya (2010: 102), sebelum bergabung ke dalam komunitas, perusahaan perlu mengetahui potensi komunitas. Apabila perusahaan telah mengetahui potensi komunitas, maka penerapan strategi communitization dapat berlangsung lebih efektif dan efisien. Berikut kriteria yang dilihat brand dari sebuah komunitas: a. Relevance adalah relasi atau kesamaan interest atau values antara perusahaan dengan komunitas tersebut. b. Active Level adalah seberapa besar tingkat keaktifan komunitas tersebut. Apakah dalam komunitas tersebut anggotanya aktif atau hanya daftar nama saja. Kalau hanya daftar nama saja, maka ini hanya sebuah database. c. Number of Community adalah berapa banyak jaringan yang dimiliki atau yang potensial dapat terjadi antara suatu komunitas tersebut. Setelah melakukan identifikasi dalam sejumlah komunitas, langkah selanjutnya confirming. Confirming adalah melakukan konfirmasi kepada komunitas yang akan bergabung. Menurut Hermawan Kartajaya (2010: 101) proses confirming ini bersifat horizontal yang berbeda dengan targeting karena dalam targeting, seseorang dapat menjadi target tanpa persetujuan dari mereka sendiri. Dalam confirming, jika ada yang mau bergabung dengan komunitas, maka komunitas tersebut mempunyai dua pilihan, yaitu confirm atau ignore. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah komunitas tersebut mempunyai kekuatan yang sama dengan sebuah perusahaan. Setelah komunitas mengkonfirmasi keberadaan perusahaan dalam komunitas, langkah selanjutnya adalah clarifying. Clarifying memperjelas makna karakter perusahaan terhadap komunitas (Kartajaya, 2010: 105). Sebuah karakter brand harus dilakukan klarifikasi dalam benak konsumen. Tidak hanya dengan slogan atau tagline. Clarifying tidak hanya mencoba menanamkan suatu persepsi dalam benak konsumen, tetapi juga mendukungnya dengan kenyataan atau fakta. 16 Brand perlu memahami karakter dari suatu komunitas yang ingin dijadikan target communitization. Hal-hal yang perlu dipahami brand pada suatu komunitas adalah values, identification, dan, personality. Mengetahui values dalam komunitas penting karena brand tidak perlu masuk ke komunitas yang mempunyai values berbeda jauh. Setelah memutuskan untuk masuk pada suatu komuitas, brand perlu mengenali identitas, yaitu tanda pengenal masing-masing komunitas, dan yang teakhir adalah personaliti dari tiap-tiap komunitas. a. Crowd combo Untuk mengoperasionalkan suatu strategi pemasaran dibutuhkan taktik yang sesuai dengan strategi yang digunakan. Pada strategi segmentasi, taktik yang digunakan adalah differensifikasi, marketing mix, dan selling. Penelitian ini akan fokus mengulas hanya salah satu elemen taktik yaitu marketing mix. Marketing mix adalah unsur kedua dalam taktik yang mengintegrasikan tawaran, logistic, dan komunikasi perusahaan. Dalam strategi communitization, marketing mix berubah menjadi crowd combo (co-creation, currency, communal activation, conversation). Elemen pertama dari crowd combo adalah co-creation. Dalam co-creation, pelanggan terlibat langsung secara aktif dalam proses pembuatan produk yang dikonsumsi oleh mereka sehingga terjadi proses horizontalisasi. Perusahaan hanya berperan sebagai fasilitator (Kartajaya, 2010: 122). Dalam co-creation, pelanggan terlibat langsung secara aktif dalam proses pembuatan produk yang dikonsumsi oleh mereka sehingga terjadi proses horizontalisasi. Sebuah produk atau co-creation yang telah dibuat tidak punya suatu nilai yang tetap karena ini tergantung bagaimana orang melakukan apresiasi produk atau co-creation tersebut. Sebuah produk atau co-creation yang telah dibuat tidak punya suatu nilai yang tetap karena ini tergantung bagaimana orang melakukan apresiasi produk atau 17 co-creation tersebut. Pelanggan mempunyai kekuatan untuk menentukan seberapa besar nilai yang harus dibayarnya untuk sebuah produk atau co-creation. Proses tersebut disebut currency, karena lebih fleksibel dibandingkan price. Place atau saluran distribusi berperan mengantarkan produk dari produsen ke pelanggan. Place berubah menjadi communal activation yang berarti mengaktifkan sebuah komunitas melalui para pemimpin atau aktivis komunitas trersebut. Para aktivis inilah yang mampu memasarkan co-creation kepada para anggota komunitas lainnya. Para aktivis ini sangat memahami anxiety dan desire yang ada dalam komunitas. Para aktivis terserbut lebih dipercaya oleh pelanggan atau anggota komunitas lainnya dibandingkan dengan perusahaan. Para aktivis komunitas inilah yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan. Dalam new wave marketing, perusahaan harus dapat mengikat para aktivis komunitas ini karena suara para aktivis komunitas inilah yang akan didengarkan oleh anggota komunitas lainnya. Elemen terakhir dari marketing mix adalah promosi. Promosi ini mempunyai tiga tujuan, yaitu untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan pelanggan. Promosi bersifat vertikal, yaitu searah, top down, dan one-to many. Promosi sering digunakan untuk mempertahankan brand awareness, mengingatkan pelanggan dimana harus membeli produk dan sebagainya. Promosi bersifat vertikal dari perusahaan ke konsumen, sehingga sudah tidak tepat lagi diterapkan di era horizontal ini. Promosi berubah menjadi conversation yang bersifat dua arah, peer to peer, dan many to many (Kartajaya, 2010: 127). Conversation terjadinya diskusi atau interaksi antara dua pihak yang berkedudukan yang setara sehingga dapat menimbulkan kebenaran bersama. Dengan demikian, pelanggan akan lebih dapat menerima kebenaran bersama itu dibandingkan dengan kebenaran satu pihak saja. Sehingga conversation akan lebih dipercaya ketimbang promosi karena dalam conversation pelanggan dapat melakukan klarifikasi hal-hal yang disampaikan oleh perusahaan. Conversation mengandalkan media word of mouth untuk menyampaikan pesan. 18 Perusahaan menempatkan komunitas konsumen sebagai subjek dan bukan hanya sekadar objek perlu menjadi perhatian serius para perusahaan, pemilik merek, atau produsen yang memang ingin memanfaatkan komunitas konsumen sebagai cara mereka dalam memahami perilaku konsumennya. Keberadaan konsumen adalah penting untuk terus diperhatikan karena memang pasar inilah yang paling fokus dan bisa dimaksimalkan secara efektif. Hanya saja tidak mudah memanfaatkan keberadaan komunitas sebagai mesin yang dapat mendongkrak penjualan perusahaan. Pendekatan yang lebih soft dan humanis perlu dikedepankan. Pentingnya pemasar memahami mengapa perlu membentuk konsumen tentunya akan berpengaruh pada pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana kemudian pemasar membangun hubungan dengan komunitasnya. Dengan memperhatikan wajah komunitas konsumen yang ada dan juga melihat dinamika pola hubungan yang selama ini sudah terjadi antara perusahaan dengan komunitas maka perusahaan bisa mengembangkan objektif strategi mereka dalam mendekati komunitas konsumennya. Strategi tersebut bisa berorientasi kepada jangka panjang dengan ikut membantu membangun komunitas yang dikelolanya menjadi lebih mandiri atau jangka pendek yang lebih menekankan kepada upaya untuk memanfaatkan keberadaan komunitas untuk kepentingan dan keuntungan sesaat serta tidak ada indikasi komitmen perusahaan untuk ikut membantu komunitas menjadi komunitas yang sustainable. b. Word of mouth Media komunikasi pemasaran yang dipilih dalam komunikasi pemasaran melalui brand community adalah word of mouth. Anggota brand community memberikan rekomendasi kepada calon pelanggan lain, sehingga konsumen dalam komunitas dapat menjadi juru bicara atau papan iklan berjalan yang efektif bagi perusahaan, seperti yang dikemukakan oleh Yuswohady dalam Basalamah (2010: 79) bahwa customer is the truly salesman. Konsumen yang puas akan merek yang digunakannya akan memberitahukan kelebihan-kelebihan merek tersebut kepada 19 orang lain, dan selanjutnya konsumen akan merekomendasikannya kepada orang lain. Rekomendasi pelanggan merupakan alat promosi dan penjualan yang sangat efektif dalam mempengaruhi calon konsumen2. Hal ini merupakan salah satu strategi komunikasi pemasaran dasar yang disebut dengan Word of mouth. Word of mouth merupakan perbincangan konsumen satu sama lain tentang pengalaman menggunakan suatu produk dan merekomendasikannya sebagai pengganti pemasar yang melakukan pembicaraan tersebut. Word of mouth sebagai media komunikasi memiliki karakeristik sendiri. Untuk menciptakan word of mouth yang efektif, perlu mendalami word of mouth secara lebih spesifik. Dalam sebuah word of mouth marketing suatu produk akan mengalami pembicaraan yang berpusat pada produk tersebut. Produk akan berada pada jalur komunikasi yang ditentukan oleh konsumen. Word of mouth sendiri menjadi referensi yang membentuk harapan konsumen. Sernovitz (2009:31) menyebutkan bahwa ada 5 elemen-elemen (Five Ts) yang dibutuhkan untuk word of mouth agar dapat menyebar yaitu: 1. Talkers, yaitu pembicara dalam hal ini adalah konsumen yang telah mengkonsumsi produk atau jasa. Calon konsumen terkadang cenderung memilih atau memutuskan suatu produk tergantung kepada konsumen yang telah berpengalaman menggunakan produk atau jasa tersebut atau biasa disebut dengan referral pihak yang merekomendasikan suatu produk atau jasa. 2. Topics, yaitu pesan atau perihal yang membuat mereka berbicara mengenai produk atau jasa, seperti halnya pelayanan yang diberikan, keunggulan produk, tentang perusahaan, dan lokasi yang strategis. 3. Tools, setelah mengetahui pesan yang membuat mereka berbicara mengenai suatu produk atau jasa, dibutuhkan suatu alat untuk membantu agar pesan tersebut dapat berjalan, seperti website, produk gratis, postcards, brosur, spanduk, melalui iklan 2 Di Amerika, konsumen memilih word of mouth sebagai pendorong pembelian (33%) berdasarkan penelitian Liz Bigham “word of mouth and experiential marketing” www.womma.org 17 januari 2014 20 di radio, dan apa saja alat yang dapat membuat orang membicarakan atau menularkan suatu produk kepada orang lain. 4. Taking Part yaitu partisipasi perusahaan seperti halnya dalam menanggapi respon pertanyaan-pertanyaan mengenai produk atau jasa tersebut dari para calon konsumen dengan menjelaskan secara lebih jelas dan terperinci mengenai produk atau jasa tersebut, melakukan follow up ke calon konsumen sehingga mereka melakukan suatu proses pengambilan keputusan. 5. Tracking atau pengawasan akan hasil WOM perusahaan setelah suatu alat tersebut berguna dalam proses word of mouth dan perusahaan pun cepat tanggap dalam merespon calon konsumen, perlu pula pengawasan akan word of mouth yang telah ada tersebut yaitu dengan melihat hasil seperti dalam kotak saran sehingga terdapat informasi banyaknya word of mouth positif atau word of mouth negatif dari para konsumen. G. Kerangka konsep Pada kerangka pemikiran di atas telah dijelaskan beberapa langkah untuk mengunakan brand community sebagai alat komunikasi pemasaran. Brand community pada penelitian ini disebut sebagai alat komunikasi untuk pelaksanaan strategi pemasaran communitization. Brand community setara dengan alat komunikasi pemasaran lainnya, seperti advertising, Public Relations, selling promotion, dan sebagainya. Sementara itu media yang sesuai diterapkan untuk pelaksanaan strategi pemasaran communitization dengan menggunakan brand community sebagai alat komunikasi pemasaran adalah word of mouth. Pada kerangka konsep ini, penulis akan menyajikan langkah-langkah pilihan yang dianggap paling sesuai untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini. 1. Penggabungan brand dengan komunitas Komunitas mempunyai kebebasan dalam memilih. Mereka dapat menerima perusahaan sebagai bagian dari komunitas maupun tidak. Apalagi jika mengetahui 21 maksud dari perusahaan bergabung adalah untuk menggunakan komunitas sebagai alat komunikasi pemasaran yang tentu saja memberi keuntungan pada perusahaan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa brand community terbentuk dari dua cara, yaitu by default dan by desain. Perusahaan membutuhkan penanganan yang berbeda untuk bergabung pada brand community sesuai dengan cara terbentuknya. Untuk brand community yang telah terbentuk dengan sendirinya, perusahaan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Identifikasi komunitas. Identifikasi komunitas adalah upaya perusahaan memilih dan memilah komunitas berdasarkan aspek-aspek berikut: - value, identifikasi, dan personality - active level - number of community b. Konfirmasi. Perusahaan melakukan konfirmasi kepada komunitas yang dianggap sesuai dengan aspek-aspek dalam identifikasi komunitas. Konfirmasi merupakan permohonan ijin bergabung atau menjadi bagian komunitas. Setelah perusahaan melakukan langkah-langkah di atas, maka otoritas selanjutnya adalah milik komunitas. Komunitas dapat menerima atau menolak kehadiran perusahaan. Proses ini disebut juga klarifikasi. Upaya yang dilakukan untuk menyatu dengan komunitas yang dibentuk oleh perusahaan relatif lebih mudah. Perusahaan men-design komunitas yang identitas, value, dan personality sesuai dengan keinginan perusahaan. Langah konkritnya adalah dengan merekrut pihak-pihak yang berkompeten membentuk dan membangun komunitas sesuai dengan keinginan perusahaan. Pihak inilah yang nantinya membina dan mengembangkan komunitas sesuai dengan active level yang diharapkan perusahaan. 22 2. Aktivitas brand community dan perusahaan Terdapat beberapa upaya untuk memberikan edukasi dan nyatukan visi dan misi perusahaan dengan brand community agar dapat menjadi alat komunikasi pemasaran yang mumpuni. Langkah-langkah yang diambil merupakan implementasi dari sebagaian taktik pemasaran communitization, yaitu co-creation, currency, communal activation, dan conversation. Pada aktivitas co-creation, brand community akan menguji performa produk. Brand community mempunyai kemampuan dan minat khusus pada produk sehingga acapkali sering menemukan keunggulan dan kekurangan suatu produk di luar prediksi produsen. Keunggulan produk tersebut nantinya dapat menjadi pesan pemasaran yang dilakukan brand community. Pada proses currency, brand community mempunyai kekuatan untuk menentukan seberapa besar nilai yang harus dibayarkan untuk sebuah produk atau cocreation. Communal activation bukan sekadar placing atau mendistribusikan produk secara konvensional. Tapi, sebuah merek harus benar-benar hadir di sebuah komunitas dalam satu area dan bisa memberikan manfaat bagi komunitas di sekitarnya. Perusahaan bisa mendapatkan apa yang dipikirkan dan dirasakan konsumen tentang produk melalui communal activation. Dalam communal activation dapat terjadi conversation, yaitu unsur lain dari taktik communitization. Conversation akan dibahas sebagai media komunikasi pemasaran brand community. 3. Media komunikasi pemasaran Media komunikasi pemasaran yang memungkinkan digunakan oleh brand community adalah word of mouth. Word of mouth sebagai media komunikasi memiliki karakeristik sendiri. Untuk menciptakan word of mouth yang efektif, perlu mendalami word of mouth secara lebih spesifik. word of mouth merupakan perbincangan konsumen satu sama lain tentang pengalaman menggunakan suatu produk dan merekomendasikannya sebagai pengganti pemasar yang melakukan pembicaraan tersebut. Dalam sebuah word of mouth suatu produk akan mengalami 23 pembicaraan yang berpusat pada produk tersebut. Word of mouth dapat terjadi pada online dan offline media. Word of mouth terdiri atas indikator-indikator talker, topic, tool, taking part, dan tracking. Talker adalah pihak yang merekomendasikan/pembicara. Topic menyangkut tema yang didiskusikan antara komunikator dengan penerima pesan. Topic dapat berupa pesan rasional, pesan emosional dan pesan moral. Tool adalah segala sesuatu perlengkapan yang dapat membantu perluasan pesan komunikator. Tool dapat berupa media online maupun offline. Taking part menyangkut keterlibatan dalam percakapan yang terjadi antara komunikator dengan penerima pesan. Tracking adalah melakukan pengukuran terhadap apa yang didiskusikan antara komunikator dengan penerima pesan. Indikator-indikator tersebut yang akan dilakukan perusahaan untuk menciptakan word of mouth di kalangan brand community. H. Desain Penelitian Idetifikasi Brand community Aktifitas brand community dengan perusahaan Media komunikasi pemasaran - Value, identity, personality Brand - Active level Community - Number of community Brand community - Co-creation - Currency - Communal activation - Conversation (WOM) Word of mouth - Talkers - Topics - Tools - Taking part - Tracking 24 I. Metodologi 1. Tipe penelitian Berdasarkan pada konsep penelitian berkarakter komunikasi, sebagaimana dipaparkan oleh Nunung Prajarto (2004: 18) bahwa upaya pembedaan penelitian komunikasi dengan penelitian lain adalah fokus kajian penelitian. Fokus penelitian dari penelitian komunikasi adalah elemen-elemen komunikasi. Pada penelitian ini, fokus penelitian adalah komunitas yang digunakan sebagai alat baru komunikasi pemasaran. Dilihat dari aspek keunikan objek penelitian, maka penelitian ini termasuk kategori studi kasus. Menurut Yin (2006: 18) studi kasus sebagai inkuri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Pendekataan studi kasus dalam penelitian ini untuk mempelajari, menerangkan, atau mengimplementasikan suatu kasus. Penelitian yang membedah mengenai komunitas dalam praktik komunikasi pemasaran masih relatif sedikit. Studi ini untuk menyoroti suatu keputusan, mengapa keputusan itu diambil, bagaimana penerapannya, dan apa hasilnya. Studi kasus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari, menerangkan, dan mengimplementasikan mengapa korporasi menggunakan komunitas sebagai media komunikasi dalam aktivitas pemasara. Pendekatan studi kasus dipilih dalam penelitian ini karena komunitas merupakan suatu organisme yang berkembang, sehingga unik untuk diteliti. Penelitian tentang brand community dalam aktivitas pemasaran banyak dilakukan pada bidang keilmuan lain. Yin (2006: 1) menjelaskan, bahwa secara umum studi kasus merupakan proses yang lebih cocok apabila pertanyaan penelitian seputar how dan why atau minimnya kesempatan peneliti untuk mengintervensi atau mengontrol peristiwaperistiwa yang akan diselidiki. Fokus penelitian pada fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata. 25 Jenis studi kasus pada penelitian ini adalah studi kasus jamak, yaitu penelitian yang menggunakan lebih dari satu kasus. Penggunaan jumlah kasus yang lebih dari satu dilakukan utuk mendapatkan data yang lebih detail, sehingga deskripsi hasil penelitian menjadi semakin jelas dan terperinci. Hal ini juga didorong oleh keinginan untuk mengeneralisasi konsep atau teori yang dihasilkan. Dengan kata lain, penggunaan jumlah kasus yang banyak dimaksudkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat pada penggunaan kasus tunggal, yang dianggap tidak dapat digeneralisasikan. Di dalam penelitian studi kasus jamak, penulis akan menggunakan logika replikasi sebagai pendekatan di dalam proses analisisnya. Pada proses ini, setiap kasus mengalami prosedur penelitian yang sama, hingga menghasilkan hasil penelitiannya masing-masing. Selanjutnya, hasil dari masing-masing penelitian di perbandingkan, untuk menentukan kesamaan dan perbedaannya. Hasilnya dipergunakan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian pada umumnya dan khususnya pencapaian atas maksud dan tujuan penelitian. 2. Metode penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah, objek penelitian, serta kerangka pemikiran pada penelitian ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yag bersifat deskriptif (kualitatif). Dengan model pengkajian deskriptif dalam arti bertujuan untuk mengggambarkan atau memaparkan fenomena yang diteliti. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana penggunaan brand community sebagai media dalam komunikasi pemasaran. 3. Teknik pengumpulan data Menurut Yin (2006: 103) bukti data data studi kasus dapat berasal dari enam sumber, yatiu: dokumen, rekaman arsip, wawancara, penamatan langsng, obeservasi 26 pertisipan, dan perangkat-perangkat fisik. Pada penelitian ini, data dan informasi dikumpulkan berupa, deskripsi perusahaan, arsip kegiatan klub motor baik berasal dari perusahaan maupun dari club motor, pernyataan dari pihak-pihak yang berkompeten, pemberitaan di media massa, hasil pengamatan langsung di lapangan, dan data hasil wawancara mendalam dengan menggunakan informan kunci baik itu formal maupun informal, serta pihak-pihak yang terlibat langsung pada objek penelitian. Untuk tokoh kunci yang dijadikan narasumber pada penelitian ini adalah tokoh yang memegang kewenangan pada divisi marketing promotion khususnya yang menangani langsung brand community dan pihak-pihak dari komunitas. Tokoh yng diwawancarai adalah sebagai berikut: 1. Jumanto sebagai Manager Customer Care PT Astra International-Honda HSO-3. 2. Christa Adhi Dharma sebagai Public Relations & Customer Analyst PT Astra International-Honda HSO-3 3. Hendro Aryono Promotion sebagai PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing DDS-3 Yogyakarta 4. Muhammad Abdul Rasyid sebagai perwakilan komunitas Paguyuban Motor Honda Yogyakarta 5. Asep Hedi sebagai perwakilan komunitas salah satu varian motor Honda 6. Hatta Gesmara, Kemal Ahmad dan Dipto Ayudho sebagai perwakilan komunitas motor Yamaha, 4. Analisis dan interpretasi data Data atau informasi senantiasa dianalisis setiap saat setelah diperoleh dari lapangan untuk diintepretsikan relevansinya dengan kebutuhan dan dievaluasi prospeknya untuk kebutuhan analisis selanjutnya. Data terus diperbaharui perkembangannya selama penelitian berlangsung sehingga data disajikan sebagai laporan penelitian. 27 Robert K. Yin (2006: 133) mengatakan bahwa analisis data dari studi kasus terdiri dari pengujian, pengkategorian, pentabulasian, maupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian. Pengujian dilakukan pada semua data yang sudah terkeumpul agar validasinya tidak diragukan. Setelah itu data dikelompokkan berdasarkan kategori atau sejenisnya. Pada penelitian ini untuk mengkorelasikan dengan teori yang telah disusun, logika yang digunakan adalah membandingkan suatu pola yang didasarkan pada kenyataan yang ada dengan pola yang diprediksikan atau dengan beberapa prediksi alternatif. Jika pola tersebut adalah kesamaan hasil maka dapat menguatkan validitas internal studi kasus. Analisis yang akan dilakukan dengan cara menyususn data yang terkumpul berdasarkan kategori dan jenisnya kemudian dipelajari dan dihubungkan satu dengan lainnya secara menyeluruh dan integral sehingga menghasilkan gambaran umum dari kasus yang diselidiki. Untuk membatasi analisis, peneliti lebih berkonsentrasi pada aspek komunikasi pemasaran, yaitu bagaimana proses komunikasi pemasaran dilakukan melalui komunitas. 5. Unit analisis Unit analisis yang menjadi fokus penelitian ini adalah membandingkan bagaimana para aktor dalam korporasi menggunakan brand community sebagai alat komunikasi pemasaran. J. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Yogyakarta, pemilihan wilayah Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena Yogyakarta termasuk wilayah dengan pertumbuhan brand community yang tinggi. 28