Jakarta, 19 Oktober 2015 BI Bersiap Longgarkan Likuiditas Aksi ambil untung memangkas IHSG 1,47% sepekan lalu dengan penutupan 4521,9. Seperti terlihat pada peraga, koreksi tajam 3,19% terjadi sehari sebelum pemerintah diberitakan akan mengumumkan paket stimulus IV yang bertepatan dengan libur nasional Tahun Baru Islam 1437 H. Angka penutupan mingguan untuk kurs rupiah per dollar 13.540 sementara yield SUN bertenor 10 tahun 8,66%. Menurut Bloomberg, investor asing melakukan penjualan bersih sebesar $10.5 juta. Selama bulan berjalan arus masuk bersih mencapai $143,2 juta. Secara taktikal nampaknya investor asing melakukan rotasi menuju bursa saham yang belum naik sepesat IHSG. Indeks saham Morgan Stanley untuk negara berkembang di luar Jepang (MXAPJ) naik 1,34%. Sementara indeks saham China SHCOMP melaju 6,54% terkait dugaan pemerintah China mempersiapkan stimulus termasuk melalui pemangkasan suku bunga. Kenaikan pesat ini menyebabkan bursa China kembali memimpin kenaikan tertinggi. Lihat Tabel kinerja antar kelompok asset diatas. Perbaikan Semu Neraca Perdagangan Trade surplus September 2015 dilaporkan sebesar $1 milyar yang dianggap jauh melebihi harapan. Selama tahun berjalan hingga September 2015, neraca berjalan mengalami surplus sekitar $7 milyar. Lihat peraga. Ini jelas berbeda dibanding deficit $1,7 milyar pada periode yang sama tahun 2014. Namun kami menyimpulkan perbaikan ini “semu” mengingat surplus tetap lebih disebabkan karena penurunan tajam impor ketimbang lompatan ekspor. Dalam bahasa kebijakan makroekonomi yang terjadi baru “expenditure-reducing” pelemahan rupiah (terutama 1 yang sangat tajam pada bulan September lalu) baru mendorong masyarakat mengurangi impor. Kondisi terbaik tentunya bila pelemahan rupiah itu memacu proses “resource-switching” baik untuk memproduksi barang substitusi impor dan untuk diekspor. Tabel diatas juga menunjukkan secara kumulatif defisit neraca minyak mencapai $11,4 milyar. Walau angka ini sudah jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, namun masih tetap besar. Sangat bisa jadi angka ini disebabkan karena sudah terlalu banyaknya kendaraan di Indonesia yang jelas membutuhkan bahan bakar yang ternyata harus diimpor. Walau pertanyataan Gubernur BI beberapa waktu lalu yang meminta Presiden Jokowi berhitung ulang bila ingin menurunkan harga premium dinilai kontroversial, terus terang kami mendukung. Pemerintah sebaiknya menghindari menempuh jalan populis seperti administrasi sebelumnya mengingat secara sistemik merusak profil makroekonomi. Sebaiknya pemerintah mempercepat penyediaan transportasi umum masal komuter yang lebih lancar dan lebih murah seperti yang selama ini yang digagas oleh PT Kereta Api Indonesia. Walaupun perbaikan neraca perdagangan ini secara hakikat masih bersifat “semu” namun tetap bermanfaat mengangkat profil Indonesia di mata investor asing. Penurunan defisit neraca perdagangan diharapkan memperbaiki persepsi terhadap defisit neraca berjalan. Sehingga, bersamaan dengan meredanya kecemasan Fed lift-off, terbuka peluang bagi BI untuk mulai melonggarkan likuiditas melalui penurunan bunga. Kami sendiri selama ini konsisten pelonggaran moneter ini perlu mengingat derap pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah sejak tahun 2013 dilambatkan. Laju pertumbuhan kredit sudah lebih rendah dibanding GDP nominal growth sehingga mengindikasikan ekonomi jauh dari kesan overheated. Sementara inflasi juga bukan ancaman selagi harga komoditas anjlok. Kami menilai ada semacam kekeliruan bila investor lebih memperhatikan angka inflasi tahunan. Sebaiknya angka inflasi tahun berjalan mengingat angka tahunan yang lebih tinggi diakibatkan oleh kenaikan harga BBM untuk mengamankan APBN2014. Dan hal ini tidak terulang bila menyakini harga bahan bakar tetap rendah terkait harga minyak mentah yang juga rendah. Pernyataan BI melalui siaran pers yang bersiaga melonggarkan likuiditas jelas terkait hilangnya dampak inflasi tahunan akibat kenaikan BBM November 2014 lalu. Sebagai akibatnya kita akan melihat spread BI rate terhadap inflasi yang sangat lebar. Strategi terbaik, seperti yang selama ini kami sarankan, adalah membeli lebih dulu SUN dan menjual ketika BI akhirnya menurunkan suku bunga (sell on the news). Kuncinya tentu saja terkait dengan prospek rupiah. Penurunan persepsi memburuknya defisit neraca berjalan yang memacu kembali capital inflow diharapkan akan memperbaiki rupiah. Peraga berikut menunjukkan perbandingan real effective exchange rate (REER) untuk yuan China (merah), rupiah (hitam) dan yen Jepang (biru). Terlihat REER rupiah dan Jepang dinilai kompetitif karena angkanya dibawah 100. Malah REER rupiah membaik sejalan dengan meredanya inflasi. Angka REER hingga akhir tahun ini akan terus turun dibawah 100 mengingat angka inflasi tahunan menurun. Dengan konteks ini pemerintah dan BI tidak perlu kuatir dengan penguatan rupiah akan menekan daya saing. Malah yang tetap harus dilakukan, dan dipercepat, adalah penguatan sektor riil agar inflasi secara sistematis dan permanen terjaga rendah seperti yang sudah terjadi di banyak negara sekawasan. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 2