Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 19 Oktober 2015
BI Bersiap Longgarkan Likuiditas
Aksi ambil untung memangkas IHSG
1,47% sepekan lalu dengan penutupan
4521,9. Seperti terlihat pada peraga,
koreksi tajam 3,19% terjadi sehari
sebelum pemerintah diberitakan akan
mengumumkan paket stimulus IV yang
bertepatan dengan libur nasional
Tahun Baru Islam 1437 H. Angka
penutupan mingguan untuk kurs rupiah
per dollar 13.540 sementara yield SUN
bertenor 10 tahun 8,66%.
Menurut Bloomberg, investor asing
melakukan penjualan bersih sebesar
$10.5 juta. Selama bulan berjalan arus
masuk bersih mencapai $143,2 juta.
Secara taktikal nampaknya investor
asing melakukan rotasi menuju bursa
saham yang belum naik sepesat IHSG.
Indeks saham Morgan Stanley untuk
negara berkembang di luar Jepang
(MXAPJ) naik 1,34%. Sementara indeks
saham China SHCOMP melaju 6,54%
terkait dugaan pemerintah China
mempersiapkan stimulus termasuk melalui pemangkasan suku bunga. Kenaikan pesat ini menyebabkan bursa
China kembali memimpin kenaikan tertinggi. Lihat Tabel kinerja antar kelompok asset diatas.
Perbaikan Semu Neraca Perdagangan
Trade surplus September 2015 dilaporkan
sebesar $1 milyar yang dianggap jauh melebihi
harapan. Selama tahun berjalan hingga
September 2015, neraca berjalan mengalami
surplus sekitar $7 milyar. Lihat peraga. Ini jelas
berbeda dibanding deficit $1,7 milyar pada
periode yang sama tahun 2014.
Namun kami menyimpulkan perbaikan ini
“semu” mengingat surplus tetap lebih disebabkan karena penurunan tajam impor ketimbang lompatan ekspor.
Dalam bahasa kebijakan makroekonomi yang terjadi baru “expenditure-reducing” pelemahan rupiah (terutama
1
yang sangat tajam pada bulan September lalu) baru mendorong masyarakat mengurangi impor. Kondisi terbaik
tentunya bila pelemahan rupiah itu memacu proses “resource-switching” baik untuk memproduksi barang
substitusi impor dan untuk diekspor.
Tabel diatas juga menunjukkan secara kumulatif defisit neraca minyak mencapai $11,4 milyar. Walau angka ini
sudah jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, namun masih tetap besar. Sangat bisa jadi
angka ini disebabkan karena sudah terlalu banyaknya kendaraan di Indonesia yang jelas membutuhkan bahan
bakar yang ternyata harus diimpor. Walau pertanyataan Gubernur BI beberapa waktu lalu yang meminta
Presiden Jokowi berhitung ulang bila ingin menurunkan harga premium dinilai kontroversial, terus terang kami
mendukung. Pemerintah sebaiknya menghindari menempuh jalan populis seperti administrasi sebelumnya
mengingat secara sistemik merusak profil makroekonomi. Sebaiknya pemerintah mempercepat penyediaan
transportasi umum masal komuter yang lebih lancar dan lebih murah seperti yang selama ini yang digagas oleh
PT Kereta Api Indonesia.
Walaupun perbaikan neraca perdagangan ini secara hakikat masih bersifat “semu” namun tetap bermanfaat
mengangkat profil Indonesia di mata investor asing. Penurunan defisit neraca perdagangan diharapkan
memperbaiki persepsi terhadap defisit neraca berjalan. Sehingga, bersamaan dengan meredanya kecemasan
Fed lift-off, terbuka peluang bagi BI untuk mulai melonggarkan likuiditas melalui penurunan bunga.
Kami sendiri selama ini konsisten pelonggaran moneter ini perlu mengingat derap pertumbuhan ekonomi
Indonesia sudah sejak tahun 2013 dilambatkan. Laju pertumbuhan kredit sudah lebih rendah dibanding GDP
nominal growth sehingga mengindikasikan ekonomi jauh dari kesan overheated. Sementara inflasi juga bukan
ancaman selagi harga komoditas anjlok. Kami menilai ada semacam kekeliruan bila investor lebih
memperhatikan angka inflasi tahunan. Sebaiknya angka inflasi tahun berjalan mengingat angka tahunan yang
lebih tinggi diakibatkan oleh kenaikan harga BBM untuk mengamankan APBN2014. Dan hal ini tidak terulang
bila menyakini harga bahan bakar tetap rendah terkait harga minyak mentah yang juga rendah.
Pernyataan BI melalui siaran pers yang bersiaga melonggarkan likuiditas jelas terkait hilangnya dampak inflasi
tahunan akibat kenaikan BBM November 2014 lalu. Sebagai akibatnya kita akan melihat spread BI rate terhadap
inflasi yang sangat lebar. Strategi terbaik, seperti yang selama ini kami sarankan, adalah membeli lebih dulu
SUN dan menjual ketika BI akhirnya menurunkan suku bunga (sell on the news).
Kuncinya tentu saja terkait dengan
prospek rupiah. Penurunan persepsi
memburuknya defisit neraca berjalan
yang memacu kembali capital inflow
diharapkan akan memperbaiki rupiah.
Peraga
berikut
menunjukkan
perbandingan real effective exchange
rate (REER) untuk yuan China (merah),
rupiah (hitam) dan yen Jepang (biru).
Terlihat REER rupiah dan Jepang dinilai
kompetitif karena angkanya dibawah
100. Malah REER rupiah membaik
sejalan dengan meredanya inflasi. Angka REER hingga akhir tahun ini akan terus turun dibawah 100 mengingat
angka inflasi tahunan menurun. Dengan konteks ini pemerintah dan BI tidak perlu kuatir dengan penguatan
rupiah akan menekan daya saing. Malah yang tetap harus dilakukan, dan dipercepat, adalah penguatan sektor
riil agar inflasi secara sistematis dan permanen terjaga rendah seperti yang sudah terjadi di banyak negara
sekawasan.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation
2
Download