BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil makmur yang merata materiil maupun spirituil, hanya dapat dilakukan melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan. Dalam berkesinambungan berdasarkan pelaksanaan pembangunan Pancasila dan nasional Undang-Undang yang Dasar 1945, dibutuhkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan kebijakan fiskal ekspansif (anggaran defisit) adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Pembiayaan defisit sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: mencetak uang dan utang (domestik atau luar negeri). Pembiayaan defisit dengan mencetak uang akan berdampak ekspansif. Pembiayaan defisit dengan utang dalam negeri akan bersifat netral karena terjadinya crowding-out effect, dimana penyerapan dana masyarakat oleh pemerintah dengan obligasi, mendorong kenaikan suku bunga yang selanjutnya mengurangi (crowding-out) investasi swasta. Sedangkan pembiayaan defisit dengan utang luar negeri tidak mempunyai dampak kontraksi dimasa sekarang, namun dampak kontraksinya terjadi pada saat pemerintah harus membayar utang tersebut. Untuk menjaga dampak yang ditimbulkan terhadap pembiayaan utang pemerintah perlu selalu menjaga rasio kesinambungan utang (debt sustainability) yang mengukur daya tahan ekonomi suatu negara untuk memenuhi kewajiban utangnya yang jatuh tempo dimasa yang akan datang tanpa mengorbankan pengeluaran pokok pemerintah secara signifikan yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan. Sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit maupun untuk pembayaran kembali pokok utang yang telah jatuh tempo (refinancing). Jumlah utang negara saat ini sebesar lebih kurang USD155.29 juta (per Februari 2008). Samuelson da Nordhaus (1996: 359) membedakan utang dalam dua jenis yaitu utang eksternal dan internal. Kumhof, dkk (2005) berpendapat kegagalan membayar utang luar negeri menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan untuk melakukan pinjaman domestik. Pemerintah sendiri sejak tahun 2004, telah menggantikan dominasi pinjaman luar negeri dengan pinjaman domestik berupa obligasi negara, sehinggga pinjaman luar negeri saat ini telah menjadi sumber kedua (secondline of defense). Pada dasarnya, investasi pada obligasi merupakan fixed claims karena investor hanya akan menerima penghasilan berupa pendapatan bunga (interest) dan imbal hasil (yield) obligasi. Namun demikian, dalam pengelolaan portofolio obligasi negara, pemerintah tidak terlepas dari adanya resiko yang mungkin terjadi, yaitu tambahan beban/biaya utang dalam APBN secara signifikan, baik berupa risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) akibat struktur jatuh tempo yang tidak seimbang maupun resiko pasar akibat perubahan suku bunga ataupun inflasi. Berbagai resiko tersebut secara terus-menerus harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar krisis fiskal dapat dihindari. Harga komoditas minyak belakangan hampir menyentuh US$140/barel pada 16 Juni 2008. Kenaikan harga komoditas minyak dunia diawali pada tahun 2007 dengan kejatuhan pasar keuangan global akibat gagal bayar subprime mortgage di Amerika Serikat. Peristiwa gagal bayar ini menyebabkan beberapa bank di Eropa mengalami kerugian dan memaksa Bank Sentral Eropa menyuntikkan modal bagi beberapa bank besar di Eropa. Karena investasi di pasar keuangan tidak lagi menguntungkan terkait dengan terus-menerusnya mengalami kelesuan mendorong para manajer investasi dan spekulan global untuk mencari peluang investasi di manapun, termasuk di pasar komoditas. Tindakan spekulan tersebut mendorong harga komoditas minyak melambung tinggi. Disamping ulah spekulan kenaikan harga komoditas minyak juga terjadi karena pertumbuhan produksi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan konsumsi. Rata-rata pertumbuhan produksi minyak sepanjang periode 1991-2002 sekitar 1,24% per tahun, di bawah pertumbuhan konsumsi minyak dunia. Bahkan, pada 1999 dan 2002, produksi minyak turun 1% per tahun akibat resesi ekonomi dunia. Pada 2003 dan 2004 Produksi minyak sempat naik masing-masing 3,4% dan 4,4% per tahun. Namun memasuki 2005 sampai 2007, produksi kembali stagnan, data produksi 2007 memperlihatkan penurunan produksi minyak dari negara penghasil utama. Sementara kapasitas produksi minyak sangat terbatas, permintaan minyak mengalami lonjakan tajam sejalan kuatnya pertumbuhan ekonomi dunia, akibatnya harga komoditas minyak pun meningkat. Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan dalam Kontan-Online (2008) mengatakan “Krisis subprime mortgage dan harga minyak, dua hal yang sangat berpengaruh terhadap pasar obligasi”. Kenaikan harga komoditas minyak mengakibatkan peningkatan biaya produksi yang memicu terjadinya kenaikan harga barang-barang (inflasi). Tekanan inflasi akan membuat kurs rupiah menurun yang diikuti oleh kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan selanjutnya kenaikan suku bunga SBI akan berakibat pada peningkatan imbal hasil (yield) obligasi yang diterbitkan. Budi Frensidy dalam Bisnis Indonesia (2008) mengatakan bahwa “Yield obligasi tergantung pada suku bunga, dan suku bunga tergantung pada tingkat inflasi”. Tingginya harga minyak mentah dunia saat ini juga menyebabkan alokasi subisidi dalam APBN menjadi membengkak. Peningkatan subsidi akan menyebabkan peningkatan terhadap defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Parkin dan Bade (1995: 374) mengatakan bahwa defisit yang terjadi secara terus menerus akan menghasilkan utang yang akan menambah tekanan terhadap fiskal. Tekanan fiskal ini selanjutnya dapat menyebabkan adanya `loss of confidence` (kehilangan kepercayaan). Hilangnya kepercayaan akibat tekanan fiskal akan semakin menaikkan tingkat imbal hasil yang diminta oleh pasar terhadap penerbitan obligasi pemerintah. Berangkat dari pemahaman tersebut, penelitian ini mencoba mempelajari signifikasi pengaruh kenaikan harga komoditas minyak terhadap yield obligasi negara domestik seri benchmark Surat Utang Negara (SUN), dengan judul: Pengaruh Perubahan Harga Minyak Terhadap Yield Obligasi Negara. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah harga komoditas minyak berpengaruh terhadap yield obligasi negara? 2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menghadapi perubahan yield guna mempertahankan kelangsungan fiskal (fiscal sustainability) dalam APBN? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh harga komoditas minyak terhadap yield obligasi negara. 2. Mengetahui kebijakan pemerintah dalam menghadapi perubahan yield guna mempertahankan kelangsungan fiskal (fiscal sustainability) dalam APBN. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil sikap bagaimana langkah kebijakan yang dapat diambil, sebagai akibat terjadinya fluktuasi harga komoditas minyak yang menghambat upaya pemerintah mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk menutup defisit yang terjadi melalui penerbitan obligasi domestik, serta masukan dalam rangka manajemen pengelolaan utang dan penyiapan strategi utang khusus yang terkait dengan Surat Berharga Negara. Bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah tentang pasar modal dengan memberikan bukti empiris pengaruh harga komoditas minyak terhadap yield obligasi negara, sekaligus upaya mendorong dilakukannya penelitian-penelitian sejenis yang akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional khususnya pasar modal.