Bab 1 - Widyatama Repository

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Interdependensi antarnegara yang diikuti dengan semakin pesatnya
hubungan perdagangan dan ekonomi khususnya di bidang permodalan telah
menimbulkan suatu perkembangan tatanan baru dalam perekonomian dunia, yaitu
munculnya unifikasi ekonomi global dengan kecenderungan ke arah regionalisasi
maupun globalisasi (Santoso, 2004). Globalisasi ekonomi telah membawa dampak
semakin meningkatnya transaksi internasional atau cross border transaction
(Suandy, 2011). Saat ini pergerakan modal dan dana dari satu negara ke negara
lain menjadi lebih besar dari sebelumnya. Perusahaan-perusahaan tidak lagi
membatasi operasinya hanya di negara sendiri, akan tetapi merambah ke
mancanegara dan menjadi perusahaan multinasional dan transnasional. (Santoso,
2004).
Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi
antaranggota. Bentuk transaksi tersebut sangatlah luas, bisa berupa penjualan
barang dan jasa, lisensi, royalti, paten, penjaminan utang, penjualan komponen
perakitan produksi, hingga kerjasama operasional (Santoso, 2004). Oleh karena
itu, perusahaan-perusahaan domestik banyak yang mulai berubah menjadi
perusahaan multinasional atau biasa disebut multinational corporation (MNC).
Perusahaan multinasional ini banyak melakukan operasi melalui anak perusahaan
dan cabang-cabang di negara-negara lain (Brilianty, 2015).
1
2
Maraknya pertumbuhan dan perkembangan korporasi multinasional
sebagai akibat dari internasionalisasi ekonomi, bisnis dan investasi tidak sematamata memberikan manfaat yang positif untuk mengantisipasi perbedaan sumber
daya dan kemampuan antar negara-negara di dunia, tetapi juga memberikan
permasalahan baru bagi otoritas-otoritas fiskal dalam usahanya mengamankan
penerimaan negara dari sektor pajak. Masalah baru dibidang perpajakan seiring
dengan proses globalisasi dan berkembang pesatnya korporasi multinasional,
salah satunya adalah mengenai penentuan tingkat kewajaran harga transaksi antara
pihak-pihak dalam dan luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa (related
parties). Istilah transfer pricing menjadi begitu populer namun penanganannya
belum memperlihatkan hasil yang cukup signifikan dalam struktur penerimaan
negara (Suharto dalam Santoso, 2004).
Berdasarkan pasal 18 ayat (4) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, hubungan istimewa Wajib Pajak Badan dapat terjadi
karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya
sebanyak ≥25% (lebih dari atau sama dengan dua puluh lima persen), atau
beberapa badan yang ≥25% (lebih dari atau sama dengan dua puluh lima persen)
sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Hubungan istimewa dapat mengakibatkan
ketidakwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu
transaksi usaha. Secara universal, transaksi antarwajib pajak yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Transaksi ini
dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan, dasar pengenaan pajak
(tax base) atau biaya dari satu wajib pajak kepada wajib pajak lain yang dapat
3
direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak
yang mempunyai hubungan istimewa tersebut (Hartati et al., 2014).
Pihak-pihak berelasi dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara
pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan
transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya menjual
produknya ke pihak independen dengan harga jual normal, mungkin akan diminta
untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan harga pokok saja. Namun
bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa.
Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual normal
kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu
pihak, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak
berelasi. (Juan dan Wahyuni dalam Lingga, 2012).
Permasalahan transfer pricing menjadi isu yang sangat menarik dan
semakin mendapatkan perhatian dari otoritas perpajakan di berbagai belahan
dunia. Semakin banyak negara di dunia yang mulai memperkenalkan peraturan
tentang transfer pricing (Hartati et al., 2014). Penelitian akhir-akhir ini telah
menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan-perusahaan multinasional (MNC)
melihat transfer pricing sebagai suatu isu utama pajak internasional, dan lebih
dari setengah perusahaan ini mengatakan bahwa isu ini adalah isu yang paling
penting (Suandy, 2011).
4
Dalam bidang perpajakan, transfer pricing sudah menjadi isu yang sering
terjadi pada transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Dari sisi
pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya
potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional
cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki
tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan
tarif pajak rendah (low tax countries). Sementara dari sisi bisnis, perusahaan
cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk
didalamnya meminimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income
tax). Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing dipercaya menjadi salah satu
strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan
sumber daya yang terbatas (Santoso, 2004).
Dari sudut pandang Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tidak diragukan lagi
bahwa transfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara.
Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mengungkapkan bahwa terdapat
2000 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia tidak membayar
pajak penghasilan badan selama 10 tahun terakhir karena alasan merugi. Menurut
informasi dari DJP, ada tiga penyebab utama 2000 perusahaan multinasional
tersebut terindikasi mengemplang pajak selama bertahun-tahun, salah satunya
karena adanya transfer pricing (Ariyanti, 2016).
Ditinjau dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan
multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan
cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak
5
mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau
mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa
dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak (Gravelle, 2009).
Pengertian penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai
kegiatan meminimalkan beban pajak tanpa melanggar ketentuan perpajakan
(legal) sedangkan penyelundupan pajak (tax evasion) diartikan sebagai kegiatan
meminimalkan beban pajak dengan melanggar ketentuan perpajakan (ilegal).
Dengan kata lain, penghindaran pajak dapat dikategorikan sebagai kegiatan legal
ataupun ilegal. Suatu penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang
dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut
tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose). Oleh
karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh
perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti
penghindaran pajak (Gravelle, 2009).
Model penghindaran pajak kemungkinan sering terjadi pada ekspor
komoditas. Para eksportir, masih banyak menggunakan kontrak penjualan lama,
yang belum direnegosiasi, untuk pelaporan omzet pada SPT Tahunan. Pengusaha
juga melakukan transfer pricing dengan mendirikan perusahaan perantara di
negara bertarif pajak rendah seperti Hongkong dan Singapura, sebelum menjual
ke enduser (Suryana, 2012).
Kegiatan usaha melalui transfer pricing ini dipercaya pula oleh para ahli
dapat menghindari pajak berganda (PricewaterhouseCoopers, 2009, dalam Hartati
et al., 2014). Namun di satu sisi, transfer pricing sering mengalami masalah
6
dalam aspek penyalahgunaan pajak, karena kegiatan ini menyangkut masalah bea
cukai, ketentuan anti dumping, perubahan pengalihan penghasilan, dan perubahan
dasar pengenaan pajak (tax base) dari satu wajib pajak kepada wajib pajak lain.
Dengan kata lain, realitanya adalah transfer pricing ini menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan adanya rekayasa jumlah pajak yang terutang atas
wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut (Hartati et al., 2014).
Perusahaan
multinasional
akan
berusaha
untuk
memaksimalkan
penghasilan secara global dan meminimalkan beban pajak terutama pajak
penghasilan badan. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan melakukan
praktik transfer pricing (Suandy, 2011).
Penelitian mengenai motivasi pajak dan kaitannya dengan keputusan
transfer pricing telah dilakukan. Penelitian yang membahas mengenai hal ini
adalah penelitian Yuniasih et al., (2012) yang mengatakan bahwa keputusan
transfer pricing dipengaruhi oleh motivasi dalam hal perpajakan. Keputusan
melakukan transfer pricing pada umumnya dapat mengakibatkan pembayaran
pajak lebih rendah secara global. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hartati et
al., (2014) yang menyatakan bahwa motivasi pajak memiliki pengaruh dalam
pengambilan keputusan transfer pricing. Penelitian yang dilakukan oleh
Noviastika F. et al., (2016), menyatakan hasil yang sejalan dengan peneliti
pendahulunya, yaitu pajak mempengaruhi keputusan melakukan transfer pricing.
Keputusan melakukan transfer pricing tidak hanya dipengaruhi oleh
motivasi pajak, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh kepemilikan saham. Struktur
kepemilikan saham di Indonesia terkonsentrasi pada sedikit pemilik sehingga
7
menyebabkan munculnya pemegang saham mayoritas dan minoritas (Hartati et
al., 2015).
Claessens et al., (2000), menyatakan bahwa pemegang saham mayoritas
cenderung mengutamakan kepentingan mereka sendiri dibandingkan dengan
kepentingan investor dan stakeholder lain. Kemudian Pemegang saham mayoritas
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi manajemen dalam membuat
keputusan-keputusan
yang
hanya
memaksimumkan
kepentingannya
dan
merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Hal ini mendorong pemegang
saham mayoritas untuk melakukan tunneling yang merugikan pemegang saham
minoritas.
Istilah tunneling seperti yang disebut oleh Claessens dikenal dengan
tunneling incentive atau insentif terowongan. ‘Tunneling’ bisa diartikan sebagai
terowongan atau jalan bawah tanah, dimana suatu pihak (controlling shareholder)
akan mencari jalan untuk menyalurkan “sesuatu manfaat” tanpa diketahui atau
disadari oleh pihak lain (minority shareholders). Oleh sebab itu, istilah tunneling
dipakai dalam konteks pengambilan manfaat atau keuntungan dari perusahaan
oleh controlling shareholder, yang merugikan kepentingan minority shareholders,
biasanya terjadi pada perusahaan terbuka/publik (Mutamimah, 2009).
Istilah “tunneling” pertama kali didefinisikan menurut La Porta et al.,
(2000), tunneling datang dalam dua bentuk. Pertama, pemegang saham pengendali
hanya dapat mentransfer sumber daya dari perusahaan untuk kepentingan sendiri
melalui transaksi self-dealing. Kedua, pemegang saham pengendali dapat
meningkatkan kepemilikan perusahaannya tanpa mentransfer aset apapun, yaitu
8
melalui dilutive share issues, freezeouts minority, insider trading, creeping
acquisitions, atau transaksi keuangan lainnya yang mendiskriminasi kelompok
minoritas.
Tunneling dapat berupa transfer ke perusahaan induk yang dilakukan
melalui transaksi pihak berelasi atau pembagian dividen. Transaksi pihak berelasi
lebih umum digunakan daripada pembagian dividen (La Porta et al., 2000).
Transaksi pihak berelasi atau transfer pricing akan menguntungkan pemegang
saham mayoritas karena laba perusahaan tidak perlu dibagi dengan pemegang
saham minoritas.
Penelitian tentang tunneling incentive telah dilakukan oleh Yuniasih et al.
(2012) yang menyimpulkan bahwa tunneling incentive berpengaruh positif
terhadap keputusan perusahaan manufaktur dalam melakukan transfer pricing. .
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hartati et al., (2015) yang menyatakan
bahwa motivasi tunneling incentive memiliki pengaruh dalam pengambilan
keputusan transfer pricing. Penelitian yang dilakukan oleh Noviastika F. et al.,
(2016), menyatakan hasil yang sejalan dengan peneliti pendahulunya, yaitu
tunneling incentive mempengaruhi keputusan melakukan transfer pricing.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini akan
menguji pengaruh pajak dan tunneling incentive terhadap keputusan perusahaan
untuk melakukan praktik transfer pricing. Penelitian ini menggunakan sampel
perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia tahun 20112015. Hal ini dikarenakan praktik transfer pricing hanya dilakukan oleh
perusahaan manufaktur, khususnya perusahaan-perusahaan multinasional yang
9
memiliki relasi dengan perusahaan di luar negeri. Penggunaan sampel selama 5
tahun cukup untuk menggambarkan tentang kondisi perusahaan manufaktur di
Indonesia yang melakukan praktik transfer pricing.
1.2
Identifikasi Masalah
Transfer Pricing merupakan salah satu masalah penghindaran pajak yang
banyak dilakukan oleh perusahaan multinasional, baik di dalam maupun di luar
negeri. Penghindaran pajak dengan melakukan transfer pricing dapat merugikan
negara. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Seberapa besar pengaruh pajak terhadap keputusan perusahaan untuk
melakukan praktik transfer pricing.
2. Seberapa besar pengaruh tunneling incentive terhadap keputusan perusahaan
untuk melakukan praktik transfer pricing.
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mendapatkan bukti
empiris mengenai:
1. Pengaruh pajak terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan praktik
transfer pricing.
2. Pengaruh tunneling incentive terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan
praktik transfer pricing.
10
1.4
Kegunaan Penelitian
Adapun hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran kepada pemerintah, analis laporan keuangan,
manajemen perusahaan, dan investor/kreditor terkait bagaimana pajak, dan
tunneling incentive, mempengaruhi perusahaan mengambil keputusan untuk
melakukan praktik transfer pricing.
2. Manfaat Teoretis dan Akademis
Menambah pengetahuan bagi perkembangan studi akuntansi dan pajak dengan
memberikan gambaran faktor yang mempengaruhi perusahaan mengambil
keputusan untuk melakukan praktik transfer pricing, khususnya perusahaan
manufaktur multinasional di Indonesia dan menambah referensi untuk
penelitian di masa yang akan datang.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Penelitian dilakukan secara tidak langsung dengan
mengambil data laporan keuangan tahunan dan laporan auditor independen ke
Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia Bandung yang beralamat di Jalan PHH.
Mustofa No. 33 Bandung. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Agustus sampai
dengan November 2016.
11
1.6
Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah yang mendorong
peneliti melakukan penelitian ini. Dalam bab ini juga diuraikan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Bagian akhir
bab ini menguraikan mengenai sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka dari teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Dalam bab ini juga diuraikan tentang penelitian
terdahulu dan kerangka teoritis yang berguna untuk menunjang dan
menyusun penelitian ini, serta diuraikan pula mengenai hipotesis
penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang variabel penelitian dan definisi operasional,
jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis
data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan deskripsi objek penelitian, hasil analisis data, dan
pembahahasan terhadap hasil penelitian.
12
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir penulisan skripsi. Bab ini memuat
simpulan, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Download