BAB II LANDASAN TEORI Pada penelitian ini digunakan beberapa teori, yaitu teori tentang kecemasan, teori mengenai Eudaimonic Well-Being, teori tentang perilaku seksual berkaitan dengan perilaku seks sejenis, teori mengenai M-S-M (Men who have Sex with Men), dan kemudian diakhiri dengan dinamika keseluruhan teori yang digunakan. A. Kecemasan A.1. Definisi Kecemasan Banyak definisi kecemasan yang dikemukakan oleh para ahli. Kecemasan dapat didefenisikan sebagai suatu keadaan perasaan gelisah, ketidaktentuan, takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau bersifat konfliktual (Kaplan & Sadock, 1997). Selain itu, Taylor (1953) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Kecemasan bersinonim dengan rasa takut, akan tetapi kecemasan memiliki arti yang lebih luas daripada ketakutan. Freud (dalam Hall, 1995) menyatakan 20 Universitas Sumatera Utara 21 bahwa rasa takut hanya terjadi terhadap sesuatu hal di luar manusia, sedangkan kecemasan dapat muncul dari luar diri individu maupun dari dalam dirinya sendiri. Kecemasan yang muncul dari dalam diri sendiri umumnya muncul karena adanya suatu konflik. Hal ini sesuai dengan Definisi kecemasan yang diungkapkan oleh Dradjat (2003), yakni suatu manifestasi berbagai masalah emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin. Freud (dalam Hall, 1995) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun, bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Menurut Freud (dalam Brintha & Ramakrishnan, 2013), kecemasan adalah konsekuensi dari pertentangan kebutuhan, terutama frustrasi yang terjadi di situasi konflik. Teori Freud juga mengatakan bahwa seseorang sebagian besar tidak menyadari sumber atau penyebab kecemasan, tetapi sebetulnya dapat diidentifikasi dengan cara melihat riwayat hidupnya. Dalam teori Freud, kecemasan yang bersumber dari konflik batin yang terkait dengan pertentangan id dan superego dapat muncul dalam wujud perasaan bersalah dan malu. Spielberg menyatakan bahwa kecemasan bisa dikarenakan dua hal, yaitu faktor situasi yang menyebabkan konflik atau faktor kepribadian yang memang cenderung pencemas (dalam McDowell, 2006). Dari kedua hal tersebut, Spielberg membedakan dua jenis kecemasan, yakni state anxiety, dimana sumber kecemasannya berasal dari kondisi yang sedang dialami dan trait anxiety, yang Universitas Sumatera Utara 22 sumber kecemasannya dari karakter pribadi. Situasi-situasi yang dimaksudkan dalam state anxiety, tidak hanya berbicara dari faktor dari luar, tetapi juga kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan suatu hal, misalnya kegagalan, tekanan, kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik. Semua ini dialami dalam tingkat yang berbeda oleh setiap individu. Dari kedua jenis tersebut, mengukur trait anxiety juga dapat dipakai untuk melihat apakah seseorang memiliki gangguan kecemasan atau tidak (Spielberg, dalam McDowell, 2006). Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul secara samar tanpa diketahui penyebab yang jelas sebagai suatu respon terhadap tekanan perasaan, perasaan tidak aman, perasaan bersalah dan malu akibat konflik-konflik ketegangan dalam diri individu, yang ditandai dengan adanya kekhawatiran atau rasa takut dan hal ini dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda oleh setiap individu. A.2. Jenis-jenis Kecemasan Ada tiga jenis kecemasan yang dikemukakan oleh Freud, yakni kecemasan realistis, kecemasan neurotis, dan kecemasan moral (dalam Feist and Feist, 2009). Egolah yang dapat membentuk perasaan kecemasan, tetapi ketiga komponen, yakni id, ego, dan superego berperan dalam ketiga jenis konflik yang dikemukakan oleh Freud tersebut (Feist and Feist, 2009). Antara ketiga kecemasan ini tidak ada perbedaan dalam segi wujudnya, yakni sama-sama tidak Universitas Sumatera Utara 23 menyenangkan. Perbedaannya hanya terletak pada sumber penyebabnya (Hall, 1995). 1. Kecemasan realistis. Kecemasan ini disebut juga sebagai kecemasan akan kenyataan yaitu suatu pengalaman perasaan akibat adanya suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya tersebut adalah setiap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya. 2. Kecemasan neurotis. Kecemasan ini ditimbulkan oleh suatu pengamatan tentang bahaya dari naluri-naluri. Kecemasan ini juga sering dihasilkan bila impuls id ingin ditampilkan, akan tetapi ledakannya di kontrol oleh ego. Salah satu jenis kecemasan ini adalah ketakutan yang menegangkan dan tidak irasional, yakni phobia. 3. Kecemasan moral. Kecemasan ini muncul dalam bentuk perasaan bersalah atau malu yang ditimbulkan oleh suatu pengamatan mengenai bahaya dari hati nurani. Pada kecemasan ini, seseorang tidak dapat hidup leluasa dalam standar moralnya atau berlawanan terhadap suatu perilaku yang dikatakan tidak etis. Pada kasus ini ego mengingatkan terjadinya suatu kemungkinan pembalasan dari super ego. Sumber kecemasan ini adalah pertentangan yang terjadi dalam diri individu, yakni antara id dan superego. Pertentangan ini sifatnya intra-psikis, yang berarti bahwa hal ini merupakan pertentangan struktural dan tidak menyangkut paut hubungan antara dirinya dengan dunia melainkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh dirinya sendiri. Universitas Sumatera Utara 24 Selain jenis kecemasan yang diungkapkan oleh Freud, Spielberg (dalam Carducci, 2009) juga membagi kecemasan dalam dua bentuk, antara lain : 1. Kecemasan sesaat (state anxiety) merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Reaksi ini bersifat subjektif, dirasakan dengan sadar, perasaan tegang, gelisah dan aktifnya sistem saraf otonom. Penilaian terhadap stimulus (situasi) yang dianggap mengancam dipengaruhi oleh sikap, kemampuan, pengalaman masa lalu dan kecemasan dasar. Kecemasan ini juga mengacu pada keadaan “sekarang dan pada saat ini.” 2. Kecemasan dasar (trait anxiety) merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang dalam menginterpretasikan suatu keadaan yang mengancam. Trait anxiety sifatnya bawaan dan berbeda pada tiap individu. Seseorang yang memiliki trait anxiety yang tinggi memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam menanggapi suatu situasi sebagai ancaman. Kecemasan ini adalah kecemasan yang secara umum dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya. A.3. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Kecemasan memiliki banyak faktor penyebab dan tidak datang dengan sendirinya. Berikut ini adalah beberapa penyebab kecemasan: 1. Kecemasan objektif, merupakan kecemasan akan bahaya sesungguhnya yang datangnya dari lingkungan atau dunia luar yang dapat mengancam diri (Binder dan Kielholzt, dalam Trismiati, 2006) Universitas Sumatera Utara 25 2. Kecemasan hati nurani, merupakan kecemasan yang timbul apabila individu mengerjakan perbuatan yang berlawanan dengan moralitas (Freud, dalam Hall, 1995). Lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan (Ardnt, 1974). Freud berpendapat bahwa sumber ancaman terhadap ego berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan tuntutan - tuntutan dari superego. Freud (dalam Hall, 1995) menyatakan bahwa mengontrol arah tindakan, memilih segi - segi lingkungan ke mana ia akan memberi respon dan memutuskan insting insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi – fungsi eksekutif ini ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan - tuntutan id, superego, dan dunia luar sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan. 3. Kecemasan neurotik, merupakan kecemasan yang berasal dari tubuh karena takut hukuman akibat telah dilakukan pemuasan insting (Freud, dalam Hall, 1995). 4. Kecemasan sosial, merupakan kecemasan yang timbul bila individu takut pendapat umum atau pendapat lingkungannya mencela perbuatannya (Binder dan Kielholzt, dalam Trismiati, 2006). 5. Kecemasan berbeda tingkatannya pada intensitas perilaku. Ketika seseorang melakukan suatu perilaku amoral secara berulang, maka kebahagiaan yang diperoleh dari aktivitas tersebut akan meredam rasa bersalah atau kecemasan yang dialami saat pertama kali (Moeljosoedjono, Universitas Sumatera Utara 26 2008). Hal ini sejalan dengan teori belajar mengenai habituasi, James W. (2009), seorang psikolog menulis bahwa habituasi merupakan penurunan respon/tanggapan terhadap rangsangan/stimulus yang diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang diberikan. A.4. Indikator Kecemasan Spielberg (dalam Marteau dan Bekker, 1992) membuat dua indikator kecemasan, yakni Anxiety Present dan Anxiety Absent. Anxiety Present yakni indikator hadirnya tanda-tanda kecemasan. Adapun tanda tanda kecemasan tersebut berupa perasaan yang dialami oleh seseorang seperti: 1. Merasa resah terhadap apa yang ia lakukan 2. Stres dengan tindakannya 3. Kesal terhadap diri sendiri 4. Cemas terhadap nasib 5. Takut dengan apa yang ia lakukan dan yang akan terjadi. 6. Perasaan gugup dengan sekitarnya 7. Timbulnya perasaan gelisah 8. Bimbang dengan perilakunya 9. Kebingungan dengan pilihan 10. Khawatir terhadap konsekuensi Universitas Sumatera Utara 27 Anxiety absent, adalah indikator yang sebaliknya, dimana kehadiran perasaan-perasaan seperti ini memperlihatkan bahwa tidak adanya kecemasan pada seseorang. Tanda-tanda tersebut adalah kebalikan dari tanda-tanda present, yaitu: 1. Ketenangan setelah melakukan sesuatu 2. Tidak adanya perasaan khawatir 3. Perasaan lega 4. Kepuasan dalam melakukan tindakan 5. Tetap merasa nyaman 6. Tetap percaya diri 7. Rileks dengan tindakannya 8. Yakin dengan pilihannya 9. Mengetahui bahwa apapun yang dilakukan adalah sesuai keinginannya 10. Hadirnya perasaan senang A.5. Jangka Waktu Kecemasan Umum Menurut DSM IV, kecemasan umumnya terjadi selama kurang dari enam bulan, yang mana jika telah terjadi lebih dari enam bulan sudah dapat dinyatakan sebagai gangguan, yakni generality anxiety disorder. Selain itu, yang membedakan kecemasan umum dengan gangguan kecemasan umum adalah pada gejalanya, yang mana pada gangguan kecemasan memiliki gejala ketakutan yang berlebihan dan intens selama berbulan-bulan yang tidak hanya menonjol pada saat tertentu saja, tetapi terus menerus. Gangguan kecemasan tidak memiliki suatu Universitas Sumatera Utara 28 penyebab yang pasti, tetapi menimbulkan kehawatiran di segala sisi kehidupannya. Pada penelitian ini, kecemasan yang dimaksud bukanlah gangguan kecemasan, melainkan kecemasan umum yang terkait dengan suatu situasi tertentu yang menjadi sumber kecemasan. B. Eudaimonic Well-Being B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being Eudaimonic Well-Being fokus pada realisasi diri, dimana kesejahteraan dipandang dari sejauh mana seseorang telah berfungsi sepenuhnya (Lazarus and Folkman, dalam Ryan and Deci 2001). Filosofi eudomonism mendefinisikan bahwa tindakan yang tepat akan membawa seseorang menuju kesejahteraan. Aristoteles menyatakan bahwa seseorang akan menemukan kebahagiaan dalam mengekspresikan kebajikan dan dalam melakukan apa yang layak untuk dilakukan sesuai dengan prinsip yang ia pegang (Ryan & Deci, 2001). Kebahagiaan memiliki dua perspektif dasar yang menentukannya. Pandangan pertama adalah hedomonic dan pandangan yang kedua adalah eudaimonic. Keduanya berfokus pada kebahagiaan yang dialami oleh individu. Akan tetapi, eudaimonic yang dipakai selanjutnya dalam penelitian ini berbeda dengan hedomonic. Hedomonic memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal, atau dengan kata lain, yakni mencapai kebahagiaan. Jenis kebahagiaan ini fokus mencapai kepuasan hidup dengan menghindari aspek-aspek negatif (Ryan dan Deci, 2001). Universitas Sumatera Utara 29 Berbeda dengan konsep hedomonic, Waterman (1993) menyatakan bahwa konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya, atau dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati itu terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2001). Oleh karena itu, Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup yang berasal dari perkembangan potensi terbaik seseorang dan aplikasi yang bertujuan untuk pemenuhan ekspresi pribadi serta kesesuaian dengan tujuan hidup (Waterman, 2010). Mengejar keunggulan dan relisasi diri merupakan sifat-sifat khusus yang mencerminkan fungsi eudaimonic. Selain itu, perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi adalah pengalaman subjektif dari eudaimonia (Waterman et al, 2010). Teori eudaimonic menyatakan bahwa kualitas hidup individu juga terletak pada kemampuan individu mengidentifikasi bakat-bakat mereka serta tindakan mengembangkannya untuk memperoleh tujuan dan makna hidup. Memilih tindakan yang paling sesuai dengan diri sendiri akan menimbulkan perasaan eudaimonia. Waterman (2010) mengemukakan bahwa ada enam komponen yang saling terkait dalam Eudaimonic Well-Being, yakni: (1) penemuan diri, (2) pengembangan potensi terbaik yang dimiliki seseorang, (3) adanya tujuan yang berarti dalam hidup, (4) usaha yang dituangkan dalam mengejar keunggulan, (5) keterlibatan intens dalam kegiatan, dan (6) menikmati setiap kegiatan sebagai ekspresi dari diri. Universitas Sumatera Utara 30 Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Eudaimonic WellBeing adalah kualitas hidup yang diperoleh dari pengembangan potensi terbaik yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, yang mana hal ini dicapai dengan adanya pengenalan akan diri sendiri terkait potensi diri dan pengembangannya, memiliki tujuan hidup, bersifat aktif, terlibat dalam kegiatan yang sesuai, dan menikmati setiap keterlibatan pada kegiatan. Eudaimonic WellBeing mengacu pada bagaimana seseorang mengatasi tantangan dalam kehidupan serta menentukan tindakan yang paling sesuai dalam setiap hal yang mengganggu kehidupannya. B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being Berikut ini adalah enam komponen dalam Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman (2010): 1. Self discovery Eudaimonism menekankan bahwa setiap orang harus mampu mengenali dirinya dan hidup sesuai dengan daimonnya, yaitu diri yang sejati. Hal ini bertujuan untuk membantu usaha dalam menuju realisasi diri. Seseorang harus menyadari dirinya dalam tipe pribadi yang seperti apa dalam menjalani kehidupannya. Pernyataan yang mengacu pada komponen ini dapat berupa “Saya percaya bahwa saya telah menmukan diri saya yang sebenarnya.” Universitas Sumatera Utara 31 2. Perceived development one’s best potentials Salah satu elemen penting dalam Eudaimonic Well-Being adalah mengenali potensi unik yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini tidak berhenti pada identifikasi potensi, tetapi juga keaktifan dalam usaha pengembangan potensi tersebut agar berfungsi sepenuhnya. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya mengetahui potensi terbaik yang saya miliki dan saya mencoba mengembangkannya di setiap kesempatan yang memungkinkan.” 3. A Sense of Purpose and Meaning in Life Pada komponen ini seseorang mampu mengidentifikasi potensi diri yang ia miliki dan tindakan mengembangkannya. Akan tetapi, potensi yang dikembangkan lebih mengacu pada kesesuaian dengan tujuan hidup yang memberikan makna bagi hidupnya. Dalam mengalami Eudaimonic Well-Being, individu harus menerapkan keterampilan dalam mengejar tujuan hidup yang bermakna. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya bisa berkata bahwa saya telah menemukan tujuan hidup saya.” 4. Investment of Significant Effort in Persuit of Excellence. Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mencapai keunggulan. Realisasi diri muncul dengan sendirinya sehingga membutuhkan upaya yang lebih untuk mencapainya. Upaya yang maksimal yakni dilakukan dengan cara memfungsikan setiap bakat dan keterampilan secara penuh pada setiap kegiatan yang bermakna. Universitas Sumatera Utara 32 Waterman menemukan bahwa ada hubungan yang postif antar Eudaimonic WellBeing dengan tingkat usaha yang diinvestasikannya dalam keterlibatan kegiatan. 5. Intense Involvement in Activities Ketika seseorang menemukan kegiatan yang bermakna dan sesuai dengan tujuan hidupnya, maka keterlibatannya juga harusnya lebih tinggi terhadap kegiatan tersebut dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Seseorang akan menemukan perasaan eudaimonia ketika menemukan kegiatan yang membutuhkan bakat dan keterampilannya. 6. Enjoyment of Activities as Personally Expressive Salah satu aspek paling jelas dalam menDefinisikan Eudaimonic WellBeing adalah pengalaman langsung berupa rasa bahagia dalam kegiatan yang dikerjakan. Seseorang yang mengalami Eudaimonic Well-Being harus merasakan bahwa apa yang mereka lakukan dalam hidup adalah ekspresi dari pribadi siapa diri mereka sesungguhnya. B.3. Aspek Eudaimonic Well-Being Selain enam komponen yang disampaikan oleh Waterman, beberapa peneliti lain, seperti Schutee, Wissing, dan Khumalo membuat sebuah analisis faktor pada alat ukur Eudaimonic Well-Being Waterman pada tahun 2013. Pada penelitian tersebut, mereka menemukan adanya tiga aspek utama dalam variabel ini, yaitu: Universitas Sumatera Utara 33 1. Sense of Purpose (SoP) yaitu aspek yang berfokus pada sejauh mana seseorang mengenali dirinya (self knowledge) dan kebermaknaan suatu tujuan hidup dalam dirinya. Kebermaknaan tujuan hidup sejalan dengan bagaimana seseorang mempersepsikan makna hidupnya. Hal ini sejalan dengan konstruk makna hidup yang disampaikan Ryff (1989) yakni adanya tujuan hidup, arah yang jelas, dan intensitas dalam pencapaiannya. 2. Purposeful Personal Exvressiveness (PPE) yaitu aspek yang fokus pada keaktifan seseorang secara penuh pada setiap aktivitas yang bermakna dan bertujuan. Hal ini juga terkait dengan afeksi atau perasaan menikmati setiap kegiatan yang mengekspresikan kepribadiannya serta usaha yang dilakukan dalam pengembangan potensi. Aspek ini juga sejalan dengan motivasi intrinsik dari teori self-determination yang dikemukakan oleh Ryan (2008), yakni adanya ketertarikan, otonomi, dan pengekspresian diri pada setiap aktivitas yang dilakukannya. 3. Effortful Engagement (EE) yaitu aspek yang mengacu pada bagaimana seseorang memiliki suatu harapan sehingga menimbulkan upaya dalam setiap kegiatan yang memungkinkan dalam pencapaian harapan tersebut, sekalipun hal tersebut sulit. Tanggung jawab dalam pencapaian akan berkebalikan dengan sifat menyerah dan mengikuti arus kehidupan. Aspek ini berkaitan dengan optimalisasi diri di setiap pengalaman (Delle Fave dan Massimi, 2005). Universitas Sumatera Utara 34 Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Schutee, dkk. (2013) ditemukan bahwa ketiga aspek tersebut memiliki korelasi negatif dengan ketiadaan makna hidup pada alat ukur kebermaknaan hidup. Hal ini berarti bahwa mereka yang belum mampu mengenali dirinya atau yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup belum memiliki tingkat SoP, PPE, dan EE yang baik. Termasuk mereka yang mengalami konflik batin karena belum mampu memilih hal yang sesuai dengan dirinya. B.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Eudaimonic Well-Being Dari penelitian yang dilakukan oleh Waterman, dkk. (2010) terkait dengan alat ukur Eudaimonic Well-Being dengan beberapa demograpik maka ditemukan beberapa kondisi Eudaimonic yang berbeda pada kondisi berikut ini: 1. Gender. Pada aitem ini, ditemukan bahwa mereka yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat Eudaimonic Well-Being dibandingkan dengan laki-laki. 2. Usia. Secara umum ditemukan bahwa orang-orang yang berusia tiga puluh tahun atau lebih memiliki tingkat EWB yang lebih baik dibandingkan tingkat usia lainnya. Di samping itu mereka yang berusia di kisaran 18-19 tahun memiliki tingkat Eudaimonic Well-Being yang lebih rendah. Akan tetapi, meskipun berbeda, hal ini tidak menjadi faktor penentu apakah usia dapat dikatakan memengaruhi EWB. Universitas Sumatera Utara 35 3. Etnis. Penelitian Waterman dilakukan pada empat kelompok etnis, yakni etnis Spanyol, kulit hitam, kulit putih, dan orang Asia. Dari hasil ditemukan bahwa ada perbedaan kecil dari keempat etnis tersebut, tetapi tidak signifikan. 4. Pendapatan Keluarga. Pada aitem ini ditemukan bahwa mereka yang berpenghasilan menengah memiliki tingkat EWB yang lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki pendapatan yang rendah dan pendapatan yang lebih tinggi. 5. Struktur Keluarga. Mereka yang terlahir di keluarga yang bercerai secara umum memiliki tingkat EWB yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh, keluarga yang single parent akibat kematian, dan lainnya. Selain ke lima perbandingan demograpik di atas, dari penelitian Waterman dkk. (2010) ditemukan bahwa tingkat Eudaimonic Well-Being berkebalikan dengan kondisi psikologis yang negatif, misalnya depresi, kecemasan umum, dan kecemasan sosial. Masing-masing nilai korelasi antara EWB dengan depresi, kecemasan umum, dan kecemasan sosial adalah -0.37, -0,44, dan -0,42. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Schutee, dkk. (2013) yang juga menemukan korelasi negatif antara EWB dengan kondisi psikologis yang buruk. Mereka yang mengalami situasi konflik juga menandakan bahwa seorang belum mampu menemukan kesesuaian pilihan dengan dirinya yang sejati Universitas Sumatera Utara 36 (Waterman, 2010). Oleh sebab itu, kondisi konflik juga salah satu yang memengaruhi tingkat EWB yang rendah. C. Perilaku Seksual M-S-M (Men Who Have Sex with Men) C.1. Perilaku Seksual Argyo (2012) menyatakan setiap manusia mempunyai dorongan seksual akibat kerja hormon seks. Dorongan seksual muncul atau meningkat bila ada rangsangan dorongan seksual dari luar, baik yang bersifat psikis maupun fisik. Apabila dorongan seksual tersebut muncul maka akan terjadi ketegangan seksual yang kemudian memerlukan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Hal inilah yang disebut sebagai perilaku seksual. Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku (Feldman dan Parrot dalam Argyo, 2012). Menurut Hurlock (2004) manifestasi dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu stimulus yang berasal dari dalam individu berupa bekerjanya hormon-hormon reproduksi, dimana hormon tersebut menuntut pemuasan. Sedangkan faktor eksternal yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Argyo (2012) menyatakan bahwa perilaku seksual terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, bercumbu ringan (deep kissing), bercumbu berat (petting), dan bersenggama. Universitas Sumatera Utara 37 Perilaku seksual bukanlah perilaku yang hanya dilakukan terhadap lawan jenis kelamin. Sarwono (2008) menDefinisikan perilaku seksual sebagai segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Beberapa perempuan teridentifikasi melakukan hubungan seksual dengan perempuan dan laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki (Carroll, 2005). Akan tetapi, Vohs dan teman-temannya (dalam Miller & Perlman, 2009) mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga frekuensi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki juga lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Huwller (1998) menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenisnya dikategorikan beorientasi homoseksual. Laki-laki dengan sejenisnya disebut gay dan perempuan dengan sejenisnya disebut lesbian. Akan tetapi, cukup banyak laki-laki yang berhubungan seks dengan sejenisnya tidak mau mengidentifikasi diri sebagai gay (Argyo, 2012). Argyo menjelaskan bahwa identitas diri tidak ada hubungannya dengan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan seksual berjenis kelamin sama. Argyo mengadopsi konsep Kinsey mengenai fenomena tersebut, yang mana tidak menitikberatkan pada orientasi seksual. Kinsey (1948) memaparkan dalam penelitiannya bahwa seorang homoseksual memiliki kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya demikian pula bahwa seorang heteroseksual bisa saja memiliki pengalaman berhubungan seksual Universitas Sumatera Utara 38 dengan sesama jenisnya. Jadi, bukan berarti pengalaman perilaku seksual tersebut mengindikasikan orientasi seksual mereka. C.2. Konsep Kinsey Mengenai Pengalaman Perilaku Seksual Skala Kinsey mendeskripsikan tentang sejarah seksual seseorang dalam waktu tertentu. Skala ini diperkenalkan oleh Kinsey dengan rekannya, Pomeroy dan Martin, dalam jurnal perilaku seksual pada laki-laki (1948). Berikut gambar skala tersebut: 0 1 2 Eksklusive Heteroseksual Heteroseksual, sesekali homoseksual 3 4 5 6 Heteroseksual, Biseksual Homoseksual, Homoseksual homoseksual hetersoseksual , sesekali lebih dari lebih dari heteroseksual sekali sekali Rentang perilaku seksual terhadap ke dua jenis kelamin Eksklusive homoseksual Gambar 2.1 Dari skala yang dibuat oleh Kinsey dan rekannya, maka perilaku seksual tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 0. Mengindikasikan bahwa seseorang sepenuhnya hanya memiliki pengalaman seksual terhadap lawan jenis (ekslusive heteroseksual). 1. Mengindikasikan seseorang yang secara dominan melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi terdapat sekali pengalaman seksual terhadap sesama jenis. Universitas Sumatera Utara 39 2. Mengindikasikan seseorang yang dominan melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi terdapat lebih dari sekali pengalaman seksual terhadap sesama jenis. 3. Mengindikasikan seseorang yang memiliki pengalaman seksual seimbang baik terhadap lawan jenis maupun sesama jenis. 4. Mengindikasikan seseorang yang dominan memiliki pengalaman seksual dengan sesama jenis, tetapi terdapat lebih dari sekali pengalaman dengan lawan jenis. 5. Mengindikasikan seseorang yang dominan memiliki pengalaman seksual terhadap sesama jenis, tetapi terdapat sekali pengalaman seksual dengan lawan jenis. 6. Mengindikasikan bahwa seseorang sepenuhnya memiliki pengalaman seksual hanya terhadap sesama jenis (eksklusive homoseksual) Skala tersebut merupakan indikator dalam penelitian yang dilakukan oleh Kinsey bersama rekannya yang didasarkan pada pengalaman seksual. Skala tersebut merupakan metode yang murni untuk memperoleh informasi berdasarkan evaluasi subjek terhadap dirinya sendiri. Kinsey melakukan penelitian tersebut bukan bertujuan untuk menentukan orientasi seksual seseorang karena adanya pemikiran bahwa perilaku seksual, sikap, dan perasaan seserorang terhadap orang lain berdasarkan jenis kelamin tidak konsisten sepanjang waktu (Kinsey Institute.org). Universitas Sumatera Utara 40 C.3. M-S-M (Men who have Sex with Men) Argyo (2012) menjelaskan bahwa M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Hal ini digunakan karena hanya beberapa yang terlibat dalam perilaku seks sesama jenis didefinisikan sebagai gay atau biseksual. Mereka tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. M-S-M (Men who have Sex with Men) adalah istilah yang digunakan pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang tidak diidentifikasi mengenai orientasi seksual mereka baik sebagai gay, biseksual, ataupun straight (UNAIDS, 2006). Kort (dalam straight guise, 2006) menyatakan bahwa sering sekali laki-laki mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, tetapi tidak merasa dirinya sebagai gay ataupun biseksual. Kort (2013) menjelaskan bahwa ada beberapa alasan dan dasar yang mendorong terjadinya hubungan seksual antar sesama laki-laki tersebut. Berikut ini adalah alasan yang disebutkan oleh Kort: 1. Childhood sexual abuse. Keadaan yang disebabkan oleh pengalaman pelecehan seksual di masa kanak-kanak. Orang-orang seperti ini sebetulnya tidak memiliki orientasi homoseksual. Laki-laki tersebut tidak memiliki hasrat seksual ataupun terangsang oleh laki-laki lain. Namun, mereka secara kompulsif menghidupkan kembali pengalaman masa kecil dengan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Universitas Sumatera Utara 41 2. Sex Work/ escorting. Sebagian laki-laki, bahkan straight sekalipun, rela melakukan hubungan seksual sesama jenis untuk mendapatkan imbalan finansial. Meskipun mereka terangsang dalam melakukan hubungan seksual, mereka bukan berarti terangsang karena pasangannya melainkan dengan kegiatan seksual itu sendiri. 3. Laki-laki yang malu melakukan variasi seksual dengan perempuan. Kelompok ini adalah laki-laki yang memiliki fantasi yang “agak memalukan” jika dilakukan dengan perempuan, misalnya melakukan seks oral, ataupun menggunakan benda-benda tertentu, sehingga mereka melarikan keinginan tersebut untuk melakukannya dengan laki-laki gay yang dengan senang hati melakukannya. 4. First Sexual Experience. Sebagian laki-laki pernah melakukan hubungan seksual dengan coba-coba. Pengalaman tersebut biasanya terjadi di usia remaja dan dilakukan terhadap sesama laki-laki karena adanya rasa penasaran. 5. Availability/Opportunity. Laki-laki pada kelompok ini memiliki nafsu seksual yang sangat tinggi dan sangat mudah terangsang. Mereka memilih untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang dapat dilakukan dengan gampang dan mudah tanpa harus ada ikatan emosi. 6. Father Hunger. Laki-laki ini mendambakan perhatian dan kasih sayang dari sosok ayah. Berhubungan seks dengan orang yang lebih Universitas Sumatera Utara 42 dewasa seakan-akan menjadi cara mendapatkan perhatian yang didambakan. 7. Narcissism. Kelompok laki-laki yang mengagumi diri mereka sendiri secara berlebihan. Mereka menginginkan perhatian dan pengakuan ekstra dari lingkungan. Mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki hanya untuk memperoleh kepuasan dengan perasaan bahwa mereka sangat diinginkan dan dipuja secara berlebihan. 8. Sexual Addiction. Ketagihan seksual yang dialami oleh seseorang dapat juga menimbulkan perilaku seks terhadap sesama jenis. 9. Cuckolding. Hal ini terjadi pada laki-laki yang memiliki pasangan perempuan, dimana laki-laki tersebut terangsang ketika melihat pasangan wanitanya disetubuhi oleh laki-laki lain yang lebih perkasa. Umumnya, laki-laki tersebut terlibat, seperti menyentuh dan meraba laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan wanitanya. 10. Laki-laki penghuni penjara. Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki karena hanya menjadi satu-satunya pilihan menyalurkan hasrat seksual di tempat tersebut. Beberapa individu dan organisasi lebih suka memakai terminologi M-S-M karena istilah ini menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama (Argyo, 2012). Banyak laki-laki, berhubungan seks dengan laki-laki lain merupakan Universitas Sumatera Utara 43 sebagian dari kehidupan seks mereka dan tidak menentukan identitas seksual atau sosial mereka. Laki-laki yang disebut M-S-M adalah sebagai berikut: 1. Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain 2. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks dengan perempuan 3. Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan 4. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan. Perilaku seksual, termasuk hubungan seksual dengan sejenis, bisa saja menimbulkan dampak psikologis seperti perasaan marah, takut, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa, serta kecemasan (Sarwono, 2003). Hal ini terjadi karena adanya pengetahuan bahwa perilaku tersebut melanggar nilai dan norma, baik agama, maupun nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat. D. Dinamika Kecemasan pada M-S-M dengan Eudaimonic Well-Being (EWB) Argyo (2012) sejalan dengan teori Kinsey memandang perilaku seksual sesama laki-laki tidak dititikberatkan pada orientasi seksualnya. Argyo menyebutnya dengan istilah yang sama dengan Kort, yakni M-S-M. M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Kelompok ini mengacu pada kelompok yang lebih luas pada individu yang melakukan hubungan seksual Universitas Sumatera Utara 44 berjenis kelamin sama. Akan tetapi, hubungan seksual dengan sejenis seperti yang dilakukan oleh M-S-M, bisa saja menimbulkan dampak psikologis seperti konflik batin, perasaan marah, takut, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa (Sarwono, 2003). Dampak psikologis lain yang diakibatkan tersebut dapat berupa hadirnya kecemasan dan juga menurunnya kesejahteraan dalam diri seseorang. Perilaku seksual M-S-M yang merupakan suatu aktivitas ternyata dapat menyebabkan seorang tidak dapat menikmatinya sepenuhnya. Akan tetapi, hal ini memang tidak sepenuhnya terjadi pada setiap M-S-M karena beberapa di antara mereka justru tidak bermasalah sama sekali dengan perilaku tersebut. Namun, bagi mereka yang berkonflik akibat perilaku ini menunjukkan bahwa kondisi mereka berkebalikan dengan konsep Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman. Waterman memandang bahwa orang-orang yang sudah mampu menjadi dirinya yang sejati memiliki perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi sebagai pengalaman subjektif dari eudaimonia (Waterman et al, 2010). Dari situasi tersebut dapat dilihat bahwa orang yang berkonflik dengan perilaku seks sejenis dengan laki-laki memiliki tingkat EWB yang masih rendah. Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam kesejahteraan eudaimonic, berkisar dari yang murni tidak ada sampai pada kesejahteraan eudaimonic yang sempurna. Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimiliki serta bagaimana potensi tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan kesesuaian dengan tujuan hidup (Waterman, et al, 2010). Kualitas hidup M-S-M Universitas Sumatera Utara 45 tidak berfokus pada perilakunya, tetapi pada kondisi psikologis yang diakibatkan perilaku tersebut. Jika perilaku tersebut sesuai dengan dirinya maka EWB-nya akan baik-baik saja, tetapi jika tidak sesuai maka EWB akan terganggu. Demikian pula dengan ketiga aspek Eudaimonic Well-Being, yakni, Sense of Purpose, Purposeful Personal Expressiveness, dan Efforful Engagement. Sesuai dengan penelitian Schutee, dkk (2013) yang memperlihatkan bahwa ketiga aspek tersebut berkebalikan dengan kebermaknaan hidup dalam diri seseorang. Orang-orang yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup secara umum masih diliputi oleh keraguan dalam dirinya dalam menentukan pilihan hidup. Sehingga kondisi mereka menjadi berkonflik ketika diperhadapkan pada beberapa hal yang sepertinya sama-sama bernilai dalam diri seseorang. Seorang M-S-M yang tidak berkonflik dan mantap dalam pilihannya untuk tetap melakukan hubungan seksual sejenis berarti sudah mampu mengetahui tujuan hidupnya (SoP), meyakini bahwa aktivitas perilaku M-S-M sesuai dengan tujuan hidup tersebut (PPE), dan berupaya maksimal dalam aktivitasnya (EE). Selain EWB dan ketiga aspek EWB tersebut yang masih rendah pada M-SM yang berkonflik, kondisi psikologis yang juga muncul pada mereka adalah hadirnya kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada M-S-M terkait dengan perilaku melakukan hubungan seksual dengan laki-laki diistilahkan dengan state anxiety. Disebut demikian karena kecemasan yang terjadi diakibatkan oleh suatu situasi, yakni perilaku seks sejenis. Universitas Sumatera Utara 46 Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kecemasan pada M-S-M. Pertama, faktor yang dapat menyebakan kecemasan moral. Misalnya, ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan id (perilaku M-S-M) yang berlawanan dengan superego-nya (misalnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat), ia akan merasa malu atau bersalah. Kedua, faktor yang menyebabkan kecemasan sosial pada M-S-M, yakni berasal dari sudut pandang nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Contohnya di Indonesia, perilaku M-S-M bukanlah suatu hal yang lazim dan dianggap sebagai perilaku sosial yang menyimpang (Musdah, dalam Fajriani, 2013). Ketiga, berbicara mengenai kecemasan pada M-S-M tidak terlepas dari pandangan bahwa aktivitas seksual tersebut berisiko. Penggunaan anus dan mulut yang digunakan sebagai alat untuk penetrasi rentan untuk menginfeksi setiap M-S-M (UNAIDS, 2006). Faktor penyebab kecemasan juga bisa berasal dari intensitas melakukan perilakunya. Ketika melakukan Hanya Sekali perilaku yang bertentangan dengan moral akan berbeda kecemasannya dengan yang melakukan secara berulangulang. Konflik yang merujuk pada kecemasan tentu umum terjadi pada M-S-M ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan dilakukan berulang-ulang. Ketika seseorang melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma secara berulang, maka rasa bersalah ataupun konflik akan perilaku tersebut akan berangsur-angsur menghilang (Atkinson, dalam Chaplin, 1995). Universitas Sumatera Utara 47 Dari dinamika di atas, Kecemasan akan perilaku M-S-M memiliki kaitan dengan Eudaimonic Well-Being. Sejalan dengan itu, korelasi tersebut dapat digambarkan juga dengan tingkat ketiga aspek EWB, yakni Sense of Purpose (SoP) yang mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang, Purposeful Personal Expressiveness (PPE) yang merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, dan Effortful Engagement (EE) yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan (Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013). Hal ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing variabel dan aspek tersebut terpaut dengan kondisi psikologis yang tidak baik, seperti konflik. Mereka yang berkonflik mengalami tingkat EWB dan aspekaspeknya yang rendah disertai dengan adanya kecemasan. Sekalipun demikian, seorang M-S-M yang mengalami kecemasan tidak dapat dipastikan tidak memiliki kesejahteraan eudaimonic atau sebaliknya. Perilaku tersebut memang bertentangan dengan agama, pandangan masyarakat, berisiko, dan sebagainya, tetapi hal tersebut bisa saja menjadi suatu aktivitas yang sesuai dengan internal dirinya sehingga kecemasan yang terjadi mungkin tidak terkait dengan pilihan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk membuktikan lebih jauh fenomena tersebut maka penelitian ini perlu untuk dilakukan, melihat bahwa asumsi-asumsi tersebut belum sepenuhnya dapat dikatakan kokoh. Universitas Sumatera Utara 48 E. Hipotesa Penelitian Dari dinamika yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik hipotesis utama dalam penelitian ini, yakni “Ada korelasi Kecemasan yang diakibatkan oleh perilaku seks sejenis dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men who Have Sex with Men).” Korelasi ini bersifat dua arah. Selanjutnya, korelasi tersebut juga akan dijelaskan dengan gambaran dari ketiga aspek Eudaimonic Well-Being pada subjek penelitian ini. Universitas Sumatera Utara