II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Kacang panjang adalah tanaman hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kacang panjang merupakan anggota Famili Fabaceae yang termasuk ke dalam golongan sayuran dan mengandung zat gizi cukup banyak. Kacang panjang adalah sumber protein yang baik, vitamin A, thiamin, riboflavin, besi, fosfor, kalium, vitamin C, folat, magnesium, dan mangan (Haryanto dkk., 2007). 2.1.1 Klasifikasi Kacang Panjang Menurut Haryanto dkk (2007), kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Dicotyledone Ordo : Rosales Famili : Fabaceae Genus : Vigna Spesies : Vigna sinensis L. Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) bukan tanaman asli Indonesia. Menurut berbagai sumber pustaka, tanaman ini berasal dari India dan Afrika Tengah. Selanjutnya tanaman kacang panjang menyebar di daerah Asia Tropika. 2.1.2 Karakteristik Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang merupakan tanaman semak, menjalar, semusim dengan tinggi kurang lebih 2,5 m. Batang tanaman ini tegak, silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin. Daunnya majemuk, lonjong, berseling, panjang 6 - 8 cm, lebar 3 - 4,5 cm, tepi rata, pangkal membulat, ujung lancip, pertulangan menyirip, tangkai silindris, panjang kurang lebih 4 cm, dan berwarna hijau (Hutapea, 1994). Memiliki akar tunggang berwarna coklat muda (Haryanto, 2007). Bunga tanaman ini terdapat pada ketiak daun, majemuk, tangkai silindris, panjang kurang lebih 12 cm, berwarna hijau keputihan, mahkota berbentuk kupu-kupu, berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai, panjang kurang lebih 2 cm, berwarna putih, kepala sari kuning, putik bertangkai, berwarna kuning, panjang kurang lebih 1 cm, dan berwarna ungu (Hutapea, 1994). Bunga kacang panjang menyerbuk sendiri. Penyerbukan silang dengan bantuan serangga dapat juga terjadi dengan kemungkinan 10%. Tidak setiap bunga dapat menjadi polong, hanya 1 - 4 bunga yang dapat menjadi polong. Buahnya berbentuk polong bulat, panjang dan ramping. Panjang polong sekitar 10 - 80 cm. Warna polong hijau muda sampai hijau keputihan. Setelah tua warna polong putih kekuningan (Haryanto, 2007). Ciri-ciri polong muda yang siap dipanen adalah ukuran polong telah maksimal, mudah dipatahkan, dan biji-bijinya di dalam polong tidak menonjol. Waktu panen yang paling baik pada pagi atau sore hari. Umur tanaman siap panen 3,5 - 4 bulan. Produksi polong muda per satuan luas dapat mencapai minimal 2,0 ton per ha (Rukmana, 1995). Tanaman kacang panjang tumbuh baik di dataran rendah sampai menengah hingga ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut, tanaman kacang panjang pertumbuhannya akan terhambat. Tanaman tumbuh baik pada tanah latosol, subur, gembur, banyak mengandung bahan organik dan drainasenya baik, pH sekitar 5,5 - 6,5. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah 25 - 35οC pada siang hari dan pada malam hari sekitar 15οC (Prosea, 1996). 2.2 Benih Bermutu Benih merupakan biji tanaman yang sengaja diproduksi dengan perlakuan tertentu, untuk memenuhi persyaratan sebagai bahan pertanaman selanjutnya (Suena, et al., 2005). Penerapan perlakuan yang baik diperlukan untuk membuat benih bermutu. Benih bermutu merupakan benih yang berasal dari varietas murni dan memilki mutu genetis, fisik, fisiologis dan bebas dari hama penyakit. Mutu genetis meliputi sifat-sifat yang diwariskan induk. Mutu fisik meliputi ukuran, bentuk, dan berat benih sedangkan mutu fisiologis meliputi daya kecambah, kekuatan tumbuh (vigor) benih dan kesehatan benih (Suena, et al., 2005). Pengujian daya kecambah dilakukan dengan menghitung persentase kecambah dari seluruh benih yang ditanam dalam satuan hari. Vigor benih diukur dengan variabel kekuatan kecambah dan keseragaman tumbuh setelah diberikan lingkungan yang kurang sesuai, seperti perlakuan pemanasan tingkat tinggi pada benih, cekaman kekeringan dan memberikan media tidak steril dengan sumber penyakit untuk uji vigor terhadap penyakit. Benih dapat tumbuh normal berarti benih memiliki vigor pada kekeringan dan bebas penyakit (Suena, et al., 2005). 2.3 Teknologi Dry Heat Treatment (DHT) Dry heat treatment (DHT) merupakan terobosan teknologi yang sangat efektif, aplikatif, dan ramah lingkungan dengan memberikan cekaman suhu tinggi pada benih sebelum dikecambahkan. DHT bertujuan untuk mengeliminasi penyakit dan menghasilkan benih sehat. Penyakit yang dapat dihilangkan oleh DHT meliputi penyakit yang disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri (Toyoda, et al., 2004). Dry heat treatment (DHT) merupakan bagian dari seed treatment yang dilakukan dengan cara memberikan perlakuan suhu tinggi pada benih sebelum dikecambahkan. Menurut Lee (2004), ada beberapa keuntungan dari seed treatment antara lain: mengurangi dan menginaktivasi patogen seperti virus, bakteri, dan jamur; mengontrol dan mencegah tular penyakit melalui tanah. Benih aman digunakan dalam produksi benih skala besar; mudah diaplikasikan; serta ideal untuk menyediakan benih sehat dalam pertanian organik karena perlakuan dilakukan tanpa menggunakan bahan kimia. 2.4 Hama dan Penyakit pada Tanaman Kacang Panjang Kendala utama pada budidaya tanaman kacang panjang adalah adanya gangguan dari hama dan penyakit. Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain, tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutu kebul Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae), dan kutu daun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae). Upaya yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara biologi dengan menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp. (Anwar dkk., 2005). Penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya layu cendawan (Fusarium sp.), antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru akar (Meloidogyne sp.), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV) (Anwar dkk.,2005). 2.5 Virus BCMV BCMV termasuk ke dalam famili Potyviridae, genus Potyvirus. Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini (Agrios, 2005). Partikel BCMV mempunyai panjang 720 – 770 nm dan lebar 12 – 15 nm. Partikel virusnya terdiri dari 95% protein dan 5% RNA utas tunggal. Kestabilan virus dalam sap tanaman tergantung dari strain virus dan waktu infeksinya. Virus ini mempunyai titik panas inaktivasi 50 – 60oC. (CABI, 2005). BCMV dapat ditularkan secara mekanis melalui beberapa spesies kutu daun secara non persisten dan melalui benih. Adapun beberapa spesies kutu daun yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii, A. craccivora, A. medicanigis, A. rumicis, Hyalopterus atriplicis, Macrosiphum ambrosiae, M. pisi dan M. solanifolii. (Morales & Bos, 1988). Tanaman yang terinfeksi secara sistemik menunjukkan gejala daun dengan pola mosaik, daun menggulung dan malformasi daun pada daun-daun muda. Secara umum tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya gejala akan muncul pada 7-10 hari setelah inokulasi (Djikstra & De Jager, 1998). 2.6 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologi yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor. Menurut Djikstra & De Jager, (1998) Beberapa keunggulan ELISA sebagai tes serologi untuk virus tumbuhan adalah 1. Antibodi yang digunakan sangat sedikit. 2. Metode ini dapat digunakan untuk deteksi sampel virus skala besar. 3. Uji ini dapat digunakan menggunakan panduan standar yang sudah ditentukan. 4. Hasil deteksi ELISA dapat diukur secara kuantitatif. Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis yaitu, standard (direct) double antibody sandwich (DAS)-ELISA dan indirect ELISA (I-ELISA). Metode DAS-ELISA diperkenalkan pertama kali oleh Clark dan Adams pada tahun 1977 untuk deteksi virus tumbuhan dan uji ini pertama kali dilakukan pada plat 96 sumur berbahan polystyrene. Tahapan DAS-ELISA, pertama sumuran plat ditempelkan dengan menggunakan antibodi primer. Setelah plat dicuci, sampel virus dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali dengan Phosphat buffer saline tween (PBST), enzyme konjugat (antibodi kedua) diisikan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali, enzyme substrat PNP (P-nitrophenylphosphate) dimasukkan ke dalam sumuran untuk pewarnaan (Djikstra & De Jager, 1998). Berbeda dengan DAS-ELISA, pada metode I-ELISA sampel virus (antigen) dimasukkan terlebih dahulu, setelah itu baru dimasukkan antibodi primer ke dalam sumuran dan selanjutnya tahapan prosedur sama dengan DAS-ELISA (Djikstra & De Jager, 1998).