ASTRI WAHDINI 201366264 SESI 1 EPIDEMIOLOGI POLA PENYAKIT DI INDONESIA Pendahuluan Masalah kesehatan bukan sekedar masalah sakit atau tidak sakit serta penanggulangannya, tetapi lebih luas dan majemuk dari yang diperkirakan dari segi penanggulangan maupun dari segi pencegahan. Meskipun telah banyak pengamatan dan penanggulangan masalah kesehatan yang dilakukan oleh para ahli, namun hanya sebagian kecil yang dapat ditanggulangi. Keadaan tersebut mencerminkan bahwa hanya sebagian kecil, masalah kesehatan yang muncul ke permukaan jangkauan manusia. Walaupun dengan pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sekarang ini, masalah kesehatan dengan segala kemajemukannya tidak akan mampu ditangani hanya dengan monopoli ilmu kedokteran, tanpa adanya keterlibatan disiplin ilmu lainnya (Dainur, 1995). Menurut WHO, setelah perang dunia kedua, cukup banyak masalah kesehatan yang dapat ditanggulangi dengan teknologi kedokteran, sehingga angka kesakitan dan angka kematian cukup berhasil ditekan. Masalah kependudukan, lingkungan hidup, gangguan gizi makanan, penyakit infeksi menular, penyakit pembuluh darah jantung, dan sebagainya, merupakan masalah kesehatan yang telah ada. Masalah–masalah kesehatan tersebut belum dapat ditanggulangi secara tuntas terutama di negara–negara yang lambat berkembang (low development countries = LDC). Semua masalah kesehatan diatas berkaitan dengan lainnya, dan berkaitan juga dengan masalah–masalah kesehatan dewasa ini. Ciri masalah kependudukan, meliputi percepatan penduduk dan komposisi, serta distribusi penduduk yang tidak merata. Ciri tersebut secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah kesehatan pada umumnya (Dainur, 1995). Data Kesehatan Masalah kesehatan yang ada di dunia ini dapat diketahui dengan pengumpulan data– data kesehatan. Data kesehatan adalah data yang menyangkut semua aspek kesehatan, seperti distribusi usia dan kepadatan penduduk; keadaan sosial ekonomi masyarakat; kualitas perumahan; keadaan kebersihan dan sanitasi; angka kesakitan, kematian, dan kelahiran; sarana dan prasarana yang tersedia di suatu daerah; kualitas dan kuantitas personil kesehatan; serta dana yang tersedia bagi kegiatan kesehatan masyarakat. Setiap tingkat organisasi kedinasan merupakan sumber data kesehatan. Sumber data ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Sumber data primer, adalah sumber yang pertama kali menghimpun atau mengadakan data. Datanya disebut data primer. Data primer tentang pelaksanaan usaha kesehatan masyarakat didapat di puskesmas. Data primer ini dilaporkan kepada dinas kabupaten, dinas propinsi, dan akhirnya sampai ke Depkes R.I. 2. Sumber data sekunder, adalah sumber yang mengolah kembali data–data primer. Datanya disebut dengan data sekunder. Data kesehatan ini biasanya diolah menggunakan statistik vital dan dipergunakan untuk keperluan berikut : 1. Penentuan taraf kesehatan suatu daerah Data kesehatan dari setiap daerah di seluruh indonesia pada akhirnya terkumpul di Depkes R.I. dan diolah lagi sehingga didapatkan data kesehatan tingkat nasional. Data yang terkumpul tadi dapat diperbandingkan satu dengan lain, sehungga dapat diketahui taraf kesehatan setiap daerah. 1. Penentuan dampak suatu kegiatan atau proyek terhadap kesehatan masyarakat Perbedaan, kalau ada, antara data kesehatan sebelum dan setelah proyek dilaksanakan akan memperlihatakan hasil suatu kegiatan. Ada kegiatan yang berhasil guna, dan ada yang kurang berhasil ataupun tidak berhasil. Jadi, data disini mempunyai peran sebagai umpan balik suatu proyek. 1. Justifikasi suatu kegiatan Suatu usulan kegiatan selalu didasarkan atas adanya masalah kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh data. Usulan dapat diterima apabila justifikasi proyek tadi dapat dibenarkan atau diterima oleh pemberi dana, misalnya: usulan untuk pengadaan air bersih di suatu daerah dapat diterima apabila di daerah tersebut terdapat insidensi penyakit bawaan air yang tinggi, sehingga dengan memberi penyediaan air bersih diharapkan dapat menurunkan angka penyebab penyakit tadi. 1. Penentuan cara pendekatan masyarakat Untuk memulai suatu kegiatan kesehatan, petugas kesehatan harus dapat menentukan cara pendekatan pada masyarakat yang terbaik, sehingga kegiatannya bisa mendapat dukungan dari masyarakat. Untuk ini, diperlukan data tentang keadaan kependudukan, keadaan sosial– ekonomi, taraf pendidikan, kebiasaan, kepercayaan, media massa yang tersedia, tokoh masyarakat yang ada, dan tempat–tempat yang dapat digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan masyarakat. Misalnya, apabila sebagian besar masyarakat adalah petani atau pegawai, maka apabila dikehendaki adanya pertemuan dengan masyarakat, maka perlu ditentukan waktu yang tidak mengganggu pekerjaan mereka. 1. Penentuan kebutuhan akan penelitian Data penyakit atau kematian di suatu daerah dapat menjadi petunjuk diperlukannya suatu penelitian yang mendalam. Misalnya, penyakit minamata di jepang, yang diketahui orang dari angka statistik. Di daerah minamata, ternyata terdapat bayi lahir dengan cacat dalam jumlah yang melebihi angka rata–rata nasional. Atas dasar itu, dilakukanlah penelitian yang seksama tentang penyebab cacat bawaan ini. Dari penelitian, didapatkan penyebabnya adalah terjadinya keracunan pada janin, karena ibu memakan ikan yang mengandung air raksa (hg) dalam jumlah besar. Seak saat itulah, orang mengetahui adanya penyakit minamata, atau keracunan janin oleh hg yang berasal dari makanan. Sumber hg ternyata adalah pabrik yang bertahun–tahun membuang merkuri ke dalam perairan. Jadi, data penyakit memberikan indikasi adanya kebutuhan akan penelitian. 1. Penentuan pola penyakit Data kesehatan antara lain merupakan data penyakit. Catatan seri waktu (time series) mengenai angka penyakit ataupun sebab kematian dapat memperlihatkan kecenderungan angka penyakit tadi. Jenis–jenis penyakit mana yang didapat paling banyak atau apakah ada kecenderungan yang menaik atau menurun. Apabila data angka penyakit digrafikkan, maka akan tampak pola penyakit di suatu daerah ataupun negara. 1. Penentuan usaha kesehatan yang diperlukan Berdasarkan data kesehatan di suatu daerah, maka dapat ditentukan usaha kesehatan apa yang diperlukan dan kegiatan apa pula yang diprioritaskan. 1. Penentuan sarana dan prasarana Sarana dan prasarana untuk usaha kesehatan ini dibuat berdasarkan data kesehatan yang ada. Pola Penyakit di Indonesia Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara–negara lain berpeng-hasilan kurang– lebih sama. Hal ini tampak jelas apabila ditelaah keadaan penyakit di berbagai negara, ternyata “negara yang tergolong ‘miskin’ banyak menderita penyakit menular, sedangkan negara yang tergolong ‘kaya’ banyak menderita penyakit tidak menular”. Keadaan seperti ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Negara/masyarakat miskin atau berstatus sosial ekonomi rendah, keadaan gizinya rendah, pengetahuannya tentang kesehatannya pun rendah, sehingga kesehatan lingkungannya buruk dan status kesehatannya buruk. Di dalam masyarakat sedemikian akan mudah terjadi penularan penyakit, terutama anak–anak yang merupakan golongan peka terhadap penyakit menular. Sebagai akibatnya, banyak terjadi kematian anak, sehingga usia harapan hidupnya pendek. Keadaan ini juga mendukung tingginya angka kelahiran, sehingga terdapat populasi yang muda; jadi tergolong populasi dengan risiko tinggi terhadap penyakit menular, sehingga penyakit menular terus–menerus ada, dengan demikian siklus penyakit menular menjadi lengkap. 2. Siklus penyakit tidak menular, yaitu terdapat banyak pada masyarakat dengan status sosial ekonomi tinggi, sehingga berstatus gizi tinggi, keadaan kesehatan lingkungan baik, penyakit menular rendah, angka kematian rendah, angka kematian bayi rendah, dan usia harapan hidupnya tinggi. 3. Perkembangan ekonomi diikuti dengan turunnya penyakit menular dan disertai dengan naiknya penyakit tidak menular. Berdasarkan pola penyakit, dapat diketahui permasalahan kesehatan yang paling menonjol di suatu daerah, sehingga dapat ditentukan usaha kesehatan apa yang perlu dilakukan dan kegiatan apa pula yang diprioritaskan, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan usaha kesehatan. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa sarana dan prasarana akan berubah dengan berubahnya pola penyakit. Mungkin saja bahwa saat ini diperlukan rumah sakit khusus untuk tubercolosis, tetapi dengan adanya perubahan pola penyakit, rumah sakit tadi tidak lagi diperlukan dan harus berubah fungsinya, misalnya menjadi rumah sakit kanker. Melihat bahwa penyakit selalu didapat pada taraf perkembangan ekonomi masyarakat, yakni dari yang masih sedang berkembang sampai yang telah maju, timbul pertanyaa, apakan ada manfaat dari suatu perkembangan ekonomi dilihat dari segi kesehatan? Penyakit tampaknya selalu ada, hanya polanya yang berbeda. Dengan kata lain, dapat juga dipertanyakan apakah ada manfaat pemberantasan penyakit menular, apabila nantinya akan diganti saja oleh yang tidak menular. Untuk dapat memahami keuntungan yang diperoleh dari segala usaha masyarakat yang ingin maju, perlu dikembalikan persoalannyapada populasi yang diserang penyakit tersebut. Pada penyakit menular, anak–anaklah yang diserang, sedangkan pada penyakit tidak menular, kebanyakan orang yang diserang adalah orang yang telah tua. dengan demikian, dapat dimengerti, bahwa menurunkan kematian di antara anak–anak merupakan suatu keuntungan, karana anak merupakan investasi masyarakat yang tentunya diharapkan dapat hidup sampai dewasa dan dapat mengembalikan investasi yang ditaruh kepadanya, atau bahakan dapat memberikan keuntungan kepada masyarakatnya. bagi negara yang telah maju, dimana masyarakatnya dapat hidup cukup lama, maka tentunya pengembalian investasi dapat terlaksana. selain itu, kesehatan merupakan prasyarat utama bagi peningkatan produktivitas masyarakat. bahwa pada akhirnya populasi yang tua ini menderita penyakit yang tidak menular ini, tampaknya wajar saja. namun hal ini masih pula dapat dipertanyakan, apakah perubahan pada perilaku (lingkungan sosial) dapat mencegah terjadinya ataupun mengurangi insidensinya, contohnya: menghentikan kebiasaan merokok dapat mengurangi insidensi carcinoma paru–paru diantara populasi tua, dan olahraga dapat memelihara kebugaran jasmani para manula. Hal yang masih diperdebatkan hingga saat ini adalah “apakah masyarakat itu akan menjadi sehat dengan sendirinya apabila taraf ekonominya naik?” Dengan contoh masyarakat di sekitar kita yang berpenghasilan cukup tinggi, dan “apakah keadaannya terlindung dari penyakit menular?”. Sebaliknya, dapat pula ditemukan masyarakat yang taraf pendapatannhya tidak tinggi, tetapi relatif tidak sering menderita penyakit menular. Hal ini hanya dapat dijelaskan oleh fakta, bahwa status ekonomi masyarakat sering tidak sejalan dengan status sosialnya. Banyak keluarga yang berpendidikan tinggi dan taraf sosialnya tinggi, tetapi pendapatan sosialnya tidak memadai. Sebaliknya, banyak pula yang kaya, tetapi taraf pengetahuan kesehatannya sangat rendah. Jadi sebenarnya, pengetahuan dijadikan parameter keadaan sosial, dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat, atau dengan kata lain, masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuannya dapat ditingkatkan, sedemikian rupa sehingga perilakunya/keadaan sosialnya sehat. Pengendalian Vektor Penyakit Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau Arthropoda. Vektor berbeda dengan vehicle. Vehicle adalah suatu penyebar penyakit yang tidak hidup, seperti: air, udara, makanan, dan lainya; sedangkan vektor adalah makhluk hidup, yakni serangga. Serangga tergolong phylum Arthropoda, mempunyai jumlah spesies empat kali lipatnya spesies semua hewan bersama–sama. Beberapa ciri morfologis arthropoda yang penting adalah bahwa seluruh badannya beruas–ruas. Ruas–ruas berhubungan dengan sendi–sendi membentuk bagian kaki, perut, dada, dan kepala. Seluruh badannya terliputi oleh kitin, yang tebal–tipisnya menentukan keras–tidaknya serangga tadi. Tubuhnya terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Untuk keperluan identifikasi, di bagian kepala yang perlu diperhatikan adalah bagian mulut, mata, dan antenanya. Dibagian dada, terdapat alat geraknya, apakah itu kaki ataupun dengan sayap, dan di bagian perut, perlu diperhatikan juga alat reproduksinya. Dari tiga belas kelas yang ada di bawah Arthropoda ini, hanya ada empat kelas yang penting bagi kesehatan, yaitu: Arachnida, Crustacea, Pentasoma, dan Hexapoda. Dari empat kelas ini terdapat tujuh saja ordo yang penting, dan dari tujuh ordo ini ada tiga belas genus yang penting perannya sebagai vertor penyakit. Beberapa vektor penyakit yang penting di Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Nyamuk, lalat, dan kutu Ketiganya tergolong Hexapoda. Nyamuk dan lalat termasuk ordo Diptera. Nyamuk yang menjadi vektor penyakit ada tiga genus, yaitu: Culex, Anopheles, dan Aedes. Genus lalat yang penting adalah Musca. Ordo kutu adalah Anopleura, dan ada dua genus yang penting, yakni Pediculus dan Pthrirus. Pada saat ini, peran kutu sebagi vektor belum jelas, akan tetapi karena kutu menghisap darah manusia, maka besar sekali kemungkinannya jika kutu dapat menyebarkan penyakit antar manusia. Akan tetapi, keberadaan kutu pada masyarakat sudah memberi petunjuk pada kita bahwa cara hidup masyarakat tersebut belum higienis. 1. Pinjal Pinjal berbeda dari kutu karena dapat meletik–letik. Hal ini dimungkinkan karena kaki belakangnya lebih panjang daripada yang depan. Pinjal ini juga tergolong Hexapoda, ordo Siphonaptera, dan ada tiga genus yang penting, yaitu: Xenopsylla, Ctenocephalides, dan Pulex. pinjal yang pernah terkenal di masa lalu adalah pinjal tikus atau Xenopsylla cheopis, penyebar penyakit Pest, yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella pestis. saat ini penyakit Pest sudah jarang terjadi, berkat konstruksi bangunan yang sudah rat–proof, sehingga penyakit Pest ini sudah tidak lagi atau sudah sulit menular dari tikus ke manusia. Sekalipun demikian, keberadaan tikus di daerah yang kumuh dan kotor tidak menjamin keberlangsungan keamanan ini. Pinjal anjing dan kucing (Ctenocephalides) saat ini mungkin menjadi penting, sebagai pembawa penyakut Toxoplasmosis dan cacing. Di negara–negara yang telah maju, penyakit Pest sudah tidak terjadi lagi, demikian pula penyakit cacing manusia, akan tetapi penyakit cacing anjingsaat ini terdapat pada anak–anak Eropa. Hal ini disebabkan karena tinja manusai sudah dikelola dengan aman, tetapi tinja kucing dan anjing masih berserakan dimana–mana, bahkan terdapat pada sandboxes tempat bermain anak–anak. 1. Tungau Tungau tergolong kelas Arachnida, ordo Acarina, dan ada sembilan genus yang penting, yaitu: Argas, Ornithodoros, Otobius, Dermacentor, Riphicephalus, Amblyoma, Trombicula, Sarcoptes, dan Allodermanyssus. Kebanyakan tungau menyebarkan penyakit Rickettsiosis. Pemberantasan penyakit ini agak sulit, karena sekali tungau terkena infeksi, maka seluruh generasi berikutnya juga akan terinfeksi. Pengaruh vektor terhadap kesehatan dapat bermacam–macam, selain sebagai vektor. Secara langsung, dapat menyebabkan entomophobia, gangguan ketenangan, dan dapat menjadi penyebab penyakit seperti scabies dan myasis. secara tidak langsung, dapat menjadi reservoir agent penyakit, memusnahkan panen, dan menjadi parasit pada tubuh manusia. Beberapa penyakit bawaan vektor yang penting di Indonesia beserta agent penyakit, dan vektor utamanya, dapat dilihat pada tabel 3.1. Nama Penyakit Malaria Dengue haemorrhagic fever (DHF) Filariasis Cholera Dysenterie Typhus Pest Toxoplasmosis Cacing pita anjing Rickettsiossis Repasing fever Agent Penyakit Plasmodium malariae Virus DHF Vektor Utama Anophele sundaicus Aedes aegypti F. bancrofti Vibrio cholerae S. shigae S. typhi Pasteurella pestis Toxoplasma Dipyllidium caninum R. prowazeki Borrelia recurrntis Culex pipiens, C. fatigans Musca domestica Musca domestica Musca domestica Xenopsylla cheopis Ct. felis Ct. canis Pediculus humanus Ornithodorus spp. Tabel 3.1. Penyakit bawaan vektor, agent, dan vektor utamanya (WHO,FAO, UNEP, PEEM for vector control (1988) dalam Slamet, 1996) Pengendalian vektor penyakit sangatlah diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan: 1. penyakit tersebut belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus. 2. bila ada obat ataupun vaksinnya, tetapi kerja obat ataupun vaksin tadi belum efektif, terutama untuk penyakit parasiter. 3. berbagai penyakit didapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga sulit dikendalikan. 4. sering menimbulkan cacat, seperti filariasis dan malaria. 5. penyakit cepat menjalar, karena vektornya bergerak cepat, seperti insekta yang bersayap. Adapun pengendalian vektor penyakit ini dilakukan dengan: 1. Pengendalian Biologis Pengendalian secara biologis ini dilakukan dengan dua cara, yakni: 1) memelihara musuh alami insekta, dapat berupa pemangsanya maupun mikroba penyebab penyakitnya. Untuk ini, perlu diteliti lebih lanjut pemangsa dan penyebab penyakit mana yang paling efektif dan efisien mengurangi populasi insekta. Untuk ini perlu juga dicari bagaimana caranya untuk melakukan pengendalian pertumbuhan pemangsa dan penyebab penyakit ini apabila populasi vektor sudah terkendali jumlahnya. 2) mengurangi fertilitas insekta, yang dilakukan dengan meradiasi insekta jantan sehingga steril dan menyebarkannya dia antara insekta betina. Dengan demikian, telur yang dbuahi tidak dapat menetas. Cara ini dianggap masih terlau mahal dan perlu dikaji ulang efisiensinya. 1. Pengendalian Rekayasa Pada hakekatnya ditujukan untuk mengurangi sarang insekta (breeding places) dengan melakukan pengelolaan lingkungan, yakni dengan melakukan manipulasi dan modifkasi lingkungan. Manipulasi adalah tindakan sementara sehingga keadaan tidak menunjang kehidupan vektor. Sebagai contoh adalah perubahan niveau air atau membuat pintu air sehingga sanitas air dapat diatur. Modifikasi adalah tindakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan secara permanen, seperti: pengeringan, penimbunan genangan, perbaikan tempat pembuangan sampah sementara (tps) maupun akhir (tpa), dan konstruksi serta pemeliharaan saluran drainase. Pada dasarnya pengelolaan ini bersifat lebih permanen (jangka panjang) dibandingkan dengan cara kimiawi, tetapi memerlukan modal awal yang cukup tinggi, sehingga di negara berkembang pengendalian vektor secara rekayasa ini sering sekali menjadi salah satu alternatif terakhir. Saat ini, pengendalian vektor sebaiknya menjadi suatu program kerja yang terpadu dalam semua proyek pembangunan, mengingat bahwa semua pembangunan dapat menjadi sarang insekta, sehingga di satu pihak diinginkan peningkatan kesejahteraan ataupun mencegah penyakit (penyakit diare dengan memberi persediaan air bersih), tetapi di pihak lain, proyek tersebut menimbulkan penyakit baru, bawaan vektor (genangan air buangan dan bak mandi sebagai sarang nyamuk Aedes penyebab DHF). Pengendalian secara kimiawi sekarang ini masih digunakan, yakni sebagi penunjang pengendalian rekayasa apabila terdapat keadaan gawat darurat saja, yakni apabila suatu saat didapatkan kejadian luar biasa (KLB) atau kepadatan insekta meningkat. 1. Pengendalian Kimiawi Pengendalian vektor selama 30–40 tahun ini dilakukan secara kimiawi, menggunakan insektisida. Hasil yang dicapai cukup memadai, tetapi karena pemberantasan tersebut terputus–putus akibat berbagai masalah, terutama masalah politis, maka terjadi resistensi insektisida. Selain itu, insektisida yang digunakan bersifat persisten (misalnya DDT), sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Karenanya dibutuhkan jenis insektisida baru yang lebih mudah terurai. Jadi pemberantasan secara kimiawi ini menjadi lebih mahal. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang cepat, membutuhkan lebih banyak lahan untuk bercocok tanam, bermukim, dan berkarya, sehingga menjadi sarang–sarang insekta baru, terutama di daerah kumuh dan persawahan, persampahan, dan drainase. Dengan demikian, penyakit bawaan vektor tidak berkurang. Oleh karena itu, kini dicari strategi baru pengendalian vektor penyakit yang dilakukan secara terpadu antara pengendalian secara rekayasa, biologis, fisis, kimiawi, dan genetis. 1. Pengendalian Vektor Terpadu Strategi ini dilakukan atas dasar ekologi vektor, sehingga diketahui berbagai karakteristik vektor, seperti habitat, usia hidup, probabilitas terjadinya infeksi pada vektor dan manusia, kepekaan terhadap penyakit, dan lainnya. Atas dasar ini, dapat dibuat strategi pengendalian yang menyeluruh dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, kerjasama sektoral, dan lain– lain. Pengendalian vektor penyakit ini merupakan konsep yang relatif baru. Pada awalnya, orang berpikir tentang pembasmian vektor. Akan tetapi, tampak bahwa pembasmian itu sulit dicapai dan kurang realistis dilihat dari segi ekologis. Oleh karena itu, pengendalian vektor saat ini hanya ditujukan untuk mengurangi dan mencegah penyakit bawaan vektor sejauh dapat dicapai dengan keadaan sosial–ekonomi yang ada, serta keadaan endemi penyakit yang ada, sehingga pemantauan keadaan populasi insekta secara berkelanjutan menjadi sangat penting. Pengendalian secara terpadu direncanakan dan dilaksanakan untuk jangka panjang, ditunjang dengan pemantauan yang berkelanjutan. Untuk ini, diperlukan berbagai parameter pemantauan dan pedoman tindakan yang perlu diambil apabila didapat tanda–tanda akan terjadinya KLB/wabah. Parameter vektor penyakit yang dipantau antara lain: 1. indeks lalat, untuk kepadatan lalat; 2. indeks pinjal, untuk kepadatan pinjal; 3. kepadatan nyamuk, dapat dinyatakan sebagai Man Biting Rate (MBR), indeks kontainer, indeks rumah, dan/atau indeks Breteau. Tindakan khusus diambil, apabila kepadatan insekta meningkat cepat dan dikhawatirkan akan terjadi wabah karenanya. Tindakan sedemikian dapat berupa: 1. intensifikasi pemberantasan sarang, seperti perbaikan saluran drainase, kebersihan saluran dan reservoir air, menghilangkan genangan, mencegah pembusukan sampah, dan seterusnya; 2. mobilisasi masyarakat untuk berperan serta dalam pemberantasan dengan memelihara kebersihan lingkungan masing–masing; dan 3. melakukan penymprotan insektisida terhadap vektor dewasa didahului dengan uji resistensi insekta terhadap insekta yang akan digunakan. Sample Grafik perubahan pada penyakit jantung