Tugas Epidemiologi Astri Wahdini 201366264

advertisement
ASTRI WAHDINI
201366264
SESI 1 EPIDEMIOLOGI
POLA PENYAKIT DI INDONESIA
Pendahuluan
Masalah kesehatan bukan sekedar masalah sakit atau tidak sakit serta penanggulangannya,
tetapi lebih luas dan majemuk dari yang diperkirakan dari segi penanggulangan maupun dari
segi pencegahan. Meskipun telah banyak pengamatan dan penanggulangan masalah
kesehatan yang dilakukan oleh para ahli, namun hanya sebagian kecil yang dapat
ditanggulangi. Keadaan tersebut mencerminkan bahwa hanya sebagian kecil, masalah
kesehatan yang muncul ke permukaan jangkauan manusia. Walaupun dengan pertumbuhan
teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sekarang ini, masalah kesehatan
dengan
segala kemajemukannya tidak akan mampu
ditangani hanya dengan monopoli ilmu kedokteran, tanpa adanya keterlibatan disiplin ilmu
lainnya (Dainur, 1995).
Menurut WHO, setelah perang dunia kedua, cukup banyak masalah kesehatan yang dapat
ditanggulangi dengan teknologi kedokteran, sehingga angka kesakitan dan angka kematian
cukup berhasil ditekan. Masalah kependudukan, lingkungan hidup, gangguan gizi makanan,
penyakit infeksi menular, penyakit pembuluh darah jantung, dan sebagainya, merupakan
masalah kesehatan yang telah ada. Masalah–masalah kesehatan tersebut belum dapat
ditanggulangi secara tuntas terutama di negara–negara yang lambat berkembang (low
development countries = LDC). Semua masalah kesehatan diatas berkaitan dengan lainnya,
dan berkaitan juga dengan masalah–masalah kesehatan dewasa ini. Ciri masalah
kependudukan, meliputi percepatan penduduk dan komposisi, serta distribusi penduduk yang
tidak merata. Ciri tersebut secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh
terhadap masalah kesehatan pada umumnya (Dainur, 1995).
Data Kesehatan
Masalah kesehatan yang ada di dunia ini dapat diketahui dengan pengumpulan data–
data kesehatan. Data kesehatan adalah data yang menyangkut semua aspek kesehatan, seperti
distribusi usia dan kepadatan penduduk; keadaan sosial ekonomi masyarakat; kualitas
perumahan; keadaan kebersihan dan sanitasi; angka kesakitan, kematian, dan kelahiran;
sarana dan prasarana yang tersedia di suatu daerah; kualitas dan kuantitas personil kesehatan;
serta dana yang tersedia bagi kegiatan kesehatan masyarakat.
Setiap tingkat organisasi kedinasan merupakan sumber data kesehatan. Sumber data
ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Sumber data primer, adalah sumber yang pertama kali menghimpun atau mengadakan
data. Datanya disebut data primer. Data primer tentang pelaksanaan usaha kesehatan
masyarakat didapat di puskesmas. Data primer ini dilaporkan kepada dinas kabupaten,
dinas propinsi, dan akhirnya sampai ke Depkes R.I.
2. Sumber data sekunder, adalah sumber yang mengolah kembali data–data primer.
Datanya disebut dengan data sekunder.
Data kesehatan ini biasanya diolah menggunakan statistik vital dan dipergunakan untuk
keperluan berikut :
1. Penentuan taraf kesehatan suatu daerah
Data kesehatan dari setiap daerah di seluruh indonesia pada akhirnya terkumpul di Depkes
R.I. dan diolah lagi sehingga didapatkan data kesehatan tingkat nasional. Data yang
terkumpul tadi dapat diperbandingkan satu dengan lain, sehungga dapat diketahui taraf
kesehatan setiap daerah.
1. Penentuan dampak suatu kegiatan atau proyek terhadap kesehatan masyarakat
Perbedaan, kalau ada, antara data kesehatan sebelum dan setelah proyek dilaksanakan akan
memperlihatakan hasil suatu kegiatan. Ada kegiatan yang berhasil guna, dan ada yang kurang
berhasil ataupun tidak berhasil. Jadi, data disini mempunyai peran sebagai umpan balik suatu
proyek.
1. Justifikasi suatu kegiatan
Suatu usulan kegiatan selalu didasarkan atas adanya masalah kesehatan masyarakat yang
ditunjukkan oleh data. Usulan dapat diterima apabila justifikasi proyek tadi dapat dibenarkan
atau diterima oleh pemberi dana, misalnya: usulan untuk pengadaan air bersih di suatu daerah
dapat diterima apabila di daerah tersebut terdapat insidensi penyakit bawaan air yang tinggi,
sehingga dengan memberi penyediaan air bersih diharapkan dapat menurunkan angka
penyebab penyakit tadi.
1. Penentuan cara pendekatan masyarakat
Untuk memulai suatu kegiatan kesehatan, petugas kesehatan harus dapat menentukan cara
pendekatan pada masyarakat yang terbaik, sehingga kegiatannya bisa mendapat dukungan
dari masyarakat. Untuk ini, diperlukan data tentang keadaan kependudukan, keadaan sosial–
ekonomi, taraf pendidikan, kebiasaan, kepercayaan, media massa yang tersedia, tokoh
masyarakat yang ada, dan tempat–tempat yang dapat digunakan untuk mengadakan
komunikasi dengan masyarakat. Misalnya, apabila sebagian besar masyarakat adalah petani
atau pegawai, maka apabila dikehendaki adanya pertemuan dengan masyarakat, maka perlu
ditentukan waktu yang tidak mengganggu pekerjaan mereka.
1. Penentuan kebutuhan akan penelitian
Data penyakit atau kematian di suatu daerah dapat menjadi petunjuk diperlukannya suatu
penelitian yang mendalam. Misalnya, penyakit minamata di jepang, yang diketahui orang dari
angka statistik. Di daerah minamata, ternyata terdapat bayi lahir dengan cacat dalam jumlah
yang melebihi angka rata–rata nasional. Atas dasar itu, dilakukanlah penelitian yang seksama
tentang penyebab cacat bawaan ini. Dari penelitian, didapatkan penyebabnya adalah
terjadinya keracunan pada janin, karena ibu memakan ikan yang mengandung air raksa (hg)
dalam jumlah besar. Seak saat itulah, orang mengetahui adanya penyakit minamata, atau
keracunan janin oleh hg yang berasal dari makanan. Sumber hg ternyata adalah pabrik yang
bertahun–tahun membuang merkuri ke dalam perairan. Jadi, data penyakit memberikan
indikasi adanya kebutuhan akan penelitian.
1. Penentuan pola penyakit
Data kesehatan antara lain merupakan data penyakit. Catatan seri waktu (time series)
mengenai angka penyakit ataupun sebab kematian dapat memperlihatkan kecenderungan
angka penyakit tadi. Jenis–jenis penyakit mana yang didapat paling banyak atau apakah ada
kecenderungan yang menaik atau menurun. Apabila data angka penyakit digrafikkan, maka
akan tampak pola penyakit di suatu daerah ataupun negara.
1. Penentuan usaha kesehatan yang diperlukan
Berdasarkan data kesehatan di suatu daerah, maka dapat ditentukan usaha kesehatan apa yang
diperlukan dan kegiatan apa pula yang diprioritaskan.
1. Penentuan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana untuk usaha kesehatan ini dibuat berdasarkan data kesehatan yang ada.
Pola Penyakit di Indonesia
Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara–negara lain berpeng-hasilan kurang–
lebih sama. Hal ini tampak jelas apabila ditelaah keadaan penyakit di berbagai negara,
ternyata “negara yang tergolong ‘miskin’ banyak menderita penyakit menular, sedangkan
negara yang tergolong ‘kaya’ banyak menderita penyakit tidak menular”. Keadaan seperti ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Negara/masyarakat miskin atau berstatus sosial ekonomi rendah, keadaan gizinya
rendah, pengetahuannya tentang kesehatannya pun rendah, sehingga kesehatan
lingkungannya buruk dan status kesehatannya buruk. Di dalam masyarakat
sedemikian akan mudah terjadi penularan penyakit, terutama anak–anak yang
merupakan golongan peka terhadap penyakit menular. Sebagai akibatnya, banyak
terjadi kematian anak, sehingga usia harapan hidupnya pendek. Keadaan ini juga
mendukung tingginya angka kelahiran, sehingga terdapat populasi yang muda; jadi
tergolong populasi dengan risiko tinggi terhadap penyakit menular, sehingga penyakit
menular terus–menerus ada, dengan demikian siklus penyakit menular menjadi
lengkap.
2. Siklus penyakit tidak menular, yaitu terdapat banyak pada masyarakat dengan status
sosial ekonomi tinggi, sehingga berstatus gizi tinggi, keadaan kesehatan lingkungan
baik, penyakit menular rendah, angka kematian rendah, angka kematian bayi rendah,
dan usia harapan hidupnya tinggi.
3. Perkembangan ekonomi diikuti dengan turunnya penyakit menular dan disertai
dengan naiknya penyakit tidak menular.
Berdasarkan pola penyakit, dapat diketahui permasalahan kesehatan yang paling menonjol di
suatu daerah, sehingga dapat ditentukan usaha kesehatan apa yang perlu dilakukan dan
kegiatan apa pula yang diprioritaskan, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
melaksanakan usaha kesehatan. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa sarana dan prasarana
akan berubah dengan berubahnya pola penyakit. Mungkin saja bahwa saat ini diperlukan
rumah sakit khusus untuk tubercolosis, tetapi dengan adanya perubahan pola penyakit, rumah
sakit tadi tidak lagi diperlukan dan harus berubah fungsinya, misalnya menjadi rumah sakit
kanker.
Melihat bahwa penyakit selalu didapat pada taraf perkembangan ekonomi masyarakat, yakni
dari yang masih sedang berkembang sampai yang telah maju, timbul pertanyaa, apakan ada
manfaat dari suatu perkembangan ekonomi dilihat dari segi kesehatan? Penyakit tampaknya
selalu ada, hanya polanya yang berbeda. Dengan kata lain, dapat juga dipertanyakan apakah
ada manfaat pemberantasan penyakit menular, apabila nantinya akan diganti saja oleh yang
tidak menular.
Untuk dapat memahami keuntungan yang diperoleh dari segala usaha masyarakat yang ingin
maju, perlu dikembalikan persoalannyapada populasi yang diserang penyakit tersebut. Pada
penyakit menular, anak–anaklah yang diserang, sedangkan pada penyakit tidak menular,
kebanyakan orang yang diserang adalah orang yang telah tua. dengan demikian, dapat
dimengerti, bahwa menurunkan kematian di antara anak–anak merupakan suatu keuntungan,
karana anak merupakan investasi masyarakat yang tentunya diharapkan dapat hidup sampai
dewasa dan dapat mengembalikan investasi yang ditaruh kepadanya, atau bahakan dapat
memberikan keuntungan kepada masyarakatnya. bagi negara yang telah maju, dimana
masyarakatnya dapat hidup cukup lama, maka tentunya pengembalian investasi dapat
terlaksana. selain itu, kesehatan merupakan prasyarat utama bagi peningkatan produktivitas
masyarakat. bahwa pada akhirnya populasi yang tua ini menderita penyakit yang tidak
menular ini, tampaknya wajar saja. namun hal ini masih pula dapat dipertanyakan, apakah
perubahan pada perilaku (lingkungan sosial) dapat mencegah terjadinya ataupun mengurangi
insidensinya, contohnya: menghentikan kebiasaan merokok dapat mengurangi insidensi
carcinoma paru–paru diantara populasi tua, dan olahraga dapat memelihara kebugaran
jasmani para manula.
Hal yang masih diperdebatkan hingga saat ini adalah “apakah masyarakat itu akan
menjadi sehat dengan sendirinya apabila taraf ekonominya naik?” Dengan contoh masyarakat
di sekitar kita yang berpenghasilan cukup tinggi, dan “apakah keadaannya terlindung dari
penyakit menular?”. Sebaliknya, dapat pula ditemukan masyarakat yang taraf
pendapatannhya tidak tinggi, tetapi relatif tidak sering menderita penyakit menular. Hal ini
hanya dapat dijelaskan oleh fakta, bahwa status ekonomi masyarakat sering tidak sejalan
dengan status sosialnya. Banyak keluarga yang berpendidikan tinggi dan taraf sosialnya
tinggi, tetapi pendapatan sosialnya tidak memadai. Sebaliknya, banyak pula yang kaya, tetapi
taraf pengetahuan kesehatannya sangat rendah. Jadi sebenarnya, pengetahuan dijadikan
parameter keadaan sosial, dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat, atau dengan kata
lain, masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuannya dapat ditingkatkan,
sedemikian rupa sehingga perilakunya/keadaan sosialnya sehat.
Pengendalian Vektor Penyakit
Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau Arthropoda. Vektor berbeda dengan
vehicle. Vehicle adalah suatu penyebar penyakit yang tidak hidup, seperti: air, udara,
makanan, dan lainya; sedangkan vektor adalah makhluk hidup, yakni serangga.
Serangga tergolong phylum Arthropoda, mempunyai jumlah spesies empat kali lipatnya
spesies semua hewan bersama–sama. Beberapa ciri morfologis arthropoda yang penting
adalah bahwa seluruh badannya beruas–ruas. Ruas–ruas berhubungan dengan sendi–sendi
membentuk bagian kaki, perut, dada, dan kepala. Seluruh badannya terliputi oleh kitin, yang
tebal–tipisnya menentukan keras–tidaknya serangga tadi. Tubuhnya terdiri atas tiga bagian,
yaitu kepala, dada, dan perut. Untuk keperluan identifikasi, di bagian kepala yang perlu
diperhatikan adalah bagian mulut, mata, dan antenanya. Dibagian dada, terdapat alat
geraknya, apakah itu kaki ataupun dengan sayap, dan di bagian perut, perlu diperhatikan juga
alat reproduksinya. Dari tiga belas kelas yang ada di bawah Arthropoda ini, hanya ada empat
kelas yang penting bagi kesehatan, yaitu: Arachnida, Crustacea, Pentasoma, dan Hexapoda.
Dari empat kelas ini terdapat tujuh saja ordo yang penting, dan dari tujuh ordo ini ada tiga
belas genus yang penting perannya sebagai vertor penyakit.
Beberapa vektor penyakit yang penting di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Nyamuk, lalat, dan kutu
Ketiganya tergolong Hexapoda. Nyamuk dan lalat termasuk ordo Diptera. Nyamuk yang
menjadi vektor penyakit ada tiga genus, yaitu: Culex, Anopheles, dan Aedes. Genus lalat yang
penting adalah Musca. Ordo kutu adalah Anopleura, dan ada dua genus yang penting, yakni
Pediculus dan Pthrirus. Pada saat ini, peran kutu sebagi vektor belum jelas, akan tetapi
karena kutu menghisap darah manusia, maka besar sekali kemungkinannya jika kutu dapat
menyebarkan penyakit antar manusia. Akan tetapi, keberadaan kutu pada masyarakat sudah
memberi petunjuk pada kita bahwa cara hidup masyarakat tersebut belum higienis.
1. Pinjal
Pinjal berbeda dari kutu karena dapat meletik–letik. Hal ini dimungkinkan karena kaki
belakangnya lebih panjang daripada yang depan. Pinjal ini juga tergolong Hexapoda, ordo
Siphonaptera, dan ada tiga genus yang penting, yaitu: Xenopsylla, Ctenocephalides, dan
Pulex. pinjal yang pernah terkenal di masa lalu adalah pinjal tikus atau Xenopsylla cheopis,
penyebar penyakit Pest, yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella pestis. saat ini penyakit
Pest sudah jarang terjadi, berkat konstruksi bangunan yang sudah rat–proof, sehingga
penyakit Pest ini sudah tidak lagi atau sudah sulit menular dari tikus ke manusia. Sekalipun
demikian, keberadaan tikus di daerah yang kumuh dan kotor tidak menjamin keberlangsungan keamanan ini. Pinjal anjing dan kucing (Ctenocephalides) saat ini mungkin menjadi
penting, sebagai pembawa penyakut Toxoplasmosis dan cacing. Di negara–negara yang telah
maju, penyakit Pest sudah tidak terjadi lagi, demikian pula penyakit cacing manusia, akan
tetapi penyakit cacing anjingsaat ini terdapat pada anak–anak Eropa. Hal ini disebabkan
karena tinja manusai sudah dikelola dengan aman, tetapi tinja kucing dan anjing masih
berserakan dimana–mana, bahkan terdapat pada sandboxes tempat bermain anak–anak.
1. Tungau
Tungau tergolong kelas Arachnida, ordo Acarina, dan ada sembilan genus yang penting,
yaitu: Argas, Ornithodoros, Otobius, Dermacentor, Riphicephalus, Amblyoma, Trombicula,
Sarcoptes, dan Allodermanyssus. Kebanyakan tungau menyebarkan penyakit Rickettsiosis.
Pemberantasan penyakit ini agak sulit, karena sekali tungau terkena infeksi, maka seluruh
generasi berikutnya juga akan terinfeksi.
Pengaruh vektor terhadap kesehatan dapat bermacam–macam, selain sebagai vektor. Secara
langsung, dapat menyebabkan entomophobia, gangguan ketenangan, dan dapat menjadi
penyebab penyakit seperti scabies dan myasis. secara tidak langsung, dapat menjadi reservoir
agent penyakit, memusnahkan panen, dan menjadi parasit pada tubuh manusia. Beberapa
penyakit bawaan vektor yang penting di Indonesia beserta agent penyakit, dan vektor
utamanya, dapat dilihat pada tabel 3.1.
Nama Penyakit
Malaria
Dengue haemorrhagic fever
(DHF)
Filariasis
Cholera
Dysenterie
Typhus
Pest
Toxoplasmosis
Cacing pita anjing
Rickettsiossis
Repasing fever
Agent Penyakit
Plasmodium malariae
Virus DHF
Vektor Utama
Anophele sundaicus
Aedes aegypti
F. bancrofti
Vibrio cholerae
S. shigae
S. typhi
Pasteurella pestis
Toxoplasma
Dipyllidium caninum
R. prowazeki
Borrelia recurrntis
Culex pipiens, C. fatigans
Musca domestica
Musca domestica
Musca domestica
Xenopsylla cheopis
Ct. felis
Ct. canis
Pediculus humanus
Ornithodorus spp.
Tabel 3.1. Penyakit bawaan vektor, agent, dan vektor utamanya
(WHO,FAO, UNEP, PEEM for vector control (1988) dalam Slamet, 1996)
Pengendalian vektor penyakit sangatlah diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena
berbagai alasan:
1. penyakit tersebut belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit
yang disebabkan oleh virus.
2. bila ada obat ataupun vaksinnya, tetapi kerja obat ataupun vaksin tadi belum efektif,
terutama untuk penyakit parasiter.
3. berbagai penyakit didapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga sulit
dikendalikan.
4. sering menimbulkan cacat, seperti filariasis dan malaria.
5. penyakit cepat menjalar, karena vektornya bergerak cepat, seperti insekta yang
bersayap.
Adapun pengendalian vektor penyakit ini dilakukan dengan:
1. Pengendalian Biologis
Pengendalian secara biologis ini dilakukan dengan dua cara, yakni:
1) memelihara musuh alami insekta, dapat berupa pemangsanya maupun mikroba
penyebab penyakitnya. Untuk ini, perlu diteliti lebih lanjut pemangsa dan penyebab penyakit
mana yang paling efektif dan efisien mengurangi populasi insekta. Untuk ini perlu juga dicari
bagaimana caranya untuk melakukan pengendalian pertumbuhan pemangsa dan penyebab
penyakit ini apabila populasi vektor sudah terkendali jumlahnya.
2) mengurangi fertilitas insekta, yang dilakukan dengan meradiasi insekta jantan sehingga
steril dan menyebarkannya dia antara insekta betina. Dengan demikian, telur yang dbuahi
tidak dapat menetas. Cara ini dianggap masih terlau mahal dan perlu dikaji ulang
efisiensinya.
1. Pengendalian Rekayasa
Pada hakekatnya ditujukan untuk mengurangi sarang insekta (breeding places) dengan
melakukan pengelolaan lingkungan, yakni dengan melakukan manipulasi dan modifkasi
lingkungan. Manipulasi adalah tindakan sementara sehingga keadaan tidak menunjang
kehidupan vektor. Sebagai contoh adalah perubahan niveau air atau membuat pintu air
sehingga sanitas air dapat diatur. Modifikasi adalah tindakan untuk memperbaiki kualitas
lingkungan secara permanen, seperti: pengeringan, penimbunan genangan, perbaikan tempat
pembuangan sampah sementara (tps) maupun akhir (tpa), dan konstruksi serta pemeliharaan
saluran drainase. Pada dasarnya pengelolaan ini bersifat lebih permanen (jangka panjang)
dibandingkan dengan cara kimiawi, tetapi memerlukan modal awal yang cukup tinggi,
sehingga di negara berkembang pengendalian vektor secara rekayasa ini sering sekali
menjadi salah satu alternatif terakhir. Saat ini, pengendalian vektor sebaiknya menjadi suatu
program kerja yang terpadu dalam semua proyek pembangunan, mengingat bahwa semua
pembangunan dapat menjadi sarang insekta, sehingga di satu pihak diinginkan peningkatan
kesejahteraan ataupun mencegah penyakit (penyakit diare dengan memberi persediaan air
bersih), tetapi di pihak lain, proyek tersebut menimbulkan penyakit baru, bawaan vektor
(genangan air buangan dan bak mandi sebagai sarang nyamuk Aedes penyebab DHF).
Pengendalian secara kimiawi sekarang ini masih digunakan, yakni sebagi penunjang
pengendalian rekayasa apabila terdapat keadaan gawat darurat saja, yakni apabila suatu saat
didapatkan kejadian luar biasa (KLB) atau kepadatan insekta meningkat.
1. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian vektor selama 30–40 tahun ini dilakukan secara kimiawi, menggunakan
insektisida. Hasil yang dicapai cukup memadai, tetapi karena pemberantasan tersebut
terputus–putus akibat berbagai masalah, terutama masalah politis, maka terjadi resistensi
insektisida. Selain itu, insektisida yang digunakan bersifat persisten (misalnya DDT),
sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Karenanya dibutuhkan jenis insektisida baru yang
lebih mudah terurai. Jadi pemberantasan secara kimiawi ini menjadi lebih mahal. Selain itu,
pertumbuhan penduduk yang cepat, membutuhkan lebih banyak lahan untuk bercocok tanam,
bermukim, dan berkarya, sehingga menjadi sarang–sarang insekta baru, terutama di daerah
kumuh dan persawahan, persampahan, dan drainase. Dengan demikian, penyakit bawaan
vektor tidak berkurang. Oleh karena itu, kini dicari strategi baru pengendalian vektor
penyakit yang dilakukan secara terpadu antara pengendalian secara rekayasa, biologis, fisis,
kimiawi, dan genetis.
1. Pengendalian Vektor Terpadu
Strategi ini dilakukan atas dasar ekologi vektor, sehingga diketahui berbagai karakteristik
vektor, seperti habitat, usia hidup, probabilitas terjadinya infeksi pada vektor dan manusia,
kepekaan terhadap penyakit, dan lainnya. Atas dasar ini, dapat dibuat strategi pengendalian
yang menyeluruh dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, kerjasama sektoral, dan lain–
lain.
Pengendalian vektor penyakit ini merupakan konsep yang relatif baru. Pada awalnya, orang
berpikir tentang pembasmian vektor. Akan tetapi, tampak bahwa pembasmian itu sulit
dicapai dan kurang realistis dilihat dari segi ekologis. Oleh karena itu, pengendalian vektor
saat ini hanya ditujukan untuk mengurangi dan mencegah penyakit bawaan vektor sejauh
dapat dicapai dengan keadaan sosial–ekonomi yang ada, serta keadaan endemi penyakit yang
ada, sehingga pemantauan keadaan populasi insekta secara berkelanjutan menjadi sangat
penting.
Pengendalian secara terpadu direncanakan dan dilaksanakan untuk jangka panjang, ditunjang
dengan pemantauan yang berkelanjutan. Untuk ini, diperlukan berbagai parameter
pemantauan dan pedoman tindakan yang perlu diambil apabila didapat tanda–tanda akan
terjadinya KLB/wabah. Parameter vektor penyakit yang dipantau antara lain:
1. indeks lalat, untuk kepadatan lalat;
2. indeks pinjal, untuk kepadatan pinjal;
3. kepadatan nyamuk, dapat dinyatakan sebagai Man Biting Rate (MBR), indeks
kontainer, indeks rumah, dan/atau indeks Breteau.
Tindakan khusus diambil, apabila kepadatan insekta meningkat cepat dan dikhawatirkan akan
terjadi wabah karenanya. Tindakan sedemikian dapat berupa:
1. intensifikasi pemberantasan sarang, seperti perbaikan saluran drainase, kebersihan
saluran dan reservoir air, menghilangkan genangan, mencegah pembusukan sampah,
dan seterusnya;
2. mobilisasi masyarakat untuk berperan serta dalam pemberantasan dengan memelihara
kebersihan lingkungan masing–masing; dan
3. melakukan penymprotan insektisida terhadap vektor dewasa didahului dengan uji
resistensi insekta terhadap insekta yang akan digunakan.
Sample
Grafik perubahan pada penyakit jantung
Download