www.oseanografi.lipi.go.id ISSN 0216 – 1877 Oseana, Volume XIV, Nomor 4 : 111 – 122 KOMUNITAS MANGROVE DI KEPULAUAN KANGEAN oleh S. SOEMODHIARDJO dan SOEROYO 1) ABSTRACT Observation on the mangrove community of Kangean Islands was made during May 30 to June 9, 1984 at four islands: Saibus, Paliat, Bangkau and Piroko. Basically, the mangrove stands at these four islands were narrow, measuring between 50 m to 200 m across. This situation was believed to be due to the physical condition of the habitat which, beside being composed of relatively small islands, it was located beyond any influence of land mass or big river. Two species of mangrove, Rhizophora stylosa and R. apiculata, constituted the primary components of the mangrove community here, and they formed two distinctive zones, i.e. the outer zone (seaward side) and the inner zone (landward side) respectively. In the Paliat Island and Bangkau Island, a third zone was noted, i.e. the Ceriop tagal zone. In the meantime, old and big mangrove trees were recorded from the last two mentioned islands. Substantial utilization of the mangrove resource was observed. The woods were harvested for firewood, housing materials and for burning limestone in the limemaking home industry. Meanwhile some of the land was cleared and converted to agricultural land, salt pans and sites for catching milk fish and shrimp fry. PENDAHULUAN Dalam bulan Juni 1984 Pertamina memprakarsai suatu penelitian mengenai karbonat resen di Kepulauan Kangean, Madura. Tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi karbonat masa kini yang akan bermanfaat sebagai landasan bagi upaya penafsiran yang lebih tepat terhadap keadaan karbonat purba. Yang disebut terakhir ini sangat berguna dalam pendugaan sumber- daya minyak bumi. Sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, maka kegktan penelitian dipusatkan di bidang geologi, dengan dukungan pengetahuan faktor-faktor lingkungan, baik lingkungan fisika, kimia maupun biologi. Fakultas Teknik Geologi Universitas Gajah Mada dan Puslitbang Oseanologi– LIPI (waktu itu disebut Lembaga Oseanologi Nasional) berturut-turut bertindak sebagai pelaksana penelitian geologi dan penelitian lingkungan. 1) Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta. 111 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Di antara faktor lingkungan biologi yang dipandang relevan untuk ditelaah adalah kondisi komunitas mangrovenya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa komunitas mangrove berperan dalam proses geologi, antara lain mempercepat proses sedimentasi dan mempertahankan kestabilan hasilnya. Tulisan ini mengetengahkan secara umum hasil telaah komunitas mangrove Kepulauan Kangean tersebut. ah komunitas mangrove di pulau-pulau Saibus, Paliat, Bangkau dan Piroko (Gambar 1). Pengamatan dilakukan melalui dua cara : 1. memasuki komunitas mangrove secara acak untuk memperoleh gambaran umum mengenai komunitas mangrove yang ada serta untuk memperoleh contoh jenis tumbuhan yang terdapat di masingmasing lokasi selengkap mungkin. 2. membuat jalur transek tegak lurus garis pantai di tempat-tempat tertentu untuk memperoleh data kuantitatif mengenai kepadatan, struktur komunitas dan peremajaan. TATA KERJA Kegiatan lapangan dilaksanakan dari tanggal 30 Mei sampai dengan 9 Juni 1984. Dalam jangka waktu tersebut sempat ditela- 7 00 Gambar 1. Peta Kepulauan Kangean bagian timur. Komunitas mangrove tumbuh sebagai jalur sempit sekeliling pulau-pulaunya, termasuk 4 pulau yang sempat ditinjau yaitu Paliat, Piroko, Bangkau dan Saibus. 112 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Beberapa faktor lingkungan diukur, yaitu salinitas, suhu air dan udara, kelembaban udara dan pH tanah. Salinitas diukur dengan salinorefraktometer, kelembaban udara diukur dengan termometer basah dan kering, sedangkan pH ditentukan dengan O.S.K. Soil Tester. HASIL PENGAMATAN Kepulauan Kangean terdiri dari sejumlah pulau karang, tiga di antaranya relatif cukup besar, yaitu Pulau Kangean s.s., Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang. Sisanya terdiri dari pulau-pulau kecil seperti Pulau Saubi, Sabunten, Sapangkur, Saibus, Sapeken dll. Umumnya pulau-pulau tersebut merupakan dataran rendah yang terbentang di atas batuan kapur tersier. Sebagai perkecualian adalah Pulau Kangean s.s. dan Pulau Paliat yang selain cukup luas juga membukit. Di beberapa tempat bukitbukit tersebut mencapai ketinggian lebih dari 100 m. Besar kemungkinannya komunitas mangrove terdapat di semua pulau yang membentuk Pulau Kangean, tentunya dengan keluasan maupun densitas yang berlainan. Namun keterbatasan waktu dan tenaga membatasi pengamatan di keempat pulau tersebut di atas. Pulau-pulau ini terletak berdekatan dan berada di antara Pulau Kangean s.s. dan Pulau Sepanjang. Jalur transek dibuat di Pulau Saibus dan Paliat. Pulau Saibus Dari keempat pulau yang dikunjungi, Pulau Saibus terletak paling selatan (Gambar 1). Dengan perahu bermotor tempel yang berkecepatan antara 7 – 8 km/jam, diperlukan waktu 1½ jam untuk mengelilinginya. Ini berarti luas pulau tersebut sekitar 5 km2. Di pulau ini bermukim sejumlah penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Di samping menangkap ikan dan nener (banyak dilakukan di pantai utara dengan rumpon, Gambar 2) mereka berkebun dan berladang. Jenis tanaman yang diusahakan adalah kelapa, singkong, jagung dan kacang hijau. Ada juga yang memelihara ternak sapi, kambing dan ayam. Peninjauan sekeliling pulau memperlihatkan bahwa formasi mangrove hanya berkembang di belahan pulau bagian timur. Di belahan barat pulau, laut langsung berbatasan dengan pantai pasir ataupun dinding batu kapur. Pada pantai pasir berkembang formasi tumbuhan pionir seperti Spinifex littoralis, Ipomea alba dan Canavalia macrocarpa. Di sudut barat laut pulau berkembang formasi cemara laut (Casuarina equisetifolia), terdiri dari pohon-pohon beserta anaknya yang cukup banyak. Berbeda dengan pantai di belahan barat yang airnya relative dalam, pantai di belahan timur relatif landai dan dangkal dengan dasar pasir. Di sini berkembang komunitas rumput laut (Enhalus accoroides, Thalasia sp) yang luas membentang ke arah laut sampai ke pinggir tubir. Paparan pasir dan rumput laut ini merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis Mollusca, Crustacea dan Echinodermata. Ke arah darat, zona enhalus berbatasan dengan komunitas mangrove. Penjelajahan secara acak komunitas mangrove di pulau Saibus memperlihatkan tebal komunitas mangrove di pulau ini tidak lebih dari 50 m. Substrat sebagian besar terdiri dari pasir, kecuali di beberapa tempat yang berbatasan dengan daratan di mana terbentuk lumpur organik yang cukup tebal. Keasaman tanah (pH) sekitar 6,9, suhu air di siang hari 28 °C, dan Salinitas 31 %. Air laut sekitar mangrove tetap jernih. 113 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 2. Pantai utara Pulau Saibus dengan rumpon-rumpon perangkap nener yang dipasang tegak lurus pantai (tanda panah). Jenis-jenis mangrove yang dijumpai adalah Rhizophora stylosa, R. apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Dalam jumlah kecil terdapat pula Avicennia sp dan Pemphis acidula di perbatasan dengan habitat pantai tanah kering. R. stylosa merupakan jenis dominan dan membentuk zona paling depan, yaitu yang berbatasan dengan laut terbuka. R. apiculata yang bercampur dengan sedikit Bruguiera gymnorrhiza membentuk zona kedua di belakang zona R. stylosa. Pada umumnya ukuran pohon mangrove di sini tidak besar, yang tertinggi berukuran sekitar 10 m dengan garis tengah 25 cm. Di samping ukuran yang relatif kecil, pertumbuhan batang umumnya tidak lurus ke atas tetapi bengkok-bengkok dan condong. Bekas-bekas tebangan lama maupun baru banyak terlihat di mana-mana (14 %). Besar kemungkinan bahwa tumbuhan yang ada sekarang tidak lebih dari terubus-terubus dari sisa tebangan lama. Tajuk pohon umumnya menutup rapat; cabang terendah tingginya antara 1 – 2 m, sedangkan akar-akar Rhizophora tumbuh sangat rapat. Kerapatan tajuk dan akar, menghambat proses peremajaan alami di bagian dalam tegakan mangrove. Kecambah (seedling) praktis tidak berkembang di bawah tajuk. Namun di bagian yang terbuka ke arah laut perkecambahan cukup banyak, terutama dari jenis R. stylosa. Di pantai timur terlihat banyak Rhizophora muda tumbuh berkelompok-kelompok, terpisah dari formasi mangrove yang berkembang di sepanjang pantai. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan formasi mangrove di pulau Saibus cenderung berlangsung kearah timur. 114 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Jenis fauna yang dijumpai dalam ekosistem mangrove Pulau Saibus tidak banyak. Dari phylum Mollusca tercata jenis-jenis Terebralia sulcata, Nerita planospira, Cerithium sp dan Melampus. Demikian pula halnya dengan populasi Crustacea. Pada paparan pasir tumbuh lebat Enhahis accoroides dan Thalasia sp, yang pada gilirannya menjadi habitat berbagai jenis Mollusca, Crustacea dan Echinodermata. Pulau Paliat Di samping relatif luas arealnya, Pulau Paliat membentuk bukit memanjang di bagian tengahnya. Lahannya didayagunakan untuk permukiman, pertanian dan perkebunan, misalnya perkebunan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tersedianya sumber air tawar yang cukup memungkinkan berkembangnya persawahan tadah hujan dan perladangan. Komunitas mangrove yang sempat di tinjau pada kegiatan ini terbatas pada yang berada di pantai selatan, timur dan utara dari ujung timur pulau. Dibanding dengan luas pulau secara keseluruhan, areal hutan mangrove yang sempat dijelajahi hanya kecil saja. Peninjauan keliling dengan perahu motor mengungkapkan air laut di sekitar komunitas mangrove Pulau Paliat selebar beberapa puluh meter tampak kekeruhan. Jelas terlihat bahwa keruhnya air ini adalah akibat proses pengadukan lumpur mangrove oleh ombak dan arus. Yang menarik dari fakta ini ialah bahwa gejala kekeruhan air seperti ini tidak terlihat di Pulau Saibus maupun di dua pulau lainnya yang dikunjungi kemudian. Ini merupakan petunjuk bahwa pengaruh ekosistem mangrove Pulau Paliat terhadap perairan pantai di sekitarnya cukup besar. Lebar tegakan mangrove di pantai yang dikunjungi berkisar antara 150 – 195 m. Pengamatan secara umum memberi- kan kesan komunitas mangrove di Pulau ini tersusun dari pohon-pohon tua dan muda. Sebatang Rhizophora apiculata tua tercatat berdiameter 66 cm dan sebatang Bruguiera gymnorrhiza bergaris tengah 63,5 cm. Banyak di antara pohon-pohon tua tadi telah mati, walaupun mereka masih tegak berdiri. Di samping itu banyak pula yang telah turnbang dengan akar-akarnya. Intensitas gangguan oleh manusia cukup berat seperti tampak dari banyaknya bekas tebangan yang bertebaran di mana-mana. Di pantai timur dan utara, khususnya pada bagian yang semula di tumbuhi Ceriops dan Avicennia, terdapat daerah yang telah dibuka oleh penduduk untuk tujuan lain antaranya untuk perladangan garam dan penangkapan nener. Pencacahan secara acak mencatat jenisjenis : Ceriops tagal Avicennia marina A. officinalis Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus moluccensis Excoecaria agallocha Rhizophora stylosa R. apiculata Lumnitzera racemosa. Data kuantitatif diperoleh melalui transek dengan arah barat-timur di pantai timur ujung Pulau Paliat dengan panjang mendekati 100 m. Hasil transek memperlihatkan bahwa komunitas mangrove di daerah tersebut terbagi dalam tiga zona. Dari laut ke arah darat susunannya adalah zona Rhizophora stylosa, zona R. apiculata dan zona Ceriops tagal. Lebar tiap-tiap zona berturut-turut 30 m, 20 m dan 50 m. Dalam jumlah kecil Bruguiera gymnorrhiza terdapat baik pada zona R. stylosa maupun pada zona R. apiculata, tetapi relatif lebih banyak pada zona R. apiculata. 115 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Zona Ceriops tagal menempati posisi paling belakang yaitu berbatasan dengan lahan darat yang kering. Arealnya lebih luas dibanding dengan dua zona yang mendahuluinya. Pada zona ini, Ceriops tagal merupakan jenis yang dominan. Di bagian tepi kerapatannya sangat tinggi dan ke arah zona R. apiculata kerapatannya semakin kurang. Jenis lain yang dijumpai dalam zona C. tagal adalah Avicennia officinalis dan Avicennia marina, tetapi jumlahnya relatif kecil. Baik Ceriops maupun Avicennia semuanya merupakan tumbuhan muda atau terubus dengan ketinggian tidak lebih dari 2 meter. Di luar transek tercatat jenis-jenis Excoecaria agallocha, Lumnitzera racemosa dan Xylocarpus moluccensis,. Mereka tumbuh di daerah perbatasan dengan lahan kering. Juga dijumpai pohon Sterculia foetida yang besar dan tinggi di pantai. Di bawah pohon ini terdapat sumber air tawar yang dimanfaatkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan air tawar sehari-hari. Substrat pada zona Ceriops tagal terdiri dari pasir lumpuran setebal lebih kurang 30 cm dengan sedikit kandungan zat organik. Hal ini tampak dari warnanya yang keputih-putihan. Pada zona R. apiculata dan R. stylosa, kandungan lumpur dan zat organik serta ketebalannya meningkat; dan substrat berwarna coklat kehitaman. Di waktu air surut, salinitas air di dekat perbatasan dengan lahan darat sekitar 5 – 10 ‰, sedangkan di zona R. apiculata salinitasnya sekitar 34 ‰. Terebralia sulcata merupakan jenis moluska yang terdapat dalam jumlah besar di zona Ceriops tagal Jenis-jenis Gastropoda lain yang dijumpai ialah Telescopium dan Cerithium sp. Melekat pada batang-batang mangrove adalah jenis Melampus striatus dan Littorina scabra. Berbagai jenis Brachyura hidup dalam lubang-lubang di zona Ceriops tagal Pada zona R. apiculata dan zona R. stylosa, populasi Mollusca dan Crustacea jauh berkurang kepadatannya. Pulau Piroko Hampir seluruh dataran Pulau Piroko ditumbuhi mangrove. Pulau ini merupakan pulau yang terkecil di antara pulau-pulau yang dikunjungi. Di waktu air pasang dapat dikatakan seluruh pulau tergenang air, kecuali satu petak kecil di bagian utara pulau yang tetap kering. Perairan sekelilingnya merupakan paparan pasir dangkal dimana berkembang komunitas rumput laut jenis Enhalus accoroides dan Thalasia sp. Di pinggiran tegakan mangrove terlihat banyak tumbuh anakan Rhizophora stylosa. Melihat kondisinya, Pulau Piroko mencerminkan keadaan suatu pulau dalam proses pertumbuhan awalnya. Substrat terdiri terutama dari pasir dengan sedikit kandungan lumpur. Di bagian tengah kandungan zat organik meningkat seperti tampak pada warnanya yang coklat kehitaman. Salinitas air 32 ‰ dan pH substrat 5,3. Permukaan substrat tidak rata tetapi bergelombang. Secara keseluruhan tumbuhan mangrove di pulau ini tampak terdiri dari pohonpohon muda. Tinggi rata-rata sekitar 2,5 m. Beberapa pohon yang termasuk besar bergaris tengah lebih kurang 8 cm dan berketinggian mendekati 5 meter. Kerapatan yang tinggi, tajuk yang rendah dan akar-akar yang pada malang melintang, merupakan rintangan yang berat bagi upaya menembus hutan mangrove Piroko. Pengamatan umum mencatat adanya 3 zona yaitu zona Rhizophora stylosa di bagian luar, zona R. apiculata di bagian tengah dan komunitas tumbuhan pantai di bagian lahan kering. Bruguiera gymnorrhiza tumbuh di antara tegakan R. apiculata, pada umumnya mereka dalam fase pembungaan awal. 116 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Komposisi jenis komunitas pantai terdiri antara lain dari: Ceriops tagal Excoecaria agallocha Hibiscus tilliaeus Thespesia populnea. Tumbuhan bawah yang terdapat di pantai pasir antara lain Spinifex littoralis dan Sesuvium portulacastrum. Populasi fauna tidak terlalu menonjol. Pada substrat tercatat dalam jumiah kecil Gastropoda jenis Terebralia sulcata dan sejenis Bivalvia Gafrarium tumidum. Melekat pada daun dan akar mangrove antara lain Littorina scabra, Nerita sp dan Monodonta labio. Di antara jenis Crustacea yang terlihat adalah jenis Uca sp dan Sesarma sp. Di samping itu pada pantai pasir yang kering terlihat banyak lubang-lubang Thalasina anomala dan Cardisoma carnifex. Pulau Bangkau Terletak beberapa kilometer di sebelah selatan Pulau Piroko, Pulau Bangkau merupakan pulau karang yang berkembang di atas batuan kapur tersier. Di pantai barat, laut berbatasan langsung dengan dinding batu setinggi 1 – 2 m. Areal lahan kering cukup luas, namun sampai saat itu belum ada penduduknya. Hutan mangrove berkembang terutama di sepanjang pantai utara dan timur. Lebarnya antara 75 – 100 m. Pada dasarnya susunan zonasinya sama dengan di pulau Paliat, yaitu zona Rhizophora stylosa di bagian dekat laut, zona R. apiculata di bagian tengah dan zona Ceriops tagal di bagian yang berbatasan dengan lahan pantai tanah kering. Bruguiera gymnorrhiza terdapat di antara pohon R. apiculata dan Avicennia sp di antara Ceriops tagal Antara zona R. apiculata dan zona C. tagal sering dipisahkan oleh gosong pasir yang ditumbuhi oleh tumbuhan pantai seperti Xylocarpus moluccensis, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula, Hibiscus tiliaceus dan Thespesia populnea. Mintakat Ceriops tagal di Pulau Bangkau berkembang pada substrat lumpur setebal beberapa sentimeter saja yang terdampar di atas paparan batu kapur tersier. Karena itu pertumbuhannya tampak sangat merana. Pohon paling tinggi tidak lebih dari 2 m tingginya. Kendatipun demikian mereka tumbuh dengan kerapatan yang tinggi. Di sana-sini terlihat pula anakan Avicennia marina. Berbeda dengan di ketiga pulau terdahulu, komposisi jenis Mollusca di pulau ini sedikit lebih beraneka ragam. Jenis-jenis Gastropoda yang di jumpai di sini antara lain Terebralia sulcata, T. pallustris, Telescopium, Nerita planospira, Littorina scabra dan Melampus striatus. Dari jenis Bivalvia tercatat Gafrarium tumidum dan Gelonia coaxans. Yang tersebut terakhir ini hanya di jumpai dalam jumlah cukup banyak di Pulau Bangkau ini. Kelompok Crustacea diwakili oleh jenis-jenis Uca, Sesarma, Thalasina dan Cardisoma. PENDAYAGUNAAN Penduduk setempat mendayagunakan ekosistem mangrove untuk beberapa tujuan yaitu memperoleh kayunya, mengusahakan ladang garam dan untuk penangkapan nener bandeng. Kayu bakau digunakan untuk bahan bakar dan keperluan lain, terutama untuk pembuatan pagar-pagar pekarangan. Di semua pulau yang dikunjungi, mangrove telah dimanfaatkan oleh penduduk. Hal ini terlihat dari banyaknya bekas-bekas tebangan baik lama maupun baru. 117 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Pendayagunaan yang paling intensif terlihat di Pulau Paliat. Kalau di ketiga pulau lain kegiatan terbatas pada penebangan kayunya, di Pulau Paliat berlangsung ketiga jenis kegiatan yang disebut di muka, yaitu untuk memperoleh kayunya, untuk perladangan garam dan untuk penangkapan nener. Pengambilan kayu. Di samping untuk bahan bakar, kayu mangrove dimanfaatkan untuk pagar pekarangan. Penggunaan kayu bakar selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga untuk mencukupi kebutuhan industri rakyat berupa pembakaran kapur. Jenis mangrove yang dimanfaatkan terutama Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops. Untuk pembuatan pagar dipilih cabang-cabang yang panjang dan lurus. Pembakaran kapur dilakukan dalam tungku-tungku tanah liat yang dibangun penduduk di atas tebing batu di tepi laut. Tungku ini berbentuk seperti sumur dengan garis tengah sekitar satu meter dan tingginya satu meter lebih (Gambar 3 a & b). Sebagai bahan baku adalah batuan kapur tersier yang banyak terdapat di kepulauan ini, sedangkan bahan bakarnya adalah kayu mangrove yang diambil dari Pulau Paliat maupun pulau-pulau kecil di sekitarnya. Batuan kapur di pecah-pecah menjadi bongkahbongkah kecil dan dimasukkan kedalam tungku, kemudian dibakar kurang lebih selama sehari. Untuk itu diperlukan kayu bakar (mangrove) minimal satu meter kubik. Tungku-tungku pembakaran kapur semacam itu banyak di jumpai di tebing batu ujung timur Pulau Paliat. Dapat dibayangkan berapa banyak kayu mangrove yang di perlukan untuk membakarnya. Perladangan garam. Di bagian utara ujung timur Pulau Paliat, beberapa hektar lahan mangrove yang semula ditumbuhi Ceriops tagal telah dibuka penduduk untuk dimanfaatkan sebagai ladang pembuatan garam. Untuk mengatur pemasukan air dibangun satu saluran utama yang berhubungan dengan laut yang juga dimanfaatkan pada bagian muaranya untuk jalan keluar masuk perahu. Lahan mangrove yang telah dibuka itu diubah menjadi petak-petak penguapan. Di waktu air pasang petak-petak tersebut diisi air laut, kemudian ditutup. Air laut dalam petak-petak dibiarkan menguap sehingga salinitas meningkat dan akhirnya garam-garam mengendap di dasar. Penangkapan nener. Sebagai usaha tambahan penduduk Pulau Paliat dan Pulau Saibus mengusahakan penangkapan nener bandeng. Ada tiga cara yang digunakan yaitu penangkapan bebas, penangkapan dengan bantuan rumpon dan penangkapan dengan bantuan jebakan nener. Cara pertama umumnya dilakukan oleh anak-anak sedangkan cara kedua dan ketiga dilakukan oleh orang dewasa. Penangkapan dilakukan pada waktu air surut. Dengan perlengkapan ember kecil dan sudu (jaring dorong berbentuk segitiga dengan kerangka bambu) anak-anak turun ke daerah Ceriops tagal untuk mengumpulkan nener. Yang menjadi sasaran ialah genangan-genangan air di dalam daerah mangrove, paritparit di ladang garam dan saluran lalu lintas perahu. Rumpon adalah untaian dedaunan pada seutas tali yang direntangkan tegak lurus garis pantai pada pantai terbuka (Gambar 2, panah), atau dibentangkan melintang pada alur lalu lintas perahu. 118 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. a. Proses pembakaran kapur di pantai timur Pulau Paliat b. Skema tungku pembakaran kapur. 1– bongkah batu gamping; 2– tebing batu; 3– lubang api. 119 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Cara pertama banyak di jumpai di Saibus, sedangkan cara kedua di jumpai Pulau Paliat. Fungsi rumpon ialah menarik nener untuk menggunakannya sebagai tempat berlindung. Pada waktu air surut, pemilik rumpon menangkap nener-nener tersebut dengan menyorongkan sudunya di bawah dan sepanjang rumpon. Pada dasarnya, jebakan nener tidak lain adalah genangan air yang sengaja dibuat untuk menjebak nener yang berada di sekitarnya dengan maksud memudahkan penangkapannya (Gambar 4). Susunanjebakan nener terdiri dari pematang utama yang dibuat sedikit melengkung, pematang sekat, ruang genangan dan daerah terbuka. Pangkal ruang genangan juga dibuat sedikit melengkung, lebar ruangan sekitar 2 m dan dalamnya 0,5 m. Tumbuhan mangrove di depan ruang genangan sejauh lebih kurang 5 m di bersihkan sehingga membentuk daerah terbuka. Nener bandeng masuk ke daerah mangrove bersama air pasang. Pada waktu air surut, mereka mencari genangan-genangan air untuk berlindung. Banyak di antaranya terjebak masuk perangkap buatan manusia ini. Dengan jaring sudunya pemilik jebakan nener menangkap dan mengumpulkan nener-nener tersebut dari ruang genangan. Pada zona Ceriops tagal di ujung timur Pulau Paliat terdapat banyak jebakan nener seperti digambarkan tadi. Menurut seorang pemilik jebakan nener, dalam satu periode penangkapan, yaitu selama air surut, dari satu jebakan dapat terkumpul 100 – 200 nener. Nener tersebut kemudian dijual kepada tengkulak nener, yang umumnya berdomisili di Pulau Kangean s.s dengan harga waktu itu 10 rupiah per ekor. Oleh para tengkulak, nener bandeng ini dikirim ke Jawa untuk memenuhi kebutuhan bibit bandeng. Gambar 4. Skema jebakan nener dilihat dari atas 1– ruang genangan; 2– pematang sekat; 3– pematang utama; 4– daerah terbuka. 120 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id ULASAN Dari uraian di muka, dapat diketahui bahwa komunitas mangrove di Kepulauan Kangean umumnya merupakan jalur sempit di pantai. Lebarnya berkjsar antara 50 sampai 200 m. Hal ini mempunyai kaitan dengan kondisi lingkungan yang berupa pulau-pulau yang umumnya relatif kecil. Dengan demikian dua syarat penting untuk perkembangan mangrove yang baik tidak terpenuhi. Kedua persyaratan itu ialah masukan air tawar dan bahan endapan lumpur yang cukup. Kedua persyaratan tersebut baru mungkin terpenuhi bilamana di daerah itu terdapat daratan yang luas dengan sungaisungai yang mengalir teratur ke laut. Pada pulau-pulau kecil satu-satunya sumber air tawar adalah air hujan, sedangkan sumber bahan endapan adalah laut itu sendiri yang membawa bahan endapan ke pantai sewaktu air pasang. Ditambah dengan sisa-sisa bahan organik dari tumbuhan hijau di pulau yang bersangkutan, maka terbentuklah endapan lumpur campur zat organik di pantai. Dengan sendirinya proses akresi dalam kondisi seperti itu berjalan sangat lamban. Faktor lain yang membatasi perkembangan vegetasi mangrove di kepulauan ini ialah kondisi substratnya yang sebagian besar terdiri dari pasir dan merupakan lapisan tipis di atas paparan batuan kapur. Hasil pencacahan vegetasi mencatat 10 jenis tumbuhan mangrove di Kepulauan Kangean. Tiga di antara kesepuluh jenis tersebut merupakan jenis yang dominan dan tumbuh berkelompok sehingga terbentuk zonasi yang cukup jelas. Ketiga jenis tersebut adalah Rhizophora stylosa (zona luar), R. apiculata (zona tngah) dan Ceriops tagal (zona dalam). Jenis Bruguiera gymnorrhiza selalu dijumpai menyelip di antara pohon-pohon R. stylosa maupun R. apicu- lata. Walaupun frekwensi kehadiran Bruguiera gymnorrhiza cukup tinggi, namun jenis ini tidak membentuk zona tersendiri. Dalam pada itu jenis-jenis lainnya yang juga dijumpai di kepulauan ini dapat dikatakan termasuk jenis yang langka; dalam arti frekwensi kehadirannya sangat rendah. Ditinjau dari kondisi mangrovenya ada sedikit perbedaan antara keempat pulau yang di kunjungi. Di Pulau Paliat misalnya, vegetasi mangrove merupakan campuran antara pohon-pohon tua dan muda. Banyak di antara pohon-pohon tua tadi telah mati atau menunjukkan gejala ke arah kematian. Tampaknya pohon-pohon tersebut mati secara alami. Pulau Bangkau dan Saibus memiliki pula pohon-pohon yang besar, namun masih lebih muda di bandingkan dengan yang terdapat di Pulau Paliat. Zona Ceriops tagal dijumpai di Pulau Paliat dan Pulau Bangkau; di Pulau Saibus dan Pulau Piroko tidak ada. Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Piroko umumnya terdiri dari pohon-pohon muda. Dari keempat pulau yang dikunjungi, hanya mangrove Pulau Paliat menunjukkan pengaruh peningkatan turbiditas terhadap perairan di sekitarnya. Dapat dipastikan bahwa peningkatan turbiditas air perairan sekitar Pulau Paliat erat berkaitan dengan ekosistem mangrove di pulau ini. Berbeda dengan ketiga pulau lainnya yang relatif kecil, rendah dan datar; Pulau Paliat cukup luas dan berbukit-bukit. Kondisi ini memungkinkan Pulau Paliat memiliki kemampuan menampung air hujan lebih banyak dan mengalirkan air beserta kandungan partikel tanah ke laut secara bersinambung dalam kurun waktu yang cukup lama. Dengan kata lain ekosistem mangrove Pulau Paliat memperoleh kiriman suspensi partikel dari darat dalam jumlah yang cukup banyak. Berbaur dengan sisa-sisa organik mangrove, 121 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id energi gelombang dan arus mengaduk dan menyebarkan partikel-partikel ke perairan sekitarnya, sehingga turbiditas air meningkat dengan nyata, menjadikan air laut sekitar pulau ini tampak keruh. Pengaruh campur tangan manusia terhadap sumber daya mangrove di kepulauan ini tampak jelas. Bekas-bekas tebangan, baik lama maupun baru yang dilakukan secara tidak terencana, terlihat di manamana. Kerusakan yang terparah terjadi di Pulau Paliat. Usaha pembakaran kapur yang menggunakan kayu mangrove dalam jumlah yang banyak sebagai bahan bakarnya, memegang peran penting dalam terjadinya kerusakan hutan mangrove di Pulau ini. Untuk menjaga kelestarian hutan mangrove maupun usaha pembakaran kapur itu sendiri, jumlah tungku pembakaran perlu dibatasi sesuai dengan kapasitas produksi kayu mangrove. Usaha perladangan garam mengubah sama sekali wajah zona Ceriops tagal menjadi lahan terbuka berupa petak-petak penguapan air laut. Demikian pula halnya dengan usaha penangkapan nener dengan bantuan jebakan nener. Dibandingkan dengan perladangan garam, pembuatan jebakan nener relatif kurang merusak karena tidak mengakibatkan terjadinya lahan terbuka secara total. Untuk memperoleh hasil yang memadai jebakan-jebakan nener harus dibangun pada lokasi yang cukup berjauhan. Dengan demikian vegetasi mangrove yang tumbuh di antara dua jebakan nener tetap dapat dipertahankan. Kendatipun demikian semakin banyak jebakan nener dibangun semakin luas jumlah areal mangrove yang harus dibuka. Satu hal yang menarik untuk dicatat di sini ialah kenyataan terdapatnya banyak nener bandeng di zona Ceriops tagal. Seperti telah diungkapkan di muka bahwa zona C. tagal terletak di sisi dalam ekosistem mangrove, dipisahkan dari laut terbuka oleh zona R. stylosa dan zona R. apiculata. Kendatipun letaknya relatif jauh dan berhubungan secara tidak langsung dengan laut terbuka, namun nener bandeng banyak terdapat di zona ini. Dapatkah kejadian ini dijadikan bukti kongkrit akan pentingnya ekosistem mangrove sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi anak-anak ikan, termasuk di sini bandeng. Apapun jawabannya, sudah jelas zona C. tagal di pulau ini memberikan sumbangan kongkrit terhadap perikanan, khususnya usaha pertambakan bandeng. Pembukaan ataupun pengrusakan ekosistem mangrove secara total di pulau ini jelas akan mempunyai dampak negatif terhadap usaha penangkapan nener khususnya, usaha pertambakan bandeng umumnya. Ditinjau dari segi pengaruhnya terhadap pertumbuhan karang (coral), ekosistem mangrove di Kepulauan Kangean kemungkinan tidak banyak berperan. Syarat untuk pertumbuhan binatang karang yang baik antara lain perairan harus jernih, salinitas tinggi, suhu antara 20 – 30 °C. Kecuali di Pulau Paliat yang airnya agak keruh, meskipun hanya selebar beberapa puluh meter ke arah laut, perairan di sekitar pulaupulau ini cukup memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan koloni karang. 122 Oseana, Volume XIV No. 4, 1989