ii. tinjauan pustaka

advertisement
II.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)
Kolesom atau Talinum triangulare (Jacq.) Willd adalah tanaman herbal sukulen, tingginya
antara 30-100 cm, daunnya berselang-seling dengan ujung membulat. T. triangulare cepat tumbuh dan
tidak membutuhkan perawatan tertentu selama pertumbuhannya. Tanaman ini berumah satu,
melakukan penyerbukan sendiri, memiliki bunga sepanjang tahun yang mekar di pagi hari. T.
triangulare berkembang biak dengan cara stek (USDA NRCS 2011). Bagian batangnya berbentuk
bulat, lunak dan berair, bercabang banyak, bagian pangkalnya berwarna kuning kecoklatan, dan pada
waktu muda berwarna hijau, akarnya tunggang menggembung berbentuk menyerupai ginseng (Rifai
1994). Bunganya merupakan bunga majemuk, keluar dari ujung tangkai, berwarna ungu kemerahan.
Buahnya berwarna merah coklat, dan bijinya gepeng berwarna hitam bulat (Syukur dan Hernani
2001).
Masyarakat sering sukar membedakan antara kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd.)
dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Ciri-ciri anatomi kedua jenis tanaman tersebut sukar
dibedakan. Perbedaannya terletak pada ciri-ciri morfologinya, yaitu filotaksis, bentuk buah, warna,
dan waktu bunga mekar. Som jawa memiliki filotaksis berhadapan, buah berbentuk kapsul (bulat dan
berwarna merah-cokelat), dan bunga mekar pada sore hari (Santa dan Prajogo 1999).
Talinum triangulare adalah gulma sekaligus tanaman berkhasiat yang diyakini berasal dari
Amerika Selatan dan dapat dibudidayakan secara luas di daerah tropis, termasuk Indonesia. Spesies
ini tumbuh di Afrika Barat, Afrika Selatan dan Asia Tenggara. Talinum triangulare dibudidayakan di
Nigeria dan Kamerun sebagai sayuran unggulan (Tindall 1986, Fontem dan Schippers 2004).
Tanaman ini juga dikenal sebagai bayam Philipina, bayam Ceylon, atau bayam Florida. Dalam bahasa
Inggris tanaman ini lebih sering disebut sebagai water leaf karena teksturnya yang sangat berair.
Tanaman kolesom mudah tumbuh di atas tanah jenis apapun, secara alami dapat tumbuh di pinggir
jalan, hutan, kebun, dan di daerah lain sampai ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut.
Pada kondisi alami, tumbuhan akan hidup selama 4-6 bulan (Rifai 1994). Kendala dalam
pembudidayaan tanaman kolesom adalah karena tanaman ini dapat menyerap segala jenis mineral
logam yang terkandung dalam tanah dalam jumlah besar tanpa kecuali, termasuk arsenik (USDA
NRCS 2011).
Daun kolesom memiliki kandungan asam oksalat yang relatif tinggi, yaitu sebesar 1-2%,
artinya konsumsi berlebihan dari daun ini beresiko menimbulkan masalah bagi penderita penyakit
ginjal. Daun kolesom enak dikonsumsi dan tidak menimbulkan rasa pahit serta kaya vitamin A dan C
serta zat besi dan kalsium (Jircas 2010). Teksturnya yang berair diduga akibat kandungan pektinnya
yang tinggi.
Klasifikasi Talinum triangulare (Jacq.) Willd adalah sebagai berkut:
Kingdom
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Superdivisi
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Subkelas
Caryophyllidae/Hamamelidae
Ordo
Caryophyllales
3
Famili
Portulacaceae
Genus
Talinum Adans.
Spesies
Talinum triangulare (Jacq.) Willd.
Gambar 1. Daun tanaman kolesom
Analisis proksimat Talinum triangulare (Jacq.) Willd dilakukan pada sampel basah maupun
kering. Hasilnya disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd
Kandungan
Karbohidrata
Protein
a
Lemak
a
Serat kasar
b
b
Steroid
β-karoten
a
b
Satuan
Kadar (Basis Kering)
Kadar (Berat Basah)
mg/g
10,87±3,99
12,38±2,76
%
3,52±0,32
18,75±2,72
%
3,52
1,44
%
12,00
8,50
mg/100g
106,61±2,53
11,37±1,19
mg/g
114,5±1,49
40,02±0,50
Abidemi (2009)
Fasuyi (2005)
b
Andarwulan et al. (2010) menyatakan bahwa kolesom merupakan sayuran daun yang
mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid sebesar 3,93 ± 0,17 mg/100g sampel segar
dan total fenol sebesar 0,489 ± 0,100 mg GAE/g sampel segar serta memiliki kapasitas antioksidan
sebesar 7,4 ± 0,2 μmol TE/g sampel segar. Artinya, daun kolesom memiliki sifat fungsional yang baik
bagi kesehatan tubuh. Komponen fungsional di dalam sayuran daun tidak hanya terdapat dalam
bentuk metabolit primer, tetapi juga dalam bentuk metabolit sekunder yang tidak tercerna oleh saluran
pencernaan manusia. Salah satu komponen metabolit primer tersebut adalah serat pangan yang akan
dianalisis dalam penelitian ini.
Salah satu komponen SDF yang penting yaitu pektin sebab selain dapat digunakan secara
luas sebagai bahan tambahan pangan (pengatur konsistensi) yang aman, pektin merupakan jenis serat
yang viscous sehingga mampu menurunkan kolesterol LDL dalam darah. Kemampuan ini yang
membuat pektin memiliki fungsi menurunkan resiko penyakit kardiovaskular (Aja 2005).
4
B.
Budidaya Organik dibandingkan Anorganik
Budidaya anorganik adalah sistem produksi pertanian konvensional yang dirancang untuk
meningkatkan produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh,
maupun pestisida (Deptan 2002). Menurut FAO (2007) di dalam Deptan (2007), sistem pertanian
organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas
agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan
berkelanjutan. Selain aman terhadap lingkungan, budidaya organik dirasa aman pula terhadap
kesehatan sebab tidak menggunakan unsur-unsur kimia sintetis yang dikhawatirkan meninggalkan
residu pada produk tanaman (Notohadiprawiro, 2002). Konsep awal pertanian organik yang ideal
adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, namun pada
prakteknya hal ini sulit dilakukan sehingga pola pertanian organik yang banyak dijumpai adalah pola
pertanian yang membatasi input dari luar dalam jumlah minimal (Winarno 2002). Prinsip pertanian
organik menurut Pracaya (2004) yaitu ramah terhadap lingkungan, tidak mencemarkan dan merusak
lingkungan hidup. Sementara itu, istilah pertanian anorganik mengacu pada sistem produksi pertanian
konvensional yang masih secara luas dilakukan saat ini. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan
produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida.
Sebagai perbandingan, beberapa studi menunjukkan kandungan total polifenol pada tanaman
organik lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008, Carbonaro et al. 2002, Young
et al. 2005, Abu-Zahra et al. 2007). Jus bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas
antioksidan 50-120% lebih tinggi daripada jus dari komoditas sejenis yang dibudidayakan secara
anorganik (Ren et al. 2008). Studi lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi,
magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-turut 27.0, 21.1, 29.3, dan 13.6%
lebih tinggi dibandingkan dengan produk anorganik (Worthington 2001). Kandungan senyawa
berbahaya seperti nitrat ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanaman organik dibandingkan dengan
tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008).
Diketahui bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak
gula dibandingkan tanaman anorganik (Hallmann & Rembialkowska 2006). Oleh karena itu hal ini
menjadi menarik sebab dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi
peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis pada tanaman lain. Pengaruh pembudidayaan
organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin (substansi pektat) pada daun
kolesom belum diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui. Oleh karena itu hal ini
menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh.
C.
Pemupukan
Secara alami, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman tersedia di dalam tanah. Namun,
karena terus-menerus diserap oleh tanaman dan hilang akibat pencucian oleh air hujan ataupun air
irigasi maka jumlahnya menjadi berkurang. Seiring pertumbuhan tanaman, unsur hara dalam tanah
pun semakin berkurang, oleh karena itu diperlukan pemupukan. Unsur hara dapat dibedakan
berdasarkan jumlah yang dibutuhkan menjadi unsur hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), dan unsur hara
mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn, B, dan Mo).
Unsur hara N, P, dan K di dalam tanah tidak cukup tersedia dan terus berkurang karena
diserap tanaman untuk pertumbuhannya. Selain itu, unsur-unsur di atas juga terangkut pada waktu
panen, tercuci, menguap, dan tererosi sehingga perlu dilakukan pemupukan. Jumlah pupuk yang
diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada
di dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Leiwakabessy dan Sutandi (1988)
5
menambahkan bahwa penambahan unsur hara akan meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang berarti
bahwa pengangkutan unsur hara oleh tanaman semakin meningkat.
1.
Peranan dan Ketersediaan Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif
tanaman dan bersifat mobile di dalam tanaman. Gejala kekurangan N pertama kali tampak pada daun
tua. Unsur N berada dalam bentuk inorganik dan organik dalam tanaman, dan berkombinasi dengan C,
H, O, dan suatu saat dengan S membentuk asam amino, amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid,
dan basa-basa purin (Jones 1998). Tanaman pada umumnya menyerap N dalam bentuk amonium
(NH4+) dan nitrat (NO3-) (Adams 2004). Sebagian besar amonium bergabung dengan senyawa organik
dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xilem dan dapat pula disimpan dalam
vakuola akar, pucuk, dan organ-organ penyimpan. Akumulasi nitrat dalam vakuola sangat penting
untuk keseimbangan kation-anion (Marschner 1995). Dubey dan Pessarakli (1995) menyatakan bahwa
nitrat yang diserap tanaman tidak langsung digunakan untuk sintesis asam amino. Bentuk nitrat harus
diasimilasikan ke bentuk amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase. Reduksi nitrat
dapat berlangsung pada akar dan tajuk. Menurut Li (2000), pengaruh nitrat pada perkembangan
tanaman dipengaruhi oleh waktu dan metode pemupukan, kombinasi efek osmotik pada pengambilan
air, dan efek hara pada sintesis protein.
Kekurangan N ditandai dengan adanya daun yang menguning atau kuning kehijauan dan
cenderung cepat gugur akibat kemampuan berfotosintesis berkurang, sehingga tanaman tumbuh
kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Penelitian Tresnawati (1999)
menunjukkan pada tanaman som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn), peningkatan dosis N sampai
450 kg/ha cenderung meningkatkan pertumbuhan dan produksi, tetapi efeknya tidak berbeda nyata
dengan pemberian 150 kg N/ha. Peningkatan efisiensi penggunaan N pada tanaman sangat penting
dalam meningkatkan hasil dan kualitas tanaman, menurunkan input N, dan meningkatkan kualitas
tanah, air, dan udara (Baligar et al. 2001).
2.
Peranan dan Ketersediaan Fosfor
Pada banyak sistem produksi pertanian, fosfor (P) merupakan unsur hara esensial yang paling
sering dijumpai setelah N (Mosali et al. 2005). Unsur P sangat kritis bagi pertumbuhan tanaman,
namun ketersediaannya di dalam tanah umumnya rendah. Efisiensi penggunaan unsur P tidak sama
dengan unsur N sebab unsur P bersifat immobile di dalam tanah (Soepardi 1983). Fosfor berasal dari
pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun bahan tanah. P terdapat dalam bentuk
inorganik dan organik, namun bentuk-bentuk inorganik lebih banyak dijumpai. Bentuk-bentuk
inorganik P didominasi oleh hydrous sesquitides, amorphous crystalline aluminium, besi fosfat pada
tanah asam, dan kalsium fosfat pada tanah alkali. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH,
area kontak antara daerah presipitasi dengan larutan tanah, tingkat lelarutan dan difusi dari P dalam
bentuk padat, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe tanah (Mosali et al. 2005).
Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing hidrogen fosfat
(H2PO4 ) dan monohidrogen fosfat (HPO42-) (Jones 1998). Mobilitas anion fosfat dalam tanah sangat
rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh sebab itu, efisiensi dari pupuk P sangat
rendah antara 10-30%, sisanya 70-90% P tertinggal dalam bentuk immobile atau hilang karena erosi
(Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fungsi P yang paling penting pada tanaman adalah penyimpanan
dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), serta
merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid,
dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005).
6
3.
Peranan dan Ketersediaan Kalium
Kalium (K) seringkali terdapat sebagai salah satu unsur penyusun tanah mineral (Reddy et al.
2000). Kalium pada tanaman berperan sebagai aktivator enzim, mempertahankan vigor tanaman,
merangsang pertumbuhan akar dan sebagai katalisator (Soepardi 1983). Selain itu K juga berperan
dalam proses pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy
1982). Dalam mempertahankan vigor tanaman, K berperan dalam proses pemeliharaan status air
tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan menutupnya stomata (Marschner 1995,
Jones 1998).
Berdasarkan ketersediaannya di dalam tanah, kalium dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1)
bentuk K tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk K dapat dipertukarkan, dan (3) bentuk K larut. Bentuk
K tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat di dalam tanah, tetapi pelepasannya lambat sehingga
disebut bentuk K yang sukar tersedia. Bentuk ini merupakan K cadangan. Bentuk K dipertukarkan
adalah K yang tersedia. Bentuk ini ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. Bentuk K
yang mudah diserap tanaman adalah K terlarut (Reddy et al. 2000).
Kalium merupakan unsur yang mobile sehingga akan terjadi translokasi dari bagian tanaman
yang tua ke bagian tanaman yang lebih muda bila terjadi gejala kekurangan K dalam tanaman. Oleh
karena itu gejala kekurangan K dicirikan terjadinya klorosis, tepi daun mengering, produksi daun
berkurang, dan malformasi daun. Reddy et al. (2000) menambahkan bahwa permukaan luas daun akan
berkurang pada saat defisiensi K. Gejala defisiensi K juga seringkali mirip gejala akibat mikroba
patogen sehingga sulit dibedakan.
Defisiensi K dapat dicegah dengan menambahkan jumlah K yang cukup ke dalam tanah.
Hanya sebagian kecil saja yang dapat dicukupi melalui pemupukan daun (Reddy et al. 2000). Ismatika
(1999) melaporkan bahwa pemupukan KCl pada som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) sampai
dosis 1,125 g/tanaman meningkatkan bobot kering tanaman, bobot basah daun, dan hampir semua
bagian vegetatif tanaman. Produksi umbi mengalami peningkatan yang besar terutama pada
pemupukan KCl dengan dosis 0,750 g/tanaman.
D.
Biosintesis Karbohidrat pada Tumbuhan
Proses biosintesis karbohidrat pada tumbuhan hijau dilakukan melalui proses fotosintesis,
khususnya pada fase siklus Calvin. Istilah fotosintesis mengacu pada definisi harfiah sintesis
menggunakan cahaya. Secara terminologis fotosintesis berarti reaksi antara karbondioksida dan air
yang menghasilkan energi (glukosa) dan oksigen dengan bantuan cahaya matahari dan hanya terjadi
pada organisme yang memiliki klorofil (Taiz dan Zeiger 2002 ). Reaksi ini terjadi di dalam membran
tilakoid pada kloroplas yang terletak di dalam klorofil.
Gambar 2. Reaksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2002)
Sintesis karbohidrat berupa pati dan sukrosa membutuhkan aliran karbon yang melalui siklus
Calvin pada kondisi ketika penyerapan CO2 bersifat kontinu. Ketika fotosintesis mencapai steady
state, 5/6 bagian dari triosa fosfat berperan dalam pembentukan ribulosa-1,5-bifosfat, sedangkan 1/6
bagian sisanya diekspor ke dalam sitosol untuk pembentukan sukrosa maupun metabolit lain yang
akan dikonversi menjadi pati di dalam kloroplas.
7
Gambar 3. Kloroplas pada tumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002)
Siklus Calvin dibagi ke dalam 3 tahap:
Karboksilasi, pada tahap ini CO2 terikat secara kovalen pada karbon skeleton (CO2 akseptor
ribulosa-1,5-bifosfat) membentuk 2 molekul 3-fosfogliserat;
2. Reduksi, pada tahap ini 3-fosfogliserat direduksi menjadi gliseraldehid-3-fosfat (jenis
karbohidrat);
3. Regenerasi, pada tahap ini terjadi pembentukan kembali CO2 akseptor ribulosa-1,5-bifosfat.
Input energi yang berasal dari ATP dan NADPH dibutuhkan oleh tumbuhan untuk menjamin
proses fiksasi CO2. Saat berlangsung siklus Calvin, dibutuhkan 2 molekul NADPH dan tiga
molekul ATP untuk mengkonversi 1 molekul CO2 menjadi karbohidrat.
1.
Gambar 4. Siklus Calvin (Prawiranata 1991)
Dinding sel penyusun tanaman, yang merupakan tempat terdapatnya serat pangan dan
substansi pektat pada tanaman, memiliki ketebalan bervariasi, ada yang menempati lebih dari 95% isi
sel tetap ada juga yang kurang dari 5 persen. Menurut Selvendran (1983), proses pembentukan
dinding sel tanaman terjadi dalam tiga tahapan utama yaitu:
1. Terbentuknya sekat pemisah selama daerah meristematis membelah akibat pembelahan sel.
Pada saat ini middle lamella terbentuk. Middle lamella terdiri dari molekul amorf, khususnya
substansi pektat.
2. Tahap pengontrolan penumpukan polimer-polimer pada dinding dan pengontrolan komposisi
dinding sel tersebut membesar. Kandungan utama dinding yang terbentuk akibat
penumpukan polimer ini adalah polisakarida seperti substansi pektat, hemiselulosa, selulosa,
dan beberapa glikoprotein. Dinding yang terbentuk tersebut disebut dinding sel pertama.
8
3.
E.
Tahap penebalan kedua yang menentukan struktur akhir dari sel-sel tertentu. Pada tahap ini
terjadi penumpukan zat seperti lignin. Dinding sel yang terbentuk ini kemudian disebut
dinding sel kedua yang komponen utamanya adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa
sebagai matriks amorf. Adapun gum, musilase, kutin, asam fitat, dan lainnya merupakan
komponen serat dalam jumlah kecil dari dinding sel tanaman.
Sayuran
Sayuran adalah bagian tanaman berupa tunas, daun, buah, dan akar yang lunak yang dapat
dimakan secara utuh atau sebagian, mentah atau dimasak (William 1993). Dalam hal ini sayuran dapat
berupa tanaman perdu (herba) ataupun tanaman tahunan. Sayuran dikonsumsi dalam keadaan segar
(lalapan) atau dimasak seperti dikukus, direbus, atau ditumis. Pemasakan dengan panas dapat
mempengaruhi kadar serat pangan dalam sayuran dan mengakibatkan terjadinya perubahan distribusi
antara serat larut dan serat tidak larut. Kehilangan komponen terlarut seperti gula, mineral, protein
terlarut, dan substansi pektat ke dalam air pemasakan menyebabkan kendungan serat pangan
meningkat (Anderson dan Chydesdale 1980).
Hasil penelitian Amira (1997) menunjukkan perlakuan perebusan pada sayuran memberikan
kadar rata-rata serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan total (TDF) lebih tinggi daripada
perlakuan pengukusan dan penumisan. Kadar serat pangan larut (SDF) tidak dipengaruhi oleh proses
pengolahan, tetapi ada kecenderungan meningkat setelah mendapat perlakuan pengolahan. Amira
(1997) menyatakan kadar serat pangan total (TDF) sayuran berkisar antara 20-54,63 g/100 g basis
kering, kadar serat pangan tidak larut berkisar antara 15-55 g/100 g basis kering, dan kadar serat
pangan larut (SDF) berkisar antara 2-18 g/100 g basis kering.
Beberapa sayuran segar dengan kadar IDF tinggi antara lain daun poh-pohan, daun beluntas,
daun jambu mete muda, daun pakis, daun melinjo, dan daun pepaya. Sedangkan sayuran segar dengan
kadar IDF rendah adalah tomat hijau, daun kemangi, daun ubi jalar, genjer, daun singkong, dan paria.
Sayuran segar dengan kadar TDF tinggi antara lain daun poh-pohan, daun beluntas, daun pakis, daun
melinjo muda, dan daun pepaya. Sedangkan sayuran segar dengan kadar TDF rendah antara lain tomat
hijau, daun kemangi, daun jambu mete muda, daun ubi jalar, genjer, daun singkong, dan paria
(Desminarti 2001).
F.
Serat Pangan
Serat pangan dapat didefinisikan sebagai grup polisakarida dan polimer-polimer lain dalam
bahan nabati yang tidak rusak oleh enzim pencernaan manusia (Pomeranz and Meloan 1987). Defenisi
terbaru serat makanan yang disampaikan oleh the American Assosiation of Cereal Chemist adalah
merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau kabohidrat analog yang resisten terhadap
pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar
(Joseph 2002). Sayuran dan buah-buahan adalah sumber serat makanan yang paling mudah dijumpai
dalam menu masyarakat. Sayuran bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui
perebusan (Herminingsih 2008).
Komponen serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan
kelarutannya. Serat pangan berdasarkan kelarutan terdiri atas serat larut (soluble dietary fiber) dan
serat tidak larut (insoluble dietary fiber), tergantung kelarutan komponen serat tersebut di dalam air
atau larutan bufer. Contoh serat tak larut, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Contoh serat larut,
yaitu pektin, gum, musilase, glukan dan alga (Almatsier 2001). Umumnya, tanaman mengandung
kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak.
9
Serat yang larut cenderung bercampur dengan air dengan membentuk jarigan gel (seperti
agar-agar) atau jaringan yang pekat. Sedangkan serat tidak larut umumnya bersifat higroskopis,
mampu menahan air 20 kali dari beratnya. Serat yang berasal dari biji-bijian atau serealia dan sayuran
umumnya bersifat insoluble, sedangkan serat dari buah dan kacang-kacangan cenderung bersifat
soluble (Almatsier 2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat yang larut dapat menurunkan kadar kolestrol
darah, sedangkan serat yang tidak larut hanya sedikit berpengaruh. Hal ini diduga karena serat yang
larut mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat dicegah. Dengan demikian,
garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-hati (entero-hepatic circulation) dan hanya sedikit yang
tersedia untuk absorpsi lipida di usus. Produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon
(Bifidobacteria), yang juga disebut probiotik, mungkin juga berpengaruh terhadap metabolisme lipida
(Silalahi 2006). Sedangkan serat tidak larut dapat mencegah wasir, sembelit, divertikulosis, dan
kanker kolon (Burkitt 1983). Hal ini disebabkan serat dapat meningkatkan massa feses dalam usus
besar, mengurangi waktu transit, dan mengikat air yang terdapat dalam usus besar (Southgate dan
Penson 1983). Namun selain menguntungkan ternyata serat pangan juga dapat menurunkan
penyerapan beberapa jenis mineral seperti Fe dan Mg (Staub et al. 1983).
Di dalam usus besar serat pangan akan dihidrolisis dan difermentasi oleh mikroflora usus,
terutama menjadi asam asetat, propionat, dan butirat yang merupakan asam lemak volatil, serta
karbondioksida dan hidrogen. Asam lemak volatil ini akan diserap kembali dan menyumbangkan
energi kira-kira 70% dari energi karbohidrat terfermentasi (Staub et al. 1983).
Komponen-komponen serat pangan sebagian besar ditemukan dalam struktur dinding sel,
seperti selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan polisakarida lain, polimer lignin aromatik dan
protein dinding sel. Jaringan parenkim terutama terdapat pada dinding sel pertama, sedangkan
jaringan terlignifikasi dimiliki dinding sel yang berhenti tumbuh dan mengalami penebalan kedua.
Polimer dinding sel utama dari jaringan parenkim adalah substansi pektat, hemiselulosa, dan selulosa.
Tipe polisakarida hemiselulotik yang ada di dalam dinding sel dari kedua tipe jaringan tersebut
biasanya berbeda (Selvendran dan DuPont 1984).
Serat pangan larut (soluble dietary fiber/SDF) didefinisikan sebagai serat pangan yang dapat
larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah tercampur oleh empat
bagian etanol. Gum, pektin, dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat di dalam dinding sel
tanaman merupakan sumber SDF. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fisiologis,
SDF lebih efektif dalam mereduksi absorbsi kolesterol low density lipoprotein (LDL) di dalam plasma
darah serta meningkatkan rasio high density lipoprotein (HDL). Hal ini berakibat pada penurunan
resiko penyakit jantung koroner. Selain itu, SDF juga mereduksi absorpsi glukosa dalam usus
sehingga menurunkan resiko penyakit diabetes. Manfaat lain SDF adalah menimbulkan rasa cepat
kenyang sekaligus mempertahankan berat badan normal (Bell et al, 1990 dalam Prosky dan De Vries
1992, Ink dan Hurt 1987, Krotkiewski 1984).
Sementara itu, serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber/IDF) didefinisikan sebagai
serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun air dingin. Sumber IDF adalah selulosa, lignin,
sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin tanaman, dan kadang-kadang pektin yang
tidak dapat larut. Di dalam TDF, IDF merupakan kelompok terbesar, sedangkan SDF hanya sekitar
sepertiganya (Furda 1981, Prosky et al. 1984, Prosky dan De Vries 1992). Menurut (Anderson dan
Siesel 1990 dalam Prosky dan De Vries 1992), IDF dilaporkan tidak signifikan terhadap efek
hipokolesterolemik, tetapi berperan baik dalam pencegahan disfungsi sistem pencernaan seperti
konstipasi, haemoroid (ambeien), kanker kolon, appendiksitis, divertikulosis, kolitis, dan varicose
veins.
10
Gordon (1989) menyatakan bahwa TDF mengandung gula-gula dan asam-asam gula sebagai
komponen utama. Grup fungsional pada TDF dapat mengikat atau terikat atau bereaksi satu sama lain
atau dengan komponen lain. Gula-gula yang membentuk TDF adalah glukosa, galaktosa, xilosa,
mannosa, arabinosa, dan rhamnosa, sedangkan asam-asam gulanya manuronat, galakturonat,
glukuronat, guluronat, dan asam 4-O-metilglukuronat. Gugus fungsional dari TDF adalah hidrogen,
hidroksil, karbonil, sulfat, dan metal. Semua komponen ini memberikan karakteristik fungsional pada
TDF meliputi daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk
gel dengan viskositas berbeda-beda, mengabsorpsi minyak, pertukaran kation, warna, dan flavor.
Karakter kimia serat pangan berhubungan erat dengan sifat fisiknya. Kelarutan (solubility)
adalah sifat fisik terpenting dari serat pangan. Serat pangan larut (SDF) dapat membentuk larutan
dengan viskositas berbeda-beda atau membentuk gel dengan kekuatan gel berbeda. Daya ikat air
(water binding capacity) adalah sifat penting yang terdapat dalam serat pangan tidak larut (IDF).
Dengan kemampuan ini IDF dapat memperbesar volume makanan sehingga menimbulkan rasa
kenyang. Kemampuan TDF untuk mengikat minyak juga merupakan sifat fisik yang penting yang
dapat memengaruhi pencernaan lemak menjadi misel-misel lemak oleh enzim lipase pankreatik di
dalam usus, sehingga dapat dilakukan absorpsi lemak secara normal. Anjuran konsumsi total serat
pangan menurut Life Science Research Office (1987) yang dikutip olah Fardiaz (1994) adalah 20-35
g/hari yang terdiri atas 70-75% IDF dan 25-30% SDF.
G.
Pektin
Senyawa kimia pektin pertama kali ditemukan oleh Vauquelin pada tahun 1790. Nama pektin
pertama kali diberikan oleh Braconot pada tahun 1825 untuk substansi pembentuk gel yang diperoleh
dari buah-buahan. Istilah pektin berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengental atau menjadi padat
(Glicksman 1969). Kelompok senyawa-senyawa pektin secara umum disebut substansi pektat yang di
antaranya terdiri atas protopektin, asam pektinat, dan asam pektat. Substansi pektat adalah kelompok
zat turunan karbohidrat kompleks berbentuk koloidal yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dan
sebagian besar mengandung asam anhidrogalakturonat dalam suatu kombinasi menyerupai rantai.
Gugus karboksil asam-asam poligalakturonat dapat diesterifikasi sebagian dengan gugus metal, dan
sebagian atau seluruhnya dapat dinetralkan oleh satu atau lebih jenis basa. Substansi pektat
mengandung:
•
Protopektin adalah zat pektat yang tidak larut dalam air dan jika dihidrolisis menghasilkan
asam pektinat atau pektin;
•
Asam pektinat adalah istilah yang digunakan untuk asam poligalakturonat yang bersifat
koloid dan mengandung gugus metil ester dalam jumlah yang cukup bayak. Asam pektinat
dalam keadaan yang sesuai mampu membentuk gel dengan ion-ion logam, gula, dan asam
(Klavons, Bennet, dan Vanner 1995);
•
Pektin adalah istilah yang digunakan untuk asam-asam pektinat yang dapat larut dalam air,
dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi beragam dan dapat membentuk gel
dengan asam dan gula pada kondisi yang sesuai;
•
Asam pektat adalah zat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bersifat
koloid dan pada dasarnya bebas dari gugus metil ester.
Semua tanaman yang berfotosintesis mengandung pektin (McCready 1965). Pektin dijumpai
pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil dijumpai dalam serealia. Pektin
merupakan polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman (dikotil dan beberapa
monokotil). Dinding sel terdiri atas 60% air dan 40% polimer. Senyawa pektin berfungsi sebagai
perekat antara dinding sel satu dengan yang lain. Pektin secara umum terdapat dalam dinding sel
11
primer tanaman khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Menurut Pilknik dan
Voragen (1973), pektin terutama terdapat pada dinding primer dan lamela tengah.
Jaringan meristematik dan parenkim merupakan bagian yang banyak mengandung senyawa
pektat. Di dalam dinding sel substansi pektat berfungsi sebagai elemen struktur dan sebagai membran
yang merupakan bagian dari gel hemiselulosa-pektin. Di dalam lamela tengah senyawa substansi
pektat berfungsi sebagai perekat antar sel. Substansi pektat ditemukan dalam dinding sel pertama dan
lapisan interseluler tanaman, komponen utama penyusunnya adalah asam D-galakturonat (Theander
dan Aman 1979).
Gambar 5. Unit asam D-galakturonat (IPPA 2002)
Substansi pektat didefinisikan sebagai grup turunan karbohidrat yang berbentuk koloid yang
terdapat pada tanaman yang terdiri dari rantai asam anhidrogalakturonat. Kelompok substansi pektat
terdiri atas protopektin yang tidak larut air serta asam pektinat, pektin, dan asam pektat yang larut air
serta dapat membentuk gel dengan gula dan asam. Grup ini memiliki rantai utama yang terdiri dari
asam galakturonat serta rantai cabang yang terdiri atas rhamnosa, arabinosa, xilosa, dan fukosa (Kay
dan Strasberg dalam Stasse-Wolthuis 1980). Substansi pektat mengalami perubahan dan pematangan
pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Ikatan kovalen antara substansi pektat dengan komponen
dinding selnya, khususnya hemiselulosa, serta adanya kation khususnya kalsium dapat berakibat pada
tidak larutnya substansi pektat yang memiliki derajat esterifikasi rendah.
Pektin merupakan campuran polisakarida dengan komponen utama polimer α-D-galakturonat
yang mengandung gugus metil ester pada konfigurasi atom C-2. Komponen minor berupa polimer
unit-unit α-L-arabinofuranosil bergabung dengan ikatan α-L-(1-5). Komponen minor lainnya adalah
rantai lurus dari unit-unit β-D-galaktopiranosil yang mempunyai ikatan 1-4. Rouse (1977) menyatakan
bahwa pektin merupakan senyawa unit-unit asam anhidrogalakturonat yang dihubungkan dengan
ikatan α-1,4-glikosidik. Towle dan Christensen (19730 menyebutkan bahwa komponen utama pektin
adalah asam D-galakturonat, juga terdapat D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah
yang beragam. Komposisi kimia pektin sangat tergantung pada sumber dan kondisi isolasinya. Jumlah
unit asam anhidrogalakturonat setiap rantai adalah kurang dari 100 sampai lebih dari 1000. Rata-rata
panjang rantai berbeda dari satu tanaman atau jaringan ke jaringan yang lain dan berubah sesuai
dengan perkembangan jaringan (Glicksman 1969).
Gambar 6. Struktur kimia pektin (IPPA 2002)
12
Pektin hampir semua dapat difermentasi oleh bakteri dalam usus besar dan memiliki efek
fisiologis terhadap komponen lain yang tercerna (Theander dan Aman 1979). Pektin dikenal sebagai
antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolisme
kolesterol. Makin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh,
makin banyak kolesterol yang dimetabolisme, sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya
(Soesilawaty 2008). Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak
feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Kurnia 2007).
13
Download