BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Personal Growth
2.1.1 Definisi Personal Growth
Istilah growth ( pertumbuhan ) mempunyai cakupan yang sangat
luas dan dipakai dalam berbagai disiplin ilmu. Pertumbuhan dapat dijelaskan
secara biologis, sosial ataupun psikologis. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya
dipakai istilah yang lebih khusus lagi, yaitu personal growth. Dalam tulisan ini,
pengertian pertumbuhan yang dipakai adalah yang sesuai dengan definisi personal
growth. Beberapa definisi personal growth adalah :
-
Change or development in a desirable direction (Atwater, 1983)
-
Self initiated efforts to become what we are capable of being...not a
reation to stress, but rather taking on of self-imposed challenges ( (Nevid,
1983)
-
Becoming what we visualize ourselves to be capable of becoming (Martin,
1989)
-
...farther than just adjusment, becoming our self, pressing out our creative
capability to the farthes limits of self. (Nevid, 1983)
Dalam penelitian ini, definisi personal growth yang dipergunakan adalah
definisi yang diberikan oleh Atwater ( 1983 ), yaitu : perubahan atau
perkembangan menuju kearah yang diharapkan. Definisi yang diberikan Atwater
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mempunyai batasan pengertian sehingga tidak terkesan kabur dan meluas, berikut
penjelasannya mengenai definisi tersebut :
1. Perubahan dan perkembangan
Batasan dari perubahan atau perkembangan yang dimaksud adalah setiap
perubahan atau perkembangan yang bersifat psikologis.
2. Arah yang diharapkan
Arah yang dimaksud disini adalah menuju ke suatu kondisi yang lebih
baik atau lebih positif. Yang menentukan kriteria ‘baik’ dan ‘positif’
tersebut ada dua, pertama adalah individu itu sendiri secara subyektif
sedang yang kedua adalah lingkungan sosialnya tidak menganggap
perubahan itu baik, maka tidak akan dikatakan bahwa individu itu
bertumbuh.
Dengan demikian maka definisi yang lebih jelas mengenai personal
growth yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan atau
perkembangan secara psikologis menuju kearah yang diharapkan atau dianggap
baik dan positif oleh individu itu sendiri serta lingkungan sosialnya.
2.1.2 Lingkup dalam Personal Growth
Personal growth mencakup semua jenis perubahan psikologis yang terjadi
dalam diri seseorang. Dalam pandangan umum seseorang bisa dikatakan telah
bertumbuh jika orang tersebut menjadi lebih sabar, lebih memiliki pengertian,
lebih memiliki tanggung jawab dan sebagainya. Bisa juga seseorang dikatakan
bertumbuh jika ia berubah dari seseorang yang pemalas menjadi orang rajin, dari
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
penakut menjadi pemberani, atau dari manja menjadi mandiri. Dari sini dapat
dilihat bahwa pertumbuhan merupakan suatu hal yang sangat bervariasi dan
kompleks.
Menurut Atwater (1983) ada beberapa hal yang menyebabkan banyaknya
variasi dalam konsep growth. Salah satu penyebabnya adalah para pakar di bidang
personal growth sendiri mempunyai titik berat yang berbeda dalam memahami
personal growth. Maslow misalnya, menekankan pada aspek motivasinya,
sedangkan Rogers lebih melihat pada perubahan konsep diri seseorang ( Atwater,
1983).
Fakor lainnya adalah perbedaan yang terdapat dalam diri masing – masing
individu tersebut. Perbedaan dalam hal pertumbuhan tersebut tergantung dari
kebutuhan individu, nilai-nilai (values), dan yang terutama adalah perkembangan
yang dialami oleh individu tersebut sebelumnya ( Atwater, 1983). Misalnya saja
jika ada seseorang yang dikenal pemarah kemudian menjadi lebih sabar, maka
bisa dikatakan orang itu telah bertumbuh. Hal ini mungkin tidak menjadi
permasalahan bagi orang lain yang bukan seorang pemarah. Atau bisa juga
seseorang yang sudah bisa bersikap sabar dalam beberapa hal akan belajar untuk
bersikap sabar dalam kondisi lain yang mungkin lebih sulit. Bisa dikatakan bahwa
masing-masing individu yang mengalami pertumbuhan akan berbeda dalam aspek
pertumbuhan ( dalam hal apa dia bertumbuh ) serta derajat pertumbuhan (
seberapa jauh dia bertumbuh ). (Nevid, 1983) (Erikson, 1963)
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
merupakan konsep yang bersifat subyektif. Kita tidak dapat membuat patokan
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
baku bahwa seseorang baru dikatakan bertumbuh jika ia bertumbuh hanya dalam
aspek tertentu atau jika ia sudah bertumbuh sampai taraf tertentu. Dengan
demikian maka batasan pertumbuhan kembali lagi ke definisi personal growth,
yaitu setiap perubahan dan
perkembangan secara psikologis ke arah yang
diharapkan atau dianggap baik oleh individu itu serta lingkungan sosialnya. (
Atwater, 1983 )
2.1.3 Faktor Yang Mendorong Terjadinya Pertumbuhan
Menurut Atwater ( 1983 ) ada beberapa kondisi atau faktor yang dapat
mendorong seseorang untuk bertumbuh dengan lebih cepat. Beberapa kondisi
tersebut adalah :
2.1.4 Perubahan fisik
Seseorang dapat berubah karena terjadinya perubahan fisik. Seorang anak
yang masuk kedalam masa remaja misalnya, membuat anak tersebut harus melihat
dirinya secara berbeda dan mulai melakukan hal serta peran yang baru. Remaja
tersebut juga harus meninggalkan kebiasaanya sebagai seorang anak kecil.
Penyakit dan kecelakaan dapat pula mengubah hidup kita. Mungkin ada hal-hal
yang sekarang tidak dapat lagi dilakukan karena kejadian tersebut. Ada
kemungkinan hal tersebut dapat membuat kita mengalami kemunduran, akan
tetapi tidak sedikit yang menunjukkan pertumbuhan dalam dirinya
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.5
Perubahan pada lingkungan
Perubahan pada lingkungan juga dapat memicu pertumbuhan. Perubahan
tersebut misalnya perpindahan ke tempat lain, masuk ke lingkungan baru, adanya
anggota keluarga yang baru, masuk ke sekolah yang baru dan sebagainya.
2.2.3 Kejadian-kejadian hidup yang penting ( significant life events )
Berbagai kejadian hidup yang penting dapat pula menjadi pemicu
pertumbuhan. Kejadian tersebut dapat bersifat menyenangkan seperti : kelulusan,
promosi, pernikahan, kelahiran anak, dan sebagainya. Namun satu hal yang
menarik adalah bahwa tidak hanya kejadian yang menyenangkan saja yang dapat
membuat seseorang bertumbuh. Kejadian – kejadian yang tidak menyenangkan
pun dapat membuat seseorang bertumbuh. Kejadian tersebut misalnya :
kehilangan pekerjaan, gagal, perceraian bahkan kematian dari seseorang yang
dicintai. Menurut Atwater ( 1983) setiap kasus atau kejadian memicu
pertumbuhan dengan cara megkonfrontasikan kita dengan peran-peran serta
tanggung jawab yang baru.
Ketiga kondisi diatas bersifat eksternal, yaitu kondisi-kondisi yang terjadi
di luar diri kita dan umumnya memaksa kita untuk melakukan perubahan hidup.
Tetapi sering kali stimulus tersebut justru muncul dari dalam diri kita, secara
intenal, dari perasaan dan persepsi yang dimiliki oleh orang tersebut terhadap
situasi yang dihadapi ( personal realm of life )
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Atwater ( 1983 ) mengatakan bahwa suatu perasaan tidak puas dan tidak
enak yang berkembang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada akhirnya
dapat menggerakkan kita untuk betumbuh. Perubahan yang sifatnya dari dalam ini
( inner change ) merupakan faktor yang sangat penting dan diperlukan agar
seseorang dapat mengalami pertumbuhan.
Selain pembagian yang diberikan oleh Atwater, secara umum penyebab
pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua faktor :
1. Faktor internal, yaitu pertumbuhan yang terjadi disebabkan oleh adanya
inner change atau perubahan dari dalam diri orang tersebut. Perubahan itu
bisa berupa munculnya suatu kesadaran diri akan rasa tanggung jawab,
adanya keinginan untuk berkembang, konsep diri yang berubah, motivasi
tinggi dan sebagainya. Beberapa ahli menggangap faktor internal
merupakan faktor utama penyebab pertumbuhan sehingga hal tersebut
tersirat dari definisi personal growth yang mereka berikan ( Atwater, 1983,
Rathus & Nevid, 1983).
2. Faktor eksternal, yaitu jika pertumbuhan disebabkan oleh faktor dari luar
diri orang itu. Faktor luar itu berupa dukungan sosial, adanya tuntutan
lingkungan dan sebagainya. Meskipun dibagi menjadi dua faktor,
seringkali kedua faktor tersebut sama – sama berpengaruh terhadap
pertumbuhan yang dialami oleh seseorang.
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.4 Tahapan Personal Growth
Pada tahun 1975 dalam satu tulisannya, Sidney Jourard ( Atwater, 1983 )
memperkenalkan konsep phenomenology of growth, yatu suatu penjelasan
mengenai bagaimana kita secara subyektif mengalami pertumbuhan. Konsep ini
dipergunakan untuk menjelaskan pertumbuhan yang disebabkan oleh perubahanperubahan yang terjadi didalam diri seseorang ( inner changes ). Menurut
pandangan Jourard, pengalaman subyektif kita akan pertumbuhan cenderung
mengikuti pola tiga fase atau tahapan ( Atwater, 1983) yaitu :
1. Pengakuan akan perubahan ( acknowledging change )
Menurut Jourard, suatu pertumbuhan selalu dimulai dengan pengakuan (
acknowledgement ) akan adanya perubahan. Dengan kata lain pemicu utama dari
pengalaman pertumbuhan ini adalah adanya pengakuan bahwa keadaan yang
terjadi sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya atau keadaan yang menurut
keyakinan kita seharusnya terjadi. Seseorang yang dikritik pekerjaanya, adanya
tanggung jawab yang baru dalam suatu perusahaan, adanya peran baru sebagai
seorang suami atau seorang ayah, kecerobohan yang menimbulkan kerugian,
gagal dalam ujian, harapan dari orang tua, semuanya itu merupakan kondisi yang
menyadarkan kita akan adanya suatu perubahan dan perbedaan dengan kondisi
sebelumnya maupun kondisi yang kita yakini seharusnya terjadi.
2. Perasaan disonan atau ketidakpuasaan ( a sense of dissonance or
disaatisfaction ) .
Meskipun seseorang memiliki kesadaran akan adanya perubahan yang terjadi,
namun hal itu saja belum cukup untuk mendorong seseorang bertumbuh. Hal ini
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tergantung pada bagimana perubahan tersebut mempengaruhi seseorang. Ada dua
reaksi yang mungkin terjadi terhadap kesadaran akan perubahan yang terjadi.

Reaksi pertama
adalah reaksi yang bersifat defensif. Seseorang yang
bereaksi defensif mengurangi kemungkinan untuk mengalami pertumbuhan karen
orang tersebut tidak mau mengakui perubahan yang terjadi. Seseorang yang
dikritik
misalnya,
mempertahankan
dirinya
dengan
jalan
menyalahkan
lingkungannya atau orang lain.

Reaksi kedua adalah pengakuan adanya perubahan tersebut, sehingga hal
itu membuat seseorang merasa tidak puas ( dissatisfaction) atau mengalami
disonansi akan kondisi orang tersebut. Perasaan inilah yang membangkitkan
semangat dan motivasi untuk melakukan perubahan. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa lingkaran pertumbuhan selalu dipicu oleh pengalaman
yang bersifat mengecewakan dan kegagalan, meskipun bisa juga pertumbuhan
terjadi pada kondisi yang relatif menyenangkan ( Atwater, 1983). Pada situasi
yang bersifat negatif ( misalnya : gagal dalam ujian, dkritik), seseorang akan
merasa tidak puas dan kecewa sehingga membuat orang tersebut berusaha agar
dapat mengatasi kelemahannya, ( misalnya belajar rajin dan teratur, belajar lebih
terbuka ). Sedangkan pada situasi positif pun ( naik pangkat, peran baru sebagai
ayah), bisa muncul perasaan yang disonan. Sikap pertama yang harus disadari
adalah bahwa situasi-situasi tersebut akan menuntut suatu tanggung jawab, sikap
dan usaha yang lebih baik lagi. Untuk mengantisipasi agar mereka bisa berhasil
dalam situasi yang baru, maka mereka harus mau mengubah cara hidupnya ( mis:
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
lebih bertanggung jawab, lebih perhatian, dan sebagainya ). Adanya sikap-sikap
tersebut memungkinkan orang itu bertumbuh.
3. Reorganisasi pengalaman
Untuk menghapus perasaan tidak puas dan disonansi yang ada, maka
seseorang harus melakukan suatu perubahan. Secara umum perubahan yang
terjadi adalah dengan adanya suatu pemahaman atau pandangan yang baru
terhadap kondisi yang dihadapi. Hal ini akan berpengaruh pada keyakinan
seseorang, sikap, nilai-nilai dan bisa pula konsep diri orang tersebut. Seseorang
dikritik misalnya, akan belajar untuk menerima kritikan sebagai sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian dia akan belajar untuk lebih terbuka
agar bisa maju. Seseorang yang gagal dalam ujian akan belajar mengubah cara
belajar serta manajemen waktunya. Seseorang yang dipromosi akan memiliki
kepercayaan akan kemampuan dalam dirinya untuk melakukan hal-jal yang lebih
sukar.
2.2. Tahapan Perkembangan Masa Anak Anak – Dewasa Muda
Dalam penelitian ini teori perkembangan yang digunakan adalah teori Erik
Erikson tentang perkembangan manusia, dikenal dengan teori perkembangan
psiko-sosial. Adapun tahapan teori psiko-sosial yang digunakan dalam penelitian
ini dari masa anak – anak sampai dewasa muda dimana penelitian ini hanya
meneliti masa perkembangan individu dari masa anak – anak sampai dewasa awal
yang tidak mendapatkan peran ayah. (Erikson, 1963)
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan
dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah
gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas
pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan
dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani
dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani
dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami
konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson
berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas
psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini,
potensi pertumbuhan pribadi meningkat. (Erikson, 1963)
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan
dalam tabel berikut ini :
Developmental Stage
Basic Components
Infancy (0-1 thn)
Trust vs Mistrust
Early childhood (1-3 thn)
Autonomy vs Shame, Doubt
Preschool age (4-5 thn)
Initiative vs Guilt
School age (6-11 thn)
Industry vs Inferiority
Adolescence (12-10 thn)
Identity vs Identity Confusion
Young adulthood ( 21-40 thn)
Intimacy vs Isolation
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust.
Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orangorang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang
yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadangkadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan
saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing,
tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi
situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.Tahap ini berlangsung pada masa
oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba
sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi
anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson
menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu
percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang
lain akan berbuat jahat padanya, dan akan menggunakan seluruh upayanya dalam
mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain, mereka akan mudah
tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa
kecilnya
sudah
merasakan
ketidakpuasan
yang
dapat
mengarah
pada
ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa
terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis,
maupun depresi.
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-Ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan
autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah
bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari
botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai
memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta
pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini
biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3
atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian
(otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila
dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu
sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun,
sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak
dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan
kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah
lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3. Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genitallocomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu
periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang
harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan
(inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap
tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga
merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk
menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang
tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan
gagasan dan ide-idenya.
Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada
masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat
yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada
klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan
mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan
dan lakukan.
4. Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–
inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa
ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan
untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan.
Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada
usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang
diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan
bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada
tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah
sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua
harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima
kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana
yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring
bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk
dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan
bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui
tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau
anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak
terlepas dari peranan orang tua yang seimbang dalam mengontrol mereka.
5. Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat
masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence)
ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan
ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan
yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas
diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan
identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan,
sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau
kenakalan.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap
ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini,
kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka
segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial
secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan
bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain.
6. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu
akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia
sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya
kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu
memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan
kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina
hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi
pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain
yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai
kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam
kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin
dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang
berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul
dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan
sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun.
Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan,
yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
2.3 Masa Perkembangan Tanpa Peran Ayah
2.3.1 Definisi Fatherless
Ketiadaan peran ayah dalam perkembangan seseorang biasa disebut
dengan fatherless, dimana ketiadaan peran ayah dapat berupa ketidakhadiran
secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak. Maka dikenal dengan
adanya ‘fatherless’, ‘father hunger’, ‘father absence’, atau ‘father loss’.
Fatherless adalah ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak.
Hal ini terjadi pada anak-anak yatim atau anak-anak yang dalam kehidupan
sehari-harinya
tidak
memiliki
hubungan
yang
dekat
dengan
ayahnya
(Smith,2011).
Sebagaimana dinyatakan oleh (Smith, 2011) bahwa seseorang dikatakan
mendapat kondisi fatherless ketika ia tidak memiliki ayah atau tidak memiliki
hubungan dengan ayahnya yang disebabkan kematian, perceraian atau
permasalahan pernikahan orang tua (Horn, 2013)
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.3.2 Penyebab Fatherless
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Aquilino, 1994) pada individu
dewasa awal, yang mengalami perceraian orang tua, ditemukan kenyataan
bahwa situasi tersebut membuatnya kehilangan komunikasi dengan ayah setelah
perceraian terjadi. (Lowry, 1984) melakukan penelitian yang serupa pada anakanak, dan menemukan hasil yang sama bahwa ditemukan ketidakpuasan dengan
komunikasi dengan ayahnya, secara kuantitas.Kondisi tanpa ayah dapat juga
terjadi dikarenakan anak tersebut merupakan hasil dari hubungan diluar
pernikahan ataupun kematian.
Hal tersebut mengindikasikan adanya kekosongan figur dan keteladanan
serta pengaruh ayah dalam hidupnya oleh karena jumlah pertemuan dan
komunikasi yang terjadi diantara ayah dan anak yang minimal. Sementara pria
yang mengalami perceraian harus berpisah tempat tinggal dengan anak-anaknya,
menyatakan adanya kekurangan pertemuan dengan anak-anaknya (Lowry, 1984).
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan alokasi waktu yang kurang dari ayah itu
sendiri dalam mengelola waktu pertemuan, kualitas dari pertemuan yang kurang
maksimal atau dapat pula dikarenakan faktor ibu yang tidak bersedia untuk
mempertemukan anak dengan ayahnya.
Perasaan benci yang dirasakan oleh ibu menyebabkannya tidak
membiarkan anak untuk bertemu dengan ayahnya sama sekali, ( Furstenberg dan
Winquist Nord, 1985;Braver,1991) atau jika diperbolehkan untuk menemui anak,
seorang ibu yang melaksanakan pengasuhan bersama atau joint-custody akan turut
campur dalam kunjungan ayah dengan maksud memberikan ayah tersebut
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
‘hukuman’ ( Braver,1991). ‘Father hatred” atau kebencian terhadap ayah oleh ibu
mempengaruhi cara pandang anak secara langsung, hal ini ditemukan saat
meneliti anak-anak yang mengalami pengasuhan bersama setelah perceraian
orangtua (Lowry, 1984).
2.3.3 Peran Ayah Terhadap Perkembangan Anak
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah suatu partisipasi aktif
ayah secara terus menerus dalam pengasuhan dimensi fisik, kognisi dan afeksi
pada semua area perkembangan anak yaitu fisik, emosi, sosial dan intelektual dan
moral (Abdullah, 2010)
Sementara itu Hart ( dalam Abdullah,2010) menjelaskan bahwa peran
ayah diantaranya :
1. Memenuhi kebutuhan finansial anak untuk membeli segala keperluan anak
2. Teman bagi anak termasuk teman bermain
3. Memberi kasih sayang dan merawat anak
4. Mendidik dan memberi contoh teladan yang baik
5. Memantau atau mengawasi dan menegakkan aturan disiplin
6. Pelindung dari resiko atau bahaya
7. Membantu, mendampingi dan membela anak jika mengalami kesulitan
atau masalah
8. Mendukung potensi untuk keberhasilan anak.
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sebagai orang tua, salah satu tugas yang sangat mutlak pentingnya adalah
parenting atau pengasuhan. Idealnya, antara ayah dan ibu diharapkan dapat saling
membantu dan menguatkan satu sama lain saat menjalankan peran sebagai orang
tua, menjadi ibu dan ayah. Menurut McBride dkk ( dalam Abdullah, 2010) bahwa
keterlibatan ayah dalam pengasuhan mencakup lima aspek yaitu :
1. Tangung jawab untuk tugas-tugas manajemen anak,
2. Kehangatan dan afeksi pada anak
3. Pekerjaan rumah yang diselesaikan bersama dengan anak
4. Aktivitas bersama yang terpusat pada anak
5. Pengawasan dari orang tua
Palkovitz (dalam Sanderson & Thompson, 2002) mengemukakan beberapa
kategori keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang meliputi :
a) communication (mendengarkan, berbincang/berbicara, menunjukkan rasa
cinta)
b) teaching (memberi contoh peran, melakukan aktivitas dan minat yang
menarik)
c) monitoring (melakukan pengawasan terhadap teman-teman, pekerjaan
rumah)
d) cognitive processes (khawatir, merencanakan, berdoa)
e) errands (mengurus)
f) caregiving (memberi makan, memandikan)
g) shared interest (membaca bersama)
h) availability (keberadaan)
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
i)
planning (merencanakan berbagai aktivitas, ulang tahun)
j) shared activities
(melakukan kegiatan bersama, misal belanja,
bermainbersama)
k) preparing (menyiapkan makanan, pakaian)
l) affection (memberi kasih sayang, sentuhan emosi)
m) protection (menjaga, memberi perlindungan)
n) emotional support (mendukung perasaaan anak )
2.3.4 Dampak Perkembangan Tanpa Peran Ayah
Berawal dari permasalahan anak di sekolah atau di lingkungan, muaranya
ada pada kondisi yang dialami keluarga. Perpisahan orangtua yang berujung
pada perpisahan dengan sosok ayah menjadi salah satu contohnya. Disekolah,
anak-anak dengan kondisi keluarga demikian rentan mengalami ketertinggalan
disekolahnya atau tidak naik kelas. Dalam hal ini, pendampingan ayah ternyata
memiliki pengaruh yang signifikan pada pendidikan anak-anak. (Dawson, 1991)
Performansi
akademik
sangat
dipengaruhi
oleh
ketiadaan
atau
ketidakhadiran peran ayah ( fatherless), yaitu berupa perilaku mengacau
disekolah, penurunan performa pada tes bakat yaitu keterampilan kognitif,
ketertinggalan di kelas dan secara keseluruhan. (Forehand, 1987)
Penelitian serupa pada anak-anak yang tidak tinggal dengan ayah dan
ibunya akan berujung pada penyalahgunaan obat-obatan (Hoffmann, 2002).
Masalah perilaku tersebut dipengaruhi oleh ketidakhadiran ayah dalam
kehidupan anak untuk memberikan batasan yang tegas atas tingkah laku yang
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
baik. Demikian pula jika aak hanya dibesarkan oleh seorang ibu, kehamilan dan
melahirkan saat remaja,dan pernikahan dini dapat terjadi sebelum menginjak
bangku SMA, ( Popenoe dalam Williams,2011;Teachman,2004 ). Permasalahan
dengan perilaku lainnya yang dialami anak, berkaitan dengan perilaku merokok.
Anak-anak yang hidup terpisah dengan ayahnya, merokok saat memasuki masa
remaja,( Stanton dkk,1994)
Dikatakan (Biller, 1974) bahwa father absence akan melahirkan
peningkatan konflik gender pada anak dan kebingungan identitas gender yang
meningkat pula, (Rekers,1986). Selain itu father absence menciptakan
peningkatan yang cukup signifikan akan terjadinya perilaku homoseksual
dikalangan pria maupun wanita (Biller, 1974). Dengan demikian ketidakhadiran
peran ayah memunculkan penyimpangan orientasi seksual pada anak yang
dimulai dari kebingungan identitas dan peran gender yang sepatutnya ditiru oleh
anak. Berhubungan dengan identitas gender, terjadi pula penurunan atau
rendahnya tingkat harga diri pada anak perempuan,( Walkerman,tanpa tahun)
dan anak laki-laki (Biller, 1974).
Ketiadaan peran-peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya
harga diri ( self esteem) ketika ia dewasa, adanya perasaan marah ( anger), rasa
malu ( shame) karena berbeda dengan anak-anak lain dan tidak dapat mengalami
pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah yang dirasakan anak-anak
lainnya.Kehilangan peran ayah juga menyebabkan seorang anak merasakan
kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), dan kedukaan (grief) yang amat
sangat (Lerner,2011), yang disertai pula oleh rendahnya kontrol diri ( self-
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
control), ( Kruk,2012), inisiatif, keberanian mengambil resiko ( risk-taking),(
Williams,2011). Akibat-akibat psikologis yang dirasakan oleh anak tersebut
berdampak pada penyimpangan perilaku dan ketidakbermaknaan hidupnya.
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download