Document

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell
Holmes pada tahun 1846. Anestesi berasal dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri, yang secara umum berarti
menghilangkan rasa nyeri. Dalam arti yang lebih luas anestesi adalah suatu
keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot, hilangnya rasa nyeri dan
hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai dengan hilangnya
kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan untuk mengurangi
atau bahkan menghilangkan rasa nyeri saat dilakukan tindakan medis seperti
operasi, untuk melakukan pengendalian pada hewan (restrain), keperluan
penelitian biomedis, pengamanan pemindahan hewan liar (transportasi),
pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan prosedur etanasi
(Tranquilli et al., 2007).
Secara umum anestesi dapat dibagi atas dua golongan yaitu
berdasarkan cara penggunaan obat dan berdasarkan luas pengaruh obat.
Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi dibagi menjadi (a) anestesi topikal
yaitu obat diberikan melalui permukaan kulit atau membrana mukosa untuk
tujuan anestesi lokal; (b) anestesi injeksi/parentral yaitu obat anestesi yang
diberikan melalui suntikan baik secara intramuskuler, intravena, ataupun
subkutan; (c) anestesi inhalasi yaitu obat diberikan melalui saluran respirasi
8
dengan menggunakan gas oksigen sebagai perantara; (d) anestesi oral atau
rektal yaitu obat diberikan melalui saluran pencernaan (gastrointestinal)
(Tranquilli et al., 2007).
Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi anestesi lokal,
anestesi regional dan anestesi umum. Anestesi lokal adalah suatu tindakan
menghilangkan rasa nyeri pada area tertentu yang diinginkan tanpa
menghilangkan kesadaran. Anestesi lokal bekerja dengan menghambat
konduksi saraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada saraf
tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal adalah dengan cara menghambat
saluran ion sodium (Na+) pada saraf perifer yang mengakibatkan konduksi
atau aksi potensial pada saraf terhambat sehingga respon nyeri secara lokal
hilang. Pada umumnya anestesi lokal digunakan untuk melakukan
pembedahan kecil seperti penjahitan luka, dan sebagainya (Tranquilli et al.,
2007). Penggunaan anestesi lokal dapat dilakukan dengan meneteskan pada
permukaan daerah yang akan dianestesi, dengan melakukan injeksi secara
subkutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta
dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (Sudisma et al, 2006).
Anestesi regional adalah suatu tindakan menghilangkan rasa nyeri
yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetik lokal pada lokasi saraf
yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga mengakibatkan
hambatan konduksi impuls yang reversibel. Anestesi regional dapat
menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secara
reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi regional menghambat
9
sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor dan kaki belakang.
Anestesi ini biasanya digunakan untuk pembedahan cesar, laparotomi,
pembedahan daerah pelvis, dan sebagainya (McKelvey dan Hollingshead,
2003).
Anestesi umum adalah keadaan dimana hilangnya rasa nyeri di seluruh
tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan
melalui penekanan susunan saraf pusat (SSP) karena adanya induksi secara
farmakologi atau penekanan sensori pada saraf. Agen anestesi umum bekerja
dengan cara menekan SSP secara reversibel (Adam, 2001). Anestesi umum
merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan
diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi
yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya
ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan
hilangnya
gerak
spontan
(immobility),
serta
hilangnya
kesadaran
(unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Dengan demikian,
tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan
kondisi sedasi, analgesia, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal untuk
dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa
menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat
mengancam pasien (Miller, 1969). Anestesi umum yang sering digunakan dan
cukup aman serta aplikasinya yang mudah untuk anjing adalah anestesi secara
injeksi dengan anestetik ketamin.
10
2.1.1 Ketamin
Ketamin adalah anestesi umum injeksi golongan non barbiturat,
termasuk golongan cyclohexamine, mempunyai efek analgesia yang sangat
kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamin
juga diklasifikasikan sebagai anestesi disosiatif menyebabkan penderita tidak
sadar dengan cepat namun mata tetap terbuka tapi tidak memberikan respon
rangsangan dari luar (Hilbery, 1992). Pengaruh klinis yang ditimbulkan
ketamin
sangat
bervariasi
seperti
analgesia,
anestesi,
halusinasi,
neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketaminn juga
menimbulkan efek agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang
sering disebut fenomena emergence delirium (Stawicki, 2007). Terhadap
sistem kardiovaskuler, ketamin menyebabkan peningkatan tekanan darah,
peningkatan detak jantung, peningkatan curah jantung, peningkatan tekanan
vena, peningkatan tekanan arteri, suhu tubuh, dan peningkatan tekanan
intraokuler (Haskin, 1985 dan Cullen, 1991). Ketamin tidak menekan
pernapasan secara signifikan pada dosis biasa, tetapi pada dosis yang lebih
tinggi dapat menyebabkan frekuensi pernapasan menurun (Plumb, 2005).
Ketamin pada anjing biasa digunakan dengan dosis 10-15 mg/kg bobot badan.
Untuk mengatasi kekurangan dari ketamin, maka penggunaannya sering
dikombinasikan dengan obat lain sebagai premedikasi anestesi.
11
2.2 Premedikasi Anestesi
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Tujuan utama dari pemberian premedikasi anestesi adalah
untuk menenangkan pasien, relaksasi otot, menghilangkan rasa sakit,
mengurangi dosis anestetikum, mengurangi nyeri selama pembedahan maupun
pasca pembedahan, serta untuk menghasilkan induksi anestesi yang perlahan
dan aman (McKelvey dan Hollingshead, 2003).
Obat-obat yang bersifat sedatif dan anxiolitik berperan besar dalam
meningkatkan kualitas anestesi dan pemulihan, serta dapat meminimalisir efek
samping dari obat-obat anestesi yang tidak diinginkan (Lee, 2006).
Premedikasi anestesi yang umum digunakan pada hewan dibagi menjadi (a)
antikolinergik seperti atropin, glikopirolat, scopolamine, dan aminopentamid;
(b) sedatif seperti xilazin, diazepam, midazolam, lorazepam, medetomidin,
dan curare; (c) tranquilliser seperti promazin, acepromazin, chlorpromazin,
diazepam, lorazepam, midazolam, xilazin dan medetomidin; (d) narkotik
seperti morpin, oksimorfon, apomorpin, etorpin, nalorpin, dan meperidin
(McKelvey dan Hollingshead, 2003). Premedikasi yang umum digunakan
untuk anjing adalah atropin dan xilazin.
2.2.1 Atropin
Atropin merupakan antikolinergik yang paling sering digunakan, obatobat golongan ini juga disebut dengan antimuskarinik atau parasimpatolitik.
Mekanisme kerja obat ini pada umumnya menghambat pada tempat yang
disarafi oleh serabut postganglion kolinergik, dimana asetilkolin sebagai
12
neurotransmitter. Atropin digunakan untuk mengurangi salivasi, sekresi
bronkial dan melindungi serta mencegah kejadian aritmia yang disebabkan
oleh sifat obat-obat anestetik yang digunakan. Sebagai premedikasi, atropin
diindikasikan pada anjing untuk mencegah sekresi saliva yang dapat
menghalangi
saluran
nafas.
Meskipun
demikian,
pemberian
atropin
berpengaruh pada SSP yang kemudian merangsang medulla oblongata, pada
mata menimbulkan midrasis, mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan
bronkus (Sardjana dan Kusumawati, 2004).
Atropin bersifat reversibel dan pada pemberiannya dapat dimetabolisir
oleh semua spesies (Brander dan Pugh, 1991). Atropin biasa digunakan
sebagai premedikasi pada anjing dengan dosis 0,02-0,04mg/kg bobot badan
secara subkutan, intramuskuler, maupun secara intravena (McKelvey dan
Hollingshead, 2003). Pemakaian atropin dosis tinggi berakibat peningkatan
frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian disaritmia
jantung dan takikardi pada pemberian atropin pernah dilaporkan pada anjing
(Tranquilli et al., 2007).
2.2.2 Xilazin
Xilazin adalah premedikasi anestesi yang sering digunakan pada anjing
dan kucing untuk menghasilkan efek sedasi, analgesia, dan relaksasi otot.
Xilazin menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls
intraneural pada susunan saraf pusat, menyebabkan efek muntah dan dapat
menekan termoregulator pada SSP (Adam, 2001).
Xilazin menghasilkan
sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan
13
mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall
dan Clarke, 1983). Xilazin diinjeksikan secara intramuskuler dan dapat
menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan
akan hilang dalam waktu 24-48 jam (Hall dan Clarke, 1983).
Xilazin menyebabkan tertekannya SSP, bermula dari sedasi, kemudian
dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hipnosis, tidak sadar dan
akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke, 1983). Pada sistem pernafasan
dapat menekan pusat pernafasan sehingga dapat menyebabkan relaksasi otot
yang bagus melalui hambatan transmisi intraneural impuls pada SSP.
Penggunaan xilazin pada anjing menghasilkan efek samping merangsang
muntah tetapi hal ini dapat ditangani dengan mengosongkan lambung pada
anjing sebelum dianestesi.
Efek analgesia xilazin bisa bertahan selama 15-30 menit, namun efek
sedasinya bisa bertahan hingga 1-2 jam tergantung pada dosis yang diberikan,
sedangkan waktu pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing
membutuhkan waktu antara 2-4 jam (Plumb, 2005). Pada anjing, xilazin bisa
digunakan secara subkutan atau intramuskuler dengan dosis 1-3 mg/kg bobot
badan (Bishop, 1996).
2.3 Perubahan Fisiologis Hewan dalam Anestesi
Pengamatan aspek fisiologis untuk pengawasan suatu anestesi yang
diamati meliputi perubahan aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler,
respirasi, dan suhu tubuh merupakan parameter yang terpenting diamati
14
selama periode anestesi (Adam, 2001). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat
keamanan selama periode anestesi adalah dilakukannya pengawasan dan
pemantauan (monitoring) anestesi yang baik. Pemeriksaan cepat dan seksama
selama
periode
anestesi
dilakukan
terhadap
kedalaman
anestesi,
kardiovaskuler yang meliputi frekuensi detak jantung, pulsus, CRT, warna
membrana mukosa, frekuensi respirasi, suhu tubuh, tekanan otot rahang,
posisi bola mata, dan refleks pupil terhadap cahaya (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri
dari jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler
adalah sebagai sistem sirkulasi (Cunningham, 2002). Pengamatan frekuensi
detak jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang
bertugas mengangkut oksigen dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh.
Pengamatan frekuensi detak jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan
menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat pada intercostae ke-3 sampai
ke-4 sebelah kiri. Pengukuran frekuensi detak jantung dapat juga dilakukan
dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham, 2002). Detak jantung
minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60 kali/menit. Detak
jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang berlebihan
atau ada gangguan. Detak jantung yang normal pada anjing adalah 60-180
kali/menit (McKelvey dan Hollingshead, 2003).
Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam
jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan saat ekspirasi. Volume udara atau
15
gas yang masuk dan keluar dari saluran respirasi disebut volume tidal,
sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya
disebut frekuensi respirasi per menit. Frekuensi respirasi normal pada anjing
trah besar adalah 15-30 kali/menit (Muir, 2000). Pengamatan frekuensi
respirasi secara sederhana dapat dilakukan dengan cara visual dengan
memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada thoracoabdominal
(Cunningham, 2002).
Suhu tubuh adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan
mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu tubuh dapat diamati dengan
menggunakan thermometer yang dimasukkan ke rektum. Selama teranestesi
anjing mengalami penurunan suhu tubuh. Hal ini disebabkan oleh ketamin
yang memiliki efek hipotermia dengan cara menekan pusat termoregulasi pada
SSP (Yanuaria dan Batan, 2002). Selain itu, abnormalitas termoregulasi yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan
oleh kehilangan panas akibat metabolisme yang menurun, penekanan pada
SSP, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot dan
kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir, 2000).
Perubahan suhu tubuh pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan
apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada anjing
adalah 37,5-39,2ºC (McKelvey dan Hollingshead, 2003).
Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi
untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat
pengukur tekanan darah. Pulsus dapat diamati dengan cara meraba arteri
16
femoralis (sebelah medial femur). Sama halnya dengan frekuensi detak
jantung, frekuensi pulsus juga akan mengalami penurunan selama teranestesi
(Yanuaria dan Batan, 2002). Peningkatan refleks baroreseptor karotid dan
peningkatan aktivitas vagal oleh xilazin akan menurunkan frekuensi detak
jantung (Rand et al., 1996). Penurunan frekuensi detak jantung akan
memperlambat aliran darah ke pembuluh darah perifer sehingga akan
mempengaruhi frekuensi pulsus, dengan demikian frekuensi pulsus akan
mengalami penurunan (Haskins et al., 1985). Peningkatan pulsus juga dapat
terjadi karena adanya hipoventilasi selama respirasi. Frekuensi normal pulsus
pada anjing adalah 65-120 kali/menit (Short, 1974).
Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna
membrana mukosa mulut setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan
jari. CRT menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada
membrana mukosa akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat
aliran darah di daerah tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan
terisi kembali oleh darah dengan cepat dan warnanya akan kembali,
menandakan bahwa jantung masih mampu untuk menghasilkan tekanan darah
yang cukup (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Nilai CRT yang lama (lebih
dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan
aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi penurunan
tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung, anestesi
yang dalam, atau karena terjadi syok (Cunningham, 2002).
17
Lokasi yang mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana
mukosa adalah daerah gusi. Warna membrana mukosa yang pucat
menandakan kejadian kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah
yang lemah akibat hewan terlalu lama dianestesi. Sianosis pada hewan selama
teranestesi menandakan terjadi gangguan respirasi atau terjadi obstruksi
saluran respirasi bagian atas dan hewan harus segera diselamatkan
(Cunningham, 2002).
Download