BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persalinan 2.1.1 Definisi Persalinan Persalinan dari segi fisik dapat digambarkan sebagai proses ketika janin, plasenta, dan membran dikeluarkan melalui jalan lahir tetapi tentu saja persalinan bukan sekadar peristiwa fisik murni. Apa yang terjadi selama persalinan dapat mepengaruhi hubungan antara ibu dan bayi, serta persalinan di masa yang akan datang (Fraser, 2009). Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin atau uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (Manuaba, 2012). Pertolongan persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi cukup bulan atau hampir cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu. Adapun menurut proses berlangsungnya persalinan dibedakan sebagai berikut: 1. Persalinan spontan yaitu bila persalinan berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri melalui jalan lahir ibu tersebut. 2. Persalinan buatan yaitu persalinan dibantu dengan tenaga dari luar misalnya ekstraksi forceps/ vakum. 3. Persalinan anjuran yaitu persalinan yang tidak dimulai dengan sendirinya tetapi baru berlangsung setelah pemecahan ketuban, pemberian pitocin atau prostaglandin (Yanti, 2009). 11 Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hak sebagai berikut: 1. Mencegah terjadinya infeksi. 2. Menerapkan metode persalinan yang sesuai dengan standar. 3. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. 4. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). 5. Memberikan injeksi vitamin K1 dan salep mata pada bayi baru lahir (Kemenkes RI, 2010). 2.1.1.1 Tujuan Asuhan Persalinan Tujuan asuhan persalinan adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui upaya yang terintegrasi dan lengkap tetapi dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang diinginkan (optimal). Setiap intervensi yang akan diaplikasikan dalam asuhan persalinan normal harus mempunyai alasan dan bukti ilmiah yang kuat tentang manfaat intervensi tersebut bagi kemajuan dan keberhasilan proses persalinan. Asuhan persalinan adalah asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan selama persalinan dalam upaya mencapai pertolongan persalinan yang bersih dan aman, dengan memberikan aspek sayang ibu dan sayang bayi. Kebijakan pelayanan asuhan persalinan: 12 a. Semua persalinan harus ditolong dan dipantau oleh petugas kesehatan terlatih. b. Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk menangani kegawatdaruratan obstetri dan neonatal harus tersedia 24 jam. c. Obat-obatan esensial, bahan dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh petugas terlatih (Prawihardjo, 2008). 2.1.1.2 Pelatihanan Asuhan Persalinan Normal (APN) Menurut Kusdyah (2008) pelatihan merupakan wadah lingkungan bagi karyawan dimana memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Pelatihan asuhan persalinan normal adalah pelatihan asuhan yang bersih dan aman dari setiap tahapan persalinan dan upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan pasca persalinan dan hipertermia serta asfiksia bayi baru lahir. Tujuan umum pelatihan asuhan persalinan normal, sebagai berikut : 1. Meningkatkan sikap positif terhadap keramahan dan keamanan dalam memberikan pelayanan persalinan normal dan penanganan awal penyulit beserta rujukannya. 2. Memberikan pengetahuan dan keterampilan pelayanan persalinan normal dan penanganan awal penyulit beserta rujukan yang berkualitas & sesuai dengan prosedur standar. 3. Mengidentifikasi praktek-praktek terbaik bagi penatalaksanaan persalinan dan kelahiran meliputi penolong yang terampil, kesiapan menghadapi persalinan dan kelahiran serta kemungkinan komplikasinya, partograf, episiotomi terbatas hanya atas indikasi dan mengidentifikasi tindakan-tindakan yang 13 merugikan dengan maksud menghilangkan tindakan tersebut (JNPK-KR, 2007). 2.1.2 Standar Persyaratan Minimal Pelayanan Persalinan Standar persyaratan minimal adalah standar yang menunjukan pada keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu. Menurut Saifuddin dkk yang dikutip oleh Siwi dan Endang (2015), standar persyaratan minimal pelayanan persalinan dibedakan atas tiga macam yaitu: 1. Standar masukan Dalam standar masukan ditetapkan persyaratan mininmal unsur masukan yang perlu disediakan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan persalinan yang bermutu, yaitu jenis, jumlah dan kulaifikasi tenaga pelaksana; jenis, jumlah dan spesifikasi sarana fisik dan peralatan, dana (modal) dan metode (keterampilan dan prosedur kerja). Untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan, standar masukan tersebut harus dapat ditetapkan. 2. Standar proses Pada standar proses ditetapkan persyaratan minimal unsur proses yang harus dilakukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, yaitu tindakan medis (medical procedures) dan tindakan non medis (non medical procedures). Standar proses adalah sesuatu yang menyangkut semua aspek pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, melakukan prosedur dan kebijaksanaan. Karena baik atau tidaknya pelayanan kesehatan sangat ditentukan 14 oleh kesesuaian tindakan dengan standar proses maka haruslah dapat diupayakan tersusunnya standar proses tersebut. 3. Standar keluaran Standar keluaran merupakan hasil akhir atau akibat dari layanan kesehatan/ persalinan. Keluaran (outcome) adalah apa yang diharapkan akan terjadi sebagai hasil dari layanan kesehatan yang diselenggarakan dan terhadap apa keberhasilan tersebut akan diukur. Untuk dapat meningkatkan pelayanan persalinan, ketiga standar ini perlu dipantau secara berkesinambungan. Apabila ditemukan penyimpangan perlu segera diperbaiki. Secara sederhana kedudukan dan peranan ke tiga standar ini dapat dilihat sebagai berikut: Proses: Masukan: Sumber daya Tindakan Keluaran: medis Tingkat kepatuhan dan (medical procedures) kesembuhan dan prasarana, dan tingkat kematian, kesakitan dana dan SOP medis (non medical menurun procedures) menurun, kepuasan pasien manusia, sarana tindakan non dan meningkat, kecacatan meningkat Gambar 2.1 Kedudukan dan peranan standar dalam pelayanan kesehatan menurut Donabedian (1980) 2.1.2.1 Tenaga Kesehatan Menurut Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2014, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan pelayanan 15 kesehatan. Tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Menurut Kemenkes RI (2010), tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan persalinan adalah dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan. 1. Dokter dan Dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG) Dokter spesilalis kebidanan dan kandungan berperan dalam memberikan pelayanan kebidanan spesialistik, juga berperan sebagai pembina terhadap jaminan kualitas pelayanan dan tenaga pelatih, karena keahliannya dibidang kebidanan dan kandungan, mereka juga berperan sebagai tenaga advokasi kepada sektor terkait di daerahnya. Keberadaan dokter spesialis sangat diharapkan, karena tanpa mereka sulit untuk dapat memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal secara komprehensif (PONED), sehingga perlu upaya pemerataan penempatannya, juga diharapkan lebih berperan dalam pembinaan kualitas pelayanan dan tenaga advokasi. (Depkes RI, 2002). Jumlah dokter umum cukup banyak, rata rata setiap puskesmas mempunyai lebih dari satu dokter umum (tidak merata). Dokter umum di puskesmas mempunyai peran dalam memberikan pelayanan kebidanan dan juga sebagai pembina peningkatan kualitas pelayanan. Selain masalah penempatan dokter umum tidak merata, masalah lainnya adalah belum semua dokter umum di puskesmas mempunyai keterampilan untuk memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal, sehingga puskesmas yang semula 16 diharapkan dapat berfungsi sebagai fasilitas kesehatan yang mampu PONED tidak tercapai (Depkes RI, 2002). 2. Bidan Ikatan Bidan Indonesia telah menjadi anggota ICM sejak tahun 1956, dengan demikian seluruh kebijakan dan pengembangan profesi kebidanan di Indonesia merujuk dan mempertimbangkan kebijakan ICM. Definisi bidan Of Midwives menurut Confederation (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan diseluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO), bahwa Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (registrasi) dan memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan, yaitu mempersaipkan kehamilan, menolong persalinan, nifas dan menyusui, pengaturan kesuburan, bayi baru lahir dan balita (Depkes RI, 2007). 2.1.2.2 Sarana dan Prasarana Pelayanan Persalinan Menurut Waharsono (2004) sarana adalah semua alat kegiatan belajar mengajar, sedangkan prasarana adalah segala sesuatu guna memperlancar jalannya proses belajar mengajar. Menurut Sagne dan Brigs dalam Latuheru (2008), sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai makna dan tujuan pelayanan kesehatan, sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses pelayanan kesehatan. Jadi sarana dan prasarana penting sekali dan merupakan syarat mutlak dalam strategi pelayanan persalinan, karena tersedianya sarana dan 17 prasarana akan mendorong tenaga kesehatan untuk memanfaatkannya untuk melaksanakan pelayanan persalinan. Menurut Kemenkes RI (2013) dalam melaksanakan pelayanan persalinan bahwa puskesmas harus memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, dimana sarana dan prasarana yang harus dimiliki puskesmas dalam mendukung penyelenggaraan PONED khusunya dalam pelayanan persalinan, antara lain : 1. Fisik gedung tempat pelayanan. 2. Fasilitas untuk pelayanan rawat inap. 3. Peralatan medis, non medis dan penunjang untuk PONED. 4. Sarana transportasi rujukan (ambulance). 5. Sarana alat komunikasi rujukan, seperti: telephone, handphone, perangkat sistem rujukan radio medik, e-rujukan dan lainnya. 2.1.2.3 Biaya Oparasional Pelayanan Persalinan Biaya operasional kesehatan adalah biaya yang bersumber dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk percepatan target prioritas nasional khususnya MDGs 4 dan MDGs 5 tahun 2015, yaitu untuk menurunkan angka kematian balita dan angka kematian ibu (AKI) serta mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi masyarkat melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya (Kemenkes RI, 2015). Pemerintah menyadari bahwa sumber biaya pemerintah daerah yang bersumber dari APBD dianggap tidak mencukupi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia secara signifikan, karena sebagian besar masih dibawah kesepakatan Bupati/ Walikota Indonesia yang menetapkan anggaran 18 kesehatan daerah sebesar 10% dari APBD. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas maka diupayakan modal pembiayaan baru yang lebih menitikberatkan kepada pembiayaan langsung dari pusat ke pusat pelayanan kesehatan berbasis komunitas di tingkat puskesmas. Pemanfaatan biaya operasional yang disinergiskan dan tidak boleh duplikasi dengan dana lainnya. Biaya operasional kesehatan di puskesmas dapat digunakan untuk : 1. Administrasi pelayanan 2. Pelaksanaan kegiatan promotive dan preventif ke luar gedung. 3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis. 4. Pelayanan obat, penyediaan obat dan bahan habis pakai. 5. Pelaksanaan rapat lokakarya mini dan musyawarah di desa. 6. Pembelian bahan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan penyuluhan. 7. Pembelian konsumsi rapat 8. Pengadaan pedoman dan media/ bahan penyuluhan pada masyarakat. 2.1.2.4 Standar Oparasional Prosedur (SOP) Pelayanan Persalinan Beberapa ahli membatasi pengertian standar, antara lain : 1. Standar adalah satu pedoman yang dijalankan untuk meningkatkan mutu menjadi lebih efektif dan efisien. 2. Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi yang dipergunakan sebagai batas penerimaan hasil suatu kegiatan. 3. Standar adalah kisaran yang masih bisa diterima. 19 4. Standar adalah rumusan penampilan atau nilai yang diinginkan dan yang mampu dicapai sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa standar adalah ukuran ideal yang ingin dicapai, sesuai dengan indikator atau parameter yang telah ditetapkan. Menurut Kurniadi (2013) standar operasional prosedur merupakan prosedur kerja/ tahapan kerja suatu tindakan profesi tertentu (dokter, bidan dan perawat), yang harus ditentukan/ ditetapkan oleh suatu organisasi yang berlaku nasional atau internasional sehingga pihak organisasi mengikuti apa yang sedang berlaku saat tertentu. Standar dalam pertolongan persalinan terdiri dari 4 standar yaitu standar 9 sampai dengan standar 12. Adapun penjelasan lebih rinci standar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Standar 9: asuhan persalinan kala I Pernyataan standar : Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan sudah selesai, kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai dengan memperhatikan kebutuhan klien selama proses persalinan berlangsung. 2. Standar 10: persalinan kala II yang aman Pernyataan standar : Bidan melakukan pertolongan persalinan yang aman dengan bersikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta memperhatikan tradisi setempat. 20 3. Standar 11: penatalaksanaan aktif persalinan kala III Pernyataan standar : Bidan melakukan penegangan tali pusat dengan benar dan membantu pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap untuk mengurangi kejadian perdarahan pasca persalinan, memperpendek kala 3 dan mencagah atonia uteri serta retensio plasenta. 4. Standar 12: penanganan kala II dengan gawat janin melalui episiotomy Pernyataan standar : Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada kala II yang lama dan segera melakukan episiotomy dengan aman untuk memperlancar persalinan diikuti dengan penjahitan perineum (JNPK-KR, 2007). Selain empat standar pertolongan persalinan normal, tenaga kesehatan di puskesmas PONED harus dapat melaksanakan standar penanganan kegawatdaratan obstetri pada pertolongan persalinan antara lain: 1. Standar 17: penanganan kegawatdaruratan pada eklampsia Pernyataan standar : Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia mengancam, serta merujuk dan atau memberikan pertolongan pertama. 2. Standar 18: penanganan kegawatdaruratan pada partus lama/ macet Pernyataan standar : Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala partus lama/ macet serta melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu atau merujuknya. 21 3. Standar 19: persalinan dengan penggunaan vakum ekstraktor Pernyataan standar : Bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum, melakukannya secara benar dalam memberikan pertolongan persalinan dengan memastikan bahwa keamanannya bagi ibu dan janin/ bayinya. 4. Standar 20: penanganan kegawatdaruratan retensio plasenta Pernyataan standar : Bidan mampu mengenali tanda retensio plasenta dan memberikan pertolongan pertama termasuk plasenta manual dan penanganan perdarahan sesuai kebutuhan klien. 5. Standar 21: penanganan perdarahan post partum primer Pernyataan standar : Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum primer) dan segera melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan perdarahan. 6. Standar 22: penanganan perdarahan post partum sekunder Pernyataan standar : Bidan mampu menganali secara tepat dan dini tanda serta gejala perdarahan post partum sekunder dan melakukan pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu dana tau merujuknya (Siwi dan Endang, 2015). 2.1.2.5 Penanganan Kegawatdaruratan Persalinan Kasus kegawatdaruratan obstetri pada persalinan adalah kasus yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan 22 kematian ibu bersalin. Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri pada persalinan secara dini sangat penting agar penangan atau pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Penanganan kegawatdaruratan obstetri adalah upaya untuk mengatasi keadaan dari kesakitan agar pasien tidak meninggal, atau memburuk keadaannya. Penanganan ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu bersalin dan menyelamatkan/ mempertahankan hidup dan mencegah cacat (Siwi dan Endang, 2015). Prinsip penanganan kegawatdarurat obstetri pada persalinan adalah: 1. Penilaian keadaan penderita Penilaian keadaan penderita adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri persalinan yang dicurigai dalam keadaan kegawatdaruratan dan membutuhkan pertolongan segera dengan mengindentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian keadaan penderita ini, anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesis yang dilakukan hanya periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. 2. Tindakan secara cepat dan tepat Melakukan tindakan secara cepat dan tepat pada kegawatdaruratan obstetric pada persalinan sangat menentukan akan kesalamatan ibu bersalin. Tindakan yang dapat dilakukan pada kegawatdaruratan pada persalinan antara lain: pemberian oksigen, cairan intravena, transfuse darah, memasang kateter kandung kemih, pemberian antibiotika dan obat pengurang rasa nyeri. 23 3. Rujukan Apabila fasilitas medik di tempat kasus obstetri diterima tidak memadai untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini kasus tidak akan ditolak. Menurut Kemenkes RI (2012) bahwa petugas kesehatan sebelum melakukan rujukan harus terlebih dahulu melakukan penanganan terhadap pasien, yaitu: 1. Melakukan pertolongan pertama dan/ atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuia indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan. 2. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam keadaan pasien gawat darurat. 3. Membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan. 2.1.2.6 Pelaksanaan Rujukan Kegawatdaruratan Persalinan Dengan adanya sistem rujukan diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu karena tindakan rujukan ditunjukan pada kasus yang tergolong berisiko tinggi. Oleh karena itu, kelancaran rujukan dapat menjadi faktor yang menentukan untuk menurunkan angka kematian ibu bersalin terutama dalam mengatasi keterlambatan.Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki 24 kesiapan untuk merujuk ibu ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika penghadapi penyulit. Jika bidan lemah atau lalai dalam melakukannya akan berakibat fatal bagi keselamatan ibu bersalin (Siwi dan Endang, 2015). Menurut Kemenkes RI (2012) agar pelaksanaan rujukan terlaksana dengan baik, maka bidan harus memperhatikan persiapan rujukan disingkat “BAKSOKU”, yaitu : a. B (bidan) Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegawatdaruratan. b. A (alat) Bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan, seperti spuit, infus set, tensi meter dan stetoskop. c. K (keluarga) Beritahu keluarga tentang kondisi terakhir klien (ibu) dan alasan mengapa ia dirujuk, sehingga suami dan keluarga yang lain harus menemani ibu (klien) ke tempat rujukan. d. S (surat) Beri surat ke tempat rujukan yang berisi identitas ibu (klien), alasan mengapa dirujuk, uraian hasil rujukan, asuhan atau obat-obatan yang telah diterima ibu (klien). e. O (obat) Bawa obat-obat essential diperlukan selama perjalanan merujuk. 25 f. K (kendaraan) Siapkan kendaraan yang cukup baik untuk memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang nyaman dan dapat mencapai tempat rujukan dalam waktu yang cepat. g. U (uang) Ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah yang cukup untuk membeli dan bahan kesehatan yang diperlukan di tempat rujukan. 2.2 Puskesmas PONED 2.2.1 Definisi Puskesmas PONED Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/ masyarakat, bidan desa dan puskesmas. Puskesmas PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri neonatal emergensi/ komplikasi tingkat dasar dalam 24 jan sehari dan 7 hari seminggu. Agar Puskesmas mampu PONED dapat memberikan kontribusi pada upaya penurunan AKI dan AKN dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan maternal neonatal emergensi, maka fungsinya perlu dilaksanakanan secara optimal. Menurut the International Federal on of Gynecology Obstetrics (FIGO) terdapat pintu untuk keluar dari kematian ibu, yaitu: status perempuan dan kesetaraan gender, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi, persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan yang berkompoten, PONED-PONEK (Kemenkes RI, 2013). 26 2.2.2 Tujuan Puskesmas PONED Adapun tujuan puskesmas PONED, antara lain : 1. Mampu menerima kasus ibu dan bayi normal. 2. Mampu menangani kasus-kasus gawat darurat atau emergensi maternal dan neonatal dasar secara tepat dan cepat. 3. Melaksanakan rujukan secara cepat dan tepat untuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani di puskesmas. 4. Bagi puskesmas PONED yang tim PONED-nya tidak lengkap lagi, tujuannya adalah penanganan kasus disesuaikan dengan kewenangannya. Dalam hal ini melakukan stabilisasi dan segera melakukan rujukan secara benar, cepat dan tepat. 5. Melakukan pelayanan tindak lanjut pasca rujukan setelah kembali dari tempat rujukan (rumah sakit) (Kemenkes RI, 2013). 2.2.3 Kriteria Puskesmas PONED Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.02.03/11/1911/2013 tentang pedoman penyelenggaraan Puskesmas mampu Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED), agar puskesmas mampu PONED sebagai salah satu simpul dari sistem penyelenggaraan pelayanan maternal neonatal emergensi dapat memberikan kontribusi pada upaya penurunan AKI dan AKN maka perlu dilaksanakan dengan baik agar dapat dioptimalkan fungsinya. Adapun kriteria Puskesmas mampu PONED adalah : 27 1. Puskesmas rawat inap yang dilengkapi fasilitas untuk pertolongan persalinan, tempat tidur rawat inap sesuai kebutuhan untuk pelayanan kasus obstetri dan neonata emergensi/ komplikasi. 2. Letaknya strategis dan mudah diakses oleh puskesmas/ fasyankes non PONED dari sekitarnya. 3. Puskesmas telah mampu berfungsi dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan tindakan mengatasi kegawatdaruratan, sesuai dengan kompetensi dan wewenangnya serta dilengkapi dengan sarana prasarana yang dibutuhkan. 4. Puskesmas telah dimanfaatkan masyarakat dalam/ luar wilayah kerjanya sebagai tempat pertama mencari pelayanannya, baik rawat jalan ataupun rawat inap serta persalinan normal. 5. Mampu menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan standar. 6. Jarak tempuh lokasi pemukiman sasaran, pelayanan dasar dan puskesmas non PONED ke Puskesmas mampu PONED paling lama 1 jam dengan transportasi umum mengingat waktu paling lama untuk mengatasi perdarahan 2 jam dan jarak tempuh Puskesmas mampu PONED ke rumah sakit minimal 2 jam. 7. Mempunyai Tim inti yang sekurang-kurangnya seorang Dokter dan seorang Bidan yang terlatih GDON (gawat darurat obstetri dan neonatal) dan seorang Perawat terlatih PPGDON (pelatihan penanganan gawat darurat obstetri dan neonatal), bersertifikat dan mempunyai kompetensi PONED, serta tindakan mengatasi kegawatdaruratan medik umumnya dalam rangka mengkondisikan 28 pasien emergensi/ komplikasi siap dirujuk dalam kondisi stabil. Tenaga kesehatan yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus yang sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Diklat Tenaga Kesehatan yang telah mendapatkan spesifikasi sebagai penyelenggara Diklat PONED. 8. Mempunyai cukup tenaga Dokter, Bidan dan Perawat lainnya, yang akan mendukung pelaksanaan fungsi PONED di Puskesmas/ Fasyankes tingkat dasar. Calon tenaga pendukung PONED disiapkan oleh Kepala Puskesmas, dibantu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. 9. Difungsikan sebagai pusat rujukan antara kasus obstetri dan neonatal ememrgensi/komplikasi, dalam satu regional wilayah rujukan kabupaten. Kasus emergensi neonatal 80% dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar yang berkualitas sesuai standar, 20% perlu mendapatkan pelayanan rujukan yang berkualitas. Adapun batasan kewenangan Puskesmas mampu PONED terlampir. 10. Puskesmas telah mempunyai peralatan medis, non medis, obat-obatan dan fasilitas tindakan medis serta rawat inap, minimal untuk mendukung penyelenggaraan PONED. Adapun peralatan dan obat-obatan Puskesmas mampu PONED terlampir. 11. Kepala puskesmas mampu PONED sebagai penanggungjawab program harus mempunyai kemampuan manajemen penyelenggaraan PONED. 12. Puskesmas mampu PONED mempunyai komitmen untuk menerima rujukan kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dari Fasyankes di sekitarnya. 29 13. Mempunyai hubungan kerjasama dengan rumah sakit terdekat dan dokter spesialis obgyen (SpOG) dan spesialis anak (SpA). 14. Adanya komitmen dari para stakeholders dengan upaya untuk memfungsikan Puskesmas mampu PONED dengan baik, yaitu : a. RS PONEK terdekat baik milik Pemerintah maupun Swasta, bersedia menjadi pengampu dalam pelaksanaan Persalinan di Puskesmas mampu PONED. b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota bersama RS Kabupaten/ Kota dan RS PONEK terdekat dalam membangun sistem rujukan dan pembinaan medis yang berfungsi efektif dan efisien. c. Adanya komitmen dukungan dari BPJS kesehatan untuk mendukung kelancaran pembiayaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dalam ragka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). d. Dukungan Bappeda dan Biro Keuangan Pemda dalam pengintegrasian perencanaan pembiayaan Puskesmas mampu PONED dalam sistem yang berlaku. e. Dukungan Badan Kepegawaian Daerah dalam kesinambungan keberadaan tim PONED di Puskesmas. f. Dukungan politis dari Pemerintah Daerah dalam bentuk regulasi (Perbup, Perwali atau SK Bupati/ Walikota) dalam mempersiapkan sumber daya dan atau dana operasional untuk berfungsinya Puskesmas mampu PONED secara efektif dan efisien. 30 g. Seluruh petugas Puskesmas mampu PONEK melakukan pelayanan dengan nilai-nilai budaya: kepuasan pelanggan adalah kepuasan petugas kesehatan Puskesmas, berkomitmen selalu memberi yang terbaik, memberi pelayanan dengan sepenuh hati, selalu memberikan yang terbaik pada setiap pelanggan (Kemenkes RI, 2013). 2.2.4 Batasan Kewenangan Puskesmas PONED Terselengaranya pelayanan di Puskesmas mampu PONED yang bermutu dan professional perlu dilakukan pembinaan baik terhadap puskesmas, Dinas Kabupaten/ Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi. Pembinaan ini dilakukan secara berjenjang dan simultan dengan melibatkan Lintas Program dan Lintas Sektor. Adapun batasan kewenangan menangani kasus maternal adalah : 1. Perdarahan pada kehamilan muda 2. Perdarahan post partum 3. Hipertensi dalam kehamilan 4. Persalinan macet 5. Ketuban pecah sebelum waktunya dan sepsis. 6. Infeksi nifas Sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan standarisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih selalu terdapat kasus maternal yang harus mendapatkan 31 pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri pada persalinan memerlukan tempat rujukan untuk melakukan stabilisasi, setelah itu pengobatan dan tindakan kasus harus dikerjakan di fasilitas pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun tempat rujukan antara puskesmas. Adapaun kasus-kasus yang harus dirujuk ke Rumah Sakit sebagai berikut : 1. Ibu bersalin dengan panggul sempit 2. Ibu bersalin dengan riwayat bedah sesar 3. Perdarahan ante partum 4. Preeklampsia dan eklampsia 5. Ketuban pecah disertai dengan keluarnya meconium kental. 6. Ibu bersalin dengan tinggi fundus uteri 40 cm atau lebih (mikrosemia, polihidromnion dan kehamilan ganda (Gemeli). 7. Primipara pada fase aktif kala I persalinan dengan penurunan kepala 5/5. 8. Ibu hami dengan anemia berat. 9. Ibu hamil dengan disproposisi kepala panggul. 10. Ibu hamil dengan penyakit penyerta yang mengancan jiwa (Diabetes Millitus dan kelainan jantung) (Kemenkes RI, 2013). 2.2.5 Sistem Rujukan Puskesmas PONED Kesiapan untuk merujuk ibu dan bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu menjadi syarat bagi keberhasilan upaya penyelematan. 32 Sistem rujukan adalah peneyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Sistem pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan. Setiap kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke puskesmas PONED harus dikelola sesuai dengan prosedur yang tetap. Setelah diketahui kondisi pasien, ditentukan apakah pasien akan ditangani di tingkat puskesmas PONED untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratan (Mubarak, 2012). Kasus yang dirujuk ke puskesmas PONED, kemungkinan berasal dari : 1. Rujukan masyarakat a. Datang sendiri sebagai pasien perorangan atau keluarga. b. Diantar/dirujuk oleh kader Posyandu, dukun bayi, dan lainnya. c. Dirujuk dari institusi masyarakat, seperti Poskesdes, polindes dll. 2. Rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama dari wilayah kerja puskesmas mampu PONED, antara lain : a. Unit rawat jalan puskesmas, puskesmas pembantu/keliling. b. Praktek dokter atau bidan mandiri c. Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama lainnya. 3. Rujukan dari puskesmas sekitar (Mubarak, 2012). Adapun alur rujukan di puskesmas mampu PONED adalah sebagai berikut: 33 Kasus Datang Wilayah Pusk. perlu rujukan Luar wilayah Pusk. perlu Puskesmas Mampu PONED Pemeriksaan fisik dan penunjang Diagonsa dan Assesment apakah kasus dapat ditangani Kasus dapat ditangani Tim PONED Tindakan / Yankes sesuai SOP dan bimbingan kemandirian keluarga Kasus dapat ditangani dengan tuntunan dari RS rujukan Kasus tidak dapat ditangani TIM PONED Tindakan / Yankes sesuai SOP dan bimbingan RS rujukan terdekat melalui komunikasi radio-medik atau e-health Dirujuk ke RS rujukan terdekat Hasil money, pasien dikembalikan ke puskesmas Money hasil tindakan yankes di Puskesmas Pasien sembuh, pulang, dilayani Puskesmas Belum sembuh, dirujuk ke RS rujukan Gambar 2.2 Alur rujukan di Puskesmas PONED 34 Kebutuhan merujuk pasien tidak hanya dalam kondisi kegawatdaruratan saja, akan tetapi juga pada kasus yang tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan rawat inap karena tenaga kesehatan tidak mampu melakukan dan atau peralatan yang diperlukan tidak tersedia. Khusus untuk pasien/ ibu bersalin dalam kondisi sakit cukup berat dan atau kegawatdaruratan medik, proses rujukan mengacu pada prinsip utama, yaitu : 1. Ketepatan menentukan diagnosis dan menyusun rencana rujukan yang harus dapat dilaksananakan secara efektif dan efisien, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan tenaga dan fasilitas pelayanan. 2. Kecepatan melakukan persiapan rujukan dan tindakan secara tepat sesuai rencana yang disusun. 3. Menuju/ memilih fasilitas rujukan terdekat secara tepat dan mudah dijangkau dari lokasi (Kemenkes RI, 2013). 2.2.6 Hambatan dan Kendala di Puskesmas PONED Hambatan dan kendala puskesmas dalam penyelenggaraan PONED, yaitu 1. Mutu SDM yang rendah 2. Sarana dan prasarana yang kurang 3. Keterampilan yang kurang 4. Koordinasi antara puskesmas PONED dan rumah sakit PONEK dengan puskesmas, non PONED belum maksimal. 5. Kebijakan yang kontradiktif 6. Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai (Mubarak, 2012). 35 2.3 Kerangka Pikir Adapun kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Input : Proses : Output : 1. Tenaga kesehatan 2. Sarana dan prasarana 3. Pendanaan 4. SOP 1. Menerima rujukan persalinan dari fasilitas rujukan dibawahnya 2. Penanganan kegawatdaruratan persalinan 3. Pelaksanaan rujukan kegawatdaruratan persalinan Menurunkan angka kematian ibu (AKI) Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir di atas menggambarkan bahwa input (tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, dan pendanaan) akan mempengaruhi proses dari pelaksanaan pelayanan persalinan, dan akan mempengaruhi output dari kesesuaian pelaksanaan pelayanan persalinan berdasarkan kriteria puskesmas PONED. 1. Masukan (input) adalah ketersediaan SDM atau tenaga kesehatan pelaksana pelayanan persalinan yang terdiri dari tenaga kesehatan terlatih APN dan PONED, ketersediaan sarana dan prasarana di Puskesmas yaitu ketersediaan peralatan kesehatan, ketersediaan obat-obatan, ketersediaan sarana transportasi rujukan dan ketersediaan alat komunikasi, dan ketersediaan SOP pelaksanaan pelayanan persalinan di puskesmas PONED. 2. Proses (process) adalah menerima rujukan persalinan dari fasilitas rujukan dibawahnya, penanganan kegawatdaruratan persalinan dan kegawatdaruratan persalinan ke RS PONEK. 3. Keluaran (Output) adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI). 36 merujuk