BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penetapan UU No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 oleh pemerintah, mengenai Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, berimplikasi pada tuntutan otonomi yang lebih luas dan akuntabilitas publik yang nyata yang harus diberikan kepada pemerintah daerah (Halim, 2001:233). Selanjutnya, Undang-Undang ini diganti dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004. Kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (kepada pemerintah pusat) ke pertanggungjawaban horisontal (kepada masyarakat melalui DPRD). Pengelolaan pemerintah daerah yang berakuntabilitas, tidak bisa lepas dari anggaran pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardiasmo (2002b:65), yang mengatakan wujud dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, adil dan merata untuk mencapai akuntabilitas publik. Anggaran diperlukan dalam pengelolaan sumber daya tersebut dengan baik untuk mencapai kinerja yang diharapkan oleh masyarakat dan untuk menciptakan akuntabilitas terhadap masyarakat. Lingkup anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap akuntabilitas 1 pemerintah, sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, anggaran merupakan dokumen/kontrak politik antara pemerintah dan DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2002a:65). Selanjutnya, DPRD akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran. Bentuk pengawasan ini sesuai dengan agency theory yang mana pemerintah sebagai agent dan DPRD sebagai principal. Anggaran merupakan alat untuk mencegah informasi asimetri dan perilaku disfungsional dari agent atau pemerintah daerah (Yuhertiana, 2003) serta merupakan proses akuntabilitas publik (Bastian, 2001). Akuntabilitas melalui anggaran meliputi penganggaran sampai dengan pelaporan anggaran. Selain itu, anggaran merupakan elemen penting dalam sistem pengendalian manajemen karena anggaran tidak saja sebagai alat perencanaan keuangan, tetapi juga sebagai alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja dan motivasi (Chow et al., 1988 dalam Suhartono, 2006; Antony dan Govindarajan). Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dari uang publik (Mardiasmo, 2002a:61). Penganggaran sektor publik terkait dalam proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. 2 Banyak aspek yang muncul dari adanya reformasi keuangan daerah. Namun, yang paling umum menjadi sorotan bagi pengelola keuangan daerah adalah adanya aspek perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD). Perhatian utama adalah adanya paradigma baru dalam manajemen anggaran daerah (Halim, 2001: 16). Paradigma yang menuntut lebih besarnya akuntabilitas dan transparansi dari pengelolaan anggaran, dan dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget (Yuwono dkk, 2005: 63). Salah satu tipe proses penganggaran adalah partisipasi penganggaran. Partisipasi penganggaran merupakan proses yang menggambarkan individuindividu terlibat dalam penganggaran dan mempunyai pengaruh terhadap target anggarannya dan perlunya penghargaan atas pencapaian target anggaran tersebut (Brownell, 1982 dalam Falikhatun, 2007). Dalam konteks pemerintah daerah, penyusunan APBD dimulai dengan penganggaran di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Manajer publik tingkat menengah dan bawah pada masing-masing SKPD seperti kepala dinas, kepala bidang/subdinas, dan kepala subbidang/seksi akan terlibat dalam penganggaran tersebut. Selanjutnya Anthony dan Govindradjan (2002) menyatakan bahwa mekanisme anggaran akan mempengaruhi perilaku bawahan yaitu mereka akan merespon positif atau negatif tergantung pada penggunaan anggaran. Bawahan dan atasan akan berperilaku positif apabila tujuan pribadi bawahan dan atasan sesuai dengan tujuan organisasi. Selanjutnya bawahan akan berperilaku negatif apabila anggaran tidak diadministrasikan dengan baik, sehingga bawahan dapat 3 menyimpang dari tujuan organisasi. Perilaku dysfunctional ini merupakan perilaku bawahan yang mempunyai konflik dengan tujuan organisasi (Hansen dan Mowen,1997 dalam Falikhatun, 2007). Penelitian mengenai penganggaran pada organisasi sektor swasta yang murni berorientasi pada bisnis atau laba (pure profit organization) memang telah banyak dilakukan. Namun, hasil penelitian pada organisasi yang murni mencari laba tidak semuanya dapat diperlakukan sama pada organisasi sektor publik. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Beberapa penelitian anggaran di bidang sektor publik yang telah dilakukan antara lain oleh Johnson (1982) menggunakan pendekatan ethnometodologi dalam penelitian perilaku anggaran, Gordon dan Sellers (1984) dalam Rahayu (2007) membuktikan bahwa sistem informasi akuntansi sejalan dengan sistem penganggaran organisasi, Munawar (2006) menunjukkan bahwa karakteristik tujuan anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku dan sikap aparat daerah. Riharjo (2001) melakukan penelitian pada organisasi sektor publik menemukan bahwa interaksi antara penganggaran partisipatif dan struktur desentralisasi organisasi secara signifikan mempengaruh kinerja manajerial. Demikian juga dengan Winarti (2003) yang melakukan penelitian di sektor publik menyimpulkan bahwa partisipasi memberikan pengaruh signifikan terhadap prestasi kerja dan kepuasan kerja. Namun anggaran partisipatif dapat pula menimbulkan permasalahan, antara lain (1) atasan atau bawahan akan menetapkan standar anggaran yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, (2) bawahan akan membuat budgetary slack dengan 4 cara mengalokasikan sumber dari yang dibutuhkan, dan (3) terdapat partisipasi semu (Hansen dan Mowen,1997 dalam Falikhatun, 2007). Masalah yang sering muncul dari adanya keterlibatan manajer tingkat bawah/menengah dalam penganggaran adalah penciptaan budgetary slack. Budgetary slack biasanya dilakukan dengan meninggikan biaya atau menurunkan pendapatan dari yang seharusnya, supaya anggaran mudah dicapai. Indikasi terjadinya budgetary slack pada APBD dapat dilihat dari adanya sumber penerimaan yang bersumber dari Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang kemungkinan diperoleh dari realisasi pendapatan yang lebih besar dari anggaran, atau dari efisiensi penyerapan anggaran belanja. Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten Bangli tahun 2008 mengindikasikan hal tersebut seperti tabel 1.1 Tabel 1.1 Ringkasan Anggaran dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2008. No. Uraian Jumlah (Rp.) Anggaran Realisasi Bertambah (Berkurang) (Rp.) % 1. Pendapatan 419.275.468.455,50 432.453.519.108,28 13.178.050.652,78 103,14% 2. Belanja 453.655.727.958,57 409.701.611.064,00 (43.954.116.894,57) 90,31% 3. Surplus/(defisit) (34.380.259.503,07) 22.751.908.044,28 57.132.167.547,35 -66,18% 4. Pembiayaan neto 34.380.259.503,07 34.380.259.503,07 0,00 100,00% 0,00 57.132.167.547,35 57.132.167.547,35 5. SiLPA Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli, 2009 Berdasarkan tabel 1.1, realisasi pendapatan sebesar 103,14 persen berarti bahwa realisasi pendapatan lebih besar dari yang dianggarkan. Hal ini mungkin disebabkan pada saat penganggaran bawahan memberikan informasi yang bias 5 kepada atasan dengan cara melaporkan pendapatan yang lebih rendah sehingga anggaran mudah dicapai. Indikasi lainnya yaitu realisasi belanja sebesar 90,31 persen, ini berarti bahwa realisasi belanja lebih rendah dari yang dianggarkan. Hal ini mungkin terjadi karena efisiensi atau akibat penganggaran belanja yang longgar. Sedangkan realisasi pembiayaan neto sebesar 100% ini berarti bahwa realisasi pembiayaan sesuai dengan yang dianggarkan. Ketiga komponen tersebut menyebabkan realisasi SiLPA menjadi Rp. 57.132.117.547,35 dimana SiLPA tahun 2008 ini akan digunakan sebagai sumber penerimaan pembiayaan anggaran periode berikutnya. Para peneliti akuntansi menemukan bahwa budgetary slack dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk diantaranya partisipasi bawahan dalam penganggaran (Yuwono, 1999). Penelitian yang menguji hubungan partisipasi dengan budgetary slack masih menunjukkan hasil yang bertentangan. Young dan Merchant (1985) dalam Falikhatun (2007) telah menguji secara empiris bahwa budgetary slack terjadi karena bawahan memberi informasi yang bias kepada atasan dengan cara melaporkan biaya yang lebih besar atau melaporkan pendapatan yang lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karena adanya keinginan untuk menghindari resiko, bawahan yang terlibat dalam penganggaran cenderung untuk melakukan budgetary slack. Semakin tinggi resiko, bawahan yang berpartisipasi dalam penganggaran akan melakukan budgetary slack. Penelitian-penelitian lain yang berfokus pada masalah-masalah yang berkaitan dengan penganggaran seperti partisipasi, budgetary slack, kinerja dan hal lainnya, khususnya dalam domain akuntansi keperilakuan antara lain 6 dilakukan oleh Kenis, (1979) dalam Suhartono (2006); Brownell dan McInnes, (1986) dalam Nor (2007) dan Indriantoro (1993). Beberapa peneliti lainnya meneliti tentang anggaran dengan mengadopsi pendekatan kontijensi antara lain oleh Brownell (1982) dalam Falikhatun (2007) dan Chong dan Chong (2002). Pendekatan kontijensi menyebabkan adanya variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel moderating atau variabel intervening. (Rahayu : 2007) menemukan bahwa budgetary slack dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk diantaranya partisipasi bawahan dalam penganggaran. Dunk (1993) dalam Darlis (2002), meneliti pengaruh informasi asimetris, dan budget empashis terhadap hubungan antara partisipasi penganggaran dengan budgetary slack. Hasil temuannya, budget emphasis dan informasi asimetris mempengaruhi bawahan yang berpartisipasi untuk melakukan budgetary slack. Analisisnya menunjukkan budgetary slack akan rendah bila partisispasi penganggaran, informasi asimetris, dan budget emphasis tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran menurunkan budgetary slack, sedangkan Young (1985) dalam Darlis (2002) menguji secara empiris pengaruh informasi pribadi terhadap kapabilitas produktif, risk preference, dan partisipasi pada budgetary slack. Hasilnya menunjukkan bahwa, karena adanya keinginan untuk menghindari resiko, bawahan yang terlibat dalam penganggaran cenderung melakukan budgetary slack untuk meminimalkan resikonya. Temuan ini menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran akan meningkatkan budgetary slack. Hasil temuan yang menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara peneliti satu dengan yang lainnya, menunjukkan kemungkinan adanya variabel lain yang 7 mempengaruhi hubungan antara partisipasi penganggaran dengan budgetary slack. Govindarajan (1986) dalam Suhartono (2006) menyatakan bahwa perbedaan hasil penelitian tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan kontijensi. Hal ini didukung oleh Gozhali (2006:163) yang menyatakan kemungkinan belum adanya kesatuan hasil penelitian mengenai anggaran dan implikasinya, disebabkan adanya faktor-faktor tertentu (situational facors) atau yang lebih dikenal dengan istilah variabel kontijensi (contingency variable). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel komitmen organisasi, dan gaya kepemimpinan untuk mencoba menyelidiki pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap hubungan antara partisipasi penganggaran dan budgetary slack. Komitmen organisasi dipilih karena asumsi bahwa komitmen organisasi dapat mempengaruhi motivasi individu untuk melakukan suatu hal. Komitmen organisasi merupakan variabel yang memegang peranan penting dalam hubungan antara partisipasi pengangaran dengan budgetary slack. Menurut Wiener (1982) dalam Darlis (2002), komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan, serta lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Budgetary slack akan dapat dihindari dengan adanya komitmen yang tinggi, sedangkan apabila individu memiliki komitmen yang rendah terhadap organisasi maka akan memungkinkan adanya budgetary slack. Pada konteks pemerintah daerah, aparat yang berpartisipasi dalam penganggaran akan lebih bertanggung jawab jika didukung dengan komitmen aparat yang tinggi terhadap (instansi) pemerintah daerah. 8 Aparat akan lebih mementingkan kepentingan organisasi dibanding kepentingannya sendiri. Hal ini akan mendorong aparat untuk menyusun anggaran sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi sehingga akan mengurangi budgetary slack. Gaya kepemimpinan adalah variabel lain yang diusulkan dalam penelitian ini. Menurut Fidler dan Chemers dalam Sumarno (2005:589) gaya kepemimpinan adalah derajat hubungan antara seseorang dan teman sekerjanya. Decoster dan Fertakis (1968) dalam Nor (2007:7) membagi gaya kepemimpinan menjadi dua dimensi yaitu pertama, struktur inisiatif (initiating structure) yang menunjukkan perilaku pemimpin yang dihubungkan dengan kinerja pekerjaan. Kedua, gaya kepemimpinan pertimbangan (consideration) yang menunjukkan hubungan dekat, saling mempercayai dan saling memperhatikan antara pimpinan dan bawahan. Gaya kepemimpinan yang tepat adalah yang diarahkan pada keterbukaan dan lebih bersifat humanis yang oleh Decoster dan Fertakis disebut dengan consideration (Sumarno, 2005:589). Penelitian yang dilakukan oleh Catur (2008) menunjukkan hasil bahwa gaya kepemimpinan dapat memoderasi hubungan antara partisipasi penganggaran dan kinerja manajerial. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarno (2005) dan Nor (2007) menunjukkan hasil yang berbeda, bahwa gaya kepemimpinan memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan antara partisipasi penganggaran dan kinerja manajerial, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Arfan Ikhsan (2007) menunjukkan hasil bahwa gaya kepemimpinan memoderasi pengaruh partisipasi anggaran terhadap budgetary slack. 9 Sebagian besar penelitian mengenai pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dilakukan pada sektor swasta. Penelitian mengenai budgetary slack di sektor publik khususnya pemerintah daerah belum banyak dilakukan. Padahal di organisasi sektor publik yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, orsospol, yayasan, LSM, dan koperasi mempunyai karakteristik anggaran yang sangat berbeda, baik sifat, penyusunan maupun pelaporannya (Falikhatun, 2007). Perbedaan dalam perencanaan dan persiapan anggaran sektor publik serta adanya pendanaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung menyebabkan ketergantungan keuangan yang menimbulkan terjadinya slack (Mardiasmo 2002b:155). Hal tersebut mendorong peneliti untuk meneliti hubungan antara partisipasi penganggaran dengan budgetary slack pada organisasi sektor publik, khususnya pemerintah daerah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli? 2) Apakah komitmen organisasi mampu memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli? 3) Apakah gaya kepemimpinan mampu memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli? 10 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk menguji apakah partisipasi penganggaran berpengaruh secara positif signifikan terhadap budgetary slack pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli. 2) Untuk menguji apakah komitmen organisasi mampu memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli. 3) Untuk menguji apakah gaya kepemimpinan mampu memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli. 1.3 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan serta menambah perbendaharaan teori untuk memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya, khususnya tentang pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dengan komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan sebagai variabel pemoderasi. 2) Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada Pemerintah Daerah akan pentingnya peranan setiap individu dalam 11 pencapaian tujuan organisasi dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai pertimbangan pembuatan kebijakan di lingkungan Pemerintah Daerah. 1.4 Sistematika Penyajian Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana setiap bab saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan disusun secara terperinci dan sistematis untuk memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah membahas skripsi ini. Sistematika dari masing-masing bab dapat dirinci sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penyajian. Bab II Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Bab ini berisi uraian tentang teori-teori atau konsep yang relevan dengan judul penelitian sebagai acuan dan landasan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian meliputi: pengertian, fungsi, tujuan, prinsip, jenis anggaran sektor publik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, partisipasi penganggaran, budgetary slack, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan, rumusan hipotesis dan pembahasan singkat mengenai penelitian sebelumnya. Bab III Metode Penelitian Bab ini berisi uraian tentang metoda penelitian yang digunakan dalam pemecahan masalah meliputi: lokasi penelitian, objek penelitian, responden penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional 12 variabel, jenis data, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian Bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian dan pembahasan meliputi pembahasan mengenai pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dengan komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli Bab V Simpulan dan Saran Bab ini merupakan bab penutup yang berisi uraian tentang simpulan akhir dari pembahasan yang menjadi penyelesaian atas permasalahan, dan saran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli. 13