perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGARUH PEMBERIAN KETOTIFEN TERHADAP KADAR INTERLEUKIN 6 SERUM DAN SKOR NYERI PADA OPERASI MASTEKTOMI TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama: Ilmu Biomedik Oleh Dedhi Subandriyo S501008013 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2014 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Segala puji syukur ke hadirat Alloh, Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian Tesis dengan judul ”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”. Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Universitas Sebelas Maret ini. 2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret. 4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran Keluarga dan selaku pembimbing metodologis yang dengan kesabarannya membimbing dan meneliti Tesis ini sehingga menjadi lebih baik. 5. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada program Magister Kedokteran Keluarga. 6. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. 7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM dan selaku pembimbing substansi , atas kesediaannya meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 8. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan Intensive Care UNS. 9. Kedua orang tua penulis, Bapak Endi Suwadji dan Ibu Titik Murgiati yang sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan. commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10. Istri tercinta dan tersayang, Nurul Indarti Setyaningrum, yang tak pernah lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan perhatiannya, serta anak-anaku, Ummu Abdillah Asy Syifa dan Abdurrohman Afifi yang menjadikan hidup lebih berwarna selama penulis menjalani pendidikan. 11. Kakak-kakakku yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 12. Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu dan mendukung, terkhusus dr. Frans Kausario dan dr. Arya Windhi yng telah membantu dalam proses sampling. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca penulis harapkan sehingga lebih sempurna. Surakarta, Agustus 2014 Dedhi Subandriyo, dr commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACK Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito, dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Background : Postsurgical chronic pain is the consquence of exaggerate and ongoing inflammation. Inflammatory processes after surgical incision are maintained through the release of inflammatory mediators by resident cell, including mast cell. Ketotifen as a mast cell stabilizer, had been proven inhibits mast cell degranulation, released several mediator, including proinflammatory cytokine interleukin 6.. Purpose : To proof effect of ketotifen in reduce interleukin 6 serum level and pain score in mastectomy procedure. Methods : This is a clinical study setting withvdouble blind randomized controlled trial. Thirty patients were randomly devided in to two groups. K1, Ketotifen group, fiveteen patients with mastectomy procedure and get oral ketotifen. K2, fiveteen patients and get placebo. Before and on day 3th post operative, the patinets were examinated interleukin 6 serum level and pain score. The alteration il-6 serum level and pain score were analyzed with independent ttest. Result : There was significant differences (p < 0.05), the alteration il-6 serum level and pain score of the ketotifen treated group (K1) was lower than control group (K1). Conclusion Ketotifen play a role in preventing post operative pain, however administering oral ketotifen effective control exceed inflammatory response in post operativ which marked with inhibition interleukin 6 product . Keywords : Ketotifen, interleukin-6, post operative pain. commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito. dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Latar Belakang : Nyeri kronis pasca bedah merupakan salah satu konskuensi dari adanya proses inflamasi yang berlebihan. Proses inflamasi pasca bedah diawali dengan pelepasan mediator inflamasi oleh sel residen, dimana salah satunya adalah sel mast. Ketotifen sebagai agent stabilisasi sel mast, telah terbukti mencegah terjadinya degranulasi sel mast yang akan melepaskan berbagai mediator, termasuk sitokin proinflamasi interleukin 6. Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi Metode : Uji klinik dengan desain double blind randomized controlled trial. 30 pasien yang menjalani operasi mastektomi dibagi menjadi dua kelompok. K1, kelompok ketotifen terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi dengan pemberian ketotifen oral perioperatif, dan K2, kelompok kontrol terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi yang diberikan plasebo oral. Sebelum operasi dan hari ketiga setelah operasi pasien di periksa kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri. Perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri sebelum dan setelah operasi yang didapat di analisa dengan uji statistik independent t-test. Hasil : Ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05) dari perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri pada kelompok yang diberi ketotifen yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan : Ketotifen mempunyai peran dalam pencegahan nyeri paska operasi, dimana ketotifen efektif mengendalikan reaksi inflamasi yang berlebihan paska operasi yang ditandai dengan hambatan produksi interleukin 6. Kata Kunci : Ketotifen, interleukin-6, nyeri paska operasi. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... i PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS ..................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................................... vii DAFTAR ISI.................................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xiv BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6 1. Tujuan Umum ......................................................................................... 6 2. Tujuan Khusus ........................................................................................ 6 D. Manfaat penelitian ....................................................................................... 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7 A. Kajian Teori ................................................................................................. 7 1. Nyeri ....................................................................................................... 7 a. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri ...................................................... 7 b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi............................................................. 10 c. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri............................................ 11 d. Nyeri Kronis Pasca Bedah ................................................................. 28 e. Proses Penyembuhan Luka ................................................................ 34 f. Pengukuran Intensitas Nyeri .............................................................. 37 2. Interleukin 6 ............................................................................................ 39 3. Ketotifen ................................................................................................. 41 a. Struktur Kimia ................................................................................... 42 b. Mekanisme Kerja ............................................................................... 43 commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id c. Farmakokinetik............................................................ ...................... 44 d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian .................................................. 44 e. Efek Samping .................................................................................... 45 4. Sel Mast .................................................................................................. 46 B. Kerangka Teori ............................................................................................ 53 C. Kerangka Konsep ......................................................................................... 54 D. Hipotesis ...................................................................................................... 55 BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 56 A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 56 B. Jenis Penelitian............................................................................................. 56 C. Populasi dsn Besar Sampel .......................................................................... 57 D. Variabel Penelitian ....................................................................................... 58 E. Definisi Operasional .................................................................................... 58 F. Instrumen Penelitian .................................................................................... 59 G. Alur Penelitian ............................................................................................. 60 H. Analisa Penelitian ........................................................................................ 62 I. Perijinan Penelitian ...................................................................................... 62 J. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian ................................................. 63 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………….. ....................... 64 A. Hasil Penelitian ........................................................................................... 64 B. Analisis Data………………………………………………. ....................... 65 C. Pembahasan………………………………………………... ....................... 69 D. Keterbatasan Penelitian……………………………………… .................... 71 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 72 A. Kesimpulan ................................................................................................. 72 B. Saran ……………………………………………………… ........................ 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 73 LAMPIRAN commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat ..................... 15 Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi .................................................... 16 Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid .................................................................. 20 Gambar 2.4 Biosintesis leukotriene ................................................................ 22 Gambar 2.5 Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi ......................................... 24 Gambar 2.6 Respon mediator inflamasi .......................................................... 32 Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale ...................................................... 36 Gambar 2.8 Visual Analogue Scale ................................................................ 36 Gambar 2.9 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ......................................... 37 Gambar 2.10 Alur Ikatan sitokin dengan nosiseptor ......................................... 38 Gambar 2.11 Asal dan diferensiasi sel mast...................................................... 45 Gambar 2.12 Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan ................... 46 Gambar 2.13 Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor .......................... 47 Gambar 2.14 Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast .......................... 48 Gambar 2.15 Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia .... 51 Gambar2.16 Proses degranulasi yang dimediasi reseptor FcεRI sel mast ...... 52 Gambar2.17 Kerangka Teori ............................................................................ 53 Gambar2.18 Kerangka Konsep ........................................................................ 54 Gambar 3.1 Alur Penelitian ............................................................................. 59 Gambar 4.1 Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ....................................................................... 75 Gambar 4.2 Perubahan VAS Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ..... 78 commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah ..................................... 27 Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi ........................................................ 65 Tabel 4.2 Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden ........... 66 Tabel 4.3 Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6 ................................ 67 Tabel 4.4 Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS ............................... 68 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) Lampiran 2 Formulir dan Check List Penelitian Lampiran 3 Hasil Penelitian dan Analisis Statistik Lampiran 4 Lembar Konsultasi Tesis Lampiran 5 Ethical clearance commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Trauma pembedahan akan menghasilkan perubahan biokimia lokal komplek yang ikut andil dalam suatu proses inflamasi dan nyeri akut pasca operasi, dan dalam beberapa kasus berlanjut ke nyeri kronik pasca operasi. Cedera jaringan akan mengakibatkan peningkatan sitokin proinflamasi yang akan menyebabkan sensitisasi sistim syaraf sentral maupun perifer, yang mengarah kepada terjadinya hiperalgesia (Buvanendran dan Kroin, 2010). Anestesi lokal, opioid, maupun cyclooxygenase (COX) inhibitor dapat mengontrol nyeri pasca operasi baik selama ataupun segera setelah pembedahan. Secara umum penanggulangan nyeri perioperatif dengan memberikan obat-obat tersebut di atas, dan non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) yang bekerja pada jalur cyclooxygenase (COX) inhibitor, baik COX-1 maupun COX-2 paling banyak digunakan, namun pada hambatan pada jalur lipoxigenase (LOX) belum banyak perhatian padahal leukotrien yang dihasilkan dari jalur ini memiliki andil yang besar dalam proses inflamasi bahkan proses inflamasi yang sudah timbul diperberat dengan kehadiran leukotrien ini akibat kemampuannya sebagai kemotaktik. Kemotaktik adalah kemampuan mediator kimia yang dapat mengundang sel-sel imunologis migrasi ke daerah inflamasi seperti netrofil, basofil, makropage dan sel mast yang mengeluarkan berbagai mediator kimia yang dapat menyebakan commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id inflamasi, nyeri akut bahkan timbulnya nyeri kronis pasca operasi (Smyth & Fitzgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006). Nyeri yang menetap sampai setelah luka operasi sembuh bisa menjadi suatu masalah. Hal tersebut dikenal sebagai nyeri kronis pasca bedah, yang berlangsung antara tiga sampai enam bulan pasca operasi (Kehlet et al., 2006). Disebutkan antara 10 sampai 50% pasien mengalami nyeri kronis pasca bedah, setelah menjalani proses pembedahan seperti operasi hernia, mastektomi atau lumpektomi, bedah thorak, amputasi kaki, maupun coronary artery bypass grafting (CABG) (Tillu et al., 2012). Terjadinya inflamasi setelah incisi pembedahan diawali dengan adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu datangnya sel-sel lekosit seperti netrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald, 2012). Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al., 2013). Sel mast yang teraktivasi dapat mengeluarkan histamin, berbagai macam mediator inflamasi seperti beberapa eichosanoid, proteoglycan, protease, serta beberapa kemokin dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosing factor-α (TNF-α), interleukin (IL)-6, IL-4, IL-13, dan transforming growth factor-β. TNF-α dan IL-6 dari sel mast meningkatkan migrasi lekosit dan memperberat lesi inflamasi. Walaupun memiliki fungsi yang bermanfaat dalam hal pertahanan diri, sitokin proinflamasi bisa memacu terjadinya kondisi patologis ketika diproduksi secara berlebihan (Kim et al., 2006). commit to user 2 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dijelaskan bahwa nyeri kronik pasca bedah adalah konsekuensi baik dari proses inflamasi yang berlebihan maupun suatu manifestasi dari nyeri neuropati yang disebabkan oleh cedera pembedahan pada syaraf perifer (Kehlet et al., 2006). Kejadian nyeri kronis pasca bedah relatif tinggi, dan hal itulah yang mendorong dipertimbangkannya usaha untuk mengendalikan proses inflamasi pasca bedah sebagai usaha untuk mengurangi kejadian nyeri kronis pasca bedah (Buvanendran & Kroin, 2010). Ketotifen merupakan obat antialergi yang bekerja sebagai antagonis reseptor histamin, efek lain yang menguntungkan dari obat ini berhubungan dengan aksinya menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari sel Mast, basofil dan netrofil. Dari penelitian Novianto (2013) telah membuktikan efektifitas ketotifen dalam mencegah degranulasi sel Mast pada tikus wistar yang dilakukan insisi pembedahan dan penelitian Apandi (2013) menyebutkan ketotifen efektif menurunkan pelepasan histamin yang dipicu oleh pemberian pelumpuh otot Atrakurium. Ketotifen menghambat pelepasan mediator sel Mast dengan cara kombinasi, memblokade influks Ca++ dari Extracellular ke Intracellular dan dengan mencegah penurunan cyclic adenosine monophosphate (c-AMP) yang dapat menghambat degranulasi sel Mast. Mekanisme calcium-dependent adalah metode utama degranulasi, meski beberapa mediator pro-fibrotik dari sel Mast juga disekresi lewat mekanisme Ca++- independent (Monument et al., 2012). Penelitian ini bermaksud menganalisisi pengaruh pemberian ketotifen dalam mengurangi reaksi inflamasi yang dimediasi oleh interleukin 6 commit to user 3 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang memiliki peran terjadinya nyeri kronis pasca operasi, sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya proses inflamasi sehingga dapat mengurangi nyeri pasca operasi. Pengambilan sampel dilakukan pada pasien dengan operasi mastektomi disebabkan hampir setiap hari dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Moewardi dan resiko terjadinya nyeri kronis paska operasi pada pasien ini juga tinggi. B. RUMUSAN MASALAH Apakah ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi? C. TUJUAN PENELITIAN Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori dalam upaya menerangkan tentang pengaruh pemberian ketotifen pasca operasi pada reaksi inflamasi dan nyeri kronis. 2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan bahwa hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan ketotifen bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca operasi. commit to user 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. NYERI a. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri Nyeri merupakan salah satu tanda adanya proses inflamasi. Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi. Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (Murphy at al, 2007) Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang spesifik (Marsaban et al, 2009). Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id infeksi untuk meningkatkan performa makrofag menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at al, 2007). Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi (Murphy at al, 2007). Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al, 2001, Murphy at al, 2007). Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Rencana penangan nyeri itu sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id nyeri tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006) Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri, yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistim syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam), gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan. Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi (inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca bedah bisa disebabkan oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut. Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif), commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini. Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri kronik (Lalenoh, 2009) b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia (misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan verbal (Marsaban et al, 2009) Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan commit to user 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik (aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian, visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (Marsaban et al, 2009) c. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung melalui ligant-gated ion chennel atau dapat pula melalui reseptor metabotropik yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat mengaktifkan dan atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara khusus dengan memperhatikan hubungan linier antara intensitas rangsangan, aktivitas pada nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter spinal dan aktivitas neuraon yang memproyeksi medula spinalis ke otak (Marsaban et al, 2009). Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al, 2009) Tahap proses terjadinya nyeri sebagai berikut : 1. Transduksi Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, commit to user 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme commit to user 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid (AINS) (Setiabudi, 2005). 2. Transmisi Impuls akan ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut perifer terdiri dari serabut sensorik, motorik somatik, motorik otonomik. Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera. Serabut yang menghantarkan impuls nosiseptif hanya serabut Aδ dan C, yang tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks posterior menuju medula spinalis pada berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks commit to user posterior. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id gelatinosa (lamina II, III), lamina V dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk desendens dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal (Sudrajad, 2006) 3. Modulasi Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan mengalami penyaringan intensitas. Sistem pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain.. Apabila impuls melebihi ambang sel transmisi maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Substansi yang bekerja sebagai modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamin, serotonin dan gamma amino butyric acid (GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, adenosin triphosphate (ATP) dan asam amino eksitatori (Sudrajad, 2006) 4. Persepsi Sel transmisi didalam sistim gerbang spinal kendali nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi atau sama dengan ambang sel transmisi, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistim gerbang kendali dan diteruskan ke pusatcommit to user 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya (Setiabudi, 2005). Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakidonat (Gambar 2.1). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003) Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfositT. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar commit to user 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.2 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007). Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012) commit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007). Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun ,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang meengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren & Dubner, 2010). Asam arakidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang mengandung emapat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk menghasilkan asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20: 46). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda,commit banyak ditemukan pada hewan dan juga to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.1). Setidanya ada tiga fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran: PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium. Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012) Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakidonat dioksigenasi melalui empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX), epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis eikosanoid yang disisntesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel. (Smyth & Fitgerald, 2012) a. Jalur siklooksigenase Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya. rangsangan dari luar. Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotekti epitel lambung, sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi commit to user 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006) Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi nonsteroid menimbulkan efek terapeutiknya. Indometasin dan sulindac bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib, diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari) menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012). Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang secara keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir, misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai commit to user 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2. Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012). Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012) Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya telah user dikembangkan commit untuk to indikasi 18 kardiovaskular meskipun perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan (Smyth & Fitgerald, 2012). b. Jalur lipoksigenase Metabolisme asam arakidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase (LOX) menghasilkan produk asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.4). arakidonat yang dimetabolisme melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX, disertai dengan protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian menghasilkan epoksida leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat antara ini dapat berubah menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau berkonjugasi dengan glutation untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4) yang mengalami degradasi bertahap pada gugus gulation oleh peptidase untuk membentuk LTD4 dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai leukotrien sisteinil atau peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4 dan LTD4 merangsang sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald, 2012). LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A) yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan commit to user 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012, Crawley et al, 1995). LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012). Gambar 2.4 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012) commit to user 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Leukotrien diyakini berperan pada patogenesis peradangan terutama pada penyakit-penyakit kronis seperti asma dan irritable bowel disease (Madsen et al, 1992). Leukotrien memiliki peran yang sangat besar terhadap patofisiologi terjadinya penyakit-penyakit inflamasi berat dan pemilihan obat anti lipoxigenase aktivity merupakan pilihan yang tepat dalam penanganan penyakit inflamasi (Kumaraswamy & Satish 2008). Leukotrien juga diprediksi memiliki andil terhadap timbulnya nyeri kronis pasca operasi, ini dikaitkan dengan kemampuan leukotrien sebagai mediator kemotaktik. Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan berbagai macam mediator inflamasi dari sel mast (seperti prostaglandin, interleukin 6 dan sitokinnya) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011). Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfositT. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam commit to user 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar 2.1 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007). Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi, dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun ,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang mekoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren & Dubner, 2010). commit to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.5. Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi (Sumber : thacker et al., 2007). Seperti terlihat pada gambar 2.5, pasca cidera terjadi aktivasi sel-sel imun residen, elemen-elemen non neural ( sel Schwann, sel mast, netrofil, makrofag dan sel T) ikut terlibat serta berproliferasi dan melepaskan TNFα, IL-1β, IL-6, 2, histamin, PGE2 dan NGF yg memicu serta mempertahankan abnormalitas sensoris pasca cidera (thacker et al., 2007). Hingga saat ini dikenal ada dua macam nyeri persisten kronis, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan proses peradangan akibat cidera jaringan, sedangkan nyeri neurogenik timbul akibat kerusakan saraf perifer atau saraf sentral. Pada nyeri nosiseptif, lesi pertama dan prosesto peradangan menyebabkan perubahan commit user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pada serabut Aδ dan serabut C yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi, penyertaan nosiseptor yang normalnya tidak aktif, aktivasi kanal ionik dan reseptor membran (Pace et al, 2006). Selama inflamasi dan neuropati terjadi perubahan fenotipik serabut ganglion dorsalis yaitu terjadi peningkatan eksitabilitas, perubahan sinyal sistem imun di SSP, dan modifikasi endokrin sehingga setelah kerusakan jaringan, nosiseptor menjadi hipereksitabel. Interaksi sel-sel imun dan sel glia dengan sistem saraf akan merubah sensitivitas nyeri dan memediasi transisi nyeri akut ke nyeri kronis (Ren & Dubner, 2010). Nyeri berhubungan dengan segala kerusakan dari permukaan kulit. Intensitas dan durasi dari nyeri tergantung sifat trauma itu sendiri, proses penyembuhan, dan faktor dari individu. Pelepasan mediator nyeri merupakan mekanisme dalam menanggapi nyeri tersebut sehubungan dengan adanya stimulus perifer tersebut. Berbagai macam mediator nyeri yang dikeluarkan sangat berguna dalam proses penyembuhan luka selama beberapa waktu, tetapi dilaporkan bahwa pelepasan mediator nyeri yang terjadi terus menerus melewati periode inflamasi akan menyebabkan efek yang kurang baik atau merusak proses penyembuhan luka itu sendiri (Widgerow & Kalaria, 2012). commit to user 24 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.6. Respon mediator inflamasi (Sumber : Widgerow & Kalaria, 2012). Pembebasan mediator nyeri yang berlebihan bisa menyebabkan hipersensitisasi pada nosiseptor, hiperinflamasi seluler, perubahan matrik ekstraseluler, dan potensial mengakibatkan terjadinya jaringan fibrotik yang berlebihan. Pada keadaan nyeri kronis bisa jadi disebabkan oleh pelepasan mediator yang terjadi berlarut-larut (Widgerow & Kalaria, 2012). commit to user 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id d. Nyeri Kronis Pasca Bedah Nyeri kronis pasca bedah adalah nyeri yang menetap setidaknya selama tiga bulan setelah tindakan bedah berlangsung. Nyeri yang timbul akibat konsekuensi dari suatu keganasan atau infeksi kronis tidak termasuk dalam definisi ini. Nyeri kronis pasca bedah bisa terjadi pada operasi besar seperti amputasi, penggantian sendi, dan lain sebagainya, ataupun operasioperasi kecil seperti operasi hernia dan vasektomi (Akkaya & Ozkan, 2009) Kebanyakan referensi menyebutkan kurang lebih 80% pasien mengalami nyeri pasca operasi yang pengobatannya tidak adekuat. Telah diamati bahwa 50% pasien mungkin menderita nyeri kronis pasca operasi termasuk depresi ringan dan katastropi akibat nyeri (Harsoor, 2011). Nyeri kronis pasca bedah terjadi melalui mekanisme kompleks yang belum jelas. Berbagai mekanisme bertanggung jawab atas sindroma nyeri yang berbeda, bahkan setelah suatu tindakan operasi yang sama (Akkaya & Ozkan, 2009). Saat ini banyak data dari berbagai penelitian mengenai seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi. Tabel 2.1 menyajikan salah satu contoh dari penelitian tentang data kejadian nyeri kronis pasca operasi dari berbagai macam prosedur pembedahan. Tetapi, dari berbagai penelitian, estimasi seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi dari masingmasing prosedur sangat lebar, sebagai contoh, mastektomi 20-30%, amputasi 50-85%, histerektomi 5-30%, bedah jantung 30-55%, hernia 535%, dan torakotomi 5-65% (Niraj & Rowbotham, 2011) commit to user 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Nyeri kronis pasca bedah dapat disebabkan oleh inflamasi yang sedang berlangsung maupun sebagai manifestasi nyeri neuropatik akibat cedera saraf perifer besar pada saat tindakan bedah. Pada nyeri yang disebabkan oleh inflamasi terjadi peningkatan kepekaan rasa sakit sebagai respon terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Hal ini terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi, yang kemudian menurunkan ambang nosiseptor penginervasi jaringan yang mengalami inflamasi tersebut (sensitisasi perifer). Bila terjadi peningkatan rangsangan (eksitabilitas) neuron sistem saraf pusat (sensitisasi sentral), nyeri inflamasi dapat timbul sebagai respon berlebihan terhadap input sensoris biasa. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang timbul setelah cedera saraf dan sistem transmisi sensorik di sumsum tulang belakang dan otak (Akkaya & Ozkan, 2009). commit to user 27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah (Sumber : Niraj & Rowbotham, 2011). Dalam praktek klinis, sebagian besar nyeri kronis pasca bedah merupakan nyeri neuropatik. Cedera saraf utama yang melewati lokasi operasi merupakan salah satu prasyarat terjadinya nyeri kronis pasca bedah. Pada sekelompok kecil pasien, respon peradangan kontinu dapat memberikan kontribusi terhadap timbulnya nyeri inflamasi persisten, misalnya nyeri yang terjadi setelah operasi hernia inguinalis mesh. Berdasarkan temuan elektromiografi setelah dilakukan torakotomi, terdapat cedera saraf interkostal di sekitar tempat insisi hingga 50-100%. Selain itu, tingkat kerusakan saraf, yang dinilai berdasarkan adanya perubahan ambang commit to user rangsangan listrik pada daerah sensorik dan respon somatosensori terhadap 28 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bekas operasi torakotomi, berkorelasi dengan intensitas nyeri kronis (Akkaya & Ozkan, 2009). Namun, terdapat penelitian klinis yang bertentangan dengan penelitian di atas. Maguire et al. dalam Taylan & Derya (2009) melakukan uji elektrofisiologi terhadap pasien yang akan dilakukan torakotomi sebelum, segera setelah operasi, minggu ke enam pasca operasi dan bulan ketiga pasca operasi. Mereka tidak menemukan adanya hubungan antara cedera saraf interkostal dan nyeri kronis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi sistem saraf pusat dan perifer untuk mengetahui pada tingkat mana suatu lesi dapat menimbulkan neyri neuropatik melalui cedera saraf serta cedera jaringan selain saraf yang rawan menimbulkan nyeri neuropatik (Akkaya & Ozkan, 2009). Strategi yang bagus untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pasca bedah adalah dengan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab meningkatnya kejadian nyeri kronis pasca bedah. Jika ini bisa dilakukan, maka intervensi yang spesifik bisa kita lakukan. Beberap faktor yang yang dilaporkan berhubungan dengan terjadinya nyeri kronis pasca bedah adalah : a. Nyeri praoperasi Beratnya nyeri sebelum operasi telah menunjukkan di beberapa penelitian berhubungan dengan timbulnya yeri kronis pasca bedah. Hal ini pertama kali dikemukakan sehubungan dengan phantom limb pain setelah amputasi. Disebutkan juga terdapat hubungan yang kuat pada commit to user 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id prosedur pembedahan hernia dan torakotomi (Niraj & Rowbotham, 2011). Dalam penelitian pada pasien yang menjalani operasi hernia, Page et al. menemukan bahwa sekitar seperempat dari seluruh jumlah pasien tidak merasakan sakit saat beristirahat sebelum operasi hernia, setengah jumlah pasien merasakan sakit ringan, dan sisanya merasakan nyeri ringan sampai sedang saat beristirahat sebelum operasi (Akkaya & Ozkan, 2009). b. Cedera syaraf Lesi pada syaraf perifer juga sering dikaitkan dengan kejadian nyeri kronis pasca bedah. Hal ini faktor yang paling penting pada beberapa penelitian pasca torakotomi, dan kejadian kerusakan syaraf telah memperlihatkan sebagai prediksi yang signifikan setelah hernia repair. Kerusakan syaraf sering berhubungan dengan tanda klasik dari nyeri neuropatik (Niraj & Rowbotham, 2011). c. Proses inflamasi yang menetap Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan dari berbagai macam mediator inflamasi (seperti prostaglandin, sitokin) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya commit to user 30 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011). d. Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi menjadi hal yang sangat penting pada beberapa situasi. Efek yang diberikan juga bervariasi tergantung prosedur yang dijalani. Sebagai contoh, nyeri yang berlangsung selama 30 hari pasca operasi dilaporkan menjadi prediktor yang signifikan pada operasi hernia repair, tetapi penelitian lain pada torakotomi hal itu tidak terjadi (Niraj & Rowbotham, 2011). Banyak penelitian terhadap nyeri kronis pasca bedah mempublikasikan tentang pentingnya perawatan adekuat nyeri pasca operasi pada periode akut (Akkaya & Ozkan, 2009). e. Faktor genetik Dalam populasi umum, kepekaan terhadap nosiseptif fisiologis dan nyeri klinis dapat berbeda pada masing-masing individu. Dengan demikian, dalam generasi yang berbeda serta tingkat pengalaman merasakan nyeri yang berbeda, masing-masing individu dapat memperlihatkan respon yang berbeda pula (Akkaya & Ozkan, 2009). f. Faktor Pembedahan Beberapa faktor bedah penting yang mungkin berkaitan dengan terjadinya nyeri kronis pasca bedah, yaitu: durasi operasi, teknik bedah (laparoskopi vs bedah terbuka), lokasi dan jenis sayatan, pengalaman ahli bedah, dan tempat di mana intervensi bedah dilakukan. Peters et al. commit to user 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menemukan lebih banyak nyeri kronis yang terjadi setelah operasi lama yang berlangsung lebih dari 3 jam (Akkaya & Ozkan, 2009). g. Faktor Psikososial Terdapat banyak artikel yang berhubungan dengan efek faktor psikososial pada nyeri pasca operasi akut. Katz et al. menyimpulkan bahwa kecemasan pra operasi adalah faktor risiko dalam terbentuknya nyeri sampai 30 hari setelah operasi payudara. Insiden nyeri pasca operasi akut dipengaruhi oleh catastrophization (Keyakinan negatif dan respon berlebihan) (Akkaya & Ozkan, 2009). e. Proses Penyembuhan Luka Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM, remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan akuisisi kekuatan kekuatan luka (Winarto, 2005) proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga fase. Yang pertama adalah fase inflamasi, kemudian diikuti oleh fase proliferasi,dan diakhiri dengan fase maturasi atau remodeling (Prasetyono, 2009). 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi terjadi sejak hari pertama terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima pasca trauma. Fase inflamasi dimulai commit to user 32 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan adanya peristiwa hemostasis yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma, dengan konstriksi pembuluh darah dan pembentukan formasi jala fibrin, sementara itu terjadilah reaksi inflamasi (Guo & Dipietro, 2010). Vasokonstriksi akan diikuti dengan vasodilatasi kapiler, dengan dihasilkannya serotonin dan histamin oleh sel mast yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Lekosit untuk selanjutnya akan mengeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk mengaktifkan proses inflamasi. Fase awal dari proses inflamasi ditandai dengan perekrutan neutrofil yang mempunyai peran penting untuk fagositosis dan mensekresi protease untuk membunuh bakteri serta membantu proses degradasi jaringan nekrotik. Lebih jauh, neutrofil berfungsi sebagai chemoattractans dari sel-sel yang lain untuk terlibat dalam proses inflamasi (Reinke & Sorg, 2012). 2. Fase Proliferasi Fase proliferasi terjadi kira-kira hari ketiga sampai hari kesepuluh pasca trauma. Fokus utama proses penyembuhan pada fase ini adalah penutupan luka dan perbaikan jaringan vaskuler (Reinke & Sorg, 2012). Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblas dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya commit to user 33 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstraseluler dari matrik kolagen, fibronektin, dan asam hialuronik (Sudrajad, 2006) Proses epitelisasi dimulai dari tepi luka oleh sel punca dari folikel rambut dan kelenjar keringat. Proses ini diaktivasi oleh jalur sinyal dari sel epitel dan nonepitel pada tepi luka yang melepaskan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti EGF, KGF, IGF-1, dan NGF (Reinke & Sorg, 2012). 3. fase maturasi fase ini berlangsung dari hari ke-7 dan bisa berlangsung lebih dari satu tahun. Segera setelah matrik ekstraseluler terbentuk maka dimulailah reorganisasi. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan. Sesudah lima hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan commit to user 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tahanan maksimal jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh (Sudrajad, 2006). Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai satu tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup. Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Pengerutan luka yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga merupakan faktor berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus dibedakan dengan kontraktur (Sudrajad, 2006). f. Pengukuran Intensitas Nyeri : 1. Verbal Rating Scale : Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata – kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Penilaian ini ada beberapa kriteria : 2. - Tidak nyeri (none) - Nyeri ringan (mild) - Nyeri sedang (moderat) - Nyeri berat (severe) - Nyeri sangat berat ( very severe) Numerical Rating Scale : Metode ini menggunakan angka – angka untuk menggambarkan range intensitas nyeri commit to user 35 dari angka 0-10. “0” perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menggambarkan tidak ada nyeri. Sedangkan “10” menggambarkan nyeri hebat. Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale 3. Visual analogue Scale : metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri, dengan menggunaan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak dapat digunakan pada anak dibawah 8 tahun. Gambar 2.8 Visual analogue Scale 4. McGill Pain Questionare : metode ini menggunakan chek list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri ysng dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif, dankognitif. Intenitas nyeri digambarkan dengan menggunakan ranking dari 0-3. 5. Faces Pain Scale : metode ini dengan cara melihat mimic wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak. commit to user 36 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.9. Wong Baker Faces Pain Rating Scale 2. INTERLEUKIN 6 Istilah limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk golongan protein yang diproduksi oleh limfosit B dan T yang diaktifkan. Ternyata sel-sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, dan epitel juga memproduksi sitokin. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat adalah sitokin. Sitokin merupakan protein sistim imun yang mengatur interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2006). Menurut definisinya sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang diperantarai dan mengatur reaksi imunologik dan reaksi inflamasi. Banyak sitokin yang telah diidentifikasi, baik dari struktur molekul maupun fungsinya. Beberapa diantaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit, dan sel-sel lainnya, jadi berfungsi sebagai imunomodulator spesifik maupun non-spesifik. Pada 2nd International Lymphokin Workshop di Swiss tahun 1979, dicapai kesepakatan untuk memberi satu nama generik kepada mediator-mediator tersebut yang ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta commit to user fungsi yang serupa. Nama yang disepakati adalah intrleukin yang berarti 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id adanya komunikasi antar sel leukosit. Hingga sekarang telah ditemukan beberapa jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35, dan berbagai percobaan telah dilakukan untuk menentukan fungsi masing-masing (Kresno, 2010). Sitokin proinflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba, trauma atau kerusakan sel penjamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh INF-γ, TNF-α, dan IL-1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL1, IL-6, dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik. Disamping itu dikenal sitokin-sitokin yang berfungsi dalam diferensiasi dan fungsi serta mengontrol sel sistim imun dan jaringan (Baratawidjaja, 2006). Gambar 2.10 Alur ikatan sitokin dengan nosiseptor Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan dalam maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang commit to user paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa dideteksi dalam 60 menit dengan konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10 hari. IL-6 dipertimbangkan sebagai marker yang sangat relevan dari derajat kerusakan jaringan dalam prosedur pembedahan yang berhubungan dengan morbiditas pasca operasi (Oliveira et al., 2011). 3. KETOTIFEN Ketotifen merupakan derivat dari benzocycloheptathiophene yang mempunyai efek anti histamin dan anti anafilaktik. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan ketotifen dalam mengeblok pelepasan mediator dari sel mast peritonium tikus secara in vitro. Ketotifen mencegah terjadinya pelepasan histamin dan leukotrien dari basofil dan jaringan paru, untuk menjadi antagonis histamin pada reseptor H1, untuk menghambat ambilan kalsium, untuk memblok reaksi anafilaktik kulit pasif, dan untuk mencegah asma baik yang disebabkan oleh obat atau yang disebabkan oleh alergen. Beberapa penelitian tentang ketotifen menunjukkan efek yang yang bermanfaat dalam terapi asma (Sayeed, 2011). Ketotifen fumarat merupakan obat antihistamin dan antialergi yang telah diketahui menghambat degranulasi sel mast melalui mekanisme calcium-dependent, dan memblok histamin secara non kompetitif pada reseptor H1. Ketotifen telah disetujui oleh FDA sebagai terapi tambahan pada dewasa dan anak diatas 15 tahun dengan asma, dan baru-baru ini FDA commit to user 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengijinkan ketotifen dipakai sebagai terapi alergi pada mata (Monument et al., 2012). a. Struktur Kimia Ketotifen memiliki nama bangun yaitu 4-(1-metilpiperidinylidene)- 4,9-dihidro-10H-benzo [4,5] siklopenta [1,2-b] tiofen-10-satu hydrogen (E)-butadiana. Formula molekul dari ketotifen adalah C23H23NO5S, dan memiliki berat molekul 425,49742 (Serna, 2006). b. Mekanisme Kerja Infiltrasi dan degranulasi sel mast memiliki peran dalam proses inflamasi. Degranulasi sel mast akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti sitokin, endothelin, growth factor dan enzim proteolitik. Sehubungan dengan antagonis resptor histamin, beberapa efeknya kemungkinan berhubungan dengan inhibisi terhadap pelepasan sel mast dan derivat netrofil mediator inflamasi. Pada banyak penelitian dan kondisi klinis, ketotifen tercatat mampu mengurangi degranulasi sel mast dan mengurangi pelepasan histamin, protease sel mast, myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin. Ketotifen juga menghambat agregasi polimorfonuklear dan migrasi serta mengurangi respon inflamasi. Hal ini secara langsung akan mengurangi fungsi eosinofil dan viabilitasnya (Khurana et al., 2011). Ketotifen melakukan blokade secara non kompetitif terhadap ikatan histamin 1 dengan reseptornya dan menghambat degranulasi sel mast yang diperantarai oleh kalsium. Ketotifen merupakan agen commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id stabilisator sel mast yang mencegah degranulasi sel mast dengan cara mencegah influk transmembran dari ion kalsium. Ketotifen dapat memblokade pelepasan mediator oleh sel mast tikus secara in vitro. (Khurana et al., 2011). Ketotifen juga memblok konsentrasi cyclyc-AMP (c-AMP) yang diperlukan pada saat akhir degranulasi vesikel (Monument et al., 2010) Ketotifen menghambat produksi sitokin dari sel TH2. NO adalah modulator sel Mast yang menginduksi aksi pro-inflamasi. Sel Mast juga berperan pada kerusakan ginjal melalui aktivasi lokal sistem reninangitensin dalam nefrophati IgA. Sekresi sitokin dari sel Mast dan sel Th2 seperti TGF-B yang memfasilitasi produksi IgA. Disini ada peningkatan IL-4,5,6 yang merupakan sitokin dari sel TH2 dan sel Mast. Produksi IgA intestinal yang berlebihan diketahui sebagai salah satu penyebab nefrophati IgA. Ketotifen mengaktivasi distribusi NOS di lapisan luar korteks dan glomerulus dan menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah renal (Young-Sun et al., 2009). c. Farmakokinetik Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara oral, mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian. Namun demikian, belum ada informasi yang cukup mengenai absorbsi dari ketotifen sediaan tablet lepas lambat. Karena adanya efek first-pass metabolism, bioavailabilitas obat ini hanya 50%. Kadar puncak dalam plasma setelah dosis oral multipel sebesar 1mg, 2 kali sehari adalah 1.92 commit to user 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mg/L pada dewasa dan 3.25 mg/L pada anak-anak, dengan daerah dibawah kurva konsentrasi-waktu 16.98 mg/L dan 20,72 mg/L. Obat ini dilaporkan 75% terikat protein (Grant et al., 1990). Ketotifen dimetabolisme menjadi ketotifen-N-glukoronide yang inaktif dan nor-ketotifen yang aktif secara farmakologi, dan jumlah metabolit-metabolit ini dalam urine adalah sebanyak 50% dan 10% dari dosis. Hanya sebanyak 1% yang dikeluarkan sebagai senyawa asal. Pembersihan obat ini dari plasma bersifat bifasik, dengan waktu paruh distribusi 3 jam dan waktu paruh eliminasi 22 jam pada orang dewasa. Pola eliminasi pada anak-anak sama dengan pada dewasa. Tidak tersedia data mengenai efek farmakokinetik obat ini pada usia lanjut atau pada penyakit tertentu (Grant et al., 1990). d. Sediaan, Dosis, dan Cara Pemberian Ketotifen tersedia dalam bentuk tablet 1 mg dan sirup 0,2 mg/ml. 1 mg ketotifen identik dengan 1,38 mg ketotifen fumarat (Dewoto, 2009). Ketotifen dalam bentuk tablet dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 1 mg, dua kali sehari digunakan bersama makanan. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 2 mg, dua kali sehari. Jika obat menyebabkan mengantuk, gunakan 0,5 dua kali sehari atau 1 mg pada malam hari dan kemudian dinaikkan sampai dosis terapetik penuh. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan sampai 4 mg dan diberikan dalam dua dosis terbagi (Kalbe, 2011). commit to user 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Untuk anak > 3 tahun diberikan sebanyak 1 mg, dua kali sehari. Pada anak usia 6 bulan - 3 tahun diberikan dosis 0,05 mg/ kg BB dengan pemberian per oral dua kali sehari. Pada anak-anak, dosis dapat dimulai dengan setengah dari dosis normal dan ditingkatkan sampai dosis optimal selama 5 hari (Kalbe, 2011). e. Efek Samping Efek samping ketotifen sama seperti efek samping AH1. Pernah dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversibel, karena itu kombinasi kedua obat tersebut harus dihindarkan. Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap obat ini (Dewoto, 2009). 4. Sel Mast Sel mast mempunyai bentuk yang khas. Dengan ukuran yang bervariasi dari 10 sampai dengan 60 µm dan dengan inti di tengahnya yang berbentuk bulat atau lonjong. Sitoplasmanya yang banyak, terisi dengan granula-granula yang bervariasi. Ditemukan oleh Paul Ehlrich, seorang ilmuwan dari jerman pada tahun 1878. Distribusi dari sel mast sangat luas, dalam jaringan, sel mast cenderung banyak berada disekitar pembuluh darah dan serabut syaraf, dan berada dekat dengan permukaan epitel dan mukosa. Sel mast juga ditemukan di peritonium dan di permukaan sendi-sendi. Di commit to user 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id lokasi-lokasi tersebut sel mast memberikan perlindungan sebagai sel imun pertama dengan menghadapi invasi patogen ke jaringan dari dunia luar. (Nigrovic & Lee, 2013) Sel mast pada jaringan di lokasi yang berbeda mempunyai granula yang berbeda pula. Granula sel mast bisa hanya mengandung tryptase saja (MCT), atau kombinasi dari tryptase, chymase, carboxypeptidase A, dan cathepsin G (MCTC). Masing-masing tipe granula ini dominan pada sel mast di lokasi-lokasi tertentu. MCT adalah tipe sel mast yang banyak berada di alveoli paru-paru, mukosa usus halus, dan pada mukosa mata yang alergi. MCTC sangat dominan pada kulit yang normal, pembuluh darah, submukosa, dan pada sinovial. (Hsu & Boyce, 2009). Sel mast berasal dari stem cells haematopoietic, dari sunsum tulang dan berada di jaringan setelah melewati pembuluh darah. Setelah berada di jaringan, sel mast bisa hidup sampai berbulan-bulan, pada kondisi tertentu, sel mast bisa bermigrasi melalui sistim limfatik (Nigrovic & Lee, 2013). commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.11. Asal dan diferensiasi sel mast (Sumber : Nigrovic & Lee, 2013) Sel Mast beredar di sirkulasi dalam bentuk imatur, diferensiasi dan pematangannya terjadi secara lokal menyusul migrasi prekursor mereka ke jaringan atau rongga serosal yang bervascularisasi di mana sel Mast pada akhirnya akan berada. Pada vertebrata, sel Mast secara luas didistribusikan ke seluruh jaringan yang bervascularisasi, terutama di dekat permukaan yang terpapar lingkungan, termasuk kulit, saluran napas dan saluran pencernaan dimana patogen, alergen, dan agen lingkungan lainnya seringkali menyerang. (Galli et al., 2008) commit to user 45 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.12. Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan (Sumber : Galli et al., 2008). Gambar di atas menerangkan sel mast jaringan berasal dari haematopoietic stem cells (HSCs), yang akhirnya berkembang menjadi progenitor sel mast (MCPs). MCPs beredar dalam darah dan masuk ke jaringan dimana mereka akan mengalami diferensiasi dan maturasi. Stem cell factor (SCF) diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dari sel mast, tapi fenotip dari sel mast matur bisa berbeda-beda tergantung dari lingkungan faktor pertumbuhannya. Sebagai contoh adanya sitokin tambahan yang berefek pada proliferasi sel mast atau fenotip aeperti il-3, il4, il-9, TGF β1 dan faktor mikro lingkungan. Jumlah populasi sel mast dapat meningkat pada saat terjadi respon T helper 2 (TH2) terhadap infeksi parasit yang bisa merefleksikan adanya peningkatan rekrutmen, diferensiasi, dan juga proliferasi dari sel mast residen pada lokasi tersebut (Galli et al., 2008). commit to user 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Cedera Jaringan & Degranulasi Sel mast Proses inflamasi dipicu oleh aktivasi imun inate pada reseptor pengenal, termasuk Toll-like receptors (TLRs) yang mengenali dan mengikat molekul-molekul patogen atau molekul endogen yang terlepas dari sel-sel yang rusak, seperti heat-shock protein dan high mobility group box 1 protein ( Rittner, 2008). TLRs berada dalam sel-sel imun, termasuk monosit atau makrofag dan sel dendritik, dan sel imun yang terkait seperti keratinosit. Pengikatan TLRs diikuti dengan aktivasi sinyal NF-kB dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi. Sel – sel imun residen, sel mast dan makrofag juga diaktifkan dalam beberapa menit setelah terjadi stimulus nyeri dan melepaskan sitokin, kemokin, efektor kaskade komplemen proinflamasi (C3a & C5a) serta vasodilator, termasuk amine vasoaktif dan bradikinin. Blood-borne neutrophils, netrofil, monosit dan limfosit T menempel pada dinding pembuluh, berekstravasasi dan menumpuk di lokasi cedera. Sel-sel imun berkontribusi terhadap sensitisasi nociceptive perifer dengan melepaskan factor-faktor soluble dan interaksi langsung dengan nociceptors (Ren & Dubner, 2010). Berbagai rangsangan, seperti IgE, IgG dan komplek imun, beberapa mediator, kontak antar sel, dan trauma dapat mengaktifkan sel mast (Nigrovic & Lee, 2013). Aktivasi ini akan menyebabkan sel mast melepaskan beragam produk biologis aktif, banyak diantaranya berpotensi memediasi fungsi pro-inflamasi, anti-inflamasi commit to user 47 ataupun perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id fungsi imunosupresif. Selanjutnya, sel mast dapat berpartisipasi dalam siklus aktivasi pelepasan mediator dan dapat mengaktivasi pelepasan mediator atau sitokin dalam pola yang berbeda tergantung jenis dan kekuatan rangsangan. Kekuatan dan respon alamiah sel mast terhadap berbagai stimuli dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan mikro yang mempengaruhi pola ekspresi atau sifat fungsional dari reseptor permukaan atau molekul sinyal yang berkontribusi terhadap respon tersebut (Gilfillan & Tkaczyk, 2006). Gambar 2.13 menerangkan bahwa Cidera memicu pelepasan mediator yang mengaktifkan TLRs dan sel mast, dilepaskan juga mediator yang mendorong adesi dan transmigrasi sel-sel imun termasuk sel-T, netrofil, dan monosit serta melibatkan makrofag (Ren & Dubner, 2010). commit to user 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.13. Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor (Sumber : Ren & Dubner, 2010). Proses granulasi tergantung pada peningkatan konsentrasi Ca+2 intraseluler. Kalsium yang diperlukan untuk terjadinya degranulasi berasal dari intraseluler dan influk Ca2+ dari ekstraseluler melalui kanal membran. Pelepasan Ca2+ dari retikulum edoplasma diperantarai oleh jalur sinyal PLCγ (Tshori & Razin, 2010). Gambar 2.14. Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast (Sumber : Tshori & Razin, 2010). commit to user 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b. Mediator sel mast Sel mast matur mengandung beberapa mediator dalam granulanya, yang siap dilepaskan dengan menempel pada membran. Yang paling banyak adalah protease, tapi vasoactive amines, proteoglycans seperti heparin dan pre-formed cytokine memainkan peran yang nyata dalam konsekuensi biologis degranulasi sel mast. Pelepasan mediator-mediator ini tidak semuanya. Sebagai contoh degranulasi pada reaksi anafilaksi, sel mast mungkin hanya melepaskan sebagian kecil pada saat proses degranulasi yang terjadi secara bertahap. Lebih jauh sel mast dapat melepaskan satu dari tipe granula, tapi tidak dengan yang lain. Mungkin juga sel mast dapat membuat keluarnya sitokin dan kemokin dengan tanpa melepaskan granulanya. Disebutkan juga bahwa mediator yang dilepaskan melalui aktivasi sel mast tergantung dari tingkat deferensiasi sel mast dan macam stimulus yang mengaktivasi sel mast (Nigrovic & Lee, 2013). commit to user 50 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.15. Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia (Sumber: Kasper et al, 2005) Dalam beberapa menit setelah aktivasi, sel mast mulai melepaskan metabolit dari membran fosfolipid. Dalam beberapa jam aktivasi, sel mast mulai menguraikan beberapa mediator meliputi mediator proinflammasi, TNF, Il-1, dan Il-6; sitokin Th2 Il-4, Il-5, Il-10, dan Il-13; faktor kemotaktik meliputi Il-8 dan MIP-α; growth factor untuk fibroblas, pembuluh darah, dan yang lain seperti βFGF, VEGF, dan PDGF (Nigrovic & Lee, 2013). Nishida et al (2005) menyatakan bahwa proses degranulasi sel mast dipicu adanya rangsangan pada Fc epsilon receptor I (FcεRI) yaitu reseptor IgE di sel mast melalui dua peristiwa: translokasi granule ke commit to user 51 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membran plasma melalui calcium-independent pathways dan fusi membran serta eksositosis melalui calcium-dependent pathways (gambar 2.13). Gambar 2.16. Proses degranulasi yang dimediasi oleh reseptor FcεRI pada sel mast (Sumber Nishida et al, 2005). commit to user 52 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id B. KERANGKA TEORI Trauma Pembedahan Kerusakan pada membran sel Fragmentasi Fosfolipid Enzim fosfolipase Asam Arakidonat TLR4 Enzim Lipoksigenase Enzim Siklooksigenase Hidroperoksida Makrofag Endoperoksidasi Leukotrien PG,Tromboksan A2, Prostasiklin NFkβ Sel Mast Ketotifen Pro inflamasi IL1β TNFα Histamin, PGE2, NGF IL 6 Sensitasi Sel Schwan di Nosiseptor Nyeri committeori to user Gambar 2.17 Kerangka 53 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Keterangan : : merangsang/memicu : menghambat : meningkatkan (Efek ketotifen) : menurunkan (Efek ketotifen) dan : Variabel-variabel yang diteliti C. KERANGKA KONSEP Trauma Pembedahan Makrofag Sel mast Ketotifen IL 6 Nyeri Gambar 2.18 Kerangka konsep commit to user 54 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id D. HIPOTESIS Ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi maktektomi. commit to user 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan Juni sampai Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat ini oleh karena tiap harinya tindakan pembedahan mastektomi cukup banyak. B. JENIS PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind yang pada pasien yang menjalanai operasi elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian ketotifen terhadap kadar Interleukin 6 pasca operasi. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok ketotifen (K1), dan kontrol (K2), penjelasannya sebagai berikut : K1 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan ketotifen oral dari dua jam sebelum operasi sampai dua hari hari pasca operasi dengan dosis 1 mg yang diberikan tiap 12 jam. K2 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan plasebo oral. commit to user 56 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. POPULASI DAN SAMPEL POPULASI Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II di Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr. Moewardi dalam kurun waktu Juni sampai dengan Juli 2014. Kriteria inklusi : 1. Jenis kelamin perempuan menjalani operasi elektif. 2. Umur 17-60 tahun. 3. Pasien yang akan menjalani operasi mastektomi 4. Status fisik ASA I dan II 5. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal. 6. Penderita yang bersedia diikutsertakan dalam penelitian Kriteria eksklusi : 1. Penderita mendapatkan terapi kortikosteroid 2. Pasien yang mengkonsumsi antihistamin 3. Pasien alergi terhadap ketotifen SAMPEL Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu pemberian ketotifen dan plasebo serta satu variabel terikat yaitu kadar Interleukin 6 serum, maka besar sampel minimal dapat menggunakan pedoman ”rule of thumb”. Dengan ”rule of thumb” maka besar sampel yang diperlukan adalah 30 pasien, jadi commit to user masing-masing kelompok adalah 15 pasien. 57 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id D. VARIABEL PENELITIAN 1. Variabel Bebas Ketotifen 2. Variabel Terikat Kadar Interleukin 6 Skor Nyeri E. DEFINISI OPERASIONAL 1. Ketotifen adalah Suatu obat golongan anti histamine dalam bentuk tablet ketotifen 1 mg yang dibuat dalam bentuk kapsul warna putih, dengan dosis 2 x 1 mg yang diberikan dari 2 jam sebelum operasi sampai dua hari berturut-turut pasca operasi. Alat ukur : Skala pengukuran : nominal 2. Kadar interleukin 6 merupakan suatu sitokin pro inflamasi berupa perhitungan interleukin 6 dalam darah/ serum yang diperiksa dua kali yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga setelah pemberian ketotifen oral pasca operasi yang diperiksa di labolatorium Prodia Surakarta dengan ELISA linked enzyme immunoassay reader. Nilai rujukan normal kadar IL 6 serum di Laboratorium Klinik Prodia cabang Surakarta adalah 3,12-12,5 pg/mL. Alat ukur : ELISA linked enzyme immunoassay reade Satuan ukur : pg / mL Skala pengukuran : rasio commit to user 58 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3. Skor nyeri merupakan penilaian intensitas nyeri pasien yang diperiksa dua kali yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga setelah operasi. Alat ukur : Visual Analogue Scale (VAS) Satuan ukur : Unit Skala pengukuran : Kategorikal ordinal F. INSTRUMEN PENELITIAN Alat dan bahan yang digunakan : a. Spuit 3 mL b. Ketotifen oral c. Plasebo oral d. Tabung Vacutainer tutup warna ungu. e. Analisis quantitative immunoassay ELISA reader (Enzyme Immunosorbent Assay) f. Lembar penilaian visual Analogue Scale commit to user 59 Linked perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id G. ALUR PENELITIAN Pasien rencana pembedahan mastektomi Kriteria Eksklusi Kriteria inklusi Sampel Randomisasi Data dasar (T1) Kelompok ketotifen (K1) Kelompok Kontrol (K2) Tindakan anestesi Tindakan anestesi Pembedahan Pembedahan Pemberian ketotifen selama tiga hari Pemberian plasebo selama tiga hari Data kedua (T2) Analisis data Gambar 3.1 Alur Penelitian T1 : Kadar IL 6 serum sebelum insisi pembedahan (base line). T2 : Kadar IL 6 serum pada hari ketiga setelah insisi pembedahan. commit to user 60 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Jalannya Penelitian Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah mendapatkan persetujuan komite etik. Tata cara dilakukan sebagai berikut : a. Pasien ASA I dan II yang tiba di kamar operasi yang dijadwalkan untuk dilakukan operasi dilakukan monitoring standar. b. Dilakukan identifikasi identitas (nama, jenis kelamin, umur), berat badan, status fisik (ASA), dan monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, suhu). c. Diambil sampel ke I (T1) darah vena sebanyak 8 mL dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan. d. Dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien dimasukkan dalam kelompok ketotifen (K1) atau kelompok kontrol (K2). e. Dilakuakan tindakan anestesi f. Dilakukan tindakan pembedahan g. Diberikan obat perlakuan, ketotifen 1 mg (dalam 1 kapsul) pada kelompok K1 dan placebo (dalam 1 kapsul) pada kelompok K2 sebanyak 2 kali sehari dari 2 jam sebelum operasi sampai 2 hari pasca operasi. h. Setelah tiga hari pasca irisan pembedahan diambil sampel kedua (T2) darah vena sebanyak 8 mL dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan. i. Kedua sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium klinik Prodia cabang Surakarta untuk diolah. commit to user 61 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id H. ANALISA PENELITIAN Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS Statistic 17.0 . Data demografi dan hasil penelitian dinilai apakah distribusinya normal atau tidak dilakukan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel 30. Untuk menguji data dasar umur dan berat badan dilakukan dengan Independent Samples t Test apabila distribusi data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. Sedangkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara nilai interleukin 6 pada kelompok ketotifen dibandingkan dengan kelompok kontrol dilakukan dengan Independent Samples t Test bila distribusi data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. dan dianggap memiliki kemaknaan statistik apabila nilai p yang diperoleh adalah p ≤ 0,05. I. PERIJINAN PENELITIAN Ethical clearance Mendapatkan ijin melakukan penelitian setelah pengkajian oleh Panitia Kelaikan Etik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta-Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan prinsip tidak melanggar etika praktek kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada manusia. commit to user 62 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ijin Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan atas persetujuan pasien atau keluarga terhadap informed consent yang diajukan peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. J. JADWAL KEGIATAN DAN ORGANISASI PENELITIAN Bulan April - Juni 2014 KEGIATAN WAKTU april mei Perijinan Pelaksanaan penelitian Pengolahan data Penyusunan laporan penelitian commit to user 63 juni Juli Agustus perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind pada pasien yang menjalanai operasi elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian ketotifen terhadap kadar IL 6 pasca operasi mastektomi dengan jumlah sampel sebesar 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana kelompok penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu kelompok 1 (K1) sebesar 15 pasien diberi obat perlakuan ketotifen 1 mg (dalam 1 kapsul) dan kelompok kontrol (K2) sebesar 15 pasien diberi placebo (dalam 1 kapsul) sebanyak 2 kali sehari dari 2 jam sebelum operasi sampai 2 hari pasca operasi. Kedua kelompok kemudian diukur jumlah kadar IL 6 serum yaitu pada saat sebelum operasi (base line) dan pada hari ke 3 sesudah operasi. Selain data laboratorium terdapat data penelitian dan demografi responden pada pasien kelompok 1 (K1) dan kelompok 2 (K2) untuk diamati dan dilihat kenormalan datanya sebagai penentu uji analisis statistik yang digunakan sebagai pengujian hipotesis. Data dianalisis dengan program SPSS Statistic 17.0 pada uji normalitas data penelitian dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel 30. commit to user 64 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi. Variabel Umur Tinggi Badan Berat Badan Kelompok KolmogorovSmirnov(a) Statistic Df Sig. Perlakuan 0.110 15 Kontrol 0.151 Perlakuan Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. 0.200 0.954 15 0.594 15 0.200 0.890 15 0.068 0.222 15 0.046 0.915 15 0.163 Kontrol 0.174 15 0.200 0.921 15 0.201 Eksperimen 0.180 15 0.200 0.929 15 0.261 Kontrol 0.195 15 0.130 0.955 15 0.599 Tabel 4.1 menjelaskan data demografi pada penelitian ini yaitu umur, tinggi badan, dan berat badan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai distrubusi data normal karena nilai p (sig) pada shapiro-wilk lebih besar dari 0.05. B. ANALISIS DATA. Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah umur, berat badan, tinggi badan, serum IL 6 dan VAS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Untuk mengetahui penyebaran data maka dilakukan uji homogenitas dengan uji Barlett Test (Levene's Test). commit to user 65 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1. Uji Homogenitas data Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan. Tabel 4.2.Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden. Umur TB BB Kelompok N Mean Std. Deviasi Perlakuan 15 44.73 9.565 Kontrol 15 46.13 12.955 Perlakuan 15 158.53 3.944 Kontrol 15 158.33 4.639 Perlakuan 15 58.73 9.498 Kontrol 15 55.67 9.394 Levene’s Test P-value 0.160 0.274 0.873 Tabel 4.2 nampak bahwa rata-rata umur responden pada kelompok perlakuan adalah 44,73±9,565 dan pada kelompok kontrol 46,13±12,955. Pada nilai rata-rata tinggi badan pada kelompok perlakuan sebesar 158,53±3,944 dan pada kelompok kontrol 158,33±4,639. Sedangkan nilai ratarata berat badan pada kelompok perlakuan 58,73±9,498 dan kelompok kontrol 55,67±9,394. Distribusi sampel pada peneltian ini dilihat pada umur responden, tinggi badan dan berat badan adalah homogen atau mempunyai penyebaran data (varians) yang sama karena Levene test p-value > 0.05. commit to user 66 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2. Hasil Uji Independen Sample Tes perubahan kadar Interleukin 6 (IL 6) Tabel 4.3. Uji Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6. IL 6 Kelompok N Mean Std. Deviasi Perlakuan 15 8,4520 Kontrol 15 18,8713 T test P-value 5,26529 0.024 16,1102 Tabel 4.3.uji independent sample test tampak bahwa kelompok perlakuan mempunyai nilai rata-rata kadar IL 6 sebesar 8,4520±5,26529 lebih kecil dibanding kadar IL 6 pada kelompok kontrol yaitu 18,8713±16,1102 dan nilai P=0,024 < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna perubahan kadar IL 6 antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol 60 50 40 30 20 10 0 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perlakuan 10 11 12 13 14 15 Kontrol Grafik 4.1. Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol commit to user 67 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada grafik 4.1. menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ada 2 pasien yang mengalami penurunan sedangkan pada kelompok kontrol ada 1 yang mengalami penurunan kadar IL 6. 3. Hasil Uji Mann Whitney Test perubahan VAS Tabel 4.4. Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS. VAS Kelompok N Mean Std. Deviasi Perlakuan 15 0,07 0,884 Kontrol 15 1,20 0,862 Z test P-value 0.001 Tabel 4.4 uji mann whitney nampak bahwa nilai rata-rata VAS pada kelompok perlakuan sebesar 0.07±0.884 dan kelompok kontrol nilai rata-rata sebesar 1,20±0,862 dengan p-value < 0.001 yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol pada VAS. 4 3 2 1 0 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 -2 -3 Perlakuan Kontrol Grafik 4.2 Perubahan VAS Kelompok Perlakuan commit to user dan Kelompok Kontrol 68 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada grafik 4.2. menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ada 2 pasien yang mengalami penurunan sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada yang mengalami penurunan. C. PEMBAHASAN. Proses inflamasi yang berlebihan dan terjadi secara terus menerus merupakan salah satu sebab dari adanya kejadian nyeri kronis pasca bedah (Kehlet et al., 2006). Proses inflamasi yang terjadi setelah incisi pembedahan diawali dengan adanya pelepasan mediator inflamasi di jaringan perifer oleh sel residen dimana salah satunya adalah sel mast (yasuda et al., 2013). Ketotifen, sebagai agent stabilisasi sel mast, dipertimbangkan efektif dalam mengurangi reaksi inflamasi yang berlebihan, melalui perannya dalam mencegah terjadinya degranulasi sel mast. Pada penelitian ini 30 pasien yang dilakukan operasi mastektomi, 15 pasien diantaranya diberikan ketotifen oral, yang dilakukan pada dua jam sebelum operasi sampai dua hari pasca operasi, dengan waktu pemberian dilakukan tiap 12 jam. Sebelum diberikan obat pertama kali, pasien diambil sampel darah untuk mengetahui kadar Interleukin 6 awal. Pada hari ke tiga, dilakukan pengambilan sampel darah lagi untuk mengetahui kadar Interleukin 6 paska operasi. Pengambilan sampel ke dua dilakukan pada hari ketiga, dimana mediatormediator inflamasi pada waktu itu didapatkan dalam jumlah yang signifikan. Proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan berlanjut ke fase maturasi atau remodeling. Fase inflamasi terjadi pada hari ke tiga sampai hari kelima pasca trauma, dimana pada commit to user 69 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id fase ini banyak dikeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk mengaktifkan proses inflamasi. Hasil penelitian untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi maktektomi. Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata perubahan kadar Interleukin 6 antara sebelum dan sesudah pemberian obat pada kelompok ketotifen didapatkan 8,4520±5,26529 lebih kecil dibanding kadar Interleukin 6 pada kelompok kontrol yaitu 18,8713±16,1102 dan nilai P=0,024 < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna perubahan kadar IL 6 antara kelompok ketotifen dengan kelompok kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian ketotifen perioperatif dengan dosis 2 x 1 mg pada pasien yang dilakukan operasi mastektomi, yang diberikan tiap 12 jam mulai dua jam sebelum operasi sampai dua hari pasca operasi, efektif dalam menurunkan respon inflamasi yang terjadi paska operasi yang dapat dilihat dari kadar IL 6 setelah pemberian obat lebih rendah pada kelompok ketotifen dibanding kelompok kontrol. Serta adanya perbedaan yang signifikan pada perubahan kadar IL 6 antara sebelum dan sesudah pemberian obat, dimana kelompok ketotifen menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa peningkatan skor nyeri yang dinilai menggunakan visual analog scale (VAS) pada kelompok ketotifen lebih rendah dibanding dengan peningkatan VAS kelompok kontrol pada pasien paska commit to user 70 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id operasi maktektomi, yaitu pada kelompok ketotifen peningkatan VAS sebesar 5% sedangkan peningkatan VAS kelompok kontrol sebesar 78,26%. Sel mast merupakan salah satu dari sel residen yang ikut memproduksi mediator proinflamasi, akan mengeluarkan interleukin 6 disamping mediator proinflamasi lainnya, setelah terjadi cidera jaringan (Thacker et al., 2007). Dengan menghambat terjadinya degranulasi sel mast oleh ketotifen, maka hal ini akan menurunkan pengeluaran interleukin 6 dan mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast. Hal ini akan membantu dalam mengendalikan proses inflamasi yang terjadi pasca cedera jaringan, yang selanjutnya diharapkan bahwa pada periode inflamasi yang terjadi dalam tahap-tahap penyembuhan luka, akan berjalan tanpa respon inflamasi yang berlebihan dan berkepanjangan. Akhirnya diharapkan bahwa kejadian nyeri kronis pasca bedah yang salah satunya merupakan konsekuensi dari adanya respon inflamasi yang berlebihan dan berkepanjangan, bisa dicegah dengan penggunaan ketotifen selama perioperatif. D. KETERBATASAN PENELITIAN Dalam penelitian ini masih ada keterbatasannya yaitu : 1. Pada penelitian ini kami hanyan mengukur salah satu mediator pro inflamasi yaitu interleukin 6. Sedangkan masih ada mediator pro inflamasi lain seperti TNF α dan IL 1 yang juga dikeluarkan saat terjadi trauma pembedahan. 2. Pada penelitian kami hanya digunakan satu obat dari golongan antihistamin yaitu ketotifen. 3. Pengukuran skor nyeri paska operasi pada penelitian kami hanya dilakukan pada fase inflamasi akut yaitu pada hari ke 3 paska operasi. commit to user 71 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi mastektomi dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Adanya pengaruh yang bermakna pada pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi maktektomi. 2. Hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan ketotifen bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi yang berlebihan yang bisa menimbulkan nyeri paska operasi. B. SARAN 1. Perlu dipertimbangkan pemberian ketotifen perioperatif pada operasioperasi dengan kejadian nyeri kronis paska bedah cukup tinggi seperti torakotomi, CABG (Coronary Artery Bypass Grafting), trauma pelvis, mastektomi, amputasi, dan hip arthroplasty. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai kadar mediator pro inflamasi lain seperti TNF α dan IL 1. 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas ketotifen terhadap kejadian nyeri kronis paska operasi. 4. Perlunya penelitian lanjutan terhadap obat antihistamin yang lain. commit to user 72 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR PUSTAKA Akkaya T, Ozkan D, 2009. Chronic post-surgical pain. AGRI ; 21(1) : 1-9 Aryana IGP Suka dan Biran Sjaiful I. 2006. Konsep Baru Kortikosteroid Pada Penanganan Sepsis. Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah. Baratawidjaja KG, 2006. Sitokin. In: Imunologi Dasar, Edisi VII. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp: 119-38. Buvanendran A, Kroin JS. 2010. Does Manipulating Local Surgical Wound Cytokines Improve Surgical Outcomes? Anesthesia-analgesia. Vol. 111. No. 6 Crawley G.C., Foster S.J, Mcmillan R.M. & Walker E.R.H. 1995. Discovery of ZD2138, a potent, Selective, Well-Tolerated, Nonredox Inhibitor of The Enzime 5-Lipoxygenase. The Search for Anti-Inflammatory Drudgs. Abstr. pp 191-231. El-Tahan, M. R. Warda O. M, Yasseen A. M, Attallah M. M. and Matterx M. K. 2007. A randomized study of the effects of preoperative ketorolac on general anaesthesia for caesarean section. Departments of *Anaesthesia and Surgical ICU, Obstetric and Gynaecology and Paediatrics, Faculty of Medicine, Mansoura University, Mansoura, Egypt. International Journal of Obstetric Anesthesia. 16, 214–220 Ganiswara S. 2000. Analgetik-antipiretik analgetik anti-inflamasi nonsterois dan obat pirai In: Farmakologi dan terapi, edisi 4 cetak ulang. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 207-233. Gupta P, Khanna J, Mitramustafi A K and Bhartia V. K. 2006. Role of preoperative dexamethasone as prophylaxis for postoperative nausea and vomiting in laparoscopic surgery J Minim Access Surg. 2(1): 12–15 Hong Jeong-Yeon. 2005. The Effect of Preoperative Ketorolac on WBC Response and Pain in Laparoscopic Surgery for Endometriosis. Yonsei Medical Journal. Vol. 46, No. 6, pp. 812 - 817 Kumaraswamy M.V. and. Satish S.2008. Antioxidant and Anti-Lipoxygenase Activity of Thespesia lampas Dalz & Gibs. Department of Studies in Microbiology, Herbal Drug Technology Laboratory University of Mysore, Mysore. Advances in Biological Research 2 (3-4): 56-59. Kehlet H, Jensen TS, Woolf C. 2006. Persistent Postsurgical Pain: Risk Factor commit to user and Prevention. Lancet, 367: 1618-25 73 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lalenoh HJ, Lalenoh DC. 2009. Pregabalin dan Gabapentin sebagai Analgesia Preemptif. Majalah Anesthesia & Critical Care. Vol. 27:3. Madsen J. Rask, Bukhave K., Laursen L.S. & Lauritsen K. 1992. 5-Lipoxygenase inhibitors for the treatment of inflammatory bowel disease. Abstr. Volume 36, Issue 3-4, pp C37-C46. Mansjoer Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Marsaban AHM, Bagianto H, Ma’as EM. 2009. Mekanisme dan Fisiologi Nyeri. In: Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Departemen Anestesiologi FKUI, Jakarta. pp: 1-24. Merskey H and Bogduk N. 1994. Classification of Chronic Pain, Second Edition.IASP Press, Seattle, pp 209-214 Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Paint Management. In: Clinical Anesthesiology. McGraw-Hill Companies, Inc. pp: 359-412. Murti B. 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kualitatif dan kuantitatif di bidang kesehatan. Edisi ke-2 Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Murphy Glenn S., Szokol Joseph W, Greenberg Steven B, Avram Michael J, Vender Jeffery S, Nisman Margarita and Vaughn Jessica. 2011. Preoperative Dexamethasone Enhances Quality of Recovery after Laparoscopic Cholecystectomy: Effect on In-hospital and Postdischarge Recovery Outcomes. Anesthesiology Perioperative Medicine Volume 114 - Issue 4 - pp 882-890 Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe C.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Lippincot’s Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah Azwar Agoes. Edisi II. Jakarta. Widya Medika. Halaman 259. Nigrovic P, Lee DM. 2013. Mast Cells. In: Firestein GS, Budd RC, Gabriel SE, McInnes MB, O’Dell JR (eds.), Kelleys Texbook of Rheumatology, Nine Edition. Elsevier Inc. pp. 232-44. Niraj G, Rowbotham D. 2011. Persistent Postoperative Pain: Where Are We Now?. British Journal of Anesthesia. 107(1): 25-9. Prasetyono TOH, 2009. General Concept of Wound Healing, Revisited. Med J Indonesia. Vol. 18, no. 3. commit to user 74 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ren K, Dubner R. 2010. Interactions Between the immune And nervous Systems in Pain. Nat Med. 16(11): 1267-1276 Rittner HL, Brack A, Stein C. 2008. Pain and The Immune System. British Journal of Anaesthesia. 101:40–44 Sayed M. H. Al-Habet & Howard J. Rogers. 1989. Methylprednisolone pharmacokinetics after intravenous and oral administration. London. Department of Clinical Pharmacology, Guy's Hospital Medical School (University of London) Br. J. clin. Pharmac. 27, 285-290. Smyth Emer M & Fitzgerald Garret A. 2012. Golongan Eikosanoid: Prostaglandin, Tromboksan, Leukotrien dan Senyawa Sejenis In:Katzung Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta. EGC. Hal. 298-313 Sudrajad I, 2006. Perbandingan dan Hubungan Skor Histologi CD8+ dan Rasio Skor Histologi CD4+ di Sekitar Luka dengan dan tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Penyembuhan Luka Pasca Incisi. Tesis S2, Universitas Dionegoro, Semarang. Thacker, MA, Clark AK, Marchand F, McMahon SB. 2007. Pathophysiology of Peripheral Neuropathic Pain: Immune Cells And Molecules. Anesth Analg. 105:838–847 Tillu D, Melemedjian O, Asiedu MN, Qu N, Felice MD, Dussor G, Price TJ. 2012. Resveratrol Engage AMPK to Attenuate ERK and mTOR Signaling in Sensory Neurons and Inhibits Incision-induced Acut and Chronic Pain. Molecular Pain, 8: 5 Tshori S, Razin E. 2010. Mast Cell Degranulation and Calcium Entry-the FynCalcium Store Connection. Journal of Leukocyte Biology. 88: 837-838 Waldron N. H., Jones C. A., Gan T. J. , Allen T. K. and. Hab A. S. 2012. Impact of perioperative dexamethasone on postoperative analgesi and sideeffects: systematic review and meta-analysis. British Journal of Anaesthesia, 10.1093 Page 1-10 Yasuda M, Kido K, Ohtani N, Masaki E. 2013. Mast Cell Stabilization Promotes Antinociceptive Effect, in A Mouse Model of Postoperative Pain. Journal of Pain Research. 3: 6, 161-6. Young-Sun Do, Soon EJ, Namgoong MK. 2009. Effects of Ketotifen on an Experimental Model of Ig Nephropathy. J Korean Soc Pediatr Nephrol. 13(2):153-160 commit to user 75 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lampiran 1 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : ……………………………………………………… L / P Umur : …………. tahun No CM : ……………………………………………………………. Alamat : ……………………………………………………………. Dengan ini menyetujui / bersedia sebagai responden dalam penelitian ”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”.. Dan Bahwa saya telah mendapatkan penjelasan sebelumnya tentang manfaat dari penelitian dan efek samping dari obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini. Surakarta,…………………….. 2014 Penanggung jawab Dedhi Subandriyo, dr Saksi Pasien (…………………………) (………………………..) commit to user 76 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lampiran 2 Formulir dan Check List Penelitian “ Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar IL 6 Serum Pada Operasi Mastektomi” No. Sampel ( D1/D2 ) : ………….... Tanggal : …………… No. RM : ………….... Nama : …………………………. L/P Umur : ……………tahun Tinggi badan : …………… cm Berat badan : …………....kg Status fisik : ASA I / II Skor VAS : …….. Tanggal pengambilan sampel : ……………. Visual Analogue Scale (VAS) commit to user 77 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lampiran 3 : Hasil Penelitian dan Analisis Statistik UJI NORMALITAS DATA RESPONDEN Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Kelompok Umur TB BB Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Perlakuan .110 15 .200 * .954 15 .594 Kontrol .151 15 .200 * .890 15 .068 Perlakuan .222 15 .046 .915 15 .163 Kontrol .174 15 .200 * .921 15 .201 Perlakuan .180 15 .200 * .929 15 .261 Kontrol .195 15 .130 .955 15 .599 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. commit to user 78 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UJI NORMALITAS DATA PERUBAHAN IL6 DAN VAS Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Kelompok IL6 VAS Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Perlakuan .142 15 .200 * .951 15 .538 Kontrol .146 15 .200 * .940 15 .378 Perlakuan .337 15 .000 .807 15 .005 Kontrol .258 15 .008 .882 15 .050 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. UJI NORMALITAS DATA IL 6 SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. IL6_K1_sblm .275 15 .003 .741 15 .001 IL6_K1_ssdh .179 15 .200 * .956 15 .625 IL6_K2_sblm .408 15 .000 .467 15 .000 IL6_K2_ssdh .223 15 .042 .899 15 .091 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. commit to user 79 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Statistic Df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. VAS_K1_sblm .419 15 .000 .603 15 .000 VAS_K1_ssdh .352 15 .000 .805 15 .004 VAS_K2_sblm .350 15 .000 .643 15 .000 VAS_K2_ssdh .297 15 .001 .865 15 .028 a. Lilliefors Significance Correction DATA RESPONDEN T-Test Group Statistics Kelompok Umur TB BB N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Perlakuan 15 44.73 9.565 2.470 Kontrol 15 46.13 12.955 3.345 Perlakuan 15 158.53 3.944 1.018 Kontrol 15 158.33 4.639 1.198 Perlakuan 15 58.73 9.498 2.452 Kontrol 15 55.67 9.394 2.425 commit to user 80 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference F Umur Equal variances assumed 2.087 Sig. .160 Equal variances not assumed TB Equal variances assumed 1.243 .274 Equal variances not assumed BB Equal variances assumed Equal variances not assumed .026 .873 t Sig. (2tailed) df Mean Std. Error Difference Difference Lower Upper -.337 28 .739 -1.400 4.158 -9.917 7.117 -.337 25.767 .739 -1.400 4.158 -9.951 7.151 .127 28 .900 .200 1.572 -3.020 3.420 .127 27.292 .900 .200 1.572 -3.024 3.424 .889 28 .382 3.067 3.449 -3.999 10.132 .889 27.997 .382 3.067 3.449 -3.999 10.132 commit to user 81 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KADAR IL 6 SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN KETOTIFEN Mann-Whitney Test Group Statistics Kelompok IL6_Sebelum IL6_Sesudah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Perlakuan 15 5.3967 4.12413 1.06485 Kontrol 15 10.0087 15.96693 4.12264 Perlakuan 15 13.8487 6.52742 1.68537 Kontrol 15 28.8800 23.27059 6.00844 Ranks Kelompok IL6_Sebelum IL6_Sesudah N Mean Rank Sum of Ranks Perlakuan 15 13.67 205.00 Kontrol 15 17.33 260.00 Total 30 Perlakuan 15 12.23 183.50 Kontrol 15 18.77 281.50 Total 30 commit to user 82 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b Test Statistics IL6_Sebelum Mann-Whitney U Wilcoxon W IL6_Sesudah 85.000 63.500 205.000 183.500 -1.141 -2.033 .254 .042 Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .267 a .041 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelompok VAS SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN KETOTIFEN Group Statistics Kelompok VAS_Sebelum VAS_Sesudah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Perlakuan 15 1.33 .488 .126 Kontrol 15 1.53 .516 .133 Perlakuan 15 1.40 .828 .214 Kontrol 15 2.73 .799 .206 commit to user 83 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Mann-Whitney Test Ranks Kelompok VAS_Sebelum VAS_Sesudah N Mean Rank Sum of Ranks Perlakuan 15 14.00 210.00 Kontrol 15 17.00 255.00 Total 30 Perlakuan 15 10.10 151.50 Kontrol 15 20.90 313.50 Total 30 b Test Statistics VAS_Sebelum Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] VAS_Sesudah 90.000 31.500 210.000 151.500 -1.087 -3.514 .277 .000 .367 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelompok commit to user 84 .000 a perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data Kadar IL 6 KELOMPOK KETOTIFEN IL6 NO D1 D2 Perubahan 1 2.55 19.17 16.62 2 2.55 15.76 13.21 3 2.79 8.82 6.03 4 4.61 15.4 10.79 5 2.79 8.72 5.93 6 4.09 13.24 9.15 7 3.21 17.55 14.34 8 2.10 13.88 11.78 9 2.18 8.24 6.06 10 3.26 8.72 5.46 11 4.96 4.61 -0.35 12 6.98 5.41 -1.57 13 13.77 27.55 13.78 14 12.29 22.61 10.32 15 12.82 18.05 5.23 5.40 13.85 8.45 Rata² commit to user 85 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data Kadar IL 6 KELOMPOK PLASEBO IL6 NO D1 D2 Perubahan 1 3.18 5.95 2.77 2 4.02 26.71 22.69 3 2.48 29.46 26.98 4 6.32 61.68 55.36 5 8.33 23.88 15.55 6 3.10 2.71 -0.39 7 5.59 15.4 9.81 8 2.40 9.42 7.02 9 16.45 44.75 28.30 10 3.51 19.51 16.00 11 8.34 53.68 45.34 12 66.21 84.67 18.46 13 8.25 21.11 12.86 14 7.94 4.87 -3.07 15 4.01 29.4 25.39 10.01 28.88 18.87 Rata² commit to user 86 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data Skor VAS KELOMPOK KETOTIFEN VAS NO D1 D2 Perubahan 1 2 1 -1 2 2 2 0 3 2 0 -2 4 1 1 0 5 1 1 0 6 1 1 0 7 1 2 1 8 1 1 0 9 1 1 0 10 1 1 0 11 1 1 0 12 1 1 0 13 1 3 2 14 2 3 1 15 2 2 0 1.33 1.40 0.07 Rata² commit to user 87 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data Skor VAS KELOMPOK PLASEBO VAS NO D1 D2 Perubahan 1 2 2 0 2 2 3 1 3 1 3 2 4 2 3 1 5 1 3 2 6 1 1 0 7 1 2 1 8 1 2 1 9 1 4 3 10 2 3 1 11 2 4 2 12 2 3 1 13 1 3 2 14 2 2 0 15 2 3 1 1.53 2.73 1.20 Rata² commit to user 88 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DATA PERUBAHAN KADAR IL 6 T-Test Group Statistics Kelompok IL6 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Perlakuan 15 8.4520 5.26529 1.35949 Kontrol 15 18.8713 16.11024 4.15964 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2- F IL6 Equal 8.273 Sig. t df .008 -2.381 tailed) Mean Std. Error Difference Difference Lower Upper 28 .024 -10.41933 4.37617 -19.38351 -1.45515 -2.381 16.957 .029 -10.41933 4.37617 -19.65402 -1.18464 variances assumed Equal variances not assumed commit to user 89 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERUBAHAN DATA VAS. Group Statistics Kelompok VAS N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Perlakuan 15 .07 .884 .228 Kontrol 15 1.20 .862 .223 Descriptive Statistics N Mean Std. Deviation Minimum Maximum VAS 30 .63 1.033 -2 3 Kelompok 30 1.50 .509 1 2 Mann-Whitney Test Ranks Kelompok VAS N Mean Rank Sum of Ranks Perlakuan 15 10.67 160.00 Kontrol 15 20.33 305.00 Total 30 commit to user 90 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b Test Statistics VAS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 40.000 160.000 -3.191 .001 .002 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelompok commit to user 91 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lampiran 4 Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM NIP. 19621022 199503 1001 commit to user 92 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lampiran 5 commit to user 93