pengaruh pemberian ketotifen terhadap kadar interleukin 6 serum

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH PEMBERIAN KETOTIFEN TERHADAP
KADAR INTERLEUKIN 6 SERUM DAN SKOR NYERI
PADA OPERASI MASTEKTOMI
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Minat Utama: Ilmu Biomedik
Oleh
Dedhi Subandriyo
S501008013
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2014
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Alloh, Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk
dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian Tesis dengan
judul ”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum
dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”.
Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu persyaratan
untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan
terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
di Universitas Sebelas Maret ini.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret.
4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran
Keluarga dan selaku pembimbing metodologis yang dengan kesabarannya
membimbing dan meneliti Tesis ini sehingga menjadi lebih baik.
5. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada
program Magister Kedokteran Keluarga.
6. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi
dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih atas segala bimbingan
dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis
ini.
7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM
dan selaku pembimbing substansi , atas kesediaannya meluangkan waktu
dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih telah
memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
8. ”Guru-guruku” yang
tidak pernah lelah mengajari, dan memberi
kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan
Intensive Care UNS.
9. Kedua orang tua penulis, Bapak Endi Suwadji dan Ibu Titik Murgiati yang
sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan,
bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk
penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Istri tercinta dan tersayang, Nurul Indarti Setyaningrum, yang tak pernah
lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan
perhatiannya, serta anak-anaku, Ummu Abdillah Asy Syifa dan
Abdurrohman Afifi yang menjadikan hidup lebih berwarna selama penulis
menjalani pendidikan.
11. Kakak-kakakku yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi
dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
12. Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu
dan mendukung,
terkhusus dr. Frans Kausario dan dr. Arya Windhi yng telah membantu
dalam proses sampling.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik
dan saran dari pembaca penulis harapkan sehingga lebih sempurna.
Surakarta,
Agustus 2014
Dedhi Subandriyo, dr
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACK
Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap
Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi.
Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi
Sudjito, dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran,
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Background : Postsurgical chronic pain is the consquence of exaggerate and
ongoing inflammation. Inflammatory processes after surgical incision are
maintained through the release of inflammatory mediators by resident cell,
including mast cell. Ketotifen as a mast cell stabilizer, had been proven inhibits
mast cell degranulation, released several mediator, including proinflammatory
cytokine interleukin 6..
Purpose : To proof effect of ketotifen in reduce interleukin 6 serum level and pain
score in mastectomy procedure.
Methods : This is a clinical study setting withvdouble blind randomized
controlled trial. Thirty patients were randomly devided in to two groups. K1,
Ketotifen group, fiveteen patients with mastectomy procedure and get oral
ketotifen. K2, fiveteen patients and get placebo. Before and on day 3th post
operative, the patinets were examinated interleukin 6 serum level and pain score.
The alteration il-6 serum level and pain score were analyzed with independent ttest.
Result : There was significant differences (p < 0.05), the alteration il-6 serum
level and pain score of the ketotifen treated group (K1) was lower than control
group (K1).
Conclusion Ketotifen play a role in preventing post operative pain, however
administering oral ketotifen effective control exceed inflammatory response in
post operativ which marked with inhibition interleukin 6 product .
Keywords : Ketotifen, interleukin-6, post operative pain.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap
Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi.
Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi
Sudjito. dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran,
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang : Nyeri kronis pasca bedah merupakan salah satu konskuensi dari
adanya proses inflamasi yang berlebihan. Proses inflamasi pasca bedah diawali
dengan pelepasan mediator inflamasi oleh sel residen, dimana salah satunya
adalah sel mast. Ketotifen sebagai agent stabilisasi sel mast, telah terbukti
mencegah terjadinya degranulasi sel mast yang akan melepaskan berbagai
mediator, termasuk sitokin proinflamasi interleukin 6.
Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar
interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi
Metode : Uji klinik dengan desain double blind randomized controlled trial. 30
pasien yang menjalani operasi mastektomi dibagi menjadi dua kelompok. K1,
kelompok ketotifen terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi
dengan pemberian ketotifen oral perioperatif, dan K2, kelompok kontrol terdiri
dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi yang diberikan plasebo oral.
Sebelum operasi dan hari ketiga setelah operasi pasien di periksa kadar interleukin
6 serum dan skor nyeri. Perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri sebelum dan
setelah operasi yang didapat di analisa dengan uji statistik independent t-test.
Hasil : Ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05) dari perubahan kadar interleukin
6 dan skor nyeri pada kelompok yang diberi ketotifen yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Ketotifen mempunyai peran dalam pencegahan nyeri paska operasi,
dimana ketotifen efektif mengendalikan reaksi inflamasi yang berlebihan paska
operasi yang ditandai dengan hambatan produksi interleukin 6.
Kata Kunci : Ketotifen, interleukin-6, nyeri paska operasi.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................
i
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS .....................................
iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................
iv
ABSTRAK .....................................................................................................................
vii
DAFTAR ISI..................................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .........................................................................................
6
1. Tujuan Umum .........................................................................................
6
2. Tujuan Khusus ........................................................................................
6
D. Manfaat penelitian .......................................................................................
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
7
A. Kajian Teori .................................................................................................
7
1. Nyeri .......................................................................................................
7
a. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri ......................................................
7
b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi.............................................................
10
c. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri............................................
11
d. Nyeri Kronis Pasca Bedah .................................................................
28
e. Proses Penyembuhan Luka ................................................................
34
f. Pengukuran Intensitas Nyeri ..............................................................
37
2. Interleukin 6 ............................................................................................
39
3. Ketotifen .................................................................................................
41
a. Struktur Kimia ...................................................................................
42
b. Mekanisme Kerja ...............................................................................
43
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Farmakokinetik............................................................ ......................
44
d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian ..................................................
44
e. Efek Samping ....................................................................................
45
4. Sel Mast ..................................................................................................
46
B. Kerangka Teori ............................................................................................
53
C. Kerangka Konsep .........................................................................................
54
D. Hipotesis ......................................................................................................
55
BAB III. METODE PENELITIAN ..............................................................................
56
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................
56
B. Jenis Penelitian.............................................................................................
56
C. Populasi dsn Besar Sampel ..........................................................................
57
D. Variabel Penelitian .......................................................................................
58
E. Definisi Operasional ....................................................................................
58
F. Instrumen Penelitian ....................................................................................
59
G. Alur Penelitian .............................................................................................
60
H. Analisa Penelitian ........................................................................................
62
I.
Perijinan Penelitian ......................................................................................
62
J. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian .................................................
63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………….. .......................
64
A. Hasil Penelitian ...........................................................................................
64
B. Analisis Data………………………………………………. .......................
65
C. Pembahasan………………………………………………... .......................
69
D. Keterbatasan Penelitian……………………………………… ....................
71
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
72
A. Kesimpulan .................................................................................................
72
B. Saran ……………………………………………………… ........................
72
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................
73
LAMPIRAN
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat .....................
15
Gambar 2.2
Imunofisiologi nyeri inflamasi ....................................................
16
Gambar 2.3
Biosintesis prostanoid ..................................................................
20
Gambar 2.4
Biosintesis leukotriene ................................................................
22
Gambar 2.5
Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi .........................................
24
Gambar 2.6
Respon mediator inflamasi ..........................................................
32
Gambar 2.7
Numeric Pain Intensity Scale ......................................................
36
Gambar 2.8
Visual Analogue Scale ................................................................
36
Gambar 2.9
Wong Baker Faces Pain Rating Scale .........................................
37
Gambar 2.10 Alur Ikatan sitokin dengan nosiseptor .........................................
38
Gambar 2.11 Asal dan diferensiasi sel mast......................................................
45
Gambar 2.12 Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan ...................
46
Gambar 2.13 Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor ..........................
47
Gambar 2.14 Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast ..........................
48
Gambar 2.15 Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia ....
51
Gambar2.16 Proses degranulasi yang dimediasi reseptor FcεRI sel mast ......
52
Gambar2.17 Kerangka Teori ............................................................................
53
Gambar2.18 Kerangka Konsep ........................................................................
54
Gambar 3.1
Alur Penelitian .............................................................................
59
Gambar 4.1
Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol .......................................................................
75
Gambar 4.2 Perubahan VAS Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol .....
78
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah .....................................
27
Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi ........................................................
65
Tabel 4.2 Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden ...........
66
Tabel 4.3 Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6 ................................
67
Tabel 4.4 Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS ...............................
68
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)
Lampiran 2
Formulir dan Check List Penelitian
Lampiran 3
Hasil Penelitian dan Analisis Statistik
Lampiran 4
Lembar Konsultasi Tesis
Lampiran 5
Ethical clearance
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Trauma pembedahan akan menghasilkan perubahan biokimia lokal
komplek yang ikut andil dalam suatu proses inflamasi dan nyeri akut pasca
operasi, dan dalam beberapa kasus berlanjut ke nyeri kronik pasca operasi.
Cedera jaringan akan mengakibatkan peningkatan sitokin proinflamasi yang
akan menyebabkan sensitisasi sistim syaraf sentral maupun perifer, yang
mengarah kepada terjadinya hiperalgesia (Buvanendran dan Kroin, 2010).
Anestesi lokal, opioid, maupun cyclooxygenase (COX) inhibitor dapat
mengontrol nyeri pasca operasi baik selama ataupun segera setelah
pembedahan. Secara umum penanggulangan nyeri perioperatif dengan
memberikan obat-obat tersebut di atas, dan non steroid anti inflamasi drugs
(NSAID) yang bekerja pada jalur cyclooxygenase (COX) inhibitor, baik COX-1
maupun COX-2 paling banyak digunakan, namun pada hambatan pada jalur
lipoxigenase (LOX) belum banyak perhatian padahal leukotrien yang
dihasilkan dari jalur ini memiliki andil yang besar dalam proses inflamasi
bahkan proses inflamasi yang sudah timbul diperberat dengan kehadiran
leukotrien ini akibat kemampuannya sebagai kemotaktik. Kemotaktik adalah
kemampuan mediator kimia yang dapat mengundang sel-sel imunologis
migrasi ke daerah inflamasi seperti netrofil, basofil, makropage dan sel mast
yang mengeluarkan berbagai mediator kimia yang dapat menyebakan
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
inflamasi, nyeri akut bahkan timbulnya nyeri kronis pasca operasi (Smyth &
Fitzgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006). Nyeri yang menetap sampai setelah
luka operasi sembuh bisa menjadi suatu masalah. Hal tersebut dikenal sebagai
nyeri kronis pasca bedah, yang berlangsung antara tiga sampai enam bulan
pasca operasi (Kehlet et al., 2006). Disebutkan antara 10 sampai 50% pasien
mengalami nyeri kronis pasca bedah, setelah menjalani proses pembedahan
seperti operasi hernia, mastektomi atau lumpektomi, bedah thorak, amputasi
kaki, maupun coronary artery bypass grafting (CABG) (Tillu et al., 2012).
Terjadinya inflamasi setelah incisi pembedahan diawali dengan
adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu
datangnya sel-sel lekosit seperti netrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan
mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses
inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald, 2012). Beberapa
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui
menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al., 2013).
Sel mast yang teraktivasi dapat mengeluarkan histamin, berbagai
macam mediator inflamasi seperti beberapa eichosanoid, proteoglycan,
protease, serta beberapa kemokin dan sitokin proinflamasi seperti tumor
necrosing factor-α (TNF-α), interleukin (IL)-6, IL-4, IL-13, dan transforming
growth factor-β. TNF-α dan IL-6 dari sel mast meningkatkan migrasi lekosit
dan memperberat lesi inflamasi. Walaupun memiliki fungsi yang bermanfaat
dalam hal pertahanan diri, sitokin proinflamasi bisa memacu terjadinya kondisi
patologis ketika diproduksi secara berlebihan (Kim et al., 2006).
commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dijelaskan bahwa nyeri kronik pasca bedah adalah konsekuensi baik
dari proses inflamasi yang berlebihan maupun suatu manifestasi dari nyeri
neuropati yang disebabkan oleh cedera pembedahan pada syaraf perifer (Kehlet
et al., 2006). Kejadian nyeri kronis pasca bedah relatif tinggi, dan hal itulah
yang mendorong dipertimbangkannya usaha untuk mengendalikan proses
inflamasi pasca bedah sebagai usaha untuk mengurangi kejadian nyeri kronis
pasca bedah (Buvanendran & Kroin, 2010).
Ketotifen merupakan obat antialergi yang bekerja sebagai antagonis
reseptor histamin, efek lain yang menguntungkan dari obat ini berhubungan
dengan aksinya menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari
sel Mast, basofil dan netrofil. Dari penelitian Novianto (2013) telah
membuktikan efektifitas ketotifen dalam mencegah degranulasi sel Mast pada
tikus wistar yang dilakukan insisi pembedahan dan penelitian Apandi (2013)
menyebutkan ketotifen efektif menurunkan pelepasan histamin yang dipicu
oleh pemberian pelumpuh otot Atrakurium. Ketotifen menghambat pelepasan
mediator sel Mast dengan cara kombinasi, memblokade influks Ca++ dari
Extracellular ke Intracellular dan dengan mencegah penurunan cyclic
adenosine monophosphate (c-AMP) yang dapat menghambat degranulasi sel
Mast. Mekanisme calcium-dependent adalah metode utama degranulasi, meski
beberapa mediator pro-fibrotik dari sel Mast juga disekresi lewat mekanisme
Ca++- independent (Monument et al., 2012).
Penelitian ini bermaksud menganalisisi pengaruh pemberian
ketotifen dalam mengurangi reaksi inflamasi yang dimediasi oleh interleukin 6
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang memiliki peran terjadinya nyeri kronis pasca operasi, sehingga bisa
digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya
proses inflamasi sehingga dapat mengurangi nyeri pasca operasi. Pengambilan
sampel dilakukan pada pasien dengan operasi mastektomi disebabkan hampir
setiap hari dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Moewardi dan resiko
terjadinya nyeri kronis paska operasi pada pasien ini juga tinggi.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar
interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar
interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori dalam upaya
menerangkan tentang pengaruh pemberian ketotifen pasca operasi pada
reaksi inflamasi dan nyeri kronis.
2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menjelaskan bahwa hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan
ketotifen bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca
operasi.
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. NYERI
a. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri
Nyeri merupakan salah satu tanda adanya proses inflamasi. Inflamasi
adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis
dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan
yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi.
Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia
(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem
kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi
(Murphy at al, 2007)
Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah
membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di
masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju
sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang
spesifik (Marsaban et al, 2009).
Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap
infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
infeksi untuk meningkatkan performa makrofag menyediakan rintangan
untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk
jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at
al, 2007).
Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam
dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh
darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah,
disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat
menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah
terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan
endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah
dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi
ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai
ekstravasasi (Murphy at al, 2007).
Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda
sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor
atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan
menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al,
2001, Murphy at al, 2007).
Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi
yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari
pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Rencana penangan nyeri
itu sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nyeri tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien
biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis
setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang
mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006)
Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri,
yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor
(reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua
adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang
diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan
sistim syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola
distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam),
gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting
lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan.
Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan
jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi
(inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf
yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah
suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab
kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca
bedah bisa disebabkan oleh
karena ada sensitisasi syaraf perifer dan
sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri
akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut.
Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif),
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini.
Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri
kronik (Lalenoh, 2009)
b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi
Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi
tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia
(misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik
perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar
pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon
terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri
mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion
sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem
intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang
otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik
dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan
verbal (Marsaban et al, 2009)
Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan
informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke
korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik
pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke
akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input
sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik
(aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian,
visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (Marsaban et al,
2009)
c. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri
Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau
iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung
melalui ligant-gated ion chennel atau dapat pula melalui reseptor metabotropik
yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat mengaktifkan dan
atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara khusus dengan
memperhatikan hubungan linier antara intensitas rangsangan, aktivitas pada
nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter spinal dan aktivitas neuraon
yang memproyeksi medula spinalis ke otak (Marsaban et al, 2009).
Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak
hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga
berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus
diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap
perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al,
2009)
Tahap proses terjadinya nyeri sebagai berikut :
1. Transduksi
Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi
endogen berupa bradikinin,
substansi
P, serotonin, histamin, ion H, ion K,
commit
to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang
melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa
phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung
aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG)
endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan
PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri
tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2).
Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah
kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P,
PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi
senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam
ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon
inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan
jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan
LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar
dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga
terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi
normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus
menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula
sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi
proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan
makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan
eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak
langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk
melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4
(LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi,
sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6,
TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer
melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan
eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya
prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung
mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia.
Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid
(AINS) (Setiabudi, 2005).
2. Transmisi
Impuls akan ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer
lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut
perifer terdiri dari serabut sensorik, motorik somatik, motorik otonomik.
Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls
nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera.
Serabut yang menghantarkan impuls nosiseptif hanya serabut Aδ dan C,
yang tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon
adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron
aferen primer melewati radiks posterior menuju medula spinalis pada
berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks
commit
to user
posterior. Serabut aferen
primer
berakhir pada lamina I, substansia
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gelatinosa (lamina II, III), lamina V dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke
neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu
posterior berfungsi sebagai jalur masuk desendens dari otak untuk
melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan
ke daerah somatosensorik di korteks serebri. Proses transmisi dapat
dihambat oleh anestetik lokal (Sudrajad, 2006)
3. Modulasi
Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan
mengalami penyaringan intensitas. Sistem pengendali modulasi ini
adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of
pain.. Apabila impuls melebihi ambang sel transmisi maka akan
melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat
supraspinal di korteks somatosensoris. Substansi yang bekerja sebagai
modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin,
noradrenalin, dopamin, serotonin dan gamma amino butyric acid
(GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi
P, adenosin triphosphate (ATP) dan asam amino eksitatori (Sudrajad,
2006)
4. Persepsi
Sel transmisi didalam sistim gerbang spinal kendali nyeri
menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls
melebihi atau sama dengan ambang sel transmisi, impuls nosiseptif
tersebut dapat melewati sistim gerbang kendali dan diteruskan ke pusatcommit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek
transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer serta
sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan
menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara
sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat
kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan
oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya
(Setiabudi, 2005).
Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi
yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien
dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakidonat
(Gambar 2.1). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar
pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses
inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga
akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003)
Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang
berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan
kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfositT. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai
mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam
patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik
perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas
benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa
blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha
melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak
langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al.,
2007).
Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat
(Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007).
Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi
dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping
sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi
nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta
interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun
,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang
meengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri
(Ren & Dubner, 2010).
Asam arakidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling
penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang
mengandung emapat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk
menghasilkan asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20: 46). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai
panjang tak jenuh ganda,commit
banyak
ditemukan pada hewan dan juga
to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar
sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus
dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih
lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.1). Setidanya ada tiga
fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran:
PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium.
Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan
lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012)
Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakidonat dioksigenasi melalui
empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX),
epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis
eikosanoid yang disisntesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel.
(Smyth & Fitgerald, 2012)
a. Jalur siklooksigenase
Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi
endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan
secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya. rangsangan dari luar.
Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya
sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk
gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress,
faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan
prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotekti epitel lambung,
sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang
melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain
ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel
merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid
yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang
normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan
pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional
dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006)
Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi
nonsteroid menimbulkan efek terapeutiknya. Indometasin dan sulindac
bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen
kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib,
diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2
dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan
menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari)
menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan
COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012).
Prostaglandin,
tromboksan
dan
prostasiklin
yang
secara
keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase
dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua
hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir,
misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2.
Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel
vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi
trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012).
Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan
prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)
Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan
vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya
telah
user
dikembangkan commit
untuk to indikasi
18
kardiovaskular
meskipun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan
(Smyth & Fitgerald, 2012).
b. Jalur lipoksigenase
Metabolisme asam arakidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase
(LOX)
menghasilkan
produk
asam
hidroperoksieikosatetraenoat
(HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.4). arakidonat yang dimetabolisme
melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX, disertai dengan
protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian menghasilkan epoksida
leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat antara ini dapat berubah
menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau berkonjugasi dengan glutation
untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4) yang mengalami degradasi
bertahap pada gugus gulation oleh peptidase untuk membentuk LTD4
dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai leukotrien sisteinil atau
peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4 dan LTD4 merangsang
sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald, 2012).
LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten
menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi
plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai
komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A)
yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga
yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi
bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012,
Crawley et al, 1995).
LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas
miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi
miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012).
Gambar 2.4 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara
keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil
transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth &
Fitgerald, 2012)
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Leukotrien diyakini berperan pada patogenesis peradangan terutama
pada penyakit-penyakit kronis seperti asma dan irritable bowel disease
(Madsen et al, 1992). Leukotrien memiliki peran yang sangat besar terhadap
patofisiologi terjadinya penyakit-penyakit inflamasi berat dan pemilihan
obat anti lipoxigenase aktivity merupakan pilihan yang tepat dalam
penanganan penyakit inflamasi (Kumaraswamy & Satish 2008).
Leukotrien juga diprediksi memiliki andil terhadap timbulnya nyeri
kronis pasca operasi, ini dikaitkan dengan kemampuan leukotrien sebagai
mediator kemotaktik. Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan
berbagai macam mediator inflamasi dari sel mast (seperti prostaglandin,
interleukin 6 dan sitokinnya) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris
dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan
penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses
inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang
dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula
spinalis. Mekanisme ini sebenarnya bukan merupakan faktor penyebab pada
kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham,
2011).
Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang
berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan
kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfositT. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai
mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik
perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas
benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar
2.1 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa
blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha
melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak
langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al.,
2007).
Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi,
dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping
sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi
nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta
interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun
,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang
mekoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren
& Dubner, 2010).
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.5. Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi (Sumber : thacker et al.,
2007).
Seperti terlihat pada gambar 2.5, pasca cidera terjadi aktivasi sel-sel
imun residen, elemen-elemen non neural ( sel Schwann, sel mast, netrofil,
makrofag dan sel T) ikut terlibat serta berproliferasi dan melepaskan TNFα,
IL-1β, IL-6, 2, histamin, PGE2 dan NGF yg memicu serta mempertahankan
abnormalitas sensoris pasca cidera (thacker et al., 2007).
Hingga saat ini dikenal ada dua macam nyeri persisten kronis, yaitu
nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan
proses peradangan akibat cidera jaringan, sedangkan nyeri neurogenik
timbul akibat kerusakan saraf perifer atau saraf sentral. Pada nyeri
nosiseptif, lesi pertama dan
prosesto peradangan
menyebabkan perubahan
commit
user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada serabut Aδ dan serabut C yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi,
penyertaan nosiseptor yang normalnya tidak aktif, aktivasi kanal ionik dan
reseptor membran (Pace et al, 2006).
Selama inflamasi dan neuropati terjadi perubahan fenotipik serabut
ganglion dorsalis yaitu terjadi peningkatan eksitabilitas, perubahan sinyal
sistem imun di SSP, dan modifikasi endokrin sehingga setelah kerusakan
jaringan, nosiseptor menjadi hipereksitabel. Interaksi sel-sel imun dan sel
glia dengan sistem saraf akan merubah sensitivitas nyeri dan memediasi
transisi nyeri akut ke nyeri kronis (Ren & Dubner, 2010).
Nyeri berhubungan dengan segala kerusakan dari permukaan kulit.
Intensitas dan durasi dari nyeri tergantung sifat trauma itu sendiri, proses
penyembuhan, dan faktor dari individu. Pelepasan mediator nyeri
merupakan mekanisme dalam menanggapi nyeri tersebut sehubungan
dengan adanya stimulus perifer tersebut. Berbagai macam mediator nyeri
yang dikeluarkan sangat berguna dalam proses penyembuhan luka selama
beberapa waktu, tetapi dilaporkan bahwa pelepasan mediator nyeri yang
terjadi terus menerus melewati periode inflamasi akan menyebabkan efek
yang kurang baik atau merusak proses penyembuhan luka itu sendiri
(Widgerow & Kalaria, 2012).
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.6. Respon mediator inflamasi (Sumber : Widgerow & Kalaria,
2012).
Pembebasan mediator nyeri yang berlebihan bisa menyebabkan
hipersensitisasi pada nosiseptor, hiperinflamasi seluler, perubahan matrik
ekstraseluler, dan potensial mengakibatkan terjadinya jaringan fibrotik yang
berlebihan. Pada keadaan nyeri kronis bisa jadi disebabkan oleh pelepasan
mediator yang terjadi berlarut-larut (Widgerow & Kalaria, 2012).
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Nyeri Kronis Pasca Bedah
Nyeri kronis pasca bedah adalah nyeri yang menetap setidaknya
selama tiga bulan setelah tindakan bedah berlangsung. Nyeri yang timbul
akibat konsekuensi dari suatu keganasan atau infeksi kronis tidak termasuk
dalam definisi ini. Nyeri kronis pasca bedah bisa terjadi pada operasi besar
seperti amputasi, penggantian sendi, dan lain sebagainya, ataupun operasioperasi kecil seperti operasi hernia dan vasektomi (Akkaya & Ozkan, 2009)
Kebanyakan referensi menyebutkan kurang lebih 80% pasien
mengalami nyeri pasca operasi yang pengobatannya tidak adekuat. Telah
diamati bahwa 50% pasien mungkin menderita nyeri kronis pasca operasi
termasuk depresi ringan dan katastropi akibat nyeri (Harsoor, 2011).
Nyeri kronis pasca bedah terjadi melalui mekanisme kompleks yang
belum jelas. Berbagai mekanisme bertanggung jawab atas sindroma nyeri
yang berbeda, bahkan setelah suatu tindakan operasi yang sama (Akkaya &
Ozkan, 2009).
Saat ini banyak data dari berbagai penelitian mengenai seberapa
sering kejadian nyeri kronis pasca operasi. Tabel 2.1 menyajikan salah satu
contoh dari penelitian tentang data kejadian nyeri kronis pasca operasi dari
berbagai macam prosedur pembedahan. Tetapi, dari berbagai penelitian,
estimasi seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi dari masingmasing prosedur sangat lebar, sebagai contoh, mastektomi 20-30%,
amputasi 50-85%, histerektomi 5-30%, bedah jantung 30-55%, hernia 535%, dan torakotomi 5-65% (Niraj & Rowbotham, 2011)
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nyeri kronis pasca bedah dapat disebabkan oleh inflamasi yang
sedang berlangsung maupun sebagai manifestasi nyeri neuropatik akibat
cedera saraf perifer besar pada saat tindakan bedah. Pada nyeri yang
disebabkan oleh inflamasi terjadi peningkatan kepekaan rasa sakit sebagai
respon terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Hal ini terjadi akibat
pelepasan mediator inflamasi, yang kemudian menurunkan ambang
nosiseptor penginervasi jaringan yang mengalami inflamasi tersebut
(sensitisasi perifer). Bila terjadi peningkatan rangsangan (eksitabilitas)
neuron sistem saraf pusat (sensitisasi sentral), nyeri inflamasi dapat timbul
sebagai respon berlebihan terhadap input sensoris biasa. Nyeri neuropatik
merupakan nyeri yang timbul setelah cedera saraf dan sistem transmisi
sensorik di sumsum tulang belakang dan otak (Akkaya & Ozkan, 2009).
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah (Sumber : Niraj &
Rowbotham, 2011).
Dalam praktek klinis, sebagian besar nyeri kronis pasca bedah
merupakan nyeri neuropatik. Cedera saraf utama yang melewati lokasi
operasi merupakan salah satu prasyarat terjadinya nyeri kronis pasca bedah.
Pada sekelompok kecil pasien, respon peradangan kontinu dapat
memberikan kontribusi terhadap timbulnya nyeri inflamasi persisten,
misalnya nyeri yang terjadi setelah operasi hernia inguinalis mesh.
Berdasarkan temuan elektromiografi setelah dilakukan torakotomi, terdapat
cedera saraf interkostal di sekitar tempat insisi hingga 50-100%. Selain itu,
tingkat kerusakan saraf, yang dinilai berdasarkan adanya perubahan ambang
commit to
user rangsangan listrik pada daerah
sensorik dan respon somatosensori
terhadap
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bekas operasi torakotomi, berkorelasi dengan intensitas nyeri kronis
(Akkaya & Ozkan, 2009).
Namun, terdapat penelitian klinis yang bertentangan dengan
penelitian di atas. Maguire et al. dalam Taylan & Derya (2009) melakukan
uji elektrofisiologi terhadap pasien yang akan dilakukan torakotomi
sebelum, segera setelah operasi, minggu ke enam pasca operasi dan bulan
ketiga pasca operasi. Mereka tidak menemukan adanya hubungan antara
cedera saraf interkostal dan nyeri kronis. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai kontribusi sistem saraf pusat dan perifer untuk mengetahui
pada tingkat mana suatu lesi dapat menimbulkan neyri neuropatik melalui
cedera saraf serta cedera jaringan selain saraf yang rawan menimbulkan
nyeri neuropatik (Akkaya & Ozkan, 2009).
Strategi yang bagus untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pasca
bedah adalah dengan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin
menjadi penyebab meningkatnya kejadian nyeri kronis pasca bedah. Jika ini
bisa dilakukan, maka intervensi yang spesifik bisa kita lakukan. Beberap
faktor yang yang dilaporkan berhubungan dengan terjadinya nyeri kronis
pasca bedah adalah :
a. Nyeri praoperasi
Beratnya nyeri sebelum operasi telah menunjukkan di beberapa
penelitian berhubungan dengan timbulnya yeri kronis pasca bedah. Hal
ini pertama kali dikemukakan sehubungan dengan phantom limb pain
setelah amputasi. Disebutkan juga terdapat hubungan yang kuat pada
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prosedur pembedahan hernia dan torakotomi (Niraj & Rowbotham,
2011).
Dalam penelitian pada pasien yang menjalani operasi hernia, Page
et al. menemukan bahwa sekitar seperempat dari seluruh jumlah pasien
tidak merasakan sakit saat beristirahat sebelum operasi hernia, setengah
jumlah pasien merasakan sakit ringan, dan sisanya merasakan nyeri
ringan sampai sedang saat beristirahat sebelum operasi (Akkaya &
Ozkan, 2009).
b. Cedera syaraf
Lesi pada syaraf perifer juga sering dikaitkan dengan kejadian
nyeri kronis pasca bedah. Hal ini faktor yang paling penting pada
beberapa penelitian pasca torakotomi, dan kejadian kerusakan syaraf
telah memperlihatkan sebagai prediksi yang signifikan setelah hernia
repair. Kerusakan syaraf sering berhubungan dengan tanda klasik dari
nyeri neuropatik (Niraj & Rowbotham, 2011).
c. Proses inflamasi yang menetap
Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan dari berbagai macam
mediator inflamasi (seperti prostaglandin, sitokin) dan hal ini dapat
mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses
ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus,
dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses
inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan
perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri
kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011).
d. Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi
Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi menjadi hal yang sangat
penting pada beberapa situasi. Efek yang diberikan juga bervariasi
tergantung prosedur yang dijalani. Sebagai contoh,
nyeri yang
berlangsung selama 30 hari pasca operasi dilaporkan menjadi prediktor
yang signifikan pada operasi hernia repair, tetapi penelitian lain pada
torakotomi hal itu tidak terjadi (Niraj & Rowbotham, 2011).
Banyak
penelitian
terhadap
nyeri
kronis
pasca
bedah
mempublikasikan tentang pentingnya perawatan adekuat nyeri pasca
operasi pada periode akut (Akkaya & Ozkan, 2009).
e. Faktor genetik
Dalam populasi umum, kepekaan terhadap nosiseptif fisiologis dan
nyeri klinis dapat berbeda pada masing-masing individu. Dengan
demikian, dalam generasi yang berbeda serta tingkat pengalaman
merasakan
nyeri
yang
berbeda,
masing-masing
individu
dapat
memperlihatkan respon yang berbeda pula (Akkaya & Ozkan, 2009).
f. Faktor Pembedahan
Beberapa faktor bedah penting yang mungkin berkaitan dengan
terjadinya nyeri kronis pasca bedah, yaitu: durasi operasi, teknik bedah
(laparoskopi vs bedah terbuka), lokasi dan jenis sayatan, pengalaman ahli
bedah, dan tempat di mana intervensi bedah dilakukan. Peters et al.
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menemukan lebih banyak nyeri kronis yang terjadi setelah operasi lama
yang berlangsung lebih dari 3 jam (Akkaya & Ozkan, 2009).
g. Faktor Psikososial
Terdapat banyak artikel yang berhubungan dengan efek faktor
psikososial pada nyeri pasca operasi akut. Katz et al. menyimpulkan
bahwa kecemasan pra operasi adalah faktor risiko dalam terbentuknya
nyeri sampai 30 hari setelah operasi payudara. Insiden nyeri pasca
operasi akut dipengaruhi oleh catastrophization (Keyakinan negatif dan
respon berlebihan) (Akkaya & Ozkan, 2009).
e. Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari
perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan
berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel
parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM,
remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan
akuisisi kekuatan kekuatan luka (Winarto, 2005)
proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga
fase. Yang pertama adalah fase inflamasi, kemudian diikuti oleh fase
proliferasi,dan
diakhiri
dengan
fase
maturasi
atau
remodeling
(Prasetyono, 2009).
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi sejak hari pertama terjadinya luka
sampai kira-kira hari kelima pasca trauma. Fase inflamasi dimulai
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan adanya peristiwa hemostasis yang terjadi dalam beberapa jam
setelah trauma, dengan konstriksi pembuluh darah dan pembentukan
formasi jala fibrin, sementara itu terjadilah reaksi inflamasi (Guo &
Dipietro, 2010).
Vasokonstriksi akan diikuti dengan vasodilatasi kapiler,
dengan dihasilkannya serotonin dan histamin oleh sel mast yang
meningkatkan permeabilitas kapiler. Lekosit untuk selanjutnya akan
mengeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk
mengaktifkan proses inflamasi. Fase awal dari proses inflamasi
ditandai dengan perekrutan neutrofil yang mempunyai peran penting
untuk fagositosis dan mensekresi protease untuk membunuh bakteri
serta membantu proses degradasi jaringan nekrotik. Lebih jauh,
neutrofil berfungsi sebagai chemoattractans dari sel-sel yang lain
untuk terlibat dalam proses inflamasi (Reinke & Sorg, 2012).
2. Fase Proliferasi
Fase proliferasi terjadi kira-kira hari ketiga sampai hari
kesepuluh pasca trauma. Fokus utama proses penyembuhan pada fase
ini adalah penutupan luka dan perbaikan jaringan vaskuler (Reinke &
Sorg, 2012).
Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada
luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler
termasuk fibroblas dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstraseluler dari matrik
kolagen, fibronektin, dan asam hialuronik (Sudrajad, 2006)
Proses epitelisasi dimulai dari tepi luka oleh sel punca dari
folikel rambut dan kelenjar keringat. Proses ini diaktivasi oleh jalur
sinyal dari sel epitel dan nonepitel pada tepi luka yang melepaskan
beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti EGF, KGF, IGF-1,
dan NGF (Reinke & Sorg, 2012).
3. fase maturasi
fase ini berlangsung dari hari ke-7 dan bisa berlangsung lebih
dari satu tahun. Segera setelah matrik ekstraseluler terbentuk maka
dimulailah reorganisasi. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor
utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada permulaan
terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi
bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan
jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.
Sesudah lima hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan
pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar
tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan
cepat dari kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen.
Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3
minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan
akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang
dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahanan maksimal jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh
(Sudrajad, 2006).
Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai
satu tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup. Pada proses
remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan
selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan
parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Pengerutan luka yang
terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga merupakan faktor
berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus dibedakan dengan
kontraktur (Sudrajad, 2006).
f. Pengukuran Intensitas Nyeri :
1.
Verbal Rating Scale : Metode ini menggunakan suatu word list untuk
mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata –
kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Penilaian ini ada beberapa kriteria :
2.
-
Tidak nyeri (none)
-
Nyeri ringan (mild)
-
Nyeri sedang (moderat)
-
Nyeri berat (severe)
-
Nyeri sangat berat ( very severe)
Numerical Rating Scale : Metode ini menggunakan angka – angka untuk
menggambarkan
range
intensitas
nyeri
commit to user
35
dari
angka
0-10.
“0”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggambarkan tidak ada nyeri. Sedangkan “10” menggambarkan nyeri
hebat. Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale
3.
Visual analogue Scale : metode ini paling sering digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri, dengan menggunaan garis sepanjang 10 cm
yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat
hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas
nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak dapat digunakan pada anak
dibawah 8 tahun. Gambar 2.8 Visual analogue Scale
4.
McGill Pain Questionare : metode ini menggunakan chek list untuk
mendeskripsikan gejala-gejala nyeri ysng dirasakan. Metode ini
menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif,
dankognitif. Intenitas nyeri digambarkan dengan menggunakan ranking
dari 0-3.
5.
Faces Pain Scale : metode ini dengan cara melihat mimic wajah pasien
dan biasanya untuk menilai
intensitas
nyeri pada anak.
commit
to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.9. Wong Baker Faces Pain Rating Scale
2. INTERLEUKIN 6
Istilah limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk
golongan protein yang diproduksi oleh limfosit B dan T yang diaktifkan.
Ternyata sel-sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, dan
epitel juga memproduksi sitokin. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat
adalah sitokin. Sitokin merupakan protein sistim imun yang mengatur
interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas
nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2006).
Menurut definisinya sitokin adalah polipeptida yang diproduksi
sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang diperantarai dan
mengatur reaksi imunologik dan reaksi inflamasi. Banyak sitokin yang telah
diidentifikasi, baik dari struktur molekul maupun fungsinya. Beberapa
diantaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi
imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit, dan sel-sel lainnya, jadi
berfungsi sebagai imunomodulator spesifik maupun non-spesifik. Pada 2nd
International Lymphokin Workshop di Swiss tahun 1979, dicapai
kesepakatan untuk memberi satu nama generik kepada mediator-mediator
tersebut yang ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta
commit to user
fungsi yang serupa. Nama yang disepakati adalah intrleukin yang berarti
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya komunikasi antar sel leukosit. Hingga sekarang telah ditemukan
beberapa jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35, dan berbagai percobaan
telah dilakukan untuk menentukan fungsi masing-masing (Kresno, 2010).
Sitokin proinflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba,
trauma atau kerusakan sel penjamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi dan
meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh INF-γ,
TNF-α, dan IL-1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL1, IL-6, dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik.
Disamping itu dikenal sitokin-sitokin yang berfungsi dalam diferensiasi dan
fungsi serta mengontrol sel sistim imun dan jaringan (Baratawidjaja, 2006).
Gambar 2.10 Alur ikatan sitokin dengan nosiseptor
Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan dalam
maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari
limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang
commit to user
paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi
cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa dideteksi dalam 60 menit dengan
konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10
hari. IL-6 dipertimbangkan sebagai marker yang sangat relevan dari derajat
kerusakan jaringan dalam prosedur pembedahan yang berhubungan dengan
morbiditas pasca operasi (Oliveira et al., 2011).
3. KETOTIFEN
Ketotifen merupakan derivat dari benzocycloheptathiophene yang
mempunyai efek anti histamin dan anti anafilaktik. Hal itu ditunjukkan
dengan kemampuan ketotifen dalam mengeblok pelepasan mediator dari sel
mast peritonium tikus secara in vitro. Ketotifen mencegah terjadinya
pelepasan histamin dan leukotrien dari basofil dan jaringan paru, untuk
menjadi antagonis histamin pada reseptor H1, untuk menghambat ambilan
kalsium, untuk memblok reaksi anafilaktik kulit pasif, dan untuk mencegah
asma baik yang disebabkan oleh obat atau yang disebabkan oleh alergen.
Beberapa penelitian tentang ketotifen menunjukkan efek yang yang
bermanfaat dalam terapi asma (Sayeed, 2011).
Ketotifen fumarat merupakan obat antihistamin dan antialergi yang
telah diketahui menghambat degranulasi sel mast melalui mekanisme
calcium-dependent, dan memblok histamin secara non kompetitif pada
reseptor H1. Ketotifen telah disetujui oleh FDA sebagai terapi tambahan
pada dewasa dan anak diatas 15 tahun dengan asma, dan baru-baru ini FDA
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengijinkan ketotifen dipakai sebagai terapi alergi pada mata (Monument et
al., 2012).
a. Struktur Kimia
Ketotifen memiliki nama bangun yaitu 4-(1-metilpiperidinylidene)- 4,9-dihidro-10H-benzo [4,5] siklopenta [1,2-b] tiofen-10-satu
hydrogen (E)-butadiana. Formula molekul dari ketotifen adalah
C23H23NO5S, dan memiliki berat molekul 425,49742 (Serna, 2006).
b. Mekanisme Kerja
Infiltrasi dan degranulasi sel mast memiliki peran dalam proses
inflamasi. Degranulasi sel mast akan melepaskan berbagai macam
mediator inflamasi seperti sitokin, endothelin, growth factor dan enzim
proteolitik. Sehubungan dengan antagonis resptor histamin, beberapa
efeknya kemungkinan berhubungan dengan inhibisi terhadap pelepasan
sel mast dan derivat netrofil mediator inflamasi. Pada banyak penelitian
dan kondisi klinis, ketotifen tercatat mampu mengurangi degranulasi sel
mast
dan
mengurangi
pelepasan
histamin,
protease
sel
mast,
myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin.
Ketotifen juga menghambat agregasi polimorfonuklear dan migrasi serta
mengurangi respon inflamasi. Hal ini secara langsung akan mengurangi
fungsi eosinofil dan viabilitasnya (Khurana et al., 2011).
Ketotifen melakukan blokade secara non kompetitif terhadap
ikatan histamin 1 dengan reseptornya dan menghambat degranulasi sel
mast yang diperantarai oleh kalsium. Ketotifen merupakan agen
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
stabilisator sel mast yang mencegah degranulasi sel mast dengan cara
mencegah influk transmembran dari ion kalsium. Ketotifen dapat
memblokade pelepasan mediator oleh sel mast tikus secara in vitro.
(Khurana et al., 2011). Ketotifen juga memblok konsentrasi cyclyc-AMP
(c-AMP) yang diperlukan pada saat akhir degranulasi vesikel (Monument
et al., 2010)
Ketotifen menghambat produksi sitokin dari sel TH2. NO adalah
modulator sel Mast yang menginduksi aksi pro-inflamasi. Sel Mast juga
berperan pada kerusakan ginjal melalui aktivasi lokal sistem reninangitensin dalam nefrophati IgA. Sekresi sitokin dari sel Mast dan sel
Th2 seperti TGF-B yang memfasilitasi produksi IgA. Disini ada
peningkatan IL-4,5,6 yang merupakan sitokin dari sel TH2 dan sel Mast.
Produksi IgA intestinal yang berlebihan diketahui sebagai salah satu
penyebab nefrophati IgA. Ketotifen
mengaktivasi distribusi NOS di
lapisan luar korteks dan glomerulus dan menyebabkan penurunan
resistensi pembuluh darah renal (Young-Sun et al., 2009).
c. Farmakokinetik
Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara oral,
mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian.
Namun demikian, belum ada informasi yang cukup mengenai absorbsi
dari ketotifen sediaan tablet lepas lambat. Karena adanya efek first-pass
metabolism, bioavailabilitas obat ini hanya 50%. Kadar puncak dalam
plasma setelah dosis oral multipel sebesar 1mg, 2 kali sehari adalah 1.92
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mg/L pada dewasa dan 3.25 mg/L pada anak-anak, dengan daerah
dibawah kurva konsentrasi-waktu 16.98 mg/L dan 20,72 mg/L. Obat ini
dilaporkan 75% terikat protein (Grant et al., 1990).
Ketotifen dimetabolisme menjadi ketotifen-N-glukoronide yang
inaktif dan nor-ketotifen yang aktif secara farmakologi, dan jumlah
metabolit-metabolit ini dalam urine adalah sebanyak 50% dan 10% dari
dosis. Hanya sebanyak 1% yang dikeluarkan sebagai senyawa asal.
Pembersihan obat ini dari plasma bersifat bifasik, dengan waktu paruh
distribusi 3 jam dan waktu paruh eliminasi 22 jam pada orang dewasa.
Pola eliminasi pada anak-anak sama dengan pada dewasa. Tidak tersedia
data mengenai efek farmakokinetik obat ini pada usia lanjut atau pada
penyakit tertentu (Grant et al., 1990).
d. Sediaan, Dosis, dan Cara Pemberian
Ketotifen tersedia dalam bentuk tablet 1 mg dan sirup 0,2 mg/ml.
1 mg ketotifen identik dengan 1,38 mg ketotifen fumarat (Dewoto, 2009).
Ketotifen dalam bentuk tablet dapat diberikan pada orang dewasa dengan
dosis 1 mg, dua kali sehari digunakan bersama makanan. Dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2 mg, dua kali sehari. Jika obat menyebabkan
mengantuk, gunakan 0,5 dua kali sehari atau 1 mg pada malam hari dan
kemudian dinaikkan sampai dosis terapetik penuh. Jika perlu dosis dapat
ditingkatkan sampai 4 mg dan diberikan dalam dua dosis terbagi (Kalbe,
2011).
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk anak > 3 tahun diberikan sebanyak 1 mg, dua kali sehari.
Pada anak usia 6 bulan - 3 tahun diberikan dosis 0,05 mg/ kg BB dengan
pemberian per oral dua kali sehari. Pada anak-anak, dosis dapat dimulai
dengan setengah dari dosis normal dan ditingkatkan sampai dosis optimal
selama 5 hari (Kalbe, 2011).
e. Efek Samping
Efek samping ketotifen sama seperti efek samping AH1. Pernah
dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat
badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan
dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversibel, karena itu
kombinasi kedua obat tersebut harus dihindarkan. Ketotifen harus
diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap obat ini
(Dewoto, 2009).
4. Sel Mast
Sel mast mempunyai bentuk yang khas. Dengan ukuran yang
bervariasi dari 10 sampai dengan 60 µm dan dengan inti di tengahnya yang
berbentuk bulat atau lonjong. Sitoplasmanya yang banyak, terisi dengan
granula-granula yang bervariasi. Ditemukan oleh Paul Ehlrich, seorang
ilmuwan dari jerman pada tahun 1878. Distribusi dari sel mast sangat luas,
dalam jaringan, sel mast cenderung banyak berada disekitar pembuluh darah
dan serabut syaraf, dan berada dekat dengan permukaan epitel dan mukosa.
Sel mast juga ditemukan di peritonium dan di permukaan sendi-sendi. Di
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lokasi-lokasi tersebut sel mast memberikan perlindungan sebagai sel imun
pertama dengan menghadapi invasi patogen ke jaringan dari dunia luar.
(Nigrovic & Lee, 2013)
Sel mast pada jaringan di lokasi yang berbeda mempunyai granula
yang berbeda pula. Granula sel mast bisa hanya mengandung tryptase saja
(MCT), atau kombinasi dari tryptase, chymase, carboxypeptidase A, dan
cathepsin G (MCTC). Masing-masing tipe granula ini dominan pada sel mast
di lokasi-lokasi tertentu. MCT adalah tipe sel mast yang banyak berada di
alveoli paru-paru, mukosa usus halus, dan pada mukosa mata yang alergi.
MCTC sangat dominan pada kulit yang normal, pembuluh darah, submukosa,
dan pada sinovial. (Hsu & Boyce, 2009).
Sel mast berasal dari stem cells haematopoietic, dari sunsum tulang
dan berada di jaringan setelah melewati pembuluh darah. Setelah berada di
jaringan, sel mast bisa hidup sampai berbulan-bulan, pada kondisi tertentu,
sel mast bisa bermigrasi melalui sistim limfatik (Nigrovic & Lee, 2013).
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.11. Asal dan diferensiasi sel mast (Sumber : Nigrovic & Lee,
2013)
Sel Mast beredar di sirkulasi dalam bentuk imatur, diferensiasi dan
pematangannya terjadi secara lokal menyusul migrasi prekursor mereka ke
jaringan atau rongga serosal yang bervascularisasi di mana sel Mast pada
akhirnya akan berada. Pada vertebrata, sel Mast secara luas didistribusikan
ke seluruh jaringan yang bervascularisasi, terutama di dekat permukaan
yang terpapar lingkungan, termasuk kulit, saluran napas dan saluran
pencernaan dimana patogen, alergen, dan agen lingkungan lainnya
seringkali menyerang. (Galli et al., 2008)
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.12. Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan (Sumber :
Galli et al., 2008).
Gambar di atas menerangkan sel mast jaringan berasal dari
haematopoietic stem cells (HSCs), yang akhirnya berkembang menjadi
progenitor sel mast (MCPs). MCPs beredar dalam darah dan masuk ke
jaringan dimana mereka akan mengalami diferensiasi dan maturasi. Stem
cell factor (SCF) diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dari sel mast,
tapi fenotip dari sel mast matur bisa berbeda-beda tergantung dari
lingkungan faktor pertumbuhannya. Sebagai contoh adanya sitokin
tambahan yang berefek pada proliferasi sel mast atau fenotip aeperti il-3, il4, il-9, TGF β1 dan faktor mikro lingkungan. Jumlah populasi sel mast dapat
meningkat pada saat terjadi respon T helper 2 (TH2) terhadap infeksi parasit
yang bisa merefleksikan adanya peningkatan rekrutmen, diferensiasi, dan
juga proliferasi dari sel mast residen pada lokasi tersebut (Galli et al., 2008).
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Cedera Jaringan & Degranulasi Sel mast
Proses inflamasi dipicu oleh aktivasi imun inate pada reseptor
pengenal, termasuk Toll-like receptors (TLRs) yang mengenali dan
mengikat molekul-molekul patogen atau molekul endogen yang terlepas
dari sel-sel yang rusak, seperti heat-shock protein dan high mobility
group box 1 protein ( Rittner, 2008). TLRs berada dalam sel-sel imun,
termasuk monosit atau makrofag dan sel dendritik, dan sel imun yang
terkait seperti keratinosit. Pengikatan TLRs diikuti dengan aktivasi
sinyal NF-kB dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi. Sel – sel imun
residen, sel mast dan makrofag juga diaktifkan dalam beberapa menit
setelah terjadi stimulus nyeri dan melepaskan sitokin, kemokin, efektor
kaskade komplemen proinflamasi
(C3a & C5a) serta vasodilator,
termasuk amine vasoaktif dan bradikinin. Blood-borne neutrophils,
netrofil, monosit dan limfosit T menempel pada dinding pembuluh,
berekstravasasi dan menumpuk di lokasi cedera. Sel-sel imun
berkontribusi terhadap sensitisasi nociceptive perifer dengan melepaskan
factor-faktor soluble dan interaksi langsung dengan nociceptors (Ren &
Dubner, 2010).
Berbagai rangsangan, seperti IgE, IgG dan komplek imun,
beberapa mediator, kontak antar sel, dan trauma dapat mengaktifkan sel
mast (Nigrovic & Lee, 2013). Aktivasi ini akan menyebabkan sel mast
melepaskan beragam produk biologis aktif, banyak diantaranya
berpotensi memediasi fungsi pro-inflamasi, anti-inflamasi
commit to user
47
ataupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fungsi imunosupresif. Selanjutnya, sel mast dapat berpartisipasi dalam
siklus aktivasi pelepasan mediator dan dapat mengaktivasi pelepasan
mediator atau sitokin dalam pola yang berbeda tergantung jenis dan
kekuatan rangsangan. Kekuatan dan respon alamiah sel mast terhadap
berbagai stimuli dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan mikro
yang mempengaruhi pola ekspresi atau sifat fungsional dari reseptor
permukaan atau molekul sinyal yang berkontribusi terhadap respon
tersebut (Gilfillan & Tkaczyk, 2006).
Gambar 2.13 menerangkan bahwa Cidera memicu pelepasan
mediator yang mengaktifkan TLRs dan sel mast, dilepaskan juga
mediator yang mendorong adesi dan transmigrasi sel-sel imun termasuk
sel-T, netrofil, dan monosit serta melibatkan makrofag (Ren & Dubner,
2010).
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.13. Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor (Sumber :
Ren & Dubner, 2010).
Proses granulasi tergantung pada peningkatan konsentrasi Ca+2
intraseluler. Kalsium yang diperlukan untuk terjadinya degranulasi
berasal dari intraseluler dan influk Ca2+ dari ekstraseluler melalui kanal
membran. Pelepasan Ca2+ dari retikulum edoplasma diperantarai oleh
jalur sinyal PLCγ (Tshori & Razin, 2010).
Gambar 2.14. Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast (Sumber :
Tshori & Razin, 2010).
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Mediator sel mast
Sel
mast
matur
mengandung
beberapa
mediator
dalam
granulanya, yang siap dilepaskan dengan menempel pada membran.
Yang paling banyak
adalah protease, tapi vasoactive amines,
proteoglycans seperti heparin dan pre-formed cytokine memainkan peran
yang nyata dalam konsekuensi biologis degranulasi sel mast. Pelepasan
mediator-mediator ini tidak semuanya. Sebagai contoh degranulasi pada
reaksi anafilaksi, sel mast mungkin hanya melepaskan sebagian kecil
pada saat proses degranulasi yang terjadi secara bertahap. Lebih jauh sel
mast dapat melepaskan satu dari tipe granula, tapi tidak dengan yang lain.
Mungkin juga sel mast dapat membuat keluarnya sitokin dan kemokin
dengan tanpa melepaskan granulanya. Disebutkan juga bahwa mediator
yang dilepaskan melalui aktivasi sel mast tergantung dari tingkat
deferensiasi sel mast dan macam stimulus yang mengaktivasi sel mast
(Nigrovic & Lee, 2013).
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.15. Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator
kimia (Sumber: Kasper et al, 2005)
Dalam beberapa menit setelah aktivasi, sel mast mulai
melepaskan metabolit dari membran fosfolipid. Dalam beberapa jam
aktivasi, sel mast mulai menguraikan beberapa mediator meliputi
mediator proinflammasi, TNF, Il-1, dan Il-6; sitokin Th2 Il-4, Il-5, Il-10,
dan Il-13; faktor kemotaktik meliputi Il-8 dan MIP-α; growth factor
untuk fibroblas, pembuluh darah, dan yang lain seperti βFGF, VEGF, dan
PDGF (Nigrovic & Lee, 2013).
Nishida et al (2005) menyatakan bahwa proses degranulasi sel
mast dipicu adanya rangsangan pada Fc epsilon receptor I (FcεRI) yaitu
reseptor IgE di sel mast melalui dua peristiwa: translokasi granule ke
commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membran plasma melalui
calcium-independent pathways dan fusi
membran serta eksositosis melalui calcium-dependent pathways (gambar
2.13).
Gambar 2.16. Proses degranulasi yang dimediasi oleh reseptor FcεRI
pada sel mast (Sumber Nishida et al, 2005).
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. KERANGKA TEORI
Trauma Pembedahan
Kerusakan pada membran sel
Fragmentasi
Fosfolipid
Enzim fosfolipase
Asam Arakidonat
TLR4
Enzim Lipoksigenase
Enzim Siklooksigenase
Hidroperoksida
Makrofag
Endoperoksidasi
Leukotrien
PG,Tromboksan A2,
Prostasiklin
NFkβ
Sel Mast
Ketotifen
Pro inflamasi
IL1β
TNFα
Histamin, PGE2, NGF
IL 6
Sensitasi Sel Schwan di Nosiseptor
Nyeri
committeori
to user
Gambar 2.17 Kerangka
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan :
: merangsang/memicu
: menghambat

: meningkatkan (Efek ketotifen)

: menurunkan (Efek ketotifen)
dan
: Variabel-variabel yang diteliti
C. KERANGKA KONSEP
Trauma Pembedahan
Makrofag
Sel mast
Ketotifen
IL 6
Nyeri
Gambar 2.18 Kerangka konsep
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. HIPOTESIS
Ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar interleukin 6
serum dan skor nyeri pada operasi maktektomi.
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada
bulan Juni sampai Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat
ini oleh karena tiap harinya tindakan pembedahan mastektomi cukup banyak.
B. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized
Controlled Trial Double Blind yang pada pasien yang menjalanai operasi
elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh
pemberian ketotifen terhadap kadar Interleukin 6 pasca operasi. Kelompok
penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok ketotifen (K1), dan kontrol (K2),
penjelasannya sebagai berikut :
K1 :
Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan
ketotifen oral dari dua jam sebelum operasi sampai dua hari hari
pasca operasi dengan dosis 1 mg yang diberikan tiap 12 jam.
K2 :
Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan
plasebo oral.
commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. POPULASI DAN SAMPEL
POPULASI
Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien yang
menjalani pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II di Instalasi
Bedah Pusat RSUD Dr. Moewardi dalam kurun waktu Juni sampai dengan
Juli 2014.
Kriteria inklusi :
1. Jenis kelamin perempuan menjalani operasi elektif.
2. Umur 17-60 tahun.
3. Pasien yang akan menjalani operasi mastektomi
4. Status fisik ASA I dan II
5. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal.
6. Penderita yang bersedia diikutsertakan dalam penelitian
Kriteria eksklusi :
1. Penderita mendapatkan terapi kortikosteroid
2. Pasien yang mengkonsumsi antihistamin
3. Pasien alergi terhadap ketotifen
SAMPEL
Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu pemberian ketotifen
dan plasebo serta satu variabel terikat yaitu kadar Interleukin 6 serum, maka
besar sampel minimal dapat menggunakan pedoman ”rule of thumb”. Dengan
”rule of thumb” maka besar sampel yang diperlukan adalah 30 pasien, jadi
commit
to user
masing-masing kelompok adalah
15 pasien.
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel Bebas
Ketotifen
2. Variabel Terikat
Kadar Interleukin 6
Skor Nyeri
E. DEFINISI OPERASIONAL
1.
Ketotifen adalah Suatu obat golongan anti histamine dalam bentuk tablet
ketotifen 1 mg yang dibuat dalam bentuk kapsul warna putih, dengan dosis
2 x 1 mg yang diberikan dari 2 jam sebelum operasi sampai dua hari
berturut-turut pasca operasi.
Alat ukur : Skala pengukuran : nominal
2. Kadar interleukin 6 merupakan suatu sitokin pro inflamasi berupa
perhitungan interleukin 6 dalam darah/ serum yang diperiksa dua kali
yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga setelah
pemberian ketotifen oral pasca operasi yang diperiksa di labolatorium
Prodia Surakarta dengan ELISA linked enzyme immunoassay reader. Nilai
rujukan normal kadar IL 6 serum di Laboratorium Klinik Prodia cabang
Surakarta adalah 3,12-12,5 pg/mL.
Alat ukur : ELISA linked enzyme immunoassay reade
Satuan ukur : pg / mL
Skala pengukuran : rasio
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Skor nyeri merupakan penilaian intensitas nyeri pasien yang diperiksa dua
kali yaitu sebelum pemberian obat pertama kali dan pada hari ketiga
setelah operasi.
Alat ukur : Visual Analogue Scale (VAS)
Satuan ukur : Unit
Skala pengukuran : Kategorikal ordinal
F. INSTRUMEN PENELITIAN
Alat dan bahan yang digunakan :
a. Spuit 3 mL
b. Ketotifen oral
c. Plasebo oral
d. Tabung Vacutainer tutup warna ungu.
e. Analisis quantitative immunoassay ELISA reader (Enzyme
Immunosorbent Assay)
f. Lembar penilaian visual Analogue Scale
commit to user
59
Linked
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. ALUR PENELITIAN
Pasien rencana pembedahan
mastektomi
Kriteria Eksklusi
Kriteria inklusi
Sampel
Randomisasi
Data dasar (T1)
Kelompok ketotifen
(K1)
Kelompok Kontrol
(K2)
Tindakan anestesi
Tindakan anestesi
Pembedahan
Pembedahan
Pemberian ketotifen
selama tiga hari
Pemberian plasebo
selama tiga hari
Data kedua (T2)
Analisis data
Gambar 3.1 Alur Penelitian
T1
: Kadar IL 6 serum sebelum insisi pembedahan (base line).
T2
: Kadar IL 6 serum pada hari ketiga setelah insisi pembedahan.
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jalannya Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr.
Moewardi Surakarta setelah mendapatkan persetujuan komite etik. Tata cara
dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien ASA I dan II yang tiba di kamar operasi yang dijadwalkan untuk
dilakukan operasi dilakukan monitoring standar.
b. Dilakukan identifikasi identitas (nama, jenis kelamin, umur), berat badan,
status fisik (ASA), dan monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, suhu).
c. Diambil sampel ke I (T1) darah vena sebanyak 8 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan.
d. Dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien dimasukkan dalam
kelompok ketotifen (K1) atau kelompok kontrol (K2).
e. Dilakuakan tindakan anestesi
f. Dilakukan tindakan pembedahan
g. Diberikan obat perlakuan, ketotifen 1 mg (dalam 1 kapsul) pada kelompok
K1 dan placebo (dalam 1 kapsul) pada kelompok K2 sebanyak 2 kali
sehari dari 2 jam sebelum operasi sampai 2 hari pasca operasi.
h. Setelah tiga hari pasca irisan pembedahan diambil sampel kedua (T2)
darah vena sebanyak 8 mL dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer,
dikocok perlahan.
i. Kedua sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium klinik Prodia
cabang Surakarta untuk diolah.
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. ANALISA PENELITIAN
Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS
Statistic 17.0 . Data demografi dan hasil penelitian dinilai apakah distribusinya
normal atau tidak dilakukan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel 30.
Untuk menguji data dasar umur dan berat badan dilakukan dengan
Independent Samples t Test apabila distribusi data normal. Bila distribusi data
tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. Sedangkan untuk
mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara nilai interleukin 6 pada
kelompok ketotifen dibandingkan dengan kelompok kontrol dilakukan dengan
Independent Samples t Test bila distribusi data normal. Bila distribusi data
tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. dan dianggap memiliki
kemaknaan statistik apabila nilai p yang diperoleh adalah p ≤ 0,05.
I.
PERIJINAN PENELITIAN
Ethical clearance
Mendapatkan ijin melakukan penelitian setelah pengkajian oleh Panitia
Kelaikan Etik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta-Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan prinsip tidak melanggar etika
praktek kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada
manusia.
commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ijin Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas persetujuan pasien atau keluarga terhadap
informed consent yang diajukan peneliti, setelah sebelumnya mendapat
penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.
J. JADWAL KEGIATAN DAN ORGANISASI PENELITIAN
Bulan April - Juni 2014
KEGIATAN
WAKTU
april
mei
Perijinan
Pelaksanaan penelitian
Pengolahan data
Penyusunan laporan penelitian
commit to user
63
juni
Juli
Agustus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi
Surakarta yang merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial
Double Blind
pada pasien yang menjalanai operasi elektif sebagai subyek
penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian ketotifen
terhadap kadar IL 6 pasca operasi mastektomi dengan jumlah sampel sebesar 30
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana kelompok penelitian
ini dibagi menjadi dua yaitu kelompok 1 (K1) sebesar 15 pasien diberi obat
perlakuan ketotifen 1 mg (dalam 1 kapsul) dan kelompok kontrol (K2) sebesar
15 pasien diberi placebo (dalam 1 kapsul) sebanyak 2 kali sehari dari 2 jam
sebelum operasi sampai 2 hari pasca operasi. Kedua kelompok kemudian diukur
jumlah kadar IL 6 serum yaitu pada saat sebelum operasi (base line) dan pada
hari ke 3 sesudah operasi.
Selain data laboratorium terdapat data penelitian dan demografi responden
pada pasien kelompok 1 (K1) dan kelompok 2 (K2) untuk diamati dan dilihat
kenormalan datanya sebagai penentu uji analisis statistik yang digunakan sebagai
pengujian hipotesis. Data dianalisis dengan program SPSS Statistic 17.0 pada uji
normalitas data penelitian dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah
sampel 30.
commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi.
Variabel
Umur
Tinggi Badan
Berat Badan
Kelompok
KolmogorovSmirnov(a)
Statistic
Df
Sig.
Perlakuan
0.110
15
Kontrol
0.151
Perlakuan
Shapiro-Wilk
Statistic
Df
Sig.
0.200
0.954
15
0.594
15
0.200
0.890
15
0.068
0.222
15
0.046
0.915
15
0.163
Kontrol
0.174
15
0.200
0.921
15
0.201
Eksperimen
0.180
15
0.200
0.929
15
0.261
Kontrol
0.195
15
0.130
0.955
15
0.599
Tabel 4.1 menjelaskan data demografi pada penelitian ini yaitu umur, tinggi
badan, dan berat badan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
mempunyai distrubusi data normal karena nilai p (sig) pada shapiro-wilk lebih
besar dari 0.05.
B. ANALISIS DATA.
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah umur, berat badan, tinggi
badan, serum IL 6 dan VAS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Untuk
mengetahui penyebaran data maka dilakukan uji homogenitas dengan uji Barlett
Test (Levene's Test).
commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Uji Homogenitas data Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan.
Tabel 4.2.Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden.
Umur
TB
BB
Kelompok
N
Mean
Std. Deviasi
Perlakuan
15
44.73
9.565
Kontrol
15
46.13
12.955
Perlakuan
15
158.53
3.944
Kontrol
15
158.33
4.639
Perlakuan
15
58.73
9.498
Kontrol
15
55.67
9.394
Levene’s Test P-value
0.160
0.274
0.873
Tabel 4.2 nampak bahwa rata-rata umur responden pada kelompok
perlakuan adalah 44,73±9,565 dan pada kelompok kontrol 46,13±12,955.
Pada nilai rata-rata tinggi badan pada kelompok perlakuan sebesar
158,53±3,944 dan pada kelompok kontrol 158,33±4,639. Sedangkan nilai ratarata berat badan pada kelompok perlakuan 58,73±9,498 dan kelompok kontrol
55,67±9,394. Distribusi sampel pada peneltian ini dilihat pada
umur
responden, tinggi badan dan berat badan adalah homogen atau mempunyai
penyebaran data (varians) yang sama karena Levene test p-value > 0.05.
commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Hasil Uji Independen Sample Tes perubahan kadar Interleukin 6 (IL 6)
Tabel 4.3. Uji Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6.
IL 6
Kelompok
N
Mean
Std. Deviasi
Perlakuan
15
8,4520
Kontrol
15
18,8713
T test P-value
5,26529
0.024
16,1102
Tabel 4.3.uji independent sample test tampak bahwa kelompok perlakuan
mempunyai nilai rata-rata kadar IL 6 sebesar 8,4520±5,26529 lebih kecil dibanding
kadar IL 6 pada kelompok kontrol yaitu 18,8713±16,1102 dan nilai P=0,024 < 0,05
hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna perubahan kadar IL 6
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol
60
50
40
30
20
10
0
-10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perlakuan
10
11
12
13
14
15
Kontrol
Grafik 4.1. Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada grafik 4.1. menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ada 2 pasien
yang mengalami penurunan
sedangkan pada kelompok kontrol ada 1 yang
mengalami penurunan kadar IL 6.
3. Hasil Uji Mann Whitney Test perubahan VAS
Tabel 4.4. Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS.
VAS
Kelompok
N
Mean
Std. Deviasi
Perlakuan
15
0,07
0,884
Kontrol
15
1,20
0,862
Z test P-value
0.001
Tabel 4.4 uji mann whitney nampak bahwa nilai rata-rata VAS pada kelompok
perlakuan sebesar 0.07±0.884 dan kelompok kontrol
nilai rata-rata sebesar
1,20±0,862 dengan p-value < 0.001 yang berarti ada perbedaan yang bermakna
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol pada VAS.
4
3
2
1
0
-1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
-2
-3
Perlakuan
Kontrol
Grafik 4.2 Perubahan VAS Kelompok
Perlakuan
commit to
user dan Kelompok Kontrol
68
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada grafik 4.2. menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ada 2
pasien yang mengalami penurunan sedangkan pada kelompok kontrol tidak
ada yang mengalami penurunan.
C. PEMBAHASAN.
Proses inflamasi yang berlebihan dan terjadi secara terus menerus
merupakan salah satu sebab dari adanya kejadian nyeri kronis pasca bedah (Kehlet
et al., 2006). Proses inflamasi yang terjadi setelah incisi pembedahan diawali
dengan adanya pelepasan mediator inflamasi di jaringan perifer oleh sel residen
dimana salah satunya adalah sel mast (yasuda et al., 2013). Ketotifen, sebagai
agent stabilisasi sel mast, dipertimbangkan efektif dalam mengurangi reaksi
inflamasi yang berlebihan, melalui perannya dalam mencegah terjadinya
degranulasi sel mast.
Pada penelitian ini 30 pasien yang dilakukan operasi mastektomi, 15
pasien diantaranya diberikan ketotifen oral, yang dilakukan pada dua jam sebelum
operasi sampai dua hari pasca operasi, dengan waktu pemberian dilakukan tiap 12
jam. Sebelum diberikan obat pertama kali, pasien diambil sampel darah untuk
mengetahui kadar Interleukin 6 awal. Pada hari ke tiga, dilakukan pengambilan
sampel darah lagi untuk mengetahui kadar Interleukin 6 paska operasi.
Pengambilan sampel ke dua dilakukan pada hari ketiga, dimana mediatormediator inflamasi pada waktu itu didapatkan dalam jumlah yang signifikan.
Proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase
inflamasi, proliferasi, dan berlanjut ke fase maturasi atau remodeling. Fase
inflamasi terjadi pada hari ke tiga sampai hari kelima pasca trauma, dimana pada
commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fase ini banyak dikeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk
mengaktifkan proses inflamasi.
Hasil penelitian untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian ketotifen
terhadap penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi maktektomi. Dari
hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata perubahan kadar Interleukin 6 antara
sebelum dan sesudah pemberian obat pada kelompok ketotifen didapatkan
8,4520±5,26529 lebih kecil dibanding kadar Interleukin 6 pada kelompok kontrol
yaitu 18,8713±16,1102 dan nilai P=0,024 < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang bermakna perubahan
kadar IL 6 antara kelompok ketotifen
dengan kelompok kontrol.
Hasil
tersebut menunjukkan bahwa pemberian ketotifen perioperatif
dengan dosis 2 x 1 mg pada pasien yang dilakukan operasi mastektomi, yang
diberikan tiap 12 jam mulai dua jam sebelum operasi sampai dua hari pasca
operasi, efektif dalam menurunkan respon inflamasi yang terjadi paska operasi
yang dapat dilihat dari kadar IL 6 setelah pemberian obat lebih rendah pada
kelompok ketotifen dibanding kelompok kontrol. Serta adanya perbedaan yang
signifikan pada perubahan kadar IL 6 antara sebelum dan sesudah pemberian obat,
dimana kelompok ketotifen menunjukkan hasil yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa peningkatan skor nyeri yang
dinilai menggunakan visual analog scale (VAS) pada kelompok ketotifen lebih
rendah dibanding dengan peningkatan VAS kelompok kontrol pada pasien paska
commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
operasi maktektomi, yaitu pada kelompok ketotifen peningkatan VAS sebesar 5%
sedangkan peningkatan VAS kelompok kontrol sebesar 78,26%.
Sel mast merupakan salah satu dari sel residen yang ikut memproduksi
mediator proinflamasi, akan mengeluarkan interleukin 6 disamping mediator
proinflamasi lainnya, setelah terjadi cidera jaringan (Thacker et al., 2007).
Dengan menghambat terjadinya degranulasi sel mast oleh ketotifen, maka
hal ini akan menurunkan pengeluaran interleukin 6 dan mediator inflamasi lainnya
yang dihasilkan oleh sel mast. Hal ini akan membantu dalam mengendalikan
proses inflamasi yang terjadi pasca cedera jaringan, yang selanjutnya diharapkan
bahwa pada periode inflamasi yang terjadi dalam tahap-tahap penyembuhan luka,
akan berjalan tanpa respon inflamasi yang berlebihan dan berkepanjangan.
Akhirnya diharapkan bahwa kejadian nyeri kronis pasca bedah yang salah satunya
merupakan konsekuensi dari adanya respon inflamasi yang berlebihan dan
berkepanjangan, bisa dicegah dengan penggunaan ketotifen selama perioperatif.
D. KETERBATASAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini masih ada keterbatasannya yaitu :
1. Pada penelitian ini kami hanyan mengukur salah satu mediator pro inflamasi
yaitu interleukin 6. Sedangkan masih ada mediator pro inflamasi lain seperti
TNF α dan IL 1 yang juga dikeluarkan saat terjadi trauma pembedahan.
2. Pada penelitian kami hanya digunakan satu obat dari golongan antihistamin
yaitu ketotifen.
3. Pengukuran skor nyeri paska operasi pada penelitian kami hanya dilakukan
pada fase inflamasi akut yaitu pada hari ke 3 paska operasi.
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ketotifen terhadap
penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi mastektomi dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Adanya pengaruh yang bermakna pada pemberian ketotifen terhadap
penurunan kadar interleukin 6 serum pada operasi maktektomi.
2. Hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan ketotifen bisa
digunakan sebagai pencegahan inflamasi yang berlebihan yang bisa
menimbulkan nyeri paska operasi.
B. SARAN
1. Perlu dipertimbangkan pemberian ketotifen perioperatif pada operasioperasi dengan kejadian nyeri kronis paska bedah cukup tinggi seperti
torakotomi, CABG (Coronary Artery Bypass Grafting), trauma pelvis,
mastektomi, amputasi, dan hip arthroplasty.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai kadar mediator pro
inflamasi lain seperti TNF α dan IL 1.
3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas ketotifen
terhadap kejadian nyeri kronis paska operasi.
4. Perlunya penelitian lanjutan terhadap obat antihistamin yang lain.
commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Akkaya T, Ozkan D, 2009. Chronic post-surgical pain. AGRI ; 21(1) : 1-9
Aryana IGP Suka dan Biran Sjaiful I. 2006. Konsep Baru Kortikosteroid Pada
Penanganan Sepsis. Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNUD/RS Sanglah.
Baratawidjaja KG, 2006. Sitokin. In: Imunologi Dasar, Edisi VII. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. pp: 119-38.
Buvanendran A, Kroin JS. 2010. Does Manipulating Local Surgical Wound
Cytokines Improve Surgical Outcomes? Anesthesia-analgesia. Vol. 111.
No. 6
Crawley G.C., Foster S.J, Mcmillan R.M. & Walker E.R.H. 1995. Discovery of
ZD2138, a potent, Selective, Well-Tolerated, Nonredox Inhibitor of The
Enzime 5-Lipoxygenase. The Search for Anti-Inflammatory Drudgs.
Abstr. pp 191-231.
El-Tahan, M. R. Warda O. M, Yasseen A. M, Attallah M. M. and Matterx M. K.
2007. A randomized study of the effects of preoperative ketorolac on
general anaesthesia for caesarean section. Departments of *Anaesthesia
and Surgical ICU, Obstetric and Gynaecology and Paediatrics, Faculty of
Medicine, Mansoura University, Mansoura, Egypt. International Journal
of Obstetric Anesthesia. 16, 214–220
Ganiswara S. 2000. Analgetik-antipiretik analgetik anti-inflamasi nonsterois dan
obat pirai In: Farmakologi dan terapi, edisi 4 cetak ulang. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 207-233.
Gupta P, Khanna J, Mitramustafi A K and Bhartia V. K. 2006. Role of preoperative dexamethasone as prophylaxis for postoperative nausea and
vomiting in laparoscopic surgery J Minim Access Surg. 2(1): 12–15
Hong Jeong-Yeon. 2005. The Effect of Preoperative Ketorolac on WBC Response
and Pain in Laparoscopic Surgery for Endometriosis. Yonsei Medical
Journal. Vol. 46, No. 6, pp. 812 - 817
Kumaraswamy M.V. and. Satish S.2008. Antioxidant and Anti-Lipoxygenase
Activity of Thespesia lampas Dalz & Gibs. Department of Studies in
Microbiology, Herbal Drug Technology Laboratory University of
Mysore, Mysore. Advances in Biological Research 2 (3-4): 56-59.
Kehlet H, Jensen TS, Woolf C. 2006. Persistent Postsurgical Pain: Risk Factor
commit
to user
and Prevention. Lancet, 367:
1618-25
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lalenoh HJ, Lalenoh DC. 2009. Pregabalin dan Gabapentin sebagai Analgesia
Preemptif. Majalah Anesthesia & Critical Care. Vol. 27:3.
Madsen J. Rask, Bukhave K., Laursen L.S. & Lauritsen K. 1992. 5-Lipoxygenase
inhibitors for the treatment of inflammatory bowel disease. Abstr.
Volume 36, Issue 3-4, pp C37-C46.
Mansjoer Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Marsaban AHM, Bagianto H, Ma’as EM. 2009. Mekanisme dan Fisiologi Nyeri.
In: Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Departemen Anestesiologi
FKUI, Jakarta. pp: 1-24.
Merskey H and Bogduk N. 1994. Classification of Chronic Pain, Second
Edition.IASP Press, Seattle, pp 209-214
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Paint Management. In: Clinical
Anesthesiology. McGraw-Hill Companies, Inc. pp: 359-412.
Murti B. 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kualitatif dan
kuantitatif di bidang kesehatan. Edisi ke-2 Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Murphy Glenn S., Szokol Joseph W, Greenberg Steven B, Avram Michael J,
Vender Jeffery S, Nisman Margarita and Vaughn Jessica. 2011.
Preoperative Dexamethasone Enhances Quality of Recovery after
Laparoscopic Cholecystectomy: Effect on In-hospital and Postdischarge
Recovery Outcomes. Anesthesiology Perioperative Medicine Volume 114
- Issue 4 - pp 882-890
Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe C.C. (2001). Farmakologi Ulasan
Bergambar. Lippincot’s Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah
Azwar Agoes. Edisi II. Jakarta. Widya Medika. Halaman 259.
Nigrovic P, Lee DM. 2013. Mast Cells. In: Firestein GS, Budd RC, Gabriel SE,
McInnes MB, O’Dell JR (eds.), Kelleys Texbook of Rheumatology, Nine
Edition. Elsevier Inc. pp. 232-44.
Niraj G, Rowbotham D. 2011. Persistent Postoperative Pain: Where Are We
Now?. British Journal of Anesthesia. 107(1): 25-9.
Prasetyono TOH, 2009. General Concept of Wound Healing, Revisited. Med J
Indonesia. Vol. 18, no. 3.
commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ren K, Dubner R. 2010. Interactions Between the immune And nervous Systems
in Pain. Nat Med. 16(11): 1267-1276
Rittner HL, Brack A, Stein C. 2008. Pain and The Immune System. British
Journal of Anaesthesia. 101:40–44
Sayed M. H. Al-Habet & Howard J. Rogers. 1989. Methylprednisolone
pharmacokinetics after intravenous and oral administration. London.
Department of Clinical Pharmacology, Guy's Hospital Medical School
(University of London) Br. J. clin. Pharmac. 27, 285-290.
Smyth Emer M & Fitzgerald Garret A. 2012. Golongan Eikosanoid:
Prostaglandin, Tromboksan, Leukotrien dan Senyawa Sejenis In:Katzung
Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta. EGC. Hal. 298-313
Sudrajad I, 2006. Perbandingan dan Hubungan Skor Histologi CD8+ dan Rasio
Skor Histologi CD4+ di Sekitar Luka dengan dan tanpa Infiltrasi
Levobupivakain pada Penyembuhan Luka Pasca Incisi. Tesis S2,
Universitas Dionegoro, Semarang.
Thacker, MA, Clark AK, Marchand F, McMahon SB. 2007. Pathophysiology of
Peripheral Neuropathic Pain: Immune Cells And Molecules. Anesth
Analg. 105:838–847
Tillu D, Melemedjian O, Asiedu MN, Qu N, Felice MD, Dussor G, Price TJ.
2012. Resveratrol Engage AMPK to Attenuate ERK and mTOR
Signaling in Sensory Neurons and Inhibits Incision-induced Acut and
Chronic Pain. Molecular Pain, 8: 5
Tshori S, Razin E. 2010. Mast Cell Degranulation and Calcium Entry-the FynCalcium Store Connection. Journal of Leukocyte Biology. 88: 837-838
Waldron N. H., Jones C. A., Gan T. J. , Allen T. K. and. Hab A. S. 2012. Impact
of perioperative dexamethasone on postoperative analgesi and sideeffects: systematic review and meta-analysis. British Journal of
Anaesthesia, 10.1093 Page 1-10
Yasuda M, Kido K, Ohtani N, Masaki E. 2013. Mast Cell Stabilization Promotes
Antinociceptive Effect, in A Mouse Model of Postoperative Pain.
Journal of Pain Research. 3: 6, 161-6.
Young-Sun Do, Soon EJ, Namgoong MK. 2009. Effects of Ketotifen on an
Experimental Model of Ig Nephropathy. J Korean Soc Pediatr Nephrol.
13(2):153-160
commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 1
Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ……………………………………………………… L / P
Umur
: …………. tahun
No CM
: …………………………………………………………….
Alamat
: …………………………………………………………….
Dengan ini menyetujui / bersedia sebagai responden dalam penelitian
”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum
dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”.. Dan Bahwa saya telah
mendapatkan penjelasan sebelumnya tentang manfaat dari penelitian dan efek
samping dari obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini.
Surakarta,…………………….. 2014
Penanggung jawab
Dedhi Subandriyo, dr
Saksi
Pasien
(…………………………) (………………………..)
commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 2
Formulir dan Check List Penelitian
“ Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar IL 6 Serum Pada Operasi
Mastektomi”
No. Sampel ( D1/D2 ) : …………....
Tanggal
: ……………
No. RM
: …………....
Nama
: …………………………. L/P
Umur
: ……………tahun
Tinggi badan
: …………… cm
Berat badan
: …………....kg
Status fisik
: ASA I / II
Skor VAS
: ……..
Tanggal pengambilan sampel : …………….
Visual Analogue Scale (VAS)
commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 3 : Hasil Penelitian dan Analisis Statistik
UJI NORMALITAS DATA RESPONDEN
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
Umur
TB
BB
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Perlakuan
.110
15
.200
*
.954
15
.594
Kontrol
.151
15
.200
*
.890
15
.068
Perlakuan
.222
15
.046
.915
15
.163
Kontrol
.174
15
.200
*
.921
15
.201
Perlakuan
.180
15
.200
*
.929
15
.261
Kontrol
.195
15
.130
.955
15
.599
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
UJI NORMALITAS DATA PERUBAHAN IL6 DAN VAS
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
IL6
VAS
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Perlakuan
.142
15
.200
*
.951
15
.538
Kontrol
.146
15
.200
*
.940
15
.378
Perlakuan
.337
15
.000
.807
15
.005
Kontrol
.258
15
.008
.882
15
.050
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
UJI NORMALITAS DATA IL 6 SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
IL6_K1_sblm
.275
15
.003
.741
15
.001
IL6_K1_ssdh
.179
15
.200
*
.956
15
.625
IL6_K2_sblm
.408
15
.000
.467
15
.000
IL6_K2_ssdh
.223
15
.042
.899
15
.091
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
VAS_K1_sblm
.419
15
.000
.603
15
.000
VAS_K1_ssdh
.352
15
.000
.805
15
.004
VAS_K2_sblm
.350
15
.000
.643
15
.000
VAS_K2_ssdh
.297
15
.001
.865
15
.028
a. Lilliefors Significance Correction
DATA RESPONDEN
T-Test
Group Statistics
Kelompok
Umur
TB
BB
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
15
44.73
9.565
2.470
Kontrol
15
46.13
12.955
3.345
Perlakuan
15
158.53
3.944
1.018
Kontrol
15
158.33
4.639
1.198
Perlakuan
15
58.73
9.498
2.452
Kontrol
15
55.67
9.394
2.425
commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
F
Umur
Equal
variances
assumed
2.087
Sig.
.160
Equal
variances
not
assumed
TB
Equal
variances
assumed
1.243
.274
Equal
variances
not
assumed
BB
Equal
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed
.026
.873
t
Sig. (2tailed)
df
Mean
Std. Error
Difference Difference
Lower
Upper
-.337
28
.739
-1.400
4.158
-9.917
7.117
-.337
25.767
.739
-1.400
4.158
-9.951
7.151
.127
28
.900
.200
1.572
-3.020
3.420
.127
27.292
.900
.200
1.572
-3.024
3.424
.889
28
.382
3.067
3.449
-3.999
10.132
.889
27.997
.382
3.067
3.449
-3.999
10.132
commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KADAR IL 6 SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN KETOTIFEN
Mann-Whitney Test
Group Statistics
Kelompok
IL6_Sebelum
IL6_Sesudah
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
15
5.3967
4.12413
1.06485
Kontrol
15
10.0087
15.96693
4.12264
Perlakuan
15
13.8487
6.52742
1.68537
Kontrol
15
28.8800
23.27059
6.00844
Ranks
Kelompok
IL6_Sebelum
IL6_Sesudah
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Perlakuan
15
13.67
205.00
Kontrol
15
17.33
260.00
Total
30
Perlakuan
15
12.23
183.50
Kontrol
15
18.77
281.50
Total
30
commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b
Test Statistics
IL6_Sebelum
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
IL6_Sesudah
85.000
63.500
205.000
183.500
-1.141
-2.033
.254
.042
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.267
a
.041
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
VAS SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN KETOTIFEN
Group Statistics
Kelompok
VAS_Sebelum
VAS_Sesudah
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
15
1.33
.488
.126
Kontrol
15
1.53
.516
.133
Perlakuan
15
1.40
.828
.214
Kontrol
15
2.73
.799
.206
commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
VAS_Sebelum
VAS_Sesudah
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Perlakuan
15
14.00
210.00
Kontrol
15
17.00
255.00
Total
30
Perlakuan
15
10.10
151.50
Kontrol
15
20.90
313.50
Total
30
b
Test Statistics
VAS_Sebelum
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
VAS_Sesudah
90.000
31.500
210.000
151.500
-1.087
-3.514
.277
.000
.367
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
commit to user
84
.000
a
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Kadar IL 6 KELOMPOK KETOTIFEN
IL6
NO
D1
D2
Perubahan
1
2.55
19.17
16.62
2
2.55
15.76
13.21
3
2.79
8.82
6.03
4
4.61
15.4
10.79
5
2.79
8.72
5.93
6
4.09
13.24
9.15
7
3.21
17.55
14.34
8
2.10
13.88
11.78
9
2.18
8.24
6.06
10
3.26
8.72
5.46
11
4.96
4.61
-0.35
12
6.98
5.41
-1.57
13
13.77
27.55
13.78
14
12.29
22.61
10.32
15
12.82
18.05
5.23
5.40
13.85
8.45
Rata²
commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Kadar IL 6 KELOMPOK PLASEBO
IL6
NO
D1
D2
Perubahan
1
3.18
5.95
2.77
2
4.02
26.71
22.69
3
2.48
29.46
26.98
4
6.32
61.68
55.36
5
8.33
23.88
15.55
6
3.10
2.71
-0.39
7
5.59
15.4
9.81
8
2.40
9.42
7.02
9
16.45
44.75
28.30
10
3.51
19.51
16.00
11
8.34
53.68
45.34
12
66.21
84.67
18.46
13
8.25
21.11
12.86
14
7.94
4.87
-3.07
15
4.01
29.4
25.39
10.01
28.88
18.87
Rata²
commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Skor VAS KELOMPOK KETOTIFEN
VAS
NO
D1
D2
Perubahan
1
2
1
-1
2
2
2
0
3
2
0
-2
4
1
1
0
5
1
1
0
6
1
1
0
7
1
2
1
8
1
1
0
9
1
1
0
10
1
1
0
11
1
1
0
12
1
1
0
13
1
3
2
14
2
3
1
15
2
2
0
1.33
1.40
0.07
Rata²
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Skor VAS KELOMPOK PLASEBO
VAS
NO
D1
D2
Perubahan
1
2
2
0
2
2
3
1
3
1
3
2
4
2
3
1
5
1
3
2
6
1
1
0
7
1
2
1
8
1
2
1
9
1
4
3
10
2
3
1
11
2
4
2
12
2
3
1
13
1
3
2
14
2
2
0
15
2
3
1
1.53
2.73
1.20
Rata²
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DATA PERUBAHAN KADAR IL 6
T-Test
Group Statistics
Kelompok
IL6
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
15
8.4520
5.26529
1.35949
Kontrol
15
18.8713
16.11024
4.15964
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2-
F
IL6
Equal
8.273
Sig.
t
df
.008 -2.381
tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
Lower
Upper
28
.024 -10.41933
4.37617 -19.38351
-1.45515
-2.381 16.957
.029 -10.41933
4.37617 -19.65402
-1.18464
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed
commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERUBAHAN DATA VAS.
Group Statistics
Kelompok
VAS
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
15
.07
.884
.228
Kontrol
15
1.20
.862
.223
Descriptive Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
VAS
30
.63
1.033
-2
3
Kelompok
30
1.50
.509
1
2
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
VAS
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Perlakuan
15
10.67
160.00
Kontrol
15
20.33
305.00
Total
30
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b
Test Statistics
VAS
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
40.000
160.000
-3.191
.001
.002
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 4
Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM
NIP. 19621022 199503 1001
commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 5
commit to user
93
Download