BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Saluran Pernafasan16,17 Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru. Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius. Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sokus alveolaris. Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus Universitas Sumatera Utara subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli. Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian respirasi. Secara rinci dapat dilihat pada gambar. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan. 2.2. Definisi Bronkopneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi Universitas Sumatera Utara pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.18,19 2.3. Morfologi Bronkopneumonia18 Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di antara daerah yang terkena. Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus fibrosis. Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar. Universitas Sumatera Utara 2.4. Etiologi Bronkopneumonia Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.5 Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.19 2.5. Patogenesis Bronkopneumonia19,21 Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Universitas Sumatera Utara Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : 2.5.1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti) Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya) Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) Universitas Sumatera Utara sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 2.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari) Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 2.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari) Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Universitas Sumatera Utara 2.6. Epidemiologi Bronkopneumonia 2.6.1. Distribusi Bronkopneumonia a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masingmasing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator derajat kesehatan masyarakat. 13 Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan 42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA 28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.22 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada perempuan (24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).23 Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok umur Universitas Sumatera Utara >19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa (66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu 280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).24 b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.25 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.13 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.3Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota Makasar (29,47%).22 Universitas Sumatera Utara 2.6.2. Determinan Bronkopneumonia a. Faktor Host a.1. Umur ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.26 Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11 bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).23 a.2. Jenis kelamin Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko suatu penyakit.28 Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan Universitas Sumatera Utara secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.29 a.3. Status gizi Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitasnya.31 Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32 Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap infeksi.31 Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan Universitas Sumatera Utara mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.31 Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko pneumonia.29 a.4. Status imunisasi Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama pneumonia.33 Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan Universitas Sumatera Utara balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.31 Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.29 Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi campak berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak dibandingkan yang telah diimunisasi campak.34 b. Faktor Agent Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.5 Universitas Sumatera Utara Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya pada 32% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia non bakteriemia.35 Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan stafilokokus sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.35 c. Faktor Lingkungan Sosial c.1. Pekerjaan Orang Tua Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.30 Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280 (CI 95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia Universitas Sumatera Utara kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00) dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan cukup (Rp. 510.000,00).4 c.2. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA.2 Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu dengan menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey), pendidikan akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA (p<0,05). Dilihat dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak mengetahui istilah ISPA (70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu adanya hubungan antara penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu penyebab penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA (56,5%).36 Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan pendidikan ibu (OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005) berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan, dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,04 kali lebih besar memiliki ibu yang berpendidikan rendah dibandingkan yang berpendidikan Universitas Sumatera Utara tinggi dan 2,4 kali lebih besar memiliki ibu yang berpengetahuan rendah dibandingkan yang berpengetahuan tinggi.34 c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak37 Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang bersifat konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap sebagai contoh balita boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan balita harus berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara dan anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal tersebut dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik dan hal mana yang tidak boleh atau tidak baik Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak diberi kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah dan harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit, Universitas Sumatera Utara dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua memperbolehkan segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau makan dibiarkan saja padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya sehingga pada akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua tidak memperdulikan lingkungan sekitar yang mungkin kurang baik bagi kesehatan sehingga membuatnya mudah terserang penyakit. Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat pada pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi orang tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang tua tidak perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung jawab untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan kebutuhan lainnya. Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang harus digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti banyaknya tanah yang dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah. Berlainan dengan masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila lowongan pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi realitas ternyata berpendapat lain. Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak, maka persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini berarti juga Universitas Sumatera Utara sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak, berarti sedikit pula persoalan yang harus dihadapi oleh keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis mungkin benar, tetapi secara psikologis belum tentu. Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka perhatian orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut seperti dalam hal kasih sayang, perhatian, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan lain. Anak tidak akan merasa kekurangan kebutuhan yang diinginkan daripada orang tua yang memiliki banyak anak, maka orang tua harus membagi kasih sayang, perhatian, dan memenuhi kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak berbeda kebutuhan termasuk kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak saudara harus bisa saling berbagi dengan saudara yang lainnya berbeda dengan anak tunggal sehingga anak tungga sering tidak bisa berbagi, egois dan ini merupaka permasalahan yang harus dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak tunggal. Pembentukan kepribadian dan kesehatan anak sangat bergantung kepada pola asuh orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan sesuai. d. Faktor Lingkungan Fisik d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi saluran nafas.37 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita Universitas Sumatera Utara bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran tentunya akan lebih tinggi.31 Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.31,39 Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan asap anti nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar yang memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk bakar.29 Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak umur <1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka anak umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali lebih besar tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok dibandingkan yang tidak ada anggota keluarga merokok.4 Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA Universitas Sumatera Utara pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang dihisap dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20 batang perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).23 Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan (OR=2,99; p=0,002), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,99 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki polusi asap dapur dibandingkan yang tidak memilki polusi asap dapur.34 d.2. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang minimal menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.31 Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya.40 Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan Universitas Sumatera Utara hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi syarat.34 2.7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia21,39 Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar stridor. Universitas Sumatera Utara Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. 2.8. Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan. 25 2.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing). b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada. 2.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing). b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2 Universitas Sumatera Utara bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5 tahun adalah 40 kali atau lebih permenit. c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada. 2.9. Jumlah Kunjungan Berulang Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya pasien ke rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien, apabila pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut menderita kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap kembali. Status pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu memeriksa, mengontrol, mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun setelah pemeriksaan pasien dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak memungkinkan unutuk berobat jalan. Status pulang atas permintaan sendiri dapat kembali dirawat inap dikarenakan tidak dapat ditangani di rumah. 2.10. Lama Rawatan Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit, tindakan medis rumah sakit dan sebagainya. Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang dirawat Universitas Sumatera Utara inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan ≥ 7 hari yaitu 38 orang (27,3%).41 Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan Tahun 20042007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita adalah 4,5 hari.42 2.11. Pencegahan Bronkopneumonia 2.11.1. Pencegahan Primer43 Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :30 a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan).. b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. d. Mengurangi kepadatan hunian rumah. Universitas Sumatera Utara 2.11.2. Pencegahan Sekunder43 Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26 a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari. b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi. c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam. 2.11.3. Pencegahan Tersier43 Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :26 a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit. b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses pemberian makan. c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum. d. Tingkatkan pemberian ASI. e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman. Universitas Sumatera Utara f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan. Universitas Sumatera Utara