BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Saluran - USU-IR

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Saluran Pernafasan16,17
Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari
atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun
fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini
dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru.
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi
sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi
(pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara
atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan
disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti
proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini.
Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering
disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai
konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus
Universitas Sumatera Utara
subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ
yang bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus
terminalis, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai
percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus
subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam
belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan
yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan
bronkiolus respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua
yang merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah
percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian respirasi. Secara rinci dapat
dilihat pada gambar.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan.
2.2. Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan
pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar
bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi
Universitas Sumatera Utara
pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau
bronkiolitis.18,19
2.3. Morfologi Bronkopneumonia18
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada
kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah
berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning,
dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai
4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang
terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat
di antara daerah yang terkena.
Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan
edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis
fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura,
tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila tidak
ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus
fibrosis.
Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi
bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam
eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang
diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim
paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus
influenza,
Basilus
friendlander
(Klebsial
pneumonia),
dan
Mycobacterium
tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus
sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas,
Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan
Mycoplasma pneumonia.5
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,
penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan
Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar
organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan
organisme
dengan
patogenisitas
yang
rendah
dapat
juga
menyebabkan
bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.19
2.5. Patogenesis Bronkopneumonia19,21
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
2.5.1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
Universitas Sumatera Utara
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
2.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di
seluruh
daerah
yang
cedera
dan
terjadi
fagositosis
sisa-sisa
sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.
2.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Epidemiologi Bronkopneumonia
2.6.1. Distribusi Bronkopneumonia
a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima
penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan
sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA
merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masingmasing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator
derajat kesehatan masyarakat. 13
Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan
Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan
42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak
umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000
penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan
perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA 28%
artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.22
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada
perempuan (24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir (2005)
di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan
menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada
laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).23
Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan
Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok umur
Universitas Sumatera Utara
>19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa (66,7%),
demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu 280 kasus
(65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate tertinggi adalah
pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).24
b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu
Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem
pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di
Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di
sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.25
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%)
lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk kawasan
Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan kawasan KTI
(Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.13
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita
berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut
adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan
Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI
Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.3Profil Kesehatan
Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota Makasar
(29,47%).22
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Determinan Bronkopneumonia
a. Faktor Host
a.1. Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di
negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan
kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga
kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian
karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah
Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.26
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita
yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan
menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11
bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).23
a.2. Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat
terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan
determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau
dalam faktor risiko suatu penyakit.28
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan
Universitas Sumatera Utara
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh
nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia
kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.29
a.3. Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi
adalah kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.31
Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan
melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur
(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak
dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap
infeksi.31
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah
terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.31
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan
diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang
dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan
tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil
risiko pneumonia.29
a.4. Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama
pneumonia.33
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan
Universitas Sumatera Utara
balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.31
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status
imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status
imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.29
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi
campak berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur
9-59 bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak dibandingkan
yang telah diimunisasi campak.34
b. Faktor Agent
Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus
influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.
Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur
seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides,
Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.5
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan
penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di
rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan
bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62%
pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya
pada 32% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia
non bakteriemia.35
Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan
menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan
pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan stafilokokus
sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap
mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.35
c. Faktor Lingkungan Sosial
c.1. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama
maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita
yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.30
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280
(CI 95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada
bayi yang memiliki keluarga yang
berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00)
dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan cukup (Rp.
510.000,00).4
c.2. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko
yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat
pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak
yang menderita ISPA.2
Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu dengan
menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey), pendidikan
akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA (p<0,05). Dilihat
dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak mengetahui istilah ISPA
(70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu adanya hubungan antara
penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu penyebab penyakit ISPA (72,6%),
tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA (56,5%).36
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan pendidikan
ibu (OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005) berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan, dapat
dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,04 kali lebih
besar memiliki ibu yang berpendidikan rendah dibandingkan yang berpendidikan
Universitas Sumatera Utara
tinggi dan 2,4 kali lebih besar memiliki ibu yang berpengetahuan rendah
dibandingkan yang berpengetahuan tinggi.34
c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak37
Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang
diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang
kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua
orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan
usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu
berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai
artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri
karena pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan
pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang bersifat
konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap sebagai contoh balita
boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan balita harus
berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara dan
anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal tersebut
dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik dan hal mana
yang tidak boleh atau tidak baik
Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh
yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak diberi
kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah dan
harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit,
Universitas Sumatera Utara
dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua memperbolehkan
segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau makan dibiarkan saja
padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya
sehingga pada akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua tidak
memperdulikan lingkungan sekitar yang mungkin kurang baik bagi kesehatan
sehingga membuatnya mudah terserang penyakit.
Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat pada
pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi orang
tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang tua tidak
perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung jawab untuk
memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila
mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri
yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan,
kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan kebutuhan lainnya.
Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang harus
digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti banyaknya tanah yang
dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah. Berlainan dengan
masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila lowongan
pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi realitas ternyata
berpendapat lain.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak, maka
persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini berarti juga
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak, berarti sedikit pula persoalan yang
harus dihadapi oleh keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis mungkin
benar, tetapi secara psikologis belum tentu.
Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka perhatian
orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut seperti dalam hal kasih sayang,
perhatian, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan lain. Anak tidak akan merasa
kekurangan kebutuhan yang diinginkan daripada orang tua yang memiliki banyak
anak, maka orang tua harus membagi kasih sayang, perhatian, dan memenuhi
kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak berbeda kebutuhan termasuk
kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak saudara harus bisa saling berbagi
dengan saudara yang lainnya berbeda dengan anak tunggal sehingga anak tungga
sering tidak bisa berbagi, egois dan ini merupaka permasalahan yang harus dihadapi
oleh orang tua yang memiliki anak tunggal. Pembentukan kepribadian dan kesehatan
anak sangat bergantung kepada pola asuh orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan
sesuai.
d. Faktor Lingkungan Fisik
d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi
saluran nafas.37 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur
terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita
Universitas Sumatera Utara
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di
rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran
tentunya akan lebih tinggi.31
Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap
yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran
bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA.31,39
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan asap anti
nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar yang
memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk bakar.29
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap
rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak umur
<1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka anak
umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali lebih besar
tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok dibandingkan yang
tidak ada anggota keluarga merokok.4
Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan
Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA
Universitas Sumatera Utara
pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang dihisap
dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20 batang
perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).23
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap
dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur
9-59 bulan (OR=2,99; p=0,002), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,99 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki polusi
asap dapur dibandingkan yang tidak memilki polusi asap dapur.34
d.2. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan
nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang
minimal menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.31
Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami
penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan
mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan
adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah
terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota
keluarga lainnya.40
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan
Universitas Sumatera Utara
hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur
9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi syarat.34
2.7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia21,39
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya
tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung,
distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif,
serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit,
hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan
nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi
yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan
terdengar stridor.
Universitas Sumatera Utara
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada
auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi
terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar
mengeras.
2.8. Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran
Bernafas Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada
Tidaknya Tanda Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan
Tindakan. 25
2.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan
a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.
2.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun
a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai
nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya
nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2
Universitas Sumatera Utara
bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5
tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.
c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.
2.9. Jumlah Kunjungan Berulang
Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya pasien
ke rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita
bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien, apabila
pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut menderita
kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap kembali. Status
pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu memeriksa, mengontrol,
mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun setelah pemeriksaan pasien
dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak memungkinkan unutuk berobat jalan. Status
pulang atas permintaan sendiri dapat kembali dirawat inap dikarenakan tidak dapat
ditangani di rumah.
2.10. Lama Rawatan
Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita
bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit, tindakan
medis rumah sakit dan sebagainya.
Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik
Medan tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang dirawat
Universitas Sumatera Utara
inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan ≥ 7 hari yaitu 38 orang (27,3%).41
Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan Tahun 20042007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita adalah 4,5 hari.42
2.11. Pencegahan Bronkopneumonia
2.11.1. Pencegahan Primer43
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.
Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan
pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :30
a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali
(pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada
usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B
sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal
sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di
luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Universitas Sumatera Utara
2.11.2. Pencegahan Sekunder43
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap
hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
2.11.3. Pencegahan Tersier43
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :26
a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
Universitas Sumatera Utara
f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika
terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Download