Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Selama hampir 32 tahun negara Indonesia dipimpin dengan struktur
pemerintah pusat dan daerah melalui sistem sentralisasi baik kewenangan maupun
sentralisasi fiskal. Konsep Otonomi Daerah sebenarnya merupakan konsep lama
yang pelaksanaannya terus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
Undang-Undang yang ditetapkan. Sebelum ditetapkan Undang-Undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi beberapa kali perubahan
konsep otonomi. Diawali dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1945
menetapkan tiga jenis daerah otonom yaitu Karesidenan, Kabupaten, dan Kota.
Otonomi pada rezim ini berupa kewenangan pangkal dan sangat terbatas, dan tidak
ada
peraturan
pemerintah
yang
mengatur
tentang
penyerahan
urusan
(desentralisasi) kepada daerah otonom.
Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, terfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Pada rezim ini terdapat dua jenis
daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, disamping
itu juga terdapat tiga tingkatan daerah otonom yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota
besar, dan Desa/Kota kecil. Dalam undang-undang ini pemerintah mulai
memperhatikan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah dengan
menerbitkan 33 peraturan pemerintah.
Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 merupakan pengaturan tunggal
pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia yang meletakkan titik berat
12
pengaturan pada aspek otonomi yang seluas-luasnya. Dalam undang-undang ini
ditetapkan tiga tingkatan daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I termasuk
Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Kewenangan
pemerintahan diatur dengan sekitar 10 peraturan pemerintah.
Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 menganut sistem otonomi yang
seluas-luasnya seperti undang-undang sebelumnya. Namun dalam pelaksanaan
peraturan pemerintah tidak terdapat aturan tentang penyerahan sebagian urusan
pemerintahan (desentralisasi) kepada daerah. Dalam undang-undang ini terdapat
tiga daerah otonom yaitu Provinsi sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten
/Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja sebagai Daerah
Tingkat III.
Undang-Undang nomor 6 tahun 1969 yang mengatur tentang pokok-pokok
Pemerinrahan Daerah. Sejak terbitnya undang-undang ini maka undang-undang
sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi. Pemerintah menugaskan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk meninjau kembali undangundang ini, namun baru terwujud 9 tahun kemudian yaitu terbitnya UndangUndang nomor 5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat ke daerah. Dalam undangundang ini secara prinsip tidak lagi menerapkan “otonomi yang riil dan seluasluasnya” tetapi menerapkan “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”, dengan
alasan bahwa otonomi yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan
ketidakutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini juga
terdapat aturan tentang pentingnya azas dekonsentrasi yang dilaksanakan
bersamaan dengan desentralisasi.
13
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tuntutan Reformasi tahun 1998 mendorong
MPR untuk menetapkan Ketetapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumberdaya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Ketetapan ini juga menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah
akan diatur kembali dalam undang-undang. Tujuan perubahan kewenangan pada
undang-undang ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan,
keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan
potensi serta keragaman antar daerah.
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Pemerintahan daerah. Pada undang-undang ini akan mengatur tentang
pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan,
penyelenggaraan
pemerintahan,
dan
lain-lain
yang
berhubungan
dengan
pemerintahan daerah. Dengan ditetapkannya undang-undang yang baru ini maka
setiap daerah di wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota diberi kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya
sehingga memberikan peluang pada daerah untuk leluasa mengatur dan
melaksanakan kewenangannya sesuai dengan prakarsa dan potensi daerah masingmasing.
Berdasarkan undang-undang ini maka pemerintah daerah sebagai daerah
otonom akan menyusun dan membuat berbagai peraturan daerah untuk mengatur
14
dan
sekaligus
dijadikan
pedoman
dalam
memajukan
daerahnya
dan
mensejahterakan masyarakatnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah
dipersiapkan untuk dapat mandiri dari sisi pemerintahan (yaitu menjadi efektif dan
efisien dalam pelayanan kepadaa masyarakatnya) dan mandiri dari sisi
perekonomiannya yaitu mampu mengatur dan mengalokasikan keuangan daerah
sesuai dengan prioritas daerahnya.
Salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah
desentralisasi fiskal yaitu pemerintah daerah Kabupaten/Kota mempunyai
kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahannya termasuk di bidang
keuangan yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah. Dari sisi penerimaan, daerah
diberi keleluasaan dalam menggali berbagai potensi daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerahnya, sedangkan di sisi pengeluaran diberikan keleluasaan untuk
mengatur alokasi anggaran pembelanjaan untuk menjalankan pemerintahan dan
pembangunan daerahnya.
2.2. Desentralisasi Fiskal
2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Secara umum desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan (difusi)
pendelegasian kekuasaan dan wewenang, dan pendelegasian tanggung jawab dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fungsifungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah bawahan. Setiap tipe
desentralisasi-politik, administratif, fiskal, dan pasar memiliki perbedaan
karakteristik, implikasi kebijakan, dan syarat-syarat kesuksesannya. Desentralisasi
15
mencakup tiga bentuk utama, yaitu delegasi, dekonsentrasi, dan devolusi (Ebel,
1999 ; Rondinelli, 1997).
Delegasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan
pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau pemerintah daerah. Delegasi
berhubungan dengan suatu situasi di mana daerah bertindak sebagai perwakilan
pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah.
Dekosentrasi merupakan suatu desentralisasi administratif dari suatu kementerian
pemerintah. Devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu
dikerjakan di daerah, termasuk kebebasan daerah untuk memungut pajak dan
retribusi atas pelayanan yang diberikan. Devolusi merupakan bentuk desentralisasi
yang paling ekstensif (Bird, 2000).
Desentralisasi fiskal diartikan sebagai suatu penyerahan, pendelegasian
kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab di bidang keuangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal berfungsi untuk : (1)
mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah pada semua tingkat, (2)
memperhitungkan bantuan dan transfer antar pemerintahan, (3) memperkuat sistem
penerimaan daerah/lokal, (4) memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu
jaring pengaman bagi fungsi redistribusi. Tujuan utama desentralisasi fiskal adalah
untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi dari
pemerintah pusat sebagai sumber utama dana pembangunan.
Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui
efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Maksudnya jika investasi
infrastruktur lebih banyak atau alokasi sumberdaya lebih efisien untuk sektor-
16
sektor yang memiliki produktivitas tinggi, maka desentralisasi fiskal dapat
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Lin and Liu, 2000).
Davey (1988), mengungkapkan bahwa syarat desentralisasi fiskal sebagai
kerangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah : Pertama, sistem
fiskal harus memberikan suatu distribusi kekuasaan di antara berbagai tingkat
pemerintahan mengenai pemungutan dan pengeluaran sumberdaya pemerintahan
(public resources). Walaupun antar pemerintahan tidak bisa disamaratakan tentang
banyaknya kewenangan yang diberikan, namun sistem keuangan seharusnya
menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of descretion)
atas
sumberdaya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab pada
umumnya.
Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai
dari sumberdaya-sumberdaya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi
pemerintahan (pelayanan rutin dan pembangunan) yang diselenggarakan oleh
pemerintah regional. Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin
mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah-daerah.
Keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan
dengan distribusi beban pengeluaran pemerintah pada masyarakat sebagai
keseluruhan. Jadi, tampak bahwa tanggung jawab pembiayaan (keuangan)
merupakan komponen pokok dari desentralisasi. Pemerintah daerah dapat
menyelenggarakan fungsi-fungsi desentralisasi secara efektif, jika mempunyai
penerimaan keuangan yang cukup, baik yang berasal dari sumber lokal maupun
dari transfer pemerintah pusat sebagaimana kekuasaan untuk membuat keputusan
pengeluaran.
17
Adapun wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan
tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke
daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah
lokal, (4) privatisasi badan usaha milik negara yang kadang-kadang merupakan
tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (sefety net), dan (6)
ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel, 1999 ; Rondinelli, 1997).
2.2.2. Manfaat Desentalisasi Fiskal
Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang
berbeda argumentasi. Pertama, desentralisasi fiskal itu penting karena dapat
meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan
peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut
akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak
mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini desentralisasi nampaknya
cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan
mungkin menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan
makroekonomi (Prud’ Homme, 1994 ).
Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis
Sinaga, et al (2004) adalah :
1. Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi Hasil Sumber Daya
Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK
2. Kewenangan menarik pajak dan retribusi di daerah
18
3. Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk
pusat
4. Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah
5. Kewenangan melakukan pinjaman
Kapasitas pemerintah lokal untuk pembangunan ekonomi daerahnya sangat
ditentukan oleh seberapa besar peranan pemerintah lokal, pengusaha lokal dan
sektor-sektor swasta mensikapi desentralisasi. Dampak desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten / Kota se Jawa dan Bali dilakukan oleh
Adi (2005), hasil temuannya antara lain menunjukkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, dan
daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini
sejalan dengan Lin and Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari
beberapa daerah, ternyata tidak semua daerah siap melakukan desentralisasi fiskal,
data awal menunjukkan bahwa 46% daerah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapitanya berada di bawah rata-rata. Faktor ini yang diindikasikan sebagai
alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah.
Dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja makroekonomi
antara lain adalah : Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen fiskal yang
diyakini memberikan multiplier effect bagi perekonomian sehingga mampu
menutupi sifat penarikan dari pajak sebagai komponen penerimaan. Oleh karena
itu, pengeluaran pemerintah memiliki peran cukup penting untuk menstimulir
permintaan agregat dan output. Dengan tehnik regresi, Yudhoyono (2004)
menyimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan GDP.
19
Hasil lain menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan yang dialokasikan untuk
sektor pertanian memiliki pengaruh terhadap output (GDP) pertanian yang relatif
tinggi. Disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran pembangunan meningkatkan
GDP pertanian, hal ini mengindikasikan bahwa tambahan dari pemerintah berupa
dana pembangunan bagi sektor pertanian berperan positif untuk menstimulir
pertumbuhan output pertanian. Namun untuk sektor industri terjadi hal sebaliknya
yaitu pengeluaran pemerintah di sektor industri harus dikurangi. Pada indikator
lain, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan secara umum
diharapkan dapat mengurangi laju pengangguran dan jumlah penduduk miskin
(Yudhoyono, 2004).
2.2.3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lama, namun dalam
pelaksanaannya belum sesuai harapan, sehingga desentralisasi fiskal yang
dilaksanakan tahun 2001 sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah
merupakan penyempurnaan yang sudah pernah berjalan. Undang-Undang nomor 5
tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah berisi pedoman resmi tentang distribusi
tanggung jawab di antara berbagai jenjang pemerintahan. Undang-undang ini telah
meletakkan sistem hubungan pusat dan daerah dalam tiga prinsip. Pertama,
desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintah dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas
perbantuan yang berarti pengkoordinasian prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi
20
oleh Kepala daerah yang memiliki fungsi ganda sebagai pemerintahan tunggal di
daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah (SETNEG, 1999).
Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, juga mengatur sumber-sumber
penerimaan keuangan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang
meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat, dan bagi hasil
pajak. Aspek keuangan ini merupakan salah satu indikator untuk melihat
implementasi
desentralisasi.
Berdasarkan
kondisi
keuangan
daerah,
memperlihatkan perkembangan desentralisasi sangat lamban dan masih berada
dalam kerangka sentralisasi. Hal ini dapat dilihat dari realitas hubungan fiskal
pemerintah pusat dan daerah. Proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah
sangat rendah dibandingkan dengan besarnya bantuan yang ditransfer dari
pemerintah pusat.
Rendahnya PAD di satu sisi, dan dominannya transfer dari pemerintah
pusat menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi
sehingga kurang leluasa mengatur diri sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa
pelaksanaan dekonsentrasi masih jauh lebih kuat daripada desentralisasi. Fenomena
campur tangan pusat dan ketergantungan daerah yang tinggi melahirkan banyak
kritik. Sebagai respon terhadap berbagai kritik, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1992 untuk mengatur lebih jelas mengenai
proses desentralisasi. Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mentransfer
beberapa tanggung jawab pemerintah pusat dan Provinsi kepada pemerintah daerah
Kabupaten / Kota. Penegasan kembali komitmen desentralisasi juga tertuang dalam
GBHN tahun 1994 (SETNEG, 1999).
21
Implementasi Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimulai tahun 2005,
di mana pada APBN mulai dicantumkan dana perimbangan daerah yang meliputi
dana bagi hasil (DBH) atas penerimaan pajak dan sumber daya alam (SDA), dana
alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). DAU merupakan transfer
dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat block grant yang kewenangan
pengaturan penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tujuan pemberian
otonomi daerah. Besarnya DAU sesuai pasal 27 undang-undang nomor 33 tahun
2004 ditetapkan minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri dalam konsep
neto. Konsep neto yang dimaksud yaitu penerimaan dalam negeri bruto dikurangi
penerimaan yang telah dibagihasilkan. Sedangkan DAK sesuai dengan pasal 38
Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dengan menggunakan rumus DAU, serta
pembiayaan proyek yang merupakan komitmen atau prioritas nasional (Wijaya,
2002 ; Citraumbara, 2004).
Transfer intrapemerintahan digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan dan
kerangka skema transfer, tergantung pada tujuan pemberian transfer itu sendiri.
Dalam literatur keuangan negara, transfer federal direkomendasikan untuk
menutupi kesenjangan fiskal, pemerataan, eksternalitas, dan penggalangan
penyediaan barang berkualitas (Davey, 1988).
Salah satu alasan penting untuk melakukan transfer adalah untuk
memberdayakan pemerintah bawahan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka
secara memuaskan, yaitu jika penerimaan mereka tidak mencukupi. Hal ini dapat
terjadi karena pemerintah pusat memiliki keuntungan komparatif dalam
22
mengumpulkan penerimaan-penerimaan, sedangkan pemerintah lokal/daerah
memiliki keuntungan komparatif dalam pengeluaran. Fane (2003) menyebutkan
bahwa ketimpangan fiskal secara vertikal yang terjadi harus diimbangi oleh suatu
sistem transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bertujuan :
1. Untuk pemerataan. Kesenjangan antara kapasitas penerimaan dan kebutuhan
pengeluaran yang bervariasi antar daerah tergantung pada jenis dan basis pajak
mereka, jumlah dan komposisi penduduk, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi biaya penyediaan pelayanan-pelayanan pemerintah. Daerahdaerah yang memiliki kapasitas penerimaan fiskal yang lebih tinggi, dapat
menyediakan standar-standar pelayanan umum yang lebih baik. Sebaliknya,
daerah-daerah yang penerimaan fiskal lebih rendah tidak dapat menyediakan
pelayanan umum yang lebih baik. Untuk mengimbangi sisi lemah dari
perbedaan fiskal ini diperlukan transfer dengan tujuan pemerataan. Konsep
transfer pemerataan didasari landasan-landasan keadilan horisontal. Untuk
melaksanakan amanat konsep keadilan, pemerintah pusat wajib memberikan
transfer sehingga setiap pemerintah daerah berdaya untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan umum dengan standar relatif sama dengan tingkat pajak
tertentu. Sebaliknya, dalam cakrawala sempit keadilan horisontal, dengan
menjadikan standar pendapatan riil yang diperoleh masing-masing orang dari
aktivitas-aktivitas anggaran lokal sebagai titik awal dan kegiatan fiskal pusat
yang akan diarahkan untuk menjamin keadilan horisontal.
2. Untuk mengatasi dampak eksternalitas (spillover effect). Penyediaan pelayanan
umum oleh pemerintah regional dapat merembes ke luar wilayah, dan
eksternalitas yang demikian dapat menyebabkan penyediaan pelayanan-
23
pelayanan umum yang tidak optimal. Untuk mencapai biaya yang tepat,
transfer dengan tujuan khusus yang disediakan bagi daerah untuk menjamin
pelayanan-pelayanan yang optimal menghendaki adanya dana pendamping dari
daerah yang bersangkutan.
Secara umum, transfer dari pemerintah pusat ke daerah dibedakan ke dalam
dua jenis yaitu : (1) bantuan blok (block grants) atau disebut juga bantuan umum
(general grants) atau bantuan tak bersyarat (unconditional grants), dan (2) bantuan
khusus (specific grants) atau disebut juga bantuan bersyarat (conditional grants).
Bantuan blok adalah jenis transfer antar pemerintahan yang tidak dikaitkan dengan
program pengeluaran tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan dana
yang cukup bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Selain
itu, bantuan ini dapat dipandang sebagai mekanisme transfer daya beli dari satu
tingkat pemerintah kepada tingkat yang lain. Ciri khusus yang menjadi kekuatan
jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal sekaligus
mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah
(Sinaga dan Siregar, 2003).
Dengan perkataan lain, pemerintah daerah memiliki kebebasan dalam
mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran
yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Sedangkan
bantuan khusus adalah jenis bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang
terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah
daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam hal jenis bantuan
yang bersifat khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam
24
pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat (Mahi, 2000).
Di samping transfer antar pemerintahan, bagi hasil pajak dan non pajak
merupakan salah satu bentuk lain dari alokasi dana dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Pajak-pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat
dibagikan sebagian atau seluruhnya kepada pemerintah regional (daerah). Masingmasing daerah dapat memperoleh bagian sesuai dari jumlah pajak atau penerimaan
yang dikumpulkan dari dalam batas wilayahnya, hasil pajak dan non pajak
dibagikan menurut asal perolehannya. Pilihan lainnya, bagian regional (daerah)
dapat dihimpun dan didistribusikan menurut suatu kriteria yang tidak berhubungan
langsung dengan asal pajaknya (Bagchi, 1995 ; Davey, 1988).
Beberapa penjelasan umum mengenai bagi hasil pajak dan non pajak adalah
1. Pemberian bagi hasil pajak dalam teori, mungkin bersifat kebijakan seperti
halnya perhitungan bantuan. Pemerintah tidak akan mengubah suatu pemberian
yang merugikan pemerintah daerah tanpa konsultasi dan persetujuan.
2. Devolusi dari suatu sumber pajak mungkin bukanlah suatu alternatif yang dapat
dilaksanakan baik karena kendala administratif regionalisasi pajak maupun
kerena ketidaksediaan secara politis oleh pemerintah pusat.
3. Apabila pajak yang dibagihasilkan itu punya potensi besar, pemerintah regional
dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota akan menerima pertumbuhan
penerimaan secara otomatis (Bagchi, 1995 ; Davey, 1988).
Pendapatan asli daerah (regional own revenue) adalah pendapatan daerah
yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Pendapatan asli daerah
meliputi pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik
25
daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah.
Pemerintah daerah memiliki
kewenangan penuh penggalian sumber-sumber pendapatan asli daerah serta
pengalokasianya tanpa pengaturan pemerintah pusat yang ketat.
Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang
terbesar. Pajak merupakan pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah,
pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat
dipaksakan kepada subyek pajak dan tidak ada balas jasa langsung yang dapat
ditunjukkan penggunaannya. Jenis pajak dapat dikategorikan ke dalam pajak
langsung (seperti pajak penghasilan, pajak kekayaan), dan pajak tidak langsung
(seperti pajak ekspor, pajak impor, pajak pertambahan nilai, cukai, royalti, pajak
penjualan, dan sebagainya). Sedangkan pungutan pemerintah karena pembayar
menerima jasa tertentu secara langsung dari pemerintah disebut retribusi
(Mangkusubroto, 1998).
2.2.4. Permasalahan dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Implementasi otonomi daerah termasuk desentralisasi fiskal sejak tahun
2001 mulai ditemukan beberapa permasalahan antara lain kesiapan berbagai pihak
seperti pemerintah, birokrasi pemerintah daerah, partisipasi masyarakat, dan
sumberdaya manusia (Tanjung, 2001). Temuan lain dari Raharjo (2001) antara lain
adalah pemerintah daerah yang menginginkan sumber pendapatan baru dapat
memperluas pajak dan pungutan retribusi. Kondisi ini harus diimbangi dengan
insentif kepada masyarakat. Masalah pajak dan retribusi di era desentralisasi fiskal
memang menjadi topik utama dalam rangka kewenangan pemerintah daerah dalam
menggali potensi daerahnya.
26
Kekawatiran lain adalah adanya dana perimbangan yang berasal dari bagi
hasil sumberdaya alam akan berpotensi meningkatkan ketimpangan ekonomi antar
daerah yang kaya sumberdaya alam dan daerah yang miskin sumberdaya alam.
Simanjuntak1 menyatakan bahwa dari 444 Kabupaten dan Kota di Indonesia sekitar
80% merupakan daerah rural / pedesaan yang potensi penerimaan PAD rendah dan
20% merupakan daerah urban / perkotaan yang potensi PAD cukup besar. Kondisi
ini juga berpotensi menimbulkan kesenjangan pendapatan antar daerah. Di sisi lain
desentralisasi fiskal juga akan berdampak meningkatnya biaya perekonomian /high
cost economy di daerah akibat berbagai pungutan dalam bentuk perda-perda baru.
Canaleta (2002) dalam Abdullah (2005) menyatakan bahwa hasil
desentralisasi adalah sebuah ketidakseimbangan distribusi sumber-sumber antar
daerah yang akhirnya akan menimbulkan disparitas ekonomi. Senada dengan itu,
Azfar et al (1999) dalam Abdullah (2005) juga berpendapat bahwa desentralisasi
dapat memperlebar desparitas daerah dalam pengeluaran sosial jika pemerintah
daerah bertanggung jawab dalam pendanaan dan implementasinya. Sebagai contoh
desentralisasi di Cina meningkatkan lokal desparitas dalam pelayanan kesehatan
dan pendidikan. Dalam hal pengalokasian anggaran juga menjadi masalah dalam
keuangan daerah sehingga dibutuhkan efektifitas dan efisiensi anggaran
pengeluaran.
2.3. Pembangunan
Pembangunan
ekonomi
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
yang
menyebabkan pendapatan perkapita penduduk sesuatu masyarakat meningkat
1
. Dialog Q Channel TV akhir November 2006.
27
dalam jangka panjang. Dengan demikian pembangunan ekonomi merupakan : (1)
proses yang berarti merupakan perubahan yang terjadi terus menerus, (2) usaha
untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita, dan (3) kenaikan pendapatan per
kapita harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Selanjutnya pembangunan
ekonomi juga perlu dipandang sebagai suatu peningkatan pendapatan per kapita
yang merupakan cerminan dari timbulnya perbaikan kesejahteraan ekonomi
masyarakat yang pada umumnya ditunjukkan oleh tingkat pertambahan produk
domestik bruto (Sukirno, 1985).
Dalam pengertian sempit, istilah pembangunan diartikan sebagai kapasitas
perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan produk
domestik bruto (PDB) tahunan pada tingkat tertentu. Indikator lain yang sering
digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan ekonomi adalah PDB per
kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan dari suatu negara untuk
memperbesar outputnya secara riil dalam laju yang lebih cepat dari pada
pertumbuhan penduduk. Definisi yang lebih luas mengenai pembangunan
dinyatakan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu
masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang
lebih baik (Todaro, 2000). Dalam proses pembangunan, sektor pertanian sangat
penting sebagai penyedia kebutuhan makan masyarakat, dan sumber bahan baku
bagi industri. Sektor pertanian juga harus dapat menjadi sumber komoditi ekspor
dalam perdagangan. Pada kondisi masyarakat yang mayoritas bekerja di bidang
pertanian seperti Indonesia, maka produksi akan mendominasi GDP, sektor
pertanian merupakan sumber alam yang menghasilkan pajak dan sumber tabungan
28
untuk mendukung keuangan/pembangunan. Keseimbangan antara sektor pertanian
dan sektor lain harus dijaga, demikian juga variabel permintaan dan ketersediaan,
selanjutnya harus diikuti oleh pertumbuhan pasar (Donaldson, 1984).
Pembangunan pertanian dalam era otonomi daerah sudah saatnya
dilaksanakan dalam perspekif pembangunan berdimensi kemandirian lokal, di
mana basisnya harus bergeser dari sentralistik homogenitas ke paradigma
koneksitas atau kemandirian lokal. Salah satu kritik Mosher terhadap perumusan
pembangunan pertanian di beberapa negara termasuk Indonesia adalah
terabaikannya unsur potensial yang terkandung di kalangan petani yaitu daya cipta,
kegairahan, dan pengetahuan tentang keadaan lokal (Gany, 2000).
Pembangunan daerah (regional) adalah berkenaan dengan tingkat dan
perubahan selama kurun waktu tertentu dari suatu set variabel-variabel, seperti
produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal-tenaga, dan imbalan bagi faktor
(factor return) dalam daerah yang dibatasi secara jelas. Fokus analisis regional
adalah aktivitas agregatif berupa perekonomian makro di daerah tertentu/nodal
(node) dalam satu set daerah-daerah yang terpisah (nodes). Pengertian
pembangunan daerah tersebut menekankan pada aspek perubahan variabel-variabel
ekonomi (Azis, 1994).
Arsyad (1999) menekankan aspek usaha untuk mengubah variabel-variabel
ekonomi dengan mendefinisikan bahwa pembangunan ekonomi daerah sebagai
suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya
yang ada untuk menciptakan suatu lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan
ekonomi dalam wilayah tersebut.
29
2.4. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah
serta implikasinya terhadap perekonomian nasional atau daerah sudah banyak
dilakukan, bahkan penelitian-penelitian tentang desentralisasi di negara-negara lain
juga banyak dilakukan. Penelitian desentralisasi fiskal di Indonesia antara lain
dilakukan oleh Nanga (2006), Usman (2006), Sumedi (2005), Brodjonegoro
(2001), Wuryanto (1996), dan Hirawan (1993). Sedangkan penelitian desentralisasi
fiskal pada tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia dilakukan oleh Panjaitan (2006),
Pakasi (2005), Pardede (2005), Saefudin (2005), Sumedi (2005), Sinaga et al
(2003), Sartiyah (2001), Isdijoso (2001), Antara (1999), dan Azis (1994).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu mempunyai karakteristik
tersendiri sehingga terlihat aspek-aspek yang sama maupun yang berbeda yang
akan disitir ulang pada disertasi ini. Aspek yang akan dibahas terbatas pada aspek
tujuan penelitian, metodologi, dan hasil penelitiannya.
2.4.1. Aspek Tujuan dan Metodologi Penelitian
Dari 16 penelitian terdahulu, terdapat beberapa model di antaranya
menggunakan model dinamik yaitu pendekatan ekonometrika dengan persamaan
simultan, sedangkan penelitian menggunakan model statik antara lain pendekatan
Input-Output (IO), Social Accounting Matrix (SAM), dan Computable General
Equlibrium (CGE). Dari beberapa penelitian yang menggunakan model dinamik
tersebut dapat mengevaluasi dampak dan kecenderungan desentralisasi secara
dinamis dari waktu ke waktu pada lokasi penelitian, namun pada penelitian tersebut
tidak tergambar keterkaitan antar sektor. Sedangkan dari model statik mampu
30
menjelaskan keterkaitan antar sektor, namun hanya mampu menganalisis pada satu
titik kejadian atau satu kurun waktu tertentu saja.
Tujuan Penelitian Panjaitan (2006) antara lain mengevaluasi kinerja fiskal
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal serta faktor-faktor yang mempengaruhi,
mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan
perekonomian daerah Kabupaten/Kota di sumatera Utara tahun 1990-2003 serta
meramalkan dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2006-2008. Untuk mencapai tujuan
dimaksud Panjaitan (2006) mengambil ruang lingkup wilayah penelitian di 17
Kabupaten/Kota yang didisagregasi menjadi 24 kabupaten/Kota di sumatera Utara
menggunakan panel data tahun 1990 sampai 2003. Model yang dibangun dengan
pendekatan ekonometrika terdiri dar blok Fiskal, blok Investasi dan Infrastruktur,
dan blok Kinerja Perekonomian yang terdiri dari 11 persamaan struktural dan 5
persamaan identitas yang seluruhnya merupakan suatu sistem persamaan simultan.
Penelititan Nanga (2006) bertujuan menganalisis dampak transfer fiskal
terhadap aspek-aspek fiskal dan kinerja perekonomian khususnya terhadap
distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Untuk menjawab tujuan
dimaksud, Nanga mengambil sampel dari 25 provinsi di Indonesia mulai tahun
1999 sampai tahun 2002 dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan
enam blok yaitu: blok Fiskal daerah, Output, Tenaga kerja, Pengeluaran Rumah
tangga, Distribusi pendapatan, dan blok Kemiskinan. Antar blok saling terkait
menjadi satu sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural
dan 8 persamaan identitas. Untuk melihat distribusi pendapatan di pedesaan dan
31
kota digunakan alat ukur Indeks Gini, sedangkan untuk mengetahui tingkat
kemiskinan di pedesaan dan kota menggunakan Indeks kemiskinan.
Tujuan penelitian Usman (2006) mirip dengan penelitian Nanga (2006),
yaitu mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal
dan ekonomi daerah yang lebih ditekankan pada distribusi pendapatan dan tingkat
kemiskinan di Indonesia. Lingkup penelitian Usman di wilayah Indonesia dengan
308 Kabupaten/Kota dan didisagregasi menjadi 26 Provinsi. Data yang diambil
mulai dari tahun 1994 sampai tahun 2003 yang terdiri dari data yang digunakan
untuk mengevaluasi dan membandingkan pertumbuhan masyarakat ekonomi
bawah dan tas, data cross section rumah tangga tahun 1999 dan 2002 untuk
mengetahui faktor penentu kemiskinan, dan data panel tahun 1995 sampai tahun
2003 untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan
distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Pada penelitian ini Usman
menggunakan pendekatan ekonometrika dengan empat blok yaitu blok Penerimaan
Daerah, blok Pengeluaran Daerah, blok Permintaan Agregat, dan blok Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan. Keempat blok tersebut membentuk sistem persamaan
(simultan) dengan 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Untuk
menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan digunakan Indeks Gini dan
Indeks Kemiskinan.
Tujuan penelitian Sumedi (2005) hampir serupa dengan empat penelitian
terdahulu yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal
daerah dan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar
daerah, kinerja fiskal, dan perekonomian daerah, serta merumuskan alternatif
kebijakan pemerintah dalam mendorong kinerja perekonomian daerah. Untuk
32
menjawab tujuan tersebut Sumedi mengambil sampel penelitian meliputi seluruh
wilayah Indonesia dengan basis analisis tingkat Provinsi, sementara untuk melihat
dampak desentralisasi fiskal pada tingkat daerah dilakukan pada satu Provinsi yaitu
Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data panel (pool data) meliputi
seluruh Provinsi Indonesia dan seluruh Kabupaten di Jawa Barat kecuali Banten
yang telah menjadi Provinsi. Deret waktu yang dianalisis mulai tahun 1994 sampai
Tahun 2002. Pendekatan analisis yang digunakan adalah pendekatan ekonometrika
dengan dua model yaitu model Tingkat Nasional dan Tingkat Daerah (Jawa Barat),
pendekatan ini berbeda dengan peneliti-peneliti terdahulu. Model Tingkat Nasional
terdiri dari lima blok yaitu blok Penerimaan Daerah, Pengeluaran Daerah, Defisit
Fiskal, Kinerja Perekonomian dan Pertanian Daerah, dan blok Permintaan Agregat.
Sedangkan model Tingkat Daerah terdiri dari empat blok yaitu blok Penerimaan
Daerah, Pengeluaran Daerah, Defisit Fiskal, dan blok Kinerja Perekonomian dan
Pertanian Daerah. Berbeda dengan Nanga (2006) dan Usman (2006), untuk
menggukur kesenjangan (distribusi) antar daerah Sumedi menggunakan Indeks
Williamson, sedangkan untuk mengevaluasi dampak terhadap perekonomian
menggunakan analisis simulasi sebagaimana dilakukan dua peneliti terdahulu.
Penelitian Saefudin (2005) bertujuan untuk mengevaluasi dampak
desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan sistem kelembagaan di
Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di 16 Kabupaten/Kota dengan pengambilan
data mulai tahun 1996 sampai 2003. Model yang digunakan adalah pendekatan
ekonometrika dan kualitatif menggunakan quesioner yang diperlukan untuk
menjawab tujuan evaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap sistem
kelembagaan. Pendekatan ekonometrika digunakan untuk menjawab tujuan
evaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian di Riau,
33
terdiri dari tiga blok yaitu blok Penerimaan Fiskal Daerah, Pengeluaran Fiskal
Daerah, dan blok Makroekonomi Daerah. Antar blok dalam model saling terkait
membentuk sistem persamaan simultan dengan 18 persamaan struktural dan 11
persamaan identitas.
Pakasi
menganalisis
(2005)
mendeskripsikan
faktor-faktor
yang
kinerja
fiskal
mempengaruhinya,
dan
perekonomian,
menganalisis
dampak
kebijakan desentralisasi fiskal dan faktor eksternal terhadap kinerja fiskal dan
perekonomian daerah, serta meramalkan dampak desentralisasi fiskal terhadap
perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Sampel yang diambil
lima Kabupaten/Kota, dan data yang digunakan pool data (time series tahun 1989 –
2002 dan cross section lima Kabupaten/Kota). Model yang dibangun serupa
dengan peneliti-peneliti terdahulu yaitu menggunakan pendekatan ekonometrika
yang terdiri dari empat blok yaitu blok Fiskal Daerah, Permintaan Agregat,
Produksi dan Tenaga Kerja Daerah, dan Kinerja Perekonomian Daerah. Antar blok
terkait satu sama lain membentuk sistem persamaan simultan dengan jumlah
persamaan 23 persamaan struktural dan 16 persamaan Identitas. Perbedaan model
yang dibangun oleh Pakasi dengan peneliti terdahulu yaitu selain mengevaluasi
variabel ekonomi makro, juga mengevaluasi dampak kebijakan fiskal pada level
sektoral seperti sektor pertanian, industri, pariwisata, dan sektor jasa.
Sinaga dan Siregar (2003) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, penelitian ini mencakup wilayah
Indonesia tetapi dengan sampel yang digunakan adalah Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Riau, Jawa Barat, dan Jawa
Timur. Pendekatan model menggunakan konometrika dengan persamaan simultan.
Setiap Privinsi dibangun model tersendiri sesuai dengan karakteristik wilayah yang
34
bersangkutan, sehingga hasil penelitian ini akan mampu menggambarkan
karakteristik daerah (Provinsi) dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sartiyah (2001) mengkaji dampak implementasi desentralisasi fiskal
terhadap pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara
menggunakan pendekatan ekonometrika yang terdiri dari blok dan membentuk
sistem persamaan simultan. Pendekatan penelitian Sartiyah hanya dari sisi
pengeluaran sehingga belum menangkap faktor efisiensi yang menjadi asumsi
dasar pelaksanaan desentralisasi.
Hirawan (1993) meneliti faktor yang mempengaruhi besarnya bantuan
Inpres dan dampak bantuan Inpres terhadap PDRB, Investasi, dan jumlah tenaga
kerja dengan menggunakan persamaan tunggal dengan
pooled data 27 Provinsi
tahun 1984/85-1990/91
Penelitian
Pardede
(2005)
bertujuan
melakukan
evalusi
dampak
desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi Provinsi Sumatera Utara
tahun 2001. Berbeda dengan peneliti sebelumnya, Pardede menggunakan
pendekatan Input-Output (I-O). Evaluasi dampak yang dilakukan adalah evaluasi
dampak pengeluaran pembangunan, dampak pengeluaran rutin, dekonsentrasi dan
investasi swasta terhadap output, pendapatan dan kesempatan kerja.
Antara (1999) menganalisis perbedaan
dampak alokasi pengeluaran
pemerintah terhadap kinerja perekonomian Bali dengan model Social Accounting
Matrix (SAM). Sedangkan penelitian Wuryanto (1996) bertujuan untuk menguji
dampak sistem fiskal yang lebih terdesentralisasi terhadap kinerja ekonomi
nasional, serta dampak beberapa skenario fiskal khususnya dampak dari program
INPRES terhadap kinerja perekonomian nasional dan regional. Wilayah penelitian
35
mencakup seluruh Indonesia. Untuk menjawab tujuan dimaksud, Wuryanto
menggunakan
pendekatan
CGE
(Computable
General
pendekatan kualitatif. Untuk membangun model CGE
Equilibrium)
dan
digunakan IRSAM
(Interregional Social Accounting Matrix) metode non survey tahun 1990,
sedangkan untuk prosedur pendugaan menggunakan National SAM dan tabel
Input-Output Nasional tahun 1990.
Penelitian Isdijoso (2001) tentang desentralisasi fiskal dan implikasinya
terhadap kondusifitas iklim usaha di daerah kota dan kabupaten Provinsi Sulawesi
Selatan dengan daerah kasus Kota Makasar dan Kabupaten Mamuju. Penelitian
dilakukan dengan metode deskriptif bagaimana respon pemerintah daerah terhadap
dunia usaha dalam rangka desentralisasi fiskal.
2.4.2. Aspek Hasil-hasil Penelitian tentang Desentralisasi Fiskal
Beberapa hasil penelitian penting dari Panjaitan (2006) antara lain:
1. Sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah
desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat
2. Transfer ditentukan oleh tingkat perekonomian, kondisi fisik dan sosial daerah,
sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat
kepastian berusaha dan tingkat upah.
3. Peningkatan DAU ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan
masyarakat dan kesempatan kerja serta distribusi pendapatan khususnya di
Kota.
36
4. Peningkatan DAU yang akan datang berhasil meningkatkan penerimaan,
pengeluaran, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, dan distribusi
pendapatan khususnya di Kota.
Hasil penelitian Nanga (2006) berbeda dengan penelitian Panjaitan (2006),
Nanga lebih terfokus pada anggaran transfer antara lain:
1. Transfer fiskal dalam berbagai bentuk memiliki dampak kecenderungan
memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena berbagai jenis
transfer memiliki kecenderungan meningkatkan ketimpangan pendapatan,
sementara kemiskinan memiliki hubungan positif dan elastis terhadap
perubahan dalam ketimpangan pendapatan.
2. Transfer fiskal dalam berbagai bentuknya cenderung menguntungkan sektor
non pertanian karena dana transfer lebih besar dampaknya pada PDRB dan
kesempatan kerja di sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian.
3. Setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan, kemiskinan di daerah pedesaan
semakin memburuk dan sebaliknya di perkotaan kemiskinan semakin
berkurang.
Hasil penelitian Usman (2006) pada aspek fiskal hampir sama dengan dua
peneliti terdahulu, namun pada aspek distribusi dan kemiskinan ditemukan
perbedaan, hasil penelitian tersebut antara lain :
1. Desentralisasi fiskal meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian, namun
dampak perbaikan distribusi pendapatan dari desentralisasi fiskal baru sebatas
dugaan karena belum terbukti secara nyata.
37
2. Desentralisasi fiskal menurunkan jumlah orang miskin, semakin kecil gap
antara rata-rata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan, dan
semakin kecil variasi pendapatan diantara penduduk miskin.
3. Dampak DAU terhadap kinerja perekonomian di Jawa-Bali dan Sulawesi lebih
besar dibandingkan dengan dampak bagi hasil (pajak dan non pajak).
Sebaliknya di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dampak bagi hasil lebih besar
dibandingkan dengan DAU.
Hasil penelitian Sumedi (2005) pada tingkat Provinsi, distribusi/disparitas
ekonomi semakin kecil, dan pada tingkat Kabupaten/Kota distribusi pendapatan
semakin memburuk. Secara ringkas, hasil penelitian ini adalah :
1. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal meningkatkan penerimaan daerah,
pengeluaran, dan kinerja perekonomian nasional. Demikian juga setelah
desentralisasi fiskal kapasitas fiskal dan celah fiskal juga meningkat.
2. Setelah desentralisasi fiskal, kesenjangan ekonomi antar Provinsi semakin
kecil, sedangkan kesenjangan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat
semakin besar.
3. Peningkatan transfer dari pusat (DAU dan DAK) meningkatkan kesenjangan
antar daerah baik pada industri maupun pertanian, namun peningkatan pajak,
retribusi, dan bagi hasil menurunkan kesenjangan antar daerah industri, dan
sebaliknya meningkatkan kesenjangan antar daerah pertanian.
Hasil penelitian Saefudin (2005), antara lain :
1. Desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap penerimaan dan pengeluaran
daerah, kinerja ekonomi daerah, dan kelembagaan daerah.
38
2. Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Sumber Daya Alam, relokasi pengeluaran
rutin dan pembangunan memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
antar daerah. Di sisi lain, Bagi hasil Pajak dan penerimaan Pajak tidak
memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah.
3. Setelah desentralisasi terjadi pergeseran sumber penerimaan utama dari
retribusi daerah menjadi pajak daerah.
Penelitian Pakasi (2005) di Sulawesi Utara menemukan :
1. Terdapat kompetisi dalam pengelolaan fiscal available menjadi pengeluaran
pembangunan atau pengeluaran rutin.
2. DAU berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah di
masing-masing Kabupaten/Kota.
3. DAU dan pengeluaran rutin daerah berdampak positif terhadap fiscal available
dan fiscal needs.
4. Meningkatnya fiscal needs akan meningkatkan upaya Pemda Kabupaten dan
Kota di Sulawesi Utara untuk meningkatkan pengeluaran rutin dan pengeluaran
sektoral yang selanjutnya berpengaruh pada produksi sektoral.
5. Realokasi pengeluaran dari pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan
sektoral khususnya sektor publik dalam jangka pendek diramalkan akan
meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah.
Hasil penelitian Pardede (2005), menunjukkan bahwa :
1. Kebijakan desentralisasi fiskal meningkatkan kinerja perekonomian daerah.
Namun di sisi lain, desentralisasi fiskal menimbulkan disparitas output/kapita
dan pendapatan / kapita yang semakin besar antara dua daerah tersebut.
39
2. Alokasi pengeluaran daerah, setelah realokasi pengeluaran dari sektor non
pertanian ke sektor pertanian di daerah Tapanuli Utara berdampak positip
terhadap peningkatan output, pendapatan, dan kesempatan kerja.
3. Setelah desentralisasi fiskal, perekonomian di Sumatera Utara terjadi
pergeseran peran dari swasta ke pemerintah, dari pendapatan asli daerah ke
transfer pusat.
Penelitian Sinaga dan Siregar (2003) menunjukkan bahwa :
1. Pelaksanaan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap sisi penerimaan dan
pengeluaran fiskal daerah. Pada sisi penerimaan terjadi peningkatan yang tinggi
khususnya dari dana perimbangan dan PAD, di mana peranan dana
perimbangan semakin tinggi sedangkan PAD semakin turun.
2. PDRB merupakan faktor dominan yang mempengaruhi penerimaan daerah
(pajak, retribusi, bagi hasil dan transfer), sedangkan dana perimbangan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran rutin dan
pembangunan.
Penelitian Brodjonegoro et al (2001) menganalisis dampak alokasi
sumberdaya alam dan dana alokasi umum terhadap pemerataan dan pertumbuhan
ekonomi antar daerah. Hasil analisis simulasi menunjukkan bahwa :
1. Desentralisasi
fiskal
secara
tidak
langsung
mendorong
peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah dimana variabel shock SDA menghasilkan
koefisien variasi PDRB antar daerah meningkat sementara DAU cukup efektif
menyeimbangkan kesenjangan fiskal.
2. Kebijakan alokasi sumberdaya alam dan dana alokasi umum merupakan
kebijakan yang saling terkait dan memberikan dampak cukup besar terhadap
perekonomian makro.
40
Hasil penelitian Sartiyah (2001) menunjukkan bahwa :
1. Penerapan desentralisasi fiskal di daerah yang memiliki potensi dan
sumberdaya yang lebih besar mampu meningkatkan
penerimaan daerah
dibandingkan daerah yang potensinya lebih kecil.
2. Hasil simulasi menunjukkan bahwa daerah yang memiliki potensi dan
sumberdaya kecil mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah yang potensi dan sumberdayanya tinggi.
Studi Isdijoso (2001) menyimpulkan bahwa :
1. Respon daerah berbeda antara daerah kota dengan kabupaten dalam PAD,
yaitu pemerintah kota lebih mengutamakan strategi intensifikasi pajak
sedangkan kabupaten menekankan strategi ekstensifikasi pajak.
2. Di sisi pengeluaran baik pemerintah kota maupun kabupaten akan
meningkatkan efektivitas pengeluaran APBD bagi kepentingan publik daerah.
3. Pengaruh respon daerah terhadap perubahan iklim usaha di daerah sangat
dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan implementasi perubahan kebijakan di
lapangan, di mana kebijakan di sisi penerimaan biasanya berjalan lebih cepat
dibandingkan dengan kecepatan implementasi perubahan kebijakan di sisi
pengeluaran sehingga kondisi yang mungkin terjadi adalah memburuknya iklim
usaha.
Penelitian Antara (1999) menemukan bahwa peningkatan pengeluaran
pemerintah secara bersamaan dengan pengeluaran wisatawan mendorong
peningkatan kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh PDRB Bali. Akan tetapi,
realokasi pengeluaran dari infrastruktur sosial ke infrastruktur ekonomi tanpa
41
peningkatan total pengeluaran pemerintah meningkatkan kinerja perekonomian
yang relatif rendah.
Hasil penelitian Wuryanto (1996) menunjukkan bahwa pendesentralisasian
sistem fiskal yang ada melalui suatu transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah
regional, terutama dalam bentuk program-program Inpres blok, menciptakan
pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih besar dan menunjukkan bahwa untuk
beberapa program Inpres yang alokasinya ditentukan oleh pemerintah regional,
pada aktivitas dan proyek yang berbeda menghasilkan suatu kinerja ekonomi yang
lebih meningkat.
Hirawan (1993) menemukan bahwa besarnya dana alokasi secara signifikan
ditentukan oleh jumlah penduduk, sementara bantuan Inpres terutama yang bersifat
blok mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap PDRB dan tenaga kerja.
Studi kasus yang dilalukan Syahrial (2005) tentang hubungan antara
desentralisasi fiskal dan kemampuan pemerintah, mencoba mengestimasi
menggunakan model persamaan tunggal di mana kemampuan pemerintah
merupakan fungsi dari desentralisasi fiskal, kolusi, dan variabel kontrol. Indikator
kemampuan pemerintah diproxy melalui share antara Pengeluaran pemerintah
(dalam PDRB) dan total pengeluaran pemerintah per kapita di setiap provinsi.
Indikator desentralisasi fiskal diukur dengan ukuran relatif setiap provinsi, yaitu
share dari pengeluaran pemerintah daerah (G Kab/Kota) terhadap total pengeluaran
pemerintah (G Prov), sedangkan indikator Kolusi antara pemerintah pusat dan
daerah diukur menggunakan share dari transfer pusat ke daerah terhadap total
penerimaan daerah (Tax dan non Tax). Variabel kontrol diukur dari populasi
penduduk setiap provinsi yang tergambar dari proxy permintaan terhadap provisi
42
jasa pelayanan umum, disamping itu indikator desentralisasi juga menggunakan
indikator share dari penerimaan Tax/non Tax daerah terhadap total penerimaan
daerah, dan rasio fragmentasi setiap Provinsi (jumlah Kabupaten/Kota dalam satu
Provinsi). Dalam hipotesisnya, Syahrial juga sependapat dengan Brennan/
Buchanan Collusion Hypothesis yang menyatakan bahwa terdapat ketergantungan
kuat dari pemerintah daerah terhadap dana alokasi dari pusat. Mahi dan
Brojonegoro (2003) mengindikasikan bahwa prosentase porsi lump sum dalam
formula DAU secara jelas ditunjukkan besarnya intervensi politik dalam kebijakan
fiskal nasional.
Hasil studi Syahrial (2005) menunjukkan bahwa :
1. Terdapat
hubungan
positif
antara
ukuran
pemerintah
dan
indikator
desentralisasi (pada saat kita menggunakan proxy ukuran relatif dari
pengeluaran pemerintah daerah dan rasio fragmentasi), tetapi hubungan antara
Pajak / non Pajak daerah dan ukuran pemerintah tidak nyata dan berhubungan
negatif.
2. Ketergantungan pemerintah daerah pada Dana Alokasi mengindikasikan bahwa
terdapat hubungan positif antara dana Transfer antar pemerintahan khususnya
Dana Alokasi dengan ukuran pemerintah. Kondisi ini juga mengindikasikan
adanya besarnya muatan politik dalam penentuan Dana Alokasi Khusus.
2.4.3. Penelitian Desentralisasi Fiskal di Negara Lain
Selain penelitian desentralisasi fiskal di Indonesia, beberapa penelitian yang
telah dilakukan di negara China, India, dan Filipina sangat relevan sebagai bahan
43
studi ini, antara lain dilakukan oleh Capuno (2001) , Lin and Liu (2000), Rao
dalam Bird and Vaillancourt (2000).
Capuno
(2001),
menganalisis
pengalokasian
penerimaan
internal
pemerintah pusat di Philipina dalam rangka desentralisasi. Dengan menggunakan
formula Internal Revenue Allotmen (IRA), menunjukkan bahwa penerimaan dari
sumberdaya lokal dan total pengeluaran dari provinsi atau kota bersifat elastis.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa peningkatan besaran nilai IRA tidak
menunjukkan terjadinya substitusi untuk penerimaan daerah dan pengeluaran
daerah.
Lin and Liu (2000) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi di China melalui persamaan tunggal dengan menggunakan
pooll data. Pada penelitian ini, proxy desentralisasi fiskal yaitu perubahan marjinal
dan rata-rata penerimaan yang secara leluasa digunakan oleh pemerintah daerah
(Provinsi). Berdasarkan asumsi mereka bahwa desentralisasi fiskal mendorong
efisiensi alokasi sehingga variabel desentralisasi fiskal disamakan dengan variabel
teknologi dalam fungsi produksi. Beberapa hasil temuannya adalah:
1. Desentralisasi fiskal mempunyai kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
2. Setelah desentralisasi ketimpangan fiskal antar daerah Provinsi menjadi sangat
serius dibanding ketimpangan antara Provinsi dan Pusat.
Menurut Bird and Vaillancourt (2000) desentralisasi fiskal di India atau
lebih dikenal dengan federasi fiskal, dimulai tahun 1991 dengan tuntutan politik
dari daerah, dimana telah terjadi perubahan kekuatan dari pusat ke daerah. Di sisi
44
Perekonomian, kekuasaan pengeluaran dan pajak pemerintah pusat dan pemerintah
negara bagian diatur secara tegas dalam Seventh Scedule of the Constitution.
Beberapa hasil penelitian Rao dalam Bird and Vaillancourt (2000) di India :
1. Sistem transfer mampu meningkatkan pelayanan di seluruh pelosok negara.
2. Sistem pengaturan pengelolaan fiskal intrapemerintahan telah berhasil
memperbaiki tingkat pemerataan, dan berhasil melembagakan sistem yang
dapat bekerja menyelesaikan isu-isu sosial dan lingkungan.
3. Di samping peningkatan penerimaan daerah, diperkirakan desentralisasi di
Indonesia juga akan meningkatkan provisi jasa pelayanan umum bagi
masyarakat lokal. Awal analisis telah diindikasi bahwa alokasi pengeluaran
pemerintah daerah untuk pelayanan umum belum mencukupi, setelah itu hasil
dari desentralisasi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan tidak
hanya meningkatkan pengeluaran bagi aparat pemerintahan.
2.4.4. Penelitian yang Berkaitan dengan Aspek Metode dan Tujuan Penelitian
Studi lain tentang Pengaruh Infrastruktur terhadap Penawaran Tanaman
Pangan di Jawa dilakukan oleh Hartoyo (1994), menyimpulkan bahwa : (1)
besarnya tambahan pengeluaran untuk irigasi tidak diikuti peningkatan produksi
yang sebanding; (2) peningkatan infrastruktur jalan menyebabkan peningkatan
produksi tanaman pangan dan perekonomian pedesaan; (3) peningkatan
pengeluaran riset akan meningkatkan produksi padi, kedele, kacang tanah, dan ubi
kayu, sementara ubi jalar produksinya turun; dan (4) peningkatan harga pupuk,
peningkatan panjang jalan, dan peningkatan pengeluaran riset memberikan dampak
positif terhadap produksi tanaman pangan.
45
Studi-studi terdahulu tentang kinerja makroekonomi dengan sistem
persamaan simultan antara lain yang ditulis Hanani (2000). Model mikro-makro
ekonomi Indonesia menggunakan persamaan simultan mampu membangun model
mikro-makro ekonomi Indonesia yang mengintegrasikan aspek mikro dan makro
serta keterkaitan antar pasar domestik dan pasar dunia. Hasil kesimpulannya dapat
mengevaluasi dan meramalkan kinerja perekonomian Indonesia di masa
mendatang, meramalkan goncangan eksternal maupun internal, dan mampu
memberikan alternatif kebijakan yang digunakan untuk memulihkan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Suatmodjo (2000) melalukan simulasi kebijakan Liberalisasi Perdagangan
dan menyimpulkan bahwa dihilangkannya restriksi ekspor kayu bulat dan gergajian
justru meningkatkan kesejahteraan domestik. Selain itu dalam penelitiannya juga
mampu meramalkan dampak berbagai kebijakan perdagangan untuk beberapa
tahun mendatang. Dengan model sistem persamaan /persamaan simultan penulis
mampu mengamati prilaku industri kayu maupun prilaku perdagangan beberapa
tahun, serta meramalkan kebijakan-kebijakan perdagangan tahun mendatang.
Salah satu hasil penelitian Safrida (1999) menggunakan persamaan
simultan menunjukkan bahwa dampak kebijakan upah minimum dan kebijakan
makroekonomi memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, di mana
terjadi peningkatan yang cukup berarti pada besaran variabel-variabel permintaan
agregat. Dari sisi penawaran agregat terlihat bahwa permintaan tenaga kerja lebih
besar dibandingkan dengan penawaran tenaga kerja, sehingga pada kondisi ini
Indonesia dapat mengatasi masalah pengangguran.
46
Aspek penelitian-penelitian terdahulu khususnya penggunaan model
Ekonometrika telah banyak digunakan, namun karena karakteristik Provinsi
Bengkulu yang berbeda dengan Provinsi lain, maka dalam penelitian ini akan
memiliki tujuan yang berbeda, di samping itu penelitian terdahulu analisisnya
belum mengkaitkan dengan sektor-sektor produktif di daerah. Oleh karena itu pada
penelitian ini akan mencoba melengkapi kekurangan tersebut di antaranya
pengaruh pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur terhadap
produksi sektor pertanian, dan investasi di daerah.
Download