BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari air bersih sebagai komponen penunjang
kehidupan makhluk hidup yang sangat penting. Manusia menggunakan air bersih dalam
berbagai macam aktivitasnya, mulai dari minum, memasak makanan, mencuci, dan
sebagainya, yang semuanya adalah aktivitas mendasar bagi manusia.
Penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari, secara langsung akan
menghasilkan sisa air yang sudah tidak terpakai. Air sisa penggunaan inilah yang disebut
sebagai air buangan/air limbah. Air buangan dari aktivitas rumah tangga disebut air buangan
domestik, sedangkan yang berasal dari aktivitas produksi dalam pabrik disebut air buangan
industri.
Dilihat dari volume air buangannya, limbah domestik jumlahnya lebih besar daripada
limbah industri karena hal tersebut berkaitan dengan jumlah penduduk Indonesia yang
mencapai lebih dari 200 juta orang. Pengolahan limbah domestik juga belum optimal,
dibandingkan dengan industri-industri yang sudah memiliki pengolahan limbah industri
sendiri. Hal itu dapat dilihat dari masih sedikitnya kota-kota yang memiliki sistem
pengolahan air buangan beserta instalasinya untuk mengolah air buangan domestik secara
terpadu. Dengan demikian penanganan air buangan domestik perlu mendapat perhatian dari
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Penanganan air buangan dapat dimulai dengan pembuatan instalasi pengolahan air
buangan yang kemudian dilanjutkan dengan perencanaan sistem penyaluran air buangannya.
Instalasi pengolahan air buangan sendiri bertujuan untuk mengolah air buangan yang
mengandung komponen-komponen yang berbahaya hingga berkurang tingkat bahayanya atau
tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup, serta memenuhi baku mutu air buangan
yang boleh dibuang ke badan air.
1.2 Tujuan
1.
Untuk Mengetahui jenis karakteristik dari limbah domestik
2.
Untuk mengtahui peraturan dan standar ai buangan domestik yang berlaku
3.
Untuk mengetahui mengenai onsite treatment dalam suatu perumahan beserta
perhitungan nya .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1
Karakteristik Air Buangan
Air limbah atau air kotor adalah semua cairan yang dibuang, baik
mengandung kotoran manusia, hewan, bekas tumbuh-tumbuhan, maupun yang
mengandung sisa-sisa proses industri. Jenis dan macam air limbah dikelompokkan
berdasarkan sumber penghasil air limbah yang secara umum terdiri dari :
a.
Air limbah domestik
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003
tentang baku mutu air limbah domestik disebutkan bahwa Air Limbah Domestik
adalah air limbah yang berasal dari kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.
b. Air limbah non domestik adalah air bekas pemakaian yang berasal dari
daerah non pemukiman, yaitu daerah komersial, laboratorium, rumah sakit, dan
industri.
Secara umum, karakteristik air buangan dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
1.
Karakteristik Fisika,
2.
Karakteristik Kimiawi, dan
3.
Karakteristik Biologis.
Karakteristik air buangan berdasarkan atas sumber-sumber pencemarnya
ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Karakteristik Air Buangan Berdasarkan Sumber Pencemar
Karakteristik
Sumber
Karakteristik Fisik
Warna
Limbah domestik dan industri,
pembusukan alami materi
organik
Bau
Dekomposisi air buangan, buangan industri
Padatan
Penyediaan air domestik, buangan industri dan domestik, erosi
tanah, inflow/infiltration
Suhu
Buangan domestik dan industri
Karakteristik Kimia
Organik
Karbohidrat
Buangan domestik, komersial dan industri
Lemak, minyak
Buangan domestik, komersial dan industri
Pestisida
Buangan pertanian
Fenol
Buangan industri
Protein
Buangan domestik, komersial dan industri
Surfactants
Buangan domestik, komersial dan industri
Lain-lain
Pembusukan alami dari material organik
anorganik
Alkalinitas
Buangan domestik, Penyediaan air domestik, infiltrasi air
tanah
Klorida
Buangan domestik, Penyediaan air domestik, infiltrasi air
tanah
Logam berat
Buangan industri
Nitrogen
Buangan domestik dan pertanian
pH
Buangan domestik, komersial dan industri
Fosfor
Buangan domestik, komersial dan industri ; limpasan alami
Polutan utama
Buangan domestik, komersial dan industri
Sulfur
Buangan domestik, komersial dan industri; penyediaan air
Senyawa toksik
domestik
Limbah industri
Gas :
Hidrogen Sulfida
Dekomposisi buangan domestik
Metan
Dekomposisi buangan domestik
Oksigen
Penyediaan air domestik, infiltrasi air permukaan
Karakteristik
Biologi
Hewan
Anak sungai, dan instalasi pengolahan
Tumbuhan
Anak sungai, dan instalasi pengolahan
Protista
Buangan domestik bangunan pengolahan
Virus
Buangan domestik
Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993
Zat-zat kontaminan penting yang terkandung di dalam air limbah
ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Sumber–Sumber Pencemar Penting yang Perlu Menjadi Perhatian dalam
Pengolahan Air Limbah
Sumber Pencemar
Padatan Tersuspensi
Alasan
Padatan tersuspensi dapat mengakibatkan lumpur yang
berlebih dan kondisi anaerobik ketika air buangan yang tidak
diolah dialirkan ke lingkungan akuatik.
Organik yang dapat Terdiri atas protein, karbohidrat, dan lemak. Diukur dengan
terurai
BOD atau COD. Jika komponen ini tidak disisihkan sebelum
dibuang akan menyebabkan berkurangnya sumber O2 dan
dapat menyebabkan kondisi septik.
Patogen
Penyakit menular dapat disebabkan oleh organisme patogen
dalam air buangan.
Nutrien
Baik nitrogen maupun fosfor bersama karbon merupakan
nutrien penting dalam pertumbuhan.
Jika zat zat tersebut
berlebih
dapat
dalam
lingkungan
air
menyebabkan
pertumbuhan organisme akuatik secara berlebihan. Selain itu,
nutrien dapat mencemari polusi air tanah.
Organik yang sukar Organik ini sulit diuraikan dengan metoda konvensional
diurai
biasa. Contohnya surfaktan, fenol, dan pestisida
Logam berat
Didapat dari aktivitas komersial dan industri. Logam-logam
berat harus disisihkan jika air buangan hendak digunakan
kembali.
Padatan
anorganik Komponen anorganik seperti kalsium, natrium, dan sulfat
terlarut
terdapat pada penyediaan air domestik. Senyawa anorganik
harus dihilangkan jika air akan dipergunakan kembali.
Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993
2.1.1 Karakteristik Fisika Air Buangan
Karakteristik fisika air buangan antara lain adalah padatan, warna, bau, dan
suhu.
A.
Padatan
Menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003); McGhee (1991),
padatan adalah materi yang tertinggal sebagai residu dari evaporasi dan
pengeringan pada suhu 103oC hingga 105oC. Definisi senada dikemukakan
oleh APHA, 1976 (dalam Effendi, 2003), yakni padatan adalah bahan yang
tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu
tertentu. Padatan total (TS) dalam air limbah terdiri atas padatan terlarut
total (TDS) dan padatan tersuspensi total (TSS).
Padatan terlarut adalah material yang dapat melewati filter dengan
ukuran pori 2 mikrometer atau yang lebih kecil. Rao, 1992 (dalam Effendi,
2003) menambahkan bahwa TDS adalah bahan-bahan terlarut dengan
diameter < 10-6 mm dan koloid dengan diamater antara 10-6 mm sampai 10-3
mm yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak
tersaring pada filter dengan pori 0,45 mikrometer. Berbeda dengan TS yang
diukur pada suhu 103oC sampai 105oC, TDS diukur pada suhu 180oC.
Penggunaan suhu yang lebih tinggi bertujuan untuk menghilangkan air di
mana padatan terlarut (Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003).
TSS menunjukkan kadar total dari padatan tersuspensi yang
terkandung pada suatu sampel air. Padatan tersuspensi adalah padatan yang
tertahan oleh filter dengan pori 2 mikrometer atau lebih kecil (Sawyer,
McCarty, dan Parkin, 2003). Effendi (2003) menambahkan bahwa TSS
adalah bahan–bahan tersuspensi yang memiliki diameter > 1 mikrometer
yang tertahan pada saringan millipore dengan diamater pori 0,45
mikrometer. TSS terdiri atas lumpur, pasir halus, dan jasad-jasad renik yang
terbawa ke badan air oleh erosi tanah.
Settleable Solids adalah kategori lain yang diberikan untuk padatan
tersuspensi yang dapat diendapkan selama periode waktu tertentu dengan
menggunakan Kerucut Imhoff ( Effendi, 2003). Menurut Sawyer, McCarty,
dan Parkin, 2003), settleable solids mengendap karena pengaruh gaya
gravitasi. Hal ini terjadi karena settleable solids memiliki spesific gravity
yang lebih besar daripada air. Lumpur (sludge) adalah salah satu contoh dari
settleable solids. Oleh karena itu, pengukuran settleable solids penting guna
mengetahui kebutuhan akan unit sedimentasi dan karakteristik fisik dari air
buangan yang masuk ke badan air penerima.
Selain penggolongan ke dalam TDS dan TSS, beberapa jenis padatan
juga dapat digolongkan ke dalam kategori Volatile Solids (VS), Fixed Solids
(FS) berdasarkan atas sifat penguapannya. Rao, 1991 (dalam Effendi, 2003)
mengemukakan bahwa Volatile solids adalah bahan organik yang teroksidasi
pada pemanasan dengan suhu 600oC, sementara bahan-bahan yang
tertinggal (residu) pada pemanasan tersebut digolongkan pada kategori
Fixed Solids.
Jumlah padatan yang berlebihan akan menyebabkan terhambatnya
penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mengganggu fotosintesis (Effendi,
2003) dan menurut Wardhana (2001), terganggunya fotosintesis tersebut
akan menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut (DO) di dalam air
sehingga mengganggu kehidupan organisme akuatik. Selain itu, menurut
Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003), jumlah padatan yang berlebihan akan
menimbulkan rasa, menimbulkan noda, menimbulkan dampak laksatif
(pencucian perut), membawa dampak buruk pada tanaman pertanian irigasi,
dan khusus untuk TDS, bila berlebihan akan menimbulkan kesadahan pada
air yang akan menyebabkan sabun sulit berbusa dan menyebabkan kerak
yang menyumbat pipa atau alat-alat masak.
B.
Warna
Perairan normal tidak berwarna. Air yang tidak tercemar ditandai
oleh penampilannya yang bening atau jernih. Namun secara alami, warna
dapat timbul pada air yang disebabkan oleh bahan organik dan anorganik di
antaranya oleh plankton, humus, tanin, lignin, ion besi, ion mangan, dan
kalsium karbonat (Effendi, 2003). Selain itu warna juga ditimbulkan oleh
partikel-partikel koloid bermuatan negatif (Effendi, 2003; Sawyer, McCarty,
Parkin, 2003). Warna pada air juga dapat menjadi indikasi adanya
pencemaran oleh air limbah berwarna misalnya dari industri tekstil dan
industri kertas. Meskipun demikian, kadar warna tidak serta merta
berkorelasi langsung dengan berat tidaknya pencemaran yang terjadi.
Menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), air limbah yang masih baru
biasanya berwarna abu-abu, namun warna air limbah berangsur-angsur akan
berubah menjadi hitam sebagai tanda aktivitas bakteri yang menguraikan
senyawa-senyawa organik. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam aktivitas
tersebut, sehingga selama proses penguraian berlangsung, kadar oksigen
terlarut dalam air akan menurun mencapai nol dan tercapailah kondisi
septik.
Kehadiran warna secara alami pada air sebenarnya tidak bersifat
toksik, kecuali warna yang diakibatkan oleh pencemaran industri. Namun
warna dapat menghalangi masuknya sinar matahari pada perairan sehingga
mengganggu fotosintesis sekaligus mengganggu kehidupan organisme
akuatik (Effendi, 2003). Dilihat dari sudut penggunaan air, kehadiran warna
pada air sebenarnya lebih merupakan masalah estetika daripada masalah
kesehatan karena pemahaman yang berlaku pada masyarakat adalah bahwa
air yang bening dan jernih adalah air yang baik untuk dikonsumsi sehingga
masyarakat akan menolak air yang memiliki warna, walaupun warna
tersebut berasal dari sumber-sumber alami seperti yang telah disebutkan di
atas (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003).
C.
Bau
Air normal tidak memiliki bau. Namun demikian, menurut McGhee
(1991), secara alami aktivitas actinomycetes dan ganggang hijau biru dapat
menghasilkan senyawa tertentu yang menyebabkan bau. Selain itu,
kehadiran fulvic acid dan humic acid dapat juga menyebabkan bau pada
perairan.
Bau pada air juga dapat menjadi indikasi terjadinya pencemaran
pada perairan. Bau dapat disebabkan baik oleh senyawa-senyawa pencemar
maupun oleh aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat-zat organik,
terutama protein menjadi zat-zat volatil dan berbau. Menurut Wardhana
(2001), timbulnya bau pada perairan dapat secara mutlak digunakan sebagai
indikator adanya pencemaran yang cukup tinggi pada perairan.
Dampak bau pada manusia sangat subjektif yakni lebih berdampak
pada kondisi psikologis daripada kondis kesehatan tubuh. Bau dapat
menyebabkan turunnya nafsu makan, mengganggu pernapasan, mual,
muntah, dan gangguan mental, bahkan sampai pada mengganggu hubungan
antar manusia dan menghambat pertumbuhan investasi dan ekonomi
(Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Tabel
berikut
ini
memuat
beberapa
menyebabkan bau tertentu pada perairan.
senyawa
kimia
yang
Tabel 2.3
Senyawa-senyawa kimia yang banyak menyebabkan bau
Senyawa
Amina
Jenis bau
Amis ikan
Ammonia
Bau khas ammonia
Diamina
Daging busuk
Hidrogen Sulfida
Telur busuk
Mercaptans
Sigung
Sulfida Organik
Kubis busuk
Skatole
Tinja
Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993
D.
Suhu
Meningkatnya suhu pada perairan disebabkan oleh masuknya air
limbah dengan suhu lebih tinggi dari normal. Air limbah ini merupakan air
bekas cooling water, yakni air pendingin untuk menghilangkan panas baik
panas mesin ataupun panas reaksi sehingga kinerja mesin dan proses
industri dapat berjalan dengan baik (Wardhana, 2001).
Suhu yang meningkat pada air akan berpengaruh pada kehidupan
akuatik yakni menaikkan tingkat mortalitas beberapa spesies dan
mempercepat pertumbuhan tumbuhan dan jamur tertentu, mempercepat laju
reaksi kimia di dalam air (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993),
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air termasuk oksigen
(Hashim, 1995 dalam Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993; McGhee,
1991). Kekurangan oksigen diperparah lagi karena peningkatan suhu juga
mempercepat metabolisme dan respirasi organisme akuatik sehingga
konsumsi oksigen ikut meningkat (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc,
1993).
2.1.2 Karakteristik Kimiawi Air Buangan
Menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), beberapa karakteristik kimiawi
yang terdapat pada air buangan adalah materi organik, pengukuran materi
organik, materi anorganik, dan gas. Materi organik yang akan dibahas berupa
protein, karbohidrat, lemak dan minyak, surfaktan, fenol, dan pestisida.
Pengukuran materi organik yang dapat dilakukan berupa BOD dan COD.
Sementara materi anorganik yang akan dibahas adalah pH, klorida, alkalinitas,
nitrogen, fosfor, sulfur, senyawa-senyawa beracun, dan logam berat.
Sementara pada gas, pembahasan meliputi oksigen terlarut, hidrogen sulfida,
dan metana.
A. Materi Organik
Metcalf & Eddy, Inc, 1993 mengemukakan bahwa materi organik
adalah materi yang umumnya tersusun atas kombinasi karbon, hidrogen,
oksigen, serta nitrogen, dan sulfur, fosfor, dan besi dalam jumlah kecil.
Materi organik yang paling banyak terkandung dalam air limbah adalah
protein (40 sampai 60 persen), karbohidrat (25 sampai 50 persen), diikuti
oleh lemak dan minyak (10 persen).
Sawyer dan McCarty, 1978 (dalam Effendi, 2003) menyatakan
karakteristik bahan organik yang membedakannya dari bahan organik
adalah sebagai berikut:
-
Mudah terbakar
-
Memiliki titik beku dan titik didih rendah,
-
Biasanya lebih sukar larut dalam air
-
Bersifat isomer
-
Reaksi dengan senyawa lain berlangsung lambat,
-
Berat molekul tinggi, dan
-
Sebagian besar dapat menjadi sumber makanan bakteri.
a. Protein
Protein adalah senyawa kimia kompleks yang tersusun atas
rangkaian asam-asam amino dalam jumlah besar yang berkontribusi pada
besarnya berat molekul protein (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), asam amino yang
menyusun protein termasuk asam amino α, yakni asam amino di mana
gugus amino terhubung dengan atom karbon alfa. Sesuai namanya, asam
amino bersifat sebagai asam, namun demikian, karena pengaruh gugus
aminonya, asam amino dapat juga bersifat sebagai basa, oleh karena itu,
asam amino dikatakan memiliki sifat amfoter.
Ada sekitar 22 jenis asam amino yang menyusun senyawa protein.
Yang termasuk jenis Monoamino Monocarboxy Acids adalah Glycine,
Alanine,
Valine,
Leucine, dan
Isoleucine. Yang termasuk
jenis
Monocarboxy Diamino Acids adalah Arginine, Aspargine, Lysine, dan
Glutamine. Yang termasuk jenis Aromatic Homocyclic Acids adalah
Phenylalanine, Tyrosine, dan Thyroxine. Yang termasuk jenis Monoamino
Monocarboxy Monohydroxy Acids adalah Serine dan Threonine. Yang
termasuk jenis Sulfur Containing Acids adalah Cysteine dan Methionine.
Yang termasuk jenis Dicarboxy Monoamino Acids adalah Aspartic Acid
dan Glutamic Acid. Dan yang termasuk Heterocyclic Acids adalah
Tryptophan, Proline, Hydroxyproline, dan Histidine.
Protein sendiri adalah bagian utama penyusun tubuh manusia dan
hewan, dan ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil pada tumbuhan.
Semua jenis protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen
serta sedikit sulfur dan fosfor. Persentase unsur penyusun protein
ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.4
Persentase unsur-unsur penyusun protein
Unsur
Karbon
Persentase
51-55
Hidrogen
6,5-7,3
Oksigen
20-24
Nitrogen
15-18
Sulfur
0-2,5
Fosfor
0-1
Sumber : Sawyer, McCarty, Parkin, 2003
Protein adalah senyawa yang dapat terdekomposisi, oleh karena itu,
kehadiran protein dalam jumlah besar pada air limbah menimbulkan bau
sebagai tanda terjadinya proses dekomposisi protein.
b. Karbohidrat
Air limbah mengandung karbohidrat misalnya gula, pati, selulosa
dan serat kayu. Limbah tersebut berasal dari aktivitas industri yang
memproses material yang mengandung karbohidrat misalnya industri kayu,
kertas, tekstil, dan makanan.
Karbohidrat adalah golongan senyawa organik yang mengandung
unsur karbon, hidrogen, dan oksigen di mana rasio antara hidrogen dan
oksigen adalah 2 : 1 (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Karbohidrat dapat
dikategorikan menurut kompleksitas strukturnya ke dalam tiga kategori
yakni monosakarida disakarida, dan polisakarida.
Monosakarida, disebut juga gula sederhana, mengandung gugus
karbonil dalam bentuk aldehid atau keton. Pentosa adalah senyawa
monosakarida yang berupa gula yang mengandung lima atom karbon,
sementara heksosa adalah gula yang mengandung enam atom karbon.
Contoh pentosa adalah xylosa dan arabinosa. Sementara glukosa, galaktosa,
manosa, dan fruktosa, adalah contoh senyawa yang termasuk heksosa.
Disakarida adalah senyawa yang mengandung dua gula heksosa
yang terikat dalam satu molekul. beberapa senyawa adalah termasuk
disakarida misalnya sukrosa, maltosa, dan laktosa.
Polisakarida adalah senyawa yang tersusun atas beberapa heksosa
atau monosakarida lainnya. Berbeda dengan monosakarida dan disakarida,
polisakarida bersifat tidak larut dalam air, tidak bersifat manis, dan memiliki
struktur yang kompleks. Beberapa contoh polisakarida adalah pati (amilosa),
selulosa, dan hemiselulosa.
c. Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak adalah senyawa organik yang berupa ester dari
trihidroksi alkohol, yakni gliserol (Metcalf & Eddy, 1993; Sawyer, McCarty,
Parkin, 2003). Minyak adalah gliserida dari fatty acids dalam bentuk cair,
sementara lemak adalah gliserida dari fatty acids dalam bentuk padat.
Lemak dan minyak dalam air buangan dapat dihasilkan dari bahan-bahan
makanan
seperti
margarine,
buah,
daging,
kacang-kacangan,
dan
sebagainya. Minyak dalam air limbah juga dapat dihasilkan dari produk
minyak bumi seperti kerosin, tar, batu bara, dan sebagainya.
Kehadiran lemak dalam perairan mengganggu kehidupan organisme
karena menghalangi difusi oksigen ke dalam air, menghalangi penetrasi
sinar matahari sehingga mengganggu proses fotosintesis, membuat bulu
burung lengket sehingga burung tidak dapat beraktivitas secara normal dan
akhirnya mati. Dan untuk kasus pengolahan air limbah, kehadiran minyak
dan lemak dapat membunuh organisme yang digunakan dalam pengolahan
secara biologis.
d. Surfaktan
Surfaktan atau surface-active agents adalah bahan utama penyusun
deterjen dan sabun. Surfaktan adalah senyawa kimia yang memiliki dua
kutub, satu kutub dapat larut dalam air, dan kutub yang lain dapat larut
dalam minyak (Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003).
Surfaktan menyebabkan busa pada perairan dan bersifat racun. Salah
satu jenis surfaktan adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS) yang
menimbulkan masalah karena tidak dapat terdekomposisi secara alami oleh
bakteri karena strukturnya yang siklik. Oleh karena itu, produksi ABS
dihentikan dan diganti dengan Linear Alkil Sulfonat (LAS) yang
molekulnya berbentuk linear sehingga dapat didegradasi oleh bakteri
sehingga turut mengurangi busa pada perairan.
e. Fenol
Fenol adalah derivatif monohidroksi dari benzena (Sawyer, McCarty,
Parkin, 2003). Fenol dalam air buangan berasal dari buangan industri
petroleum. Dalam tingkat tertentu, fenol bersifat racun, namun pada tingkat
500 mg/L, fenol dapat didegradasi oleh bakteri aerobik dan kadar fenol
mencapai 2000 mg/L dapat didegradasi oleh bakteri anaerobik.
f. Pestisida
Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk membasmi atau
mengontrol organisme-organisme pengganggu seperti hama, rumput, tikus,
dan sebagainya. Pestisida sebenarnya tidak umum berada pada air buangan,
hanya biasanya pestisida berasal dari air limpasan tanah pertanian, taman,
dan kebun (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Karena sifat racunnya, pestisida
dapat menimbulkan masalah jika masuk ke badan air penerima. Pestisida
bersifat racun bagi kehidupan, baik kehidupan akuatik maupun bagi
manusia. Menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin, (2003), ada beberapa jenis
pestisida, terutama dari golongan chlorinated pesticides, sulit didegradasi di
alam, dan oleh karena itu bertahan untuk waktu yang lama dan bahkan
menyebabkan bioakumulasi pada rantai makanan.
B. Pengukuran Materi Organik
Pengukuran materi organik dilakukan guna mengukur kadar zat
organik yang terkandung pada air limbah. Menurut Metcalf & Eddy, Inc
(1993), beberapa metode pengukuran di laboratorium yang umum
digunakan saat ini adalah pengukuran BOD, dan COD.
a. Biochemical Oxygen Demand
Biochemical Oxygen Demand (BOD) menggambarkan jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menstabilisasi materi organik
yang dapat didegradasi dalam suasana aerobik (Sawyer, McCarty, Parkin,
2003). Pemeriksaan BOD dilakukan untuk menentukan beban pencemaran
yang terjadi pada suatu badan air, menentukan dimensi instalasi
pengolahan air limbah, dan menentukan efisiensi dari beberapa proses
pengolahan (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Penguraian materi organik oleh bakteri terjadi secara alami, selama
melakukan aktivitas penguraian, bakteri membutuhkan oksigen yang
terlarut dalam air untuk fungsi metabolismenya. Oleh karena itu, semakin
berat pencemaran yang terjadi, maka jumlah oksigen terlarut semakin
menurun, dan kebutuhan oksigen untuk menguraikan materi organik, yang
diloambangkan dengan nilai BOD semakin meningkat. Rendahnya kadar
oksigen
terlarut
menghambat
kehidupan
organisme
akuatik
dan
menimbulkan bau busuk.
Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), pengukuran BOD
menggunakan reaksi oksidasi basah di mana organisme bertindak sebagai
agen pengoksidasi materi organik menjadi karbon dioksida dan air, serta
amonia. Reaksi tersebut digambarkan sebagai berikut.
CnHaObNc + ( n + a/4 – b/2 – 3c/4 ) O2
nCO2 + ( a/2 – 3c/2 ) H2O + c NH3
Walau pengukuran BOD banyak dilakukan, namun ada beberapa
limitasi, atau dengan kata lain, kelemahan dan hambatan yang ditemui
dalam melakukan pengukuran tersebut yakni dibutuhkan bibit bakteri aktif
dalam konsentrasi tinggi dan telah diaklimatisasi, dibutuhkan pengolahan
awal dalam pengukuran pada limbah beracun, efek organisme penitrifikasi
harus dikurangi, pengukuran BOD hanya mengukur materi organik yang
dapat didegradasi oleh alam, pengukuran BOD tidak memiliki validitas
stokiometris ketika materi organik terlarut yang ada pada larutan telah
digunakan, dan hasil yang akurat didapat dalam waktu yang lama (Metcalf
& Eddy, Inc, 1993).
b. Chemical Oxygen Demand
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah ukuran kekuatan organik
dari limbah industri dan domestik. Pengukuran BOD bertujuan untuk
mengukur keseluruhan kuantitas oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi materi organik menjadi karbon dioksida dan air. Berbeda
dengan BOD, nilai COD akan lebih besar karena lebih banyak materi
organik yang dapat dioksidasi secara kimia daripada secara biologis
(Sawyer, McCarty, Parkin, 2003).
Reaksi oksidasi yang terjadi adalah sebagai berikut.
CaHbOc + Cr2O72- + H+
CO2 + H2O + Cr 3+
Reaksi diatas akan membutuhkan kalor dan juga penambahan
katalisator perak sulfat (Ag2SO4) untuk mempercepat reaksi. Apabila
dalam bahan buangan organik diperkirakan terdapat unsur klorida yang
dapat mengganggu reaksi maka perlu ditambahkan merkuri sulfat untuk
menghilangkan gangguan tersebut. Klorida dapat mengganggu karena
dapat teroksidasi oleh kalium dikromat sesuai dengan reaksi berikut ini :
6Cl- + Cr2O72- + 14H+ →
3Cl2 + 2 Cr3+ + 7H2O
Apabila dalam larutan lingkungan air terdapat unsur klorida, maka
oksigen yang dibutuhkan pada reaksi tersebut tidak menggambarkan
keadaan sebenarnya sehingga seberapa jauh tingkat pencemaran oleh
bahan buangan organik tidak dapat diketahui secara benar. Penambahan
merkuri sulfat berguna untuk mengikat ion klor menjadi merkuri klorida
mengikuti reaksi berikut ini :
Hg2+ + 2 Cl- → HgCl2
Seperti pada BOD, semakin banyak oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi materi organik secara kimia mengindikasikan semakin
beratnya pencemaran yang terjadi, yang juga ditandai semakin tingginya
nilai COD.
Keunggulan pengukuran COD daripada BOD adalah hasil
pengukuran COD didapat lebih cepat, yakni 3 jam, bila dibandingkan
dengan pengukuran BOD yang membutuhkan 5 hari (Metcalf & Eddy,
Inc, 1993;Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Namun demikian, pengukuran
COD juga memiliki kelemahan. Pengukuran COD tidak dapat
membedakan antara materi organik yang dapat dioksidasi dengan yang
tidak dapat dioksidasi secara biologis (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003).
C. Materi Anorganik
Karakteristik anorganik yang akan dibahas berikut ini meliputi pH,
klorida, alkalinitas, nitrogen, fosfor, sulfur, senyawa-senyawa beracun, dan
logam berat.
a. pH
pH adalah istilah yang menggambarkan aktivitas ion hidrogen
yang akhirnya digunakan untuk mengindikasikan keasaman. Seperti yang
dikemukakan oleh Sawyer, McCarty, dan Parkin, (2003), aktivitas ion
hidrogen berhubungan erat dengan fakta bahwa air terdisosiasi
membentuk ion hidrogen dan ion hidroksida di mana konsentrasi ion
hidrogen sama dengan 10-7 mol/L. Karena disosiasi air menghasilkan satu
ion hidroksida untuk tiap ion hidrogen maka kesimpulannya 10 -7 mol/L
ion hidroksida juga dihasilkan. Karena konsentrasi air sangat besar dan
sedikit saja berkurang karena ionisasi maka aktivitas tersebut dapat
dianggap sebagai konstan, maka konstanta ionisasi air sebesar 10-14 dan
digambarkan sebagai berikut:
K w  10 7 x10 7  1014
Konstanta ionisasi tersebut berpengaruh ketika asam atau basa
ditambahkan pada air. Ketika asam ditambahkan pada air, asam tersebut
akan mengionisasi air dan aktivitas ion hidrogen meningkat dan
sebaliknya aktivitas ion hidroksida menurun, misalnya asam ditambahkan
sehingga meningkatkan ion hidrogen ke 10-1 maka ion hidroksida akan
menurun ke 10-13. Sebaliknya, jika suatu basa ditambahkan pada air,
aktivitas ion hidroksida akan meningkat dan aktivitas ion hidrogen akan
menurun, misalnya basa ditambahkan sehingga ion hidroksida meningkat
ke 10-3, maka ion hidrogen akan turun ke 10-11. Pada suhu 25oC, pH = 7
mengindikasikan kondisi netral, sementara pH < 7 mengindikasikan
kondisi asam, dan pH > 7 mengindikasikan kondisi basa.
Dalam kasus pengolahan air buangan, pH harus dikontrol agar
berada dalam pH tertentu supaya pengolahan biologis dapat berjalan
dengan baik yakni organisme yang digunakan dapat hidup dan
menjalankan aktivitasnya dengan baik (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Sawyer, McCarty, Parkin (2003) menambahkan bahwa pH dalam air
limbah yang masuk ke instalasi pengolahan air limbah harus dikontrol
agar proses-proses pengolahan secara kimia seperti koagulasi dewatering
lumpur, atau oksidasi senyawa-senyawa tertentu dapat berjalan dengan
baik. Sementara itu, pH juga berdampak pada badan air penerima. Effendi
(2003) menyatakan bahwa semakin rendah pH air, maka air akan bersifat
semakin korosif. Tebbut, 1992 (dalam Effendi, 2003) menyatakan bahwa
toksisitas amonia meningkat seiring dengan semakin tingginya pH.
Dampak lain dikemukakan oleh Novotny dan Olem, 1994 (dalam Effendi,
2003) yakni, secara umum toksisitas logam akan meningkat seiring
dengan semakin rendahnya pH.
b. Klorida
Klorida dalam air secara alami berasal dari batuan dan tanah yang
mengandung klorida serta intrusi air laut. McNeely, et. al., 1979 (dalam
Effendi, 2003) menyatakan bahwa kadar ion klorida secara alami pada
perairan tawar adalah sebesar 8,3 mg/L. Manusia menghasilkan tinja yang
mengandung 6 gram klorida per orang (Metcalf & Eddy, Inc, 1993;
Sawyer, McCarty, Parkin, 2003) sehingga keberadaan klorida dalam air
dapat juga berasal dari pencemaran. Hal ini ditegaskan oleh Metcalf &
Eddy, Inc. (1993) bahwa karena metoda pengolahan air limbah
konvensional
tidak
menyisihkan
klorida
secara
signifikan
maka
konsentrasi klorida di atas level biasanya dapat menjadi indikasi bahwa
badan air digunakan sebagai tempat pambuangan limbah.
Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), klorida secara umum
tidak berbahaya, dalam arti tidak bersifat toksis terhadap manusia, di
daerah yang jarang sumber air, kadar klorida dapat mencapai 2000 mg/L
dan tidak ada keluhan apapun jika masyarakat setempat yang telah
beradaptasi. Namun secara umum, kadar klorida yang lebih tinggi dari 250
mg/L memberikan rasa asin pada air (Rump, Krist, 1992 dalam Effendi
2003; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003) sehingga menimbulkan masalah
estetika jika air tersebut digunakan sebagai air baku air minum.
c. Alkalinitas
Alkalinitas adalah ukuran kemampuan air untuk menetralisir basa
(Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Alkalinitas disebabkan oleh ion-ion
hidroksida,
karbonat,
dan
bikarbonat
dari
unsur-unsur
kalsium,
magnesium, natrium, kalium, atau amonia (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Alkalinitas pada air limbah biasanya berasal dari proses
penyediaan air bersih, air tanah, dan limbah domestik. Kadar alkalinitas
berguna untuk menentukan di mana pengolahan kimia harus diterapkan
(Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Alkalinitas dapat menyebabkan air menjadi agresif sehingga
menyebabkan karat pada pipa, sementara alkalinitas yang terlalu rendah
akan menimbulkan kerak karbonat pada dinding saluran. Bila kadar
alkalinitas terlalu tinggi pada perairan, maka akan menimbulkan sifat
sadah. Dari sisi kesehatan, alkalinitas tidak memiliki pengaruh secara
signifikan (Effendi, 2003).
d. Nitrogen
Nitrogen berada dalam beberapa bentuk yakni N2, NH3, NO2, NO3,
N2O5, dan sebagainya. Nitrogen merupakan nutrisi bagi kehidupan
organisme akuatik, termasuk bakteri, oleh karena itu, kadar nitrogen yang
cukup dibutuhkan agar proses pengolahan secara biologis dapat
dilaksanakan (Metcalf & Eddy, Inc, 2003). Effendi (2003) menyatakan
bahwa senyawa-senyawa nitrogen dapat berasal dari limpasan pertanian,
limbah industri, dan limbah domestik.
Dalam perairan alami, kadar masing-masing senyawa nitrogen
dapat menjadi indikasi waktu terjadinya pencemaran. Seperti yang
dikemukakan oleh Sawyer, McCarty, Parkin (2003), seiring dengan
berjalannya waktu, nitrogen organik akan diubah menjadi nitrogen
amonia, dan selanjutnya dalam kondisi aerobik, akan diubah menjadi nitrit
dan nitrat. Sebagai contoh, bila di suatu badan air ditemukan kadar
ammnia yang tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa baru saja terjadi
pencemaran pada badan air tersebut, sebaliknya, misalnya jika ditemukan
kadar nitrat yang tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa pencemaran
sudah terjadi lama berselang.
Proses konversi senyawa nitrogen yang telah disebutkan di atas
berlangsung dalam kondisi aerobik atau membutuhkan oksigen sehingga
dapat mengakibatkan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan dan
mengganggu kehidupan organisme akuatik, selain itu nitrit dan nitrat
adalah nutrien bagi tumbuhan perairan sehingga dapat menyebabkan
blooming pada perairan, sementara itu, senyawa nitrit sendiri tidak
memiliki dampak yang signifikan karena segera akan diubah menjadi
nitrat, namun ammonia akan menyebabkan bau busuk, nitrat akan
menyebabkan methemoglobinemia pada bayi.
e. Fosfor
Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003) menyatakan bahwa fosfor
ditemukan dalam perairan dalam bentuk senyawa ortofosfat misalnya
Trisodium phosphate, Disodium phosphate, Monosodium phosphate, dan
Diammonium phosphate, dan dalam bentuk senyawa polifosfat misalnya
Sodium hexametaphosphate, Sodium tripolyphosphate, dan Tetrasodium
pyrophosphate.
Menurut Effendi (2003), sumber alami fosfor di perairan adalah
pelapukan batuan mineral seperti fluorapatite, hydroxypalatite, strengite,
whitlockite, dan berlinite. Namun, keberadaan fosfor juga dapat dihasilkan
oleh limpasan dari pertanian, limbah industri, dan limbah domestik
terutama tinja dan deterjen (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003).
Kadar senyawa fosfor dalam jumlah tertentu dibutuhkan sebagai
nutrien bagi organisme dalam pengolahan air limbah secara biologis
(Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Senyawa fosfor relatif tidak bersifat toksik,
namun dalam jumlah berlebih akan menyebabkan perairan menjadi terlalu
subur sehingga menyebabkan pertumbuhan tidak terkendali dari tumbuhan
perairan, khususnya alga (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993;
Sawyer, McCarty, Parkin, 2003).
f. Sulfur
Sulfur di perairan kebanyakan berada dalam bentuk sulfat (Rao,
1992 dalam Effendi, 2003). Sumber alami sulfur di perairan adalah
mineral bravoite, chalcopyrite, cubanite, gregite, gypsum, molybdenite,
dan pyrite (McNeely et. al., 1979 dan Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Sulfur juga dapat berasal dari dekomposisi materi organik dan limbah
industri.
Sulfur memiliki beberapa dampak. Pertama, senyawa sulfur
menimbulkan bau. Dampak lain adalah kadar senyawa sulfur yang
berlebih pada air bila diminum akan menyebabkan fenomena catcahrtic
(muntah). Selain itu, senyawa sulfur juga menyebabkan terjadinya korosi,
pada kasus pengelolaan air limbah, kadar sulfur berlebihan dapat merusak
pipa-pipa penyaluran air buangan (Metcalf & Eddy, Inc, 1993; Sawyer,
McCarty, Parkin, 2003).
g. Senyawa-senyawa beracun
Beberapa senyawa organik dalam air limbah bersifat toksik.
Beberapa jenis ion juga harus diperhatikan dalam pengolahan air buangan
karena bersifat toksik. Anion-anion seperti sianida, kromat, dan klorida
dan kation-kation seperti tembaga, timbal, perak, kromium, arsen, boron,
natrium, kalium, nikel, dan amonium adalah ion-ion yang bersifat toksik.
Beberapa contoh, di antaranya tembaga bersifat toksik pada konsentrasi
100 mg/L, kromium dan nikel pada konsentrasi 500 mg/L, sementara
kalium dan amonium bersifat toksik pada konsentrasi 4000 mg/L (Metcalf
& Eddy, Inc, 1993).
Toksisitas senyawa-senyawa tersebut harus diperhatikan karena
dapat membunuh organisme pengolah sehingga mengganggu proses
pengolahan air limbah, khususnya yang dilakukan secara biologis.
h. Logam-Logam Berat
Logam-logam berat umumnya berasal dari pencemaran limbah
industri. Logam-logam berat di antaranya adalah nikel, mangaan, timbal,
kromium, kadmium, seng, tembaga, besi, dan merkuri (Metcalf & Eddy,
Inc, 1993) juga termasuk antimon, barium, berilium, selenium dan
thallium (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Kadar logam-logam berat
harus diperhatikan dalam pengolahan air buangan, khususnya saat air
limbah akan dialirkan ke badan air penerima. Beberapa logam berat,
dalam jumlah tertentu dibutuhkan dalam kehidupan akuatik, namun dalam
jumlah berlebihan, logam-logam berat akan bersifat racun dapat bersifat
racun, tidak hanya bagi organisme yang hidup di air, namun juga bagi
yang mengkonsumsi air tersebut karena logam berat memiliki sifat
bioakumulasi.
D. Gas
Beberapa karakteristik gas perlu diperhatikan dalam pengolahan air
buangan di antaranya adalah oksigen terlarut, hidrogen sulfida, dan metana
(Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
a. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (DO) dibutuhkan dalam respirasi organisme
akuatik. Namun, oksigen bersifat sedikit larut dalam air, oleh karena itu
jumlah oksigen terlarut dalam air hanya ditentukan oleh tekanan parsial
gas, suhu, dan puritas (kemurnian) air (Metcalf & Eddy, Inc, 1993;
Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Metcalf & Eddy, Inc. (2003)
menambahkan bahwa musim juga berpengaruh pada jumlah DO pada
perairan, sebagai contoh, di musim panas (summer), reaksi biokimia
meningkat oleh karena itu, jumlah DO banyak berkurang di musim panas,
hal ini diperburuk dengan debit air yang juga berkurang sehingga turut
mengurangi kadar DO di dalam suatu badan air.
Untuk kasus air limbah, kadar DO penting untuk diperhatikan
karena pengolahan air limbah dengan menggunakan reaksi aerobik dan
menggunakan organisme aerobik hanya dapat berlangsung dengan
keberadaan DO dengan kadar yang cukup. Selain itu, kadar DO yang
berkurang akan menimbulkan bau pada air limbah (Metcalf & Eddy, Inc,
1993).
b. Hidrogen Sulfida
Hidrogen sulfida adalah salah satu dari senyawa sulfur yang telah
disebutkan di atas. Hidrogen sulfida berasal baik dari reduksi mineral
sulfit dan sulfat maupun dari dekomposisi materi organik. Dalam kasus air
limbah, hidrogen sulfida adalah gas yang menimbulkan bau pada air
limbah. Selain itu, bila hidrogen sulfida bereaksi dengan besi membentuk
FeS akan menyebabkan air limbah berwarna kehitam-hitaman dan
menimbulkan lumpur (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
c. Metana
Metana adalah senyawa kimia dengan rumus CH4 berbentuk gas.
Dalam kasus pengolahan air limbah, metana hanya timbul setelah terjai
pengolahan
secara
anaerobik.
Secara
normal,
air
limbah
tidak
mengandung kadar metan yang tinggi, terutama bila pengolahan air
limbah berlangsung dalam kondisi aerob. Namun demikian, metana dalam
kadar kecil masih terdapat dalam air buangan, hal ini terjadi karena
kadang-kadang pembusukan anaerobik terjadi pada deposit yang terletak
di dasar saluran ataupun bak (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Dalam pengolaha air limbah, metana perlu diperhatikan khususnya
demi keselamatan kerja. Metana dapat menimbulkan bahaya karena
metana adalah gas yang sangat mudah terbakar (Metcalf & Eddy, Inc,
1993). Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003) menambahkan bahwa
campuran udara dengan gas metana sebesar 5 sampai 15 % bersifat sangat
eksplosif (highly explosive). Oleh karena itu, dalam instalasi air buangan
perlu ditambahkan ventilasi pada bagian-bagian tertentu di mana diduga
akan terjadi penumpukan gas metana. Selain itu, perlu ada blower untuk
mengeluarkan gas metana sebelum petugas memasuki saluran dalam
rangka pemeriksaan, perawatan, perbaikan, dan sebagainya (Metcalf &
Eddy, Inc, 1993).
2.1.3 Karakteristik Biologis Air Buangan
A. Jenis-Jenis Organisme yang Hidup di Air Limbah
Secara umum, menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), organisme yang
hidup dalam air limbah dapat dikelompokkan menjadi protista, tumbuhan,
dan hewan. Kelompok protista terdiri atas bakteri, jamur, protozoa, dan
ganggang. Tumbuhan, salah satunya adalah lichen (jamur kerak). Hewan
yang terdiri atas vertebrata dan avertebrata. Sementara virus, yang
merupakan peralihan dari makhluk tak hidup ke makhluk hidup,
diklasifikasikan berdasarkan atas target serangannya.
a.
Protista
Protista yang hidup pada air buangan mencakup bakteri, alga, dan
protozoa. Bakteri berperan menguraikan dan menstabilisasi materi
organik, baik di alam maupun di instalasi pengolahan air limbah. Selain
itu, ada jenis bakteri yang termasuk bakteri koliform, yakni bakteri yang
hidup di saluran pencernaan yang ikut keluar bersama tinja. Bakteri ini
sebenarnya tidak berdampak buruk, namun karena keluar bersama tinja,
bakteri ini menjadi indikator adanya pencemaran di suatu perairan, berikut
kemungkinan hadirnya bakteri-bakteri lain yang termasuk patogen yang
keluar bersama tinja. Bila koliform ditemukan melebihi jumlah normal,
maka perairan diindikasikan telah menerima pencemaran.
Dalam air yang kaya akan nutrisi (eutrofik), misalnya limpasan
dari tanah pertanian, ataupun efluen dari instalasi pengolahan air limbah
yang kaya akan nutrien, alga akan tumbuh sangat subur. Fenomena ini
disebut algal blooming. Pertumbuhan alga yang sangat cepat ikut
meningkatkan konsumsi oksigen terlarut, sehingga kadar oksigen terlarut
akan berkurang.
Beberapa jenis protozoa yang hidup dalam air limbah adalah
amuba, flagellata, dan ciliata. Protozoa tersebut penting bagi aktivitas
operasional instalasi pengolahan air limbah karena protozoa tersebut
menjadi makanan bagi bakteri. Protozoa tersebut juga penting karena
mampu menjaga keseimbangan alami dari banyak jenis mikroorganisme.
Tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air buangan bervariasi
mulai dari yang berukuran mikroskopik seperti rotifera dan cacing, sampai
yang berukuran makroskopik seperti krustacea. Pemahaman tentang
organisme-organisme
tersebut
penting
dalam
kaitannya
dengan
pengolahan air limbah karena membantu dalam menentukan toksisitas air
buangan yang dilepas ke lingkungan dan mengukur efektivitas aktivitas
biologis dalam proses pengolahan sekunder dalam rangka menguraikan
limbah organik.
Organisme lain yang juga berada dalam air limbah adalah virus.
Virus yang diekskresikan bersama tinja dapat menimbulkan ancaman bagi
kesehatan masyarakat, misalnya virus hepatitis dan virus polio. Pada suhu
20oC, virus dapat hidup selama 41 hari di air buangan.
B. Organisme Patogen
Organisme patogen adalah kelompok organisme yang menimbulkan
penyakit. Beberapa contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen
adalah tipus, paratipus, disentri, kolera, dan sebagainya. Organisme patogen
sangat berbahay dan bertanggung jawab atas ribuan kematian manusia di
daerah di mana kondisi sanitasi yang buruk, terutama di daerah tropis.
Identifikasi organisme patogen sangat sulit dan banyak menyita
waktu. Oleh karena itu digunakan organisme indikator. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, koliform adalah bakteri yang hidup di pencernaan
yang keluar bersama tinja. Bakteri patogen, keluar dari tubuh inag ataupun
penderita juga melalui tinja. Oleh karena itu, koliform digunakan sebagai
indikasi adanya pencemaran pada perairan. Bila pada perairan ditemukan
jumlah koliform yang lebih tinggi dari normal, maka perairan tersebut
diindikasikan telah tercemar dan diindikasikan telah terkontaminasi oleh
bakteri patogen.
Beberapa organisme patogen yang umum dijumpai di air limbah
ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.5
Organisme-Organisme Patogen di Air Limbah
Organisme
Ascaris sp. &
Penyakit
Cacing Nematoda
Keterangan
Berbahaya
bagi
manusia.
Berasal dari efluen air limbah
Enterobius sp.
dan
lumpur
kering
yang
digunakan sebagai pupuk.
Ditemukan
Anthrax
Spora
Bacillus anthracis
di
air
resisten
limbah.
terhadap
pengolahan.
Biasanya ditularkan lewat susu
Brucellosis.
Brucella sp.
Demam
malta
pada manusia. Aborsi menular
pada domba, kambing, dan
ternak lain
yang
tercemar
ata
Air
limbah
kontak.
dicurigai
sebagai
lewat
terkontaminasi
media
air
dan
yang
digunakan
pupuk.
Banyak
daerah panas.
Entamoeba histolytica
juga
penyebaran.
Menyebar
Disentri
karena
yang
lumpur
sebagai
terjadi
di
Dibawa oleh tikus.
Leptospirosis
Telah diisolasi dari air limbah
dan
sungai
tercemar.
Air
limbah dicurigai sebagi media
Leptospira
Tubercolosis
penyebaran. Perhatian ekstra
perlu diberikan pada air limbah
iceterohaemorrhagiae
dan lumpur dari sanatorium.
Mycobacterium tubercolosis
Banyak
terdapat
limbah
di
pada
waktu
air
terjadi
epidemi.
Banyak
terdapat
limbah
di
pada
waktu
air
terjadi
epidemi.
Demam paratipus
Biasa dijumpai di air limbah
dan efluen.
Mungkin dapat dimusnahkan
Salmonella paratyphi
oleh pengolahan air limbah
Demam tipus
yang efisien.
Air tercemar adalah sumber
infeksi yang utama.
Salmonella typhi
Telur
Keracunan makanan
sangat
Ditemukan di
resisten.
lumpur
dan
efluen air limbah. berbahay
bagi ternak yang menggunakan
Salmonella sp.
Schistosomiasis
irigasi air limbah.
Menyebar lewat air limbah dan
Schistosoma. sp
air tercemar.
Cara
Disentri baksil
penyebaran
diketahui
secara
Ditemukan
di
efluen
belum
pasti.
dari
instalasi pengolahan air limbah
Shigella sp.
yang
Tapeworms
menggunakan
proses
biologis.
Taenia sp.
Kolera
Vibrio cholerae
Poliomyelitis, hepatitis
Virus
Sumber: Metcalf & Eddy, Inc, 1993
2.2 Standar Air Limbah
Pengendalian pencemaran air menggunakan teknik-teknik pengendalian
pencemaran yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas air dan melindungi
lingkungan berikut ekosistem akuatik. Dalam upaya pengendalian pencemaran
air, kualitas air yang harus dipertahankan tergantung pada rencana penggunaan air
tersebut. Untuk menilai keefektifan dari metode pengendalian pencemaran air
yang digunakan maka diperlukan suatu standar yang mengatur kualitas air
menurut masing-masing penggunaan air (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Salah satu standar kualitas air yang digunakan adalah Stream Standards
atau Receiving-Water Standards. Receiving-Water Standards adalah standar yang
menggambarkan kualitas badan air pada saat air buangan dimasukkan pada badan
air tersebut. Receiving-Water Standards disusun berdasarkan atas pedoman bahwa
ketika suatu kriteria yang diperlukan guna melindungi air menurut fungsi masingmasing telah berhasil disusun maka dapat disusun suatu standar yang mengatur
dan menjaga kondisi di mana tidak ada masukan air buangan yang dapat
mengubah sifat-sifat badan air penerima dan merusak kriteria yang telah disusun
di atas (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Dengan kata lain, Receiving-Water
Standards merupakan ambang batas yang ditentukan sebagai syarat kualitas akhir
badan air penerima, dengan memperhatikan kemampuan sungai untuk menerima
air buangan, pengenceran dan self purification.
Keunggulan standar ini adalah standar ini memperhatikan kemampuan
badan air untuk menerima dan menetralisir sendiri pengaruh-pengaruh destruktif
dari air buangan. Namun, standar ini menjadi tidak efektif jika beban buangan
merupakan air buangan yang berasal dari lebih dari satu pencemar dan melebihi
daya self purification badan air karena akan sulit untuk menilai dengan tepat siapa
pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, pencemar yang berlokasi di hulu badan
air memperoleh semacam keuntungan yakni dapat membuang air limbah ke badan
air yang relatif belum tercemar, sementara pihak yang berlokasi lebih ke hilir
membuang air limbah ke badan air yang sudah terlebih dahulu dicemari oleh
pihak yang berada di hulu, sehingga keadaannya menjadi tidak adil dan penentuan
siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pencemaran menjadi lebih
rumit lagi (Metcalf & Eddy, Inc, 1993).
Kesulitan-kesulitan yang ditemui selama penggunaan Receiving-Water
Standards mendorong disusunnya standar kualitas air yang lain, yang disebut
Effluent Standards. Berbeda dengan Receiving-Water Standards, Effluent
Standards adalah suatu baku mutu karakteristik air buangan yang boleh dibuang
ke badan air penerima tanpa memperhatikan kondisi badan air penerima. Standar
ini dianggap lebih baik karena Effluent Standards biasanya lebih ketat daripada
Receiving-Water Standards dan Effluent Standards memperlakukan semua pihak
dengan adil. Setiap pihak hanya diperbolehkan membuang air limbah dengan
karakteristik tertentu tanpa memperhatikan kondisi badan air penerima (Metcalf
& Eddy, Inc, 1993). Namun, standar ini pun memiliki kelemahan, yakni bila
badan air penerima suatu ketika kekurangan air, karena Effluent Standards tidak
memperhatikan kondisi dan kemampuan self purification badan air penerima,
maka badan air tersebut kebanyakan akan diisi oleh air limbah sehingga sulit bagi
badan air penerima tersebut untuk memulihkan dirinya sendiri.
Sehingga, dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masingmasing standar, ada beberapa pertimbangan yang perlu diambil dalam pemilihan
dan penerapan standar kualitas air. Pertama, standar yang digunakan mengacu
kepada rencana penggunaan air pada suatu badan air penerima. Air yang berbeda
penggunaanya dapat memiliki standar kualitas yang berbeda. Kedua, bila ada
kemungkinan terjadi penyusunan debit air yang drastis pada badan air, maka akan
lebih tepat jika digunakan Receiving-Water Standards. Ketiga, bila yang lebih
diperhatikan adalah jumlah pencemar yang lebih dari satu dan beban buangannya
relatif besar sehingga dapat melebihi daya pulih badan air penerima, maka lebih
tepat jika digunakan Effluent Standards.
Sementara itu, apapun standar yang digunakan, Metcalf & Eddy, Inc
(1993) menambahkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama
minyak, lemak, dan padatan terapung berikut padatan yang dapat menimbulkan
lumpur harus disisihkan terlebih dahulu sebelum air limbah dibuang ke badan air
penerima. Kedua, karena limbah cenderung mengurangi kadar oksigen terlarut,
standar yang digunakan harus dapat menjamin tingkat oksigen terlarut berada
pada level tertentu. Hal ini tergantung dari pemanfaatan badan air penerima.
Misal pada badan air penerima sebagai habitat organisme akuatik, kadar oksigen
terlarut yang tersedia harus mampu menyokong aktivitas kehidupan. Sementara
untuk badan air yang digunakan sebagai drainase, di mana organisme akuatik
tidak dianggap penting, tingkat oksigen terlarut harus dijaga agar tidak mencapai
nol agar tidak muncul bau yang tidak sedap. Ketiga, bakteri yang terdapat dalam
badan air penerima harus dijaga agar tidak sampai menimbulkan wabah penyakit.
Hal ini berlaku pula untuk organisme-organisme patogen lainnya. Dan keempat,
yang perlu diperhatikan adalah adanya kemungkinan terjadinya pengenceran. Zat
pencemar konservatif dapat berkurang konsentrasinya karena pengenceran, hal ini
tentu saja berpengaruh pada penilaian tingkat pencemaran berdasar pada standar
yang digunakan.
2.2.1
Standar Baku Mutu Air Buangan
Dalam Hal ini Standar yang digunakan yaitu mengacu kepada
Keputusan Mentri Lingkungan Hidup N0 112 Tahun 2003 dengan nilai
baku mutu air buangan sebagai berikut :
Sumber : KepMenlh No 112 tahun 2003
2.3 ON SITE TREATMENT
On site treatment adalah suatu sistem pengolahan air limbah yang berada
di dalam persil (batas tanah) atau dengan kata lain pada titik dimana limbah
tersebut timbul.
Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam penggunaan on site treatment,
sebagai berikut :
A.
Keuntungan
a. Biaya pembuatan murah
b. Biasanya dibuat secara pribadi.
c. Teknologi serta pembangunannya relatif sederhana
d. Operasi dan pemeliharaannya mudah.
B.
Kerugian
a. Tidak cocok bagi daerah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi
b. Tidak cocok bila digunakan pada daerah dengan muka air tanah yang
tinggi dan daya resap tanah rendah.
c. Bila kebutuhan air sehari-harinya tergantung dari air sumur, maka
kemungkinan air sumur tersebut tercemar oleh tinja.
2.3.1 Perencanaan Sistem On Site
Sebuah jamban/kakus terdiri dari dua bagian yaitu bangunan atas
(ruang jamban) dan bangunan bawah. Baik bangunan atas maupun bangunan
bawah dirancang berdasarkan hasil survei dan investigasi yang telah
dilaksanakan sebelumnya. Masing - masing mempunyai kriteria - kriteria
yang harus dipenuhi didalam perencanaannya.
1. Perencanaan Bangunan Atas (Ruang Jamban)
Di samping harus memenuhi persyaratan teknis, penentuan lokasi ruang
jamban harus memperhatikan kepentingan para pemakainya. Untuk itu, ada
beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih lokasi dan
merencanakan ruang jamban, yaitu :
a. Air mudah diperoleh
b. Ruang mudah dicapai
c. Bersifat pribadi (tidak mudah terlihat dari luar)
d. Tidak menghalangi kemungkinan dari luar
e. Lantai jamban lebih tinggi dari halaman sekitarnya
f. Lantai jamban lebih tinggi dari cubluk/tangki septik dengan panjang pipa
penyalur minimum 1,5 m untuk menghemat pipa dan mengurangi
g.
h.
i.
j.
penyumbatan
Terhindar dari air hujan
Jarak tangki septik/cubluk dan pondasi minimal 50% dari kedalamannya
Ventilasi memadai, minimal di salah satu dinding ada lubang ventilasi
Cahaya matahari cukup, dapat menembus ruang jamban
2. Perencanaan Bangunan Bawah
Bangunan bawah dapat berupa tangki septik dan dapat juga berupa cubluk.
Untuk memutuskan apakah tangki septik atau cubluk yang akan dibuat,
selain dari pada kesimpulan hasil survei beberapa pengujian perlu dilakukan.
Untuk dapat menentukan jenis bangunan bawah (tangki septik atau cubluk)
yang akan di buat, ada beberapa langkah penelitian yang harus dilakukan
sebagai berikut :
a. Langkah I : Penyediaan Air
Untuk kepentingan pembersihan dan penyiraman, sistem jamban “guyur
hanyut” sederhana dibutuhkan air bersih minimal 10 l/hari. Sumber air
(PAM, Sumur dll) harus mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah cukup.
Jika tidak, maka perlu di lakukan perbaikan penyediaan air bersih.
b. Langkah II : Pengujian Tanah
Sistem sanitasi on site sangat tergantung pada kapasitas daya resap dan
penyaringan tanah alami, yang bervariasi tergantung jenis tanahnya. Test
pengujian tanah harus dilakukan di lokasi rencana penempatan tangki
septik/cubluk dan bidang resapan berdasarkan metode yang diperkenalkan
oleh Henry Ryon.
c. Langkah III : Ketinggian Muka Air Tanah
Ketinggian muka air tanah di lokasi rencana pembuatan fasilitas tangki
septik/cubluk harus diketahui untuk menghindari kemungkinan terjadinya
pencemaran air tanah oleh efluen dari tangki septik atau cubluk.
Jika permukaan air tanah > 3m di bawah tanah, pemasangan fasilitas on site
tidak akan menimbulkan masalah. Sedangkan jika ketinggian muka air tanah
< 3m, perlu di lakukan pengukuran cermat untuk menentukan model fasilitas
yang tepat.
d. Langkah IV : Jarak Dengan Sumur Dangkal
Kemungkinan pencemaran sumur oleh effluent dari tangki septik/cubluk
dipengaruhi oleh :
1) Jarak horizontal antara dasar lubang cubluk/bak bawah tanah dari sumur
dangkal
2) Jarak vertikal antara dasar lubang cubluk dengan tinggi muka air tanah
(kedalaman zone).
Beberapa contoh system on site treatment,
a. Cubluk
Cubluk adalah suatu lubang yang digunakan untuk menampung tinja manusia
dari jamban, berfungsi sebagai tempat pengendapan tinja dan juga sebagai
media peresapan dari cairan yang masuk.
Tergantung pada kesediaan lahan, cubluk dapat dibangun tunggal atau
dua buah (cubluk kembar). Bila satu cubluk telah penuh maka harus ditutup
dan dibiarkan paling sedikit satu tahun agar terbentuk kompos sebelum dapat
dikosongkan kembali. Dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Pada cubluk kembar, ketika satu cubluk ditutup maka cubluk yang lainnya
dapat dipergunakan.
Biaya pembangunan cubluk lebih murah dari pada tangki septik, tetapi tidak
cocok untuk daerah perumahan yang sempit dan padat penduduk.
b. Tangki septik
Tangki septik merupakan sarana pembuangan air limbah yang sangat
umum digunakan terutama di perkotaan Indonesia. Prinsip utamanya adalah
mengendapkan bahan padatan yang dikandung air limbah dan diuraikan
secara anaerobic (tanpa oksigen) di dalam tangki, sedangkan bagian cairnya
dialirkan ke bidang peresapan.
Menurut (Salvato,1992), tangki spetik adalah suatu tangki yang
dirancang untuk mengalirkan air limbah dan tinja secara perlahan sehingga
padatan-padatan terpisah dan turun mengendap ke dasar tangki dimana
endapan lumpur ini akan diuraikan oleh bakteri anaerobik.
Bentuk dan ukuran tangki septic telah ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia 03-2398-2002. Dalam tata cara perencanaan tangki septik
yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1989.
Kriteria perencanaan tangki septik
1. Perbandingan panjang dan lebar tangki (2:1) s/d (3:1)
2. Lebar minimum 0,75 m
3. Panjang minimum 1,50 m
4. Tinggi ruang bebas (0,2 – 0,4) m
5. Tinggi air dalam tangki adalah minimum 1m, dan kedalman maksimum
2,1 m
6. Waktu tinggal (1-3) hari
7. Lumpur
yang
diendapkan
(30-40)
lt/org/tahun
atau
(0,03-0,04)
m3/org/tahun
8. Waktu pengurasan lumpur, (2-3) tahun
Apabila tinggi muka air tanah < 0,5 m, maka jamban dapat dibangun
dengan system tangki septik yang ditinggikan 0,5 m dari muka tanah asal.
Perencanaan Volume
Dalam merencanakan ruang dan dimensi tangki septic, maka perhitungannya
adalah berdasarkan perkiraan volume yang diperlukan

Volume efektif tangki septic
Vef = Va + Vl
Keterangan :
Vef = volume tangki septic, m3
Va = volume air dalam tangki septic, m3
Vl = volume lumpur yang diendapkan, m3

Volume air dalam tangki septic
Va = Q x Orang x td
Keterangan:
Q = kuantitas/debit air limbah, lt/org/hari
O = jumlah orang yang dilayani, org
Td = waktu tinggal, hari

Volume lumpur
Akibat proses pengendapan yang
terjadi, maka lumpur akan
terakumulasi setiap hari, dan endapan lumpur tersebut harus dikuras
secara berkala.
VL = RL x N x Orang
Keterangan:
VL = volume lumpur
RL = rate/laju akumulasi lumpur
= 0,03 – 0,04 m3/org/tahun
N = frekuensi pengurasan 2-3 tahun
O = jumlah orang yang dilayani, org

Total volume tangki septik
Volume tangki septic = vol. air limbah + vol. lumpur + ruang bebas air

Dimensi tangki septik
Apabila berbagai volume di atas telah dapat diperkirakan, maka
dimensi ruang dari tangki septik dapat dihitung.
Contoh Perhitungan :
Soal 1
Jumlah pemakai adalah 5 orang ( 1 kk = 5 Orang ). Hanya air limbah toilet
yang disalurkan ke dalam tangki septik dan dengan rata - rata kebutuhan
air untuk penggelontor = 30 l/orang/hari. Periode pengurasan adalah 2
tahun sekali. Hitung volume dan dimensi tangki septik
Jawaban :
1.
Debit air limbah rata - rata :
= 0,15 m3/hari
2.
Waktu detensi :
td
= 2,5 – 0,3 log ( O.Q )
= 2,5 – 0,3 log ( 5 x 30 )
= 1.8 hari = 2 hari ( Pembulatan )
3.
Volume air limbah
Va
= Q x td
= 0,15 (m3/hari) x 2 hari
= 0,3 m3
Volume lumpur
Vl
= 0,03 (m3/org/thn) x 2 thn x 5 org
= 0,3 m3
Volume efektif tangki septik
Vef
= 0,3 m3 + 0,3 m3
= 0.6 m3
Dimensi
4.
5.
6.
7.
P
= panjang
L
= lebar
Tair
= tinggi air
Standar teknis perencanaan :
Panjang : Lebar tangki septic
P : L = ( 2 : 1 ) atau ( 3:1 )
Tinggi air atau Tair = minimal 1 meter dan maksimal 2,1 meter
Bila digunakan : P = 2 L dan Tair = 1,2 meter
Maka :
2L2
= 0,5 m2
2
L
= 0,25 m2
Sehingga diperoleh :
Lebar tangki septic L = 0,5 m
Panjang tangki septic P = 2 x 0,5 = 1m
Tinggi tangki septic T = Tair + 0,3 m ( tinggi ruang bebas air )
= 1,5 m
Untuk nilai time detention itu di sesuaikan dengan asal muasal air yang masuk
kedalam Tangki Septick , adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini :
Untuk tangki septik hanya menampung limbah WC (terpisah)
Th = 2,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,5
Untuk tangki septik yang menampung limbah WC + dapur + kamar mandi
(tercampur)
Th = 1,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,2
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 Tahun
2003 tentang baku mutu air limbah domestik disebutkan bahwa Air
Limbah Domestik adalah air limbah yang berasal dari
kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama.
2. Karakteristik Air Buangan terdiri dari

Fisika

Biologi

Kimia
3. Total volume tangki septik
Volume tangki septic = vol. air limbah + vol. lumpur + ruang bebas air
DAFTAR PUSTAKA
Darmasetiawan, Ir Martin Msi. 2004. Sarana Sanitasi Perkotaan. Ekamitra
Engineering
Metcalf & eddy. 1993. Wastewater Engineering Treatment, Disposal And Reuse,
Third Edition. McGraw-Hill
SNI : 03-2398-2002 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan
SNI : 03-2399-2002 - Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum
Kepetusan Menteri Negara Lingkungan Hidup N0 112 Tahun 2003 Tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik.
Download