BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak terlepas dari air bersih sebagai komponen penunjang kehidupan makhluk hidup yang sangat penting. Manusia menggunakan air bersih dalam berbagai macam aktivitasnya, mulai dari minum, memasak makanan, mencuci, dan sebagainya, yang semuanya adalah aktivitas mendasar bagi manusia. Penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari, secara langsung akan menghasilkan sisa air yang sudah tidak terpakai. Air sisa penggunaan inilah yang disebut sebagai air buangan/air limbah. Air buangan dari aktivitas rumah tangga disebut air buangan domestik, sedangkan yang berasal dari aktivitas produksi dalam pabrik disebut air buangan industri. Dilihat dari volume air buangannya, limbah domestik jumlahnya lebih besar daripada limbah industri karena hal tersebut berkaitan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta orang. Pengolahan limbah domestik juga belum optimal, dibandingkan dengan industri-industri yang sudah memiliki pengolahan limbah industri sendiri. Hal itu dapat dilihat dari masih sedikitnya kota-kota yang memiliki sistem pengolahan air buangan beserta instalasinya untuk mengolah air buangan domestik secara terpadu. Dengan demikian penanganan air buangan domestik perlu mendapat perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Penanganan air buangan dapat dimulai dengan pembuatan instalasi pengolahan air buangan yang kemudian dilanjutkan dengan perencanaan sistem penyaluran air buangannya. Instalasi pengolahan air buangan sendiri bertujuan untuk mengolah air buangan yang mengandung komponen-komponen yang berbahaya hingga berkurang tingkat bahayanya atau tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup, serta memenuhi baku mutu air buangan yang boleh dibuang ke badan air. 1.2 Tujuan 1. Untuk Mengetahui jenis karakteristik dari limbah domestik 2. Untuk mengtahui peraturan dan standar ai buangan domestik yang berlaku 3. Untuk mengetahui mengenai onsite treatment dalam suatu perumahan beserta perhitungan nya . BAB II PEMBAHASAN 2.1.1 Karakteristik Air Buangan Air limbah atau air kotor adalah semua cairan yang dibuang, baik mengandung kotoran manusia, hewan, bekas tumbuh-tumbuhan, maupun yang mengandung sisa-sisa proses industri. Jenis dan macam air limbah dikelompokkan berdasarkan sumber penghasil air limbah yang secara umum terdiri dari : a. Air limbah domestik Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah domestik disebutkan bahwa Air Limbah Domestik adalah air limbah yang berasal dari kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. b. Air limbah non domestik adalah air bekas pemakaian yang berasal dari daerah non pemukiman, yaitu daerah komersial, laboratorium, rumah sakit, dan industri. Secara umum, karakteristik air buangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Karakteristik Fisika, 2. Karakteristik Kimiawi, dan 3. Karakteristik Biologis. Karakteristik air buangan berdasarkan atas sumber-sumber pencemarnya ditampilkan dalam tabel di bawah ini. Karakteristik Air Buangan Berdasarkan Sumber Pencemar Karakteristik Sumber Karakteristik Fisik Warna Limbah domestik dan industri, pembusukan alami materi organik Bau Dekomposisi air buangan, buangan industri Padatan Penyediaan air domestik, buangan industri dan domestik, erosi tanah, inflow/infiltration Suhu Buangan domestik dan industri Karakteristik Kimia Organik Karbohidrat Buangan domestik, komersial dan industri Lemak, minyak Buangan domestik, komersial dan industri Pestisida Buangan pertanian Fenol Buangan industri Protein Buangan domestik, komersial dan industri Surfactants Buangan domestik, komersial dan industri Lain-lain Pembusukan alami dari material organik anorganik Alkalinitas Buangan domestik, Penyediaan air domestik, infiltrasi air tanah Klorida Buangan domestik, Penyediaan air domestik, infiltrasi air tanah Logam berat Buangan industri Nitrogen Buangan domestik dan pertanian pH Buangan domestik, komersial dan industri Fosfor Buangan domestik, komersial dan industri ; limpasan alami Polutan utama Buangan domestik, komersial dan industri Sulfur Buangan domestik, komersial dan industri; penyediaan air Senyawa toksik domestik Limbah industri Gas : Hidrogen Sulfida Dekomposisi buangan domestik Metan Dekomposisi buangan domestik Oksigen Penyediaan air domestik, infiltrasi air permukaan Karakteristik Biologi Hewan Anak sungai, dan instalasi pengolahan Tumbuhan Anak sungai, dan instalasi pengolahan Protista Buangan domestik bangunan pengolahan Virus Buangan domestik Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993 Zat-zat kontaminan penting yang terkandung di dalam air limbah ditampilkan dalam tabel berikut ini. Sumber–Sumber Pencemar Penting yang Perlu Menjadi Perhatian dalam Pengolahan Air Limbah Sumber Pencemar Padatan Tersuspensi Alasan Padatan tersuspensi dapat mengakibatkan lumpur yang berlebih dan kondisi anaerobik ketika air buangan yang tidak diolah dialirkan ke lingkungan akuatik. Organik yang dapat Terdiri atas protein, karbohidrat, dan lemak. Diukur dengan terurai BOD atau COD. Jika komponen ini tidak disisihkan sebelum dibuang akan menyebabkan berkurangnya sumber O2 dan dapat menyebabkan kondisi septik. Patogen Penyakit menular dapat disebabkan oleh organisme patogen dalam air buangan. Nutrien Baik nitrogen maupun fosfor bersama karbon merupakan nutrien penting dalam pertumbuhan. Jika zat zat tersebut berlebih dapat dalam lingkungan air menyebabkan pertumbuhan organisme akuatik secara berlebihan. Selain itu, nutrien dapat mencemari polusi air tanah. Organik yang sukar Organik ini sulit diuraikan dengan metoda konvensional diurai biasa. Contohnya surfaktan, fenol, dan pestisida Logam berat Didapat dari aktivitas komersial dan industri. Logam-logam berat harus disisihkan jika air buangan hendak digunakan kembali. Padatan anorganik Komponen anorganik seperti kalsium, natrium, dan sulfat terlarut terdapat pada penyediaan air domestik. Senyawa anorganik harus dihilangkan jika air akan dipergunakan kembali. Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993 2.1.1 Karakteristik Fisika Air Buangan Karakteristik fisika air buangan antara lain adalah padatan, warna, bau, dan suhu. A. Padatan Menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003); McGhee (1991), padatan adalah materi yang tertinggal sebagai residu dari evaporasi dan pengeringan pada suhu 103oC hingga 105oC. Definisi senada dikemukakan oleh APHA, 1976 (dalam Effendi, 2003), yakni padatan adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Padatan total (TS) dalam air limbah terdiri atas padatan terlarut total (TDS) dan padatan tersuspensi total (TSS). Padatan terlarut adalah material yang dapat melewati filter dengan ukuran pori 2 mikrometer atau yang lebih kecil. Rao, 1992 (dalam Effendi, 2003) menambahkan bahwa TDS adalah bahan-bahan terlarut dengan diameter < 10-6 mm dan koloid dengan diamater antara 10-6 mm sampai 10-3 mm yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada filter dengan pori 0,45 mikrometer. Berbeda dengan TS yang diukur pada suhu 103oC sampai 105oC, TDS diukur pada suhu 180oC. Penggunaan suhu yang lebih tinggi bertujuan untuk menghilangkan air di mana padatan terlarut (Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003). TSS menunjukkan kadar total dari padatan tersuspensi yang terkandung pada suatu sampel air. Padatan tersuspensi adalah padatan yang tertahan oleh filter dengan pori 2 mikrometer atau lebih kecil (Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003). Effendi (2003) menambahkan bahwa TSS adalah bahan–bahan tersuspensi yang memiliki diameter > 1 mikrometer yang tertahan pada saringan millipore dengan diamater pori 0,45 mikrometer. TSS terdiri atas lumpur, pasir halus, dan jasad-jasad renik yang terbawa ke badan air oleh erosi tanah. Settleable Solids adalah kategori lain yang diberikan untuk padatan tersuspensi yang dapat diendapkan selama periode waktu tertentu dengan menggunakan Kerucut Imhoff ( Effendi, 2003). Menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003), settleable solids mengendap karena pengaruh gaya gravitasi. Hal ini terjadi karena settleable solids memiliki spesific gravity yang lebih besar daripada air. Lumpur (sludge) adalah salah satu contoh dari settleable solids. Oleh karena itu, pengukuran settleable solids penting guna mengetahui kebutuhan akan unit sedimentasi dan karakteristik fisik dari air buangan yang masuk ke badan air penerima. Selain penggolongan ke dalam TDS dan TSS, beberapa jenis padatan juga dapat digolongkan ke dalam kategori Volatile Solids (VS), Fixed Solids (FS) berdasarkan atas sifat penguapannya. Rao, 1991 (dalam Effendi, 2003) mengemukakan bahwa Volatile solids adalah bahan organik yang teroksidasi pada pemanasan dengan suhu 600oC, sementara bahan-bahan yang tertinggal (residu) pada pemanasan tersebut digolongkan pada kategori Fixed Solids. Jumlah padatan yang berlebihan akan menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mengganggu fotosintesis (Effendi, 2003) dan menurut Wardhana (2001), terganggunya fotosintesis tersebut akan menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut (DO) di dalam air sehingga mengganggu kehidupan organisme akuatik. Selain itu, menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003), jumlah padatan yang berlebihan akan menimbulkan rasa, menimbulkan noda, menimbulkan dampak laksatif (pencucian perut), membawa dampak buruk pada tanaman pertanian irigasi, dan khusus untuk TDS, bila berlebihan akan menimbulkan kesadahan pada air yang akan menyebabkan sabun sulit berbusa dan menyebabkan kerak yang menyumbat pipa atau alat-alat masak. B. Warna Perairan normal tidak berwarna. Air yang tidak tercemar ditandai oleh penampilannya yang bening atau jernih. Namun secara alami, warna dapat timbul pada air yang disebabkan oleh bahan organik dan anorganik di antaranya oleh plankton, humus, tanin, lignin, ion besi, ion mangan, dan kalsium karbonat (Effendi, 2003). Selain itu warna juga ditimbulkan oleh partikel-partikel koloid bermuatan negatif (Effendi, 2003; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Warna pada air juga dapat menjadi indikasi adanya pencemaran oleh air limbah berwarna misalnya dari industri tekstil dan industri kertas. Meskipun demikian, kadar warna tidak serta merta berkorelasi langsung dengan berat tidaknya pencemaran yang terjadi. Menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), air limbah yang masih baru biasanya berwarna abu-abu, namun warna air limbah berangsur-angsur akan berubah menjadi hitam sebagai tanda aktivitas bakteri yang menguraikan senyawa-senyawa organik. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam aktivitas tersebut, sehingga selama proses penguraian berlangsung, kadar oksigen terlarut dalam air akan menurun mencapai nol dan tercapailah kondisi septik. Kehadiran warna secara alami pada air sebenarnya tidak bersifat toksik, kecuali warna yang diakibatkan oleh pencemaran industri. Namun warna dapat menghalangi masuknya sinar matahari pada perairan sehingga mengganggu fotosintesis sekaligus mengganggu kehidupan organisme akuatik (Effendi, 2003). Dilihat dari sudut penggunaan air, kehadiran warna pada air sebenarnya lebih merupakan masalah estetika daripada masalah kesehatan karena pemahaman yang berlaku pada masyarakat adalah bahwa air yang bening dan jernih adalah air yang baik untuk dikonsumsi sehingga masyarakat akan menolak air yang memiliki warna, walaupun warna tersebut berasal dari sumber-sumber alami seperti yang telah disebutkan di atas (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). C. Bau Air normal tidak memiliki bau. Namun demikian, menurut McGhee (1991), secara alami aktivitas actinomycetes dan ganggang hijau biru dapat menghasilkan senyawa tertentu yang menyebabkan bau. Selain itu, kehadiran fulvic acid dan humic acid dapat juga menyebabkan bau pada perairan. Bau pada air juga dapat menjadi indikasi terjadinya pencemaran pada perairan. Bau dapat disebabkan baik oleh senyawa-senyawa pencemar maupun oleh aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat-zat organik, terutama protein menjadi zat-zat volatil dan berbau. Menurut Wardhana (2001), timbulnya bau pada perairan dapat secara mutlak digunakan sebagai indikator adanya pencemaran yang cukup tinggi pada perairan. Dampak bau pada manusia sangat subjektif yakni lebih berdampak pada kondisi psikologis daripada kondis kesehatan tubuh. Bau dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, mengganggu pernapasan, mual, muntah, dan gangguan mental, bahkan sampai pada mengganggu hubungan antar manusia dan menghambat pertumbuhan investasi dan ekonomi (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Tabel berikut ini memuat beberapa menyebabkan bau tertentu pada perairan. senyawa kimia yang Tabel 2.3 Senyawa-senyawa kimia yang banyak menyebabkan bau Senyawa Amina Jenis bau Amis ikan Ammonia Bau khas ammonia Diamina Daging busuk Hidrogen Sulfida Telur busuk Mercaptans Sigung Sulfida Organik Kubis busuk Skatole Tinja Sumber : Metcalf & Eddy, Inc, 1993 D. Suhu Meningkatnya suhu pada perairan disebabkan oleh masuknya air limbah dengan suhu lebih tinggi dari normal. Air limbah ini merupakan air bekas cooling water, yakni air pendingin untuk menghilangkan panas baik panas mesin ataupun panas reaksi sehingga kinerja mesin dan proses industri dapat berjalan dengan baik (Wardhana, 2001). Suhu yang meningkat pada air akan berpengaruh pada kehidupan akuatik yakni menaikkan tingkat mortalitas beberapa spesies dan mempercepat pertumbuhan tumbuhan dan jamur tertentu, mempercepat laju reaksi kimia di dalam air (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993), menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air termasuk oksigen (Hashim, 1995 dalam Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993; McGhee, 1991). Kekurangan oksigen diperparah lagi karena peningkatan suhu juga mempercepat metabolisme dan respirasi organisme akuatik sehingga konsumsi oksigen ikut meningkat (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993). 2.1.2 Karakteristik Kimiawi Air Buangan Menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), beberapa karakteristik kimiawi yang terdapat pada air buangan adalah materi organik, pengukuran materi organik, materi anorganik, dan gas. Materi organik yang akan dibahas berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak, surfaktan, fenol, dan pestisida. Pengukuran materi organik yang dapat dilakukan berupa BOD dan COD. Sementara materi anorganik yang akan dibahas adalah pH, klorida, alkalinitas, nitrogen, fosfor, sulfur, senyawa-senyawa beracun, dan logam berat. Sementara pada gas, pembahasan meliputi oksigen terlarut, hidrogen sulfida, dan metana. A. Materi Organik Metcalf & Eddy, Inc, 1993 mengemukakan bahwa materi organik adalah materi yang umumnya tersusun atas kombinasi karbon, hidrogen, oksigen, serta nitrogen, dan sulfur, fosfor, dan besi dalam jumlah kecil. Materi organik yang paling banyak terkandung dalam air limbah adalah protein (40 sampai 60 persen), karbohidrat (25 sampai 50 persen), diikuti oleh lemak dan minyak (10 persen). Sawyer dan McCarty, 1978 (dalam Effendi, 2003) menyatakan karakteristik bahan organik yang membedakannya dari bahan organik adalah sebagai berikut: - Mudah terbakar - Memiliki titik beku dan titik didih rendah, - Biasanya lebih sukar larut dalam air - Bersifat isomer - Reaksi dengan senyawa lain berlangsung lambat, - Berat molekul tinggi, dan - Sebagian besar dapat menjadi sumber makanan bakteri. a. Protein Protein adalah senyawa kimia kompleks yang tersusun atas rangkaian asam-asam amino dalam jumlah besar yang berkontribusi pada besarnya berat molekul protein (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), asam amino yang menyusun protein termasuk asam amino α, yakni asam amino di mana gugus amino terhubung dengan atom karbon alfa. Sesuai namanya, asam amino bersifat sebagai asam, namun demikian, karena pengaruh gugus aminonya, asam amino dapat juga bersifat sebagai basa, oleh karena itu, asam amino dikatakan memiliki sifat amfoter. Ada sekitar 22 jenis asam amino yang menyusun senyawa protein. Yang termasuk jenis Monoamino Monocarboxy Acids adalah Glycine, Alanine, Valine, Leucine, dan Isoleucine. Yang termasuk jenis Monocarboxy Diamino Acids adalah Arginine, Aspargine, Lysine, dan Glutamine. Yang termasuk jenis Aromatic Homocyclic Acids adalah Phenylalanine, Tyrosine, dan Thyroxine. Yang termasuk jenis Monoamino Monocarboxy Monohydroxy Acids adalah Serine dan Threonine. Yang termasuk jenis Sulfur Containing Acids adalah Cysteine dan Methionine. Yang termasuk jenis Dicarboxy Monoamino Acids adalah Aspartic Acid dan Glutamic Acid. Dan yang termasuk Heterocyclic Acids adalah Tryptophan, Proline, Hydroxyproline, dan Histidine. Protein sendiri adalah bagian utama penyusun tubuh manusia dan hewan, dan ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil pada tumbuhan. Semua jenis protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen serta sedikit sulfur dan fosfor. Persentase unsur penyusun protein ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 2.4 Persentase unsur-unsur penyusun protein Unsur Karbon Persentase 51-55 Hidrogen 6,5-7,3 Oksigen 20-24 Nitrogen 15-18 Sulfur 0-2,5 Fosfor 0-1 Sumber : Sawyer, McCarty, Parkin, 2003 Protein adalah senyawa yang dapat terdekomposisi, oleh karena itu, kehadiran protein dalam jumlah besar pada air limbah menimbulkan bau sebagai tanda terjadinya proses dekomposisi protein. b. Karbohidrat Air limbah mengandung karbohidrat misalnya gula, pati, selulosa dan serat kayu. Limbah tersebut berasal dari aktivitas industri yang memproses material yang mengandung karbohidrat misalnya industri kayu, kertas, tekstil, dan makanan. Karbohidrat adalah golongan senyawa organik yang mengandung unsur karbon, hidrogen, dan oksigen di mana rasio antara hidrogen dan oksigen adalah 2 : 1 (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Karbohidrat dapat dikategorikan menurut kompleksitas strukturnya ke dalam tiga kategori yakni monosakarida disakarida, dan polisakarida. Monosakarida, disebut juga gula sederhana, mengandung gugus karbonil dalam bentuk aldehid atau keton. Pentosa adalah senyawa monosakarida yang berupa gula yang mengandung lima atom karbon, sementara heksosa adalah gula yang mengandung enam atom karbon. Contoh pentosa adalah xylosa dan arabinosa. Sementara glukosa, galaktosa, manosa, dan fruktosa, adalah contoh senyawa yang termasuk heksosa. Disakarida adalah senyawa yang mengandung dua gula heksosa yang terikat dalam satu molekul. beberapa senyawa adalah termasuk disakarida misalnya sukrosa, maltosa, dan laktosa. Polisakarida adalah senyawa yang tersusun atas beberapa heksosa atau monosakarida lainnya. Berbeda dengan monosakarida dan disakarida, polisakarida bersifat tidak larut dalam air, tidak bersifat manis, dan memiliki struktur yang kompleks. Beberapa contoh polisakarida adalah pati (amilosa), selulosa, dan hemiselulosa. c. Lemak dan Minyak Lemak dan minyak adalah senyawa organik yang berupa ester dari trihidroksi alkohol, yakni gliserol (Metcalf & Eddy, 1993; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Minyak adalah gliserida dari fatty acids dalam bentuk cair, sementara lemak adalah gliserida dari fatty acids dalam bentuk padat. Lemak dan minyak dalam air buangan dapat dihasilkan dari bahan-bahan makanan seperti margarine, buah, daging, kacang-kacangan, dan sebagainya. Minyak dalam air limbah juga dapat dihasilkan dari produk minyak bumi seperti kerosin, tar, batu bara, dan sebagainya. Kehadiran lemak dalam perairan mengganggu kehidupan organisme karena menghalangi difusi oksigen ke dalam air, menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga mengganggu proses fotosintesis, membuat bulu burung lengket sehingga burung tidak dapat beraktivitas secara normal dan akhirnya mati. Dan untuk kasus pengolahan air limbah, kehadiran minyak dan lemak dapat membunuh organisme yang digunakan dalam pengolahan secara biologis. d. Surfaktan Surfaktan atau surface-active agents adalah bahan utama penyusun deterjen dan sabun. Surfaktan adalah senyawa kimia yang memiliki dua kutub, satu kutub dapat larut dalam air, dan kutub yang lain dapat larut dalam minyak (Sawyer, McCarty, dan Parkin, 2003). Surfaktan menyebabkan busa pada perairan dan bersifat racun. Salah satu jenis surfaktan adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS) yang menimbulkan masalah karena tidak dapat terdekomposisi secara alami oleh bakteri karena strukturnya yang siklik. Oleh karena itu, produksi ABS dihentikan dan diganti dengan Linear Alkil Sulfonat (LAS) yang molekulnya berbentuk linear sehingga dapat didegradasi oleh bakteri sehingga turut mengurangi busa pada perairan. e. Fenol Fenol adalah derivatif monohidroksi dari benzena (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Fenol dalam air buangan berasal dari buangan industri petroleum. Dalam tingkat tertentu, fenol bersifat racun, namun pada tingkat 500 mg/L, fenol dapat didegradasi oleh bakteri aerobik dan kadar fenol mencapai 2000 mg/L dapat didegradasi oleh bakteri anaerobik. f. Pestisida Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk membasmi atau mengontrol organisme-organisme pengganggu seperti hama, rumput, tikus, dan sebagainya. Pestisida sebenarnya tidak umum berada pada air buangan, hanya biasanya pestisida berasal dari air limpasan tanah pertanian, taman, dan kebun (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Karena sifat racunnya, pestisida dapat menimbulkan masalah jika masuk ke badan air penerima. Pestisida bersifat racun bagi kehidupan, baik kehidupan akuatik maupun bagi manusia. Menurut Sawyer, McCarty, dan Parkin, (2003), ada beberapa jenis pestisida, terutama dari golongan chlorinated pesticides, sulit didegradasi di alam, dan oleh karena itu bertahan untuk waktu yang lama dan bahkan menyebabkan bioakumulasi pada rantai makanan. B. Pengukuran Materi Organik Pengukuran materi organik dilakukan guna mengukur kadar zat organik yang terkandung pada air limbah. Menurut Metcalf & Eddy, Inc (1993), beberapa metode pengukuran di laboratorium yang umum digunakan saat ini adalah pengukuran BOD, dan COD. a. Biochemical Oxygen Demand Biochemical Oxygen Demand (BOD) menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menstabilisasi materi organik yang dapat didegradasi dalam suasana aerobik (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Pemeriksaan BOD dilakukan untuk menentukan beban pencemaran yang terjadi pada suatu badan air, menentukan dimensi instalasi pengolahan air limbah, dan menentukan efisiensi dari beberapa proses pengolahan (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Penguraian materi organik oleh bakteri terjadi secara alami, selama melakukan aktivitas penguraian, bakteri membutuhkan oksigen yang terlarut dalam air untuk fungsi metabolismenya. Oleh karena itu, semakin berat pencemaran yang terjadi, maka jumlah oksigen terlarut semakin menurun, dan kebutuhan oksigen untuk menguraikan materi organik, yang diloambangkan dengan nilai BOD semakin meningkat. Rendahnya kadar oksigen terlarut menghambat kehidupan organisme akuatik dan menimbulkan bau busuk. Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), pengukuran BOD menggunakan reaksi oksidasi basah di mana organisme bertindak sebagai agen pengoksidasi materi organik menjadi karbon dioksida dan air, serta amonia. Reaksi tersebut digambarkan sebagai berikut. CnHaObNc + ( n + a/4 – b/2 – 3c/4 ) O2 nCO2 + ( a/2 – 3c/2 ) H2O + c NH3 Walau pengukuran BOD banyak dilakukan, namun ada beberapa limitasi, atau dengan kata lain, kelemahan dan hambatan yang ditemui dalam melakukan pengukuran tersebut yakni dibutuhkan bibit bakteri aktif dalam konsentrasi tinggi dan telah diaklimatisasi, dibutuhkan pengolahan awal dalam pengukuran pada limbah beracun, efek organisme penitrifikasi harus dikurangi, pengukuran BOD hanya mengukur materi organik yang dapat didegradasi oleh alam, pengukuran BOD tidak memiliki validitas stokiometris ketika materi organik terlarut yang ada pada larutan telah digunakan, dan hasil yang akurat didapat dalam waktu yang lama (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). b. Chemical Oxygen Demand Chemical Oxygen Demand (COD) adalah ukuran kekuatan organik dari limbah industri dan domestik. Pengukuran BOD bertujuan untuk mengukur keseluruhan kuantitas oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi materi organik menjadi karbon dioksida dan air. Berbeda dengan BOD, nilai COD akan lebih besar karena lebih banyak materi organik yang dapat dioksidasi secara kimia daripada secara biologis (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Reaksi oksidasi yang terjadi adalah sebagai berikut. CaHbOc + Cr2O72- + H+ CO2 + H2O + Cr 3+ Reaksi diatas akan membutuhkan kalor dan juga penambahan katalisator perak sulfat (Ag2SO4) untuk mempercepat reaksi. Apabila dalam bahan buangan organik diperkirakan terdapat unsur klorida yang dapat mengganggu reaksi maka perlu ditambahkan merkuri sulfat untuk menghilangkan gangguan tersebut. Klorida dapat mengganggu karena dapat teroksidasi oleh kalium dikromat sesuai dengan reaksi berikut ini : 6Cl- + Cr2O72- + 14H+ → 3Cl2 + 2 Cr3+ + 7H2O Apabila dalam larutan lingkungan air terdapat unsur klorida, maka oksigen yang dibutuhkan pada reaksi tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya sehingga seberapa jauh tingkat pencemaran oleh bahan buangan organik tidak dapat diketahui secara benar. Penambahan merkuri sulfat berguna untuk mengikat ion klor menjadi merkuri klorida mengikuti reaksi berikut ini : Hg2+ + 2 Cl- → HgCl2 Seperti pada BOD, semakin banyak oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi materi organik secara kimia mengindikasikan semakin beratnya pencemaran yang terjadi, yang juga ditandai semakin tingginya nilai COD. Keunggulan pengukuran COD daripada BOD adalah hasil pengukuran COD didapat lebih cepat, yakni 3 jam, bila dibandingkan dengan pengukuran BOD yang membutuhkan 5 hari (Metcalf & Eddy, Inc, 1993;Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Namun demikian, pengukuran COD juga memiliki kelemahan. Pengukuran COD tidak dapat membedakan antara materi organik yang dapat dioksidasi dengan yang tidak dapat dioksidasi secara biologis (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). C. Materi Anorganik Karakteristik anorganik yang akan dibahas berikut ini meliputi pH, klorida, alkalinitas, nitrogen, fosfor, sulfur, senyawa-senyawa beracun, dan logam berat. a. pH pH adalah istilah yang menggambarkan aktivitas ion hidrogen yang akhirnya digunakan untuk mengindikasikan keasaman. Seperti yang dikemukakan oleh Sawyer, McCarty, dan Parkin, (2003), aktivitas ion hidrogen berhubungan erat dengan fakta bahwa air terdisosiasi membentuk ion hidrogen dan ion hidroksida di mana konsentrasi ion hidrogen sama dengan 10-7 mol/L. Karena disosiasi air menghasilkan satu ion hidroksida untuk tiap ion hidrogen maka kesimpulannya 10 -7 mol/L ion hidroksida juga dihasilkan. Karena konsentrasi air sangat besar dan sedikit saja berkurang karena ionisasi maka aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai konstan, maka konstanta ionisasi air sebesar 10-14 dan digambarkan sebagai berikut: K w 10 7 x10 7 1014 Konstanta ionisasi tersebut berpengaruh ketika asam atau basa ditambahkan pada air. Ketika asam ditambahkan pada air, asam tersebut akan mengionisasi air dan aktivitas ion hidrogen meningkat dan sebaliknya aktivitas ion hidroksida menurun, misalnya asam ditambahkan sehingga meningkatkan ion hidrogen ke 10-1 maka ion hidroksida akan menurun ke 10-13. Sebaliknya, jika suatu basa ditambahkan pada air, aktivitas ion hidroksida akan meningkat dan aktivitas ion hidrogen akan menurun, misalnya basa ditambahkan sehingga ion hidroksida meningkat ke 10-3, maka ion hidrogen akan turun ke 10-11. Pada suhu 25oC, pH = 7 mengindikasikan kondisi netral, sementara pH < 7 mengindikasikan kondisi asam, dan pH > 7 mengindikasikan kondisi basa. Dalam kasus pengolahan air buangan, pH harus dikontrol agar berada dalam pH tertentu supaya pengolahan biologis dapat berjalan dengan baik yakni organisme yang digunakan dapat hidup dan menjalankan aktivitasnya dengan baik (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Sawyer, McCarty, Parkin (2003) menambahkan bahwa pH dalam air limbah yang masuk ke instalasi pengolahan air limbah harus dikontrol agar proses-proses pengolahan secara kimia seperti koagulasi dewatering lumpur, atau oksidasi senyawa-senyawa tertentu dapat berjalan dengan baik. Sementara itu, pH juga berdampak pada badan air penerima. Effendi (2003) menyatakan bahwa semakin rendah pH air, maka air akan bersifat semakin korosif. Tebbut, 1992 (dalam Effendi, 2003) menyatakan bahwa toksisitas amonia meningkat seiring dengan semakin tingginya pH. Dampak lain dikemukakan oleh Novotny dan Olem, 1994 (dalam Effendi, 2003) yakni, secara umum toksisitas logam akan meningkat seiring dengan semakin rendahnya pH. b. Klorida Klorida dalam air secara alami berasal dari batuan dan tanah yang mengandung klorida serta intrusi air laut. McNeely, et. al., 1979 (dalam Effendi, 2003) menyatakan bahwa kadar ion klorida secara alami pada perairan tawar adalah sebesar 8,3 mg/L. Manusia menghasilkan tinja yang mengandung 6 gram klorida per orang (Metcalf & Eddy, Inc, 1993; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003) sehingga keberadaan klorida dalam air dapat juga berasal dari pencemaran. Hal ini ditegaskan oleh Metcalf & Eddy, Inc. (1993) bahwa karena metoda pengolahan air limbah konvensional tidak menyisihkan klorida secara signifikan maka konsentrasi klorida di atas level biasanya dapat menjadi indikasi bahwa badan air digunakan sebagai tempat pambuangan limbah. Menurut Sawyer, McCarty, Parkin (2003), klorida secara umum tidak berbahaya, dalam arti tidak bersifat toksis terhadap manusia, di daerah yang jarang sumber air, kadar klorida dapat mencapai 2000 mg/L dan tidak ada keluhan apapun jika masyarakat setempat yang telah beradaptasi. Namun secara umum, kadar klorida yang lebih tinggi dari 250 mg/L memberikan rasa asin pada air (Rump, Krist, 1992 dalam Effendi 2003; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003) sehingga menimbulkan masalah estetika jika air tersebut digunakan sebagai air baku air minum. c. Alkalinitas Alkalinitas adalah ukuran kemampuan air untuk menetralisir basa (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Alkalinitas disebabkan oleh ion-ion hidroksida, karbonat, dan bikarbonat dari unsur-unsur kalsium, magnesium, natrium, kalium, atau amonia (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Alkalinitas pada air limbah biasanya berasal dari proses penyediaan air bersih, air tanah, dan limbah domestik. Kadar alkalinitas berguna untuk menentukan di mana pengolahan kimia harus diterapkan (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Alkalinitas dapat menyebabkan air menjadi agresif sehingga menyebabkan karat pada pipa, sementara alkalinitas yang terlalu rendah akan menimbulkan kerak karbonat pada dinding saluran. Bila kadar alkalinitas terlalu tinggi pada perairan, maka akan menimbulkan sifat sadah. Dari sisi kesehatan, alkalinitas tidak memiliki pengaruh secara signifikan (Effendi, 2003). d. Nitrogen Nitrogen berada dalam beberapa bentuk yakni N2, NH3, NO2, NO3, N2O5, dan sebagainya. Nitrogen merupakan nutrisi bagi kehidupan organisme akuatik, termasuk bakteri, oleh karena itu, kadar nitrogen yang cukup dibutuhkan agar proses pengolahan secara biologis dapat dilaksanakan (Metcalf & Eddy, Inc, 2003). Effendi (2003) menyatakan bahwa senyawa-senyawa nitrogen dapat berasal dari limpasan pertanian, limbah industri, dan limbah domestik. Dalam perairan alami, kadar masing-masing senyawa nitrogen dapat menjadi indikasi waktu terjadinya pencemaran. Seperti yang dikemukakan oleh Sawyer, McCarty, Parkin (2003), seiring dengan berjalannya waktu, nitrogen organik akan diubah menjadi nitrogen amonia, dan selanjutnya dalam kondisi aerobik, akan diubah menjadi nitrit dan nitrat. Sebagai contoh, bila di suatu badan air ditemukan kadar ammnia yang tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa baru saja terjadi pencemaran pada badan air tersebut, sebaliknya, misalnya jika ditemukan kadar nitrat yang tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa pencemaran sudah terjadi lama berselang. Proses konversi senyawa nitrogen yang telah disebutkan di atas berlangsung dalam kondisi aerobik atau membutuhkan oksigen sehingga dapat mengakibatkan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan dan mengganggu kehidupan organisme akuatik, selain itu nitrit dan nitrat adalah nutrien bagi tumbuhan perairan sehingga dapat menyebabkan blooming pada perairan, sementara itu, senyawa nitrit sendiri tidak memiliki dampak yang signifikan karena segera akan diubah menjadi nitrat, namun ammonia akan menyebabkan bau busuk, nitrat akan menyebabkan methemoglobinemia pada bayi. e. Fosfor Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003) menyatakan bahwa fosfor ditemukan dalam perairan dalam bentuk senyawa ortofosfat misalnya Trisodium phosphate, Disodium phosphate, Monosodium phosphate, dan Diammonium phosphate, dan dalam bentuk senyawa polifosfat misalnya Sodium hexametaphosphate, Sodium tripolyphosphate, dan Tetrasodium pyrophosphate. Menurut Effendi (2003), sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral seperti fluorapatite, hydroxypalatite, strengite, whitlockite, dan berlinite. Namun, keberadaan fosfor juga dapat dihasilkan oleh limpasan dari pertanian, limbah industri, dan limbah domestik terutama tinja dan deterjen (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Kadar senyawa fosfor dalam jumlah tertentu dibutuhkan sebagai nutrien bagi organisme dalam pengolahan air limbah secara biologis (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Senyawa fosfor relatif tidak bersifat toksik, namun dalam jumlah berlebih akan menyebabkan perairan menjadi terlalu subur sehingga menyebabkan pertumbuhan tidak terkendali dari tumbuhan perairan, khususnya alga (Effendi, 2003; Metcalf & Eddy, Inc, 1993; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). f. Sulfur Sulfur di perairan kebanyakan berada dalam bentuk sulfat (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003). Sumber alami sulfur di perairan adalah mineral bravoite, chalcopyrite, cubanite, gregite, gypsum, molybdenite, dan pyrite (McNeely et. al., 1979 dan Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Sulfur juga dapat berasal dari dekomposisi materi organik dan limbah industri. Sulfur memiliki beberapa dampak. Pertama, senyawa sulfur menimbulkan bau. Dampak lain adalah kadar senyawa sulfur yang berlebih pada air bila diminum akan menyebabkan fenomena catcahrtic (muntah). Selain itu, senyawa sulfur juga menyebabkan terjadinya korosi, pada kasus pengelolaan air limbah, kadar sulfur berlebihan dapat merusak pipa-pipa penyaluran air buangan (Metcalf & Eddy, Inc, 1993; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). g. Senyawa-senyawa beracun Beberapa senyawa organik dalam air limbah bersifat toksik. Beberapa jenis ion juga harus diperhatikan dalam pengolahan air buangan karena bersifat toksik. Anion-anion seperti sianida, kromat, dan klorida dan kation-kation seperti tembaga, timbal, perak, kromium, arsen, boron, natrium, kalium, nikel, dan amonium adalah ion-ion yang bersifat toksik. Beberapa contoh, di antaranya tembaga bersifat toksik pada konsentrasi 100 mg/L, kromium dan nikel pada konsentrasi 500 mg/L, sementara kalium dan amonium bersifat toksik pada konsentrasi 4000 mg/L (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Toksisitas senyawa-senyawa tersebut harus diperhatikan karena dapat membunuh organisme pengolah sehingga mengganggu proses pengolahan air limbah, khususnya yang dilakukan secara biologis. h. Logam-Logam Berat Logam-logam berat umumnya berasal dari pencemaran limbah industri. Logam-logam berat di antaranya adalah nikel, mangaan, timbal, kromium, kadmium, seng, tembaga, besi, dan merkuri (Metcalf & Eddy, Inc, 1993) juga termasuk antimon, barium, berilium, selenium dan thallium (Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Kadar logam-logam berat harus diperhatikan dalam pengolahan air buangan, khususnya saat air limbah akan dialirkan ke badan air penerima. Beberapa logam berat, dalam jumlah tertentu dibutuhkan dalam kehidupan akuatik, namun dalam jumlah berlebihan, logam-logam berat akan bersifat racun dapat bersifat racun, tidak hanya bagi organisme yang hidup di air, namun juga bagi yang mengkonsumsi air tersebut karena logam berat memiliki sifat bioakumulasi. D. Gas Beberapa karakteristik gas perlu diperhatikan dalam pengolahan air buangan di antaranya adalah oksigen terlarut, hidrogen sulfida, dan metana (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). a. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut (DO) dibutuhkan dalam respirasi organisme akuatik. Namun, oksigen bersifat sedikit larut dalam air, oleh karena itu jumlah oksigen terlarut dalam air hanya ditentukan oleh tekanan parsial gas, suhu, dan puritas (kemurnian) air (Metcalf & Eddy, Inc, 1993; Sawyer, McCarty, Parkin, 2003). Metcalf & Eddy, Inc. (2003) menambahkan bahwa musim juga berpengaruh pada jumlah DO pada perairan, sebagai contoh, di musim panas (summer), reaksi biokimia meningkat oleh karena itu, jumlah DO banyak berkurang di musim panas, hal ini diperburuk dengan debit air yang juga berkurang sehingga turut mengurangi kadar DO di dalam suatu badan air. Untuk kasus air limbah, kadar DO penting untuk diperhatikan karena pengolahan air limbah dengan menggunakan reaksi aerobik dan menggunakan organisme aerobik hanya dapat berlangsung dengan keberadaan DO dengan kadar yang cukup. Selain itu, kadar DO yang berkurang akan menimbulkan bau pada air limbah (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). b. Hidrogen Sulfida Hidrogen sulfida adalah salah satu dari senyawa sulfur yang telah disebutkan di atas. Hidrogen sulfida berasal baik dari reduksi mineral sulfit dan sulfat maupun dari dekomposisi materi organik. Dalam kasus air limbah, hidrogen sulfida adalah gas yang menimbulkan bau pada air limbah. Selain itu, bila hidrogen sulfida bereaksi dengan besi membentuk FeS akan menyebabkan air limbah berwarna kehitam-hitaman dan menimbulkan lumpur (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). c. Metana Metana adalah senyawa kimia dengan rumus CH4 berbentuk gas. Dalam kasus pengolahan air limbah, metana hanya timbul setelah terjai pengolahan secara anaerobik. Secara normal, air limbah tidak mengandung kadar metan yang tinggi, terutama bila pengolahan air limbah berlangsung dalam kondisi aerob. Namun demikian, metana dalam kadar kecil masih terdapat dalam air buangan, hal ini terjadi karena kadang-kadang pembusukan anaerobik terjadi pada deposit yang terletak di dasar saluran ataupun bak (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Dalam pengolaha air limbah, metana perlu diperhatikan khususnya demi keselamatan kerja. Metana dapat menimbulkan bahaya karena metana adalah gas yang sangat mudah terbakar (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Sawyer, McCarty, dan Parkin (2003) menambahkan bahwa campuran udara dengan gas metana sebesar 5 sampai 15 % bersifat sangat eksplosif (highly explosive). Oleh karena itu, dalam instalasi air buangan perlu ditambahkan ventilasi pada bagian-bagian tertentu di mana diduga akan terjadi penumpukan gas metana. Selain itu, perlu ada blower untuk mengeluarkan gas metana sebelum petugas memasuki saluran dalam rangka pemeriksaan, perawatan, perbaikan, dan sebagainya (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). 2.1.3 Karakteristik Biologis Air Buangan A. Jenis-Jenis Organisme yang Hidup di Air Limbah Secara umum, menurut Metcalf & Eddy, Inc. (1993), organisme yang hidup dalam air limbah dapat dikelompokkan menjadi protista, tumbuhan, dan hewan. Kelompok protista terdiri atas bakteri, jamur, protozoa, dan ganggang. Tumbuhan, salah satunya adalah lichen (jamur kerak). Hewan yang terdiri atas vertebrata dan avertebrata. Sementara virus, yang merupakan peralihan dari makhluk tak hidup ke makhluk hidup, diklasifikasikan berdasarkan atas target serangannya. a. Protista Protista yang hidup pada air buangan mencakup bakteri, alga, dan protozoa. Bakteri berperan menguraikan dan menstabilisasi materi organik, baik di alam maupun di instalasi pengolahan air limbah. Selain itu, ada jenis bakteri yang termasuk bakteri koliform, yakni bakteri yang hidup di saluran pencernaan yang ikut keluar bersama tinja. Bakteri ini sebenarnya tidak berdampak buruk, namun karena keluar bersama tinja, bakteri ini menjadi indikator adanya pencemaran di suatu perairan, berikut kemungkinan hadirnya bakteri-bakteri lain yang termasuk patogen yang keluar bersama tinja. Bila koliform ditemukan melebihi jumlah normal, maka perairan diindikasikan telah menerima pencemaran. Dalam air yang kaya akan nutrisi (eutrofik), misalnya limpasan dari tanah pertanian, ataupun efluen dari instalasi pengolahan air limbah yang kaya akan nutrien, alga akan tumbuh sangat subur. Fenomena ini disebut algal blooming. Pertumbuhan alga yang sangat cepat ikut meningkatkan konsumsi oksigen terlarut, sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang. Beberapa jenis protozoa yang hidup dalam air limbah adalah amuba, flagellata, dan ciliata. Protozoa tersebut penting bagi aktivitas operasional instalasi pengolahan air limbah karena protozoa tersebut menjadi makanan bagi bakteri. Protozoa tersebut juga penting karena mampu menjaga keseimbangan alami dari banyak jenis mikroorganisme. Tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air buangan bervariasi mulai dari yang berukuran mikroskopik seperti rotifera dan cacing, sampai yang berukuran makroskopik seperti krustacea. Pemahaman tentang organisme-organisme tersebut penting dalam kaitannya dengan pengolahan air limbah karena membantu dalam menentukan toksisitas air buangan yang dilepas ke lingkungan dan mengukur efektivitas aktivitas biologis dalam proses pengolahan sekunder dalam rangka menguraikan limbah organik. Organisme lain yang juga berada dalam air limbah adalah virus. Virus yang diekskresikan bersama tinja dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat, misalnya virus hepatitis dan virus polio. Pada suhu 20oC, virus dapat hidup selama 41 hari di air buangan. B. Organisme Patogen Organisme patogen adalah kelompok organisme yang menimbulkan penyakit. Beberapa contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen adalah tipus, paratipus, disentri, kolera, dan sebagainya. Organisme patogen sangat berbahay dan bertanggung jawab atas ribuan kematian manusia di daerah di mana kondisi sanitasi yang buruk, terutama di daerah tropis. Identifikasi organisme patogen sangat sulit dan banyak menyita waktu. Oleh karena itu digunakan organisme indikator. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, koliform adalah bakteri yang hidup di pencernaan yang keluar bersama tinja. Bakteri patogen, keluar dari tubuh inag ataupun penderita juga melalui tinja. Oleh karena itu, koliform digunakan sebagai indikasi adanya pencemaran pada perairan. Bila pada perairan ditemukan jumlah koliform yang lebih tinggi dari normal, maka perairan tersebut diindikasikan telah tercemar dan diindikasikan telah terkontaminasi oleh bakteri patogen. Beberapa organisme patogen yang umum dijumpai di air limbah ditampilkan dalam tabel berikut ini. Tabel 2.5 Organisme-Organisme Patogen di Air Limbah Organisme Ascaris sp. & Penyakit Cacing Nematoda Keterangan Berbahaya bagi manusia. Berasal dari efluen air limbah Enterobius sp. dan lumpur kering yang digunakan sebagai pupuk. Ditemukan Anthrax Spora Bacillus anthracis di air resisten limbah. terhadap pengolahan. Biasanya ditularkan lewat susu Brucellosis. Brucella sp. Demam malta pada manusia. Aborsi menular pada domba, kambing, dan ternak lain yang tercemar ata Air limbah kontak. dicurigai sebagai lewat terkontaminasi media air dan yang digunakan pupuk. Banyak daerah panas. Entamoeba histolytica juga penyebaran. Menyebar Disentri karena yang lumpur sebagai terjadi di Dibawa oleh tikus. Leptospirosis Telah diisolasi dari air limbah dan sungai tercemar. Air limbah dicurigai sebagi media Leptospira Tubercolosis penyebaran. Perhatian ekstra perlu diberikan pada air limbah iceterohaemorrhagiae dan lumpur dari sanatorium. Mycobacterium tubercolosis Banyak terdapat limbah di pada waktu air terjadi epidemi. Banyak terdapat limbah di pada waktu air terjadi epidemi. Demam paratipus Biasa dijumpai di air limbah dan efluen. Mungkin dapat dimusnahkan Salmonella paratyphi oleh pengolahan air limbah Demam tipus yang efisien. Air tercemar adalah sumber infeksi yang utama. Salmonella typhi Telur Keracunan makanan sangat Ditemukan di resisten. lumpur dan efluen air limbah. berbahay bagi ternak yang menggunakan Salmonella sp. Schistosomiasis irigasi air limbah. Menyebar lewat air limbah dan Schistosoma. sp air tercemar. Cara Disentri baksil penyebaran diketahui secara Ditemukan di efluen belum pasti. dari instalasi pengolahan air limbah Shigella sp. yang Tapeworms menggunakan proses biologis. Taenia sp. Kolera Vibrio cholerae Poliomyelitis, hepatitis Virus Sumber: Metcalf & Eddy, Inc, 1993 2.2 Standar Air Limbah Pengendalian pencemaran air menggunakan teknik-teknik pengendalian pencemaran yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas air dan melindungi lingkungan berikut ekosistem akuatik. Dalam upaya pengendalian pencemaran air, kualitas air yang harus dipertahankan tergantung pada rencana penggunaan air tersebut. Untuk menilai keefektifan dari metode pengendalian pencemaran air yang digunakan maka diperlukan suatu standar yang mengatur kualitas air menurut masing-masing penggunaan air (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Salah satu standar kualitas air yang digunakan adalah Stream Standards atau Receiving-Water Standards. Receiving-Water Standards adalah standar yang menggambarkan kualitas badan air pada saat air buangan dimasukkan pada badan air tersebut. Receiving-Water Standards disusun berdasarkan atas pedoman bahwa ketika suatu kriteria yang diperlukan guna melindungi air menurut fungsi masingmasing telah berhasil disusun maka dapat disusun suatu standar yang mengatur dan menjaga kondisi di mana tidak ada masukan air buangan yang dapat mengubah sifat-sifat badan air penerima dan merusak kriteria yang telah disusun di atas (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Dengan kata lain, Receiving-Water Standards merupakan ambang batas yang ditentukan sebagai syarat kualitas akhir badan air penerima, dengan memperhatikan kemampuan sungai untuk menerima air buangan, pengenceran dan self purification. Keunggulan standar ini adalah standar ini memperhatikan kemampuan badan air untuk menerima dan menetralisir sendiri pengaruh-pengaruh destruktif dari air buangan. Namun, standar ini menjadi tidak efektif jika beban buangan merupakan air buangan yang berasal dari lebih dari satu pencemar dan melebihi daya self purification badan air karena akan sulit untuk menilai dengan tepat siapa pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, pencemar yang berlokasi di hulu badan air memperoleh semacam keuntungan yakni dapat membuang air limbah ke badan air yang relatif belum tercemar, sementara pihak yang berlokasi lebih ke hilir membuang air limbah ke badan air yang sudah terlebih dahulu dicemari oleh pihak yang berada di hulu, sehingga keadaannya menjadi tidak adil dan penentuan siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pencemaran menjadi lebih rumit lagi (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Kesulitan-kesulitan yang ditemui selama penggunaan Receiving-Water Standards mendorong disusunnya standar kualitas air yang lain, yang disebut Effluent Standards. Berbeda dengan Receiving-Water Standards, Effluent Standards adalah suatu baku mutu karakteristik air buangan yang boleh dibuang ke badan air penerima tanpa memperhatikan kondisi badan air penerima. Standar ini dianggap lebih baik karena Effluent Standards biasanya lebih ketat daripada Receiving-Water Standards dan Effluent Standards memperlakukan semua pihak dengan adil. Setiap pihak hanya diperbolehkan membuang air limbah dengan karakteristik tertentu tanpa memperhatikan kondisi badan air penerima (Metcalf & Eddy, Inc, 1993). Namun, standar ini pun memiliki kelemahan, yakni bila badan air penerima suatu ketika kekurangan air, karena Effluent Standards tidak memperhatikan kondisi dan kemampuan self purification badan air penerima, maka badan air tersebut kebanyakan akan diisi oleh air limbah sehingga sulit bagi badan air penerima tersebut untuk memulihkan dirinya sendiri. Sehingga, dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masingmasing standar, ada beberapa pertimbangan yang perlu diambil dalam pemilihan dan penerapan standar kualitas air. Pertama, standar yang digunakan mengacu kepada rencana penggunaan air pada suatu badan air penerima. Air yang berbeda penggunaanya dapat memiliki standar kualitas yang berbeda. Kedua, bila ada kemungkinan terjadi penyusunan debit air yang drastis pada badan air, maka akan lebih tepat jika digunakan Receiving-Water Standards. Ketiga, bila yang lebih diperhatikan adalah jumlah pencemar yang lebih dari satu dan beban buangannya relatif besar sehingga dapat melebihi daya pulih badan air penerima, maka lebih tepat jika digunakan Effluent Standards. Sementara itu, apapun standar yang digunakan, Metcalf & Eddy, Inc (1993) menambahkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama minyak, lemak, dan padatan terapung berikut padatan yang dapat menimbulkan lumpur harus disisihkan terlebih dahulu sebelum air limbah dibuang ke badan air penerima. Kedua, karena limbah cenderung mengurangi kadar oksigen terlarut, standar yang digunakan harus dapat menjamin tingkat oksigen terlarut berada pada level tertentu. Hal ini tergantung dari pemanfaatan badan air penerima. Misal pada badan air penerima sebagai habitat organisme akuatik, kadar oksigen terlarut yang tersedia harus mampu menyokong aktivitas kehidupan. Sementara untuk badan air yang digunakan sebagai drainase, di mana organisme akuatik tidak dianggap penting, tingkat oksigen terlarut harus dijaga agar tidak mencapai nol agar tidak muncul bau yang tidak sedap. Ketiga, bakteri yang terdapat dalam badan air penerima harus dijaga agar tidak sampai menimbulkan wabah penyakit. Hal ini berlaku pula untuk organisme-organisme patogen lainnya. Dan keempat, yang perlu diperhatikan adalah adanya kemungkinan terjadinya pengenceran. Zat pencemar konservatif dapat berkurang konsentrasinya karena pengenceran, hal ini tentu saja berpengaruh pada penilaian tingkat pencemaran berdasar pada standar yang digunakan. 2.2.1 Standar Baku Mutu Air Buangan Dalam Hal ini Standar yang digunakan yaitu mengacu kepada Keputusan Mentri Lingkungan Hidup N0 112 Tahun 2003 dengan nilai baku mutu air buangan sebagai berikut : Sumber : KepMenlh No 112 tahun 2003 2.3 ON SITE TREATMENT On site treatment adalah suatu sistem pengolahan air limbah yang berada di dalam persil (batas tanah) atau dengan kata lain pada titik dimana limbah tersebut timbul. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam penggunaan on site treatment, sebagai berikut : A. Keuntungan a. Biaya pembuatan murah b. Biasanya dibuat secara pribadi. c. Teknologi serta pembangunannya relatif sederhana d. Operasi dan pemeliharaannya mudah. B. Kerugian a. Tidak cocok bagi daerah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi b. Tidak cocok bila digunakan pada daerah dengan muka air tanah yang tinggi dan daya resap tanah rendah. c. Bila kebutuhan air sehari-harinya tergantung dari air sumur, maka kemungkinan air sumur tersebut tercemar oleh tinja. 2.3.1 Perencanaan Sistem On Site Sebuah jamban/kakus terdiri dari dua bagian yaitu bangunan atas (ruang jamban) dan bangunan bawah. Baik bangunan atas maupun bangunan bawah dirancang berdasarkan hasil survei dan investigasi yang telah dilaksanakan sebelumnya. Masing - masing mempunyai kriteria - kriteria yang harus dipenuhi didalam perencanaannya. 1. Perencanaan Bangunan Atas (Ruang Jamban) Di samping harus memenuhi persyaratan teknis, penentuan lokasi ruang jamban harus memperhatikan kepentingan para pemakainya. Untuk itu, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih lokasi dan merencanakan ruang jamban, yaitu : a. Air mudah diperoleh b. Ruang mudah dicapai c. Bersifat pribadi (tidak mudah terlihat dari luar) d. Tidak menghalangi kemungkinan dari luar e. Lantai jamban lebih tinggi dari halaman sekitarnya f. Lantai jamban lebih tinggi dari cubluk/tangki septik dengan panjang pipa penyalur minimum 1,5 m untuk menghemat pipa dan mengurangi g. h. i. j. penyumbatan Terhindar dari air hujan Jarak tangki septik/cubluk dan pondasi minimal 50% dari kedalamannya Ventilasi memadai, minimal di salah satu dinding ada lubang ventilasi Cahaya matahari cukup, dapat menembus ruang jamban 2. Perencanaan Bangunan Bawah Bangunan bawah dapat berupa tangki septik dan dapat juga berupa cubluk. Untuk memutuskan apakah tangki septik atau cubluk yang akan dibuat, selain dari pada kesimpulan hasil survei beberapa pengujian perlu dilakukan. Untuk dapat menentukan jenis bangunan bawah (tangki septik atau cubluk) yang akan di buat, ada beberapa langkah penelitian yang harus dilakukan sebagai berikut : a. Langkah I : Penyediaan Air Untuk kepentingan pembersihan dan penyiraman, sistem jamban “guyur hanyut” sederhana dibutuhkan air bersih minimal 10 l/hari. Sumber air (PAM, Sumur dll) harus mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah cukup. Jika tidak, maka perlu di lakukan perbaikan penyediaan air bersih. b. Langkah II : Pengujian Tanah Sistem sanitasi on site sangat tergantung pada kapasitas daya resap dan penyaringan tanah alami, yang bervariasi tergantung jenis tanahnya. Test pengujian tanah harus dilakukan di lokasi rencana penempatan tangki septik/cubluk dan bidang resapan berdasarkan metode yang diperkenalkan oleh Henry Ryon. c. Langkah III : Ketinggian Muka Air Tanah Ketinggian muka air tanah di lokasi rencana pembuatan fasilitas tangki septik/cubluk harus diketahui untuk menghindari kemungkinan terjadinya pencemaran air tanah oleh efluen dari tangki septik atau cubluk. Jika permukaan air tanah > 3m di bawah tanah, pemasangan fasilitas on site tidak akan menimbulkan masalah. Sedangkan jika ketinggian muka air tanah < 3m, perlu di lakukan pengukuran cermat untuk menentukan model fasilitas yang tepat. d. Langkah IV : Jarak Dengan Sumur Dangkal Kemungkinan pencemaran sumur oleh effluent dari tangki septik/cubluk dipengaruhi oleh : 1) Jarak horizontal antara dasar lubang cubluk/bak bawah tanah dari sumur dangkal 2) Jarak vertikal antara dasar lubang cubluk dengan tinggi muka air tanah (kedalaman zone). Beberapa contoh system on site treatment, a. Cubluk Cubluk adalah suatu lubang yang digunakan untuk menampung tinja manusia dari jamban, berfungsi sebagai tempat pengendapan tinja dan juga sebagai media peresapan dari cairan yang masuk. Tergantung pada kesediaan lahan, cubluk dapat dibangun tunggal atau dua buah (cubluk kembar). Bila satu cubluk telah penuh maka harus ditutup dan dibiarkan paling sedikit satu tahun agar terbentuk kompos sebelum dapat dikosongkan kembali. Dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Pada cubluk kembar, ketika satu cubluk ditutup maka cubluk yang lainnya dapat dipergunakan. Biaya pembangunan cubluk lebih murah dari pada tangki septik, tetapi tidak cocok untuk daerah perumahan yang sempit dan padat penduduk. b. Tangki septik Tangki septik merupakan sarana pembuangan air limbah yang sangat umum digunakan terutama di perkotaan Indonesia. Prinsip utamanya adalah mengendapkan bahan padatan yang dikandung air limbah dan diuraikan secara anaerobic (tanpa oksigen) di dalam tangki, sedangkan bagian cairnya dialirkan ke bidang peresapan. Menurut (Salvato,1992), tangki spetik adalah suatu tangki yang dirancang untuk mengalirkan air limbah dan tinja secara perlahan sehingga padatan-padatan terpisah dan turun mengendap ke dasar tangki dimana endapan lumpur ini akan diuraikan oleh bakteri anaerobik. Bentuk dan ukuran tangki septic telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia 03-2398-2002. Dalam tata cara perencanaan tangki septik yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1989. Kriteria perencanaan tangki septik 1. Perbandingan panjang dan lebar tangki (2:1) s/d (3:1) 2. Lebar minimum 0,75 m 3. Panjang minimum 1,50 m 4. Tinggi ruang bebas (0,2 – 0,4) m 5. Tinggi air dalam tangki adalah minimum 1m, dan kedalman maksimum 2,1 m 6. Waktu tinggal (1-3) hari 7. Lumpur yang diendapkan (30-40) lt/org/tahun atau (0,03-0,04) m3/org/tahun 8. Waktu pengurasan lumpur, (2-3) tahun Apabila tinggi muka air tanah < 0,5 m, maka jamban dapat dibangun dengan system tangki septik yang ditinggikan 0,5 m dari muka tanah asal. Perencanaan Volume Dalam merencanakan ruang dan dimensi tangki septic, maka perhitungannya adalah berdasarkan perkiraan volume yang diperlukan Volume efektif tangki septic Vef = Va + Vl Keterangan : Vef = volume tangki septic, m3 Va = volume air dalam tangki septic, m3 Vl = volume lumpur yang diendapkan, m3 Volume air dalam tangki septic Va = Q x Orang x td Keterangan: Q = kuantitas/debit air limbah, lt/org/hari O = jumlah orang yang dilayani, org Td = waktu tinggal, hari Volume lumpur Akibat proses pengendapan yang terjadi, maka lumpur akan terakumulasi setiap hari, dan endapan lumpur tersebut harus dikuras secara berkala. VL = RL x N x Orang Keterangan: VL = volume lumpur RL = rate/laju akumulasi lumpur = 0,03 – 0,04 m3/org/tahun N = frekuensi pengurasan 2-3 tahun O = jumlah orang yang dilayani, org Total volume tangki septik Volume tangki septic = vol. air limbah + vol. lumpur + ruang bebas air Dimensi tangki septik Apabila berbagai volume di atas telah dapat diperkirakan, maka dimensi ruang dari tangki septik dapat dihitung. Contoh Perhitungan : Soal 1 Jumlah pemakai adalah 5 orang ( 1 kk = 5 Orang ). Hanya air limbah toilet yang disalurkan ke dalam tangki septik dan dengan rata - rata kebutuhan air untuk penggelontor = 30 l/orang/hari. Periode pengurasan adalah 2 tahun sekali. Hitung volume dan dimensi tangki septik Jawaban : 1. Debit air limbah rata - rata : = 0,15 m3/hari 2. Waktu detensi : td = 2,5 – 0,3 log ( O.Q ) = 2,5 – 0,3 log ( 5 x 30 ) = 1.8 hari = 2 hari ( Pembulatan ) 3. Volume air limbah Va = Q x td = 0,15 (m3/hari) x 2 hari = 0,3 m3 Volume lumpur Vl = 0,03 (m3/org/thn) x 2 thn x 5 org = 0,3 m3 Volume efektif tangki septik Vef = 0,3 m3 + 0,3 m3 = 0.6 m3 Dimensi 4. 5. 6. 7. P = panjang L = lebar Tair = tinggi air Standar teknis perencanaan : Panjang : Lebar tangki septic P : L = ( 2 : 1 ) atau ( 3:1 ) Tinggi air atau Tair = minimal 1 meter dan maksimal 2,1 meter Bila digunakan : P = 2 L dan Tair = 1,2 meter Maka : 2L2 = 0,5 m2 2 L = 0,25 m2 Sehingga diperoleh : Lebar tangki septic L = 0,5 m Panjang tangki septic P = 2 x 0,5 = 1m Tinggi tangki septic T = Tair + 0,3 m ( tinggi ruang bebas air ) = 1,5 m Untuk nilai time detention itu di sesuaikan dengan asal muasal air yang masuk kedalam Tangki Septick , adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini : Untuk tangki septik hanya menampung limbah WC (terpisah) Th = 2,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,5 Untuk tangki septik yang menampung limbah WC + dapur + kamar mandi (tercampur) Th = 1,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,2 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah domestik disebutkan bahwa Air Limbah Domestik adalah air limbah yang berasal dari kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. 2. Karakteristik Air Buangan terdiri dari Fisika Biologi Kimia 3. Total volume tangki septik Volume tangki septic = vol. air limbah + vol. lumpur + ruang bebas air DAFTAR PUSTAKA Darmasetiawan, Ir Martin Msi. 2004. Sarana Sanitasi Perkotaan. Ekamitra Engineering Metcalf & eddy. 1993. Wastewater Engineering Treatment, Disposal And Reuse, Third Edition. McGraw-Hill SNI : 03-2398-2002 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan SNI : 03-2399-2002 - Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum Kepetusan Menteri Negara Lingkungan Hidup N0 112 Tahun 2003 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.