cens (Tabel 1). Sebagai pakan ternak, CM mengandung protein cukup tinggi pada batang dan daun. Buahnya cukup baik untuk makanan ternak sehingga permintaan biji CM cukup besar. Calopogonium mucunoides, sumber bahan organik dan pupuk hijau serta bijinya untuk pakan ternak. Tabel 1. Kandungan hara dalam daun beberapa jenis legum (%). Jenis legum CC CP CM N P K Ca Mg 4,43 5,12 3,47 0,29 0,29 0,18 1,57 1,57 1,79 0,90 0,63 0,73 0,23 0,22 0,22 CC: Calopogonium caereuleum, CM: Calopogonium mucunoides, CP: Centrosema pubescens. yang tumbuh pada setiap ruas akan meningkatkan kemampuan akar dalam memegang tanah sehingga tanah terhindar dari penghanyutan oleh aliran permukaan, juga menambah bahan organik tanah. Selama ini, CM banyak digunakan sebagai tanaman penyubur tanah pada lahan perkebunan kelapa sawit, karet, maupun lahan bekas tanaman ubi kayu. Pemberian pupuk hijau tanaman legum (Calopogonium sp.) pada tanah Haplortox Sitiung, Sumatera Barat, meningkatkan bobot gabah kering dan jerami kering tanaman padi. Hasil analisis kandungan hara menunjukkan, kandungan hara K pada CM lebih besar dibandingkan pada C. caereuleum dan C. pubes- Penyakit Bercak Daun pada Leatherleaf Leatherleaf adalah tanaman hias daun yang memiliki nilai ekonomi yang baik dan cocok dikembangkan di Indonesia. Penyakit bercak daun menjadi salah satu pembatas dalam budi daya leatherleaf. Dengan mengenal gejala dan penyebab penyakit, pengendalian dapat dilakukan lebih cepat dan tepat sasaran sehingga dapat menekan kerugian. L eatherleaf Fern dengan nama latin Rumohra adiantiformis (Forst.) Ching adalah tanaman hias daun yang berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan Selatan. Tanaman ini termasuk jenis pakupakuan, merupakan tanaman hias daun yang indah dan serba guna. Dapat ditanam sebagai daun potong ataupun sebagai bunga pot. Daunnya tebal, berbentuk segi tiga de- 1 0 ngan warna hijau tua, mengilap, dan memiliki kesegaran dalam vas yang panjang (7-14 hari). Leatherleaf menjadi tanaman daun yang paling banyak digunakan industri floris di Amerika dengan nilai penjualan rata-rata $60 juta per tahun. Kegunaannya antara lain adalah sebagai pengisi rangkaian bunga, pelengkap dekorasi pada pesta perkawinan atau acara formal Penyebaran CM tumbuh baik pada tanah bertekstur ringan sampai berat. Tanaman ini dapat hidup pada ketinggian 0-2.000 m di atas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan 1.200-2.500 mm/tahun, namun tidak tahan terhadap genangan air yang tinggi. Tanaman tumbuh baik pada lahan yang tidak ternaungi. CM dapat diperbanyak dengan biji dengan takaran 8-10 kg/ha atau dengan setek batang (I. Purwanto) . Informasi lebih lanjut hubungi: Balai Penelitian Tanah Jalan Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123 Telepon : (0251) 8 3 3 6 7 5 7 Faksimile : (0251) 8 3 2 1 6 0 8 E-mail : [email protected] [email protected] lainnya. Leatherleaf dikenal dengan nama lain yaitu iron fern, baker fern atau seven weeks fern. Budi Daya Menurut standar operasional prosedur (SOP) budi daya leatherleaf yang dikeluarkan oleh Direktorat Budidaya Tanaman Hias, leatherleaf dapat dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian 8501.200 di atas permukaan laut. Suhu optimum 19-27°C dengan kelembapan relatif 80-90%, naungan 6070%, dan keasaman tanah 5,56,0. Media tanam berupa campuran peat moss dan pasir dengan drainase yang baik. Kebutuhan air 5080 m 3 /ha/hari. Bibit yang digunakan sebagai bahan tanaman adalah rhizoma Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berasal dari hasil pemecahan rumpun indukan yang berumur 1-2 tahun, sehat, dan produktif. Tanaman induk idealnya memiliki pecahan rumpun dengan panjang 12,5 cm. Rhizoma terlebih dahulu ditanam dalam polibeg sebelum dipindah ke tanah. Tanaman akan mulai berproduksi setelah 12 bulan. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang, urea, ZA, SP36, CaNO 3 , MgSO 4 , dan KCl dengan perbandingan 2:1:2 (N:P:K). Dosis yang diberikan 200 kg/ha. Urea dan KNO3/KCl diberikan 2 minggu sekali. Bercak daun yang disebabkan oleh Cylindrocladium sp. baru-baru ini menyerang pertanaman leatherleaf di daerah Sukabumi dan Magelang. Daun yang terserang penyakit biasanya tidak dapat dipasarkan. Cylindrocladium memiliki beberapa spesies (jenis), antara lain C. pteridis, C. rumohrae, C. theae, dan C. heptaseptatum. Dua spesies terakhir sering ditemukan menyerang leatherleaf. Namun, C. pteridis juga dapat menyerang leatherleaf dan menginfeksi beberapa spesies tanaman hias lainnya. Gejala Serangan Permintaan Leatherleaf Leatherleaf merupakan salah satu tanaman hias unggulan Indonesia. Tanaman hias ini terutama diekspor ke Jepang dengan kebutuhan 150 juta tangkai per tahun. Indonesia memasok leatherleaf ke Jepang satu juta tangkai pada tahun 2007. Target ekspor tahun 2010 adalah tiga juta tangkai dengan luas lahan sekitar 9 ha. Leatherleaf biasa dijual per ikat, setiap ikat terdiri atas 10 daun potong. Daun dipisahkan menurut panjang tangkai dan dikelompokkan menjadi empat, yaitu ukuran S, panjang tangkai <50 cm; M 5055 cm; L 55- 60; dan XL > 60 cm. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor, daun harus seragam ukuran, warna, bentuk maupun tingkat kematangannya dengan panjang 40-65 cm. Daun harus bebas dari hama dan penyakit serta lapisan spora dan benda asing lainnya. Gejala serangan Cylindrocladium sp. ditandai dengan bercak kuning pada daun. Gejalanya mirip dengan gejala kekurangan unsur hara. Bercak kian lama kian bertambah banyak dan membesar, hingga akhirnya memenuhi permukaan daun. Seiring dengan berjalannya waktu, warna kuning pada daun berubah menjadi coklat kemerahan hingga coklat gelap. Akhirnya daun layu kemudian mengering dan mati. Selain menyerang daun, Cylindrocladium juga menginfeksi batang dan rhizoma. Bagian dalam batang tanaman yang terinfeksi berwarna coklat. Gejala infeksi pada rhizoma agak sulit dikenali, tetapi umumnya akar warnanya lebih gelap daripada akar yang sehat, dan jika ditarik, tanaman mudah terpisah dari rumpunnya. Gejala penyakit yang tampak pada daun bisa berbeda pada jenis leatherleaf atau daerah yang berbeda. Leatherleaf yang terserang Cylindrocladium sp. di daerah Sukabumi menunjukkan gejala yang agak berbeda dengan yang di Magelang. Permukaan daun tampak dipenuhi bercak coklat tua dan gejala penyakit muncul ketika tanaman telah dipanen dan berada di tempat penyimpanan. Penyebaran Konidia Cylindrocladium berukuran sangat kecil dan diproduksi dalam jumlah besar pada permukaan daun dan batang yang terserang patogen. Percikan air hujan atau air siraman, serangga, siput, dan manusia dapat menyebarkan konidia patogen ke seluruh areal tanaman. Penyebaran penyakit yang utama biasanya terjadi pada saat pemindahan tanaman sakit dari satu lokasi ke lokasi lain. Cylindrocladium dapat bertahan pada rhizoma dan jaringan mati. Pada saat lingkungan tidak memungkinkan untuk hidup, patogen mempertahankan dirinya dengan membentuk sklerotia, yaitu kumpulan hifa dengan dinding sel yang tebal berbentuk bulatan kecil. Biasanya sklerotia berwarna coklat muda dan mudah dikenali karena dapat dilihat dengan mata telanjang. Ketika kondisi lingkungan mendukung kebutuhan hidupnya, sklerotia akan berkecambah dan kembali memulai siklus hidupnya. Oleh karena itu, Cylindrocladium dapat bertahan di dalam tanah tanpa tanaman inang dalam waktu yang lama. Penyakit pada Leatherleaf Penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen menjadi salah satu kendala budi daya leatherleaf. Penyakit yang menyerang leatherleaf antara lain adalah antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp., busuk daun oleh Rhizoctonia sp., busuk akar oleh Pythium sp., bercak daun oleh Cercospora sp., CalonectriaTheae, dan Cylindrocladium sp. Volume 32 Nomor 4, 2010 Leatherleaf terserang Cylindrocladium sp. di daerah Sukabumi (kiri) dan Magelang (kanan). 11 Pengendalian Kelembapan yang tinggi di daerah topis sangat baik bagi pertumbuhan tanaman paku-pakuan, tetapi kondisi seperti itu ditambah dengan cahaya yang sedikit akan menghasilkan tanaman yang lemah dengan daun yang tebal. Daun yang demikian sangat mudah terinfeksi patogen dan penyakit akan berkembang dengan cepat. Pengendalian penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cylindrocladium dapat dilakukan dengan cara kultur teknis, aplikasi fungisida kimia dan hayati. Pengendalian secara kultur teknis meliputi pengaturan jarak tanam, sanitasi, serta waktu dan cara penyiraman. Kelembapan sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Penanaman dengan jarak tanam yang agak jarang dapat mengurangi kelembapan dan menurunkan intensitas penyakit. Sanitasi seperti membuang dan membakar daun sakit, daun tua, daun yang jatuh, rhizoma dan akar yang terserang penyakit, serta rumput atau tanaman lain di sekeliling kebun sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit. Lakukan penyiraman pada pagi hari agar daun telah kering pada malam hari. Siram tanaman pada media tanam, sedapat mungkin hindari membasahi daun. Pengendalian lain dapat dilakukan dengan aplikasi fungisida biologi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan, penambahan cendawan antagonis (cendawan yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen) seperti Gliocladium sp. dan Trichoderma sp. ke dalam tanah akan membantu mengurangi jumlah patogen di dalam tanah dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit. Kedua cendawan antagonis tersebut juga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Hias menunjukkan bahwa pemberian kompos yang mengandung Gliocladium (Gliocompost) meningkatkan kua- litas dan kuantitas bunga pada tanaman hias. Bunga menjadi lebih banyak dengan warna daun lebih gelap dan berkilat. Fungisida kimia yang bersifat kontak dengan bahan aktif mankozeb dapat mengendalikan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cylindrocladium. Namun, sebaiknya penggunaan fungisida kimia menjadi pilihan terakhir. Jika terpaksa digunakan, hendaknya dipilih fungisida yang tepat dengan dosis dan waktu yang sesuai dengan anjuran yang terdapat pada label (Evi Silvia Yusuf) . Informasi lebih lanjut hubungi: Balai Penelitian Tanaman Hias Jalan Raya Ciherang Kotak Pos 6 SDL Segunung, Pacet Cianjur 43253 Telepon : (0263) 512607 Faksimile : (0263) 514138 E-mail : [email protected] [email protected] “Sagu Kasbi” Pangan Nonberas dari Ternate Sagu kasbi bukanlah sagu seperti yang kita kenal, tetapi sejenis penganan yang terbuat dari ubi kayu. Masyarakat Maluku Utara, terutama Ternate, mengonsumsi sagu kasbi sebagai pangan pokok bersama sayur dan lauk pauk. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara telah mengembangkan sagu kasbi aneka rasa. S udah sejak lama kita mengenal Maluku sebagai salah satu pusat sagu di Indonesia. Masyarakat di wilayah ini menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Namun “sagu kasbi” yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah sagu seperti yang kita kenal, tetapi sejenis penganan yang terbuat dari ubi kayu. Makanan ini banyak dijumpai di Maluku Utara, tepatnya di Ternate. Masyarakat Ternate umumnya mengolah sagu kasbi secara sederhana. Produk yang dihasilkan tanpa rasa (tawar), teksturnya keras, warna putih kekuningan, bentuk persegi panjang dan ukurannya besar. 1 2 Proses Membuat Sagu Kasbi Secara tradisional, masyarakat membuat sagu kasbi dari ubi kayu varietas lokal Tidore. Ubi dipanen pada umur 1-1,5 tahun untuk memperoleh kandungan serat kasar yang tinggi. Ubi segar dibersihkan dari tanah dan kotoran lalu dikupas. Cara mengupas ubi kayu yang benar yaitu bagian kulit dikupas dan lendir yang menempel pada ubi dihilangkan untuk mengurangi kadar asam sianida (HCN). Ubi kayu yang telah dikupas lalu dicuci dengan air mengalir kemudian direndam untuk menghindari proses pencoklatan. Selanjutnya, ubi kayu diparut menggunakan mesin pemarut lalu parutan ubi dipres untuk memisahkan serat dan pati. Setelah dipastikan kering, ampas/serat lalu digiling dengan menggunakan mesin penepung beras. Tepung yang dihasilkan dinamakan tepung sagu kasbi. Tepung lalu diayak dan butiran yang masih kasar digiling kembali dengan menggunakan lesung untuk menghasilkan tepung yang lebih halus (kehalusan 80 mesh), seragam, dan bersih. Setelah tepung sagu kasbi siap, proses berikutnya adalah pemanasan/cetakan sagu kasbi, yang dalam bahasa lokal disebut forna, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian