s_sej_053944_BAB V

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Hidup dan berkembang di tengah-tengah masuknya arus filsafat Yunani ke
dalam agama Islam tidak membuat Imam Ahmad meninggalkan al Qur’an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum. Sikapnya menghadapi mihnah (inkuisi) akibat
tekanan Kekhalifahan Abbasiyyah selama 15 tahun menjadikan Imam Ahmad
semakin dikenal sebagai tokoh yang gigih menolak doktrin al Qur’an adalah makhluk.
Doktrin tersebut menjadi doktrin resmi kekhalifahan ketika itu. Imam Ahmad belajar
al Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah Baghdad, Imam Ahmad mengunjungi para ulama terkenal di berbagai
tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa
gurunya antara lain Abu Yusuf (Murid Imam Hanafi), Imam Syafi’i dan Imam
Abdurrazak bin Hamam as-San'any. Dari merekalah Imam Ahmad mendalami ilmu
fikih, hadits, tafsir, dan bahasa (lughoh). Karena kecerdasan dan ketekunannya, Imam
Ahmad dapat menyerap semua pelajaran dengan baik. Kepakaran Imam Ahmad
dalam Ilmu Hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh
ulama berguru kepadanya. Imam Ahmad hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala,
hal ini semakin mengokohkannya dalam meguasai permasalahan yang terjadi
khususnya dalam hal sumber hukum.
Sumber hukum agama Islam menurut Imam Ahmad adalah al Qur’an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Adapun dalam kedudukannya Imam Ahmad memposisikan al Qur’an
dan as Sunnah dalam satu tingkatan yang sama dan biasa disebut sebagai an nusyus.
Nash (al Qur'an dan as Sunnah) selalu dikedepankan Imam Ahmad dalam
mengeluarkan berbagai fatwa. Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa
- 101 -
dengan al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya Dalam hal al
Qur’an, Imam Ahmad menempatkannya sebagai kalam Allah dan menentang dengan
keras orang yang berkata al Qur’an adalah makhluk. Dengan ucapannya tersebut
maka ia telah keluar dari Islam (kafir). Adapun bagi mereka yang menganggap bahwa
al Qur’an bukan makhluk atau pun kalam Allah dan bersikap diam, maka Imam
Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah. Pendapat Imam Ahmad
lainnya adalah mengenai al Qur'an yang dapat di nasikhkan hukumnya hanya dengan
al Qur'an kembali". Pernyataan tersebut dalam istilah Ilmu ushul fiqh berkaitan
dengan kaidah nasikh dan mansukh. Adanya nasikh dan mansukh menunjukkan
perkembangan hukum syari'at Islam dapat berubah dengan ketentuan-ketentuan
tertentu.
Adapun dalam hal as Sunnah maka Imam Ahmad mendefinisikannya sebagai
Islam secara menyeluruh mencakup hal ibadah, muamalah hingga keyakinan
(aqidah). Imam Ahmad melarang dengan keras berbagai bentuk perdebatan yang
dilakukan dalam rangka membahas as Sunnah. Perbuatan seperti ini sesuai dengan
jiwa jaman ketika itu yang mayoritas kaum muslimin mulai terpengaruhi oleh pahampaham filsafat Yunani. Pemikiran filsatat yang berkembang ketika itu membuat
ideologi Islam khususnya dalam hal keyakinan (aqidah) diperdebatkan akan
kebenarannya. Dalam hal as Sunnah lainnya, Imam Ahmad menggunakan hadits
mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya) dan hadits
dha’if (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Kedua hadits
tersebut digunakan hanya sebagai fada’il amal saja bukan dalam perkara-perkara
lainnya. Kedua hadits tersebut digunakan jika tidak bertentangan dengan Nash (alQur'an dan Sunnah). Imam Ahmad memposisikan as Sunnah sebagai penjelas dari
berbagai hukum yang tertera dalam al Qur'an. Hal ini berdasarkan keterangan yang
- 102 -
terdapat dalam ayat al Qur'an itu sendiri. Bahkan Imam Ahmad berpendapat bahwa as
Sunnah merupakan tafsir dari al Qur'an. Sama halnya dengan al Qur'an maka dalam
as-Sunnah pun terjadi nasikh dan mansukh.
Adapun dalam hal ijma’, Imam Ahmad mengingkari adanya ijma’ setelah
masa para Sahabat. Menurut Imam Ahmad ijma’ tidak dapat dilakukan setelah masa
para sahabat karena para ulama kaum Muslimin telah menyebar ke berbagai penjuru
dunia dan kalau pun ada upaya untuk mengumpulkan mereka maka hal tersebut
merupakan perkara yang tidak mudah untuk dilakukan. Pernyataan mengenai adanya
ijma' dalam suatu wilayah belum dapat dikatakan sebagai ijma'. Hal ini karena bisa
jadi terdapat ulama di wilayah lainnya yang tidak menyetujui ijma' tersebut.
Kedudukan ijma’ para sahabat inilah yang membedakan Imam Ahmad dengan para
Imam madzab lainnya dalam sumber hukum. Jika para sahabat berbeda pendapat,
Imam Ahmad akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan al Qur'an
dan Sunnah Nabi Shalalahu’alaihi wa Salam. Jika ternyata pendapat tersebut tidak
sesuai dengan al Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya,
tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Penggunaan qiyas atau analogi yang digunakan oleh Imam Ahmad dilakukan
bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas. Bahkan menurut
Imam Ahmad lebih baik menggunakan hadits dhaif daripada menggunakan metode
qiyas. Adapun qiyas yang dibolehkan hanyalah pada permasalahan-permasalahan fiqh
ataupun ushul fiqh saja. Dalam permasalahan keyakinan (aqidah) Imam Ahmad
melarang dengan keras dilakukannya qiyas. Hal ini sesuai dengan masa ketika
munculnya pemikiran-pemikiran yang menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat
kalam. Keyakinan ini menurut Imam Ahmad bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan
as Sunnah.
- 103 -
Download