II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam Pangasionodon hypopthalmus Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas budidaya yang memiliki rasa daging yang lezat dan gurih sehingga harga jualnya pun tinggi. Klasifikasi ikan patin siam adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophsy Subordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasionodon Spesies : Pangasionodon hypopthalmus Ikan patin siam memiliki tubuh yang memanjang dan berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Tubuh ikan patin siam dapat memiliki panjang hingga mencapai 120 cm, bentuk kepala yang relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah, pada kedua sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai alat peraba yang merupakan ciri khas ikan golongan catfish, serta memiliki sirip ekor berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin siam merupakan hewan nocturnal (melakukan aktivitas di malam hari) dan termasuk jenis ikan omnivora atau pemakan segala. Ikan patin siam termasuk salah satu ikan dasar yang dapat dilihat dari bentuk mulut yang agak ke bawah (Susanto dan Amri, 2008). 2.2 Salinitas dan Osmoregulasi Menurut Spotte (1970), salinitas merupakan ukuran total garam yang terkandung di dalam air laut. Secara sederhana didefinisikan sebagai jumlah total bahan padat dalam gram yang terdapat di dalam1 kg air laut ketika karbonat telah dikonversi menjadi oksida, bromida dan iodin digantikan oleh klorin, dan seluruh bahan organik teroksidasi sempurna. Boyd (1982) menyatakan bahwa salinitas digambarkan dalam miligram per liter (mg/liter), tetapi dalam akuakultur biasa digambarkan dalam satuan part per thousand (ppt atau o/oo). Tujuh ion utama yang 4 berkontribusi terhadap salinitas adalah sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, dan bikarbonat. Air biasanya hanya mengandung sedikit unsur phosphorus, inorganik nitrogen, besi, mangan, timah, tembaga, boron, dan unsur lain. Black (1957) menyatakan bahwa ikan air tawar selalu mengatur kebutuhan air yang diabsorbi secara osmosis karena konsentrasi larutan dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan lingkungannya. Hampir seluruh air diambil melalui insang yang semipermeabel dan jaringan mulut, meskipun ada beberapa yang melalui permukaan tubuh yang permeable. Telah diketahui bahwa konsentrasi osmotik darah pada ikan air tawar dipertahankan pada konsentrasi yang tinggi dibandingkan di dalam air, sejumlah garam akan hilang melalui permukaan jaringan secara difusi. Garam juga akan hilang dari dalam tubuh ke bentuk urin dan feses. Kehilangan garam dapat diminimalisir dengan cara melakukan penyerapan kembali melalui organ ginjal. Garam akan diganti dengan garam lain yang terkandung di dalam makanan atau dilakukan penyerapan secara aktif ion-ion garam dari dalam air lingkungannya melalui insang. Banyak peneliti yang telah mencoba untuk melakukan pengadaptasian ikan air tawar yang dipelihara dalam media bersalinitas yang konsentrasi garamnya ditingkatkan secara bertahap, misalnya pada ikan carp dan goldfish. Pada keadaan seperti itu, cairan tubuh ikan akan isoosmotik dengan air di lingkungan sekitarnya sehingga ikan dapat mempertahankan hidupnya (Kinne 1964). Kemampuan ikan stenohalin dalam mempertahankan diri di dalam larutan garam bergantung pada luas permukaan insang, tingkat konsumsi oksigen, toleransi jaringan terhadap garam, dan kontrol permeabilitas. Menurut hasil penelitian Hendaryani (2000) dalam Kadarini (2009) menunjukkan bahwa larva ikan patin jambal yang berumur 3 hari dapat tumbuh optimal pada media bersalinitas 4 ppt (perlakuan 0, 4, 8, dan 12 ppt). Selain itu, hasil penelitian Mahmudi (1991) juga menunjukkan bahwa larva ikan patin siam mampu beradaptasi pada salinitas hingga 7 ppt. Perry (1969) dalam Stickney (1979) menyatakan bahwa ikan channel catfish yang hidup normal dalam air tawar dapat hidup di dalam air laut dengan salinitas hingga mencapai 14 ‰ dan telah dilakukan pemeliharaan di dalam kolam dengan jenis air payau. 5 Stickney (1979) menjelaskan bahwa seekor ikan harus melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan lingkungan internalnya tetap stabil. Osmoregulasi berfungsi untuk mengatur dan mempertahankan keseimbangan konsentrasi cairan tubuh ikan setiap waktu dan merupakan fungsi fisiologis yang dapat menghasilkan sejumlah energi secara signifikan. Jika ikan eurihalin dapat mempertahankan salinitas dalam perairan budidaya sama dengan kekuatan ion di dalam darahnya, maka akan lebih banyak energi yang dimanfaatkan untuk pertumbuhannya dan akan sedikit melakukan osmoregulasi daripada jika konsentrasi garam di luar tubuh lebih tinggi atau lebih rendah daripada di dalam darah ikan tersebut. Osmoregulasi dilakukan dengan cara melakukan penyerapan ion secara selektif melalui insang dan pada beberapa kasus garam akan dikurangi secara aktif dengan cara yang sama melalui organ yang sama. Hedgpeth (1957) dalam Stickney (1979) menyatakan bahwa lingkungan akuatik diklasifikasikan berdasarkan besarnya kisaran salinitas yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan kisaran salinitas pada lingkungan akuatik* Klasifikasi Lingkungan Akuatik Freshwater Oligohaline Mesohaline Polyhaline Marine Kisaran Salinitas (‰) < 0,5 0,5 – 3,0 3,0 – 16,5 16,5– 30,0 >30,0 *Air yang memiliki kisaran salinitas yang normal (contohnya > 40 ‰) disebut air asin atau hypersaline. Mineral dibutuhkan oleh seluruh hewan untuk berbagai proses hidupnya, termasuk dalam pembentukan jaringan skeletal, respirasi, pencernaan, dan osmoregulasi. Hewan air laut hidup di dalam media yang terdiri dari banyak mineral pada konsentrasi yang dibutuhkannya atau lebih, sedangkan hewan air tawar hidup di dalam media yang lebih encer dan harus sering menerima mineral dalam makanannya. Menurut Podoliak dan Holden (1966) dalam Stickney (1979), osmoregulasi pada banyak ikan berkaitan dengan konsentrasi kalsium yang menyebabkan adanya permeabilitas membran. 6 2.3 Pertumbuhan Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertumbuhan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendi 1978). Hepher dan Pruginin (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : 1. Berkaitan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti karakteristik genetik dan keadaan fisiologi (kesehatan dan kematangan gonad). 2. Berkaitan dengan lingkungan tempat hidup ikan, seperti sifat kimia air, kimia tanah, suhu air, sisa metabolisme, ketersediaan oksigen, dan ketersediaan pakan. Faktor sifat kimia air, kimia tanah, dan suhu air tidak dipengaruhi oleh adanya ikan. Sedangkan faktor sisa metabolisme, ketersediaan oksigen, dan ketersediaan pakan dipengaruhi oleh adanya ikan. Konsentrasi dan akibat dari faktor-faktor tersebut terhadap ikan dipengaruhi oleh kepadatan ikan itu sendiri. Selama kepadatan ikan tersebut tidak menghambat pertumbuhan, ikan dapat mencapai pertumbuhan maksimumnya dalam keadaan tidak sesuai dengan semestinya (komposisi kimia dalam air, suhu, karakteristik genetik, dan keadaan fisiologisnya). Semakin besar ikan, maka kapasitas pertumbuhan standarnya akan semakin besar. Namun demikian, kapasitas tersebut dapat tercapai hanya pada saat pakan dan oksigen mencukupi, dan bahan metabolit tidak menghambat pertumbuhan. Semakin besar ikan, maka kebutuhan pakan akan semakin meningkat untuk meningkatkan pertumbuhan dan memelihara ketahanan tubuhnya. Hal ini juga berkaitan dengan konsumsi oksigen dan produksi metabolit. Apabila kebutuhan pakan tidak terpenuhi, ikan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan maksimum dan mempertahankan hidupnya. Karena ikan akan memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya terlebih dahulu yang diiringi dengan pertumbuhan bobot, maka tingkat pertumbuhan tidak mencapai maksimum, dan ketika ikan kekurangan pakan maka tingkat pertumbuhan akan berkurang. Kematian benih ikan juga banyak terjadi terutama pada masa awal pemeliharaan (Winberg 1956 dalam Hepher dan Pruginin 1981). 7 2.4 Kapur Kapur telah banyak digunakan untuk pengapuran oleh pembudidaya ikan di kolam. Pengapuran yang dilakukan menggunakan bahan-bahan yang sama dengan bahan-bahan yang digunakan untuk tanah pertanian. Kapur yang digunakan hanya mengandung kalsium atau kalsium dan magnesium dimana berkaitan dengan anionik yang dapat menetralkan keasaman. Bahan pengapuran yang sering digunakan untuk pertanian adalah CaCO3 (kalsit) atau CaMg(CO3)2 (dolomit). Jenis lain yang umum digunakan adalah Ca(OH)2 (kalsium hidroksida) dan CaO (kalsium oksida). Kemampuan untuk menetralkan artinya kemampuan kapur untuk menetralkan keasaman. Pada saat kapur diberikan dalam jumlah yang seimbang, semua jenis kapur dapat meningkatkan nilai alkalinitas total. Reaksi dengan keasaman dapat berlangsung dengan cepat jika menggunakan kapur CaO dan Ca(OH)2 dibandingkan dengan kapur CaCO3 (Boyd 1982). Pada saat digunakan, jumlah kapur CaO yang digunakan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kapur Ca(OH)2 dan CaCO3 sehingga untuk mendapatkan pengaruh yang sama, masing-masing perbandingan yang harus digunakan adalah 1:1½:2 (Hepher dan Pruginin 1981). Westers (2001) menyatakan bahwa air yang lebih lunak dari 10 mg/l kesadahan total umumnya membutuhkan kapur, dimana air yang lebih keras dari 20 mg/l kadang-kadang dapat dilakukan pengapuran. Konsentrasi kalsium (terkadang kalsium dan magnesium) akan meningkat seiring pengapuran yang dilakukan. Ikan membutuhkan ion klasium dan magnesium pada level tertentu di dalam air, atau ikan tersebut akan kehilangan ion-ion ini dari dalam tubuhnya. Westers (2001) menyatakan bahwa kalsium dapat tersedia dalam 3 jenis kapur, yaitu CaO sebesar 71 %, Ca(OH)2 sebesar 54 %, dan CaCO3 sebesar 40 %. 2.5 Kualitas Air 2.5.1 Amonia Amonia merupakan bahan buangan nitrogen utama yang berasal dari ekskresi sebagian besar ikan. Bahan buangan tersebut terdapat dalam bentuk terionisasi (amonium) dan bentuk tidak terionisasi (amonia). Konsentrasi total amonia umumnya menunjukkan adanya nitrogen dan disebut dengan total amonia 8 nitrogen (TAN) (Colt dan Tomasso 2001). Anras et al. (2001) juga menjelaskan bahwa total amonia nitrogen (TAN) merupakan jumlah dari fraksi tidak terionisasi (NH3-N) dan fraksi terionisasi (NH4+). Molekul NH3 yang non-polar dan dapat larut dalam lipid lebih dapat berdifusi melalui membran lipoprotein, seperti pada insang ikan, dibandingkan dengan NH4+. Hal inilah yang menyebabkan NH3 bersifat lebih toksik. Boyd (1982) juga menjelaskan bahwa amonia tidak terionisasi memiliki toksisitas yang tinggi, namun ion amonium bersifat tidak toksik. Colt dan Tomasso (2001) menyatakan bahwa di dalam lingkungan perairan, kesetimbangan antara amonia terionisasi dan amonia tidak terionisasi dipengaruhi oleh pH, suhu, dan salinitas yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini. + pH dan suhu meningkat, salinitas menurun NH4 (terionisasi) NH3 + H+ (tidak terionisasi) pH dan suhu menurun, salinitas meningkat Gambar 1. Pengaruh pH, suhu, dan salinitas dalam kesetimbangan antara amonia terionisasi (amonium) dan amonia tidak terionisasi. Nilai pH di dalam media memiliki pengaruh kuat dalam kesetimbangan, sedangkan suhu memiliki pengaruh yang tidak terlalu kuat. Hal ini juga dijelaskan oleh Boyd (1982) yang menyatakan bahwa ukuran TAN yang terdapat dalam bentuk amonia tidak terionisasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH dan suhu. Pengaruh pH terhadap konsentrasi amonia tidak terionisasi lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh suhu. Colt dan Armstrong (1979) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa pada saat amonia di dalam air meningkat, ekskresi amonia oleh ikan akan menurun dan amonia dalam darah dan jaringan tubuh ikan akan meningkat. Akibatnya adalah tingginya pH dalam darah dan dapat mempengaruhi reaksi katalis enzim dan stabilitas membran yang bersifat merugikan. Tingginya konsentrasi amonia tidak terionisasi di dalam perairan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion di dalam tubuh. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, insang yang rusak, dan mengurangi kemampuan darah dalam transportasi oksigen. 9 McNeely et al. (1979) dalam Effendi (2000) menyatakan bahwa kadar amonia dalam perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l. Kadar amonia bebas tidak terionisasi (NH3) dalam perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/l dan apabila kadar NH3 lebih dari 0,2 mg/l akan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty 1978 dalam Effendi 2000). Tomasso et al. (1980) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa toksisitas amonia pada catfish akan berkurang dengan tingginya konsentrasi kalsium. 2.5.2 Nitrit (NO2-) Nitrit dihasilkan oleh bakteri yang mengoksidasi amonia di dalam sistem akuatik. Konsentrasi total amonia (TAN) yang makin lama makin meningkat dapat menginduksi pertumbuhan bakteri Nitrosomonas sp. Makin banyak populasi Nitrosomonas sp. menyebabkan konsentrasi amonia turun dan konsentarsi nitrit naik. Hal ini disebabkan oleh proses nitrifikasi, yaitu proses perubahan amonium menjadi nitrit (Spotte 1979). Pada saat keadaan di bawah normal, nitrit kemudian dioksidasi oleh bakteri menjadi nitrat. Dalam sistem budidaya, konsentrasi nitrit mungkin akan meningkat apabila tingkat oksidasi amonia melebihi tingkat oksidasi nitrit. Seperti amonia, nitrit bergantung pada kesetimbangan pH dengan asam nitrit (HNO2). Asam nitrit dapat berdifusi melalui membran insang dan kemudian menjadi bentuk yang lebih toksik. Nitrit tidak bebas berdifusi melalui membran insang, akan tetapi dapat masuk melalui mekanisme pengangkutan ion klorida yang terjadi secara aktif dan alami di dalam tubuh ikan. Telah diketahui bahwa nitrit dan ion-ion klorida memiliki karakteristik yang cukup sama (keduanya merupakan anion monovalen dan memiliki ukuran sama), dimana mekanisme penyerapan ion-ion klorida tidak dapat diabaikan. Proses penyerapan secara aktif menyebabkan nitrit menjadi terkonsentrasi di dalam plasma dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang akan menambah toksisitas nitrit (Colt dan Tomasso 2001). Mekanisme toksisitas nitrit yang paling nyata adalah oksidasi hemoglobin menjadi methamoglobin. Ikan dengan level methamoglobin yang tinggi memiliki darah yang berwarna cokelat dan akan mengalami hipoksia fungsional karena methamoglobin tidak mampu mengikat dan mengangkut oksigen. Penambahan 10 ion klorida ke dalam perairan budidaya dapat menghambat masuknya nitrit ke dalam tubuh ikan secara kompetitif (Colt dan Tomasso 2001; Tucker dan Hargreaves 2004). Tomasso (1994) dalam Colt dan Tomasso (2001) menjelaskan bahwa pada beberapa ikan (misalnya salmonids dan hybrid striped bass), penambahan kalsium klorida ke dalam perairan lebih efektif dibandingkan dengan sodium klorida. Namun, channel catfish dapat merespon dengan baik kalsium klorida dan sodium klorida. 2.5.3 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang paling penting dalam kegiatan budidaya. Apabila level DO tidak mencukupi dan tidak dapat dipertahankan akan menyebabkan ikan stress, mudah terserang penyakit dan parasit, atau bahkan mengalami kematian. Pada saat kandungan oksigen semakin menurun hingga konsentrasi oksigen rendah, ikan akan kehilangan nafsu makan. Kemudian, pertumbuhan ikan dan efisiensi pakan akan menurun, serta pakan yang telah digunakan tidak akan maksimal. Berbeda dengan hewan berparu-paru dan beberapa hewan akuatik seperti ikan lele Clarias batrachus yang dapat hidup pada kondisi oksigen yang rendah, beberapa hewan akuatik lainnya lebih cepat mengalami kematian apabila level DO minimum. Banyak faktor yang mempengaruhi DO di perairan, termasuk aktivitas hewan itu sendiri meskipun tidak terlalu berpengaruh kuat. Apabila konsentrasi DO menurun hingga menyebabkan ikan stress atau membahayakan hidupnya, parameter kualitas air yang lainnya akan cenderung menjadi tidak berpengaruh hingga DO mencapai konsentrasi pada level yang aman (Stickney 1979). Oksigen yang terlarut di dalam air berasal dari difusi atmosfer dan proses fotosintesis, dan juga dengan menggunakan aerasi. Difusi dari atmosfer dapat terjadi ketika adanya turbulensi sehingga menyebabkan adanya kontak antara air dengan oksigen. Jumlah oksigen dalam air akan berkurang melalui respirasi yang dilakukan oleh organisme akuatik dan berlawanan dengan fotosintesis. Reaksi kimia inorganik dan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga dapat menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang (Stickney 1979). Menurut Wheaton (1977) dalam Stickney (1979), beberapa spesies dapat 11 hidup dengan baik pada konsentrasi kurang dari 5 mg/l dengan stres kecil atau tidak sama sekali, tetapi tidak semua organisme akuatik harus memerlukan konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi untuk hidup. Stickney (1979) menjelaskan bahwa apabila jumlah oksigen terlarut dalam air di bawah kondisi normal akan menyebabkan konsentrasi oksigen menjadi jenuh (saturasi). Konsentrasi DO yang jenuh tergantung pada suhu, salinitas, dan ketinggian dimana terjadinya saturasi akibat konsentrasi DO yang rendah sama dengan meningkatnya tiap parameter tersebut. Menurut Weiss (1970) dalam Stickney (1979), semakin meningkatnya suhu dan salinitas akan menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan. Brown (1987) juga menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1° C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 %. 2.5.4 Nilai pH Nilai pH merupakan jumlah ion hydrogen (H+) dalam air dan dinyatakan dalam skala 0 – 14. Air akan bersifat asam apabila nilai pH berada di antara 0 dan 7, pada pH 7 bersifat netral (tidak asam atau basa), dan bersifat basa pada nilai pH 7 – 14. Ikan akan tumbuh dengan baik pada kisaran pH 6,5 – 9,0 (Piper et al. 1982 dalam Colt dan Tomasso 2001) dan sensitif pada pH rendah atau bersifat asam. Peningkatan pH dapat disebabkan oleh adanya alga dalam perairan karena alga memanfaatkan ion bikarbonat sebagai sumber karbon. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi hidroksida yang menyebabkan pH meningkat, yaitu berkisar antara 9 – 10 (Effendi 2000). Mackereth et al. (1989) dalam Effendi (2000) menyatakan bahwa pH berkaitan erat dengan alkalinitas. Nilai alkalinitas pada pH < 5 dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas. Nilai pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, misalnya senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan dalam perairan yang memiliki pH rendah. Amonium tidak bersifat toksik (innocuous), namun pada suasana alkalis (pH tinggi) akan lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia tidak terionisasi tersebut lebih mudah masuk ke 12 dalam tubuh hewan akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut 1992 dalam Effendi 2000). 2.5.5 Alkalinitas Kapasitas dari sistem perairan alami adalah untuk mencegah perubahan nilai pH yang dapat diukur dari jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang terdapat di dalam sistem tersebut, yang disebut dengan ukuran alkalinitas. Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau disebut dengan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hydrogen dan penyusun alkalinitas adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-). Alkalinitas juga merupakan kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan (Effendi 2000) dan menurut Stickney (1979), alkalinitas dalam suatu perairan yang bernilai sangat rendah memiliki kapasitas yang kecil dalam menahan perubahan nilai pH. Ukuran total alkalinitas menggantikan konsentrasi total basa di dalam air yang ditunjukkan dalam mg/l setara dengan CaCO3 (Boyd 1982). Menurut Barnes (1989) dalam Effendi (2000), kation utama yang mendominasi perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut adalah sodium dan magnesium. Anion utama pada perairan tawar adalah bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan laut adalah klorida. Nilai pH dalam air dapat mempengaruhi persentase alkalinitas yang diperbesar dengan adanya asam karbonat, bikarbonat, dan karbonat. Suhu dan salinitas juga mempengaruhi hubungan tersebut (Spotte 1970). Kalsium karbonat merupakan senyawa yang paling banyak berperan besar terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Kelarutan kalsium karbonat akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan akan meningkat karena adanya karbondioksida. Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO3). Alkalinitas bergantung pada pH, komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Nilai alkalinitas dalam perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/l CaCO3. Perairan yang memiliki nilai alkalinitas yang tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi (Effendi 2000). 13 Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/l CaCO3, di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3, sedangkan di perairan alami sebesar 40 mg/l CaCO3 (Boyd 1988 dalam Effendi 2000). Nilai alkalinitas > 40 mg/l CaCO3 dalam perairan disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas < 40 mg/l disebut perairan lunak (soft water). 2.5.6 Kesadahan Ca2+ Konsentrasi kation-kation divalent (khususnya kalsium dan magnesium) merupakan kation yang menentukan nilai kesadahan di dalam air, yang dinyatakan dalam mg/l CaCO3 (APHA 1975 dalam Stickney 1979). Meskipun nilai kesadahan dan alkalinitas saling berkaitan secara langsung, keduanya berdiri sendiri khususnya dalam air tawar. Pada umumnya air laut bersifat sangat sadah, namun pada air tawar memiliki kesadahan yang rendah, dan hal tersebut memungkinkan nilai alkalinitas sangat tinggi. Salah satu sistem akuakultur yang digunakan memiliki nilai rata-rata kesadahan total sebesar 10 mg/l dan nilai total alkalinitas sebesar 900 mg/l. Pada beberapa spesies hewan air tawar, nilai kesadahan yang dianjurkan adalah antara 20 dan 150 mg/l (Stickney 1979). Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan menurut Peavy et al. (1985) dalam Effendi (2000) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan Kesadahan (mg/l CaCO3) <50 50 – 150 150– 300 >300 Klasifikasi Perairan Lunak (soft) Menengah (Moderate hard) Sadah (hard) Sangat sadah (very hard) Konsentrasi minimum dari Ca2+ dan Mg2+ yang cukup terpenuhi untuk pertumbuhan yang normal dan kelangsungan hidup ikan belum diketahui (Boyd 1982). Menurut Macan (1974), diduga kalsium lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan ion lain di dalam air tawar. Sebagian besar kalsium ditemukan di dalam tubuh ikan, mungkin sebesar 99 % terdapat di bagian jaringan bagian kerangka dan sisik (20 – 40 % dari total kalsium terdapat di sisik). Selain berfungsi dalam struktur tulang dan sisik, kalsium juga dibutuhkan untuk 14 pembekuan darah, fungsi otot, transmisi gerak syaraf, osmoregulasi, dan sebagai kofaktor selama proses enzimatik. Menurut Philips et al. (1959) dalam NRC (1993), ikan menyerap kalisum langsung dari lingkungannya. NRC (1993) menyatakan bahwa meskipun penyerapan kalsium terjadi melalui insang, sirip, dan epithelia mulut, insang merupakan organ yang paling penting untuk pengaturan kalsium. Kekurangan kalsium pada channel catfish menyebabkan menurunnya pertumbuhan dan kadar abu dalam tulang (Lovell 1989). Schmidt dan Nielsen (1973) juga menjelaskan bahwa ion kalsium diperlukan untuk fungsi sel yang normal, pergerakan urat syaraf dan kontraksi otot, dan pembekuan darah, sebagai tambahan, unsur ini merupakan unsur pokok dari struktur tulang (skeletons) yang berfungsi sebagai penopang tubuh secara mekanik. 2.5.7 Suhu Ikan merupakan hewan berdarah dingin sehingga suhu tubuhnya bergantung pada suhu lingkungan tempat hidupnya. Setiap ikan memiliki kisaran suhu yang sesuai untuk tumbuh dengan cepat yang disebut dengan kisaran suhu optimum, dan hal itu berarti ikan dapat tumbuh dengan baik dalam kisaran suhu tersebut (Chakroff 1976). Seleksi ikan dalam kegiatan budidaya harus berdasarkan pengetahuan tentang syarat suhu yang sesuai dengan ikan yang akan dipilih. Kelangsungan hidup bukan satu-satunya kriteria dalam memilih ikan yang akan dibudidayakan. Tingkat hasil metabolisme akan rendah seiring dengan rendahnya suhu di bawah optimum untuk beberapa spesies dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu di atas level optimum. Pertumbuhan maksimum dan konversi efisiensi pakan yang optimum mungkin terjadi pada suhu yang sama, akan tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan harus diusahakan untuk mengatur sistem budidaya tertutup untuk memperoleh suhu yang baik untuk pertumbuhan yang cepat dan konversi efisiensi pakan. Suhu di bawah optimum dapat menyebabkan tingkat hasil metabolisme meningkat secara bertahap dan energi yang seharusnya digunakan untuk tumbuh akan digunakan untuk mengatasi tingkat hasil metabolime yang tinggi (Stickney 1979). 15 Lovell (1989) menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan catfish adalah kurang lebih sebesar 30 °C, seiring menurunnya suhu, konsumsi pakan juga akan menurun. Kilambi et al. (1970); Andrews dan Stickney (1972); Andrews et al. (1972) dalam Stickney (1993) menjelaskan bahwa channel catfish tumbuh lebih cepat pada suhu berkisar antara 26 dan 30 °C, meskipun penambahan bobot dapat meningkat relatif cepat pada suhu 24 – 32 °C.