BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Definisi meningitis Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan spinal cord (Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan pengobatannya. Viral meningitis biasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitis biasanya cukup parah dan dapat menimbulkan kerusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of America). Terdapat pula definisi lain yang menyebutkan bahwa meningitis adalah reaksi inflamasi dari membran yang membungkus otak dan spinal cord. Inflamasi ini menimbulkan perubahan di cairan serebrospinal (CSS) yang mengelilingi otak dan spinal cord (Dugdale). 2. 2. Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK) Yang disebut dengan otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, bening, atau berupa nanah (Soepardi, 2008). 2. 3. Anatomi tulang tengkorak Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang-tulang, sebagian besar tulangtulang tengkorak merupakan tulang pipih dan saling terikat oleh sendi-sendi kaku yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang disebut sutura ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi. Sutura yang terpanjang dan sangat penting yaitu sutura koronalis, sutura sagitalis, sutura squamosa, dan sutura lambdoidea yang menghubungkan tulang-tulang kranium (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Tengkorak terdiri dari 22 buah tulang, 21 buah tulang terikat secara bersama-sama dan 1 buah tulang mandibula atau tulang rahang bawah yang dapat bergerak dan berhubungan dengan tengkorak oleh sepasang sendi sinovial. Tulang-tulang tengkorak dapat dibagi menjadi dua, yaitu tulang-tulang kranium dan tulang-tulang fasial. Tulang–tulang kranium menutupi dan melindungi otak dan tempat melekatnya otot-otot kepala dan leher. Tulang-tulang fasial membentuk kerangka wajah, membentuk rongga tempat organ-organ sensori, tempat lewatnya makanan dan organ-organ pernapasan, tempat tumbuhnya gigi, dan tempat melekatnya otot-otot wajah (Hollinshead, 1985 dalam Irwan, 2009; Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009). Tulang-tulang kranial terdiri dari: tulang frontale (1 buah), tulang parietale (2 buah), tulang occipital (1 buah), dan tulang temporal (2 buah). Tulang-tulang fasial terdiri dari: tulang zigomatikum (2 buah), maksila (2 buah), tulang nasale (2 buah), tulang lakrimale (2 buah), vomer (1 buah), tulang palatinum (2 buah), tulang konkhae nasalis inferior (2 buah), dan mandibula (1 buah) (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009). 2. 3. 1. Gambaran anterior tulang tengkorak Tulang frontale melengkung kearah bawah membentuk batas atas orbita. Pada bagian medial, tulang frontale bersendi dengan prosessus frontalis maxilla dan tulang nasale. Pada bagian lateral, tulang frontale bersendi dengan tulang zigomatikum. Orbita dibatasi oleh superior: tulang frontale, lateral: tulang zigomatikum, inferior: maksila, dan medial: prosessus maksila dan tulang frontale (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Punggung hidung dibentuk oleh dua buah tulang nasale. Pinggir bawahnya berbatasan dengan maksila, membentuk aperture nasalis anterior. Kavum nasi dibagi menjadi dua oleh tulang septum nasal, yang sebagian besar adalah vomer. Konkhae nasalis superior dan media menonjol ke kavum nasi berasal dari tulang ethmoidale, konkhae nasalis inferior merupakan tulang tersendiri (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Dua buah tulang maksila membentuk rahang atas, bagian anterior palatum durum, bagian dinding lateral kavum nasi, dan dasar kavum orbita. Kedua tulangtulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaksilaris dan membentuk batas bawah aperture nasalis (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Tulang zigomatikum membentuk penonjolan pipi, dinding lateral, dan dasar kavum orbita. Pada bagian medial tulang zigomatikum bersendi dengan maksila dan lateral bersendi dengan prosessus zigomatikum tulang temporal untuk membentuk arkus zigomatikum. Mandibula atau rahang bawah, terdiri dari korpus horizontal dan dua ramus vertikal. Korpus bertemu dengan ramus pada angulus mandibula. Batas atas mandibula adalah bagian alveolaris yang terdapat gigi-gigi bawah (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Gambar 2.1. Gambaran anterior tulang tengkorak (Strandring, 2008). Universitas Sumatera Utara 2. 3. 2. Gambaran lateral tulang tengkorak Tulang frontale membentuk bagian sisi anterior tengkorak dan bersendi dengan tulang parietale oleh sutura koronalis. Tulang parietale membentuk bagian samping dan atap tengkorak, kemudian bersendi dengan tulang parietale lainnya pada garis tengah oleh sutura sagitalis. Dan bersendi dengan tulang occipitale pada bagian belakang oleh sutura lambdoidela (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Tengkorak bagian lateral dibentuk secara keseluruhan oleh bagian squamousa tulang occipital; bagian-bagian tulang temporal yaitu squamousa tympanic, prosessus mastoideus, prosessus stiloideus, dan prosessus zigomatikum, dan ala major tulang spenoidea. Ramus dan korpus mandibula terdapat di inferior (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Gambar 2.2. Gambaran lateral tulang tengkorak (Strandring, 2008). 2. 3. 3. Gambaran posterior tulang tengkorak Pada bagian posterior kedua tulang parietale dibagi oleh sutura sagitale di sebelah atas. Pada bagian bawah, tulang parietale bersendi dengan bagian bagian squamousa tulang occipitalle oleh sutura lambdoidea. Pada setiap sisi tulang occipitale bersendian dengan tulang temporal. Pada garis tengah tulang occipitale terdapat tonjolan kasar yang disebut protuberanta occipitalis externa, yang merupakan tempat melekatnya otot dan ligamentum nukhae. Pada setiap sisi Universitas Sumatera Utara protuberanta membentuk linea nukhae superior yang meluas ke lateral ke arah tulang temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Gambar 2.3. Gambaran posterior tulang tengkorak (Strandring, 2008). 2. 3. 4. Gambaran superior tulang tengkorak Pada bagian anterior, 1 buah tulang frontale yang bersendi dengan 2 buah tulang parietale oleh sutura koronalis. Pada bagian belakang, diantara kedua tulang parietale membentuk sendi di garis tengah oleh sutura sagitale. Pada bagian tengah tulang parietale terbentuk tonjolan kecil disebut eminentia parietale (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4. Gambaran superior tulang tengkorak (Strandring, 2008). 2. 3. 5. Gambaran inferior tulang tengkorak Jika mandibula dibuang, maka pada bagian anterior dibentuk oleh palatum durum. Prosessus palatines maksilla dan bidang horizontal dari tulang palatinum dapat dikenali. Pada anterior garis tengah terdapat fossa dan foramen incisivum. Pada posterolateral terdapat foramen major dan minor. Di atas pinggir posterior palatum durum terdapat khoana. Ujung inferior lamina pterygoideus medial memanjang seperti ujung tulang yang melengkung disebut hamulus pterygoldeus, ujung superior melebar membentuk fossa scapoid (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Posterolateral dari lamina pterygoideus lateral, pada bagian ala major sphenoid terdapat foramen ovale dan foramen spinosum. Posterolateral dari foramen spinosum terdapat spina ossis spenoidalis. Di atas pinggir medial fossa scaphoid, tulang spenoidale ditembus oleh canalis pterygoideus. Di belakang spina ossis spenoidalis, di antara tulang sphenoid dan bagian petrosus tulang temporal terdapat lekukan tempat bagian tulang rawan tuba eustachius dan ostium bagian tulang tuba eustachius (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Fossa mandibularis dari tulang temporal dan tuberkulum articulare membentuk permukaan atas sendi temporomandibularis. Prosessus stiloideus permukaan dari tulang temporal menonjol ke arah bawah dan ke arah depan. Ostium kanalis karoticus terdapat pada permukaan inferior bagian petrosus tulang temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Lempeng timpani, yang merupakan bagian dari tulang temporal, berbentuk seperti C dan membentuk bagian tulang meatus akustikus externus. Di antara processus styloideus dan processus mastoideus terdapat foramen stylomastoideum. Posterior dari foramen magnum pada garis tengah terdapat krista occipitalis externa menuju ke arah atas dan belakang ke protuberantia occipitalis externa (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5. Gambaran inferior tulang tengkorak (Strandring, 2008). 2.4. Anatomi lapisan meningens Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens. Lapisan terluar disebut dura mater, lapisan tengah disebut arachnoid, dan lapisan terdalam disebut pia mater (Kahle, 2003). Lapisan dura mater merupakan lapisan yang terkuat dan melekat ke tengkorak. Lapisan tengah, arachnoid, penting untuk aliran normal dari cairan Universitas Sumatera Utara serebrospinal (CSS). Bagian terdalam, piamater, penting untuk mengarahkan pembuluh darah di otak (Narins, 2003). Lapisan diantara arachnoid dan piamater diisi oleh cairan serebrospinal (CSS), yang melindungi otak dari trauma (Narins, 2003). Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens (Strandring, 2008). Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di sinus dura (Saladin, 2003). 2. 5. Anatomi telinga tengah Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga Universitas Sumatera Utara tengah, dan telinga dalam (Soetirto, 2004 dalam Irwan, 2009). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). 2. 5. 1. Membran timpani Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertkal rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. membran ini tipis, licin, dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sikumferensial) (Yates, 2008 dalam Irwan, 2009). Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam dua bagian: 1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani, merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di annulus timpanikus pada tulang temporal. 2. Pars flaksida atau membran sharpnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior. (lipatan belakang) (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8. Gambaran membran timpani (Strandring, 2008). 2. 5. 2. Kavum timpani Kavum timpani mempunyai bentuk irregular, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipingir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993 dalam Irwan, 2009; Yates, 2008 dalam Irwan, 2009). Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadangkadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telnga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Di bagian atas dinding anterior terdapat semikanal otot tensor timpani yang terletak persis diantara muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu (Ahmed, 2004 dalam Irwan, 2009): 1. Fungsi ventilasi tuba eustachius, 2. Proses keluar masuknya gas dari sirkulasi melalui difusi, 3. Ketebalan mukosa telinga tengah, 4. Elastistas membran timpani, dan 5. Ukuran pneumatisasi mastoid. 2. 5. 3. Tuba eustachius Tuba eustachius disebut juga tuba auditoria atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan Universitas Sumatera Utara antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005). Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret ke nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy, 2003 dalam Irwan, 2009; Helmi, 2005). Lumen tuba eustachius menghubungkan antara nasofaring (proksimal) dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba eustachius. Pertemuan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang tuba eustachius ini dinamakan junctional portion, pada setiap orang dewasa panjangnya 3 mm. pada dinding lateral nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh sekumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba eustachius (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009). Pada orang dewasa, tuba eustachius lebih panjang dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba eustachius yang terpendek 30 mm dan yang terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba eustachius adalah 31-38 mm. pada sepertiga posterior tuba eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya 11-14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20-25 mm. pada orang dewasa tuba eustachius membentuk sudut 45o terhadap bidang horizontal dan pada anakanak hanya 10o. Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara Bagian tulang tuba eustachius (protympanum) seluruhnya berada pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas kavum timpani. Hubungan antara tuba eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009; Yoshida, 2007 dalam Irwan, 2009). Bagian tulang tuba eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kirakira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava maneuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk sudut 160o. Dinding medial bagian tulang tuba eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan aterolateral (karotis), dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri karotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5-3 mm dan pada 2% populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan ateri karotis interna (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009). Bagian tulang rawan tuba eustachius mempunyai arah anteromedial dan inferior, membentuk sudut 30o-40o terhadap bidang transversal dan membentuk sudut 45o terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium bagian tuba eustachius dengan jaringan ikat (fibrous) dan meluas ke bagian tulang tuba eustachius kira-kira 3 mm. pada ujung onferomedial melekat ke tuberkulum pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus bisanya pada atau sekitar pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba eustachius. Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas panjang bagian tulang rawan tuba eustachius semakin bertambah, Universitas Sumatera Utara perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009). 2. 5. 4. Prosesus mastoideus Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid di sebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol ke arah inferior dibelakang meatus acusticus externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot sternokleidomastoide, splenius capitis, dan longisimus capitis. Pada bagian inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini membentuk meinentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak di atas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan permukaan posterior tulang membentuk batas anterior fosa cranial posterior. Di sini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009). Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan yang lain dan pertumbuhan dari sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik, dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005). Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor herediter dan faktor Universitas Sumatera Utara lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Di lain pihak terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk infeksi telinga tengah (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009). Sel udara mastoid mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Tumarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggungjawab terhadap pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal), terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba eustachius (Virapongse, 1985 dalam Irwan, 2009; Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009). Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2 kelompok, telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized ears) dan telinga dengan pneumatisasi baik (well pneumatized ears). Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid <8 cm2 dan well pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid >8 cm2 (Seth, 2006 dalam Irwan, 2009). Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm2). Menjadi kroniknya otitit media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadinya tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009). Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm2) dan 20 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik (>8 cm2). Pada 150 telinga normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm2. Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis media supuratif) menyebabkan Universitas Sumatera Utara terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sel udara mastoid. Semua penelitian menunjukkan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009). 2. 6. Klasifikasi meningitis 2. 6. 1. Meningitis bakterial Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009). Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981). Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Mardjono, 1981). Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005): 1. S. pneumonie 2. N. meningitis 3. Group B streptococcus atau S. agalactiae 4. L. monocytogenes 5. H. influenza 6. Staphylococcus aureus 2. 6. 2. Meningitis tuberkulosa Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di Universitas Sumatera Utara paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009). Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium tuberculosis (Pradana, 2009) 2. 6. 3. Meningitis viral Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis viral antara lain : Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz , 2007). COMMON NONARTHROPOD VIRUSES Picornavirus (RNA) Enterovirus Echovirus Coxsackie A Coxsackie B Universitas Sumatera Utara Enterovirus 70, 71 Poliovirus Herpes simplex type 2 (HSV-2) (DNA) ARTHROPOD-BORNE (ARBOVIRUSES) VIRUSES Togavirus (Alphavirus, RNA) Eastern equine encephalitis (EEE) Western equine encephalitis (WEE) Venezuelan equine encephalitis (VEE) Flavivirus (RNA) St. Louis encephalitis (SLE) West Nile virus (WNV) Bunyavirus (RNA) California encephalitis UNCOMMON Arenavirus (RNA) Lymphocytic choriomeningitis (LCM) Paramyxovirus RNA) Mumps Retrovirus (RNA) Human Immunodeficiency virus (HIV-1) RARE Herpes virus (DNA) Herpes simplex type 1 (HSV-1) Epstein-Barr virus (EBV) Cytomegalovirus (CMV) Varicella-Zoster virus (VZV) Human herpes virus type 6 (HHV-6) Adenovirus (DNA) Coltivirus (RNA) Colorado tick fever Bunyavirus (RNA) Toscana virus (a Phlebovirus) Universitas Sumatera Utara 2. 6. 4. Meningitis jamur Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit / infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu pertumbuhannya (Pradana, 2009). Etilogi dari meningitis jamur antara lain: 1. Cryptococcus neoformans 2. Coccidioides immitris 2. 7. Patofisiologi Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut Agen penyebab ↓ Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah ↓ Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid ↓ Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler ↓ Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal ↓ Kerusakan neurologis Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada Universitas Sumatera Utara basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar (Pradana, 2009). 2. 7. 1. Meningitis bakterial Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi. Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan meningitis. H. influenza dan N. meningitidis biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S. pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan antibodi lokal (Swartz, 2007). Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie dan N. meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan menciptakan ruang di tight junction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk aliran darah, bakteri dapat menghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen dengan adanya kapsul polisakarida yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne bacteria dapat mencapai fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan serebrospinal (CSS) normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005). Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterial adalah reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan Universitas Sumatera Utara jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik (Roos, 2005). Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di ruang subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan pembentukan eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri, seperti molekul lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan peptidoglikan S. pneumonie, menginduksi inflamasi selaput meningens dengan menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leukosit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS), sel sel endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Interleukin-1 (IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah dilepaskannya sitokin tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSS dan leukositosis. Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan berbagai sitokin inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang diinduksi oleh IL-1 dan TNF (Roos, 2005). Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitis merupakan akibat dari meningkatnya sitokin CSS dan kemokin. TNF dan IL-1 bekerja sinergis meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier (BBB), yang mengakibatkan edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating edema dan concomitant interstitial edema (Roos, 2005). 2. 7. 2. Meningitis tuberkulosa BTA masuk tubuh ↓ Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna ↓ Multiplikasi ↓ Universitas Sumatera Utara Infeksi paru/focus infeksi lain ↓ Penyebaran homogen ↓ Meningens ↓ Membentuk tuberkel ↓ BTA tidak aktif/dorman Bila daya tahan tubuh lemah ↓ Ruptur tuberkel meningen ↓ Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid ↓ Meningitis Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater dan arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Pradana, 2009). 2. 7. 3. Meningitis viral Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu hematogenus (infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV)). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman asam lambung, dan berlanjut ke saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa virus bereplikasi di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan melakukan replikasi di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyer Universitas Sumatera Utara patches, dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia enterovirus berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan sistem retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus BBB tight junction dan memasuki cairan serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007). Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar dari lesi genital menuju sacral nerve roots menuju meninges. Dari situ, HSV-2 menjadi fase laten dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik meningitis (Swartz, 2007). 2. 7. 4. Meningitis jamur Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal jaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosa dengan segala bentuk komplikasinya (Pradana, 2009). Universitas Sumatera Utara 2. 8. Klasifikasi otitis media Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media nonsupuratif (= otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME) (Soepardi, 2007). Skema pembagian otitis media: Gambar 2.9. Skema pembagian otitis media (Soepardi, 2007) 2. 8. 1. Otitis media akut Otitis medis akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan (Soepardi, 2007). Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (Soepardi, 2007). Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemolitikus, Staphilococcus aureus, pnemokokus. Selain itu kadang kadang ditemukan juga Hemophilus influenza, Eschericia coli, Streptococcus anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa (Soepardi, 2007). Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium: Universitas Sumatera Utara 1. Stadium oklusi tuba eustachius Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorbsi udara (Soepardi, 2007). 2. Stadium hiperemis Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat (Soepardi, 2007). 3. Stadium supurasi Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar (Soepardi, 2007). Pada keadaan ini pasein tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat (Soepardi, 2007). 4. Stadium perforasi Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi, 2007). 5. Stadium resolusi Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahanlahan akan normal kembali (Soepardi, 2007). OMA berubah menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK) bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul (Soepardi, 2007). Universitas Sumatera Utara 2. 8. 2. Otitis media supuratif kronik Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut (Soepardi, 2007). Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang tidak adekuat, terapi yang terlambat diberikan, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (Soepardi, 2007). 2. 8. 2. 1. Klasifikasi otitis media supuratif kronik Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe, tipe jinak dan tipe bahaya. Nama lain dari tipe jinak (benigna) adalah tipe tubotimpanik karena biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani; disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah, disebut juga tipe aman karena jarang menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Nama lain dari tipe bahaya adalah tipe atiko-antral karena proses biasanya dimulai di daerah itu; disebut juga tipe tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di indonesia tipe bahaya lebih dikenal dengan tipe maligna (Helmi, 2005). 2. 8. 2. 2. Patogenesis otitis media supuratif kronik Terjadinya otitis media supuratif kronik hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai pada dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain inveksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkingan, dan sosial ekonomi (Helmi, 2005). Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba eusatachius. Kadangkadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani. Maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantong mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, Universitas Sumatera Utara biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal (Helmi, 2005). Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya saja pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila tidak terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat (Helmi, 2005). Episode berulang otorea dan perubahan mukosa menetap ditandai juga dengan osreogenesis, erosi tulang, dan osteitis yang mengenai tulang mastoid dan osikel (Helmi, 2005). OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma. Disebut bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya. Kolesteatoma adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan keratin yang terjebak di dalam rongga timpanomastoid. Bila telah terbentuk akan terus meluas. Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh tumpukan debris keratin, maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Resorpsi tulang dapat menyebabkan destruksi trabekula mastoid, erosi osikel, fistula labirin, pemaparan nervus fasialis, dura serta sinus lateralis (Helmi, 2005). Job dkk (1998) melaporkan bahwa komplikasi intrakranial dapat terjadi pada kejadian OMSK baik itu yang tipe aman/ tipe rinogen/ tanpa kolestetoma (42%) maupun yang tipe tidak aman/ ganas/ tipe atikoanteral/ dengan kolesteatoma (58%) Universitas Sumatera Utara