BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penduduk dan seluruh kegiatannya telah merubah kota dari waktu ke waktu. Proses ini disebut urbanisasi. Pada negara-negara dunia ketiga, kita dapat melihat proses urbanisasi secara jelas, seperti adanya perubahan penggunaan lahan dari pertanian (non terbangun) menjadi lahan terbangun, seperti industri dan permukiman. Proses urbanisasi yang ada di negara-negara berkembang, terutama Indonesia, mengubah banyak hal secara cepat, dan terkadang pemerintah tidak siap untuk menerima dan mengatasi berbagai perubahan yang ada. Disamping membawa keuntungan bagi beberapa sektor, ternyata urbanisasi membawa beberapa permasalahan perkotaan seperti ekonomi, sosial, politik, budaya juga yang paling penting adalah adanya penurunan kualitas lingkungan perkotaan dari waktu ke waktu, seperti air bersih, pengelolaan persampahan, polusi udara, dan lain-lain. Isu-isu lingkungan perkotaan menjadi penting untuk dikaji karena pembangunan saat ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang mengutamakan keuntungan yang maksimal dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan yang notabene dapat menjadi penopang terpenting bagi kelangsungan atau menjadi daya dukung sebuah kota di masa yang akan datang. Permukiman atau lebih khususnya perumahan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penduduk (kebutuhan pokok), dimana kebutuhan akan perumahan akan terus meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk, terutama di kota yang terus berkembang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan menjadi bagian dari pembangunan nasional yang harus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, terencana, dan berkesinambungan. Permasalahan yang terjadi dalam pembangunan perumahan di Indonesia sekarang ini adalah adanya permukiman illegal, permukiman kumuh, maupun pertumbuhan perumahan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Upaya pemerintah dalam 1 mengentaskan masalah permukiman yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah perkotaan sudah sejak lama dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan cara meningkatkan kualitas permukiman agar dapat memenuhi kebutuhan hidup penghuninya, dan sudah mulai menerapkan pembangunan permukiman secara vertikal, baik dalam bentuk apartemen, ataupun rumah susun. Bentuk pembangunan permukiman secara vertikal ini juga sebagai salah satu solusi mengatasi keterbatasan kesediaan lahan permukiman di kota-kota besar. Adapun beberapa paremeter yang digunakan untuk menilai kualitas suatu permukiman, antara lain kualitas fisik bangunan, kualitas lingkungan dan prasarana, serta kualitas penghuni permukiman itu sendiri. Dalam pembangunan permukiman dan lingkungan perumahan tentunya tidak dapat dipisahkan dari manajemen lingkungan kota. Kota-kota besar di Indonesia cenderung semakin sarat dengan beban permasalahan perkotaan. Pertambahan penduduk secara alami maupun migrasi penduduk yang terus mengalir serta ketersediaan lahan yang semakin sempit menjadi salah satu beban bagi pemerintah kota untuk mengakomodasi kebutuhan dasar perkotaan. Kebutuhan akan permukiman dan perumahan serta fasilitasfasilitas publik yang jauh dari memadai menjadi permasalahan yang cukup serius dirasakan oleh kota-kota besar. Kota Palembang merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, memiliki visi pembangunan yaitu “Palembang Kota Internasional, Sejahtera, dan Berbudaya 2013”. Visi tersebut memiliki makna bahwa pembangunan di Kota Palembang memiliki cita-cita untuk mencapai terwujudnya Kota Palembang sebagai salah satu kota internasional yang senantiasa dinamis dalam merespon semua peluang dan tuntutan global, disertai dengan kepedulian tinggi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berbudaya. Terdapat tiga kunci pokok dalam visi Kota Palembang yakni, Kota Internasional, Sejahtera, dan Berbudaya. Kota Internasional mengandung arti bahwa pembangunan di Kota Palembang bertujuan untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, sehingga Kota Palembang 2 memiliki kualitas pelayanan yang berdaya saing internasional, baik dari segi sarana prasarana, maupun sistem birokrasi beserta aparaturnya; Sejahtera bermaksud bahwa pembangunan di Kota Palembang bertujuan untuk mewujudkan kota yang aman, sentosa dan makmur dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dasar disemua lapisan masyarakat; Berbudaya mengandung arti bahwa pembangunan di Kota Palembang akan tetap memperhatikan keberadaan dan keragaman budaya lokal, dalam bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa dijiwai oleh nilainilai religius guna mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Visi pembangunan Kota Palembang tersebut dijabarkan kembali dalam dokumen Rencana Pembanguan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang tahun 2008-2013 menjadi tujuh misi pembangunan yang salah satunya adalah meningkatkan sarana dan prasarana perkotaan sesuai rencana tata ruang yang berkelanjutan. Adapun tujuan yang akan diwujudkan sebagai cermin dari pelaksanaan misi ini adalah terciptanya permukiman yang berwawasan lingkungan. Tujuan ini kemudian dijabarkan dalam sasaran tahunan yaitu, meningkatnya kualitas pengairan wilayah kota, meningkatnya kualitas air bersih atau air minum, meningkatnya kualitas lingkungan perumahan, dan meningkatnya penataan kepemilikan tanah. Palembang sebagai salah satu kota yang menuju visi menjadi kota bertaraf internasional disisi lain memiliki permasalahan yang sama dengan kota-kota besar lain di Indonesia, yaitu meningkatnya kebutuhan permukiman yang tidak disertai dengan peningkatan terhadap kualitas permukiman, sehingga menyebabkan timbulnya permukiman kumuh. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Palembang, masih terdapat 42 titik permukiman kumuh yang tersebar di 16 kecamatan di Kota Palembang. Oleh karena itu Pemerintah Kota Palembang menargetkan pada tahun 2020, Palembang sudah bebas dari kawasan kumuh. Berbagai program telah dilakukan pemerintah, seperti meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dengan cara melakukan pemugaran, relokasi kawasan permukiman, membangun perumahan khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah, melaksanakan program revitalisasi kawasan permukiman kumuh, dan membuat kebijakan Neighborhood Urban Subsector 3 Project (NUSP) di tahun 2008. Dalam program NUSP ini akan disiapkan suatu kawasan permukiman baru bagi warga yang direlokasi dari permukiman kumuh di pinggiran Sungai Musi, dengan cara membangun 140 unit rumah murah menggunakan APBN senilai 16 miliar. Hingga akhir tahun 2013 sudah terbangun 86 unit rumah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Kelurahan 3-4 Ulu, yang sebagian besar wilayahnya berada di wilayah bantaran Sungai Musi. Dengan adanya program-program penataan permukiam kumuh tersebut, diperlukan suatu evaluasi terhadap program-program penataan dan revitalisasi terhadap permukiman kumuh yang ada di Kota Palembang sehingga dapat memberikan penilaian terhadap keberhasilan dari program yang telah dilaksanakan. 1.2. Rumusan Masalah Ada beberapa permasalahan dalam pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Palembang yaitu, banyaknya kawasan permukiman kumuh terutama di tepian Sungai Musi dan di daerah rawa-rawa, masih kurangnya jumlah perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan bawah terutama untuk sektor informal, belum mencukupinya sarana dan prasarana permukiman perkotaan, dan masih belum terkoordinasinya penanganan pembangunan serta pengembangan perumahan dan permukiman. Salah satu usaha untuk mendukung visi dan misi Kota Palembang sebagai kota internasional serta terciptanya permukiman yang berwawasan lingkungan adalah urban renewal di perkotaan secara sistematis, bertahap dan menyeluruh, sehingga pada tahun 2008 disusun sebuah rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman di daerah (RP4D). Tujuan penyusunan RP4D Kota Palembang adalah untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung secara tertib, terorganisasikan dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Rencana Pembangunanan dan Pengembangan Permukiman dan Perumahan di Daerah (RP4D) kabupaten/kota sama dengan RTRW kabupaten/kota yang berjangka 10 tahunan. RP4D yang telah disusun kemudian didukung oleh masingmasing sektor kegiatan untuk dijabarkan dalam rencana pelaksanaan tahunan untuk lima tahun pertama. Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Palembang, teridentifikasi sebaran lingkungan permukiman kumuh di 41 Kelurahan. Dari 41 Kelurahan tersebut, ada 7 lokasi kawasan permukiman yang akan diprioritaskan untuk ditangani dalam waktu 10 tahun. Kawasan tersebut meliputi 5 Kelurahan yang berada di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu Kelurahan 1 Ulu, Kelurahan 3-4 Ulu, Kelurahan 5 Ulu, Kelurahan 7 Ulu, dan Kelurahan Tuan Kentang. Sedangkan 2 lokasi lainnya berada di Kecamatan Seberang Ulu II, yaitu Kelurahan 11 dan 12 Ulu. Sampai pada akhir tahun 2013, dari 7 lokasi yang diprioritaskan tersebut, baru satu kelurahan yang terealisasi penataannya, yaitu di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu, di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I lewat program relokasi dan revitalisasi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha untuk memaparkan mengenai upaya penanganan permukiman kumuh yang telah dilakukan oleh pemerintah kota di wilayah tersebut, dan bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat terhadap program tersebut yang dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan program penataan dan revitalisasi permukiman kumuh di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang? 2. Apakah masyarakat merasakan dampak positif dengan adanya program penataan tersebut? 3. Kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah Kota Palembang, dan sebaiknya ditingkatkan untuk meningkakan kualitas permukiman di Kota Palembang? 5 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memaparkan mengenai perbedaan kondisi fisik dan lingkungan permukiman dengan adanya program penataan permukiman kumuh yang telah dilakukan pemerintah kota di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang. 2. Mengetahui persepsi dampak yang dirasakan masyarakat di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu dengan adanya program penataan dan revitalisasi permukiman kumuh di kedua wilayah tersebut. 3. Memberikan pemaparan mengenai program yang telah dilakukan dan rekomendasi program yang sebaiknya ditingkatkan agar dapat meningkatkan kualitas permukiman yang ada di Kota Palembang. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain: 1. Secara teoritis, mengembangkan penelitian dalam bidang permukiman, khususnya dampak dari adanya program penataan dan revitalisasi terhadap permukiman kumuh. 2. Secara praktis, diharapkan memberikan masukan bagi Pemerintah Kota Palembang dalam menyikapi dan melakukan penataan kembali terhadap permukiman kumuh yang ada di Kota Palembang. 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pendekatan Geografi dalam Studi Permukiman Kota Ilmu geografi merupakan ilmu yang menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan keruangan (spatial approach), (2) pendekatan ekologi (ecological approach), dan (3) pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Dalam studi permukiman kota juga mengadopsi tiga macam pendekatan tersebut. Dari ketiga pendekatan tersebut, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan. Pada pendekatan keruangan ada tiga penekanan pokok yang 6 ditekankan dalam studi permukiman yaitu mengenai pola ruang dan struktur ruang. Pola ruang dalam studi permukiman kota terkait dengan kekhasan sebaran distribusi permukiman dalam suatu wilayah, sedangkan struktur ruang terkait dengan kekhasan susunan unsur-unsur geografis sebagai pembentuk ruang. Coffey (dalam Yunus, 2007) mengemukakan bahwa struktur keruangan selalu bersifat geometris dimana hal-hal yang menyangkut pola, jarak, morfologi, bentuk, slope, relief lokal, distribusi dan sejenisnya menjadi dasar pengenalan struktur. Pendekatan keruangan dalam studi permukiman kota juga tidak dapat dipisahkan dari dimensi waktu. Dalam studi permukiman kota dikenal tiga pola analisis proses keruangan, yaitu; (1) time based analysis, (2) space based analysis, dan (3) time space based analysis (Yunus, 2007). Time based analysis adalah suatu analisis yang menekankan analisis pada perbedaan waktu pada ruang yang sama. Asumsinya adalah dalam ruang yang sama dengan waktu yang berbeda dapat menghasilkan struktur keruangan yang berbeda. Sedangkan space based analysis mendasarkan pada waktu yang sama dengan ruang yang berbeda. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai suatu studi komparatif antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya untuk periode waktu yang sama, kemudian dicari jawaban terhadap adanya perbedaan dan kesamaan mengenai gejala yang diteliti. Time space based analysis merupakan gabungan dari time based analysis dengan space based analysis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada penelitian ini lebih cenderung menguunakan pola analisis space based analysis, dengan membandingkan kondisi di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu dalam periode waktu yang sama. Pendekatan geografi kedua yang juga diadopsi dalam studi permukiman kota adalah pendekatan ekologi. Analisis dari pendekatan ekologi untuk studi permukiman kota dipengaruhi oleh manusia sebagai obyek sentral yang telah mengubah lingkungan alami menjadi lingkungan buatan yang baru. Pendekatan ekologis untuk studi permukiman kota berusaha untuk menganalisis hubungan antara tempat tinggal (permukiman) dengan lingkungannya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ecological approach adalah metodelogi untuk mendekati, menelaah, dan menganalisis permukiman kota berdasarkan konsep dan prinsip 7 ekologi. Pendekatan selanjutnya yaitu pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan ini sering dijelaskan sebagai pendekatan gabungan antara pendekatan keruangan dengan pendekatan ekologi yang menghasilkan sebuah upaya differensiasi wilayah. Istilah regional complex mengisyaratkan adanya pemahaman tentang property yang ada dalam wilayah yang bersangkutan. Skala unit analisis dalam studi permukiman kota dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu skala makro, meso dan mikro. Unit analisis permukiman kota skala makro merupakan satuan morfologis dari suatu area terbangun. Secara garis besar dalam studi permukiman kota, permukiman kota dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu; (1) klasifikasi berdasarkan fungsi, (2) klasifikasi berdasarkan fisik permukiman, (3) klasifikasi berdasarkan pertumbuhan kawasan permukiman, (4) klasifikasi berdasarkan hirarki, dan (5) klasifikasi berdasarkan tinjauan di luar elemen yang telah disebutkan sebelumnya (Yunus, 1986). Studi permukiman skala makro unit analisisnya adalah regional sampai dengan nasional dimana sistem interaksi antar kota menjadi kajiannya. Untuk tipe permukiman kota skala meso sering dibedakan berdasarkan pendekatan fisikal dan pendekatan administratif. Unit analisis dalam studi permukiman skala meso biasanya tidak terlalu luas, seperti kecamatan, kelurahan, atau RT. Sedangkan untuk tipe permukiman skala mikro ditekankan pada kondisi fisik bangunan-bangunan permukiman. Beberapa contoh klasifikasi permukiman skala mikro dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Berdasarkan material pembentuk rumah, mulai dari lantai, dinding, dan atap. b. Atas dasar tingkat permanennya dan aspek arsitektur yang digunakan. c. Berdasakan perizinan mendirikan bangunan, berkaitan dengan prosedur izin mendirikan bangunan (IMB). Penelitia ini menggunakan unit analisi skala mikro, oleh karena itu objek kajian dalam penelitian permukiman kali ini adalah rumah-rumah secara individual, sehingga sebagian data yang dibutuhkan adalah data primer. 8 1.5.2. Permukiman dan Permukiman Kumuh 1.5.2.1. Pengertian Permukiman Menurut UU No. 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari atu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan ataupun kawasan perdesaan. Sedangkan kawasan permukiman yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Commision on Human Settlement of The United Nation (CHSUN) memberikan arti permukiman lebih menekankan pada perumahan yang dianggap paling universal dengan berbagai macam kondisi iklim, tingkat ekonomi dan kebudayaan. Batasan lain dari permukiman secara khusus dikemukakan dalam Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman, yakni suatu tempat dimana terdapat rumah-rumah tempat tinggal penduduk atau salah satu sarana hunian yang sangat erat kaitannya dengan tata kehidupan masyarakat. Permukiman merupakan suatu kelompok rumah hunian pada suatu areal atau wilayah beserta sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Bentuk permukiman dapat berupa kelompok rumah, kampung, atau wilyah permukiman yang luas. Penataan permukiman dapat dibedakan menjadi dua objek penataan, yaitu penataan permukiman lama, dan penataan permukiman baru (Sadyohutomo, 2008). Sedangkan Ritohardoyo (2000) mendefinisikan human settlement adalah semua bentukan secara buatan maupun secara alami dengan segala perlengkapannya, yang dipergunakan oleh manusia, baik secara individual maupun kelompok, untuk bertempat tinggal sementara maupun menetap dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. 9 1.5.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh Permukiman kumuh disatu sisi membawa berkah bagi para penghuninya, karena memiliki tempat untuk berlindung, namun bagi pemerintah merupakan sebuah kegagalan penyediaan perumahan yang layak. Suatu kawasan permukiman yang terdiri atas beberapa perumahan termasuk prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang fungsi lain, jika salah satu unsur tersebut keadaan dan mutunya dibawah standar, maka dengan sendirinya kawasan tersebut menjadi kumuh (Silas, 2011). Menurut UU No 1 tahun 2011, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidak teraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Gambaran permukiman kumuh menurut (Komarudin, 1997) adalah lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin, dan hujan, lingkungan tata permukiman tidak teratur, bangunan sementara, mata pencaharia penghuni tidak tetap, tanah bukan milik penghuni, pendidikan rendah, penghuni sering tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran, banjir, dan rawan terhadap timbulnya penyakit. Yudohusodo (1991) menjelaskan bahwa permukiman kumuh tidak selalu liar, dan permukiamn liar tidak selalu kumuh. Tingkat kekumuhan di lingkungan permukiman dibagi menjadi dua, yaitu kawasan kumuh di atas tanah legal, dan kawasan kumuh diatas tanah tidak legal. Suatu lingkungan permukiman dikatakan kumuh apabila kurangnya atau tidak tersediannya prasarana, fasilitas, dan utilitas lingkungan, bahan bangunan semi permanen, dan kepadatan bangunan lebih dari 500 jiwa/ha. 1.5.2.3. Karakteristik Permukiman Kumuh Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian terus mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, 10 perubahan sosial-ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Kawasan permukiman merupakan kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan hunian serta tempat aktivitas penduduk yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan untuk mendukung proses kehidupan di kawasan tersebut. Dalam menentukan lokasi permukiman, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga diharapkan dalam penentuan lokasi permukiman tidak merusak lingkungan. Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, lokasi kawasan permukiman yang layak adalah: a. Tidak terpengaruh oleh polusi (air, udara, suara). b. Tersedia air bersih. c. Memiliki kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya. d. Mempunyai aksesibilitas yang baik. e. Mudah dan aman mencapai tempat kerja. f. Tidak berada dibawah permukaan air setempat. g. Mempunyai kemiringan rata-rata. Menurut Komarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut: a. Lingkungan yang berpenghuni padat (lebih dari 500 orang per Ha). b. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah. c. Jumlah rumah yang sangat padat dan memiliki ukuran yang dibawah standar. d. Sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan. e. Hunian dibangun di atas tanah milik negara atau orang lain dan di luar perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan petunjuk umum pelaksanaan peremajaan lingkungan permukiman kumuh di perkotaan dan perdesaan, kriteria lingkungan permukiman kumuh yaitu: a. Lokasi tidak berada pada peruntukkan perumahan dan RUTR atau RDTR. b. Langka sarana prasarana, tidak terdapat jaringan jalan atau saluran pembuangan. 11 c. Kepadatan lebih dari 500 jiwa/ha untuk kota besar, dan lebih dari 750 jiwa/ha untuk kota metropolitan. d. Angka penyakit akibat buruknya lingkungan cukup tinggi, dan tingkat krimanalitas juga tinggi. Beberapa indikator yang mempengaruhi nilai suatu kawasan permukiman, antara lain: a. Faktor ekonomi masyarakat, hal yang paling berpengaruh yaitu masalah tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan masyarakat. b. Kondisi sosial masyarakat, dalam hal ini yang mempengaruhi nilai suatu kawasan yaitu masalah tingkat kepadatan dan juga tingkat pendidikan. c. Fungsi dan kegiatan hunian, yang dimaksud yaitu masalah peruntukan bangunan hunian apakah digunakan sebagaimana mestinya untuk tempat tinggal, atau digunakan untuntuk fungsi lain misalnya sebagai tempat berdagang. d. Status kepemilikan rumah dan tampilan hunian. Bangunan yang terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau temporer, luasan ruangan yang di bawah standar, serta mengabaikan nilai estetik maupun nilai kesehatan akan menyebabkan penampilan yang berkesan kumuh. e. Kondisi sistem sanitasi, drainase, penangan persampahan, serta penggunaan lahan kawasan akan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan kumuhnya suatu kawasan permukiman. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menegaskan bahwa kesehatan lingkungan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, dilakukan melalui peningkatan sanitasi lingkungan pada tempat tinggal. Program peningkatan kualitas permukiman yang selama ini menjadi perhatian pemerintah adalah kawasan permukiman yang termasuk kategori kawasan kumuh, yang ditandai dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai baik secara kualitas, maupun kuantitas, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang 12 rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan yang rawan bencana, penyakit, dan keamanan. Kondisi atau kualitas permukiman dapat diketahui melalui data penginderaan jauh dengan memperhatikan parameter-parameter penentunya. Beberapa paremeter yang digunakan antra lain: kepadatan rumah, tata-letak, lebar jalan, kondisi jalan, kondisi halaman, pohon pelindung, dan lokasi (Suharyadi, dkk, 2010). Kajian kualitas permukiman dibagi menjadi lima dengan tujuan dan variabel yang berbeda. Pertama yaitu kajian kualitas fisik permukiman untuk menilai tingkat kenyamanan tempat tinggal. Kedua yaitu kajian kualitas lingkungan permukiman, yang menilai tingkat kesehatan lingkungan permukiman, termasuk di dalamnya kualitas air bersih, sanitasi, drainase pembuangan sampah, dan kondisi fisik lingkungan. Selanjutnya kajian kualitas lingkungan sosial, untuk menilai tingkat kerawanan sosial. Keempat adalah kajian kualitas dan tingkat pelayanan fasilitas kota, menilai tingkat pelayanan fasilitas perkotaan, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan, pendidikan, dan fasilitas pelayanan pasar. Terakhir yaitu kajian kualitas bangunan, untuk menilai tingkat kualitas bahan bangunan dan kelengkapannya, termasuk di dalamnya material yang digunakan, fasilitas tambahan yang dibangun, serta arsitektur bangunannya. 1.5.2.4. Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh Penyebab timbulnya lingkungan liar yang kumuh dan tidak sehat antara lain merupakan konsekuensi dari urbanisasi, migrasi yang tinggi, kota sebagai pusat perdagangan, semakin sempitnya lahan permukiman, semakin mahalnya harga tanah, dan kurangnya pengawasan dari aparat pemerintah daerah. Lingkungan kumuh semakin kumuh karena penghuninya berpenghasilan sangat rendah, belum tersedianya fasilitas umum seperti listrik dan air bersih karena status tanah yang tidak resmi. Jika pertumbuhan lingkungan kumuh dibiarkan, maka derajat kesehatan masyarakat akan tetap rendah, mudah terjadi bencana kebakaran dan banjir, dan memberi peluang kriminalitas. Menurut Sadyohutomo 13 (2008) munculnya permukiman kumuh disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan yang cukup. Pertumuhan penduduk kota yang tinggi ini dipicu dengan adanya migrasi masuk, dan kebanyakan pendatang berada pada usia produktif. 2. Keterlambatan pemerintah kota dalam merencana dan membangun prasarana (terutama jalan) pada daerah perkembangan permukiman baru. Permasalahan yang terdapat dalam program penataan permukiman lama yang kumuh adalah ruang gerak pelaksanaannya dibatasi oleh kondisi fisik tata bangunan an kondisi sosial ekonomi masyarakat. Adanya bangunan yang padat menyebabkan penataan permukiman menjadi terhambat, oleh sebab itu diperlukan program penataan permukiman kumuh yang harus didukung oleh masyrakat melalui prinsip pemberdayaan. 1.5.2.5. Tipologi Permukiman Kumuh Direktorat jenderal perumahan dan permukiman mengklasifikasikan tipologi permukiman kumuh menjadi tujuh bagian, yaitu: 1. Permukiman kumuh nelayan. Permukiman kumuh ini terletak diluar area antara garis pasang tertinggi dan terendah dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Pemerintah merencanakan program rehabilitasi, renovasi, dan preservasi untuk meningkatkan kualitas permukiman di wilayah ini. 2. Permukiman kumuh yang dekat dengan kegiatan sosial ekonomi, seperti lingkungan industri, pusat pelayanan ekonomi, pendidikan, dan kampus. 3. Permukiman kumuh di pusat kota, yaitu permukiman kumuh yang terletak di tengah kota, dan merupakan permukiman lama yang mempunyai warisan budaya tinggi. 14 4. Permukiman kumuh di pinggiran kota akibat akibat dampak dari perkembangan kota. Hal ini bisa terjadi karena pusat kota sudah terlalu terbebani dengan jumlah penduduk yang terlalu padat. 5. Permukiman kumuh di daerah pasang surut, merupakan permukiman yang terletak di areal antara garis pasang tertinggi dan terendah yang secara berkala selalu terendam air pasang. 6. Permukiman kumuh di daerah rawan bencana. Pemerintah mengupayakan program resettlement, rehabilitasi, dan renovasi untuk permukiman kumuh di daearah rawan bencana. 7. Permukiman kumuh di tepi sungai, yang meliputi tipe tipe permukiman kumuh yang terletak di luar garis sempadan sungau dan tipe permukiman kumuh yang secara historis berada di area badan sungai atapun tepi sungai karena menempatkam sungai sebagai sarana transportasi vital. Berdasrkan lokasi, ada lima kelompok lingkungan perumahan kumuh (Yudohusodo, 1991), yaitu: 1. Lingkungan perumahan kumuh yang berada pada lokasi yang strategis dalam mendukung fungsi kota. Diremajakan dengan prinsip membiayai sendiri ataupun mengembalikan modal sendiri dengan keuntungan yang wajar. 2. Lingkungan perumahan kumuh yang lokasinya tidak strategis dan yang menuntut rencana kota hanya boleh dibangun untuk perumahan. 3. Lingkungan perumahan kumuh yang lokasinya kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan dalam meberikan pelayanan kepada masyarakat kota. 4. Lingkungan perumahan kumuh yang berada pada lokasi rencana kota, tidak diperentukkan bagi perumahan. 5. Lingkungan perumahan kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya seperti bantaran sungai, jalur kereta api, dan listrik bertegangan tinggi. 15 1.5.3. Revitalisasi dan Peremajaan Lingkungan Permukiman Kumuh 1.5.3.1. Pengertian Revitalisasi dan Peremajaan Permukiman Kumuh Peremajaan permukiman kumuh adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah Negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan (Komarudin, 1997). Peremajaan dan revitalisasi kawasan permukiman kumuh telah diatur dalam peraturan menteri pekerjaan umum nomor 18/PRT/M/2010 tentang pedoman revitalisasi kawasan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa revitalisasi merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan nilai lahan ataupun kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Tujuan dari revitalisasi suatu kawasan adalah meningkatkan vitalitas kawasan terbangun melalui intervensi perkotaan yang mempu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkurangnya kantongkantong kawasan kumuh, meningkatnya sarana dan prasarana, serta meningkatnya nilai lokasi kawasan. Peremajaan lingkungan kota merupakan upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah atau memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar kawasan tersebut fungsinya meningkat lagi sesuai dengan pengembangan kota (Komarudin, 1997). Kawasan yang akan direvitalisasi diarahkan pada: 1. Kawasan yang menurun produktivitas ekonominya, terjadi degradasi lingkungan atau urban heritage. 2. Lokasi memiliki nilai investasi tinggi. 3. Kawasan strategis yang memiliki potensi dalam sector-sektor strategis. 4. Kota strategis menurut undang-undang. 5. Kota atupun kawasan dengan kepemilikan tanah yang tidak bermasalah. 16 1.5.3.2. Kriteria Pemilihan Lokasi Revitalisasi Seiring dengan bertambahnya usia di suatu kawasan, maka akan muncul kawasan yang tidak teratur, produktivitas ekonominya menurun, dan degradasi lingkungan akibat layanan prasarana sarana tidak memadai, sehingga menyebabkan nilai suatu kawasan menurun. Agar vitalitas kawasan-kawasan tersebut tidak terus merosot, maka perlu adanya revitalisasi yang melibatkan pemerintah, peran serta masyarakat, dan swasta, sehingga kawasan tersebut akan lebih terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh dengan sistem kota, yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Program revitalisasi dan peremajaan lingkungan kumuh sudah dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak, terutama di kota-kota besar. Pola peremajaan dan revitalisasi lingkungan permukiman kumuh apa pun yang ditempuh perlu berpedoman pada prinsip pemilihan lokasi yang sesuai untuk dilakukan peremajaan lingkungan. Dengan adanya revitalisasi kawasan diharapkan dapat memecahkan permasalah perkotan, diantaranya meningkatnya vitalitas kawasan perkotaan, berkurangnya kantong-kantong kawasan kumuh meningkatnya pelayanan jaringan sarana dan prasarana, dan meningkatkan nilai lokasi kawasan. Menurut Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, peremajaan lingkungan permukiman kumuh dapat dilakukan pada kawasan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kriteria kota, yang meliputi kota-kota di kawasan andalan, kota yang memiliki fungsi strategid atapun khusus, kota yang sedang melaksanakan program kali bersih, atau penataan kembali daerah-daerah bantaran banjir yang telah berkembang menjadi hunian tidak resmi kelompok masyarakat berpenghasilan sangat rendah. 2. Kriteria lingkungan permukiman, lokasinya bisa berada pada peruntukan permukiman dalam RDTR kota, seringkali tidak terdapat jaringan jalan local ataupun saluran pembuangan, lebih dari 60% rumah tidak atau kurang layak huni dengan angka penyakit akibat buruknya lingkungan 17 permukiman cukup tinggi (ISPA, diare, dan penyakit kulit), dan intensitas permasalahan sosial masyrakat yang cukup tinggi (urban crime, keresahan serta kesenjangan yang tajam). 3. Kawasan permukiman yang terletak diatas tanah legal dan tidak legal. 1.5.4 Kondisi Permukiman Kota Palembang Kota Palembang terdiri dari 16 kecamatan seluas 400,61 km2 dengan jumlah penduduk 1.523.310 jiwa pada tahun 2012. Kota Palembang terkenal sebagai kota industri dan kota perdagangan. Kurang baiknya penataan kota adalah masalah utama Kota Palembang yang dampaknya membias dan menjadi persoalan yang kompleks misalnya masalah sosial seperti maraknya pengemis jalanan, PKL yang sulit ditertibkan, sampai arus lalu lintas yang di beberapa tempat terasa semrawut tidak terlepas dari soal penataan kota yang sejak awal kurang tepat. Akibatnya ketika desakan penduduk dan aktivitas ekonomi menuntut kota dikembangkan semakin pesat, berbagai permasalahan sosialpun muncul. Kondisi fisik perumahan dan permukiman di Kota Palembang sangat bergantung pada kondisi topografi dan tingkat kepadatan bangunan. Kondisi ini menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman terlihat bervariasi menurut kondisi topografinya. Pada wilayah rawa dan pinggiran sungai khususnya di wilayah Seberang Ulu, umumnya banyak terdapat rumah panggung yang terbuat dari kayu, seperti pada bangunan rumah tradisional atau bangunan lama seperti rumah limas, rumah gudang dan rumah rakit. Kondisi perumahan dan permukiman tersebut terdapat di kecamatan Seberang Ulu II, dan wilayah Seberang Ulu dan sebagaian lagi di sepanjang sungai di wilayah Seberang Ilir. Disamping kondisi bangunan yang berdasarkan letaknya, maka kondisi bangunan perumahan dan permukiman di Kota Palembang dapat juga dilihat dari kondisi fisik bangunannya yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) kondisi baik yaitu kondisi rumah permanen, (2) kondisi sedang yaitu kondisi rumah semi permanen, dan (3) kondisi buruk yaitu bangunan tidak layak huni. 18 Kondisi perumahan di Kota Palembang relatif baik yang dicirikan oleh lebih kurang 212.806 unit (75%) rumah permanen, 42.561 unit (15%) rumah semi permanen, dan 28.374 unit (10%) rumah temporer atau tidak layak huni. Kondisi perumahan yang tidak layak huni pada umumnya terdapat di pinggiran sungai atau daerah yang padat penduduknya. Sedangkan kondisi perumahan yang relatif baik pada umumnya rumah yang dibangun oleh pengembang atau rumah yang dibangun oleh perusahaan terutama perusahaan industri atau oleh pemerintah. (BAPPEDA Kota Palembang, 2012). 1.6. Keaslian Penelitian Studi mengenai permukiman perkotaan sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, tentu saja dengan obyek, lokasi dan tujuan penelitian yang berbeda serta beragam. Berasarkan hasil studi literatur yang didapat, untuk kajian mengenai permukiman kumuh, didapatkan tiga penelitian sebelumnya yang mengkaji hal tersebut. Namun ketiga penelitian tersebut memilki tujuan, lokasi, dan metode yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada tahun 2005, Kamal dari Universitas Diponegoro meneliti mengenai manfaat penataan permukiman kumuh terhadap masyarakat nelayan di kawasan Bandengan Kabupeten Kendal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui dengan adanya program penataan lingkungan permukiman nelayan Bandengan, tingkat kekumuhan yang sebelumnya tergolong kumuh berat berubah menjadi kumuh sedang. Manfaat yang dirasakan dengan adanya program penataan lingkungan permukiman di Kabupaten Kendal meliputi tiga aspek, yaitu aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Penelitian tentang permukiman kumuh selanjutnya dilakukan oleh Putri yang mengkaji mengenai kualitas rumah di lingkungan permukiman rumah kurang sehat di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2009. Metode penelitian adalah survei, dengan teknik pengumpulan data obesrvasi, wawancara, dan penyebaran kuesioner. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan Uji T-test, regresi berganda, dan korelasi product moment agar dapat menjawab 19 hipostesis penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penelitian ini mengambil sampel 2 kelurahan, yang terdiri dari 123 rumah tangga. Tahun 2011 dilakukan penelitian mengenai pemukiman kumuh sebelum dan setelah berdirinya TPST Bandar Gebang oleh Septiani. Tujuan penelitian tersebut antara lain untuk mengetahui alasan penduduk bermukim di sekitar TPST Bantar Gebang, mengidentifikasi proses bermukim dan motivasi penduduk tinggal, dan mengetahui jumlah pendatang dan jumlah permukiman kumuh sebelum dan setelah TPST Bandar Gebang Berdiri di tiap kelurahan. Penelitian ini mengambil sampel lokasi di tiga kelurahan yang lokasinya berada dekat dengan TPST Bandar Gebang. Metode yang digunakan berupa survey dengan menggunakan kuesioner, observasi non partisipatif wawancara, dan dokumentasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebgian besar motivasi penduduk pendatang bermukim di sekitar TPST adalah untuk mencari pekerjaan. Terdapat perbedaan tipologi permukiman antara sebelum dan setelah berdirinya TPST. Mayasari (2012) meneliti mengenai kualitas permukiman di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas permukiman di Kecamatan Pasar Kliwon, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas permukiman tersebut. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel silang, serta dilakuka skoring terhadap variable-varibel yang telah ditentukan, yang kemudian dilakukakan analisis dengan metode chi kuadran serta koefisien kontingensi. Dari hasil penelitian diketahui terdapat perbedaan kualitas permukiman di daerah penelitian antara permukiman di bantaran sungai dan bukan di bantara sungai dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas permukiman adalah pendapatan rumah tangga. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya ada pada beberapa metode yang digunakan untuk menilai kualitas suatu permukiman, sedangkan perbedaannya terdapat pada wilayah kajian, serta fokus kajian. Keaslian penelitian secara ringkas dapat dilihat pada tabel 1.6.1. berikut ini. 20 Tabel 1.6.1. Keaslian Penelitian Nama Penulis Judul Penelitian Kamal Manfaat Penataan Permukiman Kumuh Terhadap Masyarakat Nelayan di Kawasan Bandengan Kabupaten Kendal Putri Kualitas Rumah Di Lingkungan Permukiman Rumah Kurang Sehat di Kecamatan Semarang Utara. Tahun Penelitian 2005 Lokasi Penelitian Bandengan, Kecamatan Kota Kendal, Kabupaten Kendal. 2009 Kecamatan Semarang Utara Mengkaji manfaat penataan permukiman kumuh melalui pembangunan sarana dan prasarana di kawasan nelayan Bandengan. Metode yang digunakan Kuantitatif. Kualitatif. Observasi. Studi literatur. Wawancara. Uji korelasi Mengkaji kualitas rumah di lingkungan permukiman rumah kurang sehat. Mengetahui hubungan dan pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap kualitas rumah. Mengkaji kebijakan pemerintah Kota Semarang dengan permukiman. Survei rumah tangga. Kuesioner. Wawancara. Obeservasi. Uji T-test Regresi berganda. Korelasi product moment Tujuan Hasil Tingkat kekumuhan yang sebelumnya tergolong kumuh berat berubah menjadi kumuh sedang. Manfaat yang dirasakan dengan adanya program penataan lingkungan permukiman meliputi tiga aspek, yaitu aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Kualitas rumah di kedua daerah menunjukkan kualitas rumah dari skala sedang sampai buruk. Pendapatan rumah tangga merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kualitas rumah. Pemerintah Kota Semarang memerlukan pengembangan drainase 21 Lanjutan Tabel 1.6.1. Keaslian Penelitian Nama Penulis Septiani Judul Penelitian Pemukiman Kumuh Sebelum dan Setelah Berdirinya TPST Bantar Gebang. Tahun Lokasi Penelitian Penelitian 2011 Kelurahan Ciketing Udik. Kelurahan Sumur Batu. Kelurahan Cikiwul. Tujuan Mengetahui alasan penduduk bermukim di sekitar TPST Bantar Gebang. Mengidentifikasi proses bermukim dan motivasi penduduk tinggal di permukiman kumuh di sekitar TPST Bantar Gebang. Mengetahui jumlah pendatang dan jumlah permukiman kumuh sebelum dan setelah TPST Bandar Gebang Berdiri di tiap kelurahan. Metode yang Hasil digunakan Survei Alasan penduduk asli kuesioner bermukim di sekitar TPST adalah mengikuti keluarga. Wawancara Alasan pendatang bermukim di terstruktur. sekitar TPST menurut daerah Observasi asal adalah mencari pekerjaan. non Proses bermukim penduduk partisipatif. sebelum dan setelah berdirinya Dokumentasi TPST adalah atas prakarsa sendiri. Terdapat perbedaan tipologi permukiman antara sebelum dan setelah berdirinya TPST. Motivasi pemukim tinggal di sekitar TPST adalah jenis pekerjaan, pendapatan, lokasi, empat kerja, keinginan tinggal, dan sarana. Terdapat perbedaan jumlah pendatang dan jumlah pemukim kumuh sebelum dan setelah berdirinya TPST di setiap kelurahan. 22 Lanjutan Tabel 1.6.1. Keaslian Penelitian Nama Penulis Mayasari Judul Penelitian Kualitas Permukiman Di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Tahun Penelitian 2012 Lokasi Penelitian Kecamatan Pasar Kliwon Metode yang Hasil digunakan Mengetahui kualitas Survei Terdapat perbedaan kualitas permukiman di lapangan. permukiman di daerah Kecamatan Pasar penelitian antara Kuesioner Kliwon. permukiman di bantaran Skoring. sungai dan bukan di bantara Mengetahui faktor- Statistik sungai dengan berbagai faktor yang deskriptif. faktor yang mempengaruhi Tabel silang. mempengaruhinya. kualitas permukiman Chi kuadrat. di kecamatan Adanya hubungan yang Koefisien tersebut signifikan antara kualitas kontingensi. permukiman dengan pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi kualitas permukiman. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas permukiman adalah pendapatan rumah tangga. Tujuan 23 Lanjutan Tabel 1.6.1. Keaslian Penelitian Nama Penulis Wafiqah Judul Penelitian Evaluasi Penataan dan Revitalisasi Permukiman Kumuh di Wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang Tahun Penelitian 2014 Lokasi Penelitian Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang Tujuan Memaparkan mengenai perbedaan kondisi fisik dan lingkungan permukiman setelah adanya program penataan dan revitalisasi permukiman kumuh di wilayah penelitian Mengetahui dampak yang dirasakan masyarakat dengan adanya program tersebut. Memberikan rekomendasi program yang ditingkatkan. Metode yang digunakan Survei lapangan. Kuesioner Statistik deskriptif. Tabel distribusi frekuensi Tabel silang. . Hasil 24 1.7. Kerangka Pemikiran Kota pada awalnya merupakan permukiman dengan skala kecil, yang kemudian mengalami perkembangan akibat dari pertumbuhan dan aktivitas penduduk, serta perubahan sosial ekonomi dan budaya dan interaksi terhadap kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun, yang terjadi dengan kota-kota di Indonesia adalah bahwa pertambahan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota serta peningkatan pelayanan perkotaan, sehingga sebagian besar kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. Permukiman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia (basic human needs) yang tentunya harus dapat terpenuhi agar kualitas kehidupan manusia menjadi baik. Pemenuhan kebutuhan akan permukiman sudah seharusnya menjadi perhatian dan kewajiban pemerintah pada khususnya dan masyarakat dalam mengelola dan menjaga kualitas perumahan dan lingkungan perumahan, tempat tinggal. Pemerintah Kota Palembang masih memiliki pekerjaan dalam manajemen permukiman, terutama keterkaitannya dalam hal manajemen kota. Dalam manajemen permukiman, tentu saja tidak hanya menyangkut bangunan rumah saja, tetapi juga manajemen lingkungan permukiman, yang sekarang ini banyak dikaitkan dengan isu lingkungan, yaitu penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pengentasan permukiman kumuh (slum) maupun permukiman liar (squatter). Dalam hal penyediaan permukiman, tentu saja harus disesuaikan dengan master plan atau rencana tata ruang. Konsistensi dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang sangat penting untuk mencapai terwujudnya struktur dan pola tata ruang yang serasi dan ramah lingkungan. Selain itu salah satu pendukung utama keberhasilan pembangunan yang harus diperhatikan adalah adanya infrastruktur kota yang berkualitas dan tepat guna. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengembangkan sarana prasarana yang efektif dan efisien dengan tetap menjaga konsistensi perencanaan tata ruang dan keberlanjutan sumberdaya alam serta lingkungan. 25 Terciptanya kawasan permukiman yang berwawasan lingkungan dapat diwujudkan salah satunya dengan cara meningkatkan kualitas lingkungan permukiman. Menurut Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman tahun 2002, ada lima kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan kualitas suatu kawasan permukiman antara lain; pertama kriteria berdasarkan lokasi yang terdiri dari status legalitas tanah, status penguasaan bangunan, dan frekuensi kejadian bencana. Kedua kriteria berdasarkan kependudukan yang terdiri dari; tingkat kepadatan penduduk, jumlah anggota keluarga dalam satu kepala keluarga, tingkat pertumbuhan penduduk, angka kematian kasar, status gizi balita, dan angka kesakitan. Ketiga yaitu kriteria berdasarkan kondisi bangunan, yang terdiri dari kualitas bangunan, kepadatan bangunan, kelayakan bangunan, dan penggunaan luas lahan bangunan. Kiteria selanjutnya yaitu berdasarkan kondisi sarana dan prasaran dasar, yang meliputi tingkat pelayanan air bersih. Kondisi sanitasi lingkungan, kondisi persampahan, kondisi drainase, kondisi jalan, dan ruang terbuka. Kriteria yang terakhir adalah berdasarkan sosial ekonomi yang terdiri dari variabel tingkat kemiskinan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan tingkat kerawanan dan keamanan. Usaha menata permukiman kota agar menjadi lebih teratur, dan sehat telah diupayakan berbagai program penataan lingkungan dan permukiman kumuh di Kota Palembang. Program-program tersebut meliputi peningkatan kualitas permukiman, pengendalian pembangunan, dan rehabilitasi sosial. Dalam upaya peningkatan kualitas permukiman, pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya, antara lain pemugaran, revitalisasi, relokasi dan rekonstruksi yang disusun dalam suatu rencana pembangunan dan pengembangan permukiman dan perumahan di daerah (RP4D). Perencananaan tersebut diprioritaskan pada tujuh kelururahan yang tersebar dalam dua kecamatan. Namun sampai pada akhir tahun 2013, program penataan dan revitalisasi permukiman kumuh yang ada baru dilaksanakan di Kelurahan 3-4 Ulu dalam bentuk relokasi permukiman kumuh yang berda di bantaran sungai, dan revitalisasi permukiman kumuh dalam bentuk program rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan adanya pelaksanaan program-program penataan tersebut, diperlukan suatu bentuk 26 evaluasi sebagai penilaian terhadap keberhasilan pelaksanaan program. Jika terjadi perubahan tingkat kekumuhan sebelum dan setelah penataan kawasan permukiman, dan masyarakat merasakan dampak positif dengan adanya program penataan tersebut, maka program penataan dan revitalisasi yang telah dilaksanakan dapat dikatakan berhasil. Tingkat keberhasilan program tersebut nantinya akan dijadikan sebagai suatu bentuk rekomendasi terhadap programprogram apa saja yang perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kualitas permukiman yang ada di Kota Palembang. Untuk lebih jelas mengenai pengembangan kerangka pemikiran alur penelitian dapat dilihat pada gambar 1.7.1 di bawah ini. 27 Aktivitas Penduduk Perkembangan Permukiman Perkembangan Kota Palembang Peningkatan kebutuhan permukiman Keterbatasan ruang Kemampuan sosial ekonomi Keterbatasan pemenuhan kebutuhan permukiman Permukiman tidak kumuh Variabel kualitas permukiman: 1.Tingkat kepadatan penduduk 2. Rata-rata anggota rumah tangga 3. Tingkat kualitas struktur bangunan 4. Tingkat kepadatan bangunan 5. Tingkat penggunaan luas lantai 6. Tingkat pelayanan air bersih 7. Kondisi sanitasi lingkungan 8. Kondisi Persampahan 9. Kondisi saluran drainase 10. Kondisi jalan 11. Ruang Terbuka 12. Tingkat kemiskinan 13. Tingkat pendidikan 14. Tingkat pendapatan 15. Tingkat keamanan Program Peningkatan kualitas lingkungan permukiman Pemugaran Revitalisasi Relokasi Rekonstruksi Permukiman kumuh Perkembangan permukiman kumuh Upaya penataan permukiman kumuh Program Pengendalian pembangunan Berhasil Evaluasi keberhasilan program. Tidak berhasil Program Rehabilitasi sosial Rekomendasi program yang perlu ditingkatkan Gambar 1.7.1 Kerangka Pemikiran 28 1.8. Hipotesis Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikemukakan hipotesis penelitian, yaitu: 1. Melalui program penataan dan revitalisasi di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, dapat meningkatkan kualiatas permukiman di kelurahan tersebut. Peningkatan kualitas permukiman tersebut ditandai dengan beberapa indikator, antara lain: a) Kondisi fisik bangunan sudah memadai, yang dapat dilihat dari struktur bangunan, tingkat kepadatan bangunan, dan luas bangunan. b) Kondisi sarana dan prasarana penunjang lingkungan permukiman, seperti ketersediaan air bersih, saluran drainase, pengolahan sampah yang sudah terkoordinir, dan adanya ruang terbuka hijau. c) Kepemilikan bangunan merupakan hak milik, begitu pula dengan tanah bangunan yang memiliki legalitas. 2. Masyarakat di wilayah Jaya Laksana dan Prajurit Nangyu dapat merasakan dampak positif dengan adanya program penataan dan revitalisasi permukiman kumuh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Palembang. 1.9. Batasan Operasional Penelitian Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari atu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan ataupun kawasan perdesaan (UU. No. 1 Tahun 2011). Permukiman kumuh adalah lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, 29 rumah berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin, dan hujan, lingkungan tata permukiman tidak teratur, bangunan sementara, mata pencaharia penghuni tidak tetap, tanah bukan milik penghuni, pendidikan rendah, penghuni sering tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran, banjir, dan rawan terhadap timbulnya penyakit (Komarudin, 1997). Kawasan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU. No 1 Tahun 2011). Revitalisasi merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan nilai lahan ataupun kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya (Permen. PU No. 18/PRT/M/2010). Peremajaan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas melalui perombakan dengan perubahan yang mendasar san penataan yang menyeluruh (Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, 2001). Peremajaan lingkungan kota adalah upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah atau memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar kawasan tersebut fungsinya meningkat lagi sesuai dengan pengembangan kota (Komarudin, 1997). Kualitas lingkungan permukiman merupakan peringkat dimana adanya kemampuan lingkungan permukiman dalam memenuhi segala kebutuhan bagi penghuni yang ada di dalamnya (Ritohardoyo, 2000). 30 Pembinaan revitalisasi kawasan merupakan kegiatan pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan agar revitalisasi kawasan dapat berlangsung tertib dan sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum (Permen. PU No. 18/PRT/M/2010). 31