BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1.Definisi Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan gangguan insulin yang berbeda dengan diabetes tipe 1. Kasus diabetes tipe 2 terdapat lebih dari 90% kasus di seluruh dunia dibandingkan diabetes tipe 1. Diabetes tipe 2 disebut juga maturity onset biasanya menyerang orang berusia sekitar 40 tahun dimana hormon insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan semestinya, dikenal juga dengan istilah Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin, resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah (WHO, 2006). 2.1.2. Etiologi DM Tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defesiensi relative insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel B pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. DM Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.3. Faktor Risiko Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM Tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain: a) Kelainan genetik Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. b) Usia Umumnya penderita DM Tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM Tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin. c) Gaya hidup stress Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM Tipe 2. d) Pola makan yang salah Pada penderita DM Tipe 2 terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM Tipe 2 adalah mereka yang tergolong gemuk. 2.1.4. Patogenesis Dalam kondisi fisiologis normal, konsentrasi glukosa plasma dipertahankan dalam kisaran yang sempit, meskipun fluktuasi pasokan dan permintaan, melalui ketat diatur dan dinamis interaksi antara sensitivitas jaringan terhadap insulin (terutama di hati) dan sekresi insulin (DeFronzo, 1988). Pada diabetes tipe 2 mekanisme ini memecah, dengan konsekuensi bahwa dua cacat patologis utama pada diabetes tipe 2 mengalami penurunan nilai sekresi insulin melalui disfungsi sel-β pankreas, dan gangguan kerja insulin melalui resistensi insulin (Holt, 2004). Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki asosiasi yang lebih besar genetik dari DM Tipe 1. Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas pulau dalam menanggapi postprandial kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis menekan hati. Ada kenaikan bolak dan jatuh di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi untuk mempertahankan homeostasis glukosa (DeFronzo, 1988). Toleransi glukosa, kemampuan untuk mempertahankan euglycemia, tergantung pada tiga peristiwa yang harus terjadi dengan cara yang ketat terkoordinasi, yaitu (DeFronzo, 1988): a) Stimulasi sekresi insulin b) Penindasan yang dimediasi insulin endogen(terutama hati) produksi glukosa c) Insulin-mediated stimulasi serapan glukosa oleh jaringan perifer. Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi insulin dan defek sekresi insulin. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa, tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, ada cacat dalam fungsi reseptor, jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan fosforilasi glukosa, sintesis glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi. Kedua defek sama berkontribusi untuk kelebihan kadar glukosa serum postprandial (DeFronzo, 1988). 2.1.5. Patofisiologi Patofisiologi terjadinya penyakit Diabetes Mellitus tergantung kepada tipe diabetes. Individu dengan NIDDM memiliki tingkat terdeteksi beredar insulin, tidak seperti pasien dengan IDDM dan patofisiologi diabetes tipe 2 dijelaskan pada Gambar 3. Atas dasar toleransi glukosa oral menguji unsur-unsur penting dari NIDDM dapat dibagi menjadi empat kelompok yang berbeda (Brunner & Sudddart (2002): a) Mereka dengan toleransi glukosa normal. b) Diabetes Kimia (disebut toleransi glukosa terganggu). c) Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang dari 140 mg / dl). d) Diabetes mellitus berkaitan dengan hiperglikemia puasa yang jelas (glukosa plasma puasa lebih dari 140 mg / dl). Gambar 2.2: Patofisilogi Diabetes Mellitus Tipe 2 Sumber: Al Homsi MF, Lukic ML (2007). Individu dengan gangguan toleransi glukosa memiliki hiperglikemia meskipun memiliki tingkat tertinggi insulin plasma, menunjukkan bahwa mereka tahan terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan dari gangguan toleransi glukosa untuk diabetes mellitus, tingkat penurunan insulin menunjukkan bahwa pasien dengan NIDDM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi insulin dan defisiensi insulin yang umum di NIDDM pasien rata-rata (Al Homsi M.F., Lukic M.L., 2007). Resistensi insulin adalah penyebab utama NIDDM, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa kekurangan insulin adalah penyebab utama karena tingkat moderat resistensi insulin tidak cukup untuk menyebabkan NIDDM (Raju ,2010). Kebanyakan pasien dengan bentuk umum dari NIDDM memiliki keduanya cacat. Bukti terbaru telah menunjukkan peran anggota dari reseptor hormon yang super keluarga inti protein dalam etiologi diabetes tipe 2 (Raju, 2010) 2.1.6. Manifestasi Klinis Seseorang yang menderita DM Tipe 2 biasanya mengalami peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula. Gejala atau manifestasi klinisnya dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik (Smeltzer & Bare, 2002). 1) Gejala Akut Gejala penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. a) Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli), yaitu: • Banyak makan (poliphagia) • Banyak minum (polidipsia) • Banyak kencing (poliuria) b) Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala: • Banyak minum • Banyak kencing • Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) 2) Gejala Kronik Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah sebagai berikut: • Kesemutan • Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum • Rasa tebal di kulit • Kram • Capai • Mudah mengantuk • Mata kabur, biasanya sering ganti kaca mata • Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita • Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun,bahkan impotensi • Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg 2.1.7. Diagnosis Kriteria diagnosa yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1980 dan 1985 masih digunakan, meskipun semenjak itu telah ditarik dan diperbaiki oleh American Diabetes Association (ADA) melalui komite ahli tentang diagnosa dan penggolongan diabetes mellitus 1997. Kriteria yang dimaksud sebagai berikut: a) WHO: Kadar glukosa atau gula dengan atau yang melampaui 11.1 mmol/1 dalam plasma darah vena yang diambil sampelnya secara acak. (atau 10.1 mmol/1 jika seluruh darah vena diambil sampelnya), atau kadar gula puasa dengan atau yang melampaui 7.8 mmol/1 dalam plasma darah vena. (Atau 6.7 mmol/1 jika seluruh darah vena diambil sampelnya). b) ADA: Kadar glukosa dengan atau yang melampaui 11.1 mmol/1 dalam plasma darah vena yang diambil sampelnya secara acak, ditambah dengan gejala-gejala diabetes, atau kadar gula puasa dengan atau yang melampaui 7.0 mmol/1 dalam plasma sampel darah vena. (Puasa dinyatakan sebagai tanpa makan atau minum yang mengandung kalori-kalori selama 6-10 jam sebelumnya, biasanya semalam) (Mc Wright, 2008). Menurut kriteria International Diabetes Federation (IDF), American Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), apabila gula darah pada saat puasa diatas 126mg/dl dan 2 jam sesudah makan diatas 200mg/dl, diagnosis diabetes bisa dipastikan. Tabel 2.1: Kriteria Diagnosis Diabetes (WHO,2010) Sumber: World Health Organisation Jika kadar glukosa darah tidak normal tetapi belum termasuk kriteria diagnosis untuk diabetes, keadaan ini disebut Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau IGT. Seseorang dengan TGT mempunyai risiko terkena diabetes tipe 2 jauh lebih besar daripada orang biasa. Dapat ditegakkan melalui tiga cara dengan melihat dari tabel dibawah ini: Tabel 2.2: Tabel Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus. Sumber: Perkeni, 2006. Cara pemeriksaan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) sesuai dengan Perkeni (2006): a) Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari- hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. b) Berpuasa paling sedikit 8 jam ( mulai malam hari) sebelum pemeriksaan minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. c) Diperiksa kadar glukosa puasa d) Diberikan glukosa, 75 gram pada orang dewasa atau 1,75 gram/kg BB anakanak, dilarutkan dalan 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit. e) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glucosa selesai. f) Diperiksa kadar glukosa 2 jam sesudah beban glucosa. g) Selama proses pemeriksaan tidak merokok (Perkeni, 2006). 2.2.7.1. Pemeriksaan Urine Pemeriksaan urine yang dilakukan untuk menganalisis keton tubuh, glukosa dan protein dalam urin. Reaksi kolorimetri yang terjadi antara keton dan nitroprusside (Sodium ni-troferricyanide) adalah metode yang digunakan untuk pengukuran semiquantitatif cepat keton. Clinistix dan Diastix strip kertas atau dipstik yang berubah warna saat dicelupkan ke dalam urine. Tes strip dikupas untuk grafik yang menunjukkan jumlah glukosa dalam urin berdasarkan perubahan warna (Widjayanti, 2008). Tingkat glukosa dalam urin tertinggal tingkat glukosa dalam darah. Pengujian urin dengan tes tongkat atau kertas strip, sebagai pengujian darah. Namun, dapat memberikan cepat dan senang membaca. Keton dalam urin dapat dideteksi menggunakan sejenis tes dipstik (Acetest atau Ketostix). Sampel urin dengan berat jenis 1,010-1,020 menghasilkan hasil yang paling akurat. Tes dipstik lain dapat menentukan adanya protein atau albumin dalam urin. Protein dalam urin dapat menunjukkan masalah dengan fungsi ginjal dan dapat digunakan untuk melacak perkembangan gagal ginjal. Sebuah tes yang lebih sensitif untuk protein urin menggunakan radioaktif tagged bahan kimia untuk mendeteksi mikroalbuminuria, sejumlah kecil protein dalam urin, yang mungkin tidak muncul pada tes dipstick (Widjayanti, 2008). 2.2.7.2. Pemeriksaan Darah Berbagai metode tes darah secara rutin digunakan dalam diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 (Widjayanti, 2008): • Tes Glukosa Puasa • Postprandial Plasma Glucose Test • Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT) • Uji Plasma Insulin 1. Tes glukosa puasa Uji Puasa glukosa berbanding lurus dengan tingkat keparahan diabetes mellitus. Selama tes ini, darah diambil dari vena di lengan pasien setelah pasien belum makan selama sedikitnya delapan jam, biasanya di pagi hari sebelum sarapan. Selsel darah merah dipisahkan dari sampel dan jumlah glukosa diukur dalam plasma yang tersisa. Tingkat plasma dari 200 mg / dL atau lebih kuat mengindikasikan diabetes asalkan obat-obatan seperti glukokortikoid tidak dikelola. Tes glukosa puasa biasanya kembali diulangi-hari.Kadar glukosa plasma pada penderita diabetes terkontrol berkisar selama khas 24- jam dari serendah 250mg / L sampai setinggi 3250mg / L. Variasi ini lebih luas dibandingkan pasien bukan diabetes. 2. Postprandial Plasma Glucose Test Diabetes Mellitus lebih mudah terdeteksi ketika kapasitas karbohidrat metabolisma diuji. Hal ini dapat dilakukan dengan menekankan sistem dengan beban glukosa didefinisikan. Ukuran-ment dari tingkat bahwa beban glukosa dibersihkan dari darah, dibandingkan dengan tingkat clearance glukosa pada orang yang sehat, mendeteksi penurunan metabolisme glukosa. Sebuah tinggi makan karbohidrat digunakan sebagai beban karbohidrat, meskipun minuman glukosa 75g biasanya lebih disukai daripada makan. Darah diambil pada 2 jam setelah konsumsi makanan atau minuman glukosa. Kadar glukosa diatas 1400mg / L yang tidak normal; tingkat 1200-1400 mg / L yang ambigu; dan tingkat 1200mg menjadi rendah / L normal. Variabel ini termasuk usia, berat badan, diet sebelumnya, aktivitas, penyakit, obat, pada waktu tes dilakukan dan ukuran dari dosis glukosa. Ketika makan digunakan sebagai beban, beban glukosa yang efektif tergantung pada pencernaan disakarida dan polisakarida serta penyerapan berikutnya mereka dari saluran usus. 3. Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT) Tes toleransi glukosa oral mengevaluasi izin dari peredaran setelah pemuatan glukosa dalam kondisi tidak dikendalika.Tes telah dibakukan oleh Komite Statistik dari American Diabetes Association. Pasien seharusnya berpuasa untuk 8-14 jam. Baseline data sampel darah diambil. Pasien diberi larutan glukosa, yang diminum dalam waktu 5 menit. Darah diambil pada interval untuk pengukuran glukosa (gula darah), dan kadang-kadang insu-lin tingkat. Interval dan jumlah sampel bervariasi sesuai dengan tujuan tes. Untuk screening diabetes sederhana, sampel yang paling penting adalah sampel 2 jam post prandial.Pada non-diabetes, tingkat glukosa dalam darah naik segera setelah minum dan kemudian menurun secara bertahap sebagai insulin digunakan oleh tubuh untuk memetabolisme atau menyerap gula.Pada diabetes, glukosa dalam darah naik dan tetap tinggi setelah minum cairan manis. Tingkat glukosa plasma dari 2000 mg / L atau lebih tinggi pada dua jam setelah minum sirup dan pada satu titik lain selama periode pengujian dua jam menegaskan diagnosis diabetes.Selama pengujian, pasien harus rawat jalan, karena dalam aktivitas menurun toleransi glukosa. Tes ini juga dapat dipengaruhi oleh penyakit, kelainan hormon seperti Mu-roxine, hormon pertumbuhan, kortisol, dan katekolamin, obat-obatan dan obat-obatan seperti kontrasepsi oral, salisilat, asam nikotinat, diuretik dan agen hipoglikemik dan waktu pengujian. Beban glukosa harus terdiri dari glukosa saja. 4. Uji Plasma Insulin Kadar insulin plasma puasa di tipe 1 penderita diabetes yang rendah. Bagi penderita diabetes tipe 2 yang rendah hanya jika kadar glukosa plasma puasa melebihi 2500mg / L. Tantangan glukosa memisahkan diabetes mellitus tipe 1 dari penderita diabetes mellitus tipe 2. Pemuatan glukosa memunculkan ada pelepasan kembali insulin yang signifikan tanggapan untuk diabetes mellitus tipe 1 dan tertunda, berlebihan ulang tanggapan diabetes mellitus tipe 2. Penderita diabetes dapat memantau kadar glukosa darah mereka sendiri dengan kit pemantauan glukosa darah di rumah. Sebuah jarum kecil atau lancet digunakan untuk menusuk jari dan setetes darah dikumpulkan dan dianalisis oleh perangkat monitoring. Penggunaan yang benar dari alat tersebut meminimalkan variasi glukosa darah yang dialami oleh penderita diabetes dan, sebagai hasilnya, peristiwa hipoglikemik dan bahkan komplikasi jangka panjang dari diabetes mellitus.Beberapa pasien dapat menguji kadar glukosa darah mereka beberapa kali selama sehari dan menggunakan informasi ini untuk menyesuaikan diet atau dosis insulin. Dalam sebuah pernyataan konsensus tentang pemantauan glukosa darah, banyak populasi insulin-diperlakukan telah direkomendasikan untuk program pemantauan diri. Ini termasuk wanita hamil, pasien dengan diabetes yang tidak stabil, pasien yang menerima terapi insulin intensif dan pasien dengan ambang ginjal normal untuk glukosa.Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain at au hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. 2.2.8. Penatalaksanaan Berdasarkan cara pemberiannya obat hipoglikemik terdiri dari obat hipoglikemik oral dan obat hipoglikemik suntik yang mengandung insulin (Tjay dan Rahardja, 2002). 1) Obat antidiabetik oral a) Golongan Sulfonilurea Tolbutamid termasuk golongan sulfonilurea yang dapat merangsang keluarnya insulin dari pancreas.Tolbutamid mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0% (C12H18N2O3S), terhitung dari zat yang telah dikeringkan. Pemerian dari tolbutamid adalah serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa agak pahit.Tolbutamid merupakan obat turunan dari karbutamida, dengan menggantikan gugus-P amino dengan gugus metil efek-efek sulfa dilenyapkan (Tjay dan Rahardja, 2002). Daya hipoglikemik tolbutamid relatif lemah, maka jarang menyebabkan hipoglikemia. Obat ini banyak digunakan pada penderita diabetes tipe-2 (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada pasien lanjut usia secara lebih amannya digunakan tolbutamid karena mempunyai durasi kerja paling cepat (Neal, 2005). Plasma t½ nya sekitar 4-5 jam, tetapi ternyata bahwa penakaran single-dose pagi hari cukup efektif untuk mengendalikan kadar gula selama 24 jam. Zat ini dioksidasi menjadi metabolit inaktif yang diekskresikan 80% lewat kemih. (Tjay dan Rahardja, 2002). b) Golongan Inhibitor α-Glukosidase Acarbose merupakan penghambat kompetitif alfa glucosidase usus dan memodulasi pencernaan pasca prandial dan absorpsi zat tepung dan disakarida.Akibat klinis pada hambatan enzim adalah untuk meminimalkan pencernaan pada usus bagian atas dan menunda absorpsi zat tepung dan disakarida yang masuk pada usus kecil bagian distal, sehingga menurunkan glikemik setelah makan dan menciptakan suatu efek hemat insulin. Data farmakokinetik acarbose adalah onset efek pertama kali muncul 0,5 jam, waktu paruh (t1/2) 1-2 jam, durasi 4 jam (Tjay dan Rahardja, 2002). c) Golongan Biguanid Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin yang diproduksi oleh tubuh, tidak merangsang peningkatan produksi insulin sehingga pemakaian tunggal tidak berakibat hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid antara lain metformin (glucophage). Golongan Meglitinid ,Obat ini dapat dikombinasikan dengan metformin digunakan dalampengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 sebagai tambahan terhadap diet dan olahraga untuk penderita yang hiperglikemiknya tidak dapat dikontrol secara memuaskan dengan cara-cara tersebut. Contoh obat dari golongan ini antara lain repaglinid (novonorm), nateglinid (starlix) (Tjay dan Rahardja, 2002). d) Golongan Thiazolidindion Golongan ini dapat digunakan bersama sulfonilurea, insulin atau metformin untuk memperbaiki kontrol glikemia. Contohnya antara lain pioglitazon (actos), rosiglitazon (avandia) (Tjay dan Rahardja, 2002). 2. Insulin Insulin kadang digunakan oleh pasien DM Tipe 2 dan ibu hamil yang disertai Diabetes Mellitus, namun untuk waktu yang singkat. Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut (Katzung, 2002): • Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren, ketoasidosis, dan koma. • Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary control. • Penurunan badan yang drastis • Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis maksimal. • Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat. Ada 4 tipe utama insulin yang tersedia: • Ultra-short-acting, yang mempunyai mula kerja sangat cepat dan masa kerja yang pendek. • Insulin reguler, jenis insulin ini bekerja dalam waktu yang pendek dengan mula kerja cepat. • Insulin lente, bekerja dalam waktu menengah. • Insulin yang bekerja dalam jangka waktu panjang dengan mula kerja lambat 2.2.10. Upaya Pencegahan Diantara penyakit degenaratif, Diabetes Mellitus yang termasuk juga Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan antara salah satu penyakit yang sangat potensial untuk dapat dicegah. Jumlah penderita DM tiap tahun semakin meningkat (prevalensinya menunjukkan peningkatan per tahun) dan besarnya biaya pengobatan serta perawatan penderita DM, terutama akibat-akibat yang ditimbulkannya (Sinaga, 2011). Jika telah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap, maka upaya pencegahan sangat bermanfaat baik dari segi ekonomi maupun terhadap kesehatan masyarakat. Perawatan kesehatan preventif untuk penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 bisa dengan pencegahan primordial, pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier(Sinaga, 2011). 1) Pencegahan Primordial Pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memiliki faktor risiko untuk terjadinya DM. Pencegahan primordial ditujukan kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari risiko DM. Misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang bergizi dan seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan tertentu ataupun kegiatan jasmani yang memadai(Sinaga, 2011). 2) Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita DM. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DM dan upaya untuk mengeliminasi/ menghilangkan faktor-faktor tersebut.Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat tetapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang berisiko tinggi yang berpotensi menderita DM. Tindakan yang perlu dilakukan untuk usaha pencegahan primer ini meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan pedoman, yaitu mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang seperti meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana, dan mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Selain itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani yang cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan. 3) Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit.Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Pengobatan sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus dan pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat. 4) Pencegahan Tersier Pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi. Untuk mencegah terjadinya kecacatan harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar komplikasi DM tersebut dapat dikelola dengan baik. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan primer tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier. (Sinaga, 2011). 2.2.9. Komplikasi Komplikasi-komplikasinya dapat dibagi 2 kategori mayor, yaitu kompliksi metabolik akut dan komplikasi metabolik kronik jangka panjang (Sudoyo, 2006). 2.2.9.1. Komplikasi Metabolik Akut Komplikasi yang akut akibat DM terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya timbul akibat glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia) (Sudoyo, 2006). a) Hipoglikemia Hipoglikemia merupakan komplikasi potensial.Keadaan ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes yang menjalani terapi insulin dan terkadang pada mereka yang menjalani terapi sulfonilurea. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Serangan hipoglikemia sangat berbahaya dan apabila sering terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl. Kadar glukosa yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat menjadi rusak. Hipoglikemia ini lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu sedangkan pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi (Sudoyo, 2006). b) Hiperglikemia Hiperglikemia adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang lebih tua. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%.29 Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur (Sudoyo, 2006). 2.2.9.2. Komplikasi Metabolik Kronik Komplikasi kronik adalah komplikasi akibat diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung sejak lama. Keadaan ini kemudian memunculkan kerusakan pembuluh darah yang selanjutnya berdampak terhadap organ-organ tubuh lain, seperti jantung, stroke, ginjal, mata, dan lainnya (Kim, S. Y., Kim, K. M., et al., 2009). a) Kerusakan Saraf (Neuropathy) Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Baik penderita DM Tipe 1 maupun Tipe 2 bisa terkena neuropati.Neuropati diabetik terjadi pada 60-70% penderita DM. Neuropati Diabetik adalah kerusakan saraf yang terjadi karena kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu yang lama yang melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler. Akibatnya saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau terlambat mengirim. Gejala-gejala neuropati yang sering muncul adalah kesemutan, rasa panas, kram, rasa tebal, dan nyeri. Bila kerusakan itu banyak terjadi pada urat saraf maka disebut polineuropati diabetik. Ini akan menyebabkan otot-otot kaki penderita akan mengecil/ atrofi. Semua kelainan saraf akibat DM dapat diatasi bila cepat ditangani. Karena penderita sering lengah biasanya kelainan urat saraf sudah parah sehingga memperlambat kesembuhan. b) Kerusakan Ginjal (Nephropathy) Komplikasi pada ginjal bukan akibat kebanyakan obat melainkan karena kontrol kadar gula darah yang buruk. Kerusakan ginjal timbul karena kadar glukosa darah yang tinggi umumnya di atas 200 mg/dl dan tekanan darah tinggi. Bila terjadi kerusakan ginjal yaitu pembuluh kapiler ginjal rusak/ bocor maka protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar dan terdapat di dalam urine. Dibandingkan dengan ginjal orang normal, diabetes memiliki kecenderungan tujuh belas kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh faktor infeksi yang sering timbul pada penderita diabetes dan faktor penyempitan pembuluh darah kapiler di dalam ginjal. c) Kerusakan Mata Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab utama kebutaan. Setelah mengidap DM selama 15 tahun, rata-rata 2% penderita DM menjadi buta dan 10% mengalami cacat penglihatan.Komplikasi klinis yang terjadi adalah timbulnya kerusakan retina mata (retinopati), yang dapat menyebabkan kebutaan. Gangguan mata ini sering kali berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, lama diabetes, dan hipertensi.Retinopati terjadi akibat penebalan membran basal kapiler yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor (perdarahan) dan pembuluh darah tertutup (iskemia retina dan pembuluh darah baru). Gangguan mata ringan biasanya tanpa keluhan. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan, antara lain tampak bayangan jaring atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, bayangan abu-abu, mata kabur, sulit membaca, mata terasa nyeri, sampai pada kebutaan.Selain menyebabkan retinopati, DM juga menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut katarak dan dapat menyebabkan glukoma (meningkatnya tekanan bola mata). d) Stroke Diabetes sering disertai dengan hipertensi, kolesterol terutama LDL yang tinggi, obesitas, merokok, kurang olahraga, hidup santai, dan sebagainya. Hal ini akan memicu terbentuknya radikal bebas yang mendorong atau mempercepat proses aterosklerosis. Proses ini bisa menimbulkan pemyumbatan darah otak yang menyebabkan stroke. Diabetes juga mempermudah komplikasi perdarahan pada pembuluh darah otak. Stroke akibat perdarahan umumnya lebih berbahaya daripada stroke akibat penyumbatan. 2.2.10. Prognosis Prognosis pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diabetes tipe II, prognosisnya dapat baik apabila pasien bias memodifikasi atau meminimalkan risiko timbulnya komplikasi dengan baik (Setyohadi, B., Alwi, 2006) 2.3. Asam Urat 2.3.1. Definisi Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin (Nukleoprotein) (Vitahealth, 2005). 2.3.2. Metabolisme Asam Urat Pembentukan Asam urat dimulai dengan metabolisma dari DNA dan RNA menjadi Adenosine dan Guanosin, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Proses ini berlangsung secara terus menerus di dalam tubuh. Sebagian besar sel tubuh selalu diproduksi dan digantikan, terutama dalam darah (Baron, D.N., 1994). Gambar 2.3: Pembentukan Asam Urat. Sumber: Guyton, 2012. 2.3.3. Kadar Asam Urat Normal Kadar asam urat dapat diukur dengan dua cara, Enzimatik dan Teknik Biasa. Kadar asam urat normal menurut tes Enzimatik maksimum 7 mg/dl. Sedangkan pada Teknik Biasa, nilai normalnya maksimum 8 mg/dl. Kadar asam urat diatas normal disebut hiperurisemia. Nilai normal Darah ¾ Dewasa mmol/L : laki-laki: 4,0 – 8,5 mg/dl atau 0,24 - 0,52 wanita: 2,7 – 7,3 mg/dl atau 0,16 – 0,43 mmol/L ¾ . Manula : sedikit lebih tinggi ¾ Anak-anak Bayi : 2,5 – 5,5 mg/dl atau 0,12 – 0,32 mmol/L ¾ : 2,62 mg/L Urine 250–750 mg/24 jam atau 1,48– 4,43 mmol/hari (SI units) Nilai kritis dalam darah : >12 mg/dl.5 2.3.4. Hubungan Kadar Asam Urat Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 Asam urat merangsang produksi sitokin dari leukosit dan kemokin dari otot polos pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adesi platelet dan pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stres oksidatif. Dari sini diduga terdapat peranan potensial AU atau xantin oksidase bagi terjadinya disfungsi endotel dan dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya bermuara pada terjadinya resistensi insulin dan cardiovascular events. Efek ensimatik xantin oksidase adalah produksi reactive oxygen species (ROS) dan AU. Hal ini akan menimbulkan stres oksidatif dan memicu terjadinya RI baik secara langsung maupun akibat peningkatan aktivitas Protein Kinase C (PKC). Studi pada manusia juga mendapatkan AU sebagai prediktor poten adanya hiperinsulinemia dan obesitas, hal ini diduga akibat kemampuan AU dalam menghambat fungsi endotel melalui gangguan dalam produksi NO. Hubungan yang positif antar AU dengan RI sebagian disebabkan karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, sebagai akibatnya kemampuan ginjal mengekresikan sodium dan AU menurun dan hasil akhirnya konsentrasi AU serum meningkat (Tsunoda dkk,). BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian