BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO, penderita gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara. Congestive Heart Failur (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Jantung merupakan organ vital pada tubuh manusia. Kegagalan jantung akan berdampak terhadap sistem tubuh secara keseluruhan. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Congestif Heart Failure (CHF)? 2. Bagaimana etiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan klasifikasi CHF? 3. Bagaimana patofisiologi CHF dan hubungannya dengan kelebihan cairan? 4. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien CHF? 5. Bagaimana penatalaksanaan medis klien dengan CHF? C. Tujuan Penulisan 1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Congestif Heart Failure (CHF). 2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan klasifikasi CHF. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi CHF dan hubungannya dengan kelebihan cairan. 4. Mahasiswa mampu menguraikan asuhan keperawatan pada klien CHF. 5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan medis pada klien CHF. 1 D. Metode Penulisan Dalam melakukan penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode atau cara Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu metode dimana mahasiswa diberikan pemicu sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh kelompok. Setelah menentukan definisi masalah, mahasiswa menganalisis masalah, kemudian membuat hipotesis terkait masalah. Setelah membagi materimateri yang harus dicari terkait masalah, setiap anggota secara mandiri mencari sumber pengetahuannya melalui buku, internet, dan berbagai referensi lain. Setelah memperdalam materi yang didapat masing-masing, setiap anggota memiliki kesempatan untuk menyumbangkan informasi, pengetahuan, ide, dan pendapat yang dimilikinya kepada anggota lainnya. Kemudian laporan dari setiap anggota tersebut diintegrasikan ke dalam makalah ini. E. Sistematika Penulisan 1. Bab I Pendahuluan 2. Bab II Tinjauan Pustaka 3. Bab III Pembahasan 4. Bab IV Kesimpulan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif atau yang sering disebut dengan congestive heart failure (CHF) merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peningkatan volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif umumnya digunakan jika terjadi gagal jantung sisi kiri atau gagal jantung sisi kanan. Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan adanya sesak napas dan fatique bai saat istirahat maupun berakifitas, yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Jantung pada pasien CHF tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Menurut New York Heart Association (NYHA), gagal jantung diklasifikasikan menjadi empat, yaitu NYHA kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV. Pada NYHA kelas I, pasien tanpa pembatasan kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas, dan berdebar-debar saat melakukan aktivitas biasa. Pasien gagal jantung NYHA kelas 2 sedikit diberikan pembatasan kegiatan fisik dan mereka tidak mengeluh apapun saat istirahat, namun kegiatan fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada. Pasien dengan NYHA kelas 3 merupakan pasien gagal jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa saat istirahat, namun kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang sudah disebutkan di atas. Penderita gagal jantung NYHA kelas IV tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahatnya juga dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan. 3 B. Etiologi Gagal Jantung Kongestif Congestive Heart Failure (CHF), atau yang lebih dikenal dengan gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Adanya gangguan kemampuan kontraktilitas jantung merupakan salah satu penyebab yang mendasari terjadinya CHF. Gangguan tersebut menyebabkan jumlah curah jantung pasien CHF lebih rendah dari curah jantung normal. Selain itu, secara epidemiologi, penyakit jantug koroner (PJK) dan hipertensi menjadi penyebab CHF terbanyak. Berdasarkan studi yang dilakukan Framingham, dinyatakan bahwa PJK merupakan penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% wanita. Faktor risiko PJK seperti diabetes dan merokok juga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap gagal jantung. Obesitas dan tingginya rasio kadar kolesterol total dan konsentrasi HDL plasma darah juga menjadi faktor independen terjadinya gagal jantung. Namun, penyebab spesifik terjadinya gagal jantung adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi walaupun terkadang, kegagalan tersebut terjadi karena ketidakmampuan bilik jantung berelaksasi, membesar, dan terisi dengan cukup selama diastol untuk mengakomodasikan darah secara adekuat. Apapun yang mendasari, gagal jantung kongestif dikarakteristikan dengan adanya penurunan curah jantung (forward failure) atau aliran balik darah ke sistem vena (backward failure) atau keduanya. Faktor lain yang dapat menyebabkan gagal jantung adalah 1. Obat-obatan seperti penyekat beta dan antagonis kalsium dapat menekan kontraktilitas miokard dan obat keomterapeutik seperti doksorubisin dapat menyebabkan kerusakan miokard 2. Alkohol Bersifat kardiostoksis, terutama bila dikonsumsi dalam jumlah besar 3. Aritma 4 Mengurangi efisiensi jantung, seperti yang terjadi bila kontraksi atrium hilang atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). C. Gagal Jantung Kiri Gagal jantung kiri terjadi jika ventrikel kiri tidak mampu lagi memompa darah yang datang dari paru-paru sehingga terjadi aliran balik vena. Hal tersebut dapat menyebabkan edema paru karena peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Gagal jantung kiri umumnya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardium non-iskemik. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan. Pasien dengan CHF yang disertai edema paru umumnya datang dengan distress pernapasan berat, takipnoe, dan ortopnoe dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Nilai saturasi O2 arteri biasanya < 90% pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen. Pada hasil pemeriksaan darah pasien dengan CHF umumnya juga ditemukan anemia, hipokalemia dan hiperkalemia yang dapat meningkatkan resiko aritmia, hiponatremia akibat penekanan sistem RAA, dan juga peningkatan kadar tiroid pada tirotoksisitas. D. Gagal Jantung Kanan Gagal jantung kanan terjadi bila ventrikel kanan gagal memompakan darah, sehingga bagian kongestif visera dan jaringan perifer akan menonjol. Hal tersebut terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Umumnya, gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri muncul pada beberapa penyakit. Selain itu, gagal jantung kanan biasanya merupakan konsekuensi sekunder gagal jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru pada kegagalan jantung kiri. 5 Gagal jantung kanan sering muncul bersama hipertensi pulmoner berat kronik (cor pulmonale). Pada keadaan ini, ventrikel kanan terbebani oleh beban kerja tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Manifestasi klinis yang tampak pada pasien yang menderita gagal jantung kanan meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah. E. Patofisiologi Gagal Jantung 6 CHF terjadi karena interaksi kompleks antara faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, afterload, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi. Terdapat 3 faktor yang jika salah satunya tidak terpenuhi dapat menyebabkan berkurangnya curah jantung, yaitu : (Smeltzer & Bare, 2002) 1. Preload Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung. 2. Kontraktilitas Perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan serabut jantung dan kadar kalsium. 3. Afterload 7 Besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol. Gagal jantung merupakan sindrom, walaupun penyebabnya berbedabeda. Namun, bila terjadi memiliki gejala, tanda, dan patofisiologi yang sama. Curah jantung yang tidak adekuat menstimulasi mekanisme kompensasi yang mirip dengan respons terhadap hipovolemia. Walaupun awalnya bermanfaat, pada akhirnya mekanisme ini menjadi maladaptif: Aktivasi Neurohormonal: terjadi dengan peningkatan vosokonstriksor (renin, angiotensin II, katekolamin) yang memicu retensi garam dan air serta meningkatkan beban akhir (afterload) jantung. Hal tersebut mengurangi pengosongan Ventrikel Kiri (LV) dan menurunkan curah jantung, yang menyebabkan aktivasi neuroendokrin yang lebih hebat, sehingga menyebabkan afterload dan seterusnya, yang akhirnya membentuk lingkaran setan. a. Sistem renin/angiotensin/aldosteron (RAA): selain untuk meningkatkan tahanan perifer dan volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat pada cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini meliputi remodelling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya, dilatasi jantung, dan pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard normal turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada CHF. b. Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, peningkatan konsumsi oksigen oleh miokardium, dan peningkatan resiko aritmia. katekolamin juga turut menyebabkan remodelling ventrikel melalui toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit, dan peningkatan respons autoimun. 8 c. Sitokin imun dan inflamasi: faktor nekrosis tumor alfa (TNF alfa) dan interleukin 6 (IL-6) menyebabkan remodelling ventrikel dengan apoptosis miosit, dilatasi ventrikel, dan penurunan kontraktilitas. Lebih lanjut, mereka juga berperan dalam efek sistemik seperti penurunan berat badan dan kelemahan yang terlihat pada CHF brat (kakheksia jantung). Dilatasi Ventrikel: terganggunya fungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misalnya pada penyakit koroner), selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas dan aktivasi neuroendokrin. Klasifikasi Klasifikasi berbagai sindrom gagal jantung dibuat berdasarkan gambaran umum yang mendominasi sindrom klinis secara keseluruhan. Hal ini bisa membantu menegakkan diagnosis. a. Gagal Jantung Akut (AHF) secara garis besar sama dengan gagal jantung kiri dan disebabkan oleh kegagalan mempertahankan curah jantung yang terjadi mendadak. Tidak terdapat cukup waktu untuk terjadinya mekanisme kompensasi dan gambaran klinisnya didominasi oleh edema paru akut. b. Gagal Jantung Kronis (CHF), secara garis besar sama dengan gagal jantung kanan. Curah jantung menurun secara bertahap, gejala dan tanda tidak terlalu jelas dan didominasi oleh gambaran yang menunjukkan mekanisme kompensasi. Namun, sering terjadi gagal jantung kiri dan kanan sekaligus, biasanya karena gagal jantung kiri kronis menyebabkan hipertensi pulmunal sekunder dan gagal jantung kanan. Kegagalan bioventrikular kronis disebut "gagal jantung kongestif." 9 Disfungsi Ventrikel Kiri Sistolik a. Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload, atau peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri (LVEDP) dan menyebabkan kongesti vena pulmonal dan edema paru. b. Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak adekuat atau tidak terkordinasi sehingga ventrikel kiri tidak dapat melakukan ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV). Ini menyebabkan peningkatan kongesti vena pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering adalah penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga meyebabkan remodelling ventrikel iskemik. Remodelling iskemik adalah sebuah proses yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II yang menyebabkan jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung sekitar daeerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati primer seperti yang disebabkan oleh alkohol, infeksi, hematokromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah jantung mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan peningkatan after-load. c. Peningkatan afterload, berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi LV. Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular perifer yang umum terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri berespons terhadap peningkatan beban kerja ini dengan jipertrofi miokard, suatu respons yang meningkatkan masa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang sama meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada ventrikel kiri. Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan 10 angiotensin II dan respons neuro endokrin lain, menyebabkan perubahan buruk dalam miosit seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein kontraktil yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin), fibrosis interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit. Dengan berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti paru. d. Peningkatan preload, berarti peningkatan LVEDV yang dapat disebabkan langsung oleh kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada infus cairan perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan peningkatan LVEDV sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV meningkat, ia akan meregangkan jantung, menjadikan sarkomer berada pada posisi mekanis yang tidak menguntungkan sehingga terjadi penurunan kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini, yang menyebabkan penurunan fraksi ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih lanjut sehingga menciptakan lingkaran setan perburukan gagal jantung. Jadi, pasien dapat memasuki lingkaran penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload, dan peningkatan preload akibat berbagai macam alasan (mis. IM, hipertensi, kelebihan cairan) dan kemudian akhirnya mengalami semua keadaan hemodinamik dan neuro-hormonal CHF sebagai sebuah mekanisme yang menuju mekanisme lainnya. 11 Disfungsi Ventrikel Kiri Diastolik a. Penyebab dari 40% kasus CHF b. Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan fungsi diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik murni akan dicirikan dengan tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan peningkatan LVEDV tanpa peningkatan LVEDV atau penurunan curah jantung. c. Tahanan terhadap pengisisan ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal (iustropik) ventrikel kiri dan dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang membuat kaku miokard ventrikel seperti penyakit jantung iskemik yang menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang mengakibatkan kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit katup atau penyakit perikardium. d. Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu, intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum. e. Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas. Penatalaksanaan terkini paling berhadil dengan penyekat beta yang meningkatkan fungsi iustropik, menurunkan 12 denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor ACE dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodelling iskemik atau hipertensi. Sebagaimana sistem dalam tubuh, jika terjadi sesuatu hal yang tidak sesuai dengan seharusnya, maka tubuh akan merespon hal tersebut. Begitu pula dengan gagal jantung. Pada saat terjadi penyebab gagal jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan kontraktilitas jantung sehingga curah jantung lebih rendah dari yang seharusnya, maka tubuh akan merespon. Saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung sebagai respon dari berkurangnya curah jantung untuk mempertahankan curah jantung tersebut. Akan tetapi bila respon ini gagal, maka volume sekuncup jantunglah yang akan menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, gagal jantung dapat terjadi terpisah. Karena dapat terjadi terpisah, maka gagal jantung kanan dan kiri mempunyai ciri khas atau manifestasi klinis yang berbeda. Kegagalan ventrikel kiri dalam memompa darah yang datang dari paru menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga cairan terdorong ke jaringan paru. Kemudian penimbunan cairan dalam alveoli yang disebabkan oleh kegagalan pompa ventrikel tersebut mengganggu pertukaran gas dan menyebabkan adanya dipsnea. Terkadang penimbunan cairan ini dapat pula menyebabkan ortopnea, kesulitan bernafas saat berbaring. Kesulitan bernafas inilah yang dapat menyebabkan stres dan cemas pada klien dengan gagal jantung. Kegagalan pompa ventrikel kiri, selain menyebabkan penimbunan cairan, juga dapat menyebabkan batuk kering dan tidak produktif. Tetapi batuk yang paling sering terjadi adalah baruk yang menghasilkan sputum. Banyaknya sputuum tersebutlah yang dapat menyebabkan terdengarnya suara ronchi. Curah jantung yang kurang karena gagalnya pompa ventrikel kiri, dapat menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan kurangnya oksigen sehingga menyebabkan tubuh mudah lelah. Berbeda dengan efek dari gagalnya pompa jantung pada ventrikel kiri, gagalnya pompa jantung pada ventrikel kanan yang menonjol adalah kongesti 13 visera dan jaringan perifer. Hal ini karena gagalnya pengosongan volum darah sehingga tidak dapat mengakomodasi darah secara normal ke sirkulasi vena. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema ini berlangsung secara bertahap yang berawal dari kaki dan tumit, kemudian ke atas tungkai, ke paha, dan akhirnya ke genitalia eksterna. Selain itu, gagalnya pompa ventrikel kanan menyebabkan terjadinya pembesaran vena di hepar sehingga terjadi hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan abdomen. Gagalnya pompa ini juga menyebabkan pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen sehingga menyebabkan anoreksia, atau hilangnya selera makan dan mual. Dapat juga terjadi nokturia atau rasa ingin kencing pada malam hari. Kemudian mirip dengan gagal jantung kiri, gagal jantung kanan menyebabkan sedikitnya suplai oksigen ke jaringan sehingga menyebabkan tubuh lemah. Edema Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi peluara dan pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersiat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan ventrikel jantung untuk memompakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke interstisial (Syarifuddin, 2001). 14 BAB III PEMBAHASAN Kasus Tn.M 61 tahun, sudah 5 hari dirawat dengan masalah CHF. Saat ini klien aktivitas di tempat tidur saja, karena untuk ke kamar mandi klien akan mengalami sesak berat. Terdapat edemaekstremitas bawah +2, ada distensi vena jugular, TD = 140/90 mmHg (tinggi), N=98 x/mnt (normal), RR= 20 x/mnt (normal). Auskultasi paru crackles (+/+), bunyi jantung gallop (+).Klien mendapat terapi inotropik, anti hipertensi, dan diuretik. Pagi ini klien mengalami sesak berat yang mendadak dan memerlukan terapi oksigenasi. Sehubungan dengan itu, maka klien diambil sample darah dan urinnya untuk dilakukan pemeriksaan lab untuk mengevaluasi masalah fungsi jantung dan masalah overloadnya. A. Pembahasan Kasus Pada kasus diatas, Tn.M masuk rumah sakit akibat masalah CHF yang di deritanya. CHF atau gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peningkatan volume diastolik secara abnormal. Ditinjau dari manifestasi klinis yang di deritanya, Tn.M mengalami CHF kelas III menurut klasifikasi NYHA (New York Heart Association), berdasarkan pembatasan fisik yang Tn.M alami. Tn.M hanya dapat beraktivitas di tempat tidur dan saat ke kamar mandi pun Tn.M akan mengalami sesak yang berat. Jika diidentifikasi, penyebab Tn.M menderita CHF kemungkinan akibat hipertensi. Sebagaimana data menjelaskan bahwa tekanan darah Tn.M adalah 140/90. Sementara itu, tekanan darah normal pada usia dibawah 61 tahun dan diatas 18 15 tahun adalah 120/80. Berdasarkan klasifikasi tekanan darah yang normal, dapat ditarik kesimpulan Tn.M menderita hipertensi kelas I. Tn.M juga mengalami edema pada ekstremitas bawah. Edema adalah terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh. Hal ini diakibatkan gagal jantung kanan yang dialami Tn.M. Akibat kegagalan yang dialaminya, jantung tidak dapat memompakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke interstisial. Edema pada ekstremitas dibawah ini juga menjadi manifestasi klinis pada gagal jantung kanan. Pada Tn.M juga ditemukan adanya distensi vena jugular yang juga merupakan manifestasi klinis dari gagal jantung kanan. Distensi vena jugular atau Jugularis Venous Pressure (JVP) ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan pengisian pada sisi kanan jantung. Ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan mengalami penurunan dalam hal kemampuan memompa darah. Sementara itu, atrium kanan jantung tetap mengisi darah secara terus menerus sehingga terjadi aliran balik vena. Akibatnya, pada Tn.M terlihat distensi vena jugularis yang pada orang normal tidak akan tampak. Pada data pengkajian, didapatkan pula data hasil auskultasi suara paru (crackles) dan suara gallop (suara jantung ke-tiga). Bunyi jantung ke-tiga dan suara paru crackles adalah tanda-tanda fisik khas yang menandakan adanya gagal ventrikel kiri. S3 atau gallop ventrikel adalah tanda penting dari gagal ventrikel kiri dan pada orang dewasa hampir tidak pernah ditemukan kecuali jika ada penyakit jantung yang signifikan. Begitu juga dengan suara crackles atau ronkhi basah halus sering dikenali sebagai bukti adanya kegagalan jantung ventrikel kiri. Tn. M juga dikatakan terdapat suara crackles (+/+) yang membuat penimbunan cairan pada paru, menyebabkan kerja otot respirasi lebih keras. Hal ini akan menyebabkan kelelahan otot respirasi sehingga dapat mengakibatkan klien sulit untuk bernafas atau sesak, terutama saat melakukan aktivitas akibat adanya peningkatan kerja pernapasan. Selain menyebabkan dispnea, penimbunan cairan ini juga dapat menyebabkan ortopnea. Otopnea merupakan gejala dispnea dalam posisi berbaring, yang diakibatkan oleh perubahan gaya gravitasi ketika pasien berbaring. Penambahan volume darah intratorakal ini menaikkan tekanan 16 vena dan kapiler pulmonalis yang kemudian meningkatkan volume penutupan pulmonalis serta menurunkan kapasitas vital. Faktor tambahan yang menyertai posisi berbaring adalah elevasi diagrama yang membuat end-expiratory lung volume menjadi lebih rendah. Kombinasi ini mengakibatkan perubahan yang berarti pada pertukaran gas alveoli-kapiler. Itulah yang menyebabkan klien pada kasus mengalami ortopnea. Penimbunan cairan pada paru-paru ini juga dapat menyebabkan batuk menjadi tidak efektif karena banyaknya sputum pada paru. Banyaknya sputum pada paru ini dapat menyebabkan terdengarnya suara ronchi. Selain itu kegagalan pompa jantung akibat hipertensi ini juga dapat menyebabkan kurangnya sirkulasi darah dan suplai oksigen pada jaringan-jaringan di tubuh. Ketidakmampuan ventrikel kanan memompa darah akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga menyebabkan terjadinya edema pada jaringan. Inilah sebab mengapa klien juga mengalami sesak berat saat mobilisasi ke kamar mandi. Dalam kasus dikatakan klien mendapat penanganan obat antihipertensi yang menandakan pasien ada riwayat hipertensi. Hipertensi pada jantung klien dapat menyebabkan jantung klien bekerja lebih cepat sehingga otot jantung akan menyesuaikan. Penyesuaian otot jantung ini akan menyebabkan pembesaran pada jantung (hipertrofi) dan semakin lama otot jantung akan mengendur dan berkurang elastisitasnya, yang disebut kompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi memompa darah. Ketidakmampuan ventrikel kiri dalam memompa darah akan menyebabkan kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary vaskular bed yang cenderung mengganggu keseimbangan Starling dengan mengakibatkan transudasi (penimbunan) cairan dalam paru. Klien saat ini mendapat terapi inotropik, yang bertujuan untuk meiningkatkan kontraktilitas otot jantung, serta obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darahnya, yang tergolong hipertensi kelas I, serta diuretik yang berguna untuk mengontrol masalah kelebihan cairan pada CHF. Tn.M mengalami CHF dimana komplikasinya adalah masalah kelebihan cairan. Oleh karena itu, terapi farmakologi dan diet yang tepat untuk Tn.M adalah: a. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan Angiotensin receptor blockers (ARBs) 17 Pasien gagal jantung, bahkan pada gagal jantung ringan akibat disfungsi ventrikel kiri harus diberikanACE inhibitor atau ARBs. Beberapa penelitian telah menemukan peningkatan kemampuan kontraktilitas jantung dan menurunnya angka kematian pasien gagal jantung etelah diberikan ACE inhibitor dan ARBs. Obat-obatan ACE inhibitor seperti analapril (Vasotec), fosinopril (Monopril), dan ramipril (Altace) serta ARB seperti valsartan (Diovan), irbesartan (Avapro), dan losartan (Cozaar) memperbaiki fungsi dan kualitas hidup pasien-pasien dengan gagal jantung. ACE inhibitor merupakan pilihan obat yang pertama diberikan, tetapi beberapa tenaga medis memilih memberikan ARB lebih dahulu karena ACE inhibitor dapat menyebabkan batuk kering. ACE inhibitor dan ARBs menekan sistem renin-angiotensin, yang diaktifkan sebagai respon terhadap penurunan aliran darah ke ginjal. ACE inhibitor mencegah konversi atau perubahan dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Sedangkan ARBs memblok efek reseptor angiotensin II yang keduanya mencegah kelebihan cairan, karena mencegah retensi air dan retensi sodium. Namun perlu dipantau kondisi hiperkalemia pada pasien dengan gagal ginjal. b. Obat-obat Diuretik Dokter menambahkan resep diuretik apabila diet makanan dan pembatasan asupan cairan tidak lagi efektif untuk mengelola gejala kongesti sistemik atau kongesti paru. Diuretik adalah obat pilihan pertama pada lansia dengan CHF dan kelebihan cairan. Obat-obatan diuretik meningkatkan ekskresi sodium dan air oleh ginjal dengan cara mengurangi volume darah yang bersirkulasi, mengurangi preload, dan mengurangi kongesti sistemik dan kongesti paru. Tipe dan dosis diuretik yang diresepkan bergantung pada derajat gagal jantung dan fungsi ginjal pasien. High diuretik (loop) diuretik seperti furosemide (Lasix, Furoside, Novosemide), torsemide (Demadex), da bumetanide (Bumex), adalah obat yang paling efektif untuk mengatasi masalah kelebihan cairan pada pasien gagal jantung. 18 Walaupun obat-obatan tersebut terus bekerja setelah masalah kelebihan cairan teratasi, perlu adanya pengkajian kefektifan obat-obatan tersebut pada banyak pasien gagal jantung. Untuk pasien dengan gagal jantung akut, Lasix atau Bumex diberikan melalui intravena pada dosis 20 mg atau 40 mg secara intravena, dan dosisnya dinaikkan 20 mg setiap dua jam sampai diuresis yang diharapkan tercapai. Dosis yang umum pada pemberian Bumex secara intravena adalah 1 sampai 2 mg sekali atau dua kali ehari, tetapi Bumex lebih sering diberikan pada infus yang berkelanjutan dengan dosis 10mg per 24 jam. Dokter mungkin memberikan diuretik jenis thiazide eperti hydrochlorothiazide (HydroDIURIL, Urozide) dan metolazone (Zaroloxyn) sebagai zat yang bekerja dalam waktu lama (long acting agent) dan sering diberikan setiap hari kedua, ketiga, dan keempat perawatan, tergantung pada kebutuhan dan kemampuan toleransi pasien. Tidak seperti loop diuretik, cara kerja thiazide adalah terbatas pada individu. Diuresis akan hilang setelah edeme teratasi. Oleh Karena itu, dehidrasi yang biasa muncul akibat pemberian loop diuretik tidak akan muncul pada pemberian thiazide. Pasien juga banyak memilih thiazide karena diuresis terjadi secara bertahap. Akan tetapi, seiring berkembangnya gagal jantung, banyak pasien mengalami resitensi diuretik dengan edema yang sulit dipulihkan (refraktori edema). Pada keadaan ini, pemberi layanan kesehatan memberikan kedua jenis diuretik tersebut bersamaan. Setelah pemberian diuretik, pantau dan cegah keadaan defisiensi potassium (hipokalemia) pada pasien akibat terapi diuretik tersebut. Tanda hipokalemia adalah gejala neurologis dan muskular non spesifik, seperti kelelahan, refleks tubuh yang menurun, dan nadi ireguler. Beberapa dokter juga meresepkan diuretik dengan potasium seperti spironolactone (Aldactone) untuk pasien-pasien dengan masalah disritmia jantung. Walaupun tidak seefektif diuretik lain, Aldactone membantu mengurangi potassium dan kemudian mengurangi resiko disritmia ventrikel. c. Terapi Nutrisi dan Manajemen Cairan 19 Pada gagal jantung, terapi nutrisi bertujuan untuk mengurangi retensi sodium dan air. Perawat dan ahli gizi dapat berkolaborasi dalam pembatasan masukan sodium sebagai usaha untuk mengurangi retensi cairan yang terjadi. Banyak pasien gagal jantung harus mengkonsumsi garam meja untuk membatasi konsumsi sodium sebanyak 3 gram per hari, sementara sodium adalah zat yang paling umum ditemukan di makanan. Rekomendasikan klien untuk menambah lemon, bawang, atau lada untuk meningkatkan rasa makanan dan menghindari sodium. Kolaborasikan pula dengan ahli gizi untuk pemilihan bahan makanan yang tepat terhadap diet ketat garam dan sodium tersebut. Manajemen cairan pada klien dengan gagal jantung adalah hal yang sangat penting. Perlu dilakukan penghitungan pada total cairan yang masuk melalui makanan maupun cairan obat atau medikasi pasien. Beberapa pasien bahkan perlu menjalani pembatasan konsumsi air yang ketat. Pasien dengan sekresi aldosteron yang berlebihan dapat merasa haus dan ingin minum sekitar 3 sampai 5 liter per hari. Namun, mereka dibatasi konsumsi air sebanyak 2 liter per harinya. Oleh karena itu, perlu berkolaborasi dengan ahli diet untuk merencanakan restriksi cairan. Jadwalkan oral hygiene atau medikasi oral saat waktu makan tiba. Gunakan jumlah minimum air (5-10 ml) untuk mengencerkan obat yang perlu dilarutkan. Air yang dingin juga dapat mengurangi sensasi haus pada pasien daripada pemberian air hangat. Berikan oral care secara berkala untuk mengurangi timbulnya sensasi haus. Ajarkan klien untuk menahan terlebih dahulu air yang diminum untuk membasahi lidah akan memberikan hasil lebih baik, daripada langsung menelan air tersebut. Beritahu klien rasional tindakan pembatasan air pada dirinya. Gunakan IV pump atau pemompa cairan intravena untuk mengontrol cairan intrevena yang masuk ke tubuh pasien. Atur pemompa dengan baik. Jika tidak dilakukan perencanaan cairan dan pengawasan yang ketat akan membahayakan bagi pasien. Selain terapi farmakologi, pada pasien gagal jantung terdapat beberapa macam pemberian diet rendah garam tergantung pada tingkatan keparahan gagal jantung yang di deritanya: 20 1) Diet rendah garam 1 (200-400 mg Na perhari), diberikan pada penderita edema, asites, dan atau hipertensi berat. Pengolahan makanan pada diet rendah garam 1 tidak diberikan garam dapur sama sekali dan menghindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. 2) Diet rendah garam 2 (600-800 mg Na perhari), diberikan pada penderita dengan edema, asites, dan atau hipertensi yang tidak terlalu berat. Pengolahan makanan boleh menggunakan setengah sendok teh garam dapur atau sekitar dua gram garamdapur dan tetap menghindari bahan makanan yang tinggi natriumnya. 3) Diet rendah garam 3 (1000-1200 mg Na perhari), diberikan kepada penderita dengan edema atau hipertensi ringan. Pada pengolahan makanan diet rendah garam 3 boleh menggunakan satu sendok teh atau 4 gram garam dapur. Pada Tn.M, diet jantung yang tepat diberikan adalah diet rendah garam 3, karena Tn.M mengalami edema di ekstremitas, mengalami hipertensi ringan (kelas I), serta tidak terdapat asites. B. Rencana Asuhan Keperawatan pada Klien dengan CHF A. Pengkajian Keperawatan 1. Identitas klien Nama : Tn. M Usia : 61 tahun Jenis kelamin : laki-laki Status : - Anak : - Suku : - Pekerjaan :- 2. Anamnesa 21 Riwayat penyakit : Keluhan utama: sesak berat saat ke kamar mandi, pagi hari klien sesak berat yang mendadak dan memerlukan terapi oksigenasi. Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Dispnea disebabkan oleh kongesti vaskuler yang mengurangi kelenturan paru dan peningkatan tahanan aliran udara. Dispnea saat melakukan aktivitas, serta adanya crackles (+/+) ini mengindikasikan pemburukan gagal jantung, mengindikasikan kongesti paru awal dan dapat menyebabkan edema pada ektremitas bawah +2. Keadaan saat ini: Sudah 5 hari dirawat dengan CHF No. Kebutuhan dasar Tanda 1. Aktivitas Aktivitas atau istirahat Gejala di Sesak berat jika tempat tidur saja ingin ke kamar mandi 2. Sirkulasi TD : 140/90 Edema ekstremitas mmHg bawah +2, N : 98 x/menit Distensi RR : 20 x/menit vena jugular Crackles (+/+) Bunyi jantung gallop (+) 3. Pernapasan Sesak berat saat mobilisasi contohnya ke kamar mandi, pagi hari sesak berat 22 mendadak. Pemeriksaan fisik • Tekanan darah= 140/90 mmHg (abnormal), kelebihan beban cairan atau peningkatan tekanan vena sentral. • Nadi= 98 kali/ menit (normal) • Respiratory Rate= 20 kali/ menit(normal) 1. Breathing a. Terlihat sesak (dispnea) dan sesak mendadak pada pagi hari. b. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas pada saat beraktivitas disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskuler paru yang mengurangi kelenturan paru. c. Frekuensi nafas normal (20x/menit). 2. Blood a. Inspeksi & Palpasi: Inspeksi secara keseluruhan dari struktur tulang dada, termasuk sambungan sternoclavicular, manubrium dan bagian atas sternum adalah merupakan tahap awal dalam pemeriksaan. Derajat yang didapatkan, angle of Louis,bahwa digambarkan dimana manubrium dan badan sternum bersatu yang jelas pada garis tengah sternum. 23 Sudut louis (Angle of louis) terletak pada tulang iga ke 2 dan kemudian dapat digunakan untuk menghitung ICS dan lokasi area auskultasi spesifik. Area jantung (prekordial) di inspeksi dan palpasi secara simultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan. Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi jantung mulai dari area aorta,area pulmonal, area trikuspidalis ,area apikal dan area epigastrik. Adanya retraksi dada (terlihat dari sesak berat yang dialami klien). Inspeksi dan palpasi pulsasi pada area apikal. Sekitar 50 % orang dewasa akan memperlihatkan pulsasi apikal. Ukuran jantung dapat diketaui dengan mengamati lokasi apikal. Pada orang dewasa normalnya terletak di ruang sela iga ke 4 kiri 2-3 cm dari garis midklavikula. Sedangkan pada anak normalnya terletak di ruang sela iga ke 4 kiri. Apabila jantung membesar maka pulsasi ini akan bergeser secara lateral ke garis midklavikula. Untuk mengetahui pulsasi aorta, lakukan inspeksi dan palpasi pada area epigastrik di dasar sternum. Pada saat dilakukan palpasi akan dapat ditemukan adanya getaran (thrill) pada pasien yang mengalami kelainan katup. Pasien dengan pulmonal stenosis akan ditemukan adanya thrill pada sela iga ke 2 kiri sternum. Pasien dengan ventrikular septal defek, thrill ditemukan pada sela iga ke 4 kiri sternum. Pasien dengan aortik stenosis, thrill ditemukan pada sela iga ke 2 kanan sternum (basis). Adapun untuk pasien dengan mitral insufisiensi, thrill dapat ditemukan pada apeks. Getaran tersebut lebih mudah diraba bila penderita membungkuk ke depan, dengan nafas di tahan waktu ekspirasi,kecuali getaran mitral stenosis lebih mudah teraba bila penderita berbaring ke sebelah kiri. Pada palpasi terdapat ekstremitas bawah +2, distensi vena jugularis. Pembengkakan juga menyebabkan berbagai gejala. Selain dipengaruhi oleh gaya gravitasi, lokasi dan efek pembengkakan juga dipengaruhi oleh sisi jantung yang mengalami gangguan.Gagal jantung kanan cenderung mengakibatkan pengumpulan darah yang 24 mengalir ke bagian kanan jantung. Hal ini menyebabkan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, hati dan perut. b. Perkusi: perkusi dapat dilakukan dari semua arah menuju letak jantung. Untuk menentukan batas sisi kanan dan kiri, perkusi di kerjakan dari arah samping ke tengah dada. Batas atas jantung diketahui dengan perkusi dari atas ke bawah. Suara yang dihasilkan perkusi pada jantung adalah tumpul (Dullness), yang dapat dibedakan dengan suara pada area paru-paru (resonan). Batas kiri jantung pada umumnya tidak lebih dari 4; 7 dan 10 cm ke arah kiri dari garis mid sternal pada ruang interkostal ke 4;5 dan 8. Pergeseran batas jantung yang menunujukkan adanya hipertrofi jantung (kardiomegali). c. Auskultasi: auskultasi paru ;crackles (+/+), bunyi jantung gallop (+). Terdengarnya bunyi gallop atau bunyi jantung ke tiga ini terjadi karena adanya kelainan patologis yang ditimbulkan oleh gangguan fungsi jantung, terutama kegagalan ventrikel. Irama gallop ini terdengar pada saat bunyi jantung ketiga berdekatan dengan bunyi jantung ke dua, sehingga mirip seperti irama kuda yang lari berderap. 3. Brain Kesadaran klien biasanya compos mentis, yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, walau klien hanya beraktivitas di tempat tidur saja. 4. Bone a. Mudah lelah, klien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah hal ini dikarenakan curah jantung yang berkurang yang dapat menghambat sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan dan menghambat pembuangan sisa hasil katabolisme. Selain itu bisa terjadi karena peningkatan energi yang digunakan untuk bernpas yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk. Perfusi yang kurang pada otot otot rangka menyebabkan kelemahan atau keletihan, yang dipicu oleh ketidakseimbangan cairan elektrolit atau anoreksia. 25 1). Keadaan Umum Klien mengalami distensi vena jugularis karena ventrikel kanan tidak mampu mengompensasi kegagalan ventrikel kiri, terjadi dilatasi ruang ventrikel, peningkatan volume, dan tekanan pada diastolik akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel, peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan. Peningkatan ini akan diteruskan ke hulu vena kava, dapat dilihat dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis. Seseorang dapat mengevaluasi peningkatan vena jugularis dengan melihat vena-vena di leher dan memerhatikan ketinggian kolom darah. Pengkatan kolom darah di vena jugularis eksternal pada orang normal hanya beberapa milimeter di atas batas atas klavikula. Vena jugularis eksterna biasanya lebih mudah dikenali, karena letaknya di lateral otot sternokleidomastoideus dan lebih superfisial. Peningkatan JVP biasanya menandakan : 1. Gagal jantung. 2. Obstuksi vena cava superior. 3. Peningkatan volum darah (kehamilan, nefritis akut, kelebihan terapi cairan). Edema ektremitas menunjukkan adanya retensi cairan yang parah. Edema: terjadi bila gagal ventrikel kanan terjadi. Manifestasi klinis gagal ventrikel kanan yang tampak dan terjadi pada kasus adalah edema ekstremitas bawah, distensi vena leher. Pitting edema merupakan cara pemeriksaan edema, edema akan tetap cekung setelah penekanan ringan dengan ujung jari, terlihat jelas setelah retensi cairan minimal sebanyak 4,5 kg. B. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan urin Hasil pemeriksaan urine tidak hanya dapat memberikan informasi tentang ginjal dan saluran kemih, tetapi juga mengenai faal berbagai organ 26 tubuh seperti hati, saluran empedu, pancreas, dsb. Namun, untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat, diperlukan spesimen yang memenuhi syarat. Pemilihan jenis sampel urine, teknik pengumpulan sampai dengan pemeriksaan harus dilakukan dengan prosedur yang benar. Tes urinalisis dapat mengindikasikan adanya gangguan urinarius atau gangguan sistemik. Normalnya warna kekuningan, abnormalnya warna jernih hingga hitam disebabkan oleh perubahan diet, penggunaan obatobatan tertentu, penyakit metabolik, inflamasi atau penyakit infeksi. Jenis sampel urine : a. Urine sewaktu/urine acak (random) Urine sewaktu adalah urine yang dikeluarkan setiap saat dan tidak ditentukan secara khusus. Mungkin sampel encer, isotonik, atau hipertonik dan mungkin mengandung sel darah putih, bakteri, dan epitel skuamosa sebagai kontaminan. Jenis sampel ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin tanpa pendapat khusus. b. Urine pagi Pengumpulan sampel pada pagi hari setelah bangun tidur, dilakukan sebelum makan atau menelan cairan apapun. Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan cairan yang lama, sehingga unsurunsur yang terbentuk mengalami pemekatan. Urine pagi baik untuk pemeriksaan sedimen dan pemeriksaan rutin serta tes kehamilan berdasarkan adanya HCG (human chorionic gonadothropin) dalam urine. c. Urine tampung 24 jam Urine tampung 24 jam adalah urine yang dikeluarkan selama 24 jam terusmenerus dan dikumpulkan dalam satu wadah. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk analisa kuantitatif suatu zat dalam urine, misalnya ureum, kreatinin, natrium, dsb. Urine dikumpulkan dalam suatu botol besar bervolume 1.5 liter dan biasanya dibubuhi bahan pengawet, misalnya toluene. Spesimen urine yang ideal adalah urine pancaran tengah (midstream), di mana aliran pertama urin dibuang dan aliran urine 27 selanjutnya ditampung dalam wadah yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Aliran pertama urine berfungsi untuk menyiram sel-sel dan mikroba dari luar uretra agar tidak mencemari spesimen urine. Sampel urine yang dikumpulkan adalah urine midstream cleancatch. Biakan kuman dengan sampel ini dapat menentukan diagnosis secara teliti pada 80% penderita wanita dan hampir 100% penderita pria, apabila lubang uretra dibersihkan sesuai persyaratan. Urine clean-catch adalah spesimen urin midstream yang dikumpulkan setelah membersihkan meatus uretra eksternal. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk tes biakan kuman (kultur). Klirens kreatinin, efisiensinya ginjal membersihkan kreatinin dari dalam darah. Tes ini dilakukan dengan spesimen urine yang diambil pada 2,6,12, atau 24 jam dan sampel darah yang dimabil kapan saja selama periode pengumpulan urine. Kadar dibawah normal, terjadi penurunan aliran darah ginjal ( berhubungan dengan syok, CHF, nefrosklerosis, dan dehidrasi berat). a. Albumin Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60%. Nilai normal albumin di dalam darah sekitar 3,5 – 5 g/dl. Fungsi dari albumin adalah, pertama, mengangkut molekul-molekul kecil melewati plasma dan cairan sel. Fungsi ini erat kaitannya dengan bahan metabolisme-asam lemak bebas dan bilirubin dan berbagai macam obat yang kurang larut dalam air tetapi harus diangkut melalui darah dari satu organ ke organ lainnya agar dapat dimetabolisme atau diekskresi. Fungsi kedua adalah memberi tekanan osmotik di dalam kapiler sehingga albumin dapat menjaga keberadaan air dalam plasma darah sehingga bisa memperyahankan volume darah. Bila jumlah albumin turun maka akan terjadi penimbunan cairan dalam jaringan (edema) misalnya bengkak di kedua kaki. Atau bisa terjadi penimbunan cairan dalam rongga tubuh misalnya di perut yang disebut asites. 28 Albumin/transferin serum, menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sistesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti. Penurunan albumin mengakibatkan keluarnya cairan vaskular (cairan pembuluh darah) menuju jaringan sehingga terjadi edema (bengkak), misalnya pada pasien CHF yang pada kasus ini terjadi edema pada ekstremitas bawah +2. Penurunan albumin bisa juga disebabkan oleh : 1 . . 1.Berkurangnya sintesis (produksi) karena malnutrisi, radang menahun, sindrom malabsorpsi, penyakit hati menahun, kelainan genetik. 2. Peningkatan ekskresi (pengeluaran), karena luka bakar luas, penyakit usus, nefrotik sindrom (penyakit ginjal). b. Natrium (Na) Nilai normal dalam serum: Dewasa (135-145 mEq/L) Nilai normal dalam urine: 40-220 mEq/L/24jam Natrium adalah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan elektrolit ekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air, berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh, mengaktifkan enzim, sebagai konduksi impuls saraf. Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung dan akan meningkatkan kebutuhan miokardium Sumber garam Na yaitu: garam dapur, produk awetan (cornedbeef, ikan kaleng, terasi, dan Iain-Iain.), keju, buah ceri, saus tomat, acar, dan lain-lain. Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara bersamaan menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya volume darah dalam sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung. Salah satu akibat dari penimbunan cairan ini adalah peregangan otot jantung karena bertambahnya volume darah. Otot yang teregang berkontraksi lebih kuat. Hal ini merupakan mekanisme jantung yang utama untuk meningkatkan kinerjanya dalam gagal jantung. Tetapi sejalan dengan memburuknya gagal jantung, kelebihan 29 cairan akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di berbagai bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema). Lokasi penimbunan cairan ini tergantung kepada banyaknya cairan di dalam tubuh dan pengaruh gaya gravitasi. Jika penderita berdiri, cairan akan terkumpul di tungkai dan kaki. Jika penderita berbaring, cairan akan terkumpul di punggung atau perut. Sering terjadi penambahan berat badan sebagai akibat dari penimbunan air dan garam. c. Klorida (Cl) Merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan ekstraseluler (di luar sel), tidak berada dalam serum, berperan penting dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbanganasam-basa dalam tubuh. Klorida sebagian besar terikat dengan natrium membentuk NaCI(natrium klorida). Nilai normal : Dewasa 95-105 mEq/L Penurunan klorida dapat terjadi pada penderita muntah, bilas lambung, diare, kadar kalium dannatrium rendah (atau keduanya),diet rendah garam, gastroentritis, kolitis, insufisiensi kelenjar adrenal, panas yangg berlebihan, infeksi akut, luka bakar, terlalu banyak keringat, alkalosis metabolik, asidosis respiratorik kronis, dan gagal jantung kronis. Peningkatan klorida terjadi pada penderita dehidrasi,cedera kepala, peningkatan natrium,gangguan ginjal, penggunaan obat kortison, asetazolamid, dan lain-lain. Pengaturan klorida: a. Klorida terdapat di dalam cairan ekstrasel dan intrasel. b. Keseimbangan klorida dipertahankan melalui asupan makanan dan ekskresi sertareabsorbsi renal. c. Nilai laboratorium normal klorida serum adalah 100 sampai 106 mEq/L. d. Jumlah yang diekskresikan berhubungan dengan asupan makanan. Klorida diasorbsi di usus halus dan disekresikan di dalam keringat, cairan lambung dan empedu. Klorida di angkut di dalam darah dan limfe akibat kerja jantung dan otot rangka. 30 Hipokloremia Penyebab : a. Biasanya berkaitan dengan meningkatnya kada bikarbonat yang ditemukan pada alkalosis b. Dapat terjadi sesudah muntah kronis c. Berhubungan dengan pemberian asam etakrinat, furosemid atau diuretic tiazid 2) Pemeriksaan darah Pemeriksaan laboratorium pada penyakit jantung dan pembuluh darah adalah pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosa.Darah rutin, hampir selalu dilakukan pada setiap penderita penyakit jantung dan pembuluh darah ,merupakan pemeriksaan yang penting dan sangat efektif. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit darah merupakan tes utama untuk mendeteksi anemi yang dapat menyertai atau menjadi salah satu penyebab penyakit jantung. Pemeriksaan Hb dan Ht secara serial pada anak dengan kelainan jantung bawaan biru sangat penting . Bila terlihat kadar Hb dab Ht yang tinggi merupakan petunjuk adanya penurunan darah ke paru akibat stenosis pulmonal infundibuler yang progresif. Enzim jantung pada otot miokard yang mengalami kerusakan akan melepaskan beberapa enzim spesifik sehingga kadarnya dalam serum meningkat, dapat juga terjadi pada pasien waktu 6 - 8 jam setelah onset, mencapai puncaknya setelah 24 jam dan turun kembali ke normal dalam waktu 3 – 4 hari. Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk kerusakan otot jantung. a. Hemoglobin Normalnya laki-laki dewasa , kadar hemoglobin darah <130 g / L (<13 g / dL), wanita dewasa, kadar hemoglobin darah <120 g / L (<12 g / dL) (McGraw Hill, 1978). Pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) memiliki masalah anemia, penurunan jumlah sel darah merah (RBC), komponen darah yang membawa oksigen (Romeo et al, 2010). 31 b. AGD Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) untuk mengevaluasi adanya hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis. Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2. c. BUN (Blood Ures Nitrogen) kreatinin Peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal. d. Isoenzim CK-MB Ada tiga jenis isoenzim yaitu MM, BB, MB. Isoenzim BB umumnya terdapat di otak, MM pada otot skeletal dan MB pada otot jantung. Isoenzim MB ditemukan pada usus, lidah dan otot diafragma tetapi jumlahnya kecil. Pemeriksaan CKMB dalam serum merupakan tes yang paling spesifik pada nekrosis otot jantung. Peningkatan konsentrasi enzim ini pasti menunjukan adanya infark miokard. CKMB mulai meningkat dalam 2 - 3 jam setelah onset infark, mencapai puncaknya 10 12 jam dan umumnya kembali normal dalam waktu 24 jam. e. Troponin T Adalah protein miofibril dari serat otot lintang yang bersifat kardiosfesifik. Masa pelepasan troponom T berlangsung 30 - 90 jam dan setelah itu menurun.Dilaporkan diagnosis troponin T lebih superior dibandingkan CKMB dan terjadinya positif palsu sangat jarang peningkatan kadar troponin T dapat menjadi petanda kejadian koroner akut pada penderita UAP. Enzim ini akan dilepas oleh sel otot miokard yang rusak atau mati. Konsentrasi dalam serum meningkat 8 - 12 jam setelah onset mencapai puncaknya 18 -36 jam dan mulai turun ke normal setelah 3 - 4 hari. Selain di otot jantung juga terdapat pada hati dan otot skeletal sehinga peningkatan kadar enzim merupakan indikator yang lemah dalam menegakkan diagnosa infark miokard akut. Gagal jantung dengan 32 bendungan hati atau hipoksi otot skeletal sering disertai peningkatan kadar SGOT. f. Lactic dehydrogenase (LDH) LDH hampir tedapat di semua jaringan tubuh dan kadarrnya dalam serum meningkat pada berbagai keadaan, pada infark miokard akut konsentrasi akan meningkat dalam waktu 24 - 48 jam dan mencapai puncaknya 3 - 6 hari setelah onset dan kembali normal setelah 8 - 14 hari. LDH mempunyai lima isoenzim LDH1 lebih spesifik untuk kerusakan otot jantung. Alpha hydroxybutyric dehydrogenase. Alpa HBDH sebenarnya bukan enzim yang spesifik untuk infark miokard. Isoenzim LDH1 dan LDH2 akan bereaksi lebih besar dengan substrat alpha-hydroxy-butirate daripada LDH4 dan LDH5 sehingga pemeriksaan aktifitas alpha HBDH akan dapat membedakan antara LDH1 dan LDH2 dengan LDH3dan LDH4. Pada infark miokard aktifitas alpha HBDH akan meningkat dan mencerminkan adanya aktifitas LDH yang meningkat. g. C-Reaktif Protein (CRP) CRP tidak ditemukan dalan darah orang normal. Sehingga tidak ada nilai normal, CRP akan ditemukan pada penderita dengan demam reumatik akut dengan atau tanpa gagal jantung. Pemeriksaan ini penting untuk mengikuti perjalanan aktifitas demam reumatik. C. Pemeriksaan Diagnostik 1. Ekokardiografi, sebaiknya digunakan sebagai alat pertama untuk manajemen gagal jantung, sifatnya tidak invasif dan segera dapat memberikan diagnosis disfungsi jantung dan informasi yang berkaitan dengan penyebab terjadinya. Pada pemeriksaan ekocardiografi, jika fraksi ejeksi 35% menunjukkan angka normal dan tekanan darah normal berkisar antara 110-140/70-85 mmHg. Pada auskultasi dada lazim ditemukan gallop 33 ventrikel atau bunyi jantung ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi. Untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan fisik, yang biasanya menunjukkan: a. denyut nadi yang lemah dan cepat. b. tekanan darah menurun. c. bunyi jantung abnormal. d. pembesaran jantung. e. pembengkakan vena leher. f. cairan di dalam paru-paru. g. pembesaran hati. h. penambahan berat badan yang cepat. i. pembengkakan perut atau tungkai. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan. Ejection Fraction (fraksi ejeksi) pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir diastolik dengan volume akhir sistolik dibagi dengan volume akhir diastolik. EF nilai normal 50%. Jika EF (lebih kecil) 45% ini berarti fungsi jantungnya sudah menurun. Hal ini dapat mengindikasikan penyakit jantung koroner yang berat dan dengan prognosis yang buruk. 34 Kelainan fungsi sistolik dapat diidentifikasi pada pasien dengan fraksi ejeksi normal tetapi dengan kelainan diastolik yang predominan. Ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi normal sedangkan kapasitas pengisian ventrikel kiri terbatas dengan tekanan atrium normal. Pasien dengan disfungsi diastolik dengan atau tanpa gagal jantung memiliki penurunan kemampuan latihan sebagai akibat dari peningkatan tekanan ventrikel kiri dan vena pulmonal yang menyebabkan penurunan compliance paru, hal ini menyebabkan peningkatan usaha bernapas dan menimbulkan gejala sesak napas. Gagal jantung disebabkan Hal ini reaksi juga oleh dapat disfungsi sistolik. dapat menunjukkan sebagai kegagalan fungsi pompa jantung. Hal ini ditandai dengan penurunan fraksi (kurang dari ejeksi 50%). Kekuatan kontraksi ventrikel dilemahkan dan tidak memadai untuk menciptakan stroke volume yang memadai, menghasilkan output jantung yang tidak memadai. Secara umum, hal ini disebabkan oleh disfungsi atau kerusakan miosit jantung. Pada ekokardiogram, hal ini dinyatakan oleh gerakan dinding abnormal atau tidak ada. Gambar 1 Pemeriksaan jantung secara Trans Thoracal Echocardiography (TTE) 2. X-ray dada, pada pemeriksaan X-ray, CTR (cardiothoracic ratio) normalnya adalah 50%. Perbandingan lebar torak dengan lebar jantung, jika 35 rationya lebih dari 50% artinya telah terjadi kardiomegali yang bisa dikarenakan oleh dilatasi ventrikel kiri dan kanan, LVH, dan efusi perikard. Gambar. foto rontgen toraks posterior anterior menunjukan kardiomegali dan diversi ke lobus atas (sumber: Stephen G, Ball dkk, 1996) (kiri) foto rontgen toraks posterior anterior pada klien dengan edema pulmonary, terlihat pembesaran jantung yang ditandai dengan kongesti paru balik sentral maupun perifer. (kanan) foto rontgen dari klien yang sama setelah mendapatkan pengobatan, foto ini menggambarkan hilangnya kongesti paru terutama di bagian perifer (sumber: Ira Lloyd dkk, 1990). 3. Elektrokardiografi (EKG), Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia. Meskipun 36 memberikan informasi yang berkaitan dengan penyebab, tetapi tidak dapat memberikan gambaran yang spesifik, hasil pemeriksaan normal pun masih diragukan. Klien gagal jantung dapat ditemukan kelaianan EKG antara lain: a. Left bundle branch block, kelainan segmen ST/T menunjukan disfungsi ventrikel kiri kronis; b. Gelombang Q menunjukan infark sebelumnya dan kelainan segmen ST menunjukan penyakit jantung iskemik; c. Hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang T terbalik: menunjukan stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi; d. Aritmia D. Diagnosa Keperawatan Analisa Data 37 18 Data Kasus Aktivitas di tempat tidur saja Masalah Keperawatan Intoleransi aktivitas Sesak berat Edema ekstremitas bawah +2 Penurunan curah jantung Distensi vena jugular Bunyi jantung gallop (+) Sesak berat Crackles (+/+) Edema ekstremitas bawah +2 Kelebihan volume cairan Distensi vena jugular Sesak berat Crackles (+/+) Bunyi jantung gallop (+) TD = 140/90 mmHg Crackles (+/+) Gangguan pertukaran gas Sesak berat Klien diambil darah dan urinnya Resiko cemas Klien merasa sesak berat mendadak Kurang pengetahuan pada pagi hari Diagnosa Keperawatan Terdapat empat diagnosa keperawatan yang dapat diberikan. Diagnosa keperawatan yang pertama yaitu gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru akibat sekunder dari perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan intertisial. Definisinya yaitu kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolarkapiler (NANDA, 2009). Pada klien tersebut terjadi ketidakmampuan ventrikel kiri dalam memompa akan menyebabkan kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary vaskular bed cenderung mengganggu keseimbangan Starling dengan mengakibatkan transudasi (penimbunan) cairan dalam paru yang dapat mengakibatkan klien sulit untuk bernafas. Selain itu, kegagalan pompa jantung akibat hipertensi ini juga dapat menyebabkan kurangnya sirkulasi darah dan suplai oksigen pada jaringan-jaringan di tubuh. Kombinasi ini mengakibatkan perubahan 38 yang berarti pada pertukaran gas alveoli-kapiler. Tanda dan gejala yang dialami klien yaitu crackles, dispnea. Diagnosa yang kedua, yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan preload, gangguan afterload, dan gangguan kontraktilitas. Definisi dari diagnosa ini yaitu ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (NANDA, 2012). Tanda dan gejala yang merujuk pada penggunaan diagnosa ini yaitu edema ekstremitas bawah, distensi vena jugular, dispnea, crackles, dan gallop. Diagnosa yang ketiga yaitu kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik, perembesan cairan intertisial di sistemik akibat sekunder dari penurunan curah jantung, gagal jantung. Definisi dari diagnosis ini yaitu peningkatan retensi cairan isotonic (NANDA, 2012). Tanda dan gejala yang dimiliki klien yaitu dispnea, suara napas tidak normal, perubahan tekanan darah, edema, distensi vena jugular, dan bunyi jantung gallop. Diagnosis yang keempat yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan akibat sekunder dari penurunan curah jantung, dan imobilitas. Definisi dari diagnosis ini yaitu ketidakcukupan energi fisiologis atau psikologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus dilakukan (NANDA, 2012). Tanda dan gejala yang dimiliki klien yaitu ketidaknyamanan saat beraktivitas, dispnea setelah beraktivitas. Diagnosa yang kelima yaitu resiko cemas berhubungan dengan menurunnya cardiac output, hipoksia, diagnosis gagal jantung dan ketakutan akan kematian serta perubahan status kesehatan. Diagnosa yang keenam yaitu kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit. E. Intervensi Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru akibat sekunder dari perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan intertisial. Ditandai dengan crackles dan dispnea. Tujuan /kriteria evaluasi: 39 Tujuan: dalam waktu ...x 24 jam tidak ada keluhan sesak napas atau terdapat penurunan respon sesak napas Kriteria hasil: secara subjektif klien menyatakan penurunan sesak napas, secara objektif didapatkan suara napas kembali normal, tidak ada bantuan otot bantu napas, analisa gas darah dalam batas normal Tindakan/intervensi Rasional Berikan tambahan oksigen 4 Untuk meningkatkan konsentrasi liter/menit oksigen dalam proses pertukaran gas Pantau saturasi, pH, BE, HCO3 Untuk mengetahui tingkat oksigenasi dengan analisa gas darah pada jaringan sebagai dampak adekuat Ajarkan/anjurkan klien batuk atau tidaknya proses pertukaran gas Membersihkan jalan nafas dan efektif, nafas dalam memudahkan aliran oksigen Koreksi keseimbangan asam Mencegah basa memperberat fungsi pernapasan Kolaborasi: RL 500 cc/24 jam; Meningkatkan digoxin jantung sehingga dapat mengurangi timbulnya asidosis yang kontraktilitas edema sehingga dapat otot dapat mencegah gangguan pertukaran gas 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan preload, gangguan afterload, dan gangguan kontraktilitas. Ditandai dengan edema ekstremitas bawah, distensi vena jugular, dispnea, crackles, dan gallop. Tujuan /kriteria evaluasi: Tujuan: dalam ...x 24 jam penurunan curah jantung dapat teratasi, irama dan bunyi jantung normal, suara napas normal Kriteria hasil: klien melaporkan penurunan episode dispnea, crackles berkurang, tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg), denyut dan irama jantung teratur 40 Tindakan/intervensi Rasional Periksa keadaan dengan Untuk mengetahui kerja otot jantung, mengauskultasi suara napas, perubahan kontraktilitas jantung yang kaji frekuensi, irama jantung. mempengaruhi jumlah curah jantung Catat bunyi jantung Irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah yang mengalir ke dalam serambi yang Pantau adanya output urine, mengalami distensi Ginjal berespons terhadap penurunan catat jumlah dan kepekatan/ curah jantung dengan mengabsorbsi konsentrasi urine natrium dan cairan. Output urine biasanya menurun selama tiga hari karena perpindahan cairan ke jaringan, tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga cairan berpindah Istirahatkan klien dengan tirah kembali ke sirkulasi bila klien tidur Untuk menurunkan seluruh kebutuhan baring optimal kerja pada jantung, dan menurunkan volume intravaskuler melalui induksi Atur posisi tirah baring yang durasis berbaring Posisi tersebut mengurangi kesulitan ideal. Kepala tempat tidur harus bernapas dan mengurangi jumlah dinaikkan 20 sampai 30 cm (8- darah kembali ke jantung yang dapat 10 inci) atau klien didudukan di mengurangi kongesti paru kursi Kaji perubahan pada sensorik, Dapat menunjukkan tidak adekuatnya contoh letargi, cemas, dan perfusi serebral akibat sekunder dari depresi penurunan curah jantung Berikan istirahat psikologis Stres menghasilkan vasokonstriksi, dengan lingkungan dengan yang meningkatkan TD dan tenang meningkatkan frekuensi/ kerja jantung Hindari posisi jongkok sewaktu Dapat meningkatkan aliran balik vena 41 melakukan BAB dan resistensi arteri sistemis secara simultan menyebabkan kenaikan volume sekuncup dan tekanan arterial Kolaborasi untuk pemberian Kerja dan ketegangan otot jantung diet jantung minimal, serta status nutrisi terpelihara sesuai dengan selera dan pola makan klien Kolaborasi untuk pemberian Untuk meningkatkan otot kerja jantung obat: diuretik, flurosemid dengan vasodilatasi serta menghambat (lasix), aldaxton, vasodilator terjadinya koagulasi lokal (nitrat, digoxin, catopril, lisinopril, enapril), morfin sulfat, sedatif, antikoagulan 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik, perembesan cairan intertisial di sistemik akibat sekunder dari penurunan curah jantung, gagal jantung. Ditandai dengan dispnea, crackles, perubahan tekanan darah, edema ekstremitas bawah, distensi vena jugular, dan bunyi jantung gallop. Tujuan /kriteria evaluasi: Tujuan: dalam waktu .. x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemis. Kriteria hasil: klien tidak sesak napas, crackles berkurang, edema ekstremitas berkurang, tekanan darah normal Tindakan/intervensi Rasional Kaji adanya edema ekstremitas Dugaan adanya gagal jantung Kaji tekanan darah kongestif/kelebihan volume cairan Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat meningkatkan beban kerja Kaji distensi vena jugularis jantung Peningkatan cairan dapat membebani 42 Ukur intake dan output cairan Timbang berat badan fungsi ventrikel kanan Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, natrium/ retensi air, dan penurunan output urine Perubahan berat badan yang tiba-tiba menunjukkan gangguan keseimbangan cairan Beri posisi yang membantu Meningkatkan aliran balik vena dan drainase ekstremitas, lakukan mengurangi timbulnya edema perifer latihan gerak pasif Kolaborasi: berikan diet tanpa Natrium meningkatkan retensi cairan garam dan meningkatkan volume plasma yang berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung, serta meningkatkan kebutuhan miokardium Berikan diuretik Untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan akibat sekunder dari penurunan curah jantung, dan imobilitas. Ditandai dengan ketidaknyamanan saat beraktivitas, dispnea setelah beraktivitas. Tujuan /kriteria evaluasi: Tujuan: dalam waktu ... x 24 jam terdapat respons perbaikan dengan meningkatnya kemampuan beraktivitas klien 43 Kriteria hasil: klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur, klien tidak mengalami sesak napas akibat sekunder dari beraktivitas Tindakan/intervensi Rasional Catat frekuensi jantung, irama, Respons klien terhadap aktivitas dapat perubahan TD, selama dan mengindikasikan penurunan oksigen di sesudah aktivitas miokardium Tingkatkan istirahat, batasi Menurunkan kerja miokardium dan aktivitas dan berikan aktivitas konsumsi oksigen senggang yang tidak berat Anjurkan menghindari perilaku Mengedan dapat yang meningkatkan tekanan kontraksi abdomen seperti mengedan saat pembuluh defekasi meningkatkan Pertahankan klien tirah baring vaskuler sistemis, dan beban jantung Mengurangi beban jantung otot dan darah mengakibatkan vasokonstriksi yang preload, dapat tahanan sementara Evaluasi tanda vital saat Mengetahui fungsi jantung bila kemajuan aktivitas terjadi dikaitkan dengan aktivitas Selama aktivitas, kaji dispnea, Melihat dampak dari aktivitas terhadap kerja napas, dan frekuensi fungsi jantung napas serta keluhan subjektif Evaluasi peningkatan intoleran Dapat menunjukkan peningkatan aktivitas dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas Kolaborasi: program jantung/aktivitas Implementasi Peningkatan bertahap pada aktivitas rehabilitasi menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. 44 5. Resiko cemas berhubungan dengan menurunnya cardiac output, hipoksia, diagnosis gagal jantung dan ketakutan akan kematian serta perubahan status kesehatan Tujuan/kriteria evaluasi : Klien tidak menunjukan gejala kecemasan dan kecemasannya berkurang, tidur 6-8 jam/ hari, gelisah hilang, klien kooperatif, menggunakan perasaannya pada perawat tentang tindakan yang di programkan, klien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, dan menyatakan ansietasnya berkurang atau hilang Tindakan/Intervensi Rasional Menyediakan lingkungan yang Lingkungan yang tenang dapat menurunkan nyaman dan tenang ansietas Menjelaskan semua prosedur tindakan Dengan menyediakan informasi, klien tidak yang akan dilakukan merasakan cemas dengan tindakan yang akan Mempersilahkan klien untuk dilakukan Dengan memperbolehkan klien untuk mengajukan pertanyaan bertanya , maka perawat harus menyediakan Memberikan support emotional pada forum terbuka untuk berdiskusi dengan klien. Memberikan sistem support kepada klien klien dan hal lain yang dapat dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan mensupport klien Mendorong klien untuk menggunakan klien Sistem support tambahan seperti pemuka sistem support tambahan agama, konselor dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan klien dan meningkatkan sistem support klien 6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit Tujuan/kriteria evaluasi, klien mampu: a. Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi. b. Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk menangani. c. Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu. Tindakan/intervensi Rasional 45 Diskusikan fungsi jantung normal Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan Kuatkan rasional pengobatan Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat Anjurkan makanan diet pada meningkatkan resiko eksaserbasi gejala Memberikan waktu adekuat untuk efek pagi hari obat sebelum waktu tidur untuk mencegah atau membatasi, Kolaborasi: Rujuk pada sumber di masyarakat/ kelompok pendukung suatu indikasi menghentikan tidur Dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah F. Implementasi Keperawatan a. Oksigenasi Pemberian O2 kepada klien dapat diberikan kepada klien dengan indikasi kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah, peningkatan kerja napas, dan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat. Pemberian oksigen sebanyak 2-6 liter/menit dapat mengurangi dispnea dan kelelahan yang dialami oleh klien tersebut. Selain itu, ekspansi paru dapat dibantu dengan pemberian posisi fowler. b. Memperbaiki kegiatan dan istirahat Perawat harus mengatur jumlah kegiatan dan istirahat yang diterima oleh klien. Dengan timbulnya dispnea dan kelelahan, kegiatan klien harus disesuaikan. Klien akan lebih sering duduk dibandingkan dengan tidur 46 pada posisi terlentang. Kedua kaki klien dapat ditinggikan, yang berfungsi untuk mencegah timbulnya edema. c. Ambulasi Ambulasi diberikan secara bertahap untuk mencegah peningkatan beban kerja jantung. Misalnya, mulai dari duduk, kemudian berjalan dengan jarak yang tidak jauh. d. Mempertahankan keseimbangan cairan Saat klien sudah membatasi konsumsi garam dan meminum obat diuretik, pembatasan cairan dapat dikurangi. Namun, jika terdapat saran dari dokter untuk tetap membatasi cairan, berikan separuh dari jumlah cairan yang diperlukan diantara jam makan, dan separuh lagi diperoleh dari konsumsi makanan. Timbang berat badan setiap hari. e. Pertahankan integritas kulit Klien yang mengalami tirah baring, perlu perubahan posisi setiap 2-3 jam sekali, untuk mencegah timbulnya ulkus dekubitus. f. Pertahankan nutrisi yang adekuat Berikan makanan yang lunak, rendah kalori, serat dan garam, serta tidak menghasilkan gas. Berikan vitamin dan makanan dengan jumlah sedikit tapi sering. G. Evaluasi keperawatan Evaluasi yang dilakukan berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan pada tahap perencanaan. Pada tahap ini perawat menentukan apakah hasil yang diperlihatkan oleh klien mencerminkan pencapaian tujuan atau tidak. Untuk mengevaluasi secara objektif, evaluasi yang dapat dilakukan dengan pendekatan SOAPIER, yaitu: 47 S: Subjektif. Perkembangan yang didasarkan pada apa yang dirasakan, dan dikemukakan oleh klien. O: Objektif. Perkembangan klien dapat diamati dan diukur oleh perawat atau tenaga kesehatan lain. A: Analisis. Data objektif dan subjektif akan dinilai dan dianalisis. Apakah perkembangannya lebih baik atau kebalikannya. P: Planning. Rencana penanganan klien yang sesuai dengan analisis data. Jika masalah klien belum teratasi, perawat dapat melanjutkan dari rencana sebelumnya. Jika rencana awal tidak efektif, maka perawat dapat membuat rencana baru. I: Implementation. Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan. E: Evaluasi. Apakah tujuan implementasi intervensi keperawatan telah tercapai. R: Bila belum berhasil, lakukan kembali proses pengkajian dan rencanakan kembali intervensi keperawatan yang akan diimplementasikan. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Gagal jantung kongestif atau yang sering disebut dengan congestive heart failure (CHF) merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi 48 kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peningkatan volume diastolik secara abnormal. Menurut New York Heart Association (NYHA), gagal jantung diklasifikasikan menjadi empat, yaitu NYHA kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV. CHF terjadi karena interaksi kompleks antara faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, afterload, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi. Klien dengan CHF tidak boleh diberi cairan terlalu banyak, karena dia sudah kelebihan cairan. Jika terus-terusan diberi cairan tanpa adanya pengontrolan akan menyebabkan edema paru yang berujung pada kematian. Tn.M mengalami CHF dimana komplikasinya adalah masalah kelebihan cairan. Oleh karena itu, terapi farmakologi dan diet yang tepat untuk Tn.M adalah ACE inhibitors dan ARBs, obat diuretik, terapi nutrisi dan manajemen cairan. Selain terapi farmakologi, pada pasien gagal jantung, terdapat beberapa macam pemberian diet rendah garam tergantung pada tingkatan keparahan gagal jantung yang di deritanya. Pada Tn.M, diet jantung yang tepat diberikan adalah diet rendah garam 3, karena Tn.M mengalami edema di ekstremitas, mengalami hipertensi ringan (kelas I), serta tidak terdapat asites. Daftar Pustaka Baradero, Mary., Dayrit, Mary., Siswandi, Yakobus. (2005). Klien gangguan kardiovaskular: seri asuhan keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 49 Black & Jacob. (1997).Medical surgical nursing: clinical management for continuity of care. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders Company. Black & Janr.(2005).Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 7th ed.Missouri: Elsevier Inc. Black Joyce M and Hawks Jane Hokanson (2009). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Positive Outcome. St. Louis: Saunders Elsevier. Brashers, valentina L. (2008). Aplikasi Klinis Patofisiologi (pemeriksaan & manajemen). Jakarta: EGC. Brunner, L dan Suddarth, D. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Ed-8, vol 1. Jakarta: EGC. Davey, Patrick. (2006). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. Doenges Marilynn E,. (2002). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Ed. 3. Jakarta: EGC. Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr, A.C. (2010). Nursing Care Plans: Guidelines for Individualizing Client Care Across the Life Span. 8 thed. Philadelphia: F.A.Davis Company Herdman, Heather. (2009). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 20092011. Jakarta: EGC. Ignatavicius, Donna D and Workman, M Linda. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for Collaborative Care, 5th ed. St. Louis: Saunders Elsevier. Ignatavicius, Donna D and Workman, M Linda. (2009). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for Collaborative Care, 6th ed. St. Louis: Saunders Elsevier. Norma, Miligan Metheny. (1992). Fluid and electrolyte balance. Philadelpia: Lippincott Muttaqin, Arif. Editor: Nurachmach, Elly. (2009). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika. 50 NANDA International: Diagnosa keperawatan 2012-2014. Jakarta: EGC. Oemar, Hamed, dkk. (2005). Textbook of Echocardiography. YMB Publisher. Smeltzer, Suzzane .G. & Bare, G. Brenda. (1999). Textbook of Medical Surgical Nursing. New York : Lippicont-Raven Publisher. Wilkinson, Judith., Ahern, Nancy. (2012). Buku saku diagnosis keperawatan, Ed 9. Jakarta: EGC. http://hidayatulrahmat.files.wordpress.com/2009/11/pengkajian1.pdf (diunduh 25 April 2013 pkl. 22.00 ) 51