BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi tumbuhan Daun sembukan (kentutan) termasuk herba tahunan berbatang memanjang, berkayu pada bagian pangkal, tumbuh liar di lapangan terbuka atau tepi sungai, dan melilit di pagar rumah. Daun sembukan memiliki daun tunggal, bertangkai sekitar 1-5 cm, letaknya berhadapan, dan bentuknya bulat telur atau lonjong. Pangkal daun berbentuk jantung, ujung runcing tetapi rata, panjang daun 3-12 cm dan lebar 2-5 cm dan tulang daun menyirip (Mangoting, dkk., 2005). Tumbuhan sembukan memiliki bunga yang tersusun dalam malai sepanjang 2-12 cm, bentuk bunga corong, mahkota bunga putih hingga kuning pucat dengan semburat ungu kemerahan gelap di bagian tengah, panjang mahkota 1 cm dan berbentuk silinder. 2.1.2Klasifikasitumbuhan Klasifikasi tumbuhan sembukan adalah sebagai berikut: Kerajaan : Planta Subdivisi : Angiospermae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rubiales Suku : Rubiaceae Marga : Paederia Jenis : Paederia foetida L (Depkes, RI., 2001) 6 Universitas Sumatera Utara Nama daerah dari daun sembukan adalah sekentut, daun kentut, sembukan (Jawa), dandang king, (Melayu), kahitutan, kasembukan (Madura), gumisiki (Ternate) (Mangoting, dkk., 2005). Nama asing dari daun sembukan adalah Chinese fevervine (Inggris), Ji shi Teng (Cina) (Hariana, 2011). 2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan Kandungan kimia dari tumbuhan sembukan adalah asperulosida, skandosida, paederosida, deasetilasperulosida, asam paederosida, arbutin, asam oleonik, dan gama sitosterol. Daun sembukan memiliki bau yang tidak enak dan tidak bersifat permanen, karena apabila daun direbus atau dikukus aromanya akan berkurang. Bau yang tidak enak dari daun sembukan disebabkan oleh kandungan kimia metil merkaptan yang terdapat di daun dan batang (Trubus, 2013). 2.1.4 Kegunaan tumbuhan Daun sembukan dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu digunakan sebagai antispasmodik (pengurang kejang otot di usus), diare, rematik dan antiradang. Daun sembukan selain digunakan sebagai obat tradisional digunakan juga sebagai sayur, antara lain sebagai bahan untuk membuat pepes oncom, botok, trancam, dan pelas (Trubus, 2013). 2.2 Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani 7 Universitas Sumatera Utara dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia(Depkes, RI., 2000). 2.2.2 Ekstrak Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa sediaan kental, kering dan cair yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Depkes, RI., 2000). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat(Depkes, RI., 2000). 2.2.3 Metode ekstraksi Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara yaitu : 1. Cara dingin a. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik bearti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi bearti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes, RI., 2000). 8 Universitas Sumatera Utara b. Perkolasi Perkolasi adalah proses pengekstraksian dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes, RI., 2000). Cara panas a. Refluks Refluks adalah proses pengekstraksian dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, RI., 2000). b. Soxletasi Soxletasi adalah prosespengekstraksian menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat yang disebut Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, RI., 2000). c. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebh tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes, RI., 2000). 9 Universitas Sumatera Utara d. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan pemanasaan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit (Depkes, RI., 2000). e. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pemanasan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit (Depkes,RI., 2000). 2.3 Inflamasi 2.3.1 Definisi inflamasi Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam fokus peradangan. Respon ini disebabkan oleh pembebasan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin, kinin) yang berperan mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul gejala dari jaringan yang cidera (Soenarto, 2007). 10 Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Mediator inflamasi a. Histamin Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dan segera muncul dalam beberapa detik setelah diinduksi dan berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilase asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru, kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit dan basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik tersimpan dan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999). b. Bradikinin Bradikinin bekerja pada pembuluh darah dengan merangsang pelepasan prostaksiklin, nitrit oksida ataupun faktor hiperpolarisasi turunan endothelium. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan merupakan mediator penting dalam nyeri (Nugroho, 2012). c. Serotonin serotonin (5-hidroksitriptamin) berasal dari asam amino esensial triptamin yang dihasilkan melalui reaksi hidroksilasi dan dekarboksilasi. Serotonin terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin pada trombosit berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999). 11 Universitas Sumatera Utara d. Prostaglandin Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau radang. Prostaglandin sebagai penyebab radang bekerja lemah, namun berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lainnya yang dibebaskan secara lokal, seperti histamin, serotonin dan leukotrin. Prostaglandin dapat menimbulkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah lokal (Ganiswarna, 1995). e. Leukotrien Leukotrien dihasilkan dari subtrat asam arakidonat melalui jalur lipoksigenase yang terdapat di paru-paru, sel mast platelet, dan sel darah putih (Nugroho, 2012). 2.3.3 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi a. Kemerahan (rubor) Kemerahan (rubor) merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut bedilatasi, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna merah lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi inflamasi diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price dan Wilson, 1995). 12 Universitas Sumatera Utara b. Panas (kalor) Panas (kalor) terjadi karena aliran darah banyak tersuplai ke jaringan luka pada proses peradangan bersama dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut. Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas dari daerah sekitarnya, sebab darah dengan suhu 370C yang disalurkan ke permukaan daerah yang terkena inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995). c. Rasa Nyeri (dolor) Rasa nyeri (dolor) ditimbulkan karena adanya kerusakan jaringan yang melepaskan mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator tersebut adalah histamin, serotonin, asetilkolin dan bradikinin (Nugroho, 2012). d. Pembengkakan (tumor) Pembengkakan (tumor) terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cidera. Dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk kedalam jaringan sehingga menyebaban jaringan menjadi bengkak (Price dan Wilson, 1995). e. Perubahan Fungsi (fungsio laesa) Gangguan fungsi (fungsio laesa) merupakan konsekuensi dari suatu proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara refleks akan mengalami hambatan rasa sakit, pembengkakan 13 Universitas Sumatera Utara yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Price dan Wilson, 1995). 2.3.4 Mekanisme terjadinya inflamasi Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid salah satunya adalah asam arakidonat. Senyawa ini merupakan mediator radang yang merupakan komponen utama lipid dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil dan sebagian besar berada dalam fosfolipid membran sel. Enzim fosfolipase diaktivasi untuk mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat pada membran sel yang mengalami kerusakan akibat suatu rangsangan. Asam arakidonat yang bebas akan diaktifkan oleh enzim lipooksigenase dan siklooksigenase, kemudian enzim tersebut akan merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksida dan endoperoksida) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan (Katzung, 2006). Jalur siklooksigenase menghasilkan Tromboksan A2 (TXA2)sebagai pengagregasi trombosit dan vasokontriktor yang merupakan produk utama prostaglandin dalam trombosit serta prostaksiklin yang merupakan suatu vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. Jalur siklooksigenase juga menghasilkan PGD2 yang merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase dalam sel mast, bersama dengan prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edem. Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi, (PGE2) membantu meningkatkan sensitivitas 14 Universitas Sumatera Utara nyeri terhadap berbagai rangsangan dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan demam (Robbins, 2007). Jalur lipoksigenase merupakan enzim yang memetabolisme asam arakhidonat yang terdapat dalam neutrofil, selain itu enzim ini menghasilkan leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4 (LTA4) yang selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik. LTB4 merupakan agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil. LTC4 selanjutnya akan menjadi LTD4 dan LTE4 yang menyebabkan vasodilataasi dan menghambat kemotaksis neotrofil (Robbins, 2007). Mekanisme terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar 2.1 Fospolipid (membran sel) Kortikosteroid Fospolipase Asam arakhidonat AINS Siklooksigenase Lipoksigenase Endoperoksida Zileuton Montelukast Asam endoperoksida Nabumeton Celecoxib COX-1 COX-1 Tromboksan TXA2 Prostasiklin PGI2 Leukotrien LTA COX-2 Prostaglandin PGE2/F2 LTB4 LTC4 – LTD4 – LTE4 Gambar 2.1Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Tjay dan Rahardja, 2013). 15 Universitas Sumatera Utara 2.4 Obat Antiinflamasi Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamsi terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat antiinflamsi steroid dan golongan kedua yaitu golongan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS). 2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroid Obat antiinflamasi steroid bekerja menghambat sintesis prostaglandin dengan cara amenghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid yang berada padamembran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakhidonat, akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan radang tidak ada (Tjay dan Rahardja, 2013). 2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroid Antiinflamasi nonsteroid merupakan obat antiinflamasi yang paling banyak digunakan, memiliki tiga macam efek farmakologi yaitu antiinflamsi, analgetik dan antipiretik. Obat ini bereaksi dengan menghambat enzim siklooksigenase, selanjutnya terjadi penghambatan pada produksi prostaglandin dan tromboksan. Obat AINS generasi awal menghambat baik pada COX-1 dan COX-2, bahkan lebih dominan menghambat COX-1 yang dapat memberikan efek samping iritasi lambung. Perkembangan berikutnya diarahkan obat AINS yang bekerja lebih selektif terhadap COX-2 yang terfokus pada sel inflamasi (Nugroho, 2012). Efek antiinflamasi berkaitan dengan penghambatan pada manifestasi inflamasi yaitu vasodilatasi, edema dan nyeri. Manifestasi inflamasi tersebut 16 Universitas Sumatera Utara diperantarai oleh mediator-mediator yang merupakan produk dari aksi COX-2. AINS menghambat COX dan menurunkan produksi vasodilator prostaglandin (PGE2 dan PGI2) sehingga menurunkan vasodilatasi dan menurunkan edem yang terjadi (Nugroho, 2012). 2.4.2.1 Natrium Diklofenak Natrium diklofenak merupaka derivat fenilasetat yang termasuk NSAID yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan oabt lainnya (seperti indometasin, piroksikam) (Tjay dan Rahardja, 2013). Absopsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap yang terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first-pass) sebesar 40-50%, memiliki waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak diakumulasi dicairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah mual,gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi 2 atau 3 dosis (Wilmana dan Gan, 2007). 2.5 Metode Uji Antiinflamasi a. Metode pembentukan udem buatan Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkna kemampuan agen tersebut untuk menghambat produksi udem kaki belakang tikus setelahinjeksi agen radang yang kemudian diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi udem antara lain formalin, 17 Universitas Sumatera Utara kaolin, ragi dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagenan (Vogel, 2008). b. Metode pembentukan eritema Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya dengan suspensi barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat, satu hari kemudian senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV, setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2008). c. Induksi asam asetat Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap peningkatan permeabilitas vascular yang diinduksi oleh asam asetat secara intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi asam asetat (Sularkar, 2008). d. Induksi xylene pada udem daun telinga Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet pada kedua permukaan daun telinga kanannya dan telinga kiri digunakan sebagai kontrol. Parameter yang diukur pada metode ini ada dua yaitu ketebalan dan bobot dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang telah diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital kemudian dibandingkan 18 Universitas Sumatera Utara dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun telinga, maka daun telinga hewan uji dipitong dan ditimbang, kemudian dibandingkan beratnya dengan telinga kiri (Sularkar, 2008). e. Induksi asam arakhidonat pada udem daun telinga kiri. Metode yang digunakan pada metode ini hampir sama dengan metode induksi xylene, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat yang diberikan secara topikal pada kedua permukaan daun telinga kanan hewan uji (Sularkar, 2008). f. Induksi karagenan Induksi udem dilakukan pada telapak kaki hewan uji. Dalam hal ini disuntikan suspensi karagenan secara intraplantar dan obat uji diberikan secra oral. Volume udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada telapak kaki hewan uji (Sularkar, 2008). g. Induksi histamin Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1% (Sularkar, 2008). 2.6 Karagenan Karagenan merupakan polisakarida hasil ekstrak rumput laut dari famili Euchema, Chondrus dan Gigartina, memiliki bentuk berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan dan ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa belendir di lidah. Berdasarkan kandungan 19 Universitas Sumatera Utara sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu lamda karagenan, iota karagenan dan kappa karagenan (Rowe, dkk., 2009). Kappa karagenan tersusun dari α (1-˃3) D galaktosa-4 sulfat dan β (1-˃ 4) 3,6 anhydro D galaktosa. Karagenan sering mengandung d-galaktosa sulfat ester dan 3,6 anhydro-D galaktosa 2-sulfat ester. Adanya gugus 6-sulfat dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat yang menghasilkan terbentuknya 3,6 anhydro D galaktosa, sehingga derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah. Iota karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa karagenan. Iota karagenan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali. Lamda karagenan berbeda dengan iota dan kappa karagenan karena memiliki sebuah residu disulfat α (1-˃4) D galaktosa tidak seprti kappa dan iota karagenan yang selalu memiliki gugus 4-pospat ester. Posisi dari sulfat terkait dapat dengan mudah ditentukan denga infrared spectrophotometer (Winarno, 1990). Karagenan berperan dalam pembentukan udem pada inflamasi akut. Karagenan dipilih karena dapat melepaskan mediator inflamasi yaitu prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji, oleh karena itu karagenan dapat digunakan sebagai iritan dalam metode uji uyang betujuan untuk mencari obat-obat antiinflamasi, tepatnya bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin (Winter, dkk., 1961). 20 Universitas Sumatera Utara Penggunaan karagenan sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan anatara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan, lebih aman dan lebih baik untuk memperkirakan potensi obat antiinflamasi dibandingkan iritan lainnya (Parmar dan Prakash, 2006). 21 Universitas Sumatera Utara