6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Morfologi tumbuhan
Daun sembukan (kentutan) termasuk herba tahunan berbatang memanjang,
berkayu pada bagian pangkal, tumbuh liar di lapangan terbuka atau tepi sungai,
dan melilit di pagar rumah. Daun sembukan memiliki daun tunggal, bertangkai
sekitar 1-5 cm, letaknya berhadapan, dan bentuknya bulat telur atau lonjong.
Pangkal daun berbentuk jantung, ujung runcing tetapi rata, panjang daun 3-12 cm
dan lebar 2-5 cm dan tulang daun menyirip (Mangoting, dkk., 2005). Tumbuhan
sembukan memiliki bunga yang tersusun dalam malai sepanjang 2-12 cm, bentuk
bunga corong, mahkota bunga putih hingga kuning pucat dengan semburat ungu
kemerahan gelap di bagian tengah, panjang mahkota 1 cm dan berbentuk silinder.
2.1.2Klasifikasitumbuhan
Klasifikasi tumbuhan sembukan adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Planta
Subdivisi
: Angiospermae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Rubiales
Suku
: Rubiaceae
Marga
: Paederia
Jenis
: Paederia foetida L (Depkes, RI., 2001)
6
Universitas Sumatera Utara
Nama daerah dari daun sembukan adalah sekentut, daun kentut, sembukan
(Jawa), dandang king, (Melayu), kahitutan, kasembukan (Madura), gumisiki
(Ternate) (Mangoting, dkk., 2005). Nama asing dari daun sembukan adalah
Chinese fevervine (Inggris), Ji shi Teng (Cina) (Hariana, 2011).
2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan
Kandungan kimia dari tumbuhan sembukan adalah
asperulosida,
skandosida, paederosida, deasetilasperulosida, asam paederosida, arbutin, asam
oleonik, dan gama sitosterol. Daun sembukan memiliki bau yang tidak enak dan
tidak bersifat permanen, karena apabila daun direbus atau dikukus aromanya akan
berkurang. Bau yang tidak enak dari daun sembukan disebabkan oleh kandungan
kimia metil merkaptan yang terdapat di daun dan batang (Trubus, 2013).
2.1.4 Kegunaan tumbuhan
Daun sembukan dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu digunakan
sebagai antispasmodik (pengurang kejang otot di usus), diare, rematik dan
antiradang. Daun sembukan selain digunakan sebagai obat tradisional digunakan
juga sebagai sayur, antara lain sebagai bahan untuk membuat pepes oncom, botok,
trancam, dan pelas (Trubus, 2013).
2.2 Simplisia dan Ekstrak
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani
7
Universitas Sumatera Utara
dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia(Depkes, RI.,
2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa sediaan kental, kering dan cair
yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Depkes, RI., 2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia dapat digolongkan
kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahui
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat(Depkes, RI., 2000).
2.2.3 Metode ekstraksi
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua
cara yaitu :
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik bearti dilakukan
pengadukan
yang
kontinu
(terus-menerus).
Remaserasi
bearti
dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan seterusnya (Depkes, RI., 2000).
8
Universitas Sumatera Utara
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses pengekstraksian dengan pelarut yang selalu baru
sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak)
terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan
(Depkes, RI., 2000).
Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah proses pengekstraksian dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(Depkes, RI., 2000).
b. Soxletasi
Soxletasi adalah prosespengekstraksian menggunakan pelarut yang selalu
baru yang umumnya dilakukan dengan alat yang disebut Soxhlet sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik (Depkes, RI., 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebh tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes, RI., 2000).
9
Universitas Sumatera Utara
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan pemanasaan menggunakan
pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit (Depkes, RI., 2000).
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pemanasan menggunakan
pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit (Depkes,RI., 2000).
2.3 Inflamasi
2.3.1 Definisi inflamasi
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera
atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk
akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan
(rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis,
menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler
dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan,
termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam fokus peradangan. Respon
ini disebabkan oleh pembebasan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin,
kinin) yang berperan mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun
jaringan dan kemudian dapat timbul gejala dari jaringan yang cidera (Soenarto,
2007).
10
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Mediator inflamasi
a. Histamin
Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dan segera muncul
dalam beberapa detik setelah diinduksi dan berperan meningkatkan permeabilitas
kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilase asam amino histidin yang
terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru,
kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit dan basofil
adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik tersimpan dan terikat pada heparin
dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi
hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia
pembebas histamin (Mutschler, 1999).
b. Bradikinin
Bradikinin bekerja pada pembuluh darah dengan merangsang pelepasan
prostaksiklin, nitrit oksida ataupun faktor hiperpolarisasi turunan endothelium.
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan merupakan mediator penting dalam nyeri (Nugroho, 2012).
c. Serotonin
serotonin (5-hidroksitriptamin) berasal dari asam amino esensial triptamin
yang dihasilkan melalui reaksi hidroksilasi dan dekarboksilasi. Serotonin terdapat
dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi
tinggi. Serotonin pada trombosit berfungsi
meningkatkan agregasi dan
mempercepat penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler,
1999).
11
Universitas Sumatera Utara
d. Prostaglandin
Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau radang. Prostaglandin sebagai penyebab radang bekerja lemah,
namun berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lainnya
yang dibebaskan secara lokal, seperti histamin, serotonin dan leukotrin.
Prostaglandin dapat menimbulkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah
lokal (Ganiswarna, 1995).
e. Leukotrien
Leukotrien dihasilkan dari subtrat asam arakidonat melalui jalur
lipoksigenase yang terdapat di paru-paru, sel mast platelet, dan sel darah putih
(Nugroho, 2012).
2.3.3 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi
a. Kemerahan (rubor)
Kemerahan (rubor) merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri yang
mensuplai darah ke daerah tersebut bedilatasi, dengan demikian lebih banyak
darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh
oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna merah
lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi inflamasi
diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price dan
Wilson, 1995).
12
Universitas Sumatera Utara
b. Panas (kalor)
Panas (kalor) terjadi karena aliran darah banyak tersuplai ke jaringan luka
pada proses peradangan bersama dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut.
Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas dari daerah sekitarnya, sebab
darah dengan suhu 370C yang disalurkan ke permukaan daerah yang terkena
inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal (Price dan Wilson,
1995).
c. Rasa Nyeri (dolor)
Rasa nyeri (dolor) ditimbulkan karena adanya kerusakan jaringan yang
melepaskan mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator
tersebut adalah histamin, serotonin, asetilkolin dan bradikinin (Nugroho, 2012).
d. Pembengkakan (tumor)
Pembengkakan (tumor) terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas
dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan
yang cidera. Dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah
dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh molekul yang
lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada
biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk kedalam jaringan
sehingga menyebaban jaringan menjadi bengkak (Price dan Wilson, 1995).
e. Perubahan Fungsi (fungsio laesa)
Gangguan fungsi (fungsio laesa) merupakan konsekuensi dari suatu proses
inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan secara
sadar ataupun secara refleks akan mengalami hambatan rasa sakit, pembengkakan
13
Universitas Sumatera Utara
yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Price dan
Wilson, 1995).
2.3.4 Mekanisme terjadinya inflamasi
Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan
kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan
melepaskan beberapa fosfolipid salah satunya adalah asam arakidonat. Senyawa
ini merupakan mediator radang yang merupakan komponen utama lipid dan hanya
terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil dan sebagian besar berada
dalam fosfolipid membran sel. Enzim fosfolipase diaktivasi untuk mengubah
fosfolipid menjadi asam arakidonat pada membran sel yang mengalami kerusakan
akibat suatu rangsangan. Asam arakidonat yang bebas akan diaktifkan oleh enzim
lipooksigenase dan siklooksigenase, kemudian enzim tersebut akan merubah asam
arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksida dan endoperoksida)
yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin
dan tromboksan (Katzung, 2006).
Jalur siklooksigenase menghasilkan Tromboksan A2 (TXA2)sebagai
pengagregasi trombosit dan vasokontriktor yang merupakan produk utama
prostaglandin dalam trombosit serta prostaksiklin yang merupakan suatu
vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. Jalur siklooksigenase juga
menghasilkan PGD2 yang merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase dalam
sel mast, bersama dengan prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan pembentukan edem. Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis
nyeri dan demam pada inflamasi, (PGE2) membantu meningkatkan sensitivitas
14
Universitas Sumatera Utara
nyeri terhadap berbagai rangsangan dan berinteraksi dengan sitokin yang
menyebabkan demam (Robbins, 2007).
Jalur lipoksigenase merupakan enzim yang memetabolisme asam
arakhidonat yang terdapat dalam neutrofil, selain itu enzim ini menghasilkan
leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4 (LTA4) yang
selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik. LTB4 merupakan
agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil. LTC4 selanjutnya akan
menjadi LTD4 dan LTE4 yang menyebabkan vasodilataasi dan menghambat
kemotaksis neotrofil (Robbins, 2007). Mekanisme terjadinya inflamasi dapat
dilihat pada Gambar 2.1
Fospolipid
(membran sel)
Kortikosteroid
Fospolipase
Asam arakhidonat
AINS
Siklooksigenase
Lipoksigenase
Endoperoksida
Zileuton
Montelukast
Asam endoperoksida
Nabumeton
Celecoxib
COX-1
COX-1
Tromboksan
TXA2
Prostasiklin
PGI2
Leukotrien LTA
COX-2
Prostaglandin
PGE2/F2
LTB4
LTC4 – LTD4 – LTE4
Gambar 2.1Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Tjay dan Rahardja, 2013).
15
Universitas Sumatera Utara
2.4 Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan
atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamsi
terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat
antiinflamsi steroid dan golongan kedua yaitu golongan obat antiinflamasi
nonsteroid (AINS).
2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroid
Obat antiinflamasi steroid bekerja menghambat sintesis prostaglandin
dengan cara amenghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid yang berada
padamembran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakhidonat, akibatnya
prostaglandin tidak akan terbentuk dan radang tidak ada (Tjay dan Rahardja,
2013).
2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroid
Antiinflamasi nonsteroid merupakan obat antiinflamasi yang paling banyak
digunakan, memiliki tiga macam efek farmakologi yaitu antiinflamsi, analgetik
dan antipiretik. Obat ini bereaksi dengan menghambat enzim siklooksigenase,
selanjutnya terjadi penghambatan pada produksi prostaglandin dan tromboksan.
Obat AINS generasi awal menghambat baik pada COX-1 dan COX-2, bahkan
lebih dominan menghambat COX-1 yang dapat memberikan efek samping iritasi
lambung. Perkembangan berikutnya diarahkan obat AINS yang bekerja lebih
selektif terhadap COX-2 yang terfokus pada sel inflamasi (Nugroho, 2012).
Efek antiinflamasi berkaitan dengan penghambatan pada manifestasi
inflamasi yaitu vasodilatasi, edema dan nyeri. Manifestasi inflamasi tersebut
16
Universitas Sumatera Utara
diperantarai oleh mediator-mediator yang merupakan produk dari aksi COX-2.
AINS menghambat COX dan menurunkan produksi vasodilator prostaglandin
(PGE2 dan PGI2) sehingga menurunkan vasodilatasi dan menurunkan edem yang
terjadi (Nugroho, 2012).
2.4.2.1 Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak merupaka derivat fenilasetat yang termasuk NSAID
yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang
dibandingkan dengan oabt lainnya (seperti indometasin, piroksikam) (Tjay dan
Rahardja, 2013).
Absopsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap yang
terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first-pass)
sebesar 40-50%, memiliki waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak
diakumulasi dicairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih
panjang waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah
mual,gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-150 mg
sehari terbagi 2 atau 3 dosis (Wilmana dan Gan, 2007).
2.5 Metode Uji Antiinflamasi
a. Metode pembentukan udem buatan
Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkna kemampuan
agen tersebut untuk menghambat produksi udem kaki belakang tikus setelahinjeksi
agen radang yang kemudian diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji.
Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi udem antara lain formalin,
17
Universitas Sumatera Utara
kaolin, ragi dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan
yang tinggi adalah karagenan (Vogel, 2008).
b. Metode pembentukan eritema
Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada
kulit hewan yang dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya
dengan suspensi barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat,
satu hari kemudian senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30
menit sebelum pemaparan UV, setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan
pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas
marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2008).
c. Induksi asam asetat
Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap
peningkatan permeabilitas vascular yang diinduksi oleh asam asetat secara
intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara
intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular
ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna
yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi
asam asetat (Sularkar, 2008).
d. Induksi xylene pada udem daun telinga
Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet
pada kedua permukaan daun telinga kanannya dan telinga kiri digunakan sebagai
kontrol. Parameter yang diukur pada metode ini ada dua yaitu ketebalan dan bobot
dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang telah diinduksi
diukur dengan menggunakan jangka sorong digital kemudian dibandingkan
18
Universitas Sumatera Utara
dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun telinga, maka daun
telinga hewan uji dipitong dan ditimbang, kemudian dibandingkan beratnya
dengan telinga kiri (Sularkar, 2008).
e. Induksi asam arakhidonat pada udem daun telinga kiri.
Metode yang digunakan pada metode ini hampir sama dengan metode
induksi xylene, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat
yang diberikan secara topikal pada kedua permukaan daun telinga kanan hewan uji
(Sularkar, 2008).
f. Induksi karagenan
Induksi udem dilakukan pada telapak kaki hewan uji. Dalam hal ini
disuntikan suspensi karagenan secara intraplantar dan obat uji diberikan secra oral.
Volume udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji
ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada
telapak kaki hewan uji (Sularkar, 2008).
g. Induksi histamin
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan,
hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1% (Sularkar,
2008).
2.6
Karagenan
Karagenan merupakan polisakarida hasil ekstrak rumput laut dari famili
Euchema, Chondrus dan Gigartina, memiliki bentuk berupa serbuk berwarna putih
hingga kuning kecoklatan dan ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk
halus, tidak berbau, serta memberi rasa belendir di lidah. Berdasarkan kandungan
19
Universitas Sumatera Utara
sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan dapat dibagi menjadi tiga jenis
yaitu lamda karagenan, iota karagenan dan kappa karagenan (Rowe, dkk., 2009).
Kappa karagenan tersusun dari α (1-˃3) D galaktosa-4 sulfat dan β (1-˃ 4) 3,6
anhydro D galaktosa. Karagenan sering mengandung d-galaktosa sulfat ester dan
3,6 anhydro-D galaktosa 2-sulfat ester. Adanya gugus 6-sulfat dapat menurunkan
daya gelasi dari karagenan tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan
terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat yang menghasilkan terbentuknya 3,6
anhydro D galaktosa, sehingga derajat keseragaman molekul meningkat dan daya
gelasinya juga bertambah. Iota karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester
pada setiap residu D-galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6
anhydro-D galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses
pemberian alkali seperti halnya kappa karagenan. Iota karagenan sering
mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya
keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali. Lamda
karagenan berbeda dengan iota dan kappa karagenan karena memiliki sebuah
residu disulfat α (1-˃4) D galaktosa tidak seprti kappa dan iota karagenan yang
selalu memiliki gugus 4-pospat ester. Posisi dari sulfat terkait dapat dengan mudah
ditentukan denga infrared spectrophotometer (Winarno, 1990).
Karagenan berperan dalam pembentukan udem pada inflamasi akut.
Karagenan dipilih karena dapat melepaskan mediator inflamasi yaitu prostaglandin
setelah disuntikkan ke hewan uji, oleh karena itu karagenan dapat digunakan
sebagai iritan dalam metode uji uyang betujuan untuk mencari obat-obat
antiinflamasi, tepatnya bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin
(Winter, dkk., 1961).
20
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan karagenan sebagai penginduksi radang memiliki beberapa
keuntungan anatara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan
jaringan, lebih aman dan lebih baik untuk memperkirakan potensi obat
antiinflamasi dibandingkan iritan lainnya (Parmar dan Prakash, 2006).
21
Universitas Sumatera Utara
Download