(CVB) Yang Menginfeksi Krisan Di Indonesia

advertisement
PEMBAHASAN
Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) adalah virus utama yang
menginfeksi krisan dan dilaporkan telah tersebar pada pertanaman krisan di
seluruh dunia (Verma et al. 2003). Penelitian ini menemukan CVB sudah
menginfeksi tanaman krisan di sentra produksi krisan di daerah Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Hal tersebut merupakan bukti penyebaran CVB
di Indonesia yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Oleh karena CVB
merupakan patogen utama pada tanaman krisan, dan pembuktian yang
dilakukan penulis tentang keberadaan CVB di sentra produksi krisan di
Sumatera, Jawa dan Bali dapat menjadi landasan untuk menentukan status CVB
pada pengelompokan organisme pengganggu tumbuhan Karantina (OPTK).
Keputusan Menteri Pertanian No. 38 tahun 2006 belum memasukkan CVB
dalam OPTK kategori A1 maupun A2. Pengelompokan patogen dalam kategori
A1 dimaksudkan untuk membedakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
yang belum terdapat di wilayah Indonesia dengan OPT yang telah ada di
wilayah tertentu di Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam
pengendalian (OPTK kategori A2). Dalam rangka pemetaan sebaran CVB di
Indonesia, perlu dilakukan survei dan deteksi virus di sentra produksi krisan
lainnya seperti Jawa Tengah dan Sulawesi Utara.
Penentuan status CVB sangat menentukan dalam perdagangan bahan
tanaman krisan, baik antar negara maupun antar daerah di Indonesia. Peraturan
Perundang-undangan Karantina Tumbuhan Indonesia mensyaratkan perlunya
melakukan pemeriksaan kesehatan tanaman terhadap semua benih dari
komoditas pertanian yang masuk melalui pelabuhan pemasukan di Indonesia.
Pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas komoditas pertanian yang dapat
merupakan media pembawa OPTK merupakan upaya untuk menghindari
penyebaran penyakit secara meluas di wilayah Indonesia. Apabila dalam
pemeriksaan terdeteksi adanya OPTK, maka dilakukan tindakan pemusnahan
terhadap komoditas tersebut.
Infeksi CVB-Ina menimbulkan variasi gejala pada daun seperti belang
ringan, mosaik ringan, pemucatan tulang daun, penebalan tulang daun, dan
66
malformasi. Peneliti terdahulu sering menemukan tanaman krisan yang terinfeksi
CVB tidak menunjukkan gejala (symptomless). Ekspresi symptomless ini sangat
membahayakan bagi perkembangan krisan, karena lolos dari pemeriksaan,
sehingga CVB menyebar dan berkembang luas.
Sifat-sifat CVB-Ina seperti morfologi dan ukuran partikel, ukuran protein
selubung, karakter biologi dan urutan asam nukleatnya menunjukkan kesesuaian
dengan karakter CVB yang berasal dari lokasi geografi lain.
CVB-Ina memiliki partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur dengan
ukuran panjang 685 nm dan lebar 12 nm, dengan berat molekul protein selubung
34 kDa. Bentuk dan ukuran partikel virus ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
peneliti terdahulu (Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Verma et al.
2003).
Penelitian ini menemukan CVB-Ina memiliki kisaran inang yang
terbatas, hanya menginfeksi N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var.
White Burley, N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C.
quinoa dari 26 spesies tanaman yang dipakai pada uji kisaran inang. CVB hanya
menginfeksi tanaman dari famili solanaceae dan chenopodiaceae, tetapi tidak
menginfeksi spesies-spesies dari famili leguminosae, cucurbitaceae, cruciferae
dan amaranthaceae. CVB lainnya juga mempunyai kisaran inang yang terbatas
(Tabel 8). Penelitian Verma et al. (2003) menemukan bahwa CVB hanya
menginfeksi 5 spesies (N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustica, P. hybrida dan
Vicia faba) dari 22 spesies tanaman yang diuji.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa CVB-Ina menginfeksi tanaman N.
benthamiana dan menimbulkan gejala pemucatan tulang daun dan belang ringan.
Belum ada laporan CVB isolat lainnya menginfeksi tanaman N. benthamiana.
Infeksi CVB-Ina pada tanaman N. benthamiana mengakibatkan rata-rata nilai
absorbansi pada panjang gelombang 405 nm, paling tinggi diantara tanaman
yang menunjukkan reaksi positif. Hal ini mengindikasikan konsentrasi virus
paling tinggi pada tanaman tersebut. Sehingga N. benthamiana adalah tanaman
yang paling prospektif digunakan sebagai inang perbanyakan CVB-Ina.
67
Tabel 8. Kisaran inang dan variasi gejala CVB-Ina dibandingkan dengan isolat
lainnya
CVB Inab)
Variasi gejalaa)
CVBc)
CVBd)
ptd, br
br, ma
ptd
ptd, br
*
ll, ttd
*
br
+
*
*
+
ll
*
b
bk
*
*
*
*
bk
ll
ll
-
*
*
+
bk
Famili dan spesies tanaman
Solanaceae
Nicotiana benthamiana
N. clevelandii
N. glutinosa
N. tabacum var. White Burley
N. tabacum var. Xanthi
N. tabacum var. Havana
N. rustica
Petunia hybrida
Chenopodiaceae
Chenopodium amaranticolor
C. quinoa
Leguminosae
Vicia faba
a)
ptd : pemucatan tulang daun; br : belang ringan; b : belang; ttd : penebalan
tulang daun; ll : lesio lokal; ma: malformasi; bk : bercak klorotik
b)
CVB-Ina
c)
Verma et al. (2003)
d)
Hollings & Stone (1972)
+ : positif terinfeksi, tidak muncul gejala
- : tidak terinfeksi
* : tidak ada data
CVB-Ina terbukti dapat ditularkan oleh kutudaun M. sanborni. Efisiensi
penularannya lebih tinggi dibandingkan dengan CVB lainnya, yang pada
penelitian ini diwakili CVB S (isolat Jepang). Pada pengujian penularan CVB
melalui kutudaun M. sanborni menggunakan CVB-Ina dan CVB-S menunjukkan
bahwa 14 individu kutudaun setiap tanaman sudah mampu menularkan CVB-Ina,
tetapi CVB-S baru bisa ditularkan dengan 21 individu kutudaun setiap tanaman.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Ohkawa et al. (2007) yang melaporkan bahwa
CVB-S memiliki efiseinsi yang rendah pada penularan dengan kutudaun.
Karakter biologi CVB-Ina sedikit berbeda dengan CVB isolat lainnya yang
pada penelitian ini diwakili oleh CVB-S. CVB-Ina mengakibatkan muncul variasi
gejala pada tanaman krisan, mampu menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan
memiliki efesiensi yang lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun M.
sanborni. Isolat CVB lainnya umumnya tidak menunjukkan gejala (symptomless)
68
pada tanaman krisan, tidak menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan ditularkan
dengan efesiensi rendah melalui kutudaun M. sanborni.
Karakter molekuler CVB dikaji berdasarkan susunan nukleotida fragmen
DNA yang diperoleh dari perunutan hasil amplifikasi fragmen RNA pada gen
protein selubung. Amplifikasi fragmen RNA CVB dengan teknik RT-PCR
berhasil mendapatkan fragmen berukuran 739 bp dari sampel daun asal Medan,
Cianjur, Malang dan Bali. Analisis filogenetik menggunakan data hasil perunutan
fragmen DNA tersebut menunjukkan bahwa isolat-isolat Indonesia berada dalam
satu kelompok dan termasuk dalam kelompok yang sama dengan CVB-S dan
memiliki jarak genetik terdekat yaitu 0,23–0,25.
Kedekatan jarak genetik CVB isolat Indonesia dengan CVB-S (isolat
Jepang) bisa dipahami karena bahan tanaman krisan di Indonesia terutama berasal
dari Jepang. Bibit krisan yang dikembangkan di wilayah Indonesia diimpor dari
Jepang, Belanda, Arika Selatan dan Malaysia (Karantina Tumbuhan Deptan,
2005a). Tanaman induk (mother plant) diimpor dari Jepang, dikembangkan di
Indonesia untuk produksi bibit krisan dalam bentuk stek pucuk. Stek pucuk ini di
samping untuk memenuhi kebutuhan bibit krisan di Indonesia juga untuk
diekspor. Ekspor bibit terutama
Darussalam
dan
Timor
Timur
ke Jepang, Belanda, Korea Selatan, Brunai
(Karantina
Tumbuhan
Deptan,
2005b).
Kemungkinan CVB masuk dan menginfeksi krisan di Indonesia melalui mother
plant terinfeksi CVB yang diimpor dari Jepang, sehingga CVB isolat Indonesia
dan CVB-S berada dalam kelompok yang sama dan memiliki jarak genetik yang
dekat.
Analisis runutan asam amino protein selubung empat isolat CVB
Indonesia dan isolat CVB-S menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki
tingkat kesamaan runutan asam amino yang cukup tinggi (86-90%). Walaupun
demikian ada beberapa bagian pada runutan asam amino yang menunjukkan
perbedaan. Perbedaan ini mungkin disebabkan CVB isolat Indonesia berasal dari
Jepang melalui bahan tanaman, tetapi beberapa nukleotidanya sudah mengalami
mutasi karena beradaptasi dengan iklim dan keragaman tanaman inang yang
berbeda, sehingga terjadi sedikit perubahan pada runutan asam amino protein
69
selubungnya. Perbedaan pada runutan asam amino ini yang kemungkinan
menyebabkan karakter biologi CVB-Ina agak berbeda dari isolat CVB lainnya.
Isolat-isolat CVB dari Indonesia memiliki tingkat kesamaan runutan
nukleotida dan runutan asam amino yang sangat tinggi yaitu berturut-turut 9699% dan 95-99%. Jarak genetik isolat-isolat Indonesia antara 0,01 – 0,05. Dengan
kata lain antara CVB Indonesia memiliki variasi genetik yang rendah. Evolusi
virus akan mengarah pada kesesuaian lingkungan. Virus beradaptasi dengan
lingkungan untuk dapat bertahan dengan melakukan mutasi pada beberapa
nukleotidanya. Untuk lingkungan Indonesia, komposisi runutan tersebutlah yang
paling sesuai. Berbeda dengan CVB isolat Indonesia, antara CVB isolat India
sebagian besar memiliki tingkat kesamaan di bawah 89%. Kemungkinan CVBCVB isolat India tersebut berasal dari tempat yang berbeda, melalui bahan
tanaman terinfeksi CVB dengan masing-masing karakter agak berbeda, sehingga
antara CVB isolat India memiliki jarak genetik cukup jauh yaitu sebagian besar di
atas 0,72.
Virus merupakan patogen yang mudah melakukan rekombinasi genetik
pada saat replikasi di dalam sel tanaman inangnya, oleh karenanya pengetahuan
mengenai keragaman genetik virus sangat penting. Selain itu, rekombinan dapat
terjadi apabila dua strain virus yang sama menginfeksi tanaman yang sama.
Akibatnya akan muncul strain virus baru (rekombinan) yang mempunyai sifat
berbeda dengan kedua strain (Agrios, 1997). Dengan mengetahui karakteristik
virus sampai tingkat genetik, dapat diketahui hubungan kekerabatan antar isolat
virus di seluruh dunia dan dapat diduga penyebaran virus dari suatu negara ke
negara lain.
Potensi besar Indonesia dalam mengembangkan produksi krisan terganjal
akibat keberadaan CVB.
Kendala ini semata-mata muncul karena belum
tersedianya metode deteksi CVB yang handal yang dapat digunakan dalam
sertifikasi. Perbanyakan bahan tanaman krisan secara vegetatif dengan stek pucuk
memberikan kesempatan yang sangat baik bagi CVB, sebagai parasit obligat,
untuk menyebar secara luas bersamaan dengan penyebaran bahan tanaman
tersebut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa CVB telah ditemukan
tersebar luas di daerah sentra produksi krisan di Sumatera, Jawa dan Bali dan
70
telah menyebabkan kerusakan pada beberapa daerah tersebut. Tanaman krisan
yang sudah terserang virus termasuk CVB tidak dapat diobati karena sampai saat
ini belum tersedia secara komersial bahan anti virus yang tidak merusak sel
tanaman. Eradikasi tanaman yang terserang sering menjadi pilihan yang tidak
terhindarkan untuk melindungi tanaman di sekitarnya. Pada kejadian penyakit
yang cukup tinggi, tindakan eradikasi tentu menyebabkan penurunan kuantitas
produksi yang cukup merugikan. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar
maka penggunaan stek krisan bebas CVB menjadi pilihan yang sangat rasional
untuk dilaksanakan. Perbanyakan tanaman dengan stek pucuk dari tanaman induk
yang bebas CVB menjadi persyaratan utama untuk penyediaan bibit krisan sehat
tersebut. Oleh karena itu, sertifikasi penangkar bibit krisan menjadi sesuatu yang
krusial agar petani pengguna tidak mengalami kerugian yang tidak seharusnya
mereka tanggung. Dalam sertifikasi, terutama mengenai kesehatan bibit, metode
deteksi patogen sasaran menjadi alat bantu penentu keberhasilan. Demikian juga
bagi Karantina Tumbuhan, dengan telah ditemukan CVB menginfeksi krisan di
wilayah Indonesia sangat membutuhkan metode untuk mendeteksi CVB pada
bibit krisan. Metode tersebut akan sangat menunjang tugas pokok Karantina yaitu
mencegah masuknya OPT seperti virus melalui perdagangan bibit. Metode yang
digunakan harus memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis.
Metode yang sensitif berarti bahwa metode tersebut mampu mendeteksi
keberadaan CVB dalam jaringan bibit krisan walaupun dalam konsentrasi yang
rendah sekalipun.
Metode tersebut haruslah mampu mendeteksi CVB pada
sejumlah sampel bibit krisan dalam waktu yang bersamaan (massal) sehingga
efisien dari segi penggunaan waktu. Di samping itu, metode deteksi tersebut
haruslah ekonomis sehingga tidak menambah input produksi bibit secara nyata.
Saat ini metode deteksi virus yang akurat banyak dilakukan berbasis pada
pengetahuan biologi molekuler yaitu teknik PCR yang merupakan cara cepat
untuk mengamplifikasi DNA secara invitro. Identifikasi virus dengan teknik PCR
didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al. 1989), oleh karena itu
penentuan primer sangat menentukan spesifisitas hasil deteksi. Modifikasi teknik
PCR yaitu teknik RT-PCR dengan menggunakan primer terbukti dapat digunakan
untuk mendeteksi banyak virus tumbuhan yang bergenom RNA. Deteksi CVB
71
dengan teknik RT-PCR dilakukan oleh Levay & Zavriev pada tahun 1991, dan
Ram et al. (2005) pada penelitiannya memproduksi tanaman krisan bebas CVB
menggunakan teknik RT-PCR untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi CVB dari
tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda. Metode RT-PCR adalah metode
yang sangat sensitif karena dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Ram
et al. 2005). Tetapi metode ini memerlukan biaya tinggi, karena harus ditunjang
dengan labratorium yang dilengkapi dengan sarana alat-alat PCR, serta pereaksi
PCR yang mahal. Di samping itu metode PCR melalui tahapan kerja yang relatif
panjang dan tidak dapat mengerjakan sampel dalam jumlah besar.
Metode lain yang memungkinkan untuk dikembangkan untuk deteksi virus
secara massal adalah metode deteksi berbasis antiserum (serologi). Metode
serologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan aplikasinya di
bidang penyakit tumbuhan sudah sangat luas digunakan, yaitu untuk mendeteksi
suatu patogen khususnya virus dalam tanaman. Kegunaan lain dari uji serologi ini
adalah memprediksi konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus
tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antar virus (Agrios, 1997). Deteksi secara serologi sudah umum
diaplikasikan untuk berbagai virus. Metode serologi yang telah berhasil
dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu ELISA dan
Western blot untuk mendeteksi beberapa protein selubung dari
genus
Begomovirus (Abouzid et al. 2002), DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV
(Somowiyarjo et al. 1989), TBIA digunakan untuk mengamati keberadaan
CpCDV pada jaringan tanaman (Kumari et al. 2006), metode ISEM telah berhasil
digunakan untuk deteksi dan identifikasi bentuk partikel TYLCV oleh Attathom
et al. (1990). Deteksi partikel virus menggunakan antiserum dengan metode IEM
dilakukan oleh Sharma et al. (2005) terhadap virus CMV, LMoV dan LSV pada
tanaman lily. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah
berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997) untuk mengetahui dinamika
pergerakan BDMV dari sel ke sel pada P. vulgaris. Pengujian presipitasi dengan
memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan
oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi WSMV.
72
Deteksi CVB secara serologis dilaporkan telah dipakai untuk mendeteksi
CVB pada tanaman krisan dengan metode DAS-ELISA (Ram et al. 2005; Verma
et al. 2003). Verma et al. (2003) juga menggunakan antiserum CVB untuk
melihat partikel virus pada kajian IEM. Pada tanaman G. savatieri antiserum
CVB digunakan untuk deteksi virus secara serologis dengan metode I-ELISA dan
ISEM (Suastika et al. 1997).
Metode serologi yang memungkinkan memenuhi persyaratan sensitifitas,
massal dan ekonomis adalah TBIA. Metode yang pertama kali dikerjakan oleh Lin
et al. (1990) ini terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi Florida hibiscus virus
(Kamenova & Adkins, 2004). Kelebihan TBIA adalah dapat memberikan
informasi distribusi virus pada bagian tanaman terinfeksi. Pengerjaan deteksi
dengan TBIA lebih cepat dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja, sebab
bloting pada membran dapat dilakukan dalam beberapa menit, sehingga dapat
diterapkan dalam skala besar. Membran dapat disimpan dalam suhu ruang selama
10 hari tanpa kehilangan sensitifitasnya.
Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik
seperti antiserum dengan kualitas yang baik. Protein selubung (coat protein) virus
umumnya bersifat antigenik sehingga bila diimmunisasikan ke dalam tubuh
hewan mamalia maka akan terbentuk antibodi spesifik terhadap partikel virus
tersebut (Raizada et al. 1989). Pada penelitian ini marmut yang diimunisasi
dengan virus murni CVB menghasilkan volume rata-rata antiserum 10,75 ml.
Peningkatan kualitas antiserum dilakukan dengan penyerapan menggunakan
cairan perasan tanaman N. benthamiana sehat berdasarkan metode Dijkstra & de
Jager (1998), serta pemurnian gamma-globulin menggunakan amonium sulfat
mengikuti metode Clarck
&
Adams (1977).
Konsentrasi antiserum kasar,
antiserum yang diserap dan antiserum murni yang dihasilkan berturut-turut 1,121
mg/ml, 0,670 mg/ml dan 0,476 mg/ml. Antiserum murni memiliki konsentrasi
paling rendah, tetapi titernya paling tinggi, karena faktor pengganggunya paling
rendah.
Melihat spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB,
antiserum juga diuji untuk analisis Western blot dan ISEM. Analisis Western blot
73
berhasil mendeteksi berat molekul protein selubung CVB sesuai dengan berat
molekul protein selubung virus yang digunakan untuk imunisasi pada hewan
percobaan. Hal ini dapat membuktikan bahwa antiserum yang dihasilkan berasal
dari virus murni yang digunakan sebagai imunogen. Pengamatan partikel CVB
pada mikroskop elektron dengan metode ISEM menggunakan antiserum yang
diproduksi pada penelitian ini memberikan hasil partikel kelihatan lebih jelas pada
grid yang sebelumnya dicelupkan pada suspensi antiserum, dibandingkan pada
siapan virus murni. Antiserum mendekorasi partikel virus dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa antiserum tersebut memberikan reaksi yang spesifik terhadap
protein selubung virus.
Metode serologi yang dikembangkan untuk deteksi CVB dalam penelitian
ini adalah TBIA dibandingkan dengan metode serologi yang umum digunakan
untuk deteksi virus tanaman yaitu ELISA. Sensitifitas ELISA dalam mendeteksi
CVB cukup tinggi dan virus masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan
tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran sampel cairan perasan tanaman terinfeksi
1/16 menunjukkan reaksi yang kuat sampai pada pengenceran antiserum 1000 kali
dan masih menunjukkan reaksi positif sampai pada pengenceran antiserum
100.000. TBIA juga terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi keberadaan CVB
pada tanaman krisan. Reaksi positif masih nampak pada pengenceran antiserum
10.000 kali. Menangani sampel jumlah besar, uji serologi secara TBIA lebih
menguntungkan dibandingkan dengan teknik ELISA. Biaya deteksi dengan
metode TBIA relatif lebih murah; karena pengerjaan sampel lebih mudah dan
cepat; memerlukan pereaksi yang relatif lebih sedikit dan dapat menguji sampel
lebih banyak. Pada selembar membran nitroselulosa yang berukuran 7 cm x 4 cm
dengan jarak antar sampel sekitar 5 mm dapat menampung 96 sampel. Deteksi
sampel tersebut dengan TBIA membutuhkan waktu 6 jam, sedangkan dengan
ELISA jumlah sampel yang sama dikerjakan dalam waktu 10 jam. Deteksi sampel
dengan teknik ELISA memerlukan penggerusan sampel yang membutuhkan
waktu relatif lama, sedangkan pada teknik TBIA sampel tidak digerus, tetapi
diblot langsung pada membran. Bloting sampel dilakukan beberapa menit dan
dapat dikerjakan di lapangan, kemudian membran disimpan untuk proses
selanjutnya di laboratorium. Menurut Kamenova & Adkins (2004) bloting dapat
74
dilakukan pada membran nitroselulosa di lapangan, dan membran dapat disimpan
dalam suhu ruang selama 10 hari tanpa kehilangan sensitivitasnya. Metode TBIA
yang memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis adalah penting
untuk deteksi massal terhadap bahan tanaman krisan terinfeksi CVB, terutama
pada perusahan penangkar benih, eksportir bahan tanaman krisan dan Karantina
Tumbuhan yang memerlukan pengujian sampel dalam jumlah besar. Teknik TBIA
yang cukup sensitif, dan biayanya yang lebih rendah daripada ELISA membuat
metode ini menjadi pilihan untuk diagnosis rutin dan survei dalam skala besar.
Kumari et al. (2006) menyatakan bahwa TBIA merupakan teknik yang penting
bagi kajian epidemi yang melakukan pengujian sampel dalam jumlah besar.
Terbukti TBIA merupakan metode deteksi CVB yang memenuhi
persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis, diharapkan dapat digunakan
sebagai perangkat penunjang yang handal dalam menjalankan peraturan karantina
dan juga deteksi massal oleh penangkar atau produsen bibit krisan. Metode yang
handal akan dapat mencegah masuknya CVB isolat luar negeri yang mungkin
terbawa dalam bahan tanaman krisan yang diimpor ke dalam wilayah Indonesia.
Demikian juga sebaliknya dapat mencegah kemungkinan ditolaknya ekspor bibit
krisan Indonesia karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan yang memadai
melalui metode yang handal.
Download