PEMBAHASAN Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) adalah virus utama yang menginfeksi krisan dan dilaporkan telah tersebar pada pertanaman krisan di seluruh dunia (Verma et al. 2003). Penelitian ini menemukan CVB sudah menginfeksi tanaman krisan di sentra produksi krisan di daerah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Hal tersebut merupakan bukti penyebaran CVB di Indonesia yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Oleh karena CVB merupakan patogen utama pada tanaman krisan, dan pembuktian yang dilakukan penulis tentang keberadaan CVB di sentra produksi krisan di Sumatera, Jawa dan Bali dapat menjadi landasan untuk menentukan status CVB pada pengelompokan organisme pengganggu tumbuhan Karantina (OPTK). Keputusan Menteri Pertanian No. 38 tahun 2006 belum memasukkan CVB dalam OPTK kategori A1 maupun A2. Pengelompokan patogen dalam kategori A1 dimaksudkan untuk membedakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang belum terdapat di wilayah Indonesia dengan OPT yang telah ada di wilayah tertentu di Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam pengendalian (OPTK kategori A2). Dalam rangka pemetaan sebaran CVB di Indonesia, perlu dilakukan survei dan deteksi virus di sentra produksi krisan lainnya seperti Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Penentuan status CVB sangat menentukan dalam perdagangan bahan tanaman krisan, baik antar negara maupun antar daerah di Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Karantina Tumbuhan Indonesia mensyaratkan perlunya melakukan pemeriksaan kesehatan tanaman terhadap semua benih dari komoditas pertanian yang masuk melalui pelabuhan pemasukan di Indonesia. Pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas komoditas pertanian yang dapat merupakan media pembawa OPTK merupakan upaya untuk menghindari penyebaran penyakit secara meluas di wilayah Indonesia. Apabila dalam pemeriksaan terdeteksi adanya OPTK, maka dilakukan tindakan pemusnahan terhadap komoditas tersebut. Infeksi CVB-Ina menimbulkan variasi gejala pada daun seperti belang ringan, mosaik ringan, pemucatan tulang daun, penebalan tulang daun, dan 66 malformasi. Peneliti terdahulu sering menemukan tanaman krisan yang terinfeksi CVB tidak menunjukkan gejala (symptomless). Ekspresi symptomless ini sangat membahayakan bagi perkembangan krisan, karena lolos dari pemeriksaan, sehingga CVB menyebar dan berkembang luas. Sifat-sifat CVB-Ina seperti morfologi dan ukuran partikel, ukuran protein selubung, karakter biologi dan urutan asam nukleatnya menunjukkan kesesuaian dengan karakter CVB yang berasal dari lokasi geografi lain. CVB-Ina memiliki partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur dengan ukuran panjang 685 nm dan lebar 12 nm, dengan berat molekul protein selubung 34 kDa. Bentuk dan ukuran partikel virus ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti terdahulu (Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Verma et al. 2003). Penelitian ini menemukan CVB-Ina memiliki kisaran inang yang terbatas, hanya menginfeksi N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C. quinoa dari 26 spesies tanaman yang dipakai pada uji kisaran inang. CVB hanya menginfeksi tanaman dari famili solanaceae dan chenopodiaceae, tetapi tidak menginfeksi spesies-spesies dari famili leguminosae, cucurbitaceae, cruciferae dan amaranthaceae. CVB lainnya juga mempunyai kisaran inang yang terbatas (Tabel 8). Penelitian Verma et al. (2003) menemukan bahwa CVB hanya menginfeksi 5 spesies (N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustica, P. hybrida dan Vicia faba) dari 22 spesies tanaman yang diuji. Pada penelitian ini ditemukan bahwa CVB-Ina menginfeksi tanaman N. benthamiana dan menimbulkan gejala pemucatan tulang daun dan belang ringan. Belum ada laporan CVB isolat lainnya menginfeksi tanaman N. benthamiana. Infeksi CVB-Ina pada tanaman N. benthamiana mengakibatkan rata-rata nilai absorbansi pada panjang gelombang 405 nm, paling tinggi diantara tanaman yang menunjukkan reaksi positif. Hal ini mengindikasikan konsentrasi virus paling tinggi pada tanaman tersebut. Sehingga N. benthamiana adalah tanaman yang paling prospektif digunakan sebagai inang perbanyakan CVB-Ina. 67 Tabel 8. Kisaran inang dan variasi gejala CVB-Ina dibandingkan dengan isolat lainnya CVB Inab) Variasi gejalaa) CVBc) CVBd) ptd, br br, ma ptd ptd, br * ll, ttd * br + * * + ll * b bk * * * * bk ll ll - * * + bk Famili dan spesies tanaman Solanaceae Nicotiana benthamiana N. clevelandii N. glutinosa N. tabacum var. White Burley N. tabacum var. Xanthi N. tabacum var. Havana N. rustica Petunia hybrida Chenopodiaceae Chenopodium amaranticolor C. quinoa Leguminosae Vicia faba a) ptd : pemucatan tulang daun; br : belang ringan; b : belang; ttd : penebalan tulang daun; ll : lesio lokal; ma: malformasi; bk : bercak klorotik b) CVB-Ina c) Verma et al. (2003) d) Hollings & Stone (1972) + : positif terinfeksi, tidak muncul gejala - : tidak terinfeksi * : tidak ada data CVB-Ina terbukti dapat ditularkan oleh kutudaun M. sanborni. Efisiensi penularannya lebih tinggi dibandingkan dengan CVB lainnya, yang pada penelitian ini diwakili CVB S (isolat Jepang). Pada pengujian penularan CVB melalui kutudaun M. sanborni menggunakan CVB-Ina dan CVB-S menunjukkan bahwa 14 individu kutudaun setiap tanaman sudah mampu menularkan CVB-Ina, tetapi CVB-S baru bisa ditularkan dengan 21 individu kutudaun setiap tanaman. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ohkawa et al. (2007) yang melaporkan bahwa CVB-S memiliki efiseinsi yang rendah pada penularan dengan kutudaun. Karakter biologi CVB-Ina sedikit berbeda dengan CVB isolat lainnya yang pada penelitian ini diwakili oleh CVB-S. CVB-Ina mengakibatkan muncul variasi gejala pada tanaman krisan, mampu menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan memiliki efesiensi yang lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun M. sanborni. Isolat CVB lainnya umumnya tidak menunjukkan gejala (symptomless) 68 pada tanaman krisan, tidak menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan ditularkan dengan efesiensi rendah melalui kutudaun M. sanborni. Karakter molekuler CVB dikaji berdasarkan susunan nukleotida fragmen DNA yang diperoleh dari perunutan hasil amplifikasi fragmen RNA pada gen protein selubung. Amplifikasi fragmen RNA CVB dengan teknik RT-PCR berhasil mendapatkan fragmen berukuran 739 bp dari sampel daun asal Medan, Cianjur, Malang dan Bali. Analisis filogenetik menggunakan data hasil perunutan fragmen DNA tersebut menunjukkan bahwa isolat-isolat Indonesia berada dalam satu kelompok dan termasuk dalam kelompok yang sama dengan CVB-S dan memiliki jarak genetik terdekat yaitu 0,23–0,25. Kedekatan jarak genetik CVB isolat Indonesia dengan CVB-S (isolat Jepang) bisa dipahami karena bahan tanaman krisan di Indonesia terutama berasal dari Jepang. Bibit krisan yang dikembangkan di wilayah Indonesia diimpor dari Jepang, Belanda, Arika Selatan dan Malaysia (Karantina Tumbuhan Deptan, 2005a). Tanaman induk (mother plant) diimpor dari Jepang, dikembangkan di Indonesia untuk produksi bibit krisan dalam bentuk stek pucuk. Stek pucuk ini di samping untuk memenuhi kebutuhan bibit krisan di Indonesia juga untuk diekspor. Ekspor bibit terutama Darussalam dan Timor Timur ke Jepang, Belanda, Korea Selatan, Brunai (Karantina Tumbuhan Deptan, 2005b). Kemungkinan CVB masuk dan menginfeksi krisan di Indonesia melalui mother plant terinfeksi CVB yang diimpor dari Jepang, sehingga CVB isolat Indonesia dan CVB-S berada dalam kelompok yang sama dan memiliki jarak genetik yang dekat. Analisis runutan asam amino protein selubung empat isolat CVB Indonesia dan isolat CVB-S menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki tingkat kesamaan runutan asam amino yang cukup tinggi (86-90%). Walaupun demikian ada beberapa bagian pada runutan asam amino yang menunjukkan perbedaan. Perbedaan ini mungkin disebabkan CVB isolat Indonesia berasal dari Jepang melalui bahan tanaman, tetapi beberapa nukleotidanya sudah mengalami mutasi karena beradaptasi dengan iklim dan keragaman tanaman inang yang berbeda, sehingga terjadi sedikit perubahan pada runutan asam amino protein 69 selubungnya. Perbedaan pada runutan asam amino ini yang kemungkinan menyebabkan karakter biologi CVB-Ina agak berbeda dari isolat CVB lainnya. Isolat-isolat CVB dari Indonesia memiliki tingkat kesamaan runutan nukleotida dan runutan asam amino yang sangat tinggi yaitu berturut-turut 9699% dan 95-99%. Jarak genetik isolat-isolat Indonesia antara 0,01 – 0,05. Dengan kata lain antara CVB Indonesia memiliki variasi genetik yang rendah. Evolusi virus akan mengarah pada kesesuaian lingkungan. Virus beradaptasi dengan lingkungan untuk dapat bertahan dengan melakukan mutasi pada beberapa nukleotidanya. Untuk lingkungan Indonesia, komposisi runutan tersebutlah yang paling sesuai. Berbeda dengan CVB isolat Indonesia, antara CVB isolat India sebagian besar memiliki tingkat kesamaan di bawah 89%. Kemungkinan CVBCVB isolat India tersebut berasal dari tempat yang berbeda, melalui bahan tanaman terinfeksi CVB dengan masing-masing karakter agak berbeda, sehingga antara CVB isolat India memiliki jarak genetik cukup jauh yaitu sebagian besar di atas 0,72. Virus merupakan patogen yang mudah melakukan rekombinasi genetik pada saat replikasi di dalam sel tanaman inangnya, oleh karenanya pengetahuan mengenai keragaman genetik virus sangat penting. Selain itu, rekombinan dapat terjadi apabila dua strain virus yang sama menginfeksi tanaman yang sama. Akibatnya akan muncul strain virus baru (rekombinan) yang mempunyai sifat berbeda dengan kedua strain (Agrios, 1997). Dengan mengetahui karakteristik virus sampai tingkat genetik, dapat diketahui hubungan kekerabatan antar isolat virus di seluruh dunia dan dapat diduga penyebaran virus dari suatu negara ke negara lain. Potensi besar Indonesia dalam mengembangkan produksi krisan terganjal akibat keberadaan CVB. Kendala ini semata-mata muncul karena belum tersedianya metode deteksi CVB yang handal yang dapat digunakan dalam sertifikasi. Perbanyakan bahan tanaman krisan secara vegetatif dengan stek pucuk memberikan kesempatan yang sangat baik bagi CVB, sebagai parasit obligat, untuk menyebar secara luas bersamaan dengan penyebaran bahan tanaman tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa CVB telah ditemukan tersebar luas di daerah sentra produksi krisan di Sumatera, Jawa dan Bali dan 70 telah menyebabkan kerusakan pada beberapa daerah tersebut. Tanaman krisan yang sudah terserang virus termasuk CVB tidak dapat diobati karena sampai saat ini belum tersedia secara komersial bahan anti virus yang tidak merusak sel tanaman. Eradikasi tanaman yang terserang sering menjadi pilihan yang tidak terhindarkan untuk melindungi tanaman di sekitarnya. Pada kejadian penyakit yang cukup tinggi, tindakan eradikasi tentu menyebabkan penurunan kuantitas produksi yang cukup merugikan. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar maka penggunaan stek krisan bebas CVB menjadi pilihan yang sangat rasional untuk dilaksanakan. Perbanyakan tanaman dengan stek pucuk dari tanaman induk yang bebas CVB menjadi persyaratan utama untuk penyediaan bibit krisan sehat tersebut. Oleh karena itu, sertifikasi penangkar bibit krisan menjadi sesuatu yang krusial agar petani pengguna tidak mengalami kerugian yang tidak seharusnya mereka tanggung. Dalam sertifikasi, terutama mengenai kesehatan bibit, metode deteksi patogen sasaran menjadi alat bantu penentu keberhasilan. Demikian juga bagi Karantina Tumbuhan, dengan telah ditemukan CVB menginfeksi krisan di wilayah Indonesia sangat membutuhkan metode untuk mendeteksi CVB pada bibit krisan. Metode tersebut akan sangat menunjang tugas pokok Karantina yaitu mencegah masuknya OPT seperti virus melalui perdagangan bibit. Metode yang digunakan harus memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis. Metode yang sensitif berarti bahwa metode tersebut mampu mendeteksi keberadaan CVB dalam jaringan bibit krisan walaupun dalam konsentrasi yang rendah sekalipun. Metode tersebut haruslah mampu mendeteksi CVB pada sejumlah sampel bibit krisan dalam waktu yang bersamaan (massal) sehingga efisien dari segi penggunaan waktu. Di samping itu, metode deteksi tersebut haruslah ekonomis sehingga tidak menambah input produksi bibit secara nyata. Saat ini metode deteksi virus yang akurat banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yaitu teknik PCR yang merupakan cara cepat untuk mengamplifikasi DNA secara invitro. Identifikasi virus dengan teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al. 1989), oleh karena itu penentuan primer sangat menentukan spesifisitas hasil deteksi. Modifikasi teknik PCR yaitu teknik RT-PCR dengan menggunakan primer terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi banyak virus tumbuhan yang bergenom RNA. Deteksi CVB 71 dengan teknik RT-PCR dilakukan oleh Levay & Zavriev pada tahun 1991, dan Ram et al. (2005) pada penelitiannya memproduksi tanaman krisan bebas CVB menggunakan teknik RT-PCR untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi CVB dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda. Metode RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif karena dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Ram et al. 2005). Tetapi metode ini memerlukan biaya tinggi, karena harus ditunjang dengan labratorium yang dilengkapi dengan sarana alat-alat PCR, serta pereaksi PCR yang mahal. Di samping itu metode PCR melalui tahapan kerja yang relatif panjang dan tidak dapat mengerjakan sampel dalam jumlah besar. Metode lain yang memungkinkan untuk dikembangkan untuk deteksi virus secara massal adalah metode deteksi berbasis antiserum (serologi). Metode serologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat luas digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalam tanaman. Kegunaan lain dari uji serologi ini adalah memprediksi konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios, 1997). Deteksi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu ELISA dan Western blot untuk mendeteksi beberapa protein selubung dari genus Begomovirus (Abouzid et al. 2002), DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989), TBIA digunakan untuk mengamati keberadaan CpCDV pada jaringan tanaman (Kumari et al. 2006), metode ISEM telah berhasil digunakan untuk deteksi dan identifikasi bentuk partikel TYLCV oleh Attathom et al. (1990). Deteksi partikel virus menggunakan antiserum dengan metode IEM dilakukan oleh Sharma et al. (2005) terhadap virus CMV, LMoV dan LSV pada tanaman lily. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan BDMV dari sel ke sel pada P. vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi WSMV. 72 Deteksi CVB secara serologis dilaporkan telah dipakai untuk mendeteksi CVB pada tanaman krisan dengan metode DAS-ELISA (Ram et al. 2005; Verma et al. 2003). Verma et al. (2003) juga menggunakan antiserum CVB untuk melihat partikel virus pada kajian IEM. Pada tanaman G. savatieri antiserum CVB digunakan untuk deteksi virus secara serologis dengan metode I-ELISA dan ISEM (Suastika et al. 1997). Metode serologi yang memungkinkan memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis adalah TBIA. Metode yang pertama kali dikerjakan oleh Lin et al. (1990) ini terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi Florida hibiscus virus (Kamenova & Adkins, 2004). Kelebihan TBIA adalah dapat memberikan informasi distribusi virus pada bagian tanaman terinfeksi. Pengerjaan deteksi dengan TBIA lebih cepat dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja, sebab bloting pada membran dapat dilakukan dalam beberapa menit, sehingga dapat diterapkan dalam skala besar. Membran dapat disimpan dalam suhu ruang selama 10 hari tanpa kehilangan sensitifitasnya. Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik seperti antiserum dengan kualitas yang baik. Protein selubung (coat protein) virus umumnya bersifat antigenik sehingga bila diimmunisasikan ke dalam tubuh hewan mamalia maka akan terbentuk antibodi spesifik terhadap partikel virus tersebut (Raizada et al. 1989). Pada penelitian ini marmut yang diimunisasi dengan virus murni CVB menghasilkan volume rata-rata antiserum 10,75 ml. Peningkatan kualitas antiserum dilakukan dengan penyerapan menggunakan cairan perasan tanaman N. benthamiana sehat berdasarkan metode Dijkstra & de Jager (1998), serta pemurnian gamma-globulin menggunakan amonium sulfat mengikuti metode Clarck & Adams (1977). Konsentrasi antiserum kasar, antiserum yang diserap dan antiserum murni yang dihasilkan berturut-turut 1,121 mg/ml, 0,670 mg/ml dan 0,476 mg/ml. Antiserum murni memiliki konsentrasi paling rendah, tetapi titernya paling tinggi, karena faktor pengganggunya paling rendah. Melihat spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB, antiserum juga diuji untuk analisis Western blot dan ISEM. Analisis Western blot 73 berhasil mendeteksi berat molekul protein selubung CVB sesuai dengan berat molekul protein selubung virus yang digunakan untuk imunisasi pada hewan percobaan. Hal ini dapat membuktikan bahwa antiserum yang dihasilkan berasal dari virus murni yang digunakan sebagai imunogen. Pengamatan partikel CVB pada mikroskop elektron dengan metode ISEM menggunakan antiserum yang diproduksi pada penelitian ini memberikan hasil partikel kelihatan lebih jelas pada grid yang sebelumnya dicelupkan pada suspensi antiserum, dibandingkan pada siapan virus murni. Antiserum mendekorasi partikel virus dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa antiserum tersebut memberikan reaksi yang spesifik terhadap protein selubung virus. Metode serologi yang dikembangkan untuk deteksi CVB dalam penelitian ini adalah TBIA dibandingkan dengan metode serologi yang umum digunakan untuk deteksi virus tanaman yaitu ELISA. Sensitifitas ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi dan virus masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran sampel cairan perasan tanaman terinfeksi 1/16 menunjukkan reaksi yang kuat sampai pada pengenceran antiserum 1000 kali dan masih menunjukkan reaksi positif sampai pada pengenceran antiserum 100.000. TBIA juga terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi keberadaan CVB pada tanaman krisan. Reaksi positif masih nampak pada pengenceran antiserum 10.000 kali. Menangani sampel jumlah besar, uji serologi secara TBIA lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknik ELISA. Biaya deteksi dengan metode TBIA relatif lebih murah; karena pengerjaan sampel lebih mudah dan cepat; memerlukan pereaksi yang relatif lebih sedikit dan dapat menguji sampel lebih banyak. Pada selembar membran nitroselulosa yang berukuran 7 cm x 4 cm dengan jarak antar sampel sekitar 5 mm dapat menampung 96 sampel. Deteksi sampel tersebut dengan TBIA membutuhkan waktu 6 jam, sedangkan dengan ELISA jumlah sampel yang sama dikerjakan dalam waktu 10 jam. Deteksi sampel dengan teknik ELISA memerlukan penggerusan sampel yang membutuhkan waktu relatif lama, sedangkan pada teknik TBIA sampel tidak digerus, tetapi diblot langsung pada membran. Bloting sampel dilakukan beberapa menit dan dapat dikerjakan di lapangan, kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium. Menurut Kamenova & Adkins (2004) bloting dapat 74 dilakukan pada membran nitroselulosa di lapangan, dan membran dapat disimpan dalam suhu ruang selama 10 hari tanpa kehilangan sensitivitasnya. Metode TBIA yang memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis adalah penting untuk deteksi massal terhadap bahan tanaman krisan terinfeksi CVB, terutama pada perusahan penangkar benih, eksportir bahan tanaman krisan dan Karantina Tumbuhan yang memerlukan pengujian sampel dalam jumlah besar. Teknik TBIA yang cukup sensitif, dan biayanya yang lebih rendah daripada ELISA membuat metode ini menjadi pilihan untuk diagnosis rutin dan survei dalam skala besar. Kumari et al. (2006) menyatakan bahwa TBIA merupakan teknik yang penting bagi kajian epidemi yang melakukan pengujian sampel dalam jumlah besar. Terbukti TBIA merupakan metode deteksi CVB yang memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis, diharapkan dapat digunakan sebagai perangkat penunjang yang handal dalam menjalankan peraturan karantina dan juga deteksi massal oleh penangkar atau produsen bibit krisan. Metode yang handal akan dapat mencegah masuknya CVB isolat luar negeri yang mungkin terbawa dalam bahan tanaman krisan yang diimpor ke dalam wilayah Indonesia. Demikian juga sebaliknya dapat mencegah kemungkinan ditolaknya ekspor bibit krisan Indonesia karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan yang memadai melalui metode yang handal.