4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam pedaging (broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat (5-7 minggu). ayam pedaging mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sumber protein hewani. Menurut Amrullah (2004) ayam pedaging merupakan ayam yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan daging yang banyak dengan kecepatan pertumbuhan yang sangat cepat dalam satuan waktu yang singkat untuk mencapai berat badan tertentu. Bagi konsumen, daging ayam pedaging telah menjadi makanan bergizi tinggi dan berperan penting sebagai sumber protein hewani bagi mayoritas penduduk Indonesia (Muladno et al. 2008). Kontribusi ayam pedaging dalam penyedia an daging di Indonesia berdasarkan angka-angka sebesar 60.73% (Balitbang 2006). Berdasarkan data perkembangan pertumbuhan yang ada saat ini, dapat dilihat bahwa ayam pedaging sudah tumbuh jauh lebih cepat dari nenek moyangnya. Jika sebelumnya ayam pedaging dipelihara selama 9 minggu untuk mendapatkan ayam berukuran besar, maka pada tahun 1999 hanya diperlukan waktu 8 minggu untuk mencapai bobot yang sama. Dalam kurun waktu 6-7 minggu ayam ini akan tumbuh 40-50 kali dari bobot awalnya, akhir-akhir ini pemeliharaan dalam waktu 35 hari dapat mencapai bobot panen 1980 gram/ekor dengan FCR 1.59 (CISF 2008). Performa Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain umur, bangsa, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, kesehatan ternak serta kualitas dan kuantitas ransum (Rasyaf 1999). Pertumbuhan dimulai perlahanlahan kemudian berlangsung cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau berhenti sama sekali, dimana pola tersebut menghasilkan kurva sigmoid. Selanjutnya, Wahyu (2004) menyatakan bahwa yang juga dapat mempengaruhi kecepatan 5 pertumbuhan unggas adalah galur, suhu lingkungan, jenis kelamin, energi metabolisme dan kadar protein ransum. Menurut Bell dan Weaver (2002) pertambahan bobot badan tidak terjadi secara seragam. Setiap minggunya pertumbuhan ayam mengalami peningkatan sehingga mencapai pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami penurunan. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam jumlah waktu tertentu yang akan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan zat makanan lain (Wahyu 2004). Menurut Bell dan Weaver (2002) konsumsi ransum tiap ekor ayam berbeda, hal ini dipengaruhi oleh bobot badan, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas, kandungan energi dalam ransum dan suhu lingkungan. Wahyu (2004) faktor genetik juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Ransum yang dikonsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi. Kandung energi dalam ransum juga mempengaruhi banyaknya ransum yang dikonsumsi. Ransum yang tinggi kandungan energinya harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar ayam tidak mengalami defisiensi protein , vitamin dan mineral (Wahyu 2004). Konsumsi ransum meningkat seiring dengan bertambahnya umur hingga akhir pemeliharaan. Peningkatan konsumsi sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ayam sesuai pendapat Bell dan Weaver (2002). Konversi Ransum Konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah angka konversi ransum, semakin tinggi nilai efisiensi ransum dan semakin ekonomis. Amrullah (2004) menyatakan bahwa konversi ransum yang baik berkisar antara 1.75-2.00. Semakin rendah angka konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik. Selanjutnya dikatakan bahwa selain kualitas ransum, konversi ransum juga dipengaruhi oleh teknik pemberian ransum. Konversi ransum 6 merupakan hubungan antara jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan berat badan (NRC 1994). Karkas Karkas adalah bagian dari tubuh ayam tanpa darah, bulu, kepala, leher, kaki dan organ dalam (Leeson dan Summers 1980). Ukuran karkas berdasarkan bobotnya yaitu: 1) ukuran kecil 0.8-1.0 kg; 2) ukuran sedang 1.0-1.2 kg dan; 3) ukuran besar 1.2-1.5 kg (BSN 1997). Besar karkas dipengaruhi oleh bangsa, umur, jenis kelamin dan kondisi fisik ayam (Amrullah 2004). Persentase karkas lebih erat hubungannya dengan bobot hidup, dimana persentase karkas akan meningkatkan dengan meningkatnya bobot hidup (Sufiani 1983). Bobot karkas ayam pedaging umur lima minggu berkisar antara 60.52%-69.91% dari bobot hidup (Pesti dan Bakali 1997). Bobot hidup, bobot karkas dan persentase bobot karkas ayam jantan lebih besar daripada ayam betina (Amrullah 2004). Karkas ayam betina lebih banyak menghasilkan kulit dan lemak abdominal daripada ayam jantan. Karkas ayam betina menurut imbangan daging yang dapat dimakan dan tulangnya relatif lebih sedikit daripada karkas ayam jantan (Salmon et al. 1983). Lemak Abdominal Lemak abdominal merupakan salah satu komponen lemak tubuh yang terletak pada rongga perut. (Amrullah 2004) menyatakan bahwa persentase lemak abdominal pada ayam jantan maupun betina tidak berbeda nyata hingga bobot badan 1.36 kg, tetapi persentase lemak abdominal ayam betina cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ayam jantan, dimana persentasenya cenderung meningkat dengan bertambahnya umur. Menurut Bell dan Weaver (2002) bahwa lemak abdominal merupakan lemak yang terdapat dalam bagian tubuh ayam disekitar perut. Penimbunan lemak abdominal pada ayam pedaging dianggap sebagai hasil sampingan dan penghamburan energi ransum, yang juga menyebabkan menurunnya berat karkas yang dapat dikonsumsi (Griffit et al. 1978). Cantor (1980) faktor yang mempengaruhi penimbunan lemak dalam tubuh ayam adalah tingkat pertumbuhan, kandungan energi ransum, jenis kelamin, galur 7 ayam dan suhu lingkungan kandang. Menurut Bell dan Weaver (2002) bahwa persentase lemak abdominal meningkat dengan meningkatnya kadar lemak dalam ransum. Income Over Feed and Chick Cost Biaya makanan memegang peranan penting dalam suatu usaha peternakan karena merupakan bagian biaya yang terbesar dari total usaha. Hal ini disebabkan 70% dari total biaya produksi dihabiskan untuk pembelian pakan, tingkat keuntungan atau kerugian peternak dalam memelihara ayam pedaging sangat ditentukan oleh harga pakan (Muladno et al. 2008). Oleh karena itu, penggunaan bahan makanan yang berkualitas baik dengan harga yang lebih murah merupakan suatu tuntutan ekonomis untuk mencapai suatu tingkat efisiensi tertentu. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka secara teknis sangat penting diketahui tingkat konversi makanan. Tingkat konversi makanan tersebut salah satu indikator bagi keuntungan suatu usaha peternakan ayam, disamping penentuan umur dan bobot waktu jual, mortalitas dan kemampuan manajemen usaha. Income over feed and chick cost dihitung berdasarkan biaya ransum dan harga DOC. Onggok Onggok sebagai Limbah Industri Tapioka Ubi kayu (Manihot escuelenta Crantz) sudah dikenal dan merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting dalam makanan. Produksi ubi kayu pada tahun 2006 mencapai 19 986 640 ton (Biro Pusat Statistik 2008). Pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan beberapa produk seperti tepung gaplek, gula cair dan tepung tapioka. Proses pembuatan tepung tapioka dihasilkan limbah cairan dan limbah padat. Limbah padat terdiri atas: a) kulit hasil pengupasan ubi kayu; b) sisa-sisa potongan ubi kayu yang tidak terparut; c) limbah hasil pengendapan air buangan; dan d) onggok merupakan hasil dari ektraksi pati. Ketersediaan jumlah onggok sangat bergantung pada varitas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efesiensi proses ektraksi pati tapioka dan penangananya. Pada proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka diperoleh hasil sampingan berupa padatan yang disebut onggok dan hasil buangan berupa cairan 8 disebut sludge. Pengolahan tapioka, satu ton ubi kayu segar diperoleh kurang lebih 0.250 ton tapioka, 0.114 ton onggok dan 0.120 ton sludge (Enie dan Hasibuan 1986). Produksi onggok di Indonesia pada tahun 2006 bila dikonversikan menurut Enie dan Hasibuan (1986) adalah sekitar 2 278 477 ton (11.40%). Limbah onggok agar tidak menjadi masalah pada lingkungan karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik maka diperlukan suatu teknologi alternatif yang ramah lingkungan, salah satunya adalah dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk ternak. Potensi Onggok sebagai Pakan Ternak Ditinjau dari komposisi zat makanannya, onggok merupakan sumber energi dengan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 95.85% (Gohl 1981). Namun demikian, kandungan protein onggok masih sangat rendah dengan serat kasar yang cukup tinggi (Tabel 1). Ketersedia an onggok terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka. Hal ini diindikasikan dengan semakin meluasnya areal penanaman dan produksi ubi kayu. Onggok merupakan limbah pertanian yang sering menimbulkan masalah lingkungan, karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Salah satu teknologi alternatif untuk dapat memanfaatkan onggok sebagai bahan baku pakan ternak adalah dengan cara mengubahnya menjadi produk yang berkualitas, yaitu melalui proses fermentasi. Tabel 1. Komposisi zat gizi onggok dari beberapa literatur (%BK) Komposisi Zat Gizi Abu Protein kasar Serat kasar Lemak BETN Energi bruto Sumber: 1 0.85 2.21 11.16 0.21 81.21 3558 2 3 1.44 1.15 15.46 0.26 82.09 3427 0.81 2.10 10.61 0.21 81.21 3558 1. Lubis (2007) 2. Taram (1995) 3. Maryanto (1995) Penggunaan singkong untuk pakan ayam bukanlah hal yang baru. Lebih dari beberapa dekade, penelitian dari berbagai negara telah aktif terlibat dalam 9 penggunaan onggok sebagai pakan ternak. Walaupun demikian, dalam pakan konvensional penggunaannya terbatas karena beberapa faktor, terutama bulki dalam bentuk segar, berdebu dalam bentuk tepung, rendah kandungan protein kasarnya, adanya kandung HCN dan perhitungan secara ekonomi dalam penggunaannya. Kandungan HCN yang normal dalam ubi kayu antara 15-400 ppm dari berat segar (Balagopalan et al. 1988). Onggok yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan pertumbuhan dan konversi pakan ketika digunakan dalam ransum babi, baik di laboratorium maupun di lapangan (Phong et al. 2003). Penggunakan onggok fermentasi untuk menggantikan dedak padi sebanyak 30%. Marquest (2005) melaporkan bahwa onggok dapat menggantikan jagung sebanyak 50% tanpa pengaruh negatif pada performa dan karakteristik karkas pada ternak sapi dara yang dipelihara di feedlot. Sifat Urea dan Pemanfaatannya dalam Pakan Ternak Urea merupakan salah satu sumber nitrogen bukan protein (NBP) yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45% nitrogen (Parakkasi 1995). Urea dibuat dengan mereaksikan amonia dan karbondioksida seperti reaksi berikut: C NH4 + CO2 NH4 – O – C – O – NH4 Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan kembali oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida, selanjutnya amonia akan digunakan untuk membentuk asam amino. Menurut Fardiaz (1992) nitrogen dalam media fermentasi mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam nukleat dan koenzim. Parakkasi (1995) mengemukakan bahwa pada penambahan urea sebagai sumber nitrogen bukan protein (NBP) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Ketersediaan karbohidrat yang mudah dicerna (molases, pati, dan lainlain) yang cukup. Karbohidrat mudah dicerna digunakan 6 bagian untuk setiap bagian urea, nilainya sama dengan 9 bagian bungkil kedelai. 2. Urea harus dicampur dengan baik. 10 3. Diberikan waktu adaptasi sekitar 2-3 minggu. 4. Jangan memakai urea untuk mensuplai lebih dari 1/3 N protein ekuivalen dalam ransum penggemukan. 5. Jangan memakai urea lebih dari 1% pada ransum lengkap atau lebih besar dari 5% konsentrat. 6. Pemberian urea seharusnya disertai dengan penambahan mineral. Lubis et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan urea dalam proses fermentasi mempengaruhi kandungan protein kasar, protein murni, serat kasar, lemak kasar, BETN dan bahan kering. Zeolit Sifat Zeolit dan Pemanfaatannya dalam Pakan Ternak Zeolit adalah kelompok mineral hydrous aluminium silikat dari beberapa logam terutama Ca dan Na, kadang-kadang dari Ba, Sr dan K, jarang dari Mg dan Mn. Zeolit mempunyai struktur kristal tetrahedra dari alumino silikon-oksigen yang berisi molekul air yang mudah lepas, kation yang dipertukarkan mudah bereaksi dengan asam mengembang bila didekatkan dengan api (Anwar et al. 1985). Struktur zeolit yang berpori dengan cairan di dalamnya yang mudah lepas, membuat zeolit mempunyai sifat spesial yaitu mampu menyerap senyawa, menyaring ukuran halus, menukar ion dan sebagai katalisator. Rumus umum zeolit adalah M2/nO Al2O3xSiO 2yH2 O dengan M adalah alkali, n adalah valensi kation dan x adalah bilangan 2-10 serta y adalah bilangan 2-7 (Mumpton dan Fishman 1977). M+ M2+ (-) O O Al O (-) Si O O O Al O O Si O O O Gambar 1: Stuktur dasar zeolit (Fatimah dan Wijaya 2005) 11 Harjanto (1983) menerangkan bahwa penggunaan zeolit dalam bidang peternakan juga ditaburkan di kandang untuk mengurangi kandungan air, amonia dan asam belerang dari kotoran ternak. Amonia dan asam belerang yang terbentuk sangat merusak, antara lain dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan daya tahan terhadap penyakit. Kapang Aspergillus niger Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen, pertumbuhannya pada makanan mudah dilihat karena penampakan yang berserat. Pertumbuhan mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk warna sesuai dengan jenis kapang (Fardiaz 1989). Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Moniliceae, ordo Monoliales dan kelas Ascomycetes. Kapang ini mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, bulat dan berwarna hitam, coklat-hitam atau ungu coklat. Konidianya kasar dan mengandung pigmen. Kapang ini mempunyai bagian khas yaitu hifa yang berseptat dan spora bersifat aseksual dan tumbuh memanjang diatas stigma, dan mempunyai sifat aerobik sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah cukup. Aspergillus niger termasuk mesofilik dan mempunyai pertumbuhan yang optimum pada kisaran suhu 350 C sampai 370C (Fardiaz 1989). Aspergillus niger memilki kelebihan baik dalam penggunaan substrat maupun dalam menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler seperti selulase, amilase, pektinase, katalase dan glukosa oksidase, sehingga produk fermentasi tersebut menghasilkan senyawa yang sederhana. Aspergillus niger membutuhkan unsur utama seperti karbon, nitrogen, phosphor dan sulfur dalam pertumbuhannya. Selain itu juga membutuhkan mineral Fe, Zn, Mn, Cu, Li, Na, K dan Rb (Hardjo et al. 1989). Garam-garam Mg dan Cu berfungsi sebagai pengendap senyawasenyawa kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang, namun pada konsentrasi diatas 0.306 mg dapat menjadi racun bagi Aspergillus niger. Menurut Taram (1995) fermentasi onggok dengan menggunakan kapang Aspergillus niger selama 6 hari mempunyai kandungan protein yang paling tinggi 12 yaitu 25.72% dibandingkan dengan menggunakan kapang jenis Aspergillus oryzae dan Rhyzopus oryzae. Cassabio Onggok-Urea-Zeolit Fermentasi Prescott dan Dunn (1982) melaporkan bahwa onggok dapat digunakan sebagai substrat dalam fermentasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa diantara mikroorganisme, Aspergillus niger sangat baik dalam menggunakan onggok sebagai substrat dan sekaligus meningkatkan kualitasnya (Pandey et al. 2000; Lyayi & Losel 2001; Lubis 2007). Aspergillus niger dapat menggunakan berbagai macam nutrien dari yang sederhana hingga komplek, sehingga mudah untuk menumbuhkan dan memeliharanya. Walau demikian, proses fermentasi membutuhkan nitrogen yang lebih tinggi dan juga mineral untuk pertumbuhan dan reproduksinya. Menurut Pepler (1973) penambahan beberapa zat makanan di media fermentasi akan meningkatkan proses fermentasi dan mutu produksi akhir. Urea adalah satu sumber nitrogen bukan protein yang banyak digunakan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi (Brook et al. 1969). Garraway dan Evans (1984) melaporkan urea di dalam fermentasi akan diurai menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia yang dihasilkan akan digunakan oleh mikroorganisme untuk pembentukan sel tubuh mereka. Produksi amonia dari urea mempunyai kecepatan empat kali lebih besar dari pembentukan sel tubuh mikroorganisme, sehingga konsentrasi amonia akan tinggi yang selanjutnya bisa menjadi racun untuk proses fermentasi itu sendiri (Hendriksen dan Ahring 1991). Selanjutnya zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir/cadangan untuk menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi. Zeolit (jenis clinoptilolit) mempunyai keistimewaan dalam menyerap ion yang besar seperti amonia (NH4+), dengan demikian zeolit dapat berperanan sebagai satu reservoir amonia yang memperlambat perpindahan amonia dan kemudian melepaskannya berangsurangsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. Disamping itu, menurut Pond dan Mumpton (1984) penggunaan clinoptilolit kurang dari 10% dalam pakan babi dan unggas menunjukkan bahwa ternak tersebut dapat tumbuh lebih cepat dan mengurangi bau kotoran dan alas kandang. Ramos dan Hernandes (1997) 13 melaporkan bahwa zeolit dalam pakan unggas dapat mencegah dari cemaran aflatoksin. Lubis et al. (2007) melaporkan bahwa onggok-urea-zeolit yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan protein kasar dari 2% menjadi 14%. Hasil tersebut jauh lebih tinggi dari hasil penelitian Lyayi dan Losel (2001) yang meningkatkan protein kasar onggok dari 3.6% menjadi 7.8% setelah difermentasi dengan A spergillus niger. Sofyan et al. (1999) bahwa setelah difermentasi dengan Aspergillus niger bisa meningkatkan protein kasar onggok hingga mencapai 25%. Namun untuk mencapai protein kasar setinggi itu mereka menggunakan campuran mineral seperti yang disarankan oleh Brook et al. (1969) yaitu campuran MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, MnSO4.4H2O, KH2.PO4, C12H17N4OS dan urea. Larutan mineral tersebut biayanya relatif mahal, sehingga akan meningkatkan biaya produksi. Lubis et al. (2007) peneliti pertama yang menggunakan zeolit alam yang berasal dari Jawa Barat sebagai sumber mineral yang murah sekaligus sebagai reservoir untuk amonia dalam proses fermentasi. Belum optimalnya konsentrasi protein kasar dalam penelitian tersebut diduga karena adanya komponen yang sangat diperlukan dalam pembentukan asam amino bersulfur tidak tersedia. Penambahan sulfur diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi protein dalam fermentasi. Phong et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan sulfur dalam bentuk amonium sulfat sebanyak 1.5% dapat meningkatkan protein dari 4.6% menjadi 9.4% dengan menggunakan Aspergillus niger. Amonia Penguapan amonia dari litter ayam pedaging dapat mencemari atmosfir, dampak kerusakan yang disebabkan terhadap ternak ayam di dalam kandang, dan rendahnya nilai nutrisi pada litter sebagai penyaring terhadap penurunan konsentrasi N. Emisi amonium merupakan hasil bentukan dari amonium nitrat dan amonium sulfat di atmosfir, dimana terdapat dua bentuk utama dari partikel yang ada dan berhubungan dengan kesehatan. Dampak kesehatan terkait pada mortalitas prematur, chronic bronchitis dan dampak asma (Tasistro et al. 2008). 14 Kandungan NH3 pada ayam pedaging sekitar 50 ppm selama brooding (4 minggu) yang menghasilkan 8% pengurangan berat badan pada umur 7 minggu. Ayam yang terkena NH3 secara berkelanjutan selama 5 minggu sebanyak 20 ppm akan menyebabkan pulmonary edema, hidung tersumbat, pendarahan dan peningkatan kemungkinan menderita penyakit pernafasan (Tasistro et al. 2008). Ketika konsentrasi NH3 ditingkatkan menjadi 25-50 ppm, Kleven dan Gilson (1997) mengamati pengurangan bobot badan (0.23 kg selama 49 hari), efisiensi pakan dan peningkatan penyakit pernafasan.