Bab 7 Kesimpulan Planet luar surya, atau dikenal juga dengan exoplanet, merupakan planet-planet di luar Tata Surya kita. Pencarian terhadap planet luar surya belakangan ini telah banyak dilakukan oleh para astronom. Kebanyakan dari planet-planet yang ditemukan merupakan planet raksasa yang masif serupa dengan planet Jupiter dalam tata surya kita. Sampai Maret 2008, telah ditemukan 277 planet luar surya dengan berbagai ukuran massa dan jarak (Schneider, 2008). Dewasa ini, mendeteksi planet luar surya telah dilakukan baik secara landas bumi maupun landas layang. Sejauh ini, metode deteksi melalui kecepatan radial masih merupakan metode dengan kontribusi terbesar. Dari keseluruhan planet yang telah ditemukan 59,20% planet merupakan planet yang termasuk dalam kategori Jupiter Panas, 10,83% planet termasuk dalam kategori Neptunus Panas. Menurut teori pembentukan tata surya, pembentukan planet-planet raksasa tidak mungkin dibentuk pada jarak yang dekat dengan bintang utamanya karena gas-gas volatile hanya ada pada jarak yang jauh dari bintangnya. Fakta ini yang menjadi dasar adanya teori migrasi planet. Ketika sebuah protoplanet mencapai massa yang cukup, protoplanet tersebut akan dapat menarik molekul gas dan menahan di permukaannya, sehingga suatu amplop gas kemudian terbentuk, yang selanjutnya berkontraksi secara gravitasi. Begitu proses ini dimulai, ia akan melaju dan menyebabkan akresi gas yang sangat cepat oleh protoplanet dan menghasilkan pembentukan planet raksasa seperti Jupiter. Inti Jupiter dan Saturnus haruslah terbentuk dalam waktu kurang dari beberapa juta tahun, sebelum gas dalam cakram menghilang. Tanpa gas tersebut, inti planet tidak akan dapat menjebaknya. Planet-planet raksasa diduga memiliki inti padat yang dibentuk oleh material yang tidak dapat terkondensasi jika terletak sangat dekat dengan bintang 44 45 utamanya. Hingga sekarang terdapat tiga mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan keberadaan planet-planet raksasa yang mengorbit sangat dekat dengan bintang induknya. Salah satu mekanisme tersebut menunjukkan teori dari migrasi planet yang diterima saat ini, di mana migrasi merupakan hasil dari interaksi antara planet dan gas pada cakramnya. Migrasi disebabkan oleh pertukaran momentum sudut antara gerak rotasi gas dalam cakram dan gerak orbital planet akibat torsi gravitasi yang diberikan oleh planet pada cakram. Terdapat dua jenis resonansi yang mempengaruhi migrasi planet, yaitu resonansi Korotasi dan resonansi Lindblad. Resonansi Korotasi terjadi pada r = rp , dan resonansi Lindblad terjadi pada r = rp . Interaksi tidal dinamik dari protoplanet yang berkembang dengan cakram mengacu pada dua fenomena: Migrasi ke arah dalam dan pembentukan gap. Untuk planet dengan massa yang rendah, interaksi tidalnya linear dan migrasi yang terjadi adalah migrasi tipe I, Planet yang memiliki massa yang lebih besar membuka sebuah celah, lalu bermigrasi ke arah dalam, yang biasa disebut sebagai migrasi tipe II. Terdapat juga suatu rezim transisi dalam mana planet tidak cukup masif sehingga interaksi tidak linier. Dalam kondisi tersebut, kerapatan massa di sekitar planet berkurang, tetapi daerah korotasi tidak kosong. Maka, evolusinya dikendalikan oleh viskositas cakram dan oleh aksi torsi yang diberikan oleh planet terhadap cakram yang terganggu. Dalam rezim ini, suatu migrasi sangat cepat dapat terjadi (runaway migration, Masset & Papaloizou 2003). Proses tersebut, yang disebut juga dengan migrasi tipe III, akibat dari torsi korotasi dan terkait dengan planet yang bermassa kurang dari massa Sturnus sampai sekitar ∼ MJup dan berada dalam cakram yang masif.