1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Layaknya lagu yang dinyanyikan Iwan Fals, berjudul Asik Gak Asik, sesungguhnya rakyat tahu jagoan politiknya memanipulasi tampilan diri di depan mereka, digambarkan dengan penggalan bait “rakyat tahu jagoannya ngibul”. “Asik gak asik”, demikian penggalan bait berikutnya, menggambarkan gambaran watak sosial masyarakat cenderung memberikan pilihan tertentu ketika masa pemilihan umum (Pemilu) tiba walau dirasa tidak pas dengan pilihan diri, memaksa diri untuk alasan tertentu. Beragam alasan muncul ketika masa Pemilu datang, pemerintah dari satu sisi dengan kepentingan dan atas nama demokrasi harus berjalan dan dilaksanakan, menghimbau masyarakat menggunakan hak pilih dengan tepat, memberikan tanggung jawab kepada pemilih mengenali siapa yang hendak dijadikan wakil mereka dalam sistem politik perwakilan. Tim sukses masingmasing calon menawarkan siapa jagoan harus dipilih oleh rakyat, mulai dari kedekatan kesukuan, cerdas, religius dan calon pimpinan masa depan mampu mewakili para pemilih. Pengalaman dan pertukaran emosional dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan disuguhkan kepada masyarakat pemilih sebagai pesan persuasi. Tujuannya agar konstituen memberikan hak suara mereka untuk mewilih wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan nasib demokrasi dan kepentingan mereka di dalam sistem pemerintahan. Penanaman opini baru sebagai upaya sadar untuk mengubah sikap, kerpecayaan atau perilaku melalui pesan persuasi. 1 Universitas Sumatera Utara 2 Sebagai konsep politik, perwakilan (representation) tidak muncul bersamaan dengan lahirnya ilmu politik pada masa Yunani Kuno akan tetapi baru berkembang pada masa Romawi Kuno. Sistem perwakilan dalam konsep politik melibatkan dua pihak menunjukkan hubungan timbal balik antara orang-orang yang berperan sebagai calon wakil rakyat dan rakyat yang diwakili para calon nantinya. Pendekatan-pendekatan kepada persuasi politik dilakukan untuk mencapai tujuan, disengaja dan melibatkan pengaruh (Nimmo, 1989: 131). Indonesia mengenal sistem perwakilan disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), BAB II Ayat (1) menjelaskan kedudukan DPD dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bahwa: “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebagaimana dikemukakan oleh Pitkin, pada masa Yunani Kuno tidak dikenal konsep perwakilan. Konsep perwakilan termasuk konsep yang sering diperdebatkan maknanya di dalam ilmu politik, tentang apa yang harus dilakukan oleh wakil rakyat ketika mereka menjadi delegates, trustees, dan politico (Marijan, 2012: 38-39)”. Peran sebagai wakil rakyat, tugas para legislator termasuk dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Sumatera Utara, terhadap masyarakat yang diwakilinya. Mereka berperan dalam bertindakan sebagai delegates, yang bertindak sebagai semata-mata mengikuti apa yang menjadi pilihan daripada konstituen. Sementara itu sebagai trustees berarti para wakil rakyat bertindak atas nama dirinya pribadi sebagaimana mereka memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi konstituen. Sikap politico bergerak secara kontinum antara delegates dan trustees di satu sisi memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya tetapi tetap menggunakan pemahaman diri dalam mengambil berbagai tindakan politis sebagai politico. Walau pun terkadang Universitas Sumatera Utara 3 dalam praktiknya, sulit dibedakan antara peran sebagai delegates, trustess dan politico, yang jelas penekanan terhadap kepentingan pemilih dan pihak yang dipilih harus mencerminkan keinginan dalam konsep bernegara menciptakan kesejahteraan bersama, keadilan, dan pemerataan kesempatan. DPD dalam konsep politico dibalut kepentingan-kepentingan, kepentingan terwakili maupun wakil. Konteks politik mencakup desain kelembagaan politik maupun budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat. Kesadaran tentang hak dan kewajiban di dalam sistem keterwakilan yang ia dipilih untuk memperjuangkan aspirasi terwakil dan dirinya sebagai wakil. Melalui sistem bikameral, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR dan utusan golongangolongan, melainkan terdiri dari: “para anggota DPR dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah)” (Marijan, 2012: 47). Perubahan proses seleksi meyebabkan konstruksi baru mengenai kedaulatan. Konstruksi bikameral berpandangan bahwa lembaga perwakilan di Indonesia itu mencerminkan dua perwakilan. DPR merupakan lembaga yang dikonstruksi sebagai wakil dari orang (penduduk). Sementara itu, DPD merupakan lembaga yang dikonstruksi sebagai wakil dari daerah. Konstruksi ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari daerah-daerah. Karena itu, prinsip dasar di dalam menentukan jumlah anggota DPD pada setiap daerah di Indonesia tidak didasarkan pada jumlah penduduk, melainkan atas kesepakatan bersama tentang daerah-daerah dengan jumlah para wakil yang mewakili daerah (DPD). Sehingga, sebagaimana terlihat pada DPD hasil Pemilu 2004, 2009, dan 2014, masing-masing daerah diwakili oleh empat anggota DPD, tidak berdasarkan pada jumlah besar kecilnya penduduk. Universitas Sumatera Utara 4 Desain wakil dan terwakil menempatkan wakil rakyat sebagai agent dengan para pemilih sebagai principal, menjadikan masing-masing pihak pada posisi yang diinginkan. Sebagai agent, wakil rakyat lebih banyak mendengar, menampung aspirasi masyarakat program itu disebut program Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara), mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan konstituen yang diwakilinya, termasuk anggota DPD yang mewakili daerah masing-masing sebanyak empat orang. Konstituen yakni masyarakat pemilih sebagai principal diharapkan bisa lebih intensif melakukan pengawasan, dan berani memberikan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) kepada wakil rakyat yang mewakili dirinya dan daerah. Keterpilihan kembali merupakan hadiah atau penghargaan yang diberikan konstituen, sementara hukuman merupakan pencabutan hak suara kepada wakil rakyat hingga tidak dipilih kembali. Berhasil atau tidaknya politisi mengkomunikasikan secara persuasi kelebihan-kelebihan dirinya menunjukkan pemahaman tentang diri dan lingkungan di mana sebagai kandidat politisi memainkan peran dalam panggung kontestasi politik. Setidaknya, harus ada enam langkah persuasi menurut urutan pemrosesan informasi, meliputi: 1) harus ada imbauan persuasi, 2) orang harus memperhatikannya, 3) orang harus memahami isinya, 4) orang harus menerimanya, 5) tetap pada opini baru yang dianutnya, dan 6) bertindak lebih lanjut pada pandangan itu. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Soyomukti (2013: viii), di mana: “pemimpin dan aktor politik itu harus menempatkan massa rakyat sebagai tempat hidup sehari-hari mereka, setidaknya rakyat harus sering Universitas Sumatera Utara 5 didatangi”, falsafah Mao Tse Tung menyiratkan hubungan ini dalam ucapannya: “Rakyat bagi pemimpin adalah ibarat air bagi ikan”. Masyarakat calon pemilih disenangkan dengan penampilan sirkus, dipertontonkan kepada mereka melalui beragam cara kandidat, mulai dari kemampuan orasi, pemaaf, rendah hati, hingga menjadi kondektur sekali pun, layaknya dipertontonkan di ruang publik. Pesan disampaikan dalam komunikasi persuasi diidentifikasi di dalam proses persuader (propagandis, pengiklan, atau ahli retorika) dan yang dipersuasi (anggota kelompok, perseorangan, atau kolaborator). Perilaku ditunjukkan para politisi itu bukan sungguhan, hanya sebuah suguhan, akan tetapi masyarakat senang dengan hal seperti itu. Kepercayaan tentang sistem politik stabil menjadi kontradiktif ketika dikaitkan dengan kekuasaan, karena sesungguhnya kekuasan yang dicari bahkan diperebutkan dengan memperoleh suara terbanyak dalam kontestasi politik tidak akan pernah stabil, akan terjadi terus konflik di dalam organisasi politik dan juga di luar organisasi politik akibat dari kontestasi politik. Relasi antara politik, pribadi dan Tuhan menjadi standar perilaku politik dalam kontestasi politik. Inilah sikap yang selalu diminta dalam setiap konteks kontestasi dengan jargon “siap menang dan siap kalah” yang diusung oleh penyelenggaran Pemilihan Umum (Pemilu) baik di tingkat nasional, dan di daerah. Pendekatan sistem politik diwakili oleh penelitian dilakukan Indrayani (2009), yang disebutkan sebagai era opini publik menandai politik Indonesia kontemporer. Opini publik menggiring peranan media dalam kaitannya dengan pencitraan kandidat politik. Pengaruh media atas opini publik menjadi semakin Universitas Sumatera Utara 6 pelik ketika industri media terkait dengan lingkaran kekuasan serta pemilik modal. Sebagai sebuah industri budaya, media melanggengkan fenomena hype. Sebagai image making machine, media berkolaborasi untuk mencetak kandidat politik sebagai komoditas. Arendt mengkritik kecenderungan zaman modern yang tidak memisahkan ruang publik dan ruang privat. Pembedaan kerja dan karya dipertahankan oleh hanya pembedaan lingkup ekonomi-sosial dan lingkup politik (Haryatmoko, 2014: 182). Politik direduksi menjadi pasar, politikus dianggap pengusaha dan pasar adalah politik, sedangkan pemilih adalah konsumen. Semua tindakan politikus dinilai sebagai pilihan rasional dikur dari ongkos atau biaya dan keuntungannya. Semua yang dilakukan politikus dinilai sebagai bentuk investasi untuk memenangkan pasar, investasi, entah waktu, tempat, komunikasi, dan konsultasi. Semua ada biaya, entah keuangan, biaya psikologis, atau biaya politik. Masalah akuntabilitas wakil rakyat menjadi masalah cukup serius, tidak berdiri sendiri yang berkenaan dengan diri, masyarakat, dan sikap ketika dikaitkan dengan konstituen. Realitas bahwa para pemilih tidak sepenuhnya memiliki informasi yang cukup terhadap wakilnya. Padahal, penguasaan informasi yang cukup merupakan dasar sangat penting bagi pemilih rasional dalam menentukan pilihannya, termasuk apakah akan tetap mempertahankan wakil yang dipilih sebelumnya sebagai penghargaan atas kinerja politik yang ditunjukkan atau memberikan hukuman berupa cabutan dukungan terhadap mereka yang selama ini dipercayakan menjadi wakil mereka. Ketersediaan informasi yang cukup akan memberikan alternatif pilihan kandidat dari partai yang selama ini dibela untuk menjadi wakil atau ada yang lain dari partai berbeda akan tetapi sesuai dengan pilihan mereka. Universitas Sumatera Utara 7 Pemilih tidak semuanya rasional, masih terdapat pemilih-pemilih karena keterkaitan dogmatis ideologis dan kultural yang kuat. Di kalangan pemilih demikian, terdapat pandangan “baik atau tidak, benar atau salah”, yang penting memilih partainya sendiri. Bahkan belakangan ini muncul pemilih rasionalmaterial, tentang materi apa yang akan ia terima dari para kandidat yang memunculkan istilah-istilah lazim seperti wani piro, ambil duitnya jangan pilih orangnya, yang semuanya merupakan kondisi politik di dalam masyarakat dalam diri individu dan kelompok. Masyarakat memberikan suaranya kepada kandidat pilihan, hadiah (reward) oleh pemilih untuk mewakili mereka dengan memberikan suara di Pemilihan Umum (Pemilu). Hadiah (reward) dilihat dari perspektif persuasi, sebagai satu proses di dalamnya baik persuader (calon politisi) maupun yang dipersuasi sama-sama responsif, bukan reaktif terhadap satu sama lain. Perilaku yang terbangun antara persuader dengan khalayak calon pemilih itu konstruktif, interpretatif, dan dipikirkan, membuktikan bahwa pemilih dan calon pemilih tidak pasif dan tidak bukan memikirkan siapa calon mereka akan tetapi terkadang informasi yang mereka peroleh sebagai pemberitahuan dari masing-masing kandidat tidak sepenuhnya benar. Dalam terminologi persuasi, setiap jenis persuasi adalah tindakan, bukan gerakan (Burke dalam Nimmo, 1989: 162). Sebagai sebuah tindakan, persuasi merupakan pemilihan cara menanggapi, cara yang dinamis berdasarkan tujuan persuasi. Tujuan sadar yang ditunjukkan oleh para politisi atau bahkan calon politisi yang secara sadar dilakukan menjadi indikator persuasi, yang menjadi ciri khas pembeda antar satu pribadi dengan lainnya. Universitas Sumatera Utara 8 Persuasi sebagai satu teknik memperkenalkan diri secara terbuka kepada calon pemilih mengharuskan pembentukan opini publik positif dari citra diri kandidat terlebih dahulu. Hingga hubungan antara calon wakil dan terwakil itu menunjukkan proses dua arah, timbal balik, di mana politisi sebagai aktor politik harus menyesuaikan imbauannya dengan titik pandangan pendengar karena, “khalayak memilih komunikasi yang oleh mereka dianggap paling menyenangkan” (Nimmo, 1989: 168). Kapasitas politisi atau calon politisi sebagai aktor politik mengharuskan mereka kreatif dan dinamis, berdasarkan orientasi subjektif mereka sendiri. Sebagai makhluk sosial, kesadaran kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial yang menempatkan setiap diri individu (aktor politik) sebagai penanaman kesadaran diri yang diciptakan dan dikomunikasikan dengan kelompok-kelompok individu. Penggunaan komunikasi persuasi sebagai pilihan komunikasi yang menyenangkan bagi khalayak menunjukkan suatu strategi, cara tertentu dimainkan calon politisi sebagai aktor politik tentang bagaimana seharusnya pesan dikemas dan disampaikan kepada calon pemilih. Cara berbeda menyenangkan satu individu dengan individu lain, satu kelompok dengan kelompok lainnya, dan satu kerumunan massa dengan massa lainnya menjadi strategi politik para aktor bahkan aktris politik. Inilah yang disebut sebagai tindakan rasional dan irasional pemilih yang menempatkan mereka menjadi individu atau kelompok yang bisa didekati melalui teknik komunikasi persuasif propaganda, periklanan, dan retorika, tujuannya tetap sama untuk mendapatkan perhatian dan dipilih pada masa Pemilu. Universitas Sumatera Utara 9 Organisasi menjadi tempat subur menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi. Perkembangan kelompok terjadi serempak dengan perkembangan propaganda. Propaganda ditandai sebagai gejala kelompok yang menunjukkan keterkaitan erat dengan “organisasi dan tindakan, yang tanpa itu propaganda praktis tidak ada”. Propaganda efektif hanya dapat bekerja di dalam suatu kelompok. Artinya, persuasi politik hanya mencakup pengertian internal organisasi tertentu, sangat kecil kemungkinan seorang calon politisi mampu mencapai suara pemilih secara optimal, karena keterwakilan suara tidak menunjukkan dominasi satu orang tertentu, akan tetapi ada banyak pilihan lain di dalam satu organisasi. Keterjangkauan khalayak eksternal (bukan anggota organisasi) menunjuk pada pentingnya pemahaman dan penggunaan periklanan, sebagai komunikasi satu kepada banyak terhadap individu-individu di dalam suatu massa yang heterogen (Ellul dalam Nimmo, 1989: 137). Perikalanan atau iklan dalam komunikasi persuasi politik bertujuan guna mencapai individu independen, sangat sadar diri dalam penentuan pilihan politik. Periklanan dalam persuasi politik mengimbau individu yang terlepas dari identitas kelompok, untuk meneguhkan pilihannya dan bukan konformitas. Kelengkapan persuasi politik disertai dengan retorika, sebagai komunikasi satu kepada satu, yang terjadi secara dua arah, masing-masing dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat tentang komunikasi persuasi oleh Calon DPD Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu DPD 9-April-2014, Drs. H. Rijal Sirat, yang berani menampilkan citra diri muslim dengan menggunakan lobe putih dan baju koko putih khas, yang berbeda dengan calon lainnya secara simbolis menggunakan kopiah hitam dan jas menggambarkan perspektif berbeda kepada para pemilih dengan identitas nasionalis. Keberanian si Lobe Putih menggunakan simbolisasi Islami pada dirinya di Pemilu DPD 2014 awalnya Universitas Sumatera Utara 10 dinilai tidak efektif. Perkiraan lain organisasi Al-jam‟iyatul Washliyah yang secara historis setelah tahun 1999 pada Pemilu DPD di Sumatera Utara belum mampu melahirkan kembali figur layaknya Almarhum Abdul Halim Harahap, sosok ulama yang diterima luas di kalangan kader dan masyarakat luas di Sumatera Utara dengan perolehan suara mencapai 800 ribu suara. Sosok Rijal Sirait, bukan tokoh sekelas Abdul Halim Harahap. Berani melanggar aturan umum yang berlaku dari perspektif kontestasi partai politik sejak Pemilu 1999, 2004, 2009 perolehan suara partai-partai Islam dengan simbolisasi Islam menurun drastis, seperti yang dialami pada tahun 1999 perolehan suara gabungan partaipartai Islam (PPP, PKS, PBB, PKNU) mencapai 36,8%, tahun 2004 sebanyak 38,1 dan tahun 2009 sebanyak 29%, dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955 perolehan suara gabungan partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) di atas 43,7%. Satu hal yang diyakini sejak awal oleh kader Alwashliyah ini bahwa pemilih Islam di Sumatera Utara tidak memilih organisasinya semata, tetapi tetap memperhitungkan siapa calon yang diajukan organisasi, dikenal atau tidak. Idealisme diri berdasarkan pengalaman yang dilakukan selama menjadi Anggota DPRD dari PPP Provinsi Sumatera Utara menjadikan si Lobe Putih cukup dikenal luas terutama di Kabupaten Labuhan Batu Induk, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan daerah pemilihan yang mengantarkannya menjadi wakil rakyat tahun 1999-2004, kemudian Kota Siantar, Kabupaten Simalungun tahun 2009-2009, dan Kota Medan tahun 2009-2014, putra daerah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan. Jargon Islami, dan tidak transaksional yang selama Pemilu DPD digunakan menentang keinginan umum (fenemologi) tentang transaksi uang di dalam kampanye dengan berbagai alasan Universitas Sumatera Utara 11 transaksional pemilih dengan calon politisi, tidak lagi mengedepankan keterkaitan dogmatis ideologis. Menghadapi benturan kultural tentang pemilih rasional dan irasional di internal organisasi. Bermodal dukungan organisatoris dari AlWashliyah Provinsi Sumatera Utara menjadi calon perseorangan dan terpilih dengan perolehan suara 445.059 suara dari total suara terkumpul 1.937.775, Lobe Putih berhasil memperoleh total suara pemilih 22,96% dari seluruh total pemilih di Sumatera Utara, peringkat ke 2 setelah Prof. Darmayanti Lubis. 1.2. Fokus Masalah Fokus penelitian ini adalah masalah-masalah yang berkenaan dengan konstruksi komunikasi persuasi politik yang dilakukan oleh salah seorang calon anggota DPD Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 9 April 2014. Peneliti menempatkan calon sebagai subjek penelitian, di mana apa yang akan diamati dari perilaku calon merupakan bagian dari: kasus-kasus individual dan kehidupan sehari-hari (Mulyana, 2013: 34). Fokus masalah penelitian ini pada konstruksi pesan persuasi politik, sebagai konsepsi yang terdiri dari serangkaian konsep meliputi isi pesan komunikasi yang dilakukan oleh Rijal Sirait dalam rangka mencapai tujuan agar pemilih memberikan pilihan kepadanya secara pribadi dengan dukungan organisasi kemasyarakatan Al-jam‟iyatul Washliyah Provinsi Sumatera Utara. Konstruksi pesan persuasi politik menggunakan propaganda, periklanan dan retorika. Universitas Sumatera Utara 12 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: 1) Untuk mendapatkan efek penggunaan simbol Islam dalam Pemilu DPD 2014 di Sumatera Utara. 2) Untuk mendapatkan faktor-faktor pembentuk partisipasi masyarakat terhadap Senator Rijal Sirait dalam Pemilu DPD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014. 3) Untuk mendapatkan teknik perekrutan masyarakat oleh Senator Rijal Sirait dalam Pemilu DPD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang hendak dicapai pada penelitian ini mencakup kegunaan praktis dan kegunaan teoritis, yakni: 1.4.1. Kegunaan Praktis 1) Menjadi sumbangan pemikiran, merumuskan konsep dan implementasi komunikasi persuasi politik dengan pendekatan teknik propaganda, iklan dan retorika politik di Sumatera Utara. 2) Menjadi acuan bagi peneliti lain yang memiliki keinginan meneliti permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan usaha aplikasi pembentukan pengalaman dan motif politik yang dimiliki oleh para kandidat tentang informasi yang cukup tentang kandidat, keterkaitan dogmatis ideologis, kultural dan kenyataan menghadapi kuatnya pertukaran rasional-material di dalam diri konstituen. Universitas Sumatera Utara 13 1.4.2. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat merumuskan model persuasif politik bagi politisi lokal dalam membangun pengalaman dan motif politik yang dimiliki oleh para kandidat tentang informasi yang cukup tentang kandidat, keterkaitan dogmatis ideologis, kultural dan kenyataan menghadapi kuatnya pertukaran rasional-material di dalam diri konstituen. Universitas Sumatera Utara