PENDAHULUAN Latar belakang Suatu individu sering berada dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan, sehingga diperlukan sistem yang peka terhadap perubahan lingkungan agar homeostasis tubuh tetap terjaga. Salah satunya adalah sistem syaraf, yang merupakan pengatur sistem-sistem tubuh untuk memelihara homeostasis, karena kemampuannya menerima rangsangan, baik eksternal maupun internal, mengolah serta mengintegrasikan rangsangan tersebut untuk diteruskan ke organ target agar mendapat tanggapan. Sistem syaraf terdiri dari sistem syaraf pusat yakni otak dan medula spinalis, serta sistem syaraf perifer yaitu serabut-serabut syaraf dan ganglion (Carola et al. 1990). Untuk menjalankan fungsinya, sistem syaraf mempunyai neuron sebagai unit anatomis dan fungsional terkecil, serta neuroglia sebagai sel penunjang. Neuron tersusun atas badan sel atau perikarion, serta dua jenis prosesus sitoplasma, yakni tempat masuknya impuls (dendrit) dan tempat keluarnya impuls (akson), sedangkan daerah antar sel yang merupakan tempat akson dan dendrit saling bersinapsis disebut neurofil (Shepherd 1983). Kumpulan badan sel syaraf pada sistem syaraf pusat dinamakan nukleus, sedang yang berada pada sistem syaraf perifer disebut ganglion (Banks 1993). Komponen terbesar sistem syaraf pusat adalah otak, yang secara embrional berkembang dari lempeng neural (neural plate), yaitu suatu penebalan lapis ektodermal di bagian dorsal embrio. Di sisi lempeng neural terdapat sepasang penonjolan jaringan yang kemudian bergabung membentuk buluh neural (neural tube) dengan rongga di tengahnya yang disebut canalis neuralis. Tepi ektodermal yang berbatasan dengan buluh neural selanjutnya berkembang membentuk krista neural, yang kemudian berkembang menjadi ganglion, sel kromafin di medula adrenal, neuron bipolar pada alat pendengaran, dan selaput pembungkus otak. Untuk melakukan komunikasi, baik antar neuron atau antara neuron dengan organ target, biasanya berjalan melalui penghantaran impuls di daerah 1 sinaps, baik secara elektrik maupun kimiawi. Penghantaran impuls secara elektrik terjadi karena adanya perbedaan aksi potensial pada akson, sehingga sinyal berjalan dari pangkal akson menuju ke ujung dan diteruskan ke organ target oleh gap junction, sedang penghantaran sinyal secara kimiawi memerlukan bahan kimia perantara yang disebut dengan neurotransmiter. Neurotransmiter ini dilepaskan dari ujung akson menuju ke daerah synaptic gap, yang kemudian ditangkap oleh reseptor pada organ target untuk menghasilkan reaksi. Di otak, terdapat kurang lebih 50 macam neurotransmiter, yang pada garis besarnya digolongkan menjadi golongan asetilkolin, monoamin, asam amino, dan peptida. Golongan monoamin terdiri atas kelompok katekolamin (contohnya dopamin, noradrenalin, dan adrenalin), serta kelompok indoleamin (contohnya adalah serotonin). Neuron yang mensintesa katekolamin disebut neuron katekolaminergik (KA). Katekolamin disintesa dari asam amino tirosin sebagai prekursor, yang kemudian diubah menjadi catecholamine dihydroxyphenylalanine (disebut juga DOPA) dengan penambahan sebuah gugus hidroksil pada cincin katekol oleh enzim tyrosine hydroxylase (TH). Selanjutnya DOPA mengalami dekarboksilasi pada kelompok amin menjadi dopamin oleh enzim DOPA decarboxylase. Karena enzim DOPA decarboxylase juga bekerja pada substrat asam amino aromatik lain, maka enzim ini sering disebut juga dengan aromatic amino acid DOPA decarboxylase (AADC). Dopamin merupakan salah satu produk pada sintesis katekolamin, yang selain aktif secara biologis, juga menjadi prekursor untuk sintesis noradrenalin, melalui penambahan gugus hidroksil ke kelompok karbon yang dekat dengan cincin katekol oleh enzim dopamine ß-hydroxylase (DBH). Selanjutnya noradrenalin diubah menjadi adrenalin dengan cara metilasi kelompok amin terakhir oleh enzim phenylethanolamine N-methyl transferase (PNMT) (Reiner 1994; Erlandsen 2002). 2 Keberadaan katekolamin di dalam jaringan dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, antara lain dengan mendeteksi katekolamin itu sendiri, enzim yang mensintesis maupun memetabolisir, ataupun kompleks uptake yang terbentuk setelah degradasi katekolamin. Salah satu metode anatomis yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi katekolamin tersebut adalah teknik imunohistokimia. Teknik imunohistokimia yang dipakai untuk mengidentifikasi keberadaan neuron dopaminergik (DA), noradrenergik (NA), dan adrenergik (A), dikerjakan dengan menggunakan antibodi terhadap TH, yang merupakan enzim pertama dalam jalur sintesa katekolamin, sedang untuk mendeteksi neuron NA digunakan antibodi terhadap DBH. Dengan metode yang sama sering juga dilakukan identifikasi terhadap keberadaan neuron A, dengan memanfaatkan antibodi terhadap PNMT. Pada manusia dewasa, neuron KA berfungsi untuk mengontrol perasaan (mood), aktivitas psikomotorik, mengatasi gangguan emosional (affective disorder) dan kegelisahan (Carlsson 1987), semangat (drives), penghargaan (reward), nafsu makan, minum dan reproduksi (Fellous 1999), serta mengatur fungsi endokrin dan sistem syaraf otonom (Tillet 1994). Pada masa prenatal, katekolamin penting bagi perkembangan fetus, sedangkan pada masa postnatal berperan dalam mempertahankan daya hidup (Zhou et al. 1995; Thomas et al. 1995). Organisasi neuron KA yang memiliki peran besar dalam sistem homeostasis tubuh salah satunya adalah area postrema (AP). Area postrema merupakan sepasang circumventricular organ (CVO) yang letaknya di otak bagian paling kaudal, berbentuk agak bulat dan menonjol ke ventrikel IV, di sebelah rostral nukleus grasilis, di dorsal nukleus traktus solitarius. Posisi ini membuat AP menjadi tempat berkomunikasinya parenkim otak dengan cairan cerebrospinal. Oleh karena itu, AP memiliki peran besar dalam mengontrol sistem respirasi, pengaturan sistem kardiovaskuler, dan mengatur intake makan, minum, dan pengosongan isi lambung, serta proses muntah karena pengaruh bahan kimia emetik. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, neuron AP didukung oleh adanya kandungan katekolamin, yaitu 3 dopamin dan noradrenalin, serta enkefalin dan serotonin. Selain itu, AP juga mendapat input katekolamin dalam bentuk adrenalin dan serotonin, asetilkolin, Lglutamat, substansi P, dan beberapa peptida seperti arginine vasopressin, angiotensin, dan sitokin. Mekanisme DA dan A di AP ini diduga kuat berperan dalam proses muntah. Di otak terdapat beberapa CVO, yaitu organ yang letaknya berdekatan dengan ventrikel, pembuluh darahnya memiliki fenestra, dan tidak dibatasi oleh blood brain barrier. Struktur ini membuat CVO peka terhadap perubahan humoral maupun neuronal. Bagian dari otak yang termasuk CVO adalah organ vaskulosum lamina terminalis, eminensia mediana, neurohipofisis, organ subfornikal, dan AP. Secara umum, CVO merupakan tempat bersirkulasinya beberapa hormon seperti peptida hipotalamus, steroid, sitokin, dan angiotensin II yang berfungsi sebagai neuroendokrin, sehingga sangat erat kaitannya dengan berbagai fungsi homeostasis tubuh. Muntah tidak selalu berhubungan dengan penyakit, tetapi merupakan reaksi tubuh untuk mengeluarkan bahan berbahaya. Dalam pemberian kemoterapi untuk menghentikan mitosis sel kanker, biasanya diikuti dengan efek samping mual dan muntah. Kondisi ini apabila tidak dikendalikan dapat menyebabkan komplikasi fisik maupun psikis yang sering mendorong pasien menghentikan proses pengobatannya karena tidak tahan terhadap rasa mual dan muntah tersebut. Untuk mengatasi itu, para peneliti sedang mempelajari cara mempengaruhi fungsi AP agar rasa mual dan muntah dapat dihilangkan pada saat kemoterapi, sehingga pasien merasa lebih nyaman (Kufe et al. 2003). Pada proses muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan bahan kimia lainnya, AP berfungsi sebagai chemoreceptor trigger zone (CTZ) (Klara dan Brizzee 1975; Brizzee et al. 1978; Miller dan Leslie 1994), meskipun mekanisme pastinya belum diketahui. Berkaitan dengan fungsinya sebagai kontrol sistem respirasi, AP juga terkait erat dengan kejadian sudden infant death syndrome (SIDS), yaitu sindrom kematian mendadak pada bayi umur satu bulan sampai satu tahun, yang sebagian besar (90% - 95%) terjadi pada saat bayi tidur, dan menjadi penyebab kematian pada kurang lebih 2500 bayi pertahun di Amerika Serikat (pada periode 4 tahun 2000 sampai 2005). Lebih dari separuh (60%-70%) kematian tersebut berkaitan dengan abnormalitas kronis yang terjadi sebelum kelahiran. Oleh karena itu, hasil dari penelitian intensif mengenai perkembangan AP yang diduga terkait erat dengan peristiwa SIDS ini diyakini dapat membantu menurunkan angka kematian dan menyelamatkan lebih banyak bayi. Hal ini penting, terutama pada ibu yang pernah melahirkan bayi yang mengalami SIDS, bayi yang lahir berikutnya memiliki predisposisi yang tinggi untuk mengalami hal sama (The American SIDS Institute 2005). Penyebab pasti terjadinya SIDS sampai saat ini belum diketahui, tetapi diduga kuat akibat adanya gangguan perkembangan AP dan sirkuitnya pada bayi, meskipun tidak menutup kemungkinan karena adanya infeksi serta gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler. Dalam kondisi normal, AP bertugas merespon adanya hiperkapnia (peningkatan kadar CO2 dalam darah), yang dimungkinkan karena adanya peran neuron KA dalam mengontrol sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan perkembangan AP pada janin dapat disebabkan oleh karena adanya stres lingkungan, antara lain disebabkan oleh asap rokok yang mengandung nikotin dan inhalasi carbon monoksida, yang keduanya diketahui berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan AP dan menganggu proses maturasi neuron serta pembentukan sirkuitnya (Gozal dan Gaultier 2001). Pemeriksaan terhadap pasien yang meninggal karena SIDS ditemukan adanya penurunan secara signifikan imunoreaktivitas TH pada neuron di medula oblongata, yaitu di AP, nukleus traktus solitarius, nukleus retikular sentralis, nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, dan area ventrolateralis. Meskipun pada fetus manusia umur 14,5-16 minggu ditemukan adanya neuron KA pada AP, tetapi keberadaannya hanya untuk sementara saja karena pada individu dewasa tidak ditemukan lagi. Neuron tersebut diduga mengalami apoptosis, yaitu kematian sel yang terprogram, sehingga tidak dijumpai lagi saat dewasa. Selain di AP, neuron KA di medula oblongata juga terdistribusi di bagian ventrolateral, pada nukleus retikularis lateralis dan nukleus ambigus, serta di bagian dorsomedial terkonsentrasi di nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, nukleus traktus solitarius, nukleus hipoglosus, dan daerah intermedia di antara bagian ventrolateral dengan bagian dorsomedial seperti yang dijumpai 5 pada manusia dewasa. Neuron KA di AP pada hewan dewasa ditemukan pada beberapa spesies, antara lain tikus, kucing, kelinci, anjing, dan marmut. Keberadaan neuron KA pada monyet dewasa di AP masih perlu diteliti lagi karena adanya kontroversi publikasi, seperti antara laporan Felten dan Sladek (1983) yang menyatakan bahwa neuron KA tidak ditemukan pada monyet Rhesus squirrel monkey dewasa, dan monyet Jepang (Kitahama et al. 1994), namun menurut Schreihofer et al. (1997), neuron KA masih ditemukan pada monyet ekor panjang (MEP) dan monyet Rhesus dewasa. Sebagai organ yang terletak di bagian medial buluh neural, neuron di AP juga berkontribusi dalam membentuk medula oblongata. Mengingat besarnya peran neuron KA di AP dalam mengontrol sistem respirasi dan kardiovaskular, proses muntah, dan keterkaitannya dengan kejadian SIDS, serta belum lengkapnya informasi anatomis tentang perkembangan neuron tersebut pada masa prenatal dan postnatal, merupakan alasan kuat dilakukannya penelitian mengenai perkembangan neuron KA di AP ini. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari tahap kesiapan sistem respirasi, kardiovaskular, dan refleks muntah pada janin dan anak MEP, melalui pengamatan tahap perkembangan bentuk, pola migrasi, distribusi, diferensiasi, dan proses maturasi neuron KA di AP dan area di sekitarnya yang terkait. Manfaat penelitian Data perkembangan neuron KA di AP dan area sekitarnya yang terkait sangat diperlukan untuk membantu memperdalam pemahaman fungsi respirasi, kardiovaskular, refleks muntah, dan keterkaitannya dengan SIDS, serta untuk menambah data perkembangan otak pada MEP, yang dapat digunakan sebagai model untuk perkembangan neuron KA pada manusia. 6