Studi Komunitas Nyamuk Anopheles di Desa

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA.
1
Penyebaran global penyakit malaria.
Menurut Wemsdorfer dan McGregor (1988) malaria ditemukan di wilayah
yang berada mulai 64 O lintang utara (Archangel di Uni Soviet) sampai 32 O lintang
selatan (Cordoba di Argentina). Pada umumnya malaria tidak terdapat pada
daerah dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut, kecuali di
Bolivia dan di daerah pegunungan Himalaya.
Pa& abad 19 malaria terdapat harnpir di seluruh bagian benua di dunia,
yaitu Afrika (kecuali AfXka Selatan), Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Seratus
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1984 terjadi penurunan kasus malaria pada
sebagian benua di dunia karena gencarnya pengendalian malaria dengan DDT dan
pemberian obat-obatan malaria seperti klorokuin secara masal oleh WHO.
Penurunan kasus malaria terjadi di benua Afitlca bagian utara (Maroko, Algeria,
Tunisia, Mauritania, Mali. A l j d r , Libia), Amerika Utara ( Kanada clan Amerika
Serikat), sebagian Amerika Selatan (Chili, Argentina, Uruguay, Bolivia, Peru,
Paraguay), Australia, Eropa Barat (Inggris, Irlandia, Prancis, Belanda, Belgia dan
Luksemburg), Eropa Timur (Rusia, Ukraina, Belorusia, Azerbaijan, Lithuania,
Georgia, Latvia, Estonia, Moldavia dan Armenia), Eropa Utara (Denmark,
Norwegia, Swedia, Islandia, cian Finlandia), Eropa Tengah (Polandia, Swiss,
Jennan, Ceko, Slowakia, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, Austria, Albania dan
Hongaria), Asia T
i (RRC, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea Utara, Korea
Selatan dan Macao), Asia Tengah antara lain Kazakhstan, Uzbekistan, Mongolia
dan Tadzikistan (WJ30 1987).
WHO (1985) melaporkan pa&
pertengahan tahun 1970 malaria timbul
kernbali dengan puncaknya terjadi pa& tahun 1976 dan menurun lagi pada
permulaan tahun 1980. Benua-benua dan negara di dunia yang tidak berhasil
&lam menunrnkan angka kejadian kasus malaria sampai tahun 1984, adalah
Afiika bagian tengah. A6ika bagian timur, A6ika bagian barat, pusat A&ka dan
kcpulauan Madagaskar terutama yang berada pada 20' BB
- 40'
BT dan 0'
- 20'
LLJ yaitu Namibia, Botswana, Zibabwe, Mozambique, Zambia, Malawi,
Tanzania. Kenya, Uganda, Sudan. Rwanda, Burundi, Ethiopia, Somalia, Senegal.
Nigeria, Ghana. Kamerun, Gabon. Kongo, Zaire, Angola.
Di daerah tropis Alkika, malaria mempakan masalah kesehatan yang
sangat xrius dibandigkan negara-negara lain di A m . Di negara ini malaria
saiap tahunnya dianggap sebagai penyebab 10% kematian bayi dan mak-anak di
bawah usia 14 tahua. namun korban terbesar adalah anak-mak yang berumur
antara enam bulan hiigga empat tahun. Ciri-ciri yang paling menyolok dari
penyakit ini di daerafi Afiika adaiah penyebararmya yang bersifat endemis (WHO
1985).
Di benua Amzrika kasus malaria mas& ada t e ~ t a m adi Amerika Tengah
(Meksiko, Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Honduras, Costa Rica, Panama,
Cuba) clan bagian utara dari Amerika Selatan ( Brazilia, Equador, Colombia,
Venezuela, Peru dan Bolivia). Tahun 1983 dilaporkan lebii dari 74.000 kasus
maIaria terjadi di Meksiko, 2% P. f d c i p m dan 98% P. v i v a . Di Panama
kejadian malaria tahun 1982 di Provinsi Bocas del Toro melebihi dari 340 kasus,
300h kasus impor dan yang terbesar indegenous. Di Guatemala jumlah b u s
malaria tercatat bertambah lebiih 15 kali dari 5.000 kasus tahun 1975 menjadi
77.000 kasus tahun 1982. Di Brazil pada tahun 1985 jumlah kasus malaria
bertarnbah mendekati 400.000 kasus dan 40% terinfeksi P.falciparum. Kejadian
penyakit bervariasi di Nicaragua dari 4.246 kasus yang dilaporkan tahun I973
rnenjadi 26.228 pa& tahun 1976. Angka kematian suatu waktu mencapai
454/100.000 penduduk -0
1987).
Menurut WHO (1985) di Papua New Guinea dilaporkan terdapat 120.000
kasus malaria dan pada tahun 1983 meningkat 127.000 kasus, 78.5 % disebabkan
oleh P.falciparum.
Di Asia, negara-negara yang mash ada kasus malarianya, adalah Asia
Selatan. Asia Barat. Asia Tenggara dan sebagian wilayah Republik Rakyat Ci.
Di P. Hainan (Cina) mtara tahun 1940 - 1942, terjadi malaria yang disebabkan
oleh P. vivax (50aA). P.falciparum (49%) dan P. m a k i a e f (10%). Tahun 1982
dilaporlcan terdapat 2 juta kasus malaria, dan tahun 1985 jumlah kasus menurun
menjadi 563.000 kasus. Di Afganistan pa& tahun 1980 terjadi 47.000 lcasus
malaria. tahun 1983 meningkat menjadi 118.000 kasus, karena seluruh wilayah
Afganistan sudah merupakan daerah endemis malaria. Di Saudi Arabia,
dilaporkan pada tahun 1981 terjadi 5.500 kasus malaria dan meningkat menjadi
18.000 kasus malaria tahun 1982. Di India, pada tahun 1982jumlah kasus malaria
2.2 juta kasus dan menumnmenjadi 1.9 jutapadatahun 1983 (WHO 1985).
WHO (1985) melaporkan kasus malaria di Asia Tenggara. Di Thailand
tahun 1983 a& 244.000 b u s malaria. Di Laos malaria bervariasi dari daerah
holoendemik ke hiperendemik. Dari tahun 1956 sampai 1959, angka parasit
bervariasi dari 27 sampai 68 %. Dimana P.fulciparurn 70 %, P. v i v a 25 % dan P.
malariae 5 %. Menjelang tahun 1980, P.falciparum terhitung antara 80 dan 85 %
kasus. Di Vietnam, pada tahun 1981 terjadi 43.000 kasus malaria dan meningkat
menjadi 63.000 kasus tahun 1983. Di Malaysia, terjadi 12.000 kasus malaria pada
tahun 1983. Di Filipina, terjadi sebanyak 90.3 19 kasus malaria pada tahun 1983.
Di selurub Indonesia 200.000 kasus malaria dilaporkan setiap tahun,
148.000 kasus telah dilaporkan pada tahun 1983, dengan 46 % infeksi disebabkan
oleh Plasmodium falciparum PEPKES 2000).
Resistensi Plasmodium falciparum terhadap 4 aminoqunolines pertama
dilaporkan di Kalimantan pada tahun 1973 dan Irian Jaya pada tahun 1974 dan
telah didapadcan banyak saat ini di seluruh Indonesia (WHO 1985).
Suroso (1998) melaporkan penyebaran penderita malaria di Indonesia
banyak terdapat di pedesaan dan sangat jarang terdapat di perkotaan, kecuali
dacrah di lrian Jaya malaria terdapat di perkotaan. Situasi malaria untuk Jawa-Bali
clan luar Jawa-Bali pada tahun 1997, dimana A P I provinsi Jawa Timw adalah
0.04, Jawa Tengah 0.32, Jawa Barat 0.04, D.I. Yogyakarta 0.52, Bali 0.03. Di luar
Jawa Bali AM1 untuk provinsi D.I. Aceh adalah 4.16, Sumatra Utara 4.91,
Sumatra Barat 2.15, Riau 4.91, BengkuIu 12.74, Lampung 6.33, Kalihantan Barat
22.25, W i t a n Tengah 15.10, K a l i t a n Selatan 6.60, Kalirnantan Timur
8.28, Sulawesi Utara 32.86, Sulawesi Tengah 32.90, Sulawesi Tenggara 15.51,
Sulawesi Selatan 3.01, Nusa Tenggara Barat 25.85, Nusa Tenggara Timur 181.00,
Maluku 21.17 dan Irian Jaya 119.17.
2 Pengobatan terhadap parasit.
Pemberantasan parasit malaria di dunia oleh WHO dilakukan dengan
pemberian obat anti malaria kepada penderita clan juga memberikan dana dalam
rangka menurunkan kasus malaria melalui peneiitian-penelitian.
Di Indonesia sejak tahun 1919-1927 pemberantasan malaria dilaksanakan
dengan pemberian obat kina.
Tahap berikutnya pada
tahun
1951-1959
pcmberantasan dengan penyemprotan rumah menggunakan DDT. Hasil yang
diperoleh sangat memuaskan, ternyata angka SPR (slide positivity rate) di Jawa
Tengah menurun dari 23.7% tahun 1953 menjadi 4.9% pada tahun 1958. Pada
tahun 1959-1968 dibentuk organisasi yang bernama KOPEM (Komando Operasi
Pembasmian Malaria). Kegiatan pemberantasan malaria dengan pencaiian,
pengobatan penderita dan penyemprotan rumah secara m a d dengan DDT.
Dimulai dari Jawa, Bali, Madura dan Sumatra Selatan. Puncaknya pada tahun
1963 sejumlah 64.6 juta orang di Jawa dan Larnpung terlidungi dari penyakit
malaria, karena penyemprotan rumah selumhnya menggunakan 9.255 ton DDT.
Angka SPR terendah tercapai. yaitu 0.15% dengan jumlah penderita 8.862 pa&
tahun 1965. Pa& tahun 1969-1973 kegiatan terhenti karena tidak ada lagi bantuan
luar negeri, KOPEM diirganisasi ( Arbani 1991).
Depertemen Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten pada bulan
September 2001 telah melakukan pengobatan masal dengan menggunakan obat
baru dari Cina atas bantuan dari WHO bagi penderita malaria di Kabupaten
P-orejo
dan Kabupaten Kulon Progo.
Dari komposisi clan formula fhmasmya obat C i ini mengandung zat-zat
aktif, yaitu : aremisinin, artemether dan lumefantrine. Artemether merupalcan
lacton sesquiterpene yang diambil dari bahan alami artemisinin. Lumefantrine
merupakan sintesis rase&
dari campuran fluortne. Satu tablet mengandung 20
mg artemether dan 120 mg lumefantrine (WHO 1998).
Penelitian tentang parasit malaria sudah banyak dilakukan di luar negeri
baik "in vivo" pada manusia dan Kinatang percobaan, maupun "in vitro" dengan
biak-biakan. Hal ini di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Biakan parasit
malaria dapat dipergunakan untuk melihat kepekaan atau resistensi parasit
terhadap obat-obat untuk penyelidikan imunologi dan pembuatan vaksii. Dengan
ditemukan kasus-kasus malaria falciparum yang resisten terhadap klorokuin di
Indonesia, maka timbd berbagai rnasalah pengobatan. Penggunaan obat-obatan
anti malaria yang tidak tepat &pat menimbulluur msistensi parasit terhadap obat
tersebut. Meskipun secara "in vitro" parasit jelas sudah resisten, namun
penderitanya masih dapat disembuhkan dengan klorokuin. Hal ini menunjukkan
bahwa parasitnya "in vivo" masih sensitif (Sisirawati 1990).
Sutanto (1990)
melakukan pembuatan antigen P.falciparum dari strain Flores yang dibiak secara
in vitro sesuai dengan metoda Trager dan Jensen. Telsh dilaporkan pula adanya
resistensi P. v i v a dan P. malariae terhadap pyrimethamine dan proguanil di Irian
Jaya, tidak tertutup kemungkinan adanya resistensi terhadap obat-obatan tersebut
di tempat lain ( Soepanto 1983).
Penelitian imunologi perlu diimbangkan guna menunjang diagnosis jika
parasitnya sukar diternukan &lam
darah, penelitian imunologi juga dapat
memberikan gambaran tentang derajat endemi di suatu daerah, terutama jika
ditemukan banyak splenomegali, yang mungkin dapat disebabkan oleh penyakitpenyakit lain.
Hingga kini tidak ada metode untuk memperoleh antigen sporozoit dalam
jumlah memadai dalam waktu singkat yang diperlukan untuk penyelidikan
eksperimental, apalagi untuk vaksii yang dipakai s e w lebih luas. Sporozoit
hams diambil dari kelenjar ludah nyarnuk yang jelas bukan m e ~ p a k a nsumber
antigen yang banyak, untuk mengvaksinasi jutaan penduduk. Penelitian untuk
gene cloning secara klasik yang dilakukan masih membutuhkan sporowit karena
memerlukan mRNA yang sesuai dengan gen yang dibutuhkan. Di Amerika
Sedcat untuk pertama kali &temukan antigen protektif utama pada permparasit malaria binatang pengerat : PB 44, suatu polipeptida dengan berat molekul
44. Mereka menunjukkan bahwa zat anti monoklon terhadap antigen ini
menyebabkan sporozoit tidak menjadi infektif pada mencit (Yoshida et al. 1980).
Gen yang mengkode antiger, sporowit protektif telah ditemukan dan
rekayasa genetik digunakan untuk memasukkan gen ke daIam bakteri. BaMeri
yang diubah dengan cara ini dapat membuat antigen sporozoit dan dapat dibiak
dengan mudah.. Adanya antigen pada permukaan sporozoit yang dominan yang
disebut Protein sirkurn sporozoit (Circumsporozoite proteiPJCSP). P.faleiparum
terdiri dari 23 tetrapeptida yang d i i g k a i secara tandem dengan masing-masing
tetrapeptida mengandung empat asam amino dalam urutan prolim-asparaginalanin-asparagin. Tahun 1984 "gene wdiig" untuk CSP telah di klone dan antigen
hasil rekombinasi yang pertama yang terdiri dari 32 NANP yang disebut sebagai
R32tet32 telah diiasillcan (Yoshida 1980).
3 Pengendalian Vektor.
Pengendalian malaria dapat dilakukan dengan membunuh parasit dalam
tubuh manusia dengan cara pemberian obat kepada penderita dan membunuh
vektomya dengan cara penyemprotan rumah dengan insektisidrt serta pengelolaan
liigkungan untuk pengendalian larva nyamuk.
Di s e l d wilayah tropis Afiika, pengendalian malaria secara u m u m di
atasi dengan memberikan obat anti malaria dan pengendalian larva. Tanzania
menunjukkan efektifitas pembasmian malaria di wilayah Savana dengan
menggunakan seluruh metode yang ada meskipun mengalami kegagalan- yang
memakan biaya yang besar (Moliieawc dan Gramiccia 1980). WHO (1985)
melaporkan di Propinsi Nyanza di Kenya, Payne bersama temannya tahun 1970
melakukan penyemprotan rumah secara berkala setiap 3 bulan sekali dengan
menggunakan insektisida fosfororganos, fenitrotion selarna 2 tahun. Secara umum
kematian dapat &kurangi dari 23.9 menjadi 13.5 kasus kematian per 1000
populasi dan mengurangi kematian bayi dari 157 menjadi 93 per 1000 kelahiran.
Pengadaan obat-obatan anti malaria diIakukan dengan membawa dari
Kamerun. Chloroquine diberikan pada anak-an& usia 5- 15 tahun seminggu sekali
dengan dosis 5 mg per berat badan untuk mengurangi tingkat parasit maIaria dan
jurnlah parasit yang ada di tubuh anak-an&, yang memperoleh kemoterapi
d i b d i n g k a n dengan an&-anak yang tidak memperoleh kemoterapi (WHO
1974).
Di Turki, program pengendalian dilakukzn sejak tahun 1925, narnun sejak
tahun 1945, sepertiga bagian populasi negara ini atau sebanyak 2.542.272 pasien
memperoleh perawatan malaria eada tahun 1946. Dalam tahun yang sarna
penyemprotan residual d
i rumah dengan m e n b a n DDT diperkenalkan
(WHO 1985).
Di Indonesia pengenddikan vektor secara kimiawi sudah dilakukan sejak
tahun 1952 dengan mengadakan penyemprotan rumah-rumah penduduk dengan
insektisida DDT atau dieldrin di Pulau Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa
secara terbatas yaitu hanya pada daerah-daerah yang berindeks limpa melebihi 50
% dari jumlah pendudulcnya (DEPKES 1983).
Arbani (1991) menyatakan bahwa pembasmian malaria di seluruh
Indonesia dimulai tahun 1970, dengan program pencarian dan pengobatan
penderita serta penyemprotan rumah secara masal dengan DDT. Pelaksanaan
pertama diiulai di Jawa, Bali, Madura dan Sumatra.
MENKES RI (1990) memutuskan untuk secara bertahap tidak lagi
menggunakan DDT. Pertama di Jawa-Bali pada tahun 1990 dan selanjutnya di
luar Sawa-Bali tahun 1992. Pengendalian malaria dengan insektisida di Indonesia
sudah m e ~ p a k a n
cara yang paling tepat dan merupakan primadona, karena sangat
ampuh dan dapat menurunkan secara drastis penyakit malaria di suatu wilayah,
tetapi pemakaian yang berlebihan dari bahan insektisida tersebut &pat
menimbullcan dampak negatif baik terhadap l i g a n d m nyamuknya. Pada
nyamuk akan w a d i resistensi. Di Indonesia insektisida yang dipakai saat ini
adalah benddiocarb 80 WP, larndasiiotrin 10 WP, deltarnetrin 5 W P clan
etofenprok 20 WP (DEPKES 1999).
Pengendalian malaria dengan penyemprotan rumah secara masd di
Kecamatan
Loano
Kabupaten
menggunakaa Vendona -porn
Purworejo bulan
September tahun
2001
DINKES Kab Purworejo 2001).
4 Vektor Ma1ari.a.
Menurut Sundararrunan et al. (1957) di Jawa hanya terdapat 4 spesies
vektor malaria, yaitu An. aconitus dau An. sundaicw merupakan vektor utama,
sedangkan An. subpictu ciaa An. maculatus vektor sekunder. An. aconitus
merupakan vektor di daerah pedalaman, yaitu di daerah persawahan, terutama
yang sistem persawahannya bert*mgkat.An.sundaicus bertindak sebagai vektor di
daerah sepanjang pantai dan tempat perkembakbiakannya hanya terbatas di air
i daetah pantai, sedangkan An.
payau. An. subpicrus juga berperan sebagai vektor d
maculatus di daerah pegunungan. Di daerah Irian Jaya terdapat 3 spesies nyamuk
yang &pat berperan sebagai veMor malaria yaitu An. farauti, An. koliensis dan
An. punchrlalus. An. farauti banyak terdapat di daerah sekitar hutan bakau,
sedangkan An. koliensis clan An. punctulatus banyak terdapat di daerah hutau sagu
clan hutan berawa ( Lee et al. 1980).
Lien et al. (1975) menyatakan bahwa spesies nyamuk yang tersangka
&pat berperan sebagai vektor malaria di Tmor adalah An. subpicius, An.
barbirostris. An. minimus, An. aconiius, An. sundaicus, An maculahcs dan An.
annularis.
Vektor malaria di Kalimantan adalah An.
balabacensis dan An.
nigerrimus, di Sulawesi An. Iudlowae dan An. barbirostris, di Sumatra An.
sinensis dan An. nigerrimus (Bonne-Wepster clan Sweliengrebel 1953. Horsfall
1955). Menurut Van Peenen er al. (1975) yang berperan sebagai vektor malaria di
Kalimantan adalah nyam*
dari kelompok An. hyrcanus, An. subpictus dan An.
kochi.
Bila ditinjau dari penyebaran penyakit malaria di Indonesia, spesiesspesies nyamuk yang menjadi vektor malaria menurut DEPKES (1985) addah An.
letifer vektor di Sumatera Utara d m Selatan, &dimantan Barat dan Tengah, An.
farautrutr,
An. koliensis. A n bancrofti. An. puncrulahts, velctor di Irian Jaya, An.
flavirosh.is dan A n Zudlowae vektor d i Sulawesi Selatan, An. minimus vektor di
Sulawesi Utara dan Tengah, An. balabacensis vektor di K a l i i t a n Selatan dan
Kalimantan Timur. An. barbirostris merupakan vektor di ~
b Tenggara
a
Timur,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, An.nigerrimu~:vektor di Surnatera
Selatan dan Sulawesi Selatan, An. subpic-
vektor di Bengkdu, NTT, Sulawesi
Tengah, Selatan dan Tenggara, Jawa Barat dan Jawa Timur, An. sundaicus vektor
di Riau, Lampung, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan DI. Yogyakarta, An. maculatus vektor di Sumatera Utara dan Jawa Tengah,
An. sinensis vektor di Jawa Timur dan An. aconifw vektor di Jawa Tengah.
5 Fauna nyamuk Anoplaeles di Indonesia.
Nyamuk merupakan serangga kosmopolitan. Sampai saat ini dilaporkan
terdapat 2960 spesies nyamuk yang ada di dunia temasuk di Indonesia. Di
Indonesia telah ditemukan 457 spesies yang tergoIong dalam 18 genus, yang
terdiri atas 80 spesies Anopheles, 82 spesies Culex, 125 spesies Aedes dan 8
spesies Mamonia. Sisanya sebagai anggota dari genus yang tidak penking dalam
penularan penyakit. Di Kalirnantan sampai saat ini tercatat 162 spesies, 67,3%
diantaranya tergolong dalam genus Aedes, Anopheles dan Cdex, sedangkan genus
yang lain ditemukan dalarnjumlah sedikit (O'Comor clan Sopa 1981).
Menurut Sundararaman et al. (1957) fauna nyamuk Anopheles di Jawa
.
Tengah terdapatl8 spesies, yakni
~iaconitus, An.
barbirostris, An. hyrcanm
var.X(venhuisi), An. kochi, A n maculatus, An. philippinensis, An. schufieri. An.
subpicm malayemis, An. tesselaiur, An. annularis, An. ramsayi, An. bezai, An.
hyrcanus sinemis, An. leucosphyrus, An. minimus flavirostris, An. subpictw
subpictw, An. sundaicus dan An. vagus.
Boewono (1999) meiaporkan fauna nyamuk Anopheles di Jawa Tengah
ternyata sangat bervariasi spesies nyamuknya, bila dilihat dari setiap ketinggian
atas permukaan
laut. Dimana pada ketinggian 0 - 50 meter dari permukaan hut di
kandang kerbau dan sapi pada malam bari ditemukan An. barbirostrir. An.
aconifus. An. subpictus, An. vagus. Pa& ketinggian daerah 51
-
100 meter, di
kandang sapi ditemukan An. subpictus. A n aconifus. An. flavirostris dan An.
tessellates. Di kandang kerbau ditemukan An. nigerrimus. An. peditaeniatus, An.
vagus, An. aconifus. An. subpictus. An. annularis. An. kochi. An. fravirostris. An.
barbirosrris. An. mudatus. An. indefinitus dan An. tessellates. Pada ketinggian
daerah 101
-
200 meter, di kandang kerbau ditemulcan An. nigerrimus, An.
peditaeniatus. An. vagus. An. aconitus. An. subpictus. An. annularis. Pa&
ketinggian daerah 301 - 400 meter di kandang kerbau pada malam hari diperoleh
jenis An. nigerrimus. An. peditaeniatus. An. vagus. An. aconitq An. subpicfus
d m An. annularis.
6
Hubungan antara nyamuk dan hewan.
Spesies nyamuk yang tertarik untuk menggigit hewan disebut bersifiit
zoofilik, sedangkan yang lebii tertarik pada orang disebut bersifat antropofili.
Pada tahun 1932 di daerah Florida, nyamuk Psorophora confnis karena
populasinya tinggi dalam waktu dua hari mengakibatkan kematian 80 sapi dan 67
babi. Kematian hewan-hewan temyata karena kehilangan darah, keletihan saraf
akibat seldu mendapat gigitah dan mungkin oleh racun yang dikeiuarkan nyamuk
sewalctu menggigit ( Harwood dan James 1979).
Adanya petemakan di suatu daerah dapat memberi peluang krjangkitnya
penyakit tertentu pada manusia, terutama penyakit zuonotik yang ditularkan oleh
nyamuk. Tetapi adanya petemakan juga dapat menurunkan dan bahkan
menghilangkan penyakit yang tidak bersifkt zoonotik pada manusia yang
ditularkan oleh nyamuk. Sebagai wntoh kasus malaria dapat dikurangi dengan
cara memperbanyak jumlah hewan piaraan seperti sapi dan kerbau. Dengan
bertambahnya jumlah hewan maka kesempatan vektor malaria untuk menggigit
orang akan berkurang, karena mereka beralih kepada hewan. Den-
cara ini
derajat penularan dapat diperkecil. Kimowardoyo dan Supalm (1983) melaporkan
keadaan kandang (sapilkerbau) merupakan fbktor utama yang mempengaruhi
makin besarilcecilnya kontak An. aconitus dengan orang. Kandang di dalam dan
tertutup menyebabkan kontak antara An. aconitus dengan orang mcnjadi besar.
Kandang di luar m a h , terbuka dan terpusat di suatu lokasi merupakan keadaan
yang paling membantu untuk pengendalian An. aconihrs.
7
Berbagai faktor yang mempengaruhi keberadaan nyamuk.
Faktor-fbktor yang sangat berperan untuk merangsang nyamuk dalam
proses aktivasi, orientasi serta perilaku hinggap pada hospes, adalah suhu,
kelembaban, karbon dioksida, bau dan bennacam-rnacam faktor visual.
7.1
Respon terhadap Suhu.
Perilaku nyamuk yang tertarik kepada obyek yang dipanaskan di atas suhu
udara di laboratorium dan di lapangan, membuktikan bahwa suhu tubuh adalah
faktor
yang
penting
dalam
penemuan
hospes
oleh
nyamuk.
Nyamuk
memperlihatkan respon terhadap arus konveksi tetapi tidak menunjukkan
kelakuan yang serupa terhadap radiasi. Arus konveksi memungkidam nyarnuk
tersebut untuk menghadap hospes secara efektif pada jar& dekat (Brown 1951,
Peterson dan Brown 195I).
Orientasi Anopheles labranchiae atroparvus terhadap sumber panas
ternyata ditentulcan oleh tingkatan suhu (Laarman
1955). Kesimpulan ini
didukung oleh Smart dan Brown (1956) yang menyatakan bahwa M i t yang lebii
hangat lebih menarik nyamuk dari pada M i t yang dingin.
7.2
Respon terhadap Kelembaban.
Di &lam kandang olfaktometer yang besar, temyata uap air secara jeias
mempengaruhi perilaku nyamuk, terbukti kebanyakan Aedes aegypti mendekati
aliran udara hangat dengan kelembaban 80% sampai 90% daripada kelembaban
15% sampai 20% (Brown 1951). Namun di lapangan tidak ada bukti yang
menunjukkan pentingnya tingkat kelernbaban bagi orientasi kepada hospes
(Clements 1963). Pengaruh uap air agak nyata pada proses hinggap.
7.3 Respon terhadap Karbon Dioksida.
Menurut Willis (1947) karbon dioksida diekresikan oleh manusia melalui
saiuran pernafasan d m dalam jumiah kecil melalui kulit. Jumlah karbon dioksida
yang lewat melalui seiunth permukaan kulit manusia adalah 7,5 sampai 9 gram
selama 24 jam. Jumlah ini hanya kira-kira 1,5 % dari kuantitas yang diekresikan
melaiui paru-paru, sehingga karbon dioksida dari paru-paru mempakan stimulus
yang lebih penting.
Pengaruh ernisi karbon dioksida terhadap proses hinggap Aedes telah
dibuktikan oleh Brown (1951) dengan menggunakan sebuah robot. Dari kepala
robot dipancarkan dua liter campuran udara dan karbon dioksida (perbandingan 9
: 1) tiap menit, &ngan karbon dioksida yang keluar sesuai dengan ekshdasi
manusia nonnal yaitu 200 cc tiap menit. Dibandingkan dengan robot yang tidak
memancarkan karbon dioksida, maka robot yang memancarkan gas tersebut
mampu menarik 30 sampai 60 % nyamuk hinggap lebii banyak. Jika pada kepda
robot dipancarkan 100 % karbon dioksida dengan volume dua liter tiap menit,
.
nyamuk yang tertarik dua kali lebii banyak daripada robot yang tidak
memancarkan karbon dioksida. Bila robot hanya mernancarkan 10 % karbon
dioksida, pada kecepatan yang sama, ternyata nyamuk yang tertarik lebih 60%.
Pa& penelitian itu, kecepatan hiiggap pa& kepala robot agak lebii nyata
daripada tubuh robot.
Dari hasil penelitian para peneliti itu maka &pat dianggap bahwa karbon
dioksida akan mempengaruhi nyamuk pa& proses aktivasi, orientasi dan hinggap
pada hospes.
7.4 Respon Terhadap Bau.
Laarman (1955) membuktikan respon nyamuk terhadap bau yang
terpancar dari hospes dengan memakai olfaktometer. Keliici yang dialiri udara
dilepaskan ke dalam kandang nyamuk pada tempera*
tersebut dihilangkan *or
kamar. Dalam aliran udara
panas, kelernbaban, serta karbon dioksida. Anopheles
labranchiae atroparvus akan memberi respon terhadap a l i i udara tersebut
dengan melayang-layang atau Kinggap pada lubang masuk aliran udara. Jadi bau
mempakan sebagian faktor penting yang menarik nyamuk datang ke hospes.
Beberapa komponen diduga dapat menimbulkan bau Keringat, darah dan urine,
telah diteliti kemungkinannya sebagai sumber bau.
Brown dan Carmichael (1961) berpendapat bahwa bau tub&
itu
merupakan fkktor .yangpenting pada seleksi hospes. Bau menjadi dasar pemilihan
hospes datang juga terjadi galur antropofili clan wofilik pada spesies yang sama.
Penyebabnya adalab asam amino yang dieluarkau oleh tubuh, yang bedasarkan
penelitian mereka lisin dan alanin yang sangat berperan.
Komposisi keringat yang berasal dari kelenjar akrin terdiri atas natriurn
ktorida, urea, amonia, asam laktat dan asam amino. Sedang keringat yang keluar
dari kelenjar apokrin berisi protein, karbohidrat clan amonia (Weiner dan Hellman
1960). Komposisi sebum menurut Thompson dan Brown (1955) adalah campuran
lipid dan masih sedikit keterangan apakah kornponen-komponen pada sebum
&pat menarik nyamuk. Asam-asam menguap yang dikeluarkan oleh kelenjar
sebaseus mempunyai pengaruh sedikit penolak. Tetapi kolesterol yang mempakan
unsur utama sebum mampu menarik nyamuk (Clements 1963).
Strauss et al. (1968) berpendapat bahwa tidak ada stimulus yang menarik
nyarnuk betina dari suatu jarak yang febih kuat daripada kulit manusia atau kulit
hewan. Faktor bau yang keluar dari kulitlah yang secara prinsip menuntun
nyarnuk betina kepada hospes pada suatu jarak.
Menurut Bell et a[. (1972) keringat manusia berasal dari kelenjar akrin dan
kelenjar apokrin. Kelenjar akrin terdapat pa& kulit yang tebal dan menghasilkm
keringat yang sedikit berbau, sedang kelenjar apokrin terdapat misalnya pada
ketiak dan daerah pubis, menghasilkan kerhgat yang tidak berbau apabila masih
segar, tetapi akan berbau setelah terjadi dekomposisi oteh bakteri kulit. Selain
kedua kelenjar tersebut, pa& dermis juga terdapat kelenjar sebaseus yang
mengeluarkan sebum.
7.5
on terhadap Faktor VisuaI
Faktor-faMor visual yang dapat mempengaruhi nyamuk dalarn proses
perilaku pemilihan hospes, adalah faktor gerakan hospes, warna, reflektivitasnya
clan kontur dari tubuh hospes.
GjuHin (1947) telah meneliti pengaruh warna pakaian terhadap kecepatan
menyerang beberapa spesies Aedes. Spesies nyarnuk tersebut ternyata memilih
warna-warna tertentu. Penyerangan nyamuk dapat berkurang sangat besar
terhadap warna pakaian yang tidak menarik, seperti putih dan kuning di lokasi
spesies nyamuk terdapat. Pemilihan warna oleh nyamuk itu terbatas pada kisaran
tertentu pada refleksi spektrum. Pigmentasi kelihatannya juga mempengaruhi
respon nyamuk. Smart dan Brown (1956) membandingkan warna kulit tangan
orang Kaukasia, orang Negro serta orang Timur. Tangan orang Negro lebii
menarik daripada orang Tiur, clan keduanya lebih menarik daripada orang
Kaukasia. Sedangkan di antara orang Kaukasia, tangan dengan kulit gelap lebii
menarik daripada yang berkulit terang.
Daya tarik warna-wama tertentu terhadap nyamuk dihubungkan kepada
reflektivitas warna itu sendiri. Brown (1951) menemukan bahwa pakaian dengan
intensitas refleksi cahaya yang lebii rendah temyata lebih menarik daripada yang
mempunyai intensitas refleksi cahaya lebih besar. Penemuan ini didukung ofeh
Brown (1954) yang menyimpulkan bahwa daya tarik pakaian berbanding terbalik
den,-
reflektivitasnya atau kecemerlangan wama pakaian.
Sippell dan Brown (1953) meneliti pengaruh pergerakan hospes terhadap
nyamuk. Jika hospes dalam keadaan diam maka faktor udara lebih penting
daripada fhktor visual. Tetapi apabila hospes seldu bergerak maka sebaliknya
-or
visual yang lebih berperan. Sippell dan Brown (1953) rnendapatkan bahwa
Aedes aegypti betina dewasa sangat tertarik dengan warna hitam. Pada penelitian
ini mereka menggumkan suatu benda berbentuk kubus yang dicat dengan garis
hitarn dan putih s e a m berselang-seliig, ternyata daya tariknya bertambah sesuai
bertambahnya proporsi hitam terhadap putih.
8
Pengambilan Contoh Populasi Nyamuk Dewasa.
Pernakaian hospes dan perangkap untuk menangkap serangga biasa
dilakukan oleh para emtomologiwan kesehatan dan entomologiwan veteriner.
8.1 Umpan Manusia.
Menurut Service (1976) pemakaian umpan manusia dilakukan untuk
berbagai macam keperluan, antara lain meliputi perkiraan angka menggigit dan
angka infeksi, penilaian efektivitas operasi kontrol serta mengikuti pembahan
sementara pada populasi serangga. Untuk tujuan mempelajari ha1 perubahan
musiman dari populasi, maka ukuran daya tarik manusia sebagai umpan harm
tidak berubab selama periode penarikan contoh.
8.2 Umpan hewan.
Menurut Gillies (1974) pa& pemakaian hewan besar sebagai umpan,
maka hewan dapat di masukkan ke &lam perangkap atau dibiarkan saja. Pada
semua perangkap terdapat kecenderungan menghasilkan penarikan contoh
populasi yang berbeda satu dengan lainnya. Oieh karena itu pemakaian hewan
sebagai umpan terutama dipilih untuk mengikuti perubahan kepadatan musiman,
studi seleksi hospes dan untuk memperoleh material guna isolasi arbovirus.
8.3 Cahaya sebagai penarik
Menurut Service (1976)
pemakaian cahaya sebagai penarik pada
perangkap, lebih artifisial daripada pemakaian hospes penarik lainnya. Respon
nyamuk terhadap cahaya pada permulaan menunjukkan fototaksis positif,
kemudian pa& jar& tertentu tergantung intensitas cahaya pada perangkap akan
menunjukkan fototaksis negatif. Jarak sumber cahaya yang &pat mempengaruhi
nyamuk tersebut bervariasi tergantuug kepada beberapa faktor yang meliputi
rancangan perangkap, kualitas cahaya serta jenis nyamuk yang bersangkutan.
8.4 Suara.
Wishart et nl. (1962) dengan pendekatan elektrofisiologi mempelaj&
kelakuan orientasi Aedes aegvpti jantan ke arah suara. Mereka berpendapat bahwa
nyamuk yang menuju ke arah suara mungkin disebabkan oleh dirasakannya
adanya peningkatan tekanan suara.
Download