TINJAUAN PUSTAKA. 1 Penyebaran global penyakit malaria. Menurut Wemsdorfer dan McGregor (1988) malaria ditemukan di wilayah yang berada mulai 64 O lintang utara (Archangel di Uni Soviet) sampai 32 O lintang selatan (Cordoba di Argentina). Pada umumnya malaria tidak terdapat pada daerah dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut, kecuali di Bolivia dan di daerah pegunungan Himalaya. Pa& abad 19 malaria terdapat harnpir di seluruh bagian benua di dunia, yaitu Afrika (kecuali AfXka Selatan), Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Seratus tahun kemudian, yaitu pada tahun 1984 terjadi penurunan kasus malaria pada sebagian benua di dunia karena gencarnya pengendalian malaria dengan DDT dan pemberian obat-obatan malaria seperti klorokuin secara masal oleh WHO. Penurunan kasus malaria terjadi di benua Afitlca bagian utara (Maroko, Algeria, Tunisia, Mauritania, Mali. A l j d r , Libia), Amerika Utara ( Kanada clan Amerika Serikat), sebagian Amerika Selatan (Chili, Argentina, Uruguay, Bolivia, Peru, Paraguay), Australia, Eropa Barat (Inggris, Irlandia, Prancis, Belanda, Belgia dan Luksemburg), Eropa Timur (Rusia, Ukraina, Belorusia, Azerbaijan, Lithuania, Georgia, Latvia, Estonia, Moldavia dan Armenia), Eropa Utara (Denmark, Norwegia, Swedia, Islandia, cian Finlandia), Eropa Tengah (Polandia, Swiss, Jennan, Ceko, Slowakia, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, Austria, Albania dan Hongaria), Asia T i (RRC, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan Macao), Asia Tengah antara lain Kazakhstan, Uzbekistan, Mongolia dan Tadzikistan (WJ30 1987). WHO (1985) melaporkan pa& pertengahan tahun 1970 malaria timbul kernbali dengan puncaknya terjadi pa& tahun 1976 dan menurun lagi pada permulaan tahun 1980. Benua-benua dan negara di dunia yang tidak berhasil &lam menunrnkan angka kejadian kasus malaria sampai tahun 1984, adalah Afiika bagian tengah. A6ika bagian timur, A6ika bagian barat, pusat A&ka dan kcpulauan Madagaskar terutama yang berada pada 20' BB - 40' BT dan 0' - 20' LLJ yaitu Namibia, Botswana, Zibabwe, Mozambique, Zambia, Malawi, Tanzania. Kenya, Uganda, Sudan. Rwanda, Burundi, Ethiopia, Somalia, Senegal. Nigeria, Ghana. Kamerun, Gabon. Kongo, Zaire, Angola. Di daerah tropis Alkika, malaria mempakan masalah kesehatan yang sangat xrius dibandigkan negara-negara lain di A m . Di negara ini malaria saiap tahunnya dianggap sebagai penyebab 10% kematian bayi dan mak-anak di bawah usia 14 tahua. namun korban terbesar adalah anak-mak yang berumur antara enam bulan hiigga empat tahun. Ciri-ciri yang paling menyolok dari penyakit ini di daerafi Afiika adaiah penyebararmya yang bersifat endemis (WHO 1985). Di benua Amzrika kasus malaria mas& ada t e ~ t a m adi Amerika Tengah (Meksiko, Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Honduras, Costa Rica, Panama, Cuba) clan bagian utara dari Amerika Selatan ( Brazilia, Equador, Colombia, Venezuela, Peru dan Bolivia). Tahun 1983 dilaporkan lebii dari 74.000 kasus maIaria terjadi di Meksiko, 2% P. f d c i p m dan 98% P. v i v a . Di Panama kejadian malaria tahun 1982 di Provinsi Bocas del Toro melebihi dari 340 kasus, 300h kasus impor dan yang terbesar indegenous. Di Guatemala jumlah b u s malaria tercatat bertambah lebiih 15 kali dari 5.000 kasus tahun 1975 menjadi 77.000 kasus tahun 1982. Di Brazil pada tahun 1985 jumlah kasus malaria bertarnbah mendekati 400.000 kasus dan 40% terinfeksi P.falciparum. Kejadian penyakit bervariasi di Nicaragua dari 4.246 kasus yang dilaporkan tahun I973 rnenjadi 26.228 pa& tahun 1976. Angka kematian suatu waktu mencapai 454/100.000 penduduk -0 1987). Menurut WHO (1985) di Papua New Guinea dilaporkan terdapat 120.000 kasus malaria dan pada tahun 1983 meningkat 127.000 kasus, 78.5 % disebabkan oleh P.falciparum. Di Asia, negara-negara yang mash ada kasus malarianya, adalah Asia Selatan. Asia Barat. Asia Tenggara dan sebagian wilayah Republik Rakyat Ci. Di P. Hainan (Cina) mtara tahun 1940 - 1942, terjadi malaria yang disebabkan oleh P. vivax (50aA). P.falciparum (49%) dan P. m a k i a e f (10%). Tahun 1982 dilaporlcan terdapat 2 juta kasus malaria, dan tahun 1985 jumlah kasus menurun menjadi 563.000 kasus. Di Afganistan pa& tahun 1980 terjadi 47.000 lcasus malaria. tahun 1983 meningkat menjadi 118.000 kasus, karena seluruh wilayah Afganistan sudah merupakan daerah endemis malaria. Di Saudi Arabia, dilaporkan pada tahun 1981 terjadi 5.500 kasus malaria dan meningkat menjadi 18.000 kasus malaria tahun 1982. Di India, pada tahun 1982jumlah kasus malaria 2.2 juta kasus dan menumnmenjadi 1.9 jutapadatahun 1983 (WHO 1985). WHO (1985) melaporkan kasus malaria di Asia Tenggara. Di Thailand tahun 1983 a& 244.000 b u s malaria. Di Laos malaria bervariasi dari daerah holoendemik ke hiperendemik. Dari tahun 1956 sampai 1959, angka parasit bervariasi dari 27 sampai 68 %. Dimana P.fulciparurn 70 %, P. v i v a 25 % dan P. malariae 5 %. Menjelang tahun 1980, P.falciparum terhitung antara 80 dan 85 % kasus. Di Vietnam, pada tahun 1981 terjadi 43.000 kasus malaria dan meningkat menjadi 63.000 kasus tahun 1983. Di Malaysia, terjadi 12.000 kasus malaria pada tahun 1983. Di Filipina, terjadi sebanyak 90.3 19 kasus malaria pada tahun 1983. Di selurub Indonesia 200.000 kasus malaria dilaporkan setiap tahun, 148.000 kasus telah dilaporkan pada tahun 1983, dengan 46 % infeksi disebabkan oleh Plasmodium falciparum PEPKES 2000). Resistensi Plasmodium falciparum terhadap 4 aminoqunolines pertama dilaporkan di Kalimantan pada tahun 1973 dan Irian Jaya pada tahun 1974 dan telah didapadcan banyak saat ini di seluruh Indonesia (WHO 1985). Suroso (1998) melaporkan penyebaran penderita malaria di Indonesia banyak terdapat di pedesaan dan sangat jarang terdapat di perkotaan, kecuali dacrah di lrian Jaya malaria terdapat di perkotaan. Situasi malaria untuk Jawa-Bali clan luar Jawa-Bali pada tahun 1997, dimana A P I provinsi Jawa Timw adalah 0.04, Jawa Tengah 0.32, Jawa Barat 0.04, D.I. Yogyakarta 0.52, Bali 0.03. Di luar Jawa Bali AM1 untuk provinsi D.I. Aceh adalah 4.16, Sumatra Utara 4.91, Sumatra Barat 2.15, Riau 4.91, BengkuIu 12.74, Lampung 6.33, Kalihantan Barat 22.25, W i t a n Tengah 15.10, K a l i t a n Selatan 6.60, Kalirnantan Timur 8.28, Sulawesi Utara 32.86, Sulawesi Tengah 32.90, Sulawesi Tenggara 15.51, Sulawesi Selatan 3.01, Nusa Tenggara Barat 25.85, Nusa Tenggara Timur 181.00, Maluku 21.17 dan Irian Jaya 119.17. 2 Pengobatan terhadap parasit. Pemberantasan parasit malaria di dunia oleh WHO dilakukan dengan pemberian obat anti malaria kepada penderita clan juga memberikan dana dalam rangka menurunkan kasus malaria melalui peneiitian-penelitian. Di Indonesia sejak tahun 1919-1927 pemberantasan malaria dilaksanakan dengan pemberian obat kina. Tahap berikutnya pada tahun 1951-1959 pcmberantasan dengan penyemprotan rumah menggunakan DDT. Hasil yang diperoleh sangat memuaskan, ternyata angka SPR (slide positivity rate) di Jawa Tengah menurun dari 23.7% tahun 1953 menjadi 4.9% pada tahun 1958. Pada tahun 1959-1968 dibentuk organisasi yang bernama KOPEM (Komando Operasi Pembasmian Malaria). Kegiatan pemberantasan malaria dengan pencaiian, pengobatan penderita dan penyemprotan rumah secara m a d dengan DDT. Dimulai dari Jawa, Bali, Madura dan Sumatra Selatan. Puncaknya pada tahun 1963 sejumlah 64.6 juta orang di Jawa dan Larnpung terlidungi dari penyakit malaria, karena penyemprotan rumah selumhnya menggunakan 9.255 ton DDT. Angka SPR terendah tercapai. yaitu 0.15% dengan jumlah penderita 8.862 pa& tahun 1965. Pa& tahun 1969-1973 kegiatan terhenti karena tidak ada lagi bantuan luar negeri, KOPEM diirganisasi ( Arbani 1991). Depertemen Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten pada bulan September 2001 telah melakukan pengobatan masal dengan menggunakan obat baru dari Cina atas bantuan dari WHO bagi penderita malaria di Kabupaten P-orejo dan Kabupaten Kulon Progo. Dari komposisi clan formula fhmasmya obat C i ini mengandung zat-zat aktif, yaitu : aremisinin, artemether dan lumefantrine. Artemether merupalcan lacton sesquiterpene yang diambil dari bahan alami artemisinin. Lumefantrine merupakan sintesis rase& dari campuran fluortne. Satu tablet mengandung 20 mg artemether dan 120 mg lumefantrine (WHO 1998). Penelitian tentang parasit malaria sudah banyak dilakukan di luar negeri baik "in vivo" pada manusia dan Kinatang percobaan, maupun "in vitro" dengan biak-biakan. Hal ini di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Biakan parasit malaria dapat dipergunakan untuk melihat kepekaan atau resistensi parasit terhadap obat-obat untuk penyelidikan imunologi dan pembuatan vaksii. Dengan ditemukan kasus-kasus malaria falciparum yang resisten terhadap klorokuin di Indonesia, maka timbd berbagai rnasalah pengobatan. Penggunaan obat-obatan anti malaria yang tidak tepat &pat menimbulluur msistensi parasit terhadap obat tersebut. Meskipun secara "in vitro" parasit jelas sudah resisten, namun penderitanya masih dapat disembuhkan dengan klorokuin. Hal ini menunjukkan bahwa parasitnya "in vivo" masih sensitif (Sisirawati 1990). Sutanto (1990) melakukan pembuatan antigen P.falciparum dari strain Flores yang dibiak secara in vitro sesuai dengan metoda Trager dan Jensen. Telsh dilaporkan pula adanya resistensi P. v i v a dan P. malariae terhadap pyrimethamine dan proguanil di Irian Jaya, tidak tertutup kemungkinan adanya resistensi terhadap obat-obatan tersebut di tempat lain ( Soepanto 1983). Penelitian imunologi perlu diimbangkan guna menunjang diagnosis jika parasitnya sukar diternukan &lam darah, penelitian imunologi juga dapat memberikan gambaran tentang derajat endemi di suatu daerah, terutama jika ditemukan banyak splenomegali, yang mungkin dapat disebabkan oleh penyakitpenyakit lain. Hingga kini tidak ada metode untuk memperoleh antigen sporozoit dalam jumlah memadai dalam waktu singkat yang diperlukan untuk penyelidikan eksperimental, apalagi untuk vaksii yang dipakai s e w lebih luas. Sporozoit hams diambil dari kelenjar ludah nyarnuk yang jelas bukan m e ~ p a k a nsumber antigen yang banyak, untuk mengvaksinasi jutaan penduduk. Penelitian untuk gene cloning secara klasik yang dilakukan masih membutuhkan sporowit karena memerlukan mRNA yang sesuai dengan gen yang dibutuhkan. Di Amerika Sedcat untuk pertama kali &temukan antigen protektif utama pada permparasit malaria binatang pengerat : PB 44, suatu polipeptida dengan berat molekul 44. Mereka menunjukkan bahwa zat anti monoklon terhadap antigen ini menyebabkan sporozoit tidak menjadi infektif pada mencit (Yoshida et al. 1980). Gen yang mengkode antiger, sporowit protektif telah ditemukan dan rekayasa genetik digunakan untuk memasukkan gen ke daIam bakteri. BaMeri yang diubah dengan cara ini dapat membuat antigen sporozoit dan dapat dibiak dengan mudah.. Adanya antigen pada permukaan sporozoit yang dominan yang disebut Protein sirkurn sporozoit (Circumsporozoite proteiPJCSP). P.faleiparum terdiri dari 23 tetrapeptida yang d i i g k a i secara tandem dengan masing-masing tetrapeptida mengandung empat asam amino dalam urutan prolim-asparaginalanin-asparagin. Tahun 1984 "gene wdiig" untuk CSP telah di klone dan antigen hasil rekombinasi yang pertama yang terdiri dari 32 NANP yang disebut sebagai R32tet32 telah diiasillcan (Yoshida 1980). 3 Pengendalian Vektor. Pengendalian malaria dapat dilakukan dengan membunuh parasit dalam tubuh manusia dengan cara pemberian obat kepada penderita dan membunuh vektomya dengan cara penyemprotan rumah dengan insektisidrt serta pengelolaan liigkungan untuk pengendalian larva nyamuk. Di s e l d wilayah tropis Afiika, pengendalian malaria secara u m u m di atasi dengan memberikan obat anti malaria dan pengendalian larva. Tanzania menunjukkan efektifitas pembasmian malaria di wilayah Savana dengan menggunakan seluruh metode yang ada meskipun mengalami kegagalan- yang memakan biaya yang besar (Moliieawc dan Gramiccia 1980). WHO (1985) melaporkan di Propinsi Nyanza di Kenya, Payne bersama temannya tahun 1970 melakukan penyemprotan rumah secara berkala setiap 3 bulan sekali dengan menggunakan insektisida fosfororganos, fenitrotion selarna 2 tahun. Secara umum kematian dapat &kurangi dari 23.9 menjadi 13.5 kasus kematian per 1000 populasi dan mengurangi kematian bayi dari 157 menjadi 93 per 1000 kelahiran. Pengadaan obat-obatan anti malaria diIakukan dengan membawa dari Kamerun. Chloroquine diberikan pada anak-an& usia 5- 15 tahun seminggu sekali dengan dosis 5 mg per berat badan untuk mengurangi tingkat parasit maIaria dan jurnlah parasit yang ada di tubuh anak-an&, yang memperoleh kemoterapi d i b d i n g k a n dengan an&-anak yang tidak memperoleh kemoterapi (WHO 1974). Di Turki, program pengendalian dilakukzn sejak tahun 1925, narnun sejak tahun 1945, sepertiga bagian populasi negara ini atau sebanyak 2.542.272 pasien memperoleh perawatan malaria eada tahun 1946. Dalam tahun yang sarna penyemprotan residual d i rumah dengan m e n b a n DDT diperkenalkan (WHO 1985). Di Indonesia pengenddikan vektor secara kimiawi sudah dilakukan sejak tahun 1952 dengan mengadakan penyemprotan rumah-rumah penduduk dengan insektisida DDT atau dieldrin di Pulau Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa secara terbatas yaitu hanya pada daerah-daerah yang berindeks limpa melebihi 50 % dari jumlah pendudulcnya (DEPKES 1983). Arbani (1991) menyatakan bahwa pembasmian malaria di seluruh Indonesia dimulai tahun 1970, dengan program pencarian dan pengobatan penderita serta penyemprotan rumah secara masal dengan DDT. Pelaksanaan pertama diiulai di Jawa, Bali, Madura dan Sumatra. MENKES RI (1990) memutuskan untuk secara bertahap tidak lagi menggunakan DDT. Pertama di Jawa-Bali pada tahun 1990 dan selanjutnya di luar Sawa-Bali tahun 1992. Pengendalian malaria dengan insektisida di Indonesia sudah m e ~ p a k a n cara yang paling tepat dan merupakan primadona, karena sangat ampuh dan dapat menurunkan secara drastis penyakit malaria di suatu wilayah, tetapi pemakaian yang berlebihan dari bahan insektisida tersebut &pat menimbullcan dampak negatif baik terhadap l i g a n d m nyamuknya. Pada nyamuk akan w a d i resistensi. Di Indonesia insektisida yang dipakai saat ini adalah benddiocarb 80 WP, larndasiiotrin 10 WP, deltarnetrin 5 W P clan etofenprok 20 WP (DEPKES 1999). Pengendalian malaria dengan penyemprotan rumah secara masd di Kecamatan Loano Kabupaten menggunakaa Vendona -porn Purworejo bulan September tahun 2001 DINKES Kab Purworejo 2001). 4 Vektor Ma1ari.a. Menurut Sundararrunan et al. (1957) di Jawa hanya terdapat 4 spesies vektor malaria, yaitu An. aconitus dau An. sundaicw merupakan vektor utama, sedangkan An. subpictu ciaa An. maculatus vektor sekunder. An. aconitus merupakan vektor di daerah pedalaman, yaitu di daerah persawahan, terutama yang sistem persawahannya bert*mgkat.An.sundaicus bertindak sebagai vektor di daerah sepanjang pantai dan tempat perkembakbiakannya hanya terbatas di air i daetah pantai, sedangkan An. payau. An. subpicrus juga berperan sebagai vektor d maculatus di daerah pegunungan. Di daerah Irian Jaya terdapat 3 spesies nyamuk yang &pat berperan sebagai veMor malaria yaitu An. farauti, An. koliensis dan An. punchrlalus. An. farauti banyak terdapat di daerah sekitar hutan bakau, sedangkan An. koliensis clan An. punctulatus banyak terdapat di daerah hutau sagu clan hutan berawa ( Lee et al. 1980). Lien et al. (1975) menyatakan bahwa spesies nyamuk yang tersangka &pat berperan sebagai vektor malaria di Tmor adalah An. subpicius, An. barbirostris. An. minimus, An. aconiius, An. sundaicus, An maculahcs dan An. annularis. Vektor malaria di Kalimantan adalah An. balabacensis dan An. nigerrimus, di Sulawesi An. Iudlowae dan An. barbirostris, di Sumatra An. sinensis dan An. nigerrimus (Bonne-Wepster clan Sweliengrebel 1953. Horsfall 1955). Menurut Van Peenen er al. (1975) yang berperan sebagai vektor malaria di Kalimantan adalah nyam* dari kelompok An. hyrcanus, An. subpictus dan An. kochi. Bila ditinjau dari penyebaran penyakit malaria di Indonesia, spesiesspesies nyamuk yang menjadi vektor malaria menurut DEPKES (1985) addah An. letifer vektor di Sumatera Utara d m Selatan, &dimantan Barat dan Tengah, An. farautrutr, An. koliensis. A n bancrofti. An. puncrulahts, velctor di Irian Jaya, An. flavirosh.is dan A n Zudlowae vektor d i Sulawesi Selatan, An. minimus vektor di Sulawesi Utara dan Tengah, An. balabacensis vektor di K a l i i t a n Selatan dan Kalimantan Timur. An. barbirostris merupakan vektor di ~ b Tenggara a Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, An.nigerrimu~:vektor di Surnatera Selatan dan Sulawesi Selatan, An. subpic- vektor di Bengkdu, NTT, Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara, Jawa Barat dan Jawa Timur, An. sundaicus vektor di Riau, Lampung, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI. Yogyakarta, An. maculatus vektor di Sumatera Utara dan Jawa Tengah, An. sinensis vektor di Jawa Timur dan An. aconifw vektor di Jawa Tengah. 5 Fauna nyamuk Anoplaeles di Indonesia. Nyamuk merupakan serangga kosmopolitan. Sampai saat ini dilaporkan terdapat 2960 spesies nyamuk yang ada di dunia temasuk di Indonesia. Di Indonesia telah ditemukan 457 spesies yang tergoIong dalam 18 genus, yang terdiri atas 80 spesies Anopheles, 82 spesies Culex, 125 spesies Aedes dan 8 spesies Mamonia. Sisanya sebagai anggota dari genus yang tidak penking dalam penularan penyakit. Di Kalirnantan sampai saat ini tercatat 162 spesies, 67,3% diantaranya tergolong dalam genus Aedes, Anopheles dan Cdex, sedangkan genus yang lain ditemukan dalarnjumlah sedikit (O'Comor clan Sopa 1981). Menurut Sundararaman et al. (1957) fauna nyamuk Anopheles di Jawa . Tengah terdapatl8 spesies, yakni ~iaconitus, An. barbirostris, An. hyrcanm var.X(venhuisi), An. kochi, A n maculatus, An. philippinensis, An. schufieri. An. subpicm malayemis, An. tesselaiur, An. annularis, An. ramsayi, An. bezai, An. hyrcanus sinemis, An. leucosphyrus, An. minimus flavirostris, An. subpictw subpictw, An. sundaicus dan An. vagus. Boewono (1999) meiaporkan fauna nyamuk Anopheles di Jawa Tengah ternyata sangat bervariasi spesies nyamuknya, bila dilihat dari setiap ketinggian atas permukaan laut. Dimana pada ketinggian 0 - 50 meter dari permukaan hut di kandang kerbau dan sapi pada malam bari ditemukan An. barbirostrir. An. aconifus. An. subpictus, An. vagus. Pa& ketinggian daerah 51 - 100 meter, di kandang sapi ditemukan An. subpictus. A n aconifus. An. flavirostris dan An. tessellates. Di kandang kerbau ditemukan An. nigerrimus. An. peditaeniatus, An. vagus, An. aconifus. An. subpictus. An. annularis. An. kochi. An. fravirostris. An. barbirosrris. An. mudatus. An. indefinitus dan An. tessellates. Pada ketinggian daerah 101 - 200 meter, di kandang kerbau ditemulcan An. nigerrimus, An. peditaeniatus. An. vagus. An. aconitus. An. subpictus. An. annularis. Pa& ketinggian daerah 301 - 400 meter di kandang kerbau pada malam hari diperoleh jenis An. nigerrimus. An. peditaeniatus. An. vagus. An. aconitq An. subpicfus d m An. annularis. 6 Hubungan antara nyamuk dan hewan. Spesies nyamuk yang tertarik untuk menggigit hewan disebut bersifiit zoofilik, sedangkan yang lebii tertarik pada orang disebut bersifat antropofili. Pada tahun 1932 di daerah Florida, nyamuk Psorophora confnis karena populasinya tinggi dalam waktu dua hari mengakibatkan kematian 80 sapi dan 67 babi. Kematian hewan-hewan temyata karena kehilangan darah, keletihan saraf akibat seldu mendapat gigitah dan mungkin oleh racun yang dikeiuarkan nyamuk sewalctu menggigit ( Harwood dan James 1979). Adanya petemakan di suatu daerah dapat memberi peluang krjangkitnya penyakit tertentu pada manusia, terutama penyakit zuonotik yang ditularkan oleh nyamuk. Tetapi adanya petemakan juga dapat menurunkan dan bahkan menghilangkan penyakit yang tidak bersifkt zoonotik pada manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Sebagai wntoh kasus malaria dapat dikurangi dengan cara memperbanyak jumlah hewan piaraan seperti sapi dan kerbau. Dengan bertambahnya jumlah hewan maka kesempatan vektor malaria untuk menggigit orang akan berkurang, karena mereka beralih kepada hewan. Den- cara ini derajat penularan dapat diperkecil. Kimowardoyo dan Supalm (1983) melaporkan keadaan kandang (sapilkerbau) merupakan fbktor utama yang mempengaruhi makin besarilcecilnya kontak An. aconitus dengan orang. Kandang di dalam dan tertutup menyebabkan kontak antara An. aconitus dengan orang mcnjadi besar. Kandang di luar m a h , terbuka dan terpusat di suatu lokasi merupakan keadaan yang paling membantu untuk pengendalian An. aconihrs. 7 Berbagai faktor yang mempengaruhi keberadaan nyamuk. Faktor-fbktor yang sangat berperan untuk merangsang nyamuk dalam proses aktivasi, orientasi serta perilaku hinggap pada hospes, adalah suhu, kelembaban, karbon dioksida, bau dan bennacam-rnacam faktor visual. 7.1 Respon terhadap Suhu. Perilaku nyamuk yang tertarik kepada obyek yang dipanaskan di atas suhu udara di laboratorium dan di lapangan, membuktikan bahwa suhu tubuh adalah faktor yang penting dalam penemuan hospes oleh nyamuk. Nyamuk memperlihatkan respon terhadap arus konveksi tetapi tidak menunjukkan kelakuan yang serupa terhadap radiasi. Arus konveksi memungkidam nyarnuk tersebut untuk menghadap hospes secara efektif pada jar& dekat (Brown 1951, Peterson dan Brown 195I). Orientasi Anopheles labranchiae atroparvus terhadap sumber panas ternyata ditentulcan oleh tingkatan suhu (Laarman 1955). Kesimpulan ini didukung oleh Smart dan Brown (1956) yang menyatakan bahwa M i t yang lebii hangat lebih menarik nyamuk dari pada M i t yang dingin. 7.2 Respon terhadap Kelembaban. Di &lam kandang olfaktometer yang besar, temyata uap air secara jeias mempengaruhi perilaku nyamuk, terbukti kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran udara hangat dengan kelembaban 80% sampai 90% daripada kelembaban 15% sampai 20% (Brown 1951). Namun di lapangan tidak ada bukti yang menunjukkan pentingnya tingkat kelernbaban bagi orientasi kepada hospes (Clements 1963). Pengaruh uap air agak nyata pada proses hinggap. 7.3 Respon terhadap Karbon Dioksida. Menurut Willis (1947) karbon dioksida diekresikan oleh manusia melalui saiuran pernafasan d m dalam jumiah kecil melalui kulit. Jumlah karbon dioksida yang lewat melalui seiunth permukaan kulit manusia adalah 7,5 sampai 9 gram selama 24 jam. Jumlah ini hanya kira-kira 1,5 % dari kuantitas yang diekresikan melaiui paru-paru, sehingga karbon dioksida dari paru-paru mempakan stimulus yang lebih penting. Pengaruh ernisi karbon dioksida terhadap proses hinggap Aedes telah dibuktikan oleh Brown (1951) dengan menggunakan sebuah robot. Dari kepala robot dipancarkan dua liter campuran udara dan karbon dioksida (perbandingan 9 : 1) tiap menit, &ngan karbon dioksida yang keluar sesuai dengan ekshdasi manusia nonnal yaitu 200 cc tiap menit. Dibandingkan dengan robot yang tidak memancarkan karbon dioksida, maka robot yang memancarkan gas tersebut mampu menarik 30 sampai 60 % nyamuk hinggap lebii banyak. Jika pada kepda robot dipancarkan 100 % karbon dioksida dengan volume dua liter tiap menit, . nyamuk yang tertarik dua kali lebii banyak daripada robot yang tidak memancarkan karbon dioksida. Bila robot hanya mernancarkan 10 % karbon dioksida, pada kecepatan yang sama, ternyata nyamuk yang tertarik lebih 60%. Pa& penelitian itu, kecepatan hiiggap pa& kepala robot agak lebii nyata daripada tubuh robot. Dari hasil penelitian para peneliti itu maka &pat dianggap bahwa karbon dioksida akan mempengaruhi nyamuk pa& proses aktivasi, orientasi dan hinggap pada hospes. 7.4 Respon Terhadap Bau. Laarman (1955) membuktikan respon nyamuk terhadap bau yang terpancar dari hospes dengan memakai olfaktometer. Keliici yang dialiri udara dilepaskan ke dalam kandang nyamuk pada tempera* tersebut dihilangkan *or kamar. Dalam aliran udara panas, kelernbaban, serta karbon dioksida. Anopheles labranchiae atroparvus akan memberi respon terhadap a l i i udara tersebut dengan melayang-layang atau Kinggap pada lubang masuk aliran udara. Jadi bau mempakan sebagian faktor penting yang menarik nyamuk datang ke hospes. Beberapa komponen diduga dapat menimbulkan bau Keringat, darah dan urine, telah diteliti kemungkinannya sebagai sumber bau. Brown dan Carmichael (1961) berpendapat bahwa bau tub& itu merupakan fkktor .yangpenting pada seleksi hospes. Bau menjadi dasar pemilihan hospes datang juga terjadi galur antropofili clan wofilik pada spesies yang sama. Penyebabnya adalab asam amino yang dieluarkau oleh tubuh, yang bedasarkan penelitian mereka lisin dan alanin yang sangat berperan. Komposisi keringat yang berasal dari kelenjar akrin terdiri atas natriurn ktorida, urea, amonia, asam laktat dan asam amino. Sedang keringat yang keluar dari kelenjar apokrin berisi protein, karbohidrat clan amonia (Weiner dan Hellman 1960). Komposisi sebum menurut Thompson dan Brown (1955) adalah campuran lipid dan masih sedikit keterangan apakah kornponen-komponen pada sebum &pat menarik nyamuk. Asam-asam menguap yang dikeluarkan oleh kelenjar sebaseus mempunyai pengaruh sedikit penolak. Tetapi kolesterol yang mempakan unsur utama sebum mampu menarik nyamuk (Clements 1963). Strauss et al. (1968) berpendapat bahwa tidak ada stimulus yang menarik nyarnuk betina dari suatu jarak yang febih kuat daripada kulit manusia atau kulit hewan. Faktor bau yang keluar dari kulitlah yang secara prinsip menuntun nyarnuk betina kepada hospes pada suatu jarak. Menurut Bell et a[. (1972) keringat manusia berasal dari kelenjar akrin dan kelenjar apokrin. Kelenjar akrin terdapat pa& kulit yang tebal dan menghasilkm keringat yang sedikit berbau, sedang kelenjar apokrin terdapat misalnya pada ketiak dan daerah pubis, menghasilkan kerhgat yang tidak berbau apabila masih segar, tetapi akan berbau setelah terjadi dekomposisi oteh bakteri kulit. Selain kedua kelenjar tersebut, pa& dermis juga terdapat kelenjar sebaseus yang mengeluarkan sebum. 7.5 on terhadap Faktor VisuaI Faktor-faMor visual yang dapat mempengaruhi nyamuk dalarn proses perilaku pemilihan hospes, adalah faktor gerakan hospes, warna, reflektivitasnya clan kontur dari tubuh hospes. GjuHin (1947) telah meneliti pengaruh warna pakaian terhadap kecepatan menyerang beberapa spesies Aedes. Spesies nyarnuk tersebut ternyata memilih warna-warna tertentu. Penyerangan nyamuk dapat berkurang sangat besar terhadap warna pakaian yang tidak menarik, seperti putih dan kuning di lokasi spesies nyamuk terdapat. Pemilihan warna oleh nyamuk itu terbatas pada kisaran tertentu pada refleksi spektrum. Pigmentasi kelihatannya juga mempengaruhi respon nyamuk. Smart dan Brown (1956) membandingkan warna kulit tangan orang Kaukasia, orang Negro serta orang Timur. Tangan orang Negro lebii menarik daripada orang Tiur, clan keduanya lebih menarik daripada orang Kaukasia. Sedangkan di antara orang Kaukasia, tangan dengan kulit gelap lebii menarik daripada yang berkulit terang. Daya tarik warna-wama tertentu terhadap nyamuk dihubungkan kepada reflektivitas warna itu sendiri. Brown (1951) menemukan bahwa pakaian dengan intensitas refleksi cahaya yang lebii rendah temyata lebih menarik daripada yang mempunyai intensitas refleksi cahaya lebih besar. Penemuan ini didukung ofeh Brown (1954) yang menyimpulkan bahwa daya tarik pakaian berbanding terbalik den,- reflektivitasnya atau kecemerlangan wama pakaian. Sippell dan Brown (1953) meneliti pengaruh pergerakan hospes terhadap nyamuk. Jika hospes dalam keadaan diam maka faktor udara lebih penting daripada fhktor visual. Tetapi apabila hospes seldu bergerak maka sebaliknya -or visual yang lebih berperan. Sippell dan Brown (1953) rnendapatkan bahwa Aedes aegypti betina dewasa sangat tertarik dengan warna hitam. Pada penelitian ini mereka menggumkan suatu benda berbentuk kubus yang dicat dengan garis hitarn dan putih s e a m berselang-seliig, ternyata daya tariknya bertambah sesuai bertambahnya proporsi hitam terhadap putih. 8 Pengambilan Contoh Populasi Nyamuk Dewasa. Pernakaian hospes dan perangkap untuk menangkap serangga biasa dilakukan oleh para emtomologiwan kesehatan dan entomologiwan veteriner. 8.1 Umpan Manusia. Menurut Service (1976) pemakaian umpan manusia dilakukan untuk berbagai macam keperluan, antara lain meliputi perkiraan angka menggigit dan angka infeksi, penilaian efektivitas operasi kontrol serta mengikuti pembahan sementara pada populasi serangga. Untuk tujuan mempelajari ha1 perubahan musiman dari populasi, maka ukuran daya tarik manusia sebagai umpan harm tidak berubab selama periode penarikan contoh. 8.2 Umpan hewan. Menurut Gillies (1974) pa& pemakaian hewan besar sebagai umpan, maka hewan dapat di masukkan ke &lam perangkap atau dibiarkan saja. Pada semua perangkap terdapat kecenderungan menghasilkan penarikan contoh populasi yang berbeda satu dengan lainnya. Oieh karena itu pemakaian hewan sebagai umpan terutama dipilih untuk mengikuti perubahan kepadatan musiman, studi seleksi hospes dan untuk memperoleh material guna isolasi arbovirus. 8.3 Cahaya sebagai penarik Menurut Service (1976) pemakaian cahaya sebagai penarik pada perangkap, lebih artifisial daripada pemakaian hospes penarik lainnya. Respon nyamuk terhadap cahaya pada permulaan menunjukkan fototaksis positif, kemudian pa& jar& tertentu tergantung intensitas cahaya pada perangkap akan menunjukkan fototaksis negatif. Jarak sumber cahaya yang &pat mempengaruhi nyamuk tersebut bervariasi tergantuug kepada beberapa faktor yang meliputi rancangan perangkap, kualitas cahaya serta jenis nyamuk yang bersangkutan. 8.4 Suara. Wishart et nl. (1962) dengan pendekatan elektrofisiologi mempelaj& kelakuan orientasi Aedes aegvpti jantan ke arah suara. Mereka berpendapat bahwa nyamuk yang menuju ke arah suara mungkin disebabkan oleh dirasakannya adanya peningkatan tekanan suara.