Harga Pangan Sulit Bisa Turun Kembali

advertisement
Harga Pangan Sulit
Bisa Turun Kembali
Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Kebijakan Publik
Kamis, 13 Maret 2008
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus jujur dan berani menyatakan bahwa harga
kebutuhan pokok pangan sulit bisa turun kembali ke posisi semula. Pernyataan demikian
perlu dikemukakan agar masyarakat bisa lebih siap dan realistis menghadapi kenyataan,
meski kondisi harga kebutuhan pokok saat ini sudah membuat mereka limbung.
Demikian rangkuman pendapat pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy,
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga S Uno, dan
ekonom Tim Indonesia Bangkit Binni Buchori dikemukakan secara terpisah kepada
Suara Karya di Jakarta, kemarin.
Menurut Ichsanuddin Noorsy, pemerintah terbukti gagal mengatasi keserakahan
mekanisme pasar yang membuat harga komoditas pangan terus naik. Dalam kaitan
ini, kebijakan paket stabilisasi harga pangan terbukti mandul.
Kenyataan itu sekaligus menandakan bahwa era pangan murah di Indonesia telah
lewat. Karena itu, pemerintah harus jujur dan berani menyatakan bahwa harga
kebutuhan pokok pangan sulit bisa turun kembali ke posisi semula.
"Ini bukti kegagalan pemerintah dalam mengemban amanat UUD 1945 ayat 27.
Untuk merealisasikan kehidupan masyarakat yang berkelayakan, pemerintah
mestinya mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok di tingkat yang terjangkau,"
kata Ichsanuddin.
Menurut dia, penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk (BM)
komoditas strategis dalam paket kebijakan stabilisasi harga pangan menandakan
bahwa pemerintah justru melakukan liberalisasi pangan. Ini karena istilah
mengurangi hambatan dalam tata niaga impor tidak menyelesaikan persoalan
tingginya harga komoditas pangan di pasar dalam negeri.
Ichsanuddin juga menunjuk RAPBNP 2008 dan nota keuangan pemerintah yang
semakin membuktikan terjadinya proses liberalisasi. Tak pelak lagi, daya beli
masyarakat pun kian merosot. Seiring dengan itu, angka kemiskinan juga semakin
meningkat.
Menurut Ichsanuddin, target inflasi yang dicanangkan pemerintah juga sulit tercapai.
Ini karena target itu lebih merupakan keputusan politik ekonomi yang memberi
angin terhadap keserakahan pasar. "Jadi, target itu tidak mampu dicapai. Artinya,
pasar domestik tidak bisa terkendali. Yang diuntungkan hanya pedagang. Lalu, kalau
ketergantungan terhadap barang impor sudah demikian besar, maka Indonesia tidak
diuntungkan sama sekali," katanya.
Sementara itu, Sandiaga S Uno mengatakan, pemerintah dan masyarakat
tampaknya harus bisa menerima kenyataan bahwa harga komoditas pangan tidak
akan pernah turun lagi. Untuk itu, perlu dirumuskan antisipasi agar dampak negatif
di masyarakat bisa dikurangi.
"Tidak ada lagi harga pangan yang murah di dunia ini. Ini akibat permintaan terus
meningkat, sementara produksi pertanian (pangan) tidak mampu mengimbangi,"
kata Sandiaga.
Menurut dia, pemerintah harus bisa mengangkat daya beli masyarakat yang saat ini
terus tertekan gejolak harga minyak dunia dan komoditas pangan. Untuk itu,
pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang benar-benar kondusif di sektor
industri, perdagangan, pertanian, dan usaha kerakyatan. Dengan demikian,
lapangan kerja bisa banyak tercipta.
"Kalau pemerintah tidak bisa mendorong peningkatan daya beli masyarakat, tak ada
pilihan lain kecuali subsidi pangan harus lebih ditingkatkan. Tapi ini kan kurang sehat
untuk kepentingan kita ke depan," tutur Sandiaga.
Dalam pandangan Binni Buchori, pemerintah harus melakukan intervensi pasar
untuk menekan harga kebutuhan pokok yang sekarang terus bergejolak. Ini bisa
dilakukan melalui pengendalian yang terarah sehingga rakyat miskin dan petani bisa
memenuhi kebutuhan pokok.
"Sekarang harga kebutuhan pokok sudah tidak menentu. Tak usah turun, bisa
bertahan saja sudah bagus. Faktanya sekarang, harga kebutuhan pokok tidak
terjangkau lagi oleh rakyat kebanyakan. Tidak jelas sampai kapan persoalan ini akan
berlangsung," kata Binni.
Dia menekankan, pemerintah tak bisa membiarkan pasar menggilas rakyat. Tapi
setelah kran pasar bebas dibuka lebar-lebar, pemerintah lupa bahwa pasar amat
menekan rakyat. "Sebab itu, pemerintah harus melakukan intervensi untuk menahan
laju kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga terjangkau oleh masyarakat
kebanyakan. Harus ada langkah-langkah tepat untuk itu," ujarnya.
Binni menyebut peran Perum Bulog dalam pengendalian harga patut diberdayakan
secara optimal. Bahkan, selain Bulog sebenarnya diperlukan badan pengendalian
harga yang benar-benar efektif sehingga harga komoditas pangan tidak "liar" seperti
sekarang.
"Harga terus merembet naik dari satu komoditas ke komoditas lain. Yang sangat
disesalkan, pemerintah selalu datang terlambat. Setelah muncul teriakan rakyat,
pemerintah baru mengambil tindakan. Selain mengesankan reaksioner, pemerintah
juga tidak punya rencana matang dalam setiap kebijakan yang diambil," ujarnya.
Binni lantas mencontohkan ketika harga kedelai naik. Pemerintah baru mengambil
kebijakan setelah munculnya protes ribuan pengrajin tempe yang menolak kenaikan
harga kedelai. (Abdul Choir/Andrian/Indra)
Download