Definisi Definisi Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson. Etiologi Steven johnson syndrome disebabkan oleh: 1. obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif) • Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). - Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu ERUPSI ALERGI OBAT Etiologi Steven johnson syndrome disebabkan oleh: 2. Infeksi (virus,bakteri,jamur dan parasit) 3. Makanan (coklat) 4. Fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar x) 5. Lain-lain (keganasan, dll) Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya SSJ adalah: 1. Jenis kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Kemungkinan ini berkaitan dengan faktor hormonal. Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya SSJ adalah: 2. Sistem imunitas Erupsi alergi obat akibat SSJ lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal. Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya SSJ adalah: 3. Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat. Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya SSJ adalah: 4. Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya SSJ adalah: 5. Infeksi dan keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita SSJ berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat. Daftar pustaka 1. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142 3. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf 4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp 6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht Epidemiologi Definisi Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mngenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum dari ringan sampai berat. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Epidemiologi SSJ merupakan reaksi hipersensitivitas kompleks imun pada mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan dan sedikit oleh infeksi. Insiden SSJ diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Sertikat. Sedangkan di bagian kulit RSCM tiap tahun kira-kira terdapat 12 pasien Epidemiologi Untuk kasus overlap SSJ merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat. Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim dingin. Umumnya terdapat pada dewasa dan lebih sering mengenai wanita dengan perbandingan 0,6. REAKSI HIPERSENSITIVITAS Reaksi Anafilaksis (Reaksi Hipersensitivitas Tipe I) Reaksi Sitotoksik (Reaksi Hipersensitivitas Tipe II) Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Reaksi Tipe Lambat (Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV) Reaksi Anafilaksis (Reaksi Hipersensitivitas Tipe I) Reaksi sangat cepat Antigen-antibodi pada permukaan sel mast dan sel basofil Manusia diperantarai Imunoglobulin E pada hewan Imunoglobulin G Shock anafilaktik, yaitu: Emfisema pada paru-paru akibat konstriksi bronkhiolus Edema pada jaringan Kongesti pada alat-alat tubuh Reaksi Anafilaksis (Reaksi Hipersensitivitas Tipe I) Tiga faktor penting patogenesis anafilaktik yaitu reaksi antigen antibodi menyebabkan histamin keluar dari sel: Histamin ini diantaranya menyebabkan dinding kapiler menjadi permeabel hingga terjadi edema Kompleks antigen antibodi yang terjadi mengendap dan dapat menyumbat kapiler Kompleks antigen antibodi yang terjadi pada saat terdapatnya kelebihan antigen akan bersifat toksik Reaksi Anafilaksis (Reaksi Hipersensitivitas Tipe I) Respon awal tubuh terhadap hipersensitivitas tipe I adalah : Vasodilatasi Pembuluh darah bocor Kontraksi otot polos 5-30 menit setelah kontak dengan antigen (allergen), dan cenderung menghilang setelah 60 menit Reaksi Sitotoksik (Reaksi Hipersensitivitas Tipe II) Sumber antigen homolog atau autolog Antigen sasaran berupa komponen membran normal atau telah berubah (sifat intrinsik) Reaksi Sitotoksik (Reaksi Hipersensitivitas Tipe II) Complement mediated cytotoxic, antibody bereaksi dengan antigen lalu menjadi fiksasi komplemen lalu lisis. Sel yang dilapisi antibodi lebih mudah difagosit Good pasture syndrome; Reaksi transfusi, eritrosit donor tidak sesuai diselubungi antibodi diresipient, antibodi ditujukan untuk antigen inkompabilitas rhesus antibodi dibentuk terhadap elemen darahnya sendiri Reaksi Sitotoksik (Reaksi Hipersensitivitas Tipe II) ADCC, mempunyai FCR dari Immunoglobulin sehingga bisa melisis sel yang diselubungi, lisis membutuhkan kontak dan energi, terdapat sel netrofil, eosinofil, makrofag dan NK Antibody-mediated cellular dysfunction, contoh penyakitnya adalah myastenia gravis, grave’s disease (hipertiroidisme), thirotoksikosis ADCC = Antibody Depend on Cytotoxic Cell (sitotoksisitas diperantarai sel yang bergantung antibodi) FcR = Fc Reseptor Sel NK = sel Null Killer Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Fase I: antibody bereaksi dengan antigen di sirkulasi sehingga terbentuk antigen antibodi kompleks. Akan dibersihkan oleh MPS Besar kompleks imun Ukuran besar: dibersihkan sel fagosit sehingga tidak berbahaya, Ukuran medium: berbahaya, berada di sirkulasi lebih lama, berikat kurang kuat dengan sel fagosit Ukuran kecil: dikeluarkan melalui urin Jumlah kompleks imun Sangat banyak melebihi kapasitas sistem fagosit untuk membersihkan Disfungsi intrinsik sistem fagosit terdapat di sirkulasi lebih lama dan kemungkinan dideposisi di jaringan lebih besar Kerusakan tidak timbul apabila kompleks imun tetap dalam sirkulasi Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Fase II: keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam berbagai jaringan tubuh Peningkatan permeabilitas vaskuler oleh imunoglobulin E mediator setelah antigen diberikan Miniatur reaksi tipe I akibat lepasnya histamin dan PAF Deposisi di ginjal, sendi, kulit, jantung, pemserosa dan dinding pembuluh darah kecil PAF : Platelet Aktivasi Factor Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Fase III: kompleks imun dideposisi di jaringan merangsang radang akut Setelah 10 hari diberikan antigen menjadi demam, urtikaria, arthalgia, pembesaran KGB dan proteinuria Paling penting pada patogenesis kerusakan jaringan ○ Fiksasi komplemen oleh kompleks imun aktifasi komplemen dilepas fragmen biologik aktif, terutama anafilatoksin C3a dan C5a Peningkatan permeabilitas pembuluh darah Faktor hemotaksis untuk lekosit netrofil Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Fagositosis kompleks imun oleh leukosit akan menyebabkan dilepaskan enzim lisosom netral Hanya Antibody (IgM dan IgG) yang berperan pada reaksi tipe III Peranan komplemen, dimana menurunnya kadar komplemen serum ternyata menurun beratnya kerusakan, tidak ada netrofil Konsumsi komplemen selama fase aktif akan menimbulkan menurunnya kadar komplemen di dalam serum Reaksi Kompleks Imun (Reaksi Hipersensitivitas Tipe III) Kerusakan morfologik: Bila terdapat kontak berulang dengan suatu antigen akan timbul SLE Acute necrotizing vasculitis, pembentukan trombus mikro, nekrosis sistemik, dan radang akut Fibrinoid necrosis, dinding pembuluh darah menjadi eosinofilik dan kotor, imunofuoresense. Local imun compleks disease (arthus reaction) adalah necrosis jaringan lokal akibat acute imune complex vasculitis SLE = Systemic Lupus Eritematosus Reaksi Arthus: suatu necrosis jairngan yang terlokalisir pada suatu tempat yang disebakban oleh vaskulitis kompleks akut Reaksi Tipe Lambat (Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV) Kontak sel T (disensitisasi) dengan kompleks antigen molekul HMC, initiator sel T CD. Mensekresikan sitokin yang menarik sel-sel lain ke tempat tersebut. Efektor sel makrofag Reaksi mantoux (tes tuberkulin) individu telah disentisisasi terhadap basil TBC akibat infeksi. Setelah uji tuberkulin intrakutan, timbul daerah eritema, indurasi 6-12 jam, puncak (1-2 cm dalam 2-7 hari lalu perlahan menghilang Reaksi Tipe Lambat (Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV) Pemeriksaan histologis Emigrasi limfosit dan monosit dalam pembuluh darah vena dermis timbul perivaskuler cuffing Gap antar endotel, meningkatkan permeabilitas vascular, kebocoran protein plasma, edema dermis, deposisi fibrin Lesi yang telah sempurna, venule dikelilingi limfosit (cuffing) hipertrofi endotel lalu hiperplasia (pada beberapa kasus) Bila antigen menetap atau tidak dihancurkan. Maka infiltrasi perivaskular diganti makrofag selama 2-3 minggu. Makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan dikelilingi limfosit granuloma. Ciri khasnya adalah radang granulomatosa Referensi: Patologi I: Robbins L Kumar, Edisi 4. Pendahuluan Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan. Farmakokinetik Metabolisme Obat Immunologis Non Immunologis Imunologis Reaksi imun Mekanisme Klinis Waktu reaksi Tipe I (diperantarai IgE) Kompleks IgE-obat berikatan dengan sel mast melepaskan histamin dan mediator lain Urtikaria, angioedema, bronkospasme, muntah, diare, anafilaksis Menit sampai jam setelah paparan Tipe II (sitotoksik) Antibodi IgM atau IgG spesifik terhadap sel hapten-obat Anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia Variasi Tipe III (kompleks imun) Serum sickness, Deposit jaringan dari demam, ruam, kompleks antibodi-obat artralgia, dengan limfadenopati, vaskuli aktivasi komplemen tis, urtikaria 1-3 minggu setelah paparan Tipe IV (lambat, diperantarai oleh selular) Presentasi molekul obat oleh MHC kepada sel T dengan pelepasan sitokin 2-7 hari setelah paparan Dermatitis kontak alergi Non - Imunologis ESO Proses Detoksivikasi Lambat Efek Toksik Meningkat KULIT Sistemik ANAMNESIS Keluhan utama Onset Lokasi Kualitas apa? Kuantitas Memperingan Memperberat Keluhan lain : Bercak merah & lepuh : 5 hari : Generalisata : Bercak merah seperti : lesi banyak atau tidak? : ?? : mengonsumsi panadol : sariawan, mata berair PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran : komposmentis Tek. Darah mmHg Frek.Nadi : 120/80 Edema & Eritema palpebra Edema, erosi, krusta pada mukosa bibir Makula eritema pada paha dektra – sinistra Bula ditemukan pada EFLORESENSI sebagian tubuh : 80x/menit TANDA Suhu tubuh VITAL : 38oC PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi Pemeriksaan darah tepi Uji resistensi Kadar elektrolit TES SEROLOGI Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar PEMERIKSAAN DARAH TEPI Prinsip pemeriksaan sediaan apus ini adalah dengan meneteskan darah lalu dipaparkan di atas objek glass,kemudian dilakukan pengecatan dan diperiksa dibawah mikroskop. Guna pemeriksaan apusan darah: 1. Evaluasi morfologi dari sel darah tepi (eritrosit,trombosit,dan leukosit) 2. Memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit 3. Identifikasi parasit UJI RESISTENSI Uji resistensi merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap suatu antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebih atau tidak terkendali menyebabkan efek samping yang berbahaya, yang menyebabkan bakter-bakteri tertentu resisten (tahan) terhadap antibiotik. Ketahanan bakteri akan dilihat berdasarkan daerah hambat yang terbentuk disekitar tablet antibiotik. KADAR ELEKTROLIT Pemeriksaan elektrolit darah pada dasarnya merupakan pemeriksaan kadar kandungan garam dan mineral dalam darah, seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida. Fungsi pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui adanya gangguan pada salah satu organ tubuh, seperti ginjal dan jantung, tulang Nekrolisis Epidermal Toksik Eritema Multiforme Sindrom Steven Johnson (SSJ) Eritema Multiforme (EM) Nekrolosis Epidermal Toksik (NET) Lesi •EM dengan lebih banyak keterlibatan membran mukosa dan orofaring •Lesi atipikal bercak sirkuler kemerahan dengan ungu gelap ditengahnya •Demam •Lepasnya epidermal < 10 % •Makula papula dengan vesikel ditengahnya •Bilateral dan simetris •EM Minor :tanpa keterlibatan mukosa, bula ataupun gejala sistemik •EM Mayor : keterlibatan mukosa, bula dan gejala sistemik •Kecacatan membran mukosa yang berat •Eritem menyebar kemudian nekrosis dan lepuhnya epidemis >30% •Lesi atipikal : sekitar 50% tidak ada lesi target Lokasi •Keseluruhan dengan keterlibatan muka dan badan lebih banyak •Telapak tangan dan kaki sebagian •Membran mukosa (oral, genital, konjungtiva) •Ekstremita dengan muka > badan •Telapak tangan dan kaki •Keseluruhan •Kuku juga bisa Organ Jaringan parut, jaringan lain/ parut dikornea, kebutaan komplika si Ulkus kornea, keratitis, lesi di trakea, lesi di faring Nekrosis tubuler dan gagal ginjal akut , erosi epitel trakea, bronkus dan saluran pencernaan Sindrom Steven Johnson (SSJ) Eritema Multiforme (EM) Nekrolosis Epidermal Toksik (NET) Gejala tambahan Prodormal 1-3 hari yang mengawali erupsi dengan adanya demam dan gejala-gejala flu Demam, lemas, lesu Demam tinggi Etiologi •50% terdapat hubungan dengan obat-obatan •Terjadi hingga 1-3 minggu setelah paparan obat dengan onset cepat •Obat-obatan (sulfonamide, antikulvusan, penisillin, allopurinorol) •Infeksi ( herpes dan mikroplasma) •Idiopatik -50% •80% karna obatobatan •< 5% dikarenakan infeksi virus, imunisasi Patologi •Sel sitotoksik Infiltrat PMN atau menyerang sel perivaskular , edema patofisiologi epidermis dari dermis bagian atas. •Tidak ada infilrat dermis •Nekrosis dan pelepasan epidermis diatas membran basalis Sama seperti SSJ Prognosi s Sindrom Steven Johnson (SSJ) Eritema Multiforme (EM) Nekrolosis Epidermal Toksik (NET) •Mortalitas : <5% •Pertumbuhan kembali jaringan epidermis selama 3 mingu Lesi selama 2 minggu Kematian pada 50% kasus oleh karna kehilangan cairan dan infeksi sekunder Keadaan Gawat Darurat Diberi oksigen 2. Menilai vital sign 3. Pemberian Infus 4. Dirawat (perawatan intensif) 1. Perawatan Intensif • Lakukan perawatan • Infus • Obat melalui infus • Jika susah makan, gunakan NGT • Ambil darah untuk melihat derajat infeksi Jangan lupa untuk memonitoring dan observasi ketat terhadap pasien Medikamentosa 1. • 2. • • • Vital sign baik, lesi tidak menyeluruh Prednison 30 – 40mg/hari Vital sign buruk, lesi menyeluruh Cepat dan Tepat Rawat Inap Kortikosteroid Deksametason secara Intravena Dosis • Permulaan 4-6 x 5mg/hari Contoh Kasus : • Pasien SJS berat, rawat inap segera • Deksametason 6 x 5mg iv (2-3 hari) (krisis teratasi, keadaan membaik, tidak timbul lesi baru) • Dosis diturunkan secara cepat. Setiap hari turunkan 5mg Setelah dosis mencapai 5mg/hari. Ganti dengan tablet kortikosteroid (ex.prednison, esok harinya. 20mg/hari) Satu hari kemudian. Diturunkan 10mg/hari. Stop obat Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan kematian,dapat diberi antibiotik yang jarang menyebab kan alergi, berspektrom luas dan bersifat sakteriosida lmisalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg Infus dan Transfusi Darah • Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapatmenelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. • Untuk itu dapat diberikaninfus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari,maka dapat diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasusyang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik • • Tropikal Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak Komplikasi Oftalmologi Gastroenterologi Genitourinari Pulmonari Komplikasi Kutaneus Infeksi Sistemik Kehilangan Cairan Tubuh Oftalmologi Ulserasi kornea, uveitis anterior, panoftalmitis, kebutaan Komplikasi ocular biasanya terjadi secara akut Oftalmologi * Gastroenterologi Esophageal strictures * Urinaria Nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal * Pulmonari Pneumonia * Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder. * Infeksi sitemik, sepsis, kehilangan cairan tubuh, shock kematian Prognosis SJS adalah reaksi yang gawat 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS Bila tidak diobati dengan baik Kematian Thank You Prognosis angka ini dapat dikurangi!!! pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat