Jurnal Material dan Energi Indonesia

advertisement
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya
Sabtu, 21 November 2015
Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor
KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN
KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT
KHOLIDAH1.*, R. KESUMANINGRUM2, J.A. UTAMA1
1
Departemen Pendidikan Fisika, UPI
Jl. Dr. Setiabudhi No. 299, Bandung 40154
2
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jl. Dr. Djundjunan No 133, Bandung 40173
Abstrak. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomena penting dalam sistem cuaca
antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Hasil identifikasi dan
analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks disturbance storm time < 100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 %
disebabkan oleh coronal mass ejection yang umumnya merupakan coronal mass ejection tipe
halo dan sebesar 92,4 % coronal mass ejection ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas
daerah aktif. Pada penelitian ini, dilakukan analisis tentang keterkaitan luas daerah aktif dan
konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet. Hasil
analisis menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks
disturbance storm time < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak
dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 %. Semakin luas
daerah aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Meskipun demikian,
daerah aktif yang lebih luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang lebih kompleks
dapat menghasilkan intensitas badai yang lebih besar dibandingkan daerah aktif yang samasama luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang sederhana.
Kata kunci : Badai Geomagnet, Indeks Disturbance Storm Time, Konfigurasi Medan
Magnet Daerah Aktif, Luas Daerah Aktif
Abstract. The geomagnetic storm is one of the important phenomena in space weather
system because it is the impact of the Sun-Earth relationship. By identificating and analysis
the characteristics of geomagnetic storms with disturbance storm time index indicator <-100
nT throughout the 23rd and the 24th cycle of the Sun, it is obtained 104 events which
approximately 75.9% are due to the halo type - coronal mass ejection and 92.4% of coronal
mass ejection are triggered by flares occurred over the active regions. In this study, we
analyze the linkage of the active region’s area and the magnetic field configuration on the
Sun with geomagnetic storm events. The result shows that the frequency of occurrence of
geomagnetic storms with disturbance storm time index <-100 nT throughout the 23rd and
24th cycle of the Sun are mostly produced by active region with narrow coverage is equal to
51.7%. The larger active region’s coverage does not show the higher intensity value.
Nevertheless, the wider active region with a more complex magnetic field configuration
could product a higher intensity of the storms than the active region which is equally as wide,
but with the simple configuration of the magnetic field.
Keywords : Geomagnetic Storm, , Disturbance Storm Time Index, Active Region’s
Magnetic Fiels Configuration, Active Region ‘s Area
*
email : [email protected]
FL-9
FL- 10
Kholidah dkk
1. Pendahuluan
Kondisi di Matahari mengalami perubahan yang periodik dengan rata-rata
perubahan sekitar 11 tahun atau dikenal dengan siklus 11 tahun. Saat puncak
siklus, aktivitas Matahari mencapai maksimum dan banyak bermunculan
fenomena daerah aktif seperti bintik Matahari, CME, dan flare yang dapat menjadi
penyebab perubahan cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan kondisi di
Matahari dan di ruang antarplanet / magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang
dapat mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, sistem satelit,
penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS (Global Positioning System), bahkan
dapat mempengaruhi keadaan iklim di Bumi [1].
Salah satu fenomena terpenting dalam sistem cuaca antariksa yaitu kejadian badai
geomagnet. Badai geomagnet merupakan gangguan pada magnetosfer Bumi yang
diakibatkan oleh lontaran partikel-partikel yang berasal dari Matahari dan medan
magnet Matahari yang dibawa oleh angin Matahari yang mengarah ke selatan
Bumi sehingga dapat memicu terjadinya rekoneksi yang membuat melemahnya
medan magnet Bumi. Kecepatan angin Matahari dapat lebih tinggi dari biasanya
setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari [2].
Lubang korona (Coronal Holes) muncul sebagai daerah gelap di korona Matahari
yang berkaitan dengan garis medan magnet yang terbuka. Lubang korona dapat
menjadi sumber angin Matahari berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan
terjadinya CIR (Corotating Interaction Region) yang dapat mempercepat partikel
dan menimbulkan terjadinya badai geomagnet.
Coronal Mass Ejection (CME) merupakan material berupa plasma yang
dilepaskan di korona Matahari. Saat terjadi CME, sekitar 2 × 1011 kg s.d 4 × 1013
kg materi korona terlontar ke angkasa dengan energi sebesar 1022 Joule s.d 6 ×
1024 Joule dan kecepatan yang bervariasi berkisar 400 km/s s.d 2500 km/s yang
bersesuaian dengan waktu tiba di Bumi sekitar 1 hari s.d 4 hari [3]. CME
penyebab terjadinya badai geomagnet biasanya terlihat sebagai CME Halo [4]
yang dapat terjadi akibat adanya flare atau erupsi filamen.
Flare merupakan suatu ledakan di Matahari yang melontarkan partikel berenergi
tinggi yang disebabkan oleh peristiwa rekoneksi magnet (magnetic reconnection)
[5]. Rekoneksi magnet adalah penyusunan kembali garis-garis gaya magnet ketika
dua medan magnet berlawanan arah dibawa bersama-sama. Flare biasanya terjadi
di daerah aktif Matahari dalam grup bintik Matahari besar terutama yang memiliki
medan magnetik kompleks. Dengan menggunakan pengamatan Geostationary
Operational Environmental Satelite (GOES) flare diklasifikasikan berdasarkan
intensitas sinar-X menjadi 4 kelas yaitu flare kelas B (I < 10-3 ergs cm-2s-1), kelas
C (10-3
ergs cm-2s-1), kelas M (10-2
cm-2s-1), dan
-2 -1
kelas X(
ergs cm s ) [6].
Pada saat terjadi CME atau flare, partikel-partikel bermuatan dan medan magnet
terlontar dari permukaan Matahari yang kemudian dibawa oleh angin Matahari
melewati ruang antarplanet sehingga menumbuk magnetosfer, yang dikenal
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
FL- 11
dengan istilah Interplanetary Shock (IPS). Pada saat terjadi IPS, energi dan
momentum dari angin Matahari dapat masuk ke dalam magnetosfer Bumi dan saat
mengarah ke selatan, maka dapat menimbulkan terjadinya badai geomagnet.
Aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME maupun flare
biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Daerah aktif di Matahari
mengalami perubahan dari segi ukuran maupun konfigurasi medan magnetnya.
Konfigurasi medan magnet bintik Matahari penting dalam menentukan potensi
perubahan daerah aktif tertentu. Jika konfigurasi medan magnet meningkat, maka
kemampuan daerah aktif untuk menghasilkan kejadian energetik yang besar juga
akan meningkat.
Pada penelitian ini, akan dilakukan analisis tentang keterkaitan daerah aktif di
Matahari dengan kejadian badai geomagnet sepanjang siklus Matahari ke-23
(1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014). Indikator yang
digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu indeks Dst yang
dibatasi dengan nilai lebih kecil dari -100 nT. Indeks Dst merupakan suatu indeks
yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen H (arah utara-selatan
geomagnet). Saat terjadi badai geomagnet, indikasinya adalah penurunan atau
pelemahan kuat medan magnet yang mengarah ke utara. Semakin negatif harga
Dst mengindikasikan semakin kuat badai geomagnet tersebut. Gonzales, dkk. [7]
mengklasifikasikan intensitas badai geomagnet menjadi empat kategori yaitu
Lemah (-30 > Dst
), Sedang (-50 > Dst
), Kuat (-100 > Dst
), dan Sangat Kuat (Dst < -200). Adapun variabel daerah aktif yang akan
ditinjau yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif.
2. Metode Penelitian





Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University
database yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://wdc.kugi.kyotouac.jp/dst_final/Index.html.
Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog yang tersedia online
dan dapat diunduh dari http://cdaw.gsfc.nasa. gov/CME_list/ untuk data CME
sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus CME List yang tersedia online
dan dapat diunduh dari http://sidc.oma.be/cactus/ catalog.php untuk data CME
tahun 2014.
Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather yang tersedia
online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/ pub/warehouse/ dengan
kode flare yaitu XRA dan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL.
Data lubang korona diperoleh dari Solar Monitor yang tersedia online dan
dapat diunduh dari http://www.solarmonitor.org/
Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather yang tersedia
online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/.
Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat
dengan melakukan identifikasi terhadap nilai indeks Dst. Hal yang perlu
FL- 12
Kholidah dkk
diperhatikan untuk data indeks Dst yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik
kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum).
Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum,
maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang
menyebabkan terjadinya badai tersebut .
Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam
selang waktu 2 hari s.d 3 hari. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan
rata-rata CME tiba di Bumi [1]. Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan,
selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan
waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tiba CME di Bumi sesuai dengan waktu
terjadinya badai geomagnet, maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai
geomagnet. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka
waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui.
Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu
terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Selang waktu dipilih antara 2 hari
s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan
dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat
dikatakan sebagai pemicu CME jika terdapat adanya kesesuaian antara waktu
terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.
Jika teridentifikasi flare sebagai pemicu CME, maka kita dapat memperoleh data
berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan
konfigurasi medan magnet daerah aktif, namun jika teridentifikasi bahwa erupsi
filamen sebagai pemicu CME, maka data yang diperoleh berupa waktu kejadian
dan lokasi terjadinya erupsi filamen. Data yang telah diperoleh ditabulasi
disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME.
Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan, maka dilakukan identifikasi
terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai
geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya
badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin
Matahari yaitu berkisar 300 km/s s.d 800 km/s [8]. Data yang diperoleh berupa
waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi
disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet.
Pada penelitian ini, data yang digunakan yaitu data kejadian badai geomagnet
yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.
Keluasan daerah aktif diklasifikasikan berdasarkan distribusi kejadian flare
penyebab terjadinya badai geomagnet. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa
kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil
dari 10-2 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif
berkisar 0 Millionths of a Solar Hemisphere (MH) s.d 400 MH, flare kelas M yang
memiliki intensitas sinar-X 10-2 ergs cm-2s-1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm-2s-1
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
FL- 13
memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000
MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan
10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar
100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian dibuat dengan menjadikan
kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori
keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan
flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas. Adapun hasil dari
pengklasifikasian teresebut ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif
Klasifikasi
Luas Daerah Aktif
Keluasan
(MH)
Sempit
L < 400
Sedang
400
Luas
L 1000
1,20E-01
Intensitas Flare
1,00E-01
Flare Kelas B
8,00E-02
Flare Kelas C
6,00E-02
Flare Kelas M
4,00E-02
Flare Kelas X
2,00E-02
2500
2000
1500
1000
500
0
0,00E+00
Keluasan Daerah Aktif
Gambar 1. Distribusi flare penyebab badai geomagnet terhadap luas daerah aktif
Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi
[ ]
medan magnet Mount Wilson yaitu
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator
nilai indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke-23 (1996 s.d 2007)
dan siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dengan distribusi
kejadian sepanjang siklus ke-23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang
siklus ke-24 dengan distribusi kejadian tiap tahun seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Kholidah dkk
Jumlah kejadian
FL- 14
Tahun
Gambar 2. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst <
-100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke -24
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet
dengan indeks Dst < -100 nT paling banyak pada siklus aktivitas Matahari ke-23
terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 17 kejadian, sedangkan pada siklus
aktivitas Matahari ke-24 terjadi pada tahun 2012 sebanyak 7 kejadian.
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang telah dilakukan, dari 104
kejadian 79 diantaranya atau sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME , 14
diantaranya atau sekitar 13,5 % disebabkan oleh lubang korona dan 11
diantaranya atau sekitar 10,6 % tidak diketahui sumbernya seperti ditunjukkan
pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 diperoleh bahwa sumber di Matahari yang menghasilkan badai
geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT umumnya disebabkan oleh CME
sebanyak 79 kejadian atau sekitar 75,9 %. Data CME yang diperoleh dari
SOHO/LASCO CME Catalog diketahui bahwa sebesar 73,4 % CME penyebab
badai geomagnet umumnya merupakan CME Halo yang meliputi Parsial Halo,
Halo BA (Brightness Asymmetry), Halo OA (Outline Asymmetry), Halo S
(Symmetric).
Tabel 2. Distribusi Penyebab Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT
Sepanjang Siklus Matahari ke-23 dan ke-24
Penyebab Kejadian Badai Geomagnet
No
Tahun
CME
1
2
1996
1997
0
2
Lubang
Korona
1
0
Sumber Tidak Diketahui
0
3
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Total
5
2
12
15
11
6
5
7
1
0
0
0
0
3
7
2
1
79
2
2
0
1
3
1
2
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
FL- 15
5
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
Dari 79 kejadian yang disebabkan oleh CME, 73 kejadian atau sekitar 92,4 %
CME dipicu oleh flare dan 6 kejadian atau sekitar 7,6 % CME dipicu oleh erupsi
filamen. Diperoleh bahwa Prosentase kejadian CME lebih tinggi disebabkan oleh
flare dibandingkan oleh erupsi filamen, hal ini karena jumlah kejadian erupsi
filamen lebih sedikit (filamen yang erupsi lebih jarang) daripada jumlah kejadian
flare.
Pada penelitian ini, terdapat 13 data atau sekitar 17,8 % kejadian CME yang
dipicu oleh flare yang tidak teridentifikasi daerah aktifnya seperti ditunjukkan
pada Tabel 3.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst < -100
nT umumnya disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare dan umumnya sebesar
82,2 % flare terjadi di atas daerah aktif. Flare merupakan salah satu fenomena
daerah aktif . Daerah aktif di Matahari ditandai dengan adanya bintik Matahari
yang merupakan tanda adanya medan magnet yang kuat. Karena medan magnet
kuat inilah maka dapat terjadi flare di daerah aktif tersebut.
Tabel 3. Pemicu Timbulnya CME
Pemicu Terjadinya CME
No
Waktu Terjadinya
CME
1
2
3
4
5
1996
1997
1998
1999
2000
Flare
Flare dengan Daerah
Aktif
yang
Teridentifikasi
0
2
2
1
8
Flare dengan Daerah
Aktif
yang
Tidak
Teridentifikasi
0
0
2
1
4
Erupsi
Filamen
0
0
1
0
0
FL- 16
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Kholidah dkk
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Total
9
8
6
4
6
1
0
0
0
0
3
7
2
1
60
4
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
2
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Pada penelitian ini, keluasan daerah aktif diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.
Berdasarkan pengklasifikasian tersebut diperoleh distribusi kejadian badai
geomagnet tiap tahunnya berdasarkan klasifikasi keluasan yang ditunjukkan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan
Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif
No
Tahun
Keluasan Sempit
Keluasan Sedang
Keluasan Luas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
1
2
1
5
1
5
4
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
3
6
2
1
2
3
1
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
1
2
2
0
0
0
0
No
Tahun
Keluasan Sempit
Keluasan Sedang
Keluasan Luas
15
16
17
18
19
2010
2011
2012
2013
2014
Total
0
2
6
2
1
31
0
1
0
0
0
20
0
0
1
0
0
9
Dari 60 data, diperoleh sekitar 51,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan
keluasan sempit, 33,3 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan
15 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukkan
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
FL- 17
bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT paling
banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit.
Berdasarkan pengklasifikasian Gonzales, dkk [7] diketahui bahwa badai
geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT dapat dikategorikan menjadi badai
geomagnet kuat dan badai geomagnet sangat kuat sehingga dari 60 data, diperoleh
46 kejadian badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet kuat
dan 14 kejadian badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet
sangat kuat. Berdasarkan klasifikasi keluasan daerah aktif, maka diperoleh
distribusi kejadian seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Keluasan Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai Geomagnet
Klasifikasi Keluasan
Intensitas Badai Geomagnet
Sempit
Sedang
Luas
Kuat
26
14
6
Sangat Kuat
5
6
3
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa sekitar 56,5 % badai geomagnet kuat
diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 %
diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13,1 %
diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi
terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % diakibatkan oleh daerah
aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % diakibatkan oleh daerah aktif dengan
keluasan sedang dan 21,4 % diakibatkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas.
Hasil ini menunjukkan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai
geomagnet kuat yaitu kategori keluasan sempit, sedangkan untuk badai
geomagnet sangat kuat tidak ada kategori keluasan yang menunjukkan hasil
dominan, namun terlihat bahwa kecenderungan luas daerah aktif penyebab
terjadinya badai geomagnet sangat kuat yaitu dalam kategori keluasan sempit dan
sedang.
Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa tidak semua kejadian badai
geomagnet kuat maupun badai geomagnet sangat kuat disebabkan oleh daerah
aktif dengan keluasan luas, namun dari penelitian ini diperoleh bahwa
kecenderungan luas daerah aktif yang menghasilkan badai geomagnet dengan
indeks Dst < -100 nT dihasilkan oleh daerah aktif dalam kategori keluasan sempit
dan sedang seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Dari analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan
luas daerah aktif dengan frekuensi kejadian badai geomagnet dan intensitas badai
geomagnet sangat kecil. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst
< -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan
oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit. Selain itu, semakin luas daerah
aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar, hal ini menunjukkan
bahwa luas daerah aktif tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
intensitas badai geomagnet.
FL- 18
Kholidah dkk
.
-450
-400
Indeks Dst (nT)
-350
Keluasan sempit
-300
-250
Keluasan sedang
-200
-150
Keluasan luas
-100
-50
2500
2000
1500
1000
500
0
0
Keluasan daerah aktif
Gambar 4. Hubungan luas daerah aktif dengan intensitas badai geomagnet
Dalam keterkaitan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan kejadian badai
geomagnet digunakan klasifikasi Mount Wilson yang terdiri dari
. Berdasarkan analisis dan identifikasi yang telah
dilakukan, diperoleh frekuensi kejadian badai geomagnet berdasarkan klasifikasi
konfigurasi medan magnet yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa frekuensi kemunculan konfigurasi medan
magnet pada siklus Matahari ke-23 dan ke-24 antara lain untuk alpha sebesar
6,7 %, beta sebesar 28,3 %, gamma sebesar 0%, beta-gamma sebesar 21,7 %,
gamma-delta sebesar 3,3 % dan beta-gamma-delta sebesar 35 % .
Hasil ini belum signifikan untuk menunjukkan pola konfigurasi medan magnet
daerah aktif yang menyebabkan terjadinya badai geomagnet , namun dari hasil ini
dapat ditunjukkan bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst
< -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan
dihasilkan oleh daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta.
Tabel 6. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan
Klasifikasi Konfigurasi Medan Magnet
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Klasifikasi Mount Wilson (Konfigurasi Medan Magnet)
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
1
0
0
1
7
3
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
4
2
0
2
0
0
0
0
0
1
4
1
0
17
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
2
1
0
1
13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
FL- 19
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
4
2
1
0
0
0
0
0
1
0
0
21
Frekuensi terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat berdasarkan
konfigurasi medan magnet daerah aktif ditunjukkan pada Tabel 7 . Dari Tabel 7
dapat diketahui bahwa sekitar 8,7 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh
daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet alpha, 32,6 % beta, 21,7 % betagamma, 4,3 % beta-delta, 2,2 % gamma-delta, dan 30,4 % beta-gamma-delta.
Sementara itu frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 0 %
disebabkan oleh daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet alpha, 14,3 %
beta, 21,4 % beta-gamma, 7,1 % beta-delta, 7,1 % gamma-delta, dan 50 % betagamma-delta.
Hasil ini menunjukkan bahwa konfigurasi medan magnet daerah aktif penyebab
terjadinya badai geomagnet kuat tidak menunjukkan pola konfigurasi medan
magnet yang dominan, namun dapat terlihat bahwa kecenderungan konfigurasi
medan magnet daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu beta
sebesar 32,6 % dan beta-gamma-delta sebesar 30,4 %. Sedangkan untuk badai
geomagnet sangat kuat sebesar 50 % dihasilkan oleh konfigurasi medan magnet
beta-gamma-delta. Beta-gamma-delta merupakan konfigurasi medan magnet
paling kompleks.
Tabel 7. Distribusi Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai
Geomagnet
Konfigurasi Medan Magnet
Intensitas Badai
Geomagnet
Kuat
Sangat kuat
4
0
15
2
10
3
2
1
1
1
14
7
Pada penelitian ini diperoleh bahwa flare-flare yang terkait dengan kejadian badai
geomagnet yaitu flare kelas C, dan M. Flare kelas C terbanyak muncul pada
konfigurasi medan magnet beta sedangkan flare kelas M terbanyak muncul pada
konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta seperti ditunjukkan pada Tabel 8 .
FL- 20
Kholidah dkk
Tabel 8. Hasil Analisis Terjadinya Flare dan CME yang Berkaitan dengan Konfigurasi Medan
Magnet Daerah Aktif
Konfigurasi Medan
Magnet
Kelas Flare
B
C
M
CME yang di Hasilkan
X
0
3
1
0
1
10
4
2
1
4
6
2
0
0
2
1
0
1
0
1
0
2
7
12
γ
δ
Γδ
γδ
4 : CME Halo
10 : CME Halo
7 : CME yang memiliki
posisi sudut >180 derajat
10 : CME Halo
3 : CME yang memiliki
posisi sudut >180
derajat
2 : CME Halo
1 : CME yang memiliki
posisi sudut >180 derajat
2 : CME Halo
19 : CME Halo
2 : CME yang memiliki
posisi sudut >180 derajat
Hasil ini menunjukkan bahwa flare-flare yang memicu terjadinya CME yang
dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet dipengaruhi oleh konfigurasi
medan magnet. Semakin kompleks konfigurasi medan magnet daerah aktif maka
semakin banyak bermunculan fenomena daerah aktif seperti flare dan CME yang
dapat menjadi penyebab peningkatan angin Matahari yang menyebabkan
terjadinya badai geomagnet sehingga frekuensi kejadian dan intensitas badai
geomagnet menjadi besar.
Dari hasil yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan
magnet memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap frekuensi dan intensitas
badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Flare-flare penyebab terjadinya
badai geomagnet kuat dan sangat kuat tidak muncul pada daerah aktif dengan
keluasan luas namun muncul pada konfigurasi medan magnet yang kompleks. Hal
ini berarti bahwa energi magnet merupakan sumber energi terbesar yang
memungkinkan terjadinya flare [10]. Energi magnet ini berasal dari medan
magnet yang menguat karena terpuntirnya garis-garis gaya magnet yang di
sebabkan oleh gerakan konveksi di bawah permukaan Matahari. Munculnya fluks
magnet baru di daerah aktif yang sudah ada akan menyebabkan bertambah
kompleksnya medan magnet, semakin kompleks konfigurasi medan magnet
daerah aktif maka kecenderungan daerah aktif tersebut untuk menghasilkan
fenomena daerah aktif yang dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet
semakin besar.
Dari 46 kejadian badai geomagnet kuat diperoleh bahwa luas daerah aktif
terbanyak yaitu dalam kategori keluasan sempit yang memiliki konfigurasi medan
Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat
FL- 21
magnet terbanyak yaitu beta sebesar 53,9 %. Sedangkan dari 14 kejadian badai
geomagnet sangat kuat diperoleh bahwa kecenderungan luas daerah aktif yaitu
dalam kategori keluasan sempit dan sedang yang memiliki konfigurasi medan
magnet terbanyak yaitu beta dan beta-gamma dan keluasan sedang yang memiliki
konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta. Hasil ini dapat ditunjukkan pada
Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9. Frekuensi Kejadian Badai Geomagnet Kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan dan
Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif
Konfigurasi Medan Magnet
Klasifikasi Keluasan
β
Βγ
βδ
γδ
β γδ
Sempit
4
14
6
0
1
1
Sedang
0
1
4
1
0
8
Luas
0
0
0
1
0
5
Tabel 10. Frekuensi Kejadian Badai Geomagnet Sangat Kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan
dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif
Konfigurasi Medan Magnet
Klasifikasi keluasan
β
Βγ
βδ
γδ
β γδ
Sempit
0
2
2
0
1
0
Sedang
0
0
1
1
0
4
Luas
0
0
0
0
0
3
Dari Tabel 9 dan Tabel 10 dapat diketahui bahwa terjadinya badai geomagnet kuat
dan sangat kuat memiliki keterkaitan lebih besar dengan konfigurasi medan
magnet daerah aktif dibandingkan keterkaitan dengan luas daerah aktif. Daerah
aktif dengan keluasan sempit dan sedang namun memiliki konfigurasi medan
magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang besar untuk menghasilkan
kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar.
4. Kesimpulan
Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator
indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke-23 (1996 s.d 2007) dan
siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 %
disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 %
CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.
Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang
siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif
dengan kategori keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 % dan konfigurasi medan
magnet yang paling banyak muncul yaitu beta-gamma-delta sebesar 35 %.
Kejadian badai geomagnet kuat yang disebabkan oleh luas daerah aktif sempit,
diperoleh sebesar 53,9 % memiliki konfigurasi medan magnet beta, sedangkan
untuk kejadian badai geomagnet sangat kuat diperoleh kecenderungan luas daerah
aktif dalam kategori keluasan sempit (konfigurasi medan magnet terbanyak yaitu
beta dan beta-gamma) dan sedang (memiliki konfigurasi medan magnet terbanyak
yaitu beta-gamma-delta).
FL- 22
Kholidah dkk
Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan
magnet daerah aktif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap frekuensi dan
intensitas badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Semakin luas daerah
aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Konfigurasi medan
magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang lebih besar untuk
menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar dibandingkan
daerah aktif dengan keluasan yang luas. Semakin kompleks konfigurasi medan
magnet daerah aktif, maka intensitas badai geomagnet yang dihasilkan semakin
besar.
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung beserta seluruh penelitinya dan stafstafnya yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. D.R. Martiningrum, A. Purwono, F. Nuraeni, J. Muhamad, Fenomena Cuaca
Antariksa,(2012)
2. M. Wik, R. Pirjola, H. Lundstedt, A. Viljanen, P. Wintoft, A. Pulkkinen, Ann.
Geophys 27 (2009) 1775.
3. A. Santoso, Jurnal Pusat Sains Dirgantara 3 (2013) 67.
4. M. Youssef, NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics 1 (2012) 172.
5. C.Y. Yatini, S. Saroso, W. Sinambela, J.L. Nugroho, B. Suhandi, Modul
Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah
Atas (2010)
6. L.K. Harra, K.O. Mason, Space Science, (2004), London, Imperial College
Press
7. W.D. Gonzales, J.A. Joselyn, Y. Kamide, H. W. Kroehl, G. Rostoker, B. T.
Tsurutani, V. M. Vasyliunas, Journal Of Geophysical Research 99 (1994)
5771.
8. Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.
html
9. Space
Weather.
[Online].
Diakses
dari
:
ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/
10. Setiyowati, Skripsi, (2012), Bandung, UPI.
Download