BAB VII KESIMPULAN Masyarakat miskin Kampung Tambakrejo merupakan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan mendiami wilayah pesisir dengan nelayan sebagai mata pencaharian utamanya. Dalam menjalankan praktik keagamaannya, masyarakat miskin Kampung Tambakrejo dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni budaya Jawa, agama Islam, dan masyarakat nelayan dengan kondisi kemiskinannya. Praktik keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo tersebut dipahami melalui varian abangan dan santri yang menjadi kunci pemahaman terhadap hubungan antara kebudayaan dan agama dalam masyarakat Jawa. Praktik keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo memiliki kecenderungan mengarah pada praktik abangan atau disebut juga Islam-Jawa. Pengetahuan keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo yang lebih bercorak abangan antara lain terlihat melalui longgarnya penggunaan simbolsimbol agama Islam dalam masyarakat miskin, tumbuhnya adat-istiadat yang saling melengkapi kehidupan masyarakat, dan pewarisan keagamaan yang mengandalkan tradisi turun-menurun dalam keluarga. Adapun ritual keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo masih menonjolnya budaya slametan. Sedangkan dalam kehidupan sosial praktik keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo pertimbangan rasa sebagai orang Jawa masih melekat. Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat miskin Kampung Tambakrejo adalah Islam yang berorientasi kepada laut sebagai sumber mata pencaharian. 146 Masyarakat miskin Kampung Tambakrejo adalah masyarakat nelayan. Praktik keagamaan Islam dilaksanakan sebelum berangkat dan sekembalinya dari laut. Tidak ada doa khusus untuk berangkat melaut, tetapi secara umum memohon keselamatan dan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Laut menjadi tumpuan hidup untuk mencukupi berbagai macam kebutuhan. Masyarakat miskin Kampung Tambakrejo dapat memanfaatkan laut kapan saja, tetapi hasil tangkapan laut ada batasan musim sehingga ada musim paceklik untuk setiap tahunnya. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat Kampung Tambakrejo mengandalkan hidupnya pada pinjaman para pedagang yang biasanya memasok kebutuhan para nelayan. Praktik Islam yang demikian berbeda dengan pola masyarakat petani pedesaan Jawa yang mengandalkan dan mempraktikkan agamanya dalam konteks pengelolaan sawah pertanian. Hal ini juga berbeda dengan masyarakat pedagang yang menggunakan pasar sebagai pusat kehidupannya. Praktik keagamaan Islam pada masyarakat miskin Kampung Tambakrejo dipahami dalam konteks kemiskinan yang diwujudkan melalui pengakuan dan menjalankan agama Islam dengan pemahaman yang terbatas. Agama belum digunakan sebagai sarana untuk memberikan jawaban atas persoalan kemiskinan. Persoalan kemiskinan lebih banyak diselesaikan melalui saluran kebudayaan yang berupa tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Integrasi sosial yang terjadi merupakan hasil kompromi antar-warga, yang pada saat-saat tertentu dilaksanakan bersamaan dengan praktik-praktik keagamaan. Oleh karena itu, praktik keagamaan Islam pada masyarakat miskin Kampung Tambakrejo dilaksanakan 147 bersamaan dengan tradisi kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pola keterjalinan praktik-praktik keagamaan Islam dan budaya yang telah mengakar pada masyarakat Kampung Tambakrejo menjadi warna tersendiri pada praktik Islam-Jawa. Tradisi slametan yang berlangsung dari bayi dalam kandungan sampai peringatan orang meninggal dunia, ziarah kubur, dan sedekah laut menjadi bukti kuatnya tradisi dan kebudayaan Jawa pada masyarakat miskin Kampung Tambakrejo. Tradisi slametan dan sedekah yang dipraktikkan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo dimaksudkan untuk memohon keselamatan bagi diri dan masyarakat sehingga terhindar dari roh-roh jahat yang diyakini menghuni kampung dan laut tempat mencari ikan. Pada sisi lain, praktikpraktik shalat lima waktu, puasa, zakat, peringartan hari-hari besar Islam, dan doadoa secara Islam juga dilakukan oleh masyarakat miskin Kampung Tambakrejo. Dalam pola praktik keagamaan yang demikian, masyarakat miskin Kampung Tambakrejo tidak berada pada pilihan varian abangan atau santri, tetapi pengakuan bahwa mereka beragama yang menjalankan tradisi nenek moyang. Kemiskinan pada masyarakat Kampung Tambakrejo tidak mempengaruhi varian abangan atau santri. Tetapi kemiskinan menjadi pola dalam tindakan-tindakan keagamaan. Agama dipraktikkan sebagaimana adanya. Pertimbangan subjektif masyarakat miskin Kampung Tambakrejo menjadi dasar dalam praktik keagamaannya. Agama dijalankan tanpa beban. Kesalehan sosial dan harmoni kehidupan keagamaan menjadi ciri yang menonjol dalam praktik keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo. Segala sesuatu dilakukan 148 dengan nilai nrima, bahwa hidup dan kehidupan di dunia telah digariskan, semuanya telah ditetapkan. dimaknai sebagai pemenuhan akan ukum pinesthi dalam wujud manunggaling kawula-Gusti. Adanya kelas sosial dalam masyarakat miskin Kampung Tambakrejo tidak mempengaruhi tingkat partisipasinya dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan melibatkan seluruh warga Kampung Tambakrejo. Paling tidak ada dua alasan dalam hal ini. Pertama, kondisi kemiskinan yang memandang siapa saja dapat meraih sukses dalam hidup. Kedua, laut sebagai pusat kehidupan masyarakat nelayan, di mana siapa saja dan kapan saja dapat menuju laut untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Agama bukan sebagai alat kekuasaan ekonomi sebagaimana terjadi pada masyarakat kapitalis. Masyarakat miskin Kampung Tambakrejo menjalankan mata pencahariannya yang kemudian membawa mereka secara tidak sadar pada kelompok-kelompok kelas sosial yang mengedepankan integrasi sosial bagi masyarakatnya. Kelas sosial yang ada pada masyarakat miskin Kampung Tambakrejo tidak digunakan untuk melakukan tindakan penghisapan secara ekonomi melainkan sebatas mata pencaharian yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Agama bagi masyarakat miskin Kampung Tambakrejo bukanlah candu sebagaimana dalam masyarakat kapitalis. Agama merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan dalam perjuangan mereka mengatasi persoalanpersoalan tertinggi dalam kehidupan manusia. Agama merupakan bentuk ketergantungan pada kekuatan di luar diri kita sendiri. Agama diletakkan bersamasama dengan tradisi. Landasan hidup bersama terutama diikat oleh ikatan sosial 149 kemasyarakat yang berlaku di Kampung Tambakrejo. Sanksi sosial menjadi panduan untuk mendorong warga Kampung Tambakrejo merasa dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari yang lainnya. Praktik keagamaan dalam komunitas kecil sebagaimana dalam disertasi ini perlu mendapatkan porsi penelitian yang memadai. Terbukti, masyarakat yang demikian memiliki jalan dan penyelesaian sendiri untuk mempraktikkan keagamaannya dalam hidup sehari-hari. Dalam penelitian yang semacam itu akan ditemukan berbagai model praktik keagamaan dalam konteks masyarakat Indonesia. Seringnya isu konflik antar-agama tidak mendapatkan tempat dalam masyarakat yang demikian, terbukti pada masyarakat miskin Kampung Tambakrejo. Dalam pandangan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo, agama dijalankan apa adanya dan sejalan dengan harmoni kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat miskin Kampung Tambakrejo tidak terpengaruh oleh berbagai aliran organisasi keagamaan yang ada. Panduan satu-satunya yang digunakan dalam pemehaman keagamaannya adalah pernyataan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintahan negara. Praktik keagamaan masyarakat miskin Kampung Tambakrejo yang mengandalkan pada penetapan pemerintah tidak dapat dibuktikan karena ketakutannya sebagai masyarakat miskin. Dalam disertasi ini tidak ditemukan data yang menunjukkan, bahwa masyarakat miskin Kampung Tambakrejo memiliki resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Sikap dan pernyataan tunduknya pada penetapan pemerintah dalam praktik keagamaan dilakukan dengan sadar atas pertimbangan, bahwa apa yang ditetapkan oleh pemerintah itu tentu sudah melalui 150 pemikiran dan pertimbangan yang matang karena telah didiskusikan dan dipikirkan oleh banyak orang, termasuk di dalamnya ahli-ahli agama.