bab ii kajian pustaka - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Motivasi Berprestasi
2.1.1. Pengertian Motivasi
Motivasi (motivation) berasal dari istilah bahasa latin yaitu movere yang berarti
menggerakkan (to move). Diserap dalam bahasa inggris menjadi motivation yang berarti
pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang
menimbulkan dorongan (Riskansyah, 2011). Jadi motif merupakan suatu penggerak atau
menggerakkan manusia untuk bertingkah laku yang didalamnya menimbulkan perbuatan yang
dimana perbuatan tersebut memiliki tujuan tertentu. Dengan adanya motif tersebut setiap
tindakan manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). Secara umum, motivasi adalah suatu
proses yang menjelaskan aktifitas guna pencapaian suatu tujuan.
Motivasi (Mangkunegara, 2005) adalah suatu kondisi (energi) yang menggerakkan dalam
diri individu yang terarah untuk mencapai tujuan. Motivasi melibatkan proses yang memberikan
energi, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Perilaku yang termotivasi itulah yang
mengandung energi, memiliki arah, dan dapat dipertahankan. (Santrock, 2009). Dalam kegiatan
belajar, motivasi dapat di katakan sebagai keseluruhan dari penggerak di dalam diri setiap siswa.
Stanford (dalam Mangkunegara, 2011) mengemukakan bahwa “Motivation as an
energizing condition of the organism that serves to direct that organism toward the goal of a
certain class”, yang berarti motivasi merupakan suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke
arah suatau tujuan tertentu.
Menurut Suryabrata (dalam Djaali, 2006) motivasi adalah keadaan yang terdapat dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktifitas tertentu untuk mencapai suatu
tujuan.
Menurut kamus psikologi Chaplin (2008), motivasi didefinisikan sebagai suatu variabel
penyelang (yang ikut campur tangan) yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu
di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan
tingkah laku, menuju satu sasaran.
Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa motivasi adalah suatu kondisi (energi) yang mengaktifkan dan menggerakkan individu
dalam memberikan arah, intensitas dan tujuan dalam mencapai suatu tujuan.
2.1.2. Jenis-jenis Motivasi
Winkel (Nurfaizin, 2010) menyatakan bahwa terdapat dua jenis motivasi, yaitu :
1. Motivasi instrinsik, yaitu dorongan atau kebutuhan manusia yang dimulai dan
diteruskan berdasarkan penghayatan terhadap suatu kebutuhan yang terkait dengan
aktifitas yang biasanya dilakukan individu. Hal tersebut yang biasanya dilakukan
dengan minat dan keinginan tersendiri untuk meningkatkan kualitas dari aktifitas
yang dilakukan.
2. Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan atau kebutuhan manusia yang tidak bersumber
dari minat dalam diri individu, tetapi keinginan atau minat tersebut muncul
dikarenakan adanya sebab-sebab lain dari luar diri individu. Dorongan tersebut tidak
secara mutlak terkait dengan aktifitas individu.
Berdasarkan dari uraian diatas mengenai jenis-jenis motivasi dari Winkel, (Nurfaizin,
2010), maka dapat disimpulkan bahwa motivasi instrinsik (dari dalam diri) dan
motivasi
ekstrinsik (dari luar diri) merupakan dua jenis motivasi yang saling berkaitan, dimana suatu
tindakan digerakkan oleh adanya daya penggerak antara motivasi instrinsik dan motivasi
ekstrinsik yang dapat dilihat dari hubungan timbal balik antara faktor dari dalam diri individu
(instrinsik) dan faktor dari luar diri individu. (ekstrinsik). Timbulnya motif instrinsik dimulai
dengan proses munculnya inisiatif dari dalam diri individu (instrinsik) yang kemudian diteruskan
dengan pencarian objek yang tepat untuk sebuah tindakan (faktor ektrinsik). Sedangkan suatu
tindakan yang bermotif dari luar diri (ekstrinsik) dimulai dengan adanya rangsangan dari luar diri
individu (ekstrinsik), kemudian rangsangan tersebut yang menggerakkan individu untuk berbuat.
2.2.
Pengertian Motivasi Berprestasi
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray yang diistilahkan dengan
need for achievement (kebutuhan untuk berprestasi) dan dipopulerkan oleh McClelland dengan
sebutan “n-ach” yang beranggapan bahwa motif berprestasi adalah suatu virus mental yang
terdapat dalam diri individu yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasi secara
maksimal. Virus mental yang dimaksud adalah Achievement Motivation, atau yang biasanya
dikenal dengan motivasi berprestasi.
Jhonson (dalam Mangkunegara, 2001) mengemukakan bahwa “Achievement motive is
impetus to do well relative to some standard of excellence”
McClelland (dalam Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi
merupakan suatu dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan atau mengerjakan suatu
tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji.
Motivasi berprestasi (Djaali, 2006) adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang ada
didalam diri siswa yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai
prestasi yang setinggi mungkin.
Menurut Atkinson yang dikutip Houston (dalam Djaali, 2006) mengemukakan bahwa di
antara kebutuhan hidup manusia, terdapat kebutuhan untuk berprestasi, yaitu dorongan untuk
mengatasi hambatan, melatih kekuatan, dan berusaha untuk melakukan suatu pekerjaan yang
sulit dengan cara yang baik dan secepat mungkin, atau dengan perkataan lain usaha seseorang
untuk menemukan atau melampaui standar keunggulan.
Berdasarkan dari definisi-definisi yang diuraikan diatas pada penelitian menggunakan
teori motivasi berprestasi dari McClelland bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan
dari dalam diri individu untuk melakukan atau mengerjakan suatu tugas dengan sebaik-baiknya
agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji.
2.2.1. Teori Motivasi Berprestasi
Beberapa ahli psikologi yang mengemukakan teori motivasi berprestasi berdasarkan
konsep. Teori pertama terdapat dalam teori kebutuhan dari Maslow (dalam Djaali, 2007) yang
mengemkakan bahwa motivasi berprestasi dirumuskan berdasarkan lima hierarki kebutuhan,
mulai dari tingkatan kebutuhan paling dasar sampai tingkatan kebutuhan paling tinggi, yaitu
kebutuhan fisiologis seperti makan, minum dan sebagainya, kebutuhan keamanan seperti
memperoleh keselamatan, keamanan, dan perlindungan dari ancaman, kebutuhan sosial seperti
disukai dan menyukai, dicintai atau mencintai, bergaul, berkelompok, kebutuhan akan harga diri
seperti memperoleh penghargaan, penghormatan, dan pujian dari orang lain serta kebutuhan
aktualisasi diri seperti memperoleh kekaguman, dan kebanggaan dari hasil pencapaian prestasi.
Teori
kedua
dikembangkan
oleh
McClelland
(dalam
Mangkunegara,
2005)
mengemukakan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri individu
untuk melakukan atau mengerjakan suatu tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi
dengan predikat terpuji.
Menurut pengembangan teori ini, bahwa di antara kebutuhan hidup manusia terdapat tiga
macam kebutuhan, yaitu :
1. Need Of Achievement
Kebutuhan untuk berprestasi, adalah dorongan kebutuhan untuk mendapatkan keinginan
umpan balik tentang hasil yang diperolehnya dan berkeinginan mendapat tanggung jawab
dalam pemecahan masalah. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang
tinggi akan menunjukkan atau menampakkan perilaku-perilaku yang mengarah pada
proses pencapaian prestasi yang telah ditetapkan.
2. Need Of Affiliation
Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat, adalah dorongan kebutuhan yang
merefleksikan untuk memiliki hubungan yang erat, kooperatif dan penuuh sikap
persahabatan dengan orang lain. orang-orang yang need afiliation yang tinggi ialah orang
yang berusaha mendapatkan persahabatan.
3. Need Of Power
Kebutuhan untuk kekuasaan, adalah dorongan kebutuhan untuk mempengaruhi orang
lain.
Seiring
dengan
pencetusan
motivasi
berprestasi
oleh
McClelland,
Atkinson
mengembangkan teori motivasi berprestasi seperti yang dikutip oleh Houston (dalam Djaali,
2006) mengemukakan bahwa kebutuhan untuk berprestasi adalah dorongan untuk mengatasi
hambatan, melatih kekuatan, dan berusaha untuk melakukan suatu pekerjaan yang sulit dengan
cara yang baik dan secepat mungkin, atau dengan melampau standar keunggulan.
Teori lain yang juga memuat mengenai motivasi berprestasi adalah teori ERG (Existence,
Relatedness, Growth) yang dikembangkan oleh Alderfer, teori ini mengemukakan bahwa tingkah
laku manusia didasari oleh tiga motif dasar (Nurfaizin, 2010), yaitu :
1. Existence needs: Berhubungan dengan fisik dan eksistensi diri, seperti makan,
minum, pakaian, dan bernafas)
2. Relatedness : Kebutuhan interpersonal, yaitu keputusan dalam berinteraksi dengan
lingkungan
3. Growth needs : Kebutuhan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pribadi
Berdasarkan dari definsi teori motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh para ahli
maka teori motivasi berprestasi dalam penelitian adalah teori dari McClelland yang dapat
disimpulkan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri individu
untuk melakukan atau mengerjakan suatu tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi
dengan predikat terpuji, dengan tiga macam kebutuhan hidup manusia yaitu kebutuhan untuk
berprestasi, kenutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan.
2.2.2. Karakteristik Individu Yang Memiliki Motivasi Berprestasi Tinggi dan Rendah
McClelland (dalam Mangkunegaara, 2005) mengemukakan bahwa karakteristik individu
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yaitu :
1. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi.
2. Berani mengambil resiko,
3. Memiliki rencana tugas dan tujuan yang realistik yang memungkinkan untuk berhasil
4. Memanfaatkan umpan balik
5. Melakukan sesuatu yang lebih unggul dari orang lain.
Sedangkan karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah, yaitu :
1. Kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan suatu tugas.
2. Ragu dalam mengambil keputusan
3. Memiliki rencana tugas tetapi tidak didasarkan pada tujuan yang realistis dan lemah
dalam melaksanakannya.
4. Bersikap apatis dan tidak percaya diri.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi mereka akan lebih memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi
dengan memanfaatkan umpan balik (feedback) dengan baik untuk pencapaian tujuan prestasi
yang telah ditentukan oleh masing-masing individu. Sedangkan individu yang memiliki motivasi
berprestasi rendah mereka kurang memiliki tanggung jawab dan lebih tidak percaya diri dengan
pencapaian prestasi yang telah diraihnya.
2.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Santrock (2009) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
motivasi berprestasi, yaitu:
1. Orang Tua
Orang tua yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang untuk mencapai
sukses akan mendorong anak tersebut untuk bertingkah laku yang mengarah kepada
proses pencapaian prestasi.
2. Pengalaman
Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang yang menyebabkan
terjadinya variasi terhadap tinggi dan rendahnya untuk kecenderungan untuk berprestasi
pada diri seseorang
3. Latar belakang budaya
Seseorang yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada keuletan, kerajinan,
bekerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif serta memiliki suasana yang mendorong
individu untuk memecahkan masalah dengan sendirinya (mandiri) tanpa harus memiliki
perasaan takut atau gagal, maka seseorang akan memiliki hasrat untuk berkembang dalam
proses pencapaian prestasi tinggi.
4. Peniruan tingkah laku
Seorang anak akan mengambil atau meniru banyak karakteristik dari hasil modeling yang
dilihatnya, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi.
5. Lingkungan
Lingkungan belajar yang nyaman, menyenangkan, mendukung (tidak mengancam),
memberi semangat dan memiliki sikap positif atau optimisme kepada seorang siswa
dalam belajar, maka cenderung akan mendorong siswa tersebut untuk tertarik belajar dan
tidak khawatir akan kegagalan.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor orang tua,
pengalaman, latar belakang budaya, peniruan tingkah laku dan lingkungan merupakan faktor
yang mempengaruhi mahasiswa dalam berprestasi.
2.3.
Komunikasi Interpersonal
2.3.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa latin”communication”. Istilah ini
bersumber dari perkataan “communis” yang berarti sama; sama disini maksudnya sama makna
atau sama arti. Komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan
yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2000). Namun,
pada dasarnya komunikasi merupakan suatu proses penyampaian dalam menjelaskan siapa,
mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dan dengan pengaruh bagaimana
Menurut Hovland, Janis, dan kelly (dalam Rackmat, 2011) mendefinisikan komunikasi
sebagai “the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually
verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience)”.
Menurut Berelson dan Steiner (dalam Wiryanto, 2004) mengemukakan bahwa
komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi keterampilan, dan sebagainya, dengan
menggunakan simbol-simbol kata-kata, gambar, figur grafik dan sebagainya. Tindakan atau
proses itulah yang menghantarkan pesan dari komunikator kepada komunikan dalam bentuk
verbal maupun nonvorbal.
Menurut Dance (dalam Rakhmat, 2011) mengemukakan bahwa komunikasi dalam
kerangka psikologi behaviorisme diartikan sebagai usaha menimbulkan respons melalui
lambang-lambang verbal, dimana lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli.
Menurut Hoveland (dalam Wiryanto, 2004) mengemukakan bahwa komunikasi sebagai
proses dimana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain.
Berdasarkan dari definsi-definsi uraian diatas maka, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan suatu penyampaian pesan berupa ide, gagasan dan fikiran oleh
komunikator kepada komunikan secara verbal (lisan atau tulisan) maupun nonverbal (gesture
tubuh, simbol, gambar, warna dan sebagainya) yang dapat menjelaskan siapa, untuk mengatakan
apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan pengaruh bagaimana.
2.4.
Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan suatu komunikasi yang berproses kepada
pengembangan (Development Process) yang melibatkan antara interaksi tatap muka antar dua
atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan secara langsung, dan penerima
pesan dapat menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003).
Menurut Devito (dalam Corah, 2010) mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal
adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih (di antara kelompok
kecil) dengan beberapa efek (seperti perubahan sikap) dan beberapa umpan balik secara langsung
Dalam hal ini komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang paling efektif
dalam mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang yang bersifat dialogis yang dimana
seseorang dapat menerima umpan balik (feedback) secara langsung (Wiryanto, 2004)
Mulyana
(2005)
menyatakan
bahwa
komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan
setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun
nonverbal. Namun komunikasi interpersonal umumnya adalah komunikasi tatap muka yang
dilakukan dua orang atau tiga orang untuk membentuk hubungan yang baik di dalam suatu
lingkungan dan dapat mengubah sikap serta pendapat atau pandangan yang secara langsung pula
dalam mendapatkan umpan balik antara komunikator dan komunikan baik secara verbal maupun
nonverbal.
Berdasarkan dari uraian definisi-definisi diatas, pada penelitian menggunakan teori
komunikasi interpersonal Devito bahwa komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan antara dua orang atau lebih (di antara kelompok kecil) dengan beberapa efek
(seperti perubahan sikap) dan beberapa umpan balik secara langsung.
2.4.1. Jenis-jenis Komunikasi Interpersonal
Secara teoritis komunikasi interpersonal dibagi menjadi dua jenis (Pratama, 2011) antara
lain :
1. Komunikasi diadik
Komunikasi diadik adalah komunikasi interpersonal yang berlangsung antara dua orang,
yaitu seorang komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang komunikan yang menerima
pesan. Karena perilaku komunikasinya dua orang, maka dialog dalam komunikasi ini
berlangsung secara intens. contoh komunikasi diadik ini seperti antara suami-istri, ibu-anak,
dosen-mahasiswa dan sebagainya. Ciri-ciri dari komunikasi diadik adalah pihak yang
berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat, mengirim dan menerima pesan secara spontan
baik verbal maupun nonverbal.
2. Komunikasi triadik
Komunikasi triadik adalah komunikasi interpersonal yang terdiri dari tiga orang, yaitu
seorang komunikator dan dua orang komunikan. Dibandingkan dengan komunikasi triadik ini
komunikasi diadik yang lebih efektif, karena seorang komunikator (pengirim pesan) dapat
memusatkan perhatiannya pada seorang komunikan (penerima pesan), sehingga komunikator
dapat menguasai sepenuhnya, juga umpan balik yang berlangsung. Pentingnya situasi
komunikasi interpersonal adalah prosesnya yang memungkinkan berlangsung secara dialogis.
Menurut Onong, dengan adanya dialog dalam komunikasi interperosnal memberikan
fungsi ganda, secara bergantian mereka menjadi pembicara dan pendengar sehingga tujuan untuk
mencapai pengertian tercapai. Keuntungan dalam komunikasi interpersonal ini seseorang dapat
berinteraksi secara kontak pribadi, umpan balik seketika sehingga seseorang dapat menegetahui
tanggapan orang lain terhadap pesan yang disampaikan dari ekspresi wajah dan gaya bicara
pendengar.
2.4.2. Karakteristik Komunikasi Interpersonal
Devito (dalam Pratama, 2011) mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal memiliki
karakteristik yang ditinjau dalam perspektif humanistik antara lain:
1. Keterbukaan (openness)
Sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang
efektif. Keterbukaan ini mengacu bahwa komunikator antarpribadi yang efektif harus
memiliki keterbukaan dengan lawan bicaranya (komunikan). Hal ini bukan berarti seorang
komunikan harus membuka semua kehidupan pribadinya, tetapi hal yang penting-penting
saja yang perlu dibicarakan. Komunikator juga harus bersedia untuk bereaksi secara jujur
terhadap stimulus yang datang ketika memberikan tanggapan dari lawan bicaranya serta
komunikator juga harus memiliki keterbukaan dalam mengakui bahwa perasaan dan pikiran
yang akan diucapkan adalah milik komunikator dan akan mempertanggung jawabkan setiap
ucapakan yang akan disampaikan
2. Empati (empathy)
Henry
Backrack
mendefinisikan
empati
sebagai
kemampuan
seseorang
untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut
pandang orang lain itu dan melalui kacamata orang lain itu. Orang yang empati mampu
memahami motivasi orang lain, perasaan orang lain, sikap mereka, serta harapan dan
keinginan mereka untuk masa mendatang. Empati dalam komunikasi interpersonal yang
efektif perlu didukung oleh sikap empati dari pihak-pihak yang berkomunikasi
3. Dukungan (supportiveness)
Hubungan antarpribadi (interpersonal) yang efektif adalah dimana terdapat sikap saling
mendukung (supportiveness). Sikap ini mucul bila individu tidak dapat menerima, tidak
jujur, dan tidak empatik,
4. Sikap positif (positiveness)
Sikap positif ini mengacu pada dua aspek komunikasi interpersonal, pertama komunikasi
interpersonal tercipta jika seseorang memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri.
Seseorang yang merasa positif terhadap diri mengisyaratkan perasaan tersebut kepada orang
lain. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi sangat penting untuk interaksi yang
efektif.
5. Kesetaraan (equality)
Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Hal ini berarti bahwa
harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga.
Dalam hal ini kesetaraan tidaklah harus menerima dan menyetujui begitu saja terhadap
semua perilaku verbal dan nonverbal dari pihak lain.
2.5.
Hubungan Komunikasi Interpersonal Dengan Motivasi Berprestasi
Menurut Santrock (2009)
motivasi melibatkan proses yang memberikan energi,
mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Perilaku yang termotivasi itulah yang mengandung
energi, memiliki arah, dan dapat dipertahankan. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat
dikatakan sebagai keseluruhan dari penggerak dalam diri mahasiswa.
Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (instrinsik) cenderung akan memberikan
hal positif yang memberikan arah atau proses dalam pencapaian prestasi di dalam belajar.
Sedangkan motivasi dari luar diri (ekstrinsik) cenderung akan melengkapi dalam proses
pencapaian prestasi tersebut.
Di dalam psikologi pendidikan motivasi berprestasi memiliki peranan paling penting,
dimana mahasiswa cenderung memiliki semangat berjuang untuk mencapai pencapaian prestasi
setinggi mungkin dengan menggunakan standar keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing
individu.
Atkinson seperti yang dikutip Houston mengemukakan bahwa di antara kebutuhan hidup
manusia, terdapat kebutuhan untuk berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi hambatan,
melatih kekuatan, dan berusaha untuk melakukan suatu pekerjaan yang sulit dengan cara yang
baik dan secepat mungkin, atau dengan perkataan lain usaha seseorang untuk menemukan atau
melampaui standar keunggulan.
Dalam memenuhi kebutuhan akan prestasi seorang individu harus menjalin hubungan
relasi, dalam artian hubungan relasi ini antara mahasiswa dengan dosennya. Salah satu bentuk
hubungan relasi tersebut adalah dengan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal
adalah bentuk komunikasi yang memfokuskan pada lawan bicaranya untuk mencapai tujuan
bersama. Bentuk komunikasi interpersonal ini, mahasiswa lebih memiliki kemampuan untuk
bertanya (tidak takut salah dan malu-malu), memiliki kemampuan untuk mengungkapkan apa
yang di fikirkan (bertukar pendapat), serta dapat menimbulkan suasana belajar yang nyaman,
selain itu dengan memiliki komunikasi interpersonal mahasiswa mampu menimbulkan motivasi
untuk berprestasi (Achievement Motivation) atau kebutuhan akan prestasi (Need of Achievement).
Dengan hal itu, Atkinsosn mengungkapkan bahwa adanya dua aspek motivasi berprestasi,
yaitu motivasi yang bercirikan takut akan kegagalan atau “Fear of Failure” dan motivasi yang
bercirikan dengan adanya harapan untuk berhasil atau“Hope of Success”. Dengan demikian
motivasi mahasiswa dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu dimana mahasiswa yang
memiliki motivasi dan harapan yang tinggi maka mahasiswa tersebut dikategorikan kedalam
mahasiswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sedangkan apabila mahasiswa yang
tidak memiliki motivasi dengan menghindari kegagalan lebih besar dari pada memiliki motivasi
untuk berhasil maka mahasiswa tersebut dikategorikan kedalam mahasiswa yang tidak memiliki
motivasi berprestasi tinggi.
2.6.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka kerangka pemikiran tersebut :
Komunikasi
interpersonal
Motivasi
berprestasi
mahasiswa
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
2.7.
Hipotesis adalah kesimpulan bersifat sementara. Diterima atau tidaknya suatu hipotesis
tergantung dari hasil penelitian yang dilakukan (Nurdin, 2010). Berikut hipotesis dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:.
-
H1: Ada hubungan antara komunikasi interpersonal dengan motivasi berprestasi pada
Mahasiswa Psikologi Universitas Mercu Buana.
Download