KEYSTONE SPECIES DALAM EKOLOGI 1. Pendahuluan Kita adalah bagian integral dari lingkungan. Lingkungan menyediakan berbagai sumberdaya yang dibutuhkan manusia seperti sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuhan, hewan bahan bakar fosil dan lain-lain. Selama berabad-abad, sebagian manusia dalam interaksinya dengan lingkungan telah mengasumsikan bahwa kita bebas memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan dengan semaksimal mungkin. Anggapan seperti itu ternyata telah menimbulkan permasalahan berupa perncemaran dan kerusakan lingkungan; permasalahan yang menjadi semakin parah dengan meningkatnya populasi manusia yang kini melebihi enam milyar jiwa. Salah satu contoh masalah lingkungan adalah hilangnya berbagai jenis makhluk hidup dan sistem alami. Hilangnya suatu jenis makhluk hidup sebagai mata rantai dalam jaring makanan dapat mengancam keberadaan makhluk lain. Pada gilirannya, kehadiran manusia sendiri dapat terancam karena sebagai bagian dari lingkungan, manusia harus menghadapi dampak dari pencemaran dan kerusakan lingkungan. Memahami kompleksitas bekerjanya alam dengan berbagai faktor lingkungannya menjadi seuatu yang sangat penting apabila kita ingin terus dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup 1 tanpa merusaknya, serta mempertahankan kondisi lingkungan yang dapat mendukung kehidupan kita. Hal ini menjadi lebih rumit karena manusia memiliki berbagai kepentingan yang melingkupi aktivitas sosial, ekonomi, budaya, politik, dsb. Sehingga pemecahan atas permasalahan lingkungan menjadi sesuatu yang bersifat interdisipliner. Pengetahun interdisipliner tentang lingkungan diperlukan untuk memahami dan memecahkan permasalahan yang ada, agar manusia dapat semakin bijaksana dalam mengelola dan melaksanakan kegiatannya. Ilmu lingkungan adalah ilmu interdisipliner untuk mengukur dan menilai perubahan dan dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem; sedemikian rupa sehingga manusia dapat mengelola ekosistem tersebut demi kelulushidupannya sendiri. Jadi prinsip dasar ilmu lingkungan adalah bahwa manusia pada hakekatnya merupakan bagian dari lingkunan alam (ekosistem) dimana ia hidup. Dengan demikian, kalau kita ingin memecahkan permasalahan lingkungan, maka kita perlu terlebih dahulu memahami sistem lingkungan dimana kita berada. Masalah lingkungan yang kini kita hadapi, pada hakikatnya adalah masalah ekologi, khususnya masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena adanya perubahan lingkungan sehingga lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia dan mengganggu kesejahteraannya (Soemarwoto 1991).. Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan 2 ialah perubahan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia. Dengan makin besarnya jumlah manusia yang disertai dengan kebutuhan yang meningkat per orangnya dan meningkatnya kemampuan manusia untuk melakukan intervensi terhadap alam, baik alam abiotik maupun alam biotik, perubahan yang terjadi pada lingkungan makin besar pula. Perubahan yang makin besar itu, misalnya arus energi dan daur materi, telah mengganggu proses alam sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu pula. Dampak gangguan fungsi ekologi alam terhadap kesejahteraan manusia makin terasa pula, baik secara nyata maupun potensial. Suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto 1983). Menurut pengertian suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinterkasi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama komponen-komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itu akan terjaga. Telah dinyatakan oleh teori Godel sistem yang mengerti dirinya bahwa tidak ada sendiri. Untuk 3 menganalisis dan memahami sistem tidak cukup sistem tersebut hanya dengan berfungsi saja tetapi diperlukan komponen sistem yang lebih banyak. Suatu sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berinteraksi menurut proses tertentu, dan sistem sering divisualisasikan sebagai kotak-kotak komponen dengan hubungan-hubungan tertentu. Sistem yang demikian bekerja pula dengan secara sistematis dan teratur pada sistem alami (ekosistem). Sistem alami memiliki banyak komponen yang saling berhubungan. Rantai makanan ekologi yang khas dapat menggambarkan konsep urutan-urutan transformasi kualitas energi (Odum 1992).. Energi yang mendukung fitoplankton ditransformasikan melalui zooplankton, kemudian melalui ikan-ikan kecil ke ikan besar. Pada setiap tahapan, banyak energi terpakai dalam transformasi, dan hanya sejumlah kecil saja ditransformasikan ke kualitas yang lebih tinggi yaitu kualitas yang lebih terkonsentrasi dan dalam bentuk yang mampu bekerja/melakukan kegiatan secara khusus jika diumpankan kembali. Sistem riil cenderung membentuk jaring-jaring daripada membentuk rantai, namun perubahan energinya serupa. Penurunan energi diikuti oleh peningkatan kualitas. Materi mengalir dari mata rantai makanan yang satu ke mata rantai yang lain. Jika makhluk mati, tidak berati aliran materi terhenti, melainkan makhluk yang mati menjadi makanan makhluk yang lain. Misalnya, bangkai hewan dimakan oleh jasad renik, seperti bakteri dan 4 jamur, dalam proses pembusukan (Soemarwoto 1983). Dalam proses ini sebagian bangkai itu digunakan untuk menyusun tubuh jasad renik, sebagian lagi terbentuk gas CO2. Karbon dioksida ini kemudian digunakan oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis. Tumbuhan dimakan oleh makhluk herbivora dan berulanglah proses makanmemakan. Dengan demikian aliran materi merupakan daur. Dalam proses fotosintesis energi matahari ditambat oleh tumbuhan hijau. Dalam proses ini energi matahari diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam molekul gula glukosa. Gula selanjutnya diubah menjadi pati yang tersimpan dalam tubuh dan digunakan sebagai bahan untuk membentuk tubuh tumbuhan, misalnya akar, batang dan daun. Energi yang terkandung dalam tubuh tumbuhan itu menjadi sumber energi makhluk lain. Kalau kita makan nasi, misalnya, sebenarnya kita mendapat energi dari matahari. Juga kalau kita membakar kayu untuk memasak, sebenarnya kita menggunakan energi matahari. Materi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, hanya dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk lain (hukum konservasi materi). Apa yang telah kita buang masih ada di sekitar kita dalam suatu bentuk tertentu, tidak ada yang hilang. Materi yang terorganisasi dan terkonsentrasi merupakan materi yang biasanya dapat diubah menjadi sumberdaya yang bermanfaat dengan biaya yang terjangkau; sedangkan materi yang tak terorganisasi dan tersebar adalah materi kualitas rendah 5 yang seringkali memerlukan biaya yang tinggi untuk mengubahnya menjadi sumberdaya yang bermanfaat (prinsip kualitas materi). Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain (hukum pertama termodinamika). Energi yang terorganisasi atau terkonsentrasi adalah energi kualitas tinggi yang dapat digunakan untuk melakukan kerja; energi yang tak terorganisasi adalah energi kualitas rendah yang nilai gunanya rendah (prinsip kualitas energi). Pada setiap kenversi energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya, energi dengan kualitas tinggi dan bermanfaat selalu terdegradasi menjadi energi kualitas lebih rendah dan kurang bermanfaat, tidak dapat didaur ulang menjadi energi kualitas tinggi (hukum kedua termodinamika). Kelangsungan hidup, kualitas hidup dan perekonomian kita secara total tergantung kepada matahari dan bumi; bumi dapat terus ada tanpa kehadiran kita, tetapi mau kemana kita tanpa bumi? (prinsip sumberdaya bumi). Kita harus mencoba memahami dan bekerja dengan komponen alam lainnya untuk mempertahankan integritas ekologis, keanekaragaman hayati, dan adaptabilitas sistem pendukung kehidupan bumi untuk kepentingan kita dan spesies lain (prinsip keberlanjutan). Segala sesuatu saling berhubungan dan berkaitan dengan yang lainnya, kita semua berada dalam fenomena ini; kita perlu memahami hubungan-hubungan ini dan menemukan hubungan yang paling penting untuk mempertahankan kehidupan di muka bumi (prinsip 6 kesalingterkaitan). Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable) tidak boleh digunakan dengan laju lebih cepat daripada laju produksi atau pembaharuannya oleh proses alami (prinsip penggunaan berkelanjutan). Memanfaatkan energi matahari yang terperbaraui dan sumberdaya materi terperbaharui adalah cara hidup yang berkelanjutan. Penggunaan sumberdaya materi yang terperbaharui secara lebih cepat daripada laju pembaharuannya dan penggunaan materi dan energi yang tak terperbaharui akan menurunkan kualitas dan mengurangi sumberdaya bumi dan akhirnya menciptakan gaya hidup yang tak berkelanjutan (prinsip hidup berkelanjutan). Salah satu hal yang paling sulit untuk dijelaskan kepada umum dalam ruang lingkup lingkungan hidup adalah hal sumberdaya alam hayati (SDH). Sering terungkap ungkapan orang awam, mengapakah gajah perlu dilestarikan padahal gajah ini merusak kebun, bahkan membunuh manusia. Apakah binatang lebih penting daripada manusia, sehingga perlu dilindungi ? Bukankah ekosistem untuk manusia, sehingga perlukah binatang dan tumbuh-tumbuhan disetarakan kedudukannya setingkat dengan manusia ? Mengapa kita perlu ributribut hanya untuk 6 ekor harimau Sumatra, jika kawasan yang sama bisa diolah menjadi perkebunan yang bisa melindungi ratusan ribu manusia ? Sumberdaya alami hayati merupakan bagian dari mata rantai tatanan lingkungan atau ekosistem. SDH menjadikan lingkungan alam ini suatu lingkungan hidup 7 yang mampu menghidupi manusia. Semakin beranekaragam sumberdaya alam hayati ini, semakin stabil tatanan lingkungan. Suatu tatanan lingkungan yang hanya terdiri dari satu jenis tumbuh-tumbuhan sangat peka terhadap serangan hama. Keanekaragaman hayati merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya pelbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan tingkatan genetika. Ekosistem adalah suatu satuan lingkungan yang melibatkan unsur-unsur biotik (jenis-jenis makhluk) dan faktor-faktor fisik (iklim, air, tanah) serta kimia (keasaman, salinitas) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Gatra yang dapat digunakan sebagai ciri keseutuhan (entity) ekosistem adalah energitika (taraf trofi atau makanan: produsen, konsumen dan redusen), pendauran hara (peran pelaksana taraf trofi) dan produktivitas (hasil keseluruhan ekosistem). Jika dilihat komponen biotanya, jenis yang dapat hidup dalam ekosistem ditentukan oleh hubungannya dengan jenis lain yang tinggal dalam ekosistem tersebut. Selain itu, keberadaannya ditentukan juga oleh keadaan lingkungan fisik dan kimia di sekitarnya. Dengan demikian, interaksi antar organisme ditentukan juga oleh keseluruhan jenis dan faktor-faktor fisik serta kimia yang menyusun ekosistem itu. Masalah yang timbul selama ini adalah dalam pendekatan terhadap ekosistem itu. Timbul dua 8 komponen utama yang menyebabkan terpecahnya perhatian pakar-pakar lingkungan dalam menghadapi gejolak-gejolak lingkungan. Komponen itu adalah dua sudut pandang dari ekologi populasi/komunitas dan ekologi ekosistem. Kedua subdisiplin ini mempunyai perbedaan pendekatan untuk mengerti kondisi lingkungan. Salah satu perbedaan utama adalah fokus terhadap organisme versus fokus terhadap materi dan energi. Pertanyaaan dalam ekologi populasi dan komunitas biasanya diarahkan untuk menentukan distribusi dan kelimpahan spesies dan kelompoknya (misalnya Krebs 1985); pertanyaan dalam ekologi ekosistem umumnya terfokus pada materi dan aliran energi (misalnya Odum 1971). Untuk menghindari perbedaan yang semakin menajam itu maka timbullah dalam pengertian yang lebih luas , ekologi adalah kajian keilmuan proses-proses yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan organisme, interaksi antar organisme, dan interaksi diantara organisme dan transformasi dan aliran energi dan materi (Likens 1992). 2. Spesies dan Ekosistem Hagen (1992) memandang bahwa sasaran akhir dari investigasi ekologis adalah suatu pengertian tentang struktur populasi, komunitas, dan ekosistem. Struktur mengacu kepada jumlah dan jenis bagian komponen, dan kesamaan pengertian tentang struktur akan memerlukan 9 penggabungan pengetahuan tentang interaksi antar komponen dan di antara komponen dan lingkungannya. Pandangan yang kontras dengan itu, investigasi ekologi fungsi ekosistem bisa ditujukan pada pengertian efek proses ekosistem, interaksi, dan komponen pada konteksnya, atau pada sistem yang lebih besar dimana ekosistem adalah bagiannya. (Grimm 1995). Tempat yang baik untuk memulai identifikasi perbedaan antara subdisiplin adalah dalam buku-buku teks. Definisi umum ilmu ekologi adalah: Analisis eksperimental distribusi dan kelimpahan (distrubtion and abundance) (misalnya Krebs 1985), studi keilmuan interaksi di antara organisme dan lingkungannya (misalnya Begon et al., 1990). Begon et al. (1990) dan Krebs (1985) menempatkan ekologi benar-benar sebagai bagian dari ilmu biologi dengan penekanan tumpang tindihnya dengan behavior, genetik, fisiologi, dan evolusi. Banyak ahli-ahli ekologi lain menganggap itu tidak lengkap: ekologi juga tumpang tindih dengan hidrologi, geokemistri, geologi dan geomorfologi, dan bahkan mungkin dengan ilmuilmu sosial. Titik perhatian adalah relevansnya evolusi, genetik, dan behavior dengan ekologi ekosistem. Bidang ini sekarang bersekutu dekat dengan ekologi populasi dan komunitas daripada ekologi ekosistem. Banyak kritisi beranggapan bahwa istilah komunitas dan ekosistem masih kabur dan samar-samar, pemakaian istilah “fungsi dan peran” (“function and role”) 10 merupakan bahan bakar miskomunikasi, sekurangkurangnya antara ahli ekologi evolusi dan yang lainnya. Reiners (1986) secara bijaksana mengomentari model konseptual untuk kajian ekosistem yang ada dengan suatu pendapat bagaimana hukum dan teori bisa terorganisasi untuk menurunkan hipotesis yang dapat diramalkan. Dia menggambarkan struktur logika dua model yang mendasari banyak penelitian dalam ekologi ekosistem: yang pertama berhadapan dengan biokemistri dan yang satu berhubungan dengan aliran energi. Reiners membantah bahwa perkembangan model ini dan model ketiga (berhadapan dengan struktur populasi dan komunitas) dan keterkaitan satu dengan yang lain diperlukan untuk memfasilitasi pernyataannya dalam ekologi. Model yang dikemukakan oleh Reiners ini membuka jalan untuk melakukan penelitian tentang keterkaitan antara spesies dan ekosistem, tercatat diantaranya adalah Wedin (1995) dan Sterner et al. (1992). Dalam prakteknya, banyak data diperlukan untuk mengevaluasi peran spesies dalam ekosistem didapatkan dalam investigasi tipikal ekosistem (Grimm 1995). Informasi pertama yang dibutuhkan adalah kelompok fungsional, kemudian subsystem atau patches, dan akhirnya seluruh ekosistem, adalah cara yang terbaik untuk mencapai pengukuran aliran energi melalui konsumer. Sambil lalu, informasi tentang komposisi spesies, life histories, pilihan habitat, struktur ukuran populasi, dan redudansi fungsional dicapai. Apakah ada 11 bukti bahwa individu spesies dapat mempengaruhi fungsi ekosistem? Kunci untuk meramalkan suatu pengertian apa keistimewaan spesies dan/atau ekosistem kondusif terhadap redudansi fungsional (Lawton dan Brown 1993). Untuk ekosistem, karakteritik seperti itu adalah jumlah paras trofik yang efektif, ketersediaan dan keterbatasan unsur hara, tipe kelompok fungsional, rezim pengganggu, dan derajat heterogenitas spatial dan/atau temporal; untuk spesies, kemampuan kompetitif, efisiensi pemangsaan, sifat life histories, dan kemampuan matabolik atau keunikan biokemikal (misalnya fiksasi nitrogen) mungkin penting. Semenjak Paine (1969) pertama mendefinisikan suatu keystone predator, istilah “keystone” diperluas ke spesies yang bila dihilangkan akan menghasilkan perubahan dalam struktur komunitas atau fungsi ekosistem. Bila ini diterapkan terhadap ekosistem, keystone spesies adalah spesies yang memberi kontribusi terhadap fungsi ekosistem secara unik. Jika kita bisa membagi ekosistem ke dalam fungsi esensial atau proses (dalam terminologi Wilson disebut “ecosystem services”). Fungsi esensial secara kasar bisa diklasifikasi sebagai trofik, biogeokemikal, dan struktural, dan Keystone species adalah anggota tunggal trofik, biogeokemikal, atau kelompok fungsional. Interaksi spesies dapat mempengaruhi ekosistem secara kuat melalui dua rute yang berbeda (Levinton 1995). Pertama, mungkin spesies biological interactor dan mempengaruhi spesies lain melalui predator atau 12 kompetitor. Pada ekosistem laut, predator selalu berpengaruh kuat terhadap spesies mangsa, pada titik penghancuran. Alternatif lain, mungkin spesies sebagai habitat fabric interactor, dan mengubah habitat fisiknya sendiri (Lawton dan Jones 1995). Berang-berang, misalnya, mengubah hidrologi aliran sungai dan secara radikal mengubah dengan segera batas air (watershed), aliran unsur hara, dan struktur habitat spesies akuatik dan teresterial sekitar (Pollock et al. 1995). Invertebrata marine deposit feeder menggali lubang pada sedimen yang lunak dan memakan beberapa bagian dari sedimen, mencerna dan mengasimilasi beberapa bahan organik hidup dan tidak hidup dalam suatu proses. Lubang dan aktivitas memakan mengubah fabrik sedimen, dan pada gilirannya akan mengubah lingkungan untuk deposit feeder itu sendiri tetapi juga organisme mikrobial dan untuk spesies bentik yang lain. Atas dasar itu Lawton dan Jones (1995) menyimpulkan bahwa deposit feeder adalah engineers dan mempengaruhi pabrik habitat ekosistem. Deposit feeder, dengan demikian, berinteraksi langsung dengan spesies lain melalui kompetisi ruang dan makanan, dan karenanya juga berfungsi sebagai biological interactors. Penggalian lubang dan aktivitas makan biasanya meningkatkan kandungan air sedimen, dan terbentuk banyak sekali fecal pellet yang meningkatkan ukuran butiran sedimen dari lumpur yang halus menjadi pasir halus, dan selalu terjadi oksigenasi sedimen dalam proses ini. Penggalian lubang pada permukaan sedimen 13 akan membentuk atau menciptakan tiga dimensi struktur ekosistem sedimen (Levinton 1995). Pengadukan fisik sedimen, atau disebut bioturbation, meningkatkan penetrasi oksigen. Ini biasanya akan menghasilkan suatu lapisan horizontal yang disebut redox potential discontinuity (RPD), yaitu batas antara reaksi oksidatif di atas dan reaksi reduksi di bawahnya. Reaksi oksidatif dan reduktif melintasi lapisan interface ini difasilitasi oleh berbagai jenis bakteria yang memperoleh energi dari oksidasi dan reduksi senyawa-senyawa sulfur. Deposit feeder bisa memodifikasi kandungan air sedimen, gradien kimia vertikal (vertical chemical gradient), dan paras makanan. Deposit feeder juga mengambil ruang dan bisa memonopoli lingkungan, dengan demikian akan mengusir spesies lain ke luar. Contoh yang paling sederhana adalah tube-dwellers (polychaeta) yang bisa menghambat keberadaan penggali atau tube-dweller lain. Secara relatif mudah untuk menemukan contoh dimana herbivora atau paras konsumer yang lebih tinggi dapat menyebabkan perubahan komposisi spesies, keragaman, produktivitas, dekomposisi, daur unsur hara, masuk dan keluarnya unsur hara, atau proses geomorfik dan hidrologi (Huntly 1991). Namun, secara umum pengaruh konsumer terhadap dinamika ekosistem masih diperdebatkan secara keras. Banyak penelitian telah dilakukan terhadap konsumer pada paras ekosistem akuatik daripada di teresterial (Carpenter et al. 1991). Belum memperjelas bahwa pengaruh yang kuat 14 diperlihatkan terhadap komposisi spesies, produktivitas, dan dinamika unsur hara dalam ekosistem itu. Paling banyak bukti yang tegas bahwa herbivora mempengaruhi proses-proses dalam ekosistem datang dari manipulasi ekperimental populasi herbivora, salah satunya secara langsung tiadanya herbivora atau manipulasi konsumer paras tinggi yang mengendalikan ukuran atau komposisi paras trofik herbivora. Eksperimen ini menghasilkan beberapa demonstrasi memperjelas herbivora besar mempengaruhi dinamika ekosistem (misalnya, produktivitas primer dan laju daur unsur hara) (Pollock et al, 1995; Power 1990). Pengaruh konsumer terhadap proses-proses ekosistem umumnya adalah efek umpan balik. Jenis dan jumlah organisme yang ada dalam suatu ekosistem secara mendasar terkendala oleh berbagai sifat paras ekosistem itu sendiri. Sifat paras ekosistem tersebut antara lain terbatasnya jumlah organisme dalam suatu lingkungan, dan pengaruh lokasi dan aktivitas yang ada di dalamnya. Kepadatan populasi dan perilaku konsumer adalah cara dimana organisme itu terdistribusi dan menggunakan habitatnya, secara kuat dikendalikan oleh sifat paras ekosistem itu. Yang paling sederhana, produktivitas primer dari suatu ekositem sudah dirancang suatu batas maksimum kepadatan populasi konsumer yang mampu ditunjangnya. Ini adalah dasar dari argumen Oksanen dan Fretwell yang menyatakan bahwa konsumer akan secara kuat membatasi biomasa tumbuhan pada paras produktivitas ekosistem yang menunjang biomassa 15 herbivoras tinggi, tetapi tidak cocok untuk menunjang cukup karnivora pada batas herbivora. Variasi dalam produktivitas primer pada skala kecil juga mempengaruhi perilaku banyak herbivora, dan dengan demikian menentukan pola dampaknya dalam kawasan itu. Aspek-aspek lingkungan lain, juga membatasi kepadatan populasi dan perilaku herbivora. Sumber air adalah foci hewan dalam beraktivitas pada banyak ekosistem teresterial, yang pada gilirannya akan mengubah dinamika vegetasi dan unsur hara. Fragmentasi habitat dan isolasi juga bisa mempengaruhi jenis, jumlah, dan pengaruh konsumer. Spesies hewan bisa berbeda kemampuannya untuk mengeksploitasi habitat (Foster dan Gaines 1991). Herbivoras secara nyata mempengaruhi komposisi spesies komunitas tumbuhan pada tempat mereka diam (Huntly 1991). Spesies tumbuhan berbeda dalam fonologi tumbuhnya, laju tumbuh maksimum, tipe ukuran dan pola alokasi, uptake dan retensi unsur hara dan air, dan kualitas dan kuantitas serasah (Pastor et al. 1993; Wedin 1995). Dengan demikian, herbivora yang mengubah komposisi komunitas tumbuhan akan selalu mengubah dinamika ekosistem. Walaupun selalu kurang dianggap, herbivora juga bisa mempengaruhi perilaku tumbuhan, yaitu, herbivora bisa mengubah cara dimana tumbuhan dari satu fungsi spesies dan interaksinya dengan spesies lain atau komponen abiotik dari lingkungannya. Dengan menggunakan istilah 16 “behavior”, perilaku, Huntly (1995) menunjukkan konsep yang sama untuk memahami proses yang terjadi pada hewan dengan predator: seekor predator dapat mengubah kelimpahan populasi mangsa dan dengan demikian mengubah efek kuantitatif spesies itu terhadap spesies lain atau komponen ekosistem tetapi tidak mengubah aturan yang menjelaskan interaksi ini. Alternatifnya, predator dapat menyebabkan perubahan dalam perilaku mangsanya, mengubah bagaimana interaksinya dengan lingkungan (Huntly 1991). Efek non-trofik yang dihasilkan dari efek langsung konsumer terhadap lingkungan fisika-kimiawi (seperti pergerakan dan struktur tanah, sedimen, atau material lain; penggalian lubang, pembuatan jalan kecil) dan juga dari efek non-trofik terhadap tumbuhan (terinjak-injak; tergunting; tergores; atau terpotong tetapi bukan termakan, atau sebaliknya menyebabkan gugur daun). Efek non-trofik ini, oleh Lawton dan Jones (1995) digolongkan ke dalam “allogenic engeneering”, kurang menjadi kajian jika dibandingkan dengan efek trofik. Tentu saja efek nontrofik berang-berang (beaver) bertanggungjawab untuk suatu porsi utama pengaruhnya terhadap ekosistem. Siput seperti Littorina littorea terbatas pembentukan habitatnya pada dasar perairan lunak yang dangkal, sebagai akibat dari pemerataan pada saat grazing. Sejumlah konsumer mempengaruhi tanah dengan penggundukan, pengadukan, dan pembuatan terusan atau terowongan, dan mempengaruhi aerasi, pergerakan air, relief topografi, dan dinamika unsur hara. 17 Herbivora selalu, melalui jalur trofik dan non-trofik, secara kuat memodifikasi struktur lingkungan baik secara spatial maupun temporal, hal ini bisa menyebabkan fungsi ekosistem terpola oleh konsumer (Grimm 1995). Variasi dalam kecocokan habitat dalam ruang dan waktu memiliki efek yang kuat terhadap populasi dan komunitas. Variasi lingkungan memberikan kesempatan buat populasi menanggapi cara-cara yang nonlinear dan nonadditive yang dihasilkan dalam pola kelimpahan spesies. Hal itu memperlihatkan bahwa dinamika ekosistem juga dipengaruhi oleh semacam struktur lingkungan yang konsumer buat. Efek herbivora dalam ekosistem kadang secara konseptual sebagai penghancur, sebagai herbivora yang secara fisik menggangu pola jalur atau bisa memakan tumbuhan. Huntly (1995) menyimpulkan bahwa herbivora dapat secara nyata mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem dan merupakan suatu kajian yang menarik (1) pengaruh konsumer terhadap perilaku tumbuhan, (2) pengaruh konsumer pada paras bentang alam, (3) efek non-trofik konsumer, dan (4) efek konsumer terhadap struktur ekosistem dan konsekuensinya terhadap proses-proses ekosistem. Fauna tanah memainkan peran nyata dalam proses paras ekosistem pada ekosistem teresterial melalui interaksinya dengan komunitas mikrobial dan pengubahan lingkungan fisik. Pada ekosistem teresterial ini, fauna tanah merupakan komponen utama jaringan makanan sebagai dekomposer (peluluh) dan merupakan kunci 18 pengatur peluluhan dan proses mineralisasi unsur hara. (Parmelee 1995). Walaupun sebagian terbesar sistem, komunitas mikrobial mampu memineralisasi kurang lebih 90% karbon (C) dan nitrogen (N), akitivitasnya sendiri diatur oleh fauna tanah. Fauna tanah mengatur aktivitas mikroba dengan langsung memakan bakteri dan fungi, dan dengan pemindahan propagul mikroba ke substrat yang baru. Setelah memakan mikroba, fauna tanah mengekskresikan N anorganik yang kemudian tersedia untuk aktivitas mikroba lebih lanjut atau diambil (uptake) oleh tumbuhan. Dua kelompok yang selalu mendominasi secara numerik dalam komunitas fauna tanah adalah nematoda dan microarthropoda. Kelompok fauna ini, keragaman spesiesnya sangat tinggi, dan seluruh kelompok trofik terwakili (baketrivora, fungivora, herbivora, imnivora, predator). Karena kelimpahan dan keragaman yang tinggi, dan keberadaannya pada setiap paras trofik, komunitas nematoda dan mikroarthropoda tanah dapat secara sensistif berfungsi sebagai detektor perubahan parameter-parameter ekosistem. Nematoda adalah cacing gelang mikroskopis yang mendiami lapisan tipis air pada partikel tanah, dan selalu dalam jumlah jutaan individu per meter bujur sangkar. Dua kelompok besar nematoda yang paling penting yang mempengaruhi turnover unsur hara dengan memakan mikroba adalah bakterivora dan fungivora. Dinamika komunitas dan populasi bakteriovora telah diketahui secara positif ada hubungannya dengan kepadatan dan 19 produksi bakteri. Demikian juga , nematoda fungivora diketahui menurunkan kepadatan hypha fungi. Komunitas mikroarthropoda terdiri dari sebagian besar tungau (mite) dan kolembola (collembola) yang mendiami ruang pori yang berisi udara dalam tanah, dan jumlahnya ratusan ribu per meter bujur sangkar. Mikroarthropoda yang memakan fungi (fungivora) secara khusus mempengaruhi peluluhan serasah dan dinamika nitrogen (N) pada ekosistem teresterial. Mikroarhtropoda juga bisa mempengaruhi laju daur unsur hara dengan memangsa nematoda bakteriopora (Santos et al. 1981). Berang-berang (Castor canadensis) memepengaruhi keadaan dan proses ekosistem (misalnya; daur biogeokemikal, retensi unsur hara, geomorfologi, keragaman hayati (biodiversity), dinamika komunitas, dan kompleksitas struktur) dengan mengubah sifat-sifat fisik aliran air dan hutan riparian (Pollock et al. 1995). Berang-berang mempengaruhi distribusi, standing stock, dan ketersediaan unsur-unsur kimia dengan mengubah hidrologi; mengubah geomorfologi aliran dengan adanya dam yang memerangkap sedimen; dan mengubah iklim mikro karena bertambah luasnya permukaan air. Berangberang juga meningkatkan keragaman dan biomassa tumbuhan, vertebrata, dan invertebrata, dan juga mengubah dinamika suksesi komunitas riparian. Pollock et al. (1995) menyimpulkan bahwa proses dan kondisi paras ekosistem dapat diubah secara radikal oleh dinamika populasi spesies tertentu seperti berang-berang. 20 Berang-berang mempengaruhi proses-proses abiotik dengan mengubah kondisi hidrologi aliran dan hutan yang berhampiran. Perubahan hidrologi akan mengubah dalam jangka pendek dan panjang geomormologi, biogeokemistri, dan iklim mikro. Pengubahan geomorfik aliran dan lantai lembah telah banyak terjadi sebagai akibat dam yang dibuat oleh berang-berang. Dam yang dibuat itu akan menurunkan kecepatan aliran air, meningkatkan laju sedimentasi. Contohnya, hampir 10.000 m3 sedimen/km aliran ditahan oleh dam berangberang pada aliran sungai Matamek dan Moise, Quebec, Canada (Naiman et al. 1986). Berang-berang mempengaruhi dinamika komunitas tumbuhan riparian (Johnston dan Naiman 1990b), organisme bentik pada aliran (McDowell dan Naiman 1986), ikan (Dahm dan Sedell 1986), hewan liar (Petersen dan Low 1977; McKelvey et al. 1983), keragaman komunitas dan struktur aliran/sungai dan hutan (Naiman et al. 1984; Johnston dan Naiman, 1990a), dan nilai nutrisi spesies tumbuhan tertentu (Basey et al. 1990). Ecosystem engeneers adalah organisme yang secara langsung maupun tidak langsung memodulasi atau mengatur ketersediaan sumberdaya untuk spesies lain, dengan mengubah keadaan fisik material abiotik maupun biotik (Lawton dan Jones 1995). Ada dua jenis engineers: autogenic angineers mengubah lingkungan melalui struktur fisik mereka sendiri, yaitu, jaringan hidup atau mati. Allogenic engineers mengubah 21 lingkungan dengan transformasi material hidup dan tak hidup dari satu keadaan fisik ke yang lain, melalui mekanis atau cara lain. Ada sejumlah contoh engineering: hewan bentik (Levinton 1995; Giblin et al. 1995); herbivora (Huntly 1995); invertebrata dan mikroorganisme (Andersen 1995); dan berang-berang (beaver) (Pollock et al. 1995). Berang-berang membuat dam yang mengubah hidrologi, sedimen, dan retensi bahan organik, daur unsur hara, peluluhan dan komposisi dan keragaman komunitas tumbuhan dan hewan (Naiman et al. 1988; Pollock et al. 1995). Pada lingkungan bentik perairan laut aktivitas hewan penggali lubang memainkan peran dominan dalam menentukan struktur sedimen,mengubah kecocokan habitat untuk spesies organisme lain (Meadows dan Meadows 1991; Levinton 1995; Giblin et al. 1995). Dampak ekologis engineer tergantung pada skala spatial dan temporal aksinya (Lawtion dan Jones 1995). Enam skala faktor dampak, yaitu (1) life time per capita aktivitas indivual organisme; (2) densitas populasi, (3) distribusi spatial populasi, regional maupun lokal; (4) lamanya waktu populasi berada di suatu tempat; (5) daya tahan konstruksi, artifak, dan dampak ketidakberadaan engineer; dan (6) jumlah dan tipe aliran sumberdaya yang dimodulasi oleh konstruksi dan artifak, dan jumlah spesies lain yang tergantung kepada aliran sumberdaya ini. 22 Proses-proses ekosistem seperti produksi primer dan peluluhan /dekomposisi kadang-kadang dipertahankan pada paras mendekati konstan meskipun cekaman secara substansial terhadap spesies yang melakukan proses itu sangat kuat (Howart 1991; Lawton dan Brown 1993; Anderson 1995). Daya tahan terhadap perubahan seperti itu pada paras ekosistem menggambarkan suatu kelengkapan fungsi sistem; spesies dengan fungsi yang sama menggantikan spesies yang hilang akibat cekaman. Fungsi saling melengkapi, kadang-kadang diistilahkan “redundancy” , juga terjadi dalam situasi dimana spesies pendatang menyebabkan perubahan yang besar dalam suatu komunitas tetapi tidak mempengaruhi prosesproses ekosistem yang ada (Vitousek 1990). Ada sejumlah kasus perubahan besar pada proses ekosistem yang dapat akhirnya terkait dengan perubahan dalam populasi spesies tunggal (Carpenter dan Kitchell 1993; Pollock et al. 1995). Penentuan bila fungsi saling melengkapi itu terjadi dan memahami faktor-faktor yang mengendalikannya tergantung pada pertalian antara ekologi populasi dan ekosistem (Frost et al. 1995). Energi memainkan peran penting sekali dalam seluruh aspek penelitian ekologi, termasuk diantaranya: (1) ekologi biofisik (biophisical ecologi), yang mempelajari perangkat individu organisme dengan lingkungannya melalui suatu perubahan energi dan materi; (2) ekologi jaring makanan (food web ecology), di mana efisiensi transmisi energi ke rantai makanan memainkan peran dalam struktur jaring makanan; (3) teori komunitas, di 23 mana hubungan antara ketersediaan energi dan kekayaan spesies dalam komunitas ekologi ditemui (Currie 1991); (4) teori ekosistem, di mana hipotesis untuk sifat-sifat statis dan dinamis ekosistem seperti suksesi melibatkan prinsip-prinsip energi (Odum 1971); dan (5) teori evolusi, di mana termodinamika sistem organisasi diri dapat diterapkan terhadap evolusi biologis (Brown 1995). 3. Lingkungan dan Keystone Spesies Keystone adalah stone (batu) pada puncak suatu archa yang menyokong batu-batu lain dan menjaga seluruh archa dari kerubuhan. Keystone species adalah spesies di mana keberadaan sebagian besar spesies lain yang ada dalam suatu ekosistem tergantung. Jika suatu keystone spesies hilang atau musnah dari suatu sistem, spesies yang tergantung kepadanya juga akan hilang. Keystone species bisa berasal dari top carnivores (karnivora puncak) yang menjadi penjaga keberadaan mangsa, herbivora besar yang membentuk suatu sistem dengan spesies lain, tumbuhan tertentu yang menyokong kehidupan serangga tertentu yang menjadi mangsa burung, kelelawar yang menyebarluaskan biji-bijian tanaman, dan banyak lagi organisme lain. Konsep Keystone species menjadi arus utama dalam literatur-literatur ekologi dan biologi konservasi sejak diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Robert T. Paine seorang ahli zoologi pada tahun 1969. Keystone 24 species biasanya terlihat bila hilang atau diambil dari satu ekosistem, menghasilkan perubahan yang dramatis terhadap spesies yang tertinggal dalam komunitas itu. Fenomena ini diamati pada ekosistem dan organisme dalam kisaran yang luas. Keystone species adalah suatu spesies yang kelulushidupan sejumlah spesies lain tergantung kepadanya. Keystone species adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan yang kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain. Keystone species adalah spesies yang dampaknya terhadap komunitas dan ekosistem tempat dia hidup sangat besar, dan tak seimbang dengan kelimpahannya (Power dan Mills 1995). Mereka memainkan peran yang besar dalam struktur komunitas. Keystone predator: predator yang memainkan peran tak seimbang dalam struktur komunitas. Contoh termasuk bintang laut (Pisaster ochraceus) dan berang-berang laut (Enhydra lutris). Keystone species adalah spesies yang memperkaya fungsi ekosistem dalam suatu cara yang unik dan nyata melalui aktivitasnya, dan efeknya adalah ketidakseimbangan terhadap kelimpahan numeriknya. Kepunahan atau diambilnya spesies ini menyebabkan bermulanya perubahan pada struktur ekosistem dan selalu mengurangi keragaman (diversitas). Keystone species memiliki beberapa aspek khusus yang membuat mereka lebih berarti dalam suatu ekosistem. Sebagai contoh, tumbuhan dengan jumlah biomassa 25 yang besar (kanopi yang rimbun) adalah penting, bukan merupakan suatu keystone species. Tetapi di ekosistem sub-tidal, kepunahan atau pengambilan bintang laut secara besar-besaran dapat menyebabkan predator lain berkembang pesat dan menyapu bersih berbagai jenis alga yang hidup di ekosistem itu. Dengan demikian bintang laut adalah keystone species. Sulit untuk meramalkan atau mengetahui apakah spesies tertentu adalah keystome species. Biasanya baru akan disadari setelah spesies itu punah atau diambil dari ekosistem itu, dan akan terlihat efeknya. Hal itu memperlihatkan bahwa banyak sistem memiliki keystone species, tetapi itu belum banyak diketahui oleh banyak orang. Konsep ini dapat diterapkan terhadap kelompok spesies dan juga satu individu spesies. Pakar-pakar ilmu pengetahuan tentang ekologi mengerti bahwa komunitas hidup baik tumbuhan maupun hewan tergantung secara kuat pada salah satu yang lain untuk lulushidup. Tumbuhan memberikan unsur hara esensial dan energi untuk hewan yang memakan tunas atau memamah daun-daunnya dan, akhirnya, karnivora memakan herbivora ini. Bila tumbuhan dan hewan mati, fungi, mikroba, dan organisme lain menambang unsur hara dari jaringan yang mati dan mengembalikan unsur kimia ke tanah. Terjadi pengayaan baru, tanah menjadi siap kembali menyokong generasi lain dari tumbuhan dan hewan. Tumbuhan dan hewan saling terkait pada banyak paras dan dalam cara yang hampir tak terbatas. Berbagai 26 spesies tumbuhan, misalnya, menyandarkan diri kepada hewan – serangga, kelelawar, hewan pengerat dan yang lainnya – untuk membawa pollen dan pembuahan biji. Dan, berbagai hewan mengharapkan tumbuhan sebagai shelter (tempat berteduh) – percabangan untuk tempat meletakkan sarang atau tumbuhan yang tinggi untuk menghindari diri dari predator atau penyergapan mangsa. Begitu pula, akar menahan tanah untuk melawan erosi, menjaga terjadinya pelumpuran masuk ke aliran dan air tetap jernih untuk kehidupan ikan dan organisme lain. Di dakam suatu habitat, setiap spesies berhubungan dengan dan tergantung pada spesies lain, dan masingmasing spesies menyumbang kepada integritas seluruh habitat itu. Beberapa spesies memberikan layanan esensial yang juga unik terhadap habitatnya. Tanpa kerja dari spesies kunci ini, perubahan habitat akan terlihat nyata dan berpengaruh. Pakar ilmu pengetahuan menyebut spesies yang memainkan peran amat penting ini dengan nama “keystone species”. Kepunahan atau lenyapnya suatu keystone dari ekosistem akan memicu hilangnya spesies residen yang lain, dan hubungan yang rumit diantara spesies residen yang tinggal menjadi terlepas dan terurai. Dalam efek domino ini, spesies akan hilang seperti mengalirnya air, hilangnya satu spesies akan diikuti oleh spesies lain. Gajah rupanya merupakan keystone species pada padang rumput Afrika. Ini berarti, tanpa gajah, padang rumput berhenti jadi padang rumput, akan ditumbuhi oleh tumbuhan berkayu, berubah menjadi hutan atau semak 27 belukar. Sebagai keystone species, gajah menghalangi perubahan padang rumput menjadi hutan atau belukar dengan melakukan penyiangan pohon dan semak. Gajah memakan tunas-tunas tumbuhan berkayu, merenggut pohon-pohon muda sampai keakar-akarnya. Cepat atau lambat gajah akan mendorong tumbuhan yang besar, merenggut tanaman yang kecil, atau membunuh secara perlahan. Sebagai pengganti dari usaha gajah mencegah terjadinya penghutanan padang rumput, gajah berpesta pora dengan rumput yang menghijau. Pemamahan ini tidak akan merusak padang rumput – telah terjadi keharmonisan antara padang rumput dan perumput. Rumput hidup menyenangkan dengan perumput dengan pengorbanan sedikit daunnya untuk menjaga akar dan pertumbuhan. Rumput dan perumput hidup dalam keharmonisan. De Leo dan Levin (1997) memberikan diskripsi yang baik tentang konsep Keystone species dan kelompok fungsional. Smirnova (1998) mencatat, “dinamika populasi keystone species merupakan suatu pola mosaik suksesi vegetasi”. Daur ulang energi dan materi didominasi oleh aktivitas hidup keystone species, dan aktivitas ini menentukan perubahan utama pada skala spatial atau temporal di tempat dimana spesies itu terdapat. Mosaik populasi dari spesies kunci memiliki dimensi spatial dan temporal yang paling besar, dan mosaik populasi dari spesies yang di bawahnya ditentukan oleh spesies kunci. 28 Perlu digarisbawahi bahwa kita mengusulkan keystone species hanya spesies yang populasinya menyokong atau secara esensial mengubah pola vegetasi ekosistem (Khanina 1998). Di bawah pemahaman seperti itu, misalnya, hanya pohon yang dapat dianggap sebagai keystone species komunitas hutan (detritus ecosystem), dan bison yang dapat dipandang sebagai keystone species komunitas padang rumput (pasture ecosystem). Tipe ekosistem akan berubah bila keystone species hilang karena beberapa sebab, atau bila keystone baru yang lebih kuat datang ke ekosistem itu. Mozaik suksesi pada tumbuhan dihasilkan dari kehancuran biotik dan abiotik pada skala spatiotemporal yang berbeda. Hirarki kehancuran vegetasi ini dihasilkan dalam suatu pola hirarki mozaik populasi tumbuhan. Contoh kehancuran dalam skala yang relatif besar pada daerah sedang (temperata) adalah (1) catastrophic event (bencana besar) (seperti kebakaran, angin ribut/topan); (2) pathogens (seperti fungi atau insekta); dan (3) pola makan mammalia (seperti bison atau berang-berang). Setiap tahun, jutaan dolar dibelanjakan untuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan (Carpenter 1998). Hal itu diyakini secara luas bahwa ilmu pengetahuan memiliki peran untuk bermain dalam aktivitas ini. Sebagaimana dicatat oleh Schulze dan Mooney (1993), keystone species bisa dipandang sebagai kelompok funfsional. Mereka menyimpulkan bahwa tantangan utama dalam penelitian bagi pakar ekologi adalah meramalkan yang mana spesies dalam komunitas 29 adalah keystone species atau memiliki efek kunci, atau yang mana spesies yang bisa cocok di bawah kondisi lingkungan yang berubah. Davic (2000) berpendapat bahwa pakar-pakar ekologi dapat menjawab tantangan ini hanya jika konsep Paine tentang keystone predation dipertahankan. Davic (2000) dan Piraino dan Fanelli (1999) merevisi konsep asli Paine (1966, 1969) tentang keystone species, menentang penggunaan key dan keystone species dipertukarkan. Mereka mendefinisikan keystone species, sebagai suatu spesies predator yang secara potensial memelihara kekayaan keragaman spesies di dalam kelompok fungsional komunitas mangsa. Penulis ini mengusulkan bahwa “keystone” species adalah predator, dan beranggapan herbivora tidak merupakan keystone species, tetapi agaknya adalah “key species”. Definisi ini, walaupun mengacu kepada konsep awal Paine, terlalu terbatas cakupannya (Higdon 2002). Suatu spesies dengan suatu fungsi ekosistem yang penting dapat dipandang sebagai keystone species, dan ini akan termasuk herbivora dan juga karnivora. Sebagai suatu contoh, kelinci sepatu salju (Lepus americanus) mempengaruhi pola vegetasi melalui memakan tunas (browsing) dan merupakan sumber mangsa penting bagi berbagai jenis burung dan predator mamalia. Keberadaan kelinci membantu pemeliharaan keragaman spesies yang tinggi pada komunitas predator. Jika itu lenyap akan menghasilkan perubahan yang nyata pada komposisi hutan dan kemunduran populasi karnivora secara 30 substansial. Kemunduran ini jauh lebih berat daripada kehilangan spesies mangsa yang lain. Kelinci sepatu salju dengan demikian memiliki “disproportionate effect” (Piraino dan Fanelli 1999) pada komunitas vertebrata. Keystone predator dapat sebagai keystone species, tetapi keystone species tidak selalu adalah predator. Hilangnya suatu spesies dapat menyebabkan beberapa efek atau pengaruh terhadap spesies yang tinggal dalam suatu ekosistem – apa jenisnya dan seberapa banyak sangat tergantung atas karakteristik ekosistem itu dan atas peran yang diberikan oleh spesies itu dalam strukturnya. Cascade effect terjadi bila kepunahan lokal satu spesies secara signifikan mengubah ukuran populasi spesies lain. Cascade effect seperti itu terutama mungkin bila hilangnya spesies keystone predator, keystone mutualist, atau mangsa specialist predator. Seberapa banyak spesies predator yang hilang dapat mempengaruhi ukuran populasi mangsa tergantung kepada seberapa banyak predator membatasi populasi mangsa. Jika ukuran populasi mangsa ditentukan oleh kenyataan lain selain daripada predasi, itu dikatakan donor-controlled. Misalnya, invertebrata yang menggali lubang seperti mussel atau bernacle hanya mengkonsumsi sebagian kecil plankton laut, konsekuensinya pengambilan invertebrata ini tidak akan mempengaruhi ukuran populasi plankton. 31 Pada sistem kendali predator (predator-controlled system), ukuran populasi mangsa ditentukan oleh predasi (pemangsaan). Dalam sistem seperti itu, dampak hilangnya pemangsa dapat secara substansial berpengaruh besar dalam rantai makanan. Jadi dapat dikatakan bahwa keystone predator tidak hanya mempengaruhi ukuran populasi mangsa tetapi juga keragaman spesies komunitas. Dari kawasan dingin di Alaska sampai ke kawasan panas di Baja California, pada pantai berbatu yang terdedah antara pasang tinggi dan rendah, hidup sekelompok organisme laut dalam kondisi keseimbangan yang peka terhadap yang lainnya. Tetapi salah satu organisme, starfish (Pisaster ochraceus), adalah pilar dari komunitas yang kestabilan seluruh sistem tergantung kepadanya. Jika predator tunggal itu hilang atau diambil, perubahan dramatis terhadap keragaman dan densitas terhadap seluruh spesies lain yang ada dalam komunitas itu. Starfish adalah keystone spesies pada kawasan intertidal. Ilustrasi yang baik tentang konsep keystone species Paine diperlihatkan oleh sea otter (berang-berang laut) yang dahulunya mendiami kawasan yang sangat luas mulai dari kepulauan Jepang, terus ke Aleutian Islands, ke bawah ke pantai Amerika Utara dan sampai ke selatan Baja California. Kembalinya sea otter ke selatan California, misalnya, mengembalikan padang ganggang dan kehidupan laut yang berasosiasi dengannya. Hal itu karena salah satu makanan favorit sea otter adalah sea 32 urchine, yang ganggang. akhirnya memulihkan kumpulan Paine (1969) tidak hanya menciptakan istilah “keystone species”, tetapi juga memperlihatkan karekteristik yang dibutuhkan untuk satu spesies dapat memiliki status keystone: (1) itu harus memberikan efek top-down (seperti predasi) terhadap trofik yang dibawahnya, (2) itu melindungi monopolisasi sumberdaya yang kritis (seperti kompetisi terhadap ruang) pada paras trofik yang lebih rendah. Sinergi antara keduanya, top-down (predasi) dan bottom-up (kompetisi) menghasilkan interaksi yang harus (3) menstabilkan keragaman komunitas. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan itu, Davic (2002) masih meragukan penggunaan istilah “key species atau ecologically dominant species”, atau dalam kasus berang-berang (beaver), “ecosystem engineers” (Jones et al. 1994). Davic (2002) dan Higdon (2002) sepakat bahwa tidak seluruh keystone species mesti predator. Konsep keystone species Paine (1969) dapat dikembangkan terhadap produser primer, fungi, dan bakteria yang memiliki kemampuan bi-directional (topdown, bottom-up) dalam rantai makanan. Kesehatan lingkungan selalu diukur dari keberadaan, ketidakberadaan, atau kelimpahan suatu spesies indikator pada suatu tipe habitat. Suatu spesies indikator adalah spesies yang memiliki kisaran toleransi ekologis sempit yang keberadaan dan ketidakberadaannya adalah indikasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Beberapa spesies diketahui memiliki peran yang besar yang tak sebanding 33 dalam menentukan stuktur komunitas secara keseluruhan dalam suatu ekosistem. Spesies ini disebut keystone species. Salah satu kontribusi penting yang fundamental konsep keystone species adalah perhatian terhadap studi ini dapat menggambarkan kekuatan interaksi yang berbeda dalam jaring makanan komunitas (Mills et al. 1993). Kontribusi penting yang kedua dari paradigma keystone adalah implikasinya yang hanya spesies minoritas memiliki interaksi kuat yang mempengaruhi komposisi komunitas. Di awal 1960an, pakar-pakar ekologi mengakui adanya “keystone groups”, atau “functional groups”. Penelitipeneliti menjelaskan banyak sistem dimana kelompok spesies berfungsi sebagai satu unit, secara kolektif memainkan peran yang nyata sebagai suatu keystones species dalam sistem yang lain (Levin dan Peale 1995).Di dalam kelompok fungsional ini, peran-peran tertentu diisi oleh satu dari beberapa spesies secara dipertukarkan; ini adalah redundansi ---“ecosystem insuranca”. 4. Kepiting sebagai Keystone Spesies Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan suatu ekoton yang terletak pada daerah pertemuan antara ekosistem laut dan ekosistem daratan, karena itu memiliki karakteristik yang unik, dengan faktor-faktor lingkungan yang 34 menggambarkan lingkungan darat dan laut, dan kekhasan sendiri terutama faktor lingkungan yang sangat berfluktuatif. Kawasan hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penghambat intrusi air laut, gelombang ataupun angin yang merusak ekosistem darat. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem terbuka, terjadi pertukaran materi dan energi dengan ekosistem laut dan daratan. Komunitas mangrove diakui secara luas merupakan unsur penting pada ekosistem pantai tropis (Robertson 1991), memiliki sistem produktif yang tinggi yang berfungsi sebagai nursery ground untuk banyak spesies organisme laut yang komersial. Sebaliknya, komunitas mangrove juga penstabil sedimen yang selalu mobil dan berperan sebagai pelindung terhadap erosi pantai. Walaupun demikian pentingnya peran kawasan hutan mangrove, ekosistem ini seringkali mendapat tekanan yang amat berat, baik di negera berkembang maupun negara belum berkembang. Tanpa menghiraukan masyarakat sekitar, habitat ini selalu dianggap sebagai suatu yang terbaik untuk dikonversi menjadi peruntukan lain dan tanpa pandang bulu dibabat untuk industri, pertanian atau pemukiman. Di kawasan Asia Tenggara, banyak kawasan ini dimanfaatkan untuk proyek-proyek budidaya secara besar-besaran. Terlalu sedikit diketahui tentang banyak komunitas alam di Indonesia ini, khususnya di Riau untuk meramalkan efek manusia terhadap lingkungan. Keadaan yang menyedihkan tentang komunitas mangrove itu, terutama 35 kritis karena tekanan pembangunan yang terus menerus meningkat; karena banyak pusat-pusat pengembangan pembangunan berada di kawasan pesisir; dan karena adanya konflik kepentingan, preservasi perikanan pantai, dan pengelolaan dan konservasi yang berkelanjutan pada ekosistem ini sangat penting. Tinjauan ekologi hutan mangrove memberikan kepada kita terjadinya defisiensi untuk mengerti sistem ini dari dua perspektif atau pandangan yang berbeda: pertama, ada keterbatasan dalam pengertian umum kita terhadap struktur proses pada komunitas mangrove (ini disebut sudut pandang “pure science”); dan, kedua, ada masalah pengertian spesifik bagaimana sistem mangrove dikelola untuk memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan dampak manusia (ini disebut sudut pandang “applied science”). Kedua pandangan ini, tentu saja, adalah pengetahuan yang saling terkait bagaimana sistem ini mesti meningkatkan kemampuan kita untuk mengelolanya – tetapi isu-isu pentingnya teori umum mungkin bisa secara praktik berkurang dan vise versa. Peran yang dimainkan oleh kepiting sesarmid dalam menentukan struktur dan fungsi hutan mangrove tropis adalah suatu isu yang menjangkau kedua perspektif atau pandangan tadi. Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan hutan mangrove: spesies yang aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras ekosistem (McGuinness 1992). Jika demikian, kemudian informasi terhadap perannya adalah kritis untuk pengertian ekologi 36 secara umum bagaimana fungsi hutan mangrove, dan untuk maksud khusus pengelolaan dan konservasi ekosistem itu. Smith et al. (1991)mengusulkan bahwa kepiting sesarmid bisa mendiami posisi kunci (keystone) dalam ecologi hutan mangrove Australia. Konklusi ini didasarkan atas hasil kajian terakhir yang memperlihatkan efek penting invertebrta ini terhadap daur karbon pada komunitas mangrove, dan terhadap struktur hutan. Peran potensial kepiting, dan invertebrata lain, dalam daur materi pada komunitas mangrove telah banyak dikenal untuk waktu lama. Aspek feeding biology kepitng Chiromanthes onychophorum dan menyimpulkan bahwa kepiting bisa agen yang nyata dalam mendegradasi daun mangrove menjadi partikelpartikel ukuran detritus dalam rawa-rawa dimana kepiting itu hidup. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2002) diketahui bahwa kepiting sesarmid di kawasan hutan mangrove memegang peran dalam pemanfaatan serasah, melalui konsumsi dan pemendaman serasah daun. Kelompok Sesarma yang terdiri dari S. gittatum, S. smithi, dan Nanosesarma minutum. Energi detritus yang berasimilasi di dalam tubuh kepiting yang diubah menjadi jaringan atau produk reproduktif menjadi material yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen tingkat tinggi. Peran yang demikian dapat disimpulkan bahwa 37 kepiting sesarmid merupakan keystone species di kawasan hutan mangrove. Dari 63% serasah daun yang tertinggal di lantai hutan, lebih kurang 36% dimanfaatkan oleh makrofauna bentik (kepiting), tercabik-cabik menjadi fragmen, dan mengalami peluluhan. Peran yang dimainkan kepiting dalam struktur dan fungsi ekologis di kawasan hutan ini dapat terlihat dari pemanfatan serasah, baik itu dimanfaatkan oleh untuk dikonsumsi maupun membawa serasah masuk ke dalam lubang. Di samping itu, peran lain yang dimainkan kepiting dalam fungsi daerah asuhan (“nursery ground”) melalui penyediaan larvanya sebagai sumber makanan bagi hewan lain. Pada kawasan hutan mangrove terlihat adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur yang akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivora, dan mikroba sebagai pengurai. Hubungan antara kepiting (konsumen) dan pengurai merupakan interaksi terdekat Hamidy 2002). Kepiting membantu mencabik-cabik serasah yang akan mempermudah pengurai dalam aktivitasnya. Hasil peluluhan ini akan dimanfaatkan oleh mikroba itu sendiri, tetapi yang paling penting adalah merupakan umpan balik ke tumbuhan sendiri (mangrove). Dari diskusi memodifikasi dengan, (1) makanan, (2) yang disebut di atas, kepiting mampu lingkungan kawasan hutan mangrove memanfaatkan serasah sebagai sumber mengahsilkan fragmen (cabikan) serasah, 38 dan (3) membuat lubang sebagai “bioturbator” yang merupakan pengendali ekosistem sedimen. Ketiga kemampuan ini menempatkan kepiting memegang peran dalam suatu ekosistem atau lingkungan (keystone species). Kepiting juga mempunyai efek langsung melalui kemampuan mereka menggali lubang. Percobaan yang dilakukan oleh Smith et al. (1991) menunjukkan bahwa pengurangan kelimpahan kepiting di suatu kawasan hutan mangrove akan meningkatkan konsentrasi sulfida dan amonium dalam tanah, dan menurunkan produktivitas keluaran reproduktif oleh mangrove. Dapat disimpulkan bahwa kepiting berfungsi dalam mengkonservasi nutrien dalam sistem dan mempertinggi mineralisasi melalui proses pencabikan serasah yang akan mempermudah dan mempercepat peluluhan oleh mikroba. Tantangan utama keilmuan adalah mengevaluasi arti penting keragaman kehidupan dalam tanah dan sedimen untuk fungsi ekosistem, misalnya mengidentifikasi “keystone species”. Dari hasil kajian, kepiting ternyata memegang peran sebagai “keystone species” di kawasan hutan mangrove, namun belum dapat ditentukan dengan pasti spesies mana yang memegang peran itu. 5. Penutup Pengetahun interdisipliner tentang lingkungan diperlukan untuk memahami dan memecahkan 39 permasalahan yang ada, agar manusia dapat semakin bijaksana dalam mengelola dan melaksanakan kegiatannya. Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan ialah perubahan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinterkasi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Sistem yang demikian bekerja pula dengan secara sistematis dan teratur pada sistem alami (ekosistem). Bila ini diterapkan terhadap ekosistem, keystone spesies adalah spesies yang memberi kontribusi terhadap fungsi ekosistem secara unik. Invertebrata marine deposit feeder menggali lubang pada sedimen yang lunak dan memakan beberapa bagian dari sedimen, mencerna dan mengasimilasi beberapa bahan organik hidup dan tidak hidup dalam suatu proses. Jenis dan jumlah organisme yang ada dalam suatu ekosistem secara mendasar terkendala oleh berbagai sifat paras ekosistem itu sendiri. Sifat paras ekosistem tersebut antara lain terbatasnya jumlah organisme dalam suatu lingkungan, dan pengaruh lokasi dan aktivitas yang ada di dalamnya. Sumber air adalah foci hewan dalam beraktivitas pada banyak ekosistem teresterial, yang pada gilirannya akan mengubah dinamika vegetasi dan unsur hara. 40 Fauna tanah mengatur aktivitas mikroba dengan langsung memakan bakteri dan fungi, dan dengan pemindahan propagul mikroba ke substrat yang baru. Dua kelompok yang selalu mendominasi secara numerik dalam komunitas fauna tanah adalah nematoda dan microarthropoda. Karena kelimpahan dan keragaman yang tinggi, dan keberadaannya pada setiap paras trofik, komunitas nematoda dan mikroarthropoda tanah dapat secara sensistif berfungsi sebagai detektor perubahan parameter-parameter ekosistem. Keystone species adalah spesies di mana keberadaan sebagian besar spesies lain yang ada dalam suatu ekosistem tergantung. Keystone species biasanya terlihat bila hilang atau diambil dari satu ekosistem, menghasilkan perubahan yang dramatis terhadap spesies yang tertinggal dalam komunitas itu. Fenomena ini diamati pada ekosistem dan organisme dalam kisaran yang luas. Keystone species adalah suatu spesies yang kelulushidupan sejumlah spesies lain tergantung kepadanya. Kontribusi penting yang kedua dari paradigma keystone adalah implikasinya yang hanya spesies minoritas memiliki interaksi kuat yang mempengaruhi komposisi komunitas. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekoton yang terletak pada daerah pertemuan antara ekosistem laut dan ekosistem daratan, karena itu memiliki karakteristik yang unik, dengan faktor-faktor lingkungan yang 41 menggambarkan lingkungan darat dan laut, dan kekhasan sendiri terutama faktor lingkungan yang sangat berfluktuatif. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem terbuka, terjadi pertukaran materi dan energi dengan ekosistem laut dan daratan. Peran yang dimainkan oleh kepiting sesarmid dalam menentukan struktur dan fungsi hutan mangrove tropis adalah suatu isu yang menjangkau kedua perspektif atau pandangan tadi. Dapat dsimpulkan bahwa kepiting berfungsi dalam mengkonservasi nutrien dalam sistem dan mempertinggi mineralisasi melalui proses pencabikan serasah yang akan mempermudah dan mempercepat peluluhan oleh mikroba. Bagi banyak orang yang merasa dirinya bertanggungjawab terhadap lingkungan alami ini, maka konsep keystone species harus dipahami dengan benar dan baik. Gajah kita yang di Riau hanya tinggal beberapa ekor saja lagi, apakah mungkin dia itu berfungsi sebagai keystone species. Kalau betul berfungsi sebagai keystone species, terlalu gegabah dan sangat berbahaya membiarkan gajah menuju kepunahan. Ini hanya sekedar contoh, masih banyak lain lagi yang dapat dikaji lebih mendalam. 42 UCAPAN TERIMA KASIH Dengan tertatih-tatih, akhirnya sampai jua saya kepuncak karir saya dalam bidang keilmuan. Tertatih-tatih karena saya berjalan sendiri dalam menempuh segala onak dan duri yang ada disekeliling jalan yang saya lalui. Hanya dorongan semua keluarga dan beberapa yunior saya, yang selalu memberi semangat dan dorongan yang tak terhingga. Pendidikan Pasca Sarjana (S2) dan S3 saya lalui dengan baik dan selamat di Institut Teknologi Bandung, Bandung. Dengan bantuan dana TMPD saya menjalani pendidikan Pasca Sarjana. Dana itu dirasakan sangat minim sekali, terutama saat saya menjalani pendidikan S3. Hampir-hampir saya mundur dari gelangang yang sudah saya rintis karena ketiadaan dana. Minta bantuan ke kanan dan kiri tak satupun orang yang mau peduli dan tak mau memberi. Semua acuh tentang itu, terutama institusi dimana saya telah mengabdikan diri hampir 30 tahun. Namun semangat selalu diberikan oleh seluruh keluarga. Akhirnya dapat jualah saya menyelesaikan pendidikan S3 saya, saat umur saya telah mencapai 58 tahun. Pada kesempatan ini izinlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada istri tercinta Ainnanur Yusuf, dan kedua anak kami yang 43 tersayang: Nana Rahayu (yang sedang studi di Jepang) dan Rasdian Hamidy (Bandung), yang dengan penuh pengorbanan tetap setia mendoakan dan mendampingi saya. Mungkin selama saya menjalani pendidikan kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari saya. Semua itu Allah SWT. yang akan membalasnya, tapi hal itu saya lakukan demi mencapai sebuah cita-cita. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan juga kepada kakanda Mohd. Yusuf dan keluarga dan Kakanda Zainal Abidin dan keluarga, kakanda Nuraini. Yang tak bosan-bosannya memberikan semangat dan dorongan untuk mencapai semua cita-cita saya ini. Sumbangan moral dan material sangat banyak saya terima terutama dari kakanda Mohd. Yusuf, tak sanggup saya menyebutkannya disini. Insya Allah Tuhan akan memberikan rahmat panjang umur kepada mereka dan selalu dilimpahkan rezqi dan hidayah dari Allah SWT.. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada anak-anak dari ketiga kakak-kakak saya tersebut, terutama kepada ananda Yusman Yusuf dan salah satu yang istimewa juga adalah kemenakanda Syamsuri yang selalu memberi disaat keritis dalam penyelesaian akhir pendidikan saya. Kepada kedua orang tua saya almarhum (Nikmat dan Thaat), saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya karena kedua orang tua saya itu telah mencurahkan kasih sayang yang begitu tulus kepada saya, dan kepada almarhum kakanda Mohd. Yasir. Saya berdoa semoga 44 Allah SWT menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi saya. Tingkat pendidikan yang saya nikmati saat ini tak terlepas dari pendidikan awal yang saya lalui. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua guru-guru Sekolah Rakyat di Lubuk Jambi, guru-guru di SMP Negeri Teluk Kuantan, dan guru-guru di SPMA Negeri Padang, terutama kepada Kepala Sekolahnya Mohd. Yusuf Luthan yang telah membentuk watak saya sebagai pencinta lingkungan. Semua dosen di Fak. Perikanan UNRI dan Fak. Perikanan, IPB pada saat saya mengikuti pendidikan di S1 Perikanan. Juga kepada semua dosen di ITB Jurusan Biologi yang telah memberikan ilmunya pada saat saya mengikuti pendidikan Pasca Sarjana, terutama kepada Prof. Dr. Solekasono Sastrodihardjo selaku pembimbing S2 dan promotor S3, Dr. Adianto, dan Dr. Taufikurrahman. Jasa beliau tak mungkin dapat saya balas, hanya ucapan terima kasih dan salam hormat dari saya. Dan juga ucapan terima kasih kepada Dr. Nurzali Naamin (almarhum) yang telah memberikan arahan dan saran kepada saya pada saat saya mau mengikuti promosi doktor di ITB. Kepada Dekan dan semua staf di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan juga saya sampaikan terima kasih saya, yang telah ikut membantu dalam proses pengusulan saya menduduki jabatan Guru Besar tersebut. Dan juga saya sampaikan kepada Rektor sebagai Ketua Senat dan 45 kepada seluruh anggota senat Guru Besar UNRI yang telah memberi kepercayaan dan kehormatan kepada saya sebagai Guru Besar Tetap dalam Ekologi Muara dan Pantai pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNRI. Kepada semua pihak yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu, teruma kepada rekan-rekan yunior di Jurusan Ilmu Kelautan saya sampaikan ucapan terima kasih dan salut saya atas semua dorongan dan jalinan kerja sama yang baik selama ini. Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan memohon ampunan-Nya, maka saya akhiri penyampaian pidato ilmiah ini. Wabillahi taufiq walhidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu. 46 DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.M. 1995. Soil organisms as engineers: microsite modulation of macroscale processes. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 94-106. Basey, J.M., S.H. Jenkis, and G.C. Miller 1990. Food selection by beavers in relation to inducible defenses of Populus tremuloides. Oikos 59:57-92. Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend 1996. Ecology: individuals, population and communities (3rd Edition). Blackwell Science, London, 1068 pp. Brown, J.H. 1995. Organisms and species as complex adaptive systems: linking the biology of population with the physics of ecosystem. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 16-24. Cargill, S.M. and R.L. Jefferies 1984. The effects of grazing by lesser snow geese on the vegetation of a sub-arctic salt marsh. J.Appl. Ecol. 21:669-686. Carpenter, S. R. (ed.) 1988. Complex interaction in lake communities. Springer-Verlag, New York. Carpenter, S. R. 1998. Keystone species and AcademicAgency Collaboration. Conservation Ecology 47 (online) 2(1):R2. URL: http//www.consecol.org/Journal/vol2/iss1/resp2. Carpenter, S. R., T.M. Frost, J.F. Kitchell, T.K. Kratz, D.W. Schindler, J. Shearer, W.G. Sprules, M.J. Vanni, and A.P. Zimmerman 1991. Patterns of primary production and herbivory in 25 North American lake ecosystems, in Comparative Analysis of Ecosystems: Patterns, Mechanisms, and Theories (eds. J.J. Cole, G. Lowett, and S. Findlay), Springer-Verlag, New York, pp.67-96. Carpenter, S.R. 1986. Partitioning herbivory and its effect on coral reef algae. Ecol. Monogr. 56:345363. Carpenter, S.R. 1998. Keystone species and academicagency collaboration. Conservation Ecology 2(1):R2. Available from Internet. URL: http//www.consecol.org/vol2/iss1/resp3. Carpenter, S.R. and J.F. Kitchell (eds.) 1993. The Trophic Cascade in Lakes. Cambridge University Press, Cambridge. Currie, D.J. 1991. Energy and large-scale patterns of animal- and plant-species richness. Am. Nat. 137:27-49. Davic, R. D., 2000. Ecological dominants vs. keystone species: a call for reason. Conservation Ecology 4(1):r2 (online) URL: http//www.consecol.org/Journal/vol6/iss1/resp2. 48 Davic, R. D., 2002. Herbivores as keystone predators. Conservation Ecology 6(2): r8. (online) URL: http://www.consecol.org/vol6/iss2/art8. De Leo, G.A., and S. Levin 1997. The multifaceted aspects of ecosystem integrity. Conservation Ecology (online) 1(1):3. URL: http://www.consecol.org/vol1/iss1/art3. Foster, J. and M.S. Gaines 1991. The effects of a successional habitat mosaic on a small mammal community. Ecology 72:1358-1373. Frost, T.M., S.R. Carpenter, A.R. Ives, and T.K. Kratz 1995. Species compensation and complementarity in ecosystem function. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 240-262. Giblin, A.E., K.H. Foreman, and G.T. Banta 1995. Biogechemical processes and marine benthic community structure: which follows which? In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 37-44. Grimm, N. B. 1995. Why link species and ecosystem? A perspective from ecosystem ecology. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 5-15. Hamidy, R. 2002. Transpor materi dari serasah mangrove dengan kajian khusus pada peran 49 kepiting Brachyura. Disertasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Higdon, J. W. 2002. Functionally dominant herbivores as keystone species. Conservation Ecology 6(2):r4 (online) URL: http//www.consecol.org/Journal/vol6/iss2/resp4. Howart, R.W. 1991. Comparative responses of aquatic ecosystem to toxic chemical stress, in Comparative analyses of ecosystems: Patterns, Mechanisms, and Theories (eds). J.J. Cole, G. Lovett, and S. Findlay), Springer-Verlag, New York, pp. 169-195. Huntly, N. 1995. How important consumer species to ecosystem functioning? In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 72-83. Huntly, N. J. 1991. Herbivores and the dynamics of communities and ecosystem. Annu. Rev. Ecol. Syst. 22:477-504. Johnston, C.A. and R.J. Naiman 1990a. Aquatic patch creation in relation to beaver population trends. Ecology 71:1617-1621. Johnston, C.A. and R.J. Naiman 1990b. Browse selection by beaver: effects on riparian forest composition. Can. J. For. Res. 20:1036-1043. 50 Jones, C. G., J. H. Lawton and M. Shachak 1994. Organisms as ecosystem engineers. Oikos 69: 373386. Khanina, L. 1998. Determining keystone species. Conservation Ecology (online) 2(2):R2. URL: http/www.consecol.org/Journal/vol2/iss2/resp2. Khanina, L. 1998. Determining keystone species. Conservation Ecology (online) 2(2):R2. URL. http://www.consecol.org/vol2/iss2/resp2. Kotler, B.K. and R.D. Holt 1989. Predation and competition: the interaction of two types of species interactions. Oikos 54:256-260. Krebs, C.J. 1985. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance, Third Edition. Harper & Row, New York. Lawton, J. H. and C. G. Jones 1995. Organisms as ecosystem engineers. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 141-150. Lawton, J.H., and V.K. Brown 1993. Redundancy in ecosystem, in Biodiversity and ecosystem function (eds). E.D. Schulze and H.A. Mooney), SpringerVerlag, Berlin, pp. 255-270. Levinton, J. 1995. Bioturbators as ecosystem engineers: control of the sediment fabric, inter-individual interaction, and material fluxes. In Jones, C. G. and 51 J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 141-150. Levinton, J. S. 1977. The ecology of deposit-feeding communities: Quisset Harbor, Massachusetts, in Ecology of Marine Benthos (ed. B. C. Coull), University of South Carolina, Columbia, p. 191228. Levinton, J. S. and G. R. Lopez 1977. A model of renewable resources and limitation of depositfeeding benthic population. Oecologia 31:177-190. Lopez, G. R. and J. S. Levinton 1987. Ecology of deposit-feeding animals in marine sediments. Q. Rev. Biol. 62:235-260. Malley, D. F. 1978. Degradation of mangrove leaf litter by the tropical sesarmid crab Chiromanthes onychophorum. Mar. Biol. 49: 409-419. McGuinness, KA 1992. Disturbance and the mangrove forest of Darwin Harbour. In: I. Moffatt, A. Webb, Conservation and Development Issues in North Australia, Australian National University Press, p. 55-62. McNaughton, S.J. 1985. Ecology of grazing ecosystem: the Serengeti. Ecol. Monogr. 55:259-294. Meadows, P.S. and A. Meadows (eds.) 1991. The Environmental Impact of Burrowing Animals and Animal Burrows. Clarendon Press, Oxford. 52 Mills, L. S., M. E. Soule, and D. F. Doak 1993. The keystone-species concept in ecology and conservation. BioScience April 1993 v43 n4 p219(6), 1-8. Odum, E. P., 1971. Fundamentals of Ecology, W. B. Sounders Company, Philadelphia, PA., 574 p. Odum, H.T. 1992. Ekologi system, suatu pengantar. Gadjah Mada University Press, Jogyakarta. Oksanen, L., S.D. Fretwell, J. Arruda, and P. Niemela 1981. Exploitation ecosystems in gradients of fire on nitrogen cycling in tallgrass prairie. Biogeochemistry 24:67-84. Paine, R. T. 1966. Food web complexity and species diversity. Am. Nat. 100: 65-75. Paine, R.T. 1969. A note on trophic complexity and community stability. Am. Nat. 103: 91-93. Parmelee, R. W. 1995. Soil fauna: linking different levels of the ecological hierarchy. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 107116. Pastor, J., B. Dewey, C.A. McClaugherty, and J.M. Melillo 1993. Moose browsing and soil: a model. Biogeochemistry 5:109-131. Piraino, S. and G. Fanelli 1999. Keystone species: what are we talking about?. Conservation Ecology 53 3(1):r4 (online) URL: http//www.consecol.org/Journal/vol3/iss1/resp4. Pollock, M. M., R. J. Naiman, H. E. Erickson, C. A. Johnston, J. Pastor, and G. Oinay 1995. Beaver as engineers: influences on biotic and abiotic characteristics of drainage basins. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 117126. Power, M.E. 1990. Resource enhancement by indirect effects of grazers: armored catfish, algae, and sediment. Ecology 71:887-894. Rhoad, D. C. 1967. Biogenic reworking of intertidal and subtidal sediments in Buzzards Bay, Massachusetts. J. Geol. 75:461-474. Robertson, A. I. 1988. Decomposition of mangrove leaf litter in tropical Australia. J. Exp. Nat. Biol. Ecol. 116: 235-247. Robertson, A.I and N. C. Duke 1987. Mangrove as nursery site: comparisons of the abundance and species composition of fish and crustaceans in mangrove and other nearshore habitats in tropical Australia. Mar. Biol. 96: 193-205. Robertson, A.I. 1991. Plant-animal interactions and the structure and function of mangrove forest ecosystem. Aust. J. Ecol. 16: 433-443. 54 Rodriguez, G. 1987. Structure and Production in Neotropical Mangrove. Trends in Ecol. and Evol. 2: 264-267. Schulze, E. D. & H. A. Mooney 1993. Ecosystem function of biodiversity: a summary. Pages 497510. in E. D. Schulze and H. A. Mooney, editors. Biodiversity and ecosystem function. Springerverlag, Berlin, Germany. Smirnova, O. V. 1998. Population organization of bioscience design of forest landscapes. Uspehi sovremennoj biologii 118:148-165. (In Russian with English resume). Smith III, T. J., K. G. Boto, S. D. Frusher & R. L. Giddins 1991. Keystone species and mangrove forest dynamics: the influence of burrowing by crabs on soil nutrient status and forest productivity. Est. Coast. Shelf Sci. 33: 419-432. Soemarwoto, O. 1983. Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta. Soemarwoto, O. 1991. Indonesi dalam kancah isu lingkungan global. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Staples, D. J. 1980. Ecology of juvenile and adolescent Banana Prawn, Penaeus merguensis, in a mangrove estuary and adjacent off-shore area of the Gulf of Carpentaria. I. Immigration and 55 settlement of post larvae. Aust. J. Mar. Freshw. Res. 31: 635-652. Sterner, R.W., J.J. Elser and D.O. Hessen 1992. Stoichiometric relationships among producers and consumers in food webs. Biogeochemistry 17:4967. Vitousek, P. M. 1990. Biological invasions and ecosystem processes: toward an integration of population biology and ecosystem studies. Oikos 57: 7-13. Vitousek, P.M. 1990. Biological invasion and ecosystem properties: towards an integration of population biology and ecosystem studies. Oikos 57:7-13. Wedin, D. A. 1995. Species, nitrogen, and grassland dynamics: the constraints of stuff. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall, New York, p.253262. 56 RIWAYAT HIDUP Prof. Dr. Ir. Rasoel Hamidy, MS NIP Pangkat/Golongan Jabatan : 130 527 687 : Pembina Utama Madya, IV/d : Guru Besar Tetap dalam Ekologi Muara dan Pantai, Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Unit Kerja : Jurusan Ilmu Kelautan Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNRI Tempat dan tgl lahir : Lubuk Jambi, 07 Maret 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status Keluarga : Menikah dengan Ainannur Yusuf (50 tahun), dikarunia dua orang anak: 1. Nana Rahayu (25 tahun) 2. Rasdian Hamidy (19 tahun) PENDIDIKAN 1. S3 (Doktor) dalam Ekologi, Jurusan Biologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung 2002. 2. S2 (Megister) dalam Biologi Lingkungan, Jurusan Biologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung 1984. 57 3. S1 (Insinyur) dalam Perikanan Laut, Fak. Perikanan UNRI dan Fak. Perikanan IPB Bogor 1975. 4. SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) Negeri Padang, 1964 5. SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri Teluk Kuantan, 1961 6. SR (Sekolah Rakyat) Lubuk Jambi, 1958. PELATIHAN 1. Pelatihan tenaga peneliti di UNRI 1979 2. Akta V 1982 3. Instructional Improvement Work Shop IKIP Medan 13 –30 January 1986 4. Instructor for a cource in Instructional Improvement, UNRI Pekanbaru 1987. 5. National Consultation on Self Help Group in Indonesia, 22-24 July 1987 6. Mengikuti Coastal Zone Management Workshop for Indonesia Marine Scientists University of Miami 6 Juni – 30 Juni 1995 7. Mengikuti training dalam Ekofisiologi di Arhus University, Denmark 1997. RIWAYAT PEKERJAAN 1. Staf Pengajar pada Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI 1976 – sampai sekarang 2. Ketua Jurusan Budidaya Perikanan, 1978 58 3. Pembantu Dekan II, Fakultas Perikanan 19781981 4. Pembantu Dekan II, Fakultas Perikanan 1981 – 1982 5. Pembantu Dekan I , Fak. Perikanan 1985 – 1989 6. Ketua LPIU-MSEP Fak. Perikanan 1988 – 1990. 7. Ketua LPIU-MSEP Fak. Perikanan 1992 – 1994 8. Ketua Lembaga Penelitian UNRI 1994 – 1997. 9. Ketua Quality Assurance UNRI 2003 – sekarang PERKULIAHAN 1. Pencemaran Laut 2. Budidaya Muara dan Pantai 3. IKLH 4. Pengendalian Kualitas Air Laut 5. System dan Teknologi Budidaya 6. Aquaculture Engineering 7. Ekotoksikologi 8. Fisiologi Lingkungan 9. Ekologi Mangrove 10. Eksplorasi Sumberdaya Hayati Laut 1998 sekarang 11. Pengelolaan Wilayah Pesisir 1998 – sekarang 12. Metodologi Ekologi Muara dan Pantai 1995 – sekarang 13. Pengelolaan Wilayah Pesisir S2 Lingkungan 2003 – sekartang 14. Statistik Lingkungan S2 Lingkungan 2003 – sekarang 59 TESIS DAN DISERTASI Tesis Disertasai : Pengaruh penghawaan terhadap daya racun Sevin dalam air, ITB, Bandung : Transpor materi dari serasah mangrove dengan kajian khusus pada peran kepiting Brachyura, ITB, Bandung KARYA ILMIAH/LAPORAN PENELITIAN Inventarisasi kolam di Kab. Kampar 1977 Seminar Pembangunan Daerah Riau dalam rangka persiapan Pelita III Inventarisasi jenis-jenis ikan ikan di Sungai Sail, Pekanbaru 1979 Penelitian tentang pembenihan ikan dalam bak semen 1981 Tenaga penatar dalam penataran petani tambak di Kuala Enok 1980 Tenaga penatar dalam penataran petani kolam di Pasir Pengarayan 1981 Penelitian tentang pemberian oksigen dalam pengangkutan benih ikan 1981 Penelitian tentang aspek biologi Danau Raja, Rengat, 1982 Tenaga penatar lingkungan hidup se Riau dari 1985 – 1991 Penelitian tentang pengaruh Lumpur terhadap daya racun dharmasan 60 EC, 1988 60 Anggota penyusun ANDAL Duri Steam Flood, Duri 1989. Penelitian tentang kematangan kelamin ikan patin (Pangasius sp.) di sungai Indragiri, 1989. Seminar tentang Bioteknologi dalam Budidaya ikan di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang 1993. Seminar tentan deforestasi Hutan Bakau di daerah Riau 1993. Penelitian tentang ekosistem muara sungai siak, Riau: Kondisi Biologis, 1993 Studi pendahuluan tentang ekologi ikan genera Periophthalmodon di Perairan Pulau bengkalis, Riau, 1994. Kebiasaan makan ikan Gelodok Periophthalmododn schloseri di perairan selat Bengkalis, Riau, 1995. Short Courese in Marine and Coast Resources Management and Conservation May 28 June 28, 1995 di Miami University, Miami Florida, USA. Komposisi jenis dan sebaran gastropoda secara vertikal di daerah mangrove muara sungai Dumai, Dumai 1995. Pengaruh minyak mentah Sei Karas terhadap defoliasi seedling bakau hijau (Rhizophora apiculata), 1995. 61 Studi tentang hubungan kandungan bahan organik dalam sedimen dengan kelimpahan makrozoobentos di Bengkalis 1995. Hubungan kandungan bahan organik sedimen dengan struktur komunitas gastropoda di kelurahan Batu Panjang, Rupat 1995. Studi struktur komunitas dan evaluasi kondisi ekologis hutan mangrove di Pulau Rupat, Bengkalis 1996. Bioekologi Ikan Tembakul, Periophthalmus, di Perairan Dumai, Riau, 1997 Monitoring PLTA Koto Panjang, 1997 Evaluasi RKL dan RPL Pertamina Unit Pengolahan Dumai, 1997. Evaluasi RKL dan RPL Pertamina Unit Pengolahan Sei. Pakning, 1997 UKL dan UPL Instalasi Pengolahan Air Bersih Sei. Pakning 1997. Short Cource in Ecotoxicology in Aahus University, Denmark 1997. Peserta pada Penataran dan Lokakarya Metode Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang diselenggarakan oleh DP3M Dirjen Dikti tanggal 4 – 7 Agustus 1997 di Universitas Bengkulu. Studi tentang kecepatan gugur daun mangrove di desa Purnama, Dumai 1998. 62 Studi pertumbuhan gastropoda (Cerithidea cingulata) di hutan mangrove Purnama, Dumai 1998. Keragaman organisme makrobentik efifauna di zona intertidal pulau Rupat, Bengkalis 1998 Tingkah laku dan lubang galian Uca di hutan mangrove Purnama, Dumai 1999. Produksi serasah hutan mangrove di desa Purnama, Dumai 1999 Pemetaan sebaran kepiting secara horizontal di hutan mangrove sekitar marine station, Dumai 1999. Tingkah laku dan lubang galian Uca di hutan mangrove Purnama, Dumai 1999. Nara Sumber pada Diskusi Reguler Jaring Net Sessi II Pengendalian Pencemaran Sungai di Riau yang diselenggarakan oleh Yayasan Riau Mandiri dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI, 3 Juli 1999. Nara Sumber pada Penataran Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan yang diselenggarakan oleh PPLH, Lemlit UNRI 1999. Instruktur pada Kursus Analisis Dampak Lingkungan Tipe A Angkatan III yang berlangsung dari tanggal 2 – 14 Agustus 1999 yang diselenggrakan oleh PPLH UNRI. 63 Komposisi jenis mangrove berdasarkan keterendaman oleh air pasang di Desa Purnama, Dumai 1999. Kecepatan peluruhan serasah mangrove. Bakteri pengurai dan penghancur serasah mangrove. Uji pemberian makan terhadap kepiting yang hidup di kawasan hutan dengan serasah. Penelitian ekspor impor bahan organik yang berasal dari serasah mangrove di muara sungai Mesjid Dumai. Penelitian tentang ikan-ikan pemakan serasah mangrove di pantai Purnama, Dumai. TULISAN LEPAS,MEDIA MASSA, SEMINAR dan PENATARAN 1. Gajah Riau diambang kepunahan 2. Hutan daerah Riau sebagai salah satu mata rantai hutan tropis yang terancam. Seminar di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau, 1985 3. Pengelolaan lingkungan perairan 4. Pengelolaan sumberdaya hayati laut, seminar dalam rangka lustrum V UNRI 1987. 5. Peranan ilmu kelautan (marine science) Universitas Riau, Pekanbaru 6. Tiga tahun mengawakai Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru 64 7. Mutu sungai Siak dalam perbincangan 8. Penduduk, sumberdaya alam, dan pencagaran, disampaikan pada penetaran lingkungan hidup Pemda Riau. 9. Begitu pentingkah hutan bakau (mangrove) itu? 10. Ikan-ikan sungai yang punya pola migrasi di daerah Riau terancam punah 11. Peruntukan sungai di Riau 12. Pengolahan limbah cair secara biologis 13. Kepedulian Perguruan Tinggi terhadap masalahmasalah lingkungan 14. Sumbangsih Perguruan Tinggi dalam mengangkat kasus-kasus lingkungan 15. Universitas Riau: Harapan dan Kenyataan 16. Peran serta masyarakat sebagai bagian positif dalam menunjang kebersihan kota 17. Peranan biologi dalam mencegah dan memantau pencemaran sungai 18. Mutu lingkungan dalam perdebatan 19. Arti lingkungan hidup bagi masyarakat desa 20. Universitas Riau dalam meningkatkan SDM dan IPTEK 21. Fungsi dan manfaat sumberdaya mangrove 22. Teknik rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove KEGIATAN LAIN 1. Memberi kuliah di Fak. Perikanan, Bung Hatta, Padang, 1985 – 1991 65 2. Memberi pada Fak. Pertanian Universitas Riau sampai sekarang 3. Tim Ahli pada Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Kantor Gubernur 4. Anggota Tim Teknis AMDAL, Bappeda Riau 5. Penyusun Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup daerah Riau 6. Dan kegiatan-kegiatan lain yang ber-hubungan dengan lingkungan hidup. 7. Tim Andal Study, Kampar-Indragiri River Basin Development Project, kerjasama UNRI dan JICA Japan 8. Tim Pengajar pada pelatihan pengelolaan hutan mangrove lestari 9. Sebaran tipe-tipe habitat dan sumberdaya hayati kelautan serta potensinya di Prop. Riau. Seminar Pelatihan Riau Coastal Zone and Land Use Management, Bappeda Tk. I Riau. 10. Hutan daerah Riau sebagai salah satu mata rantai hutan tropis yang terancam. Seminar. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau, April 1985. 66 KEYSTONE SPECIES DALAM EKOLOGI Oleh: RASOEL HAMIDY PIDATO PENGUKUHAN SEBAGAI GURU BESAR TETAP DALAM BIDANG EKOLOGI MUARA DAN PANTAI JURUSAN ILMU KELAUTAN FAK. PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 8 MEI 2004 67