keystone species dalam ekologi - Repository -

advertisement
KEYSTONE SPECIES DALAM EKOLOGI
1. Pendahuluan
Kita adalah bagian integral dari lingkungan. Lingkungan
menyediakan berbagai sumberdaya yang dibutuhkan
manusia seperti sinar matahari, udara, air, tanah,
tumbuhan, hewan bahan bakar fosil dan lain-lain.
Selama berabad-abad, sebagian manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan telah mengasumsikan
bahwa kita bebas memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan dengan semaksimal mungkin. Anggapan
seperti itu ternyata telah menimbulkan permasalahan
berupa perncemaran dan kerusakan lingkungan;
permasalahan yang menjadi semakin parah dengan
meningkatnya populasi manusia yang kini melebihi
enam milyar jiwa. Salah satu contoh masalah lingkungan
adalah hilangnya berbagai jenis makhluk hidup dan
sistem alami. Hilangnya suatu jenis makhluk hidup
sebagai mata rantai dalam jaring makanan dapat
mengancam keberadaan makhluk lain. Pada gilirannya,
kehadiran manusia sendiri dapat terancam karena
sebagai bagian dari lingkungan, manusia harus
menghadapi dampak dari pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
Memahami kompleksitas bekerjanya alam dengan
berbagai faktor lingkungannya menjadi seuatu yang
sangat penting apabila kita ingin terus dapat
memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
1
tanpa merusaknya, serta mempertahankan kondisi
lingkungan yang dapat mendukung kehidupan kita. Hal
ini menjadi lebih rumit karena manusia memiliki
berbagai kepentingan yang melingkupi aktivitas sosial,
ekonomi, budaya, politik, dsb. Sehingga pemecahan atas
permasalahan lingkungan menjadi sesuatu yang bersifat
interdisipliner. Pengetahun interdisipliner tentang
lingkungan
diperlukan
untuk
memahami
dan
memecahkan permasalahan yang ada, agar manusia
dapat semakin bijaksana dalam mengelola dan
melaksanakan kegiatannya.
Ilmu lingkungan adalah ilmu interdisipliner untuk
mengukur dan menilai perubahan dan dampak kegiatan
manusia terhadap ekosistem; sedemikian rupa sehingga
manusia dapat mengelola ekosistem tersebut demi
kelulushidupannya sendiri. Jadi prinsip dasar ilmu
lingkungan adalah bahwa manusia pada hakekatnya
merupakan bagian dari lingkunan alam (ekosistem)
dimana ia hidup. Dengan demikian, kalau kita ingin
memecahkan permasalahan lingkungan, maka kita perlu
terlebih dahulu memahami sistem lingkungan dimana
kita berada.
Masalah lingkungan yang kini kita hadapi, pada
hakikatnya adalah masalah ekologi, khususnya masalah
ekologi manusia. Masalah itu timbul karena adanya
perubahan lingkungan sehingga lingkungan itu tidak
sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia dan
mengganggu kesejahteraannya (Soemarwoto 1991)..
Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan
2
ialah perubahan yang diakibatkan oleh perbuatan
manusia. Dengan makin besarnya jumlah manusia yang
disertai dengan kebutuhan yang meningkat per orangnya
dan meningkatnya kemampuan manusia untuk
melakukan intervensi terhadap alam, baik alam abiotik
maupun alam biotik, perubahan yang terjadi pada
lingkungan makin besar pula. Perubahan yang makin
besar itu, misalnya arus energi dan daur materi, telah
mengganggu proses alam sehingga banyak fungsi
ekologi alam terganggu pula. Dampak gangguan fungsi
ekologi alam terhadap kesejahteraan manusia makin
terasa pula, baik secara nyata maupun potensial.
Suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem,
yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya (Soemarwoto 1983). Menurut pengertian
suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang
bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem
terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu
tempat yang berinterkasi membentuk suatu kesatuan
yang teratur. Keteraturan ini terjadi oleh adanya arus
materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi
antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing
komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama
komponen-komponen itu melakukan fungsinya dan
bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itu
akan terjaga.
Telah dinyatakan oleh teori Godel
sistem yang mengerti dirinya
bahwa tidak ada
sendiri. Untuk
3
menganalisis dan memahami sistem tidak cukup sistem
tersebut hanya dengan berfungsi saja tetapi diperlukan
komponen sistem yang lebih banyak. Suatu sistem
adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berinteraksi
menurut proses tertentu, dan sistem
sering
divisualisasikan sebagai kotak-kotak komponen dengan
hubungan-hubungan tertentu. Sistem yang demikian
bekerja pula dengan secara sistematis dan teratur pada
sistem alami (ekosistem). Sistem alami memiliki banyak
komponen yang saling berhubungan.
Rantai
makanan
ekologi
yang
khas
dapat
menggambarkan konsep urutan-urutan transformasi
kualitas energi (Odum 1992).. Energi yang mendukung
fitoplankton ditransformasikan melalui zooplankton,
kemudian melalui ikan-ikan kecil ke ikan besar. Pada
setiap tahapan, banyak energi terpakai dalam
transformasi, dan hanya sejumlah kecil saja
ditransformasikan ke kualitas yang lebih tinggi yaitu
kualitas yang lebih terkonsentrasi dan dalam bentuk
yang mampu bekerja/melakukan kegiatan secara khusus
jika diumpankan kembali. Sistem riil cenderung
membentuk jaring-jaring daripada membentuk rantai,
namun perubahan energinya serupa. Penurunan energi
diikuti oleh peningkatan kualitas.
Materi mengalir dari mata rantai makanan yang satu ke
mata rantai yang lain. Jika makhluk mati, tidak berati
aliran materi terhenti, melainkan makhluk yang mati
menjadi makanan makhluk yang lain. Misalnya, bangkai
hewan dimakan oleh jasad renik, seperti bakteri dan
4
jamur, dalam proses pembusukan (Soemarwoto 1983).
Dalam proses ini sebagian bangkai itu digunakan untuk
menyusun tubuh jasad renik, sebagian lagi terbentuk gas
CO2. Karbon dioksida ini kemudian digunakan oleh
tumbuhan dalam proses fotosintesis. Tumbuhan dimakan
oleh makhluk herbivora dan berulanglah proses makanmemakan. Dengan demikian aliran materi merupakan
daur.
Dalam proses fotosintesis energi matahari ditambat oleh
tumbuhan hijau. Dalam proses ini energi matahari
diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam
molekul gula glukosa. Gula selanjutnya diubah menjadi
pati yang tersimpan dalam tubuh dan digunakan sebagai
bahan untuk membentuk tubuh tumbuhan, misalnya
akar, batang dan daun. Energi yang terkandung dalam
tubuh tumbuhan itu menjadi sumber energi makhluk
lain. Kalau kita makan nasi, misalnya, sebenarnya kita
mendapat energi dari matahari. Juga kalau kita
membakar kayu untuk memasak, sebenarnya kita
menggunakan energi matahari.
Materi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, hanya
dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk lain (hukum
konservasi materi). Apa yang telah kita buang masih ada
di sekitar kita dalam suatu bentuk tertentu, tidak ada
yang hilang. Materi yang terorganisasi dan
terkonsentrasi merupakan materi yang biasanya dapat
diubah menjadi sumberdaya yang bermanfaat dengan
biaya yang terjangkau; sedangkan materi yang tak
terorganisasi dan tersebar adalah materi kualitas rendah
5
yang seringkali memerlukan biaya yang tinggi untuk
mengubahnya menjadi sumberdaya yang bermanfaat
(prinsip kualitas materi). Energi tidak dapat diciptakan
atau dimusnahkan, hanya dapat diubah dari satu bentuk
ke bentuk lain (hukum pertama termodinamika). Energi
yang terorganisasi atau terkonsentrasi adalah energi
kualitas tinggi yang dapat digunakan untuk melakukan
kerja; energi yang tak terorganisasi adalah energi
kualitas rendah yang nilai gunanya rendah (prinsip
kualitas energi). Pada setiap kenversi energi dari satu
bentuk ke bentuk lainnya, energi dengan kualitas tinggi
dan bermanfaat selalu terdegradasi menjadi energi
kualitas lebih rendah dan kurang bermanfaat, tidak dapat
didaur ulang menjadi energi kualitas tinggi (hukum
kedua termodinamika).
Kelangsungan hidup, kualitas hidup dan perekonomian
kita secara total tergantung kepada matahari dan bumi;
bumi dapat terus ada tanpa kehadiran kita, tetapi mau
kemana kita tanpa bumi? (prinsip sumberdaya bumi).
Kita harus mencoba memahami dan bekerja dengan
komponen alam lainnya untuk mempertahankan
integritas ekologis, keanekaragaman hayati, dan
adaptabilitas sistem pendukung kehidupan bumi untuk
kepentingan kita dan spesies lain (prinsip keberlanjutan).
Segala sesuatu saling berhubungan dan berkaitan dengan
yang lainnya, kita semua berada dalam fenomena ini;
kita perlu memahami hubungan-hubungan ini dan
menemukan hubungan yang paling penting untuk
mempertahankan kehidupan di muka bumi (prinsip
6
kesalingterkaitan). Sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable) tidak boleh digunakan dengan laju lebih
cepat daripada laju produksi atau pembaharuannya oleh
proses alami (prinsip penggunaan berkelanjutan).
Memanfaatkan energi matahari yang terperbaraui dan
sumberdaya materi terperbaharui adalah cara hidup yang
berkelanjutan. Penggunaan sumberdaya materi yang
terperbaharui secara lebih cepat daripada laju
pembaharuannya dan penggunaan materi dan energi
yang tak terperbaharui akan menurunkan kualitas dan
mengurangi
sumberdaya
bumi
dan
akhirnya
menciptakan gaya hidup yang tak berkelanjutan (prinsip
hidup berkelanjutan).
Salah satu hal yang paling sulit untuk dijelaskan kepada
umum dalam ruang lingkup lingkungan hidup adalah hal
sumberdaya alam hayati (SDH). Sering terungkap
ungkapan orang awam, mengapakah gajah perlu
dilestarikan padahal gajah ini merusak kebun, bahkan
membunuh manusia. Apakah binatang lebih penting
daripada manusia, sehingga perlu dilindungi ? Bukankah
ekosistem untuk manusia, sehingga perlukah binatang
dan tumbuh-tumbuhan disetarakan kedudukannya
setingkat dengan manusia ? Mengapa kita perlu ributribut hanya untuk 6 ekor harimau Sumatra, jika kawasan
yang sama bisa diolah menjadi perkebunan yang bisa
melindungi ratusan ribu manusia ?
Sumberdaya alami hayati merupakan bagian dari mata
rantai tatanan lingkungan atau ekosistem. SDH
menjadikan lingkungan alam ini suatu lingkungan hidup
7
yang
mampu
menghidupi
manusia.
Semakin
beranekaragam sumberdaya alam hayati ini, semakin
stabil tatanan lingkungan. Suatu tatanan lingkungan yang
hanya terdiri dari satu jenis tumbuh-tumbuhan sangat
peka terhadap serangan hama. Keanekaragaman hayati
merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya pelbagai
macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat
yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan
makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan
tingkatan genetika.
Ekosistem adalah suatu satuan lingkungan yang
melibatkan unsur-unsur biotik (jenis-jenis makhluk) dan
faktor-faktor fisik (iklim, air, tanah) serta kimia
(keasaman, salinitas) yang saling berinteraksi satu sama
lainnya. Gatra yang dapat digunakan sebagai ciri
keseutuhan (entity) ekosistem adalah energitika (taraf
trofi atau makanan: produsen, konsumen dan redusen),
pendauran hara (peran pelaksana taraf trofi) dan
produktivitas (hasil keseluruhan ekosistem). Jika dilihat
komponen biotanya, jenis yang dapat hidup dalam
ekosistem ditentukan oleh hubungannya dengan jenis
lain yang tinggal dalam ekosistem tersebut. Selain itu,
keberadaannya ditentukan juga oleh keadaan lingkungan
fisik dan kimia di sekitarnya. Dengan demikian, interaksi
antar organisme ditentukan juga oleh keseluruhan jenis
dan faktor-faktor fisik serta kimia yang menyusun
ekosistem itu.
Masalah yang timbul selama ini adalah dalam
pendekatan terhadap ekosistem itu. Timbul dua
8
komponen utama yang menyebabkan terpecahnya
perhatian pakar-pakar lingkungan dalam menghadapi
gejolak-gejolak lingkungan. Komponen itu adalah dua
sudut pandang dari ekologi populasi/komunitas dan
ekologi ekosistem. Kedua subdisiplin ini mempunyai
perbedaan pendekatan untuk mengerti kondisi
lingkungan. Salah satu perbedaan utama adalah fokus
terhadap organisme versus fokus terhadap materi dan
energi. Pertanyaaan dalam ekologi populasi dan
komunitas biasanya diarahkan untuk menentukan
distribusi dan kelimpahan spesies dan kelompoknya
(misalnya Krebs 1985); pertanyaan dalam ekologi
ekosistem umumnya terfokus pada materi dan aliran
energi (misalnya Odum 1971). Untuk menghindari
perbedaan yang semakin menajam itu maka timbullah
dalam pengertian yang lebih luas , ekologi adalah kajian
keilmuan proses-proses yang mempengaruhi distribusi
dan kelimpahan organisme, interaksi antar organisme,
dan interaksi diantara organisme dan transformasi dan
aliran energi dan materi (Likens 1992).
2. Spesies dan Ekosistem
Hagen (1992) memandang bahwa sasaran akhir dari
investigasi ekologis adalah suatu pengertian tentang
struktur populasi, komunitas, dan ekosistem. Struktur
mengacu kepada jumlah dan jenis bagian komponen, dan
kesamaan pengertian tentang struktur akan memerlukan
9
penggabungan pengetahuan tentang interaksi antar
komponen dan di antara komponen dan lingkungannya.
Pandangan yang kontras dengan itu, investigasi ekologi
fungsi ekosistem bisa ditujukan pada pengertian efek
proses ekosistem, interaksi, dan komponen pada
konteksnya, atau pada sistem yang lebih besar dimana
ekosistem adalah bagiannya. (Grimm 1995).
Tempat yang baik untuk memulai identifikasi perbedaan
antara subdisiplin adalah dalam buku-buku teks. Definisi
umum ilmu ekologi adalah: Analisis eksperimental
distribusi dan kelimpahan (distrubtion and abundance)
(misalnya Krebs 1985), studi keilmuan interaksi di
antara organisme dan lingkungannya (misalnya Begon et
al., 1990).
Begon et al. (1990) dan Krebs (1985) menempatkan
ekologi benar-benar sebagai bagian dari ilmu biologi
dengan penekanan tumpang tindihnya dengan behavior,
genetik, fisiologi, dan evolusi. Banyak ahli-ahli ekologi
lain menganggap itu tidak lengkap: ekologi juga
tumpang tindih dengan hidrologi, geokemistri, geologi
dan geomorfologi, dan bahkan mungkin dengan ilmuilmu sosial. Titik perhatian adalah relevansnya evolusi,
genetik, dan behavior dengan ekologi ekosistem. Bidang
ini sekarang bersekutu dekat dengan ekologi populasi
dan komunitas daripada ekologi ekosistem.
Banyak kritisi beranggapan bahwa istilah komunitas dan
ekosistem masih kabur dan samar-samar, pemakaian
istilah “fungsi dan peran” (“function and role”)
10
merupakan bahan bakar miskomunikasi, sekurangkurangnya antara ahli ekologi evolusi dan yang lainnya.
Reiners (1986) secara bijaksana mengomentari model
konseptual untuk kajian ekosistem yang ada dengan
suatu pendapat bagaimana hukum dan teori bisa
terorganisasi untuk menurunkan hipotesis yang dapat
diramalkan. Dia menggambarkan struktur logika dua
model yang mendasari banyak penelitian dalam ekologi
ekosistem: yang pertama berhadapan dengan biokemistri
dan yang satu berhubungan dengan aliran energi. Reiners
membantah bahwa perkembangan model ini dan model
ketiga (berhadapan dengan struktur populasi dan
komunitas) dan keterkaitan satu dengan yang lain
diperlukan untuk memfasilitasi pernyataannya dalam
ekologi. Model yang dikemukakan oleh Reiners ini
membuka jalan untuk melakukan penelitian tentang
keterkaitan antara spesies dan ekosistem, tercatat
diantaranya adalah Wedin (1995) dan Sterner et al.
(1992).
Dalam prakteknya, banyak data diperlukan untuk
mengevaluasi peran spesies dalam ekosistem didapatkan
dalam investigasi tipikal ekosistem (Grimm 1995).
Informasi pertama yang dibutuhkan adalah kelompok
fungsional, kemudian subsystem atau patches, dan
akhirnya seluruh ekosistem, adalah cara yang terbaik
untuk mencapai pengukuran aliran energi melalui
konsumer. Sambil lalu, informasi tentang komposisi
spesies, life histories, pilihan habitat, struktur ukuran
populasi, dan redudansi fungsional dicapai. Apakah ada
11
bukti bahwa individu spesies dapat mempengaruhi
fungsi ekosistem? Kunci untuk meramalkan suatu
pengertian apa keistimewaan spesies dan/atau ekosistem
kondusif terhadap redudansi fungsional (Lawton dan
Brown 1993). Untuk ekosistem, karakteritik seperti itu
adalah jumlah paras trofik yang efektif, ketersediaan dan
keterbatasan unsur hara, tipe kelompok fungsional, rezim
pengganggu, dan derajat heterogenitas spatial dan/atau
temporal; untuk spesies, kemampuan kompetitif,
efisiensi pemangsaan, sifat life histories, dan
kemampuan matabolik atau keunikan biokemikal
(misalnya fiksasi nitrogen) mungkin penting.
Semenjak Paine (1969) pertama mendefinisikan suatu
keystone predator, istilah “keystone” diperluas ke
spesies yang bila dihilangkan akan menghasilkan
perubahan dalam struktur komunitas atau fungsi
ekosistem. Bila ini diterapkan terhadap ekosistem,
keystone spesies adalah spesies yang memberi kontribusi
terhadap fungsi ekosistem secara unik. Jika kita bisa
membagi ekosistem ke dalam fungsi esensial atau proses
(dalam terminologi Wilson disebut “ecosystem
services”). Fungsi esensial secara kasar bisa diklasifikasi
sebagai trofik, biogeokemikal, dan struktural, dan
Keystone species adalah anggota tunggal trofik,
biogeokemikal, atau kelompok fungsional.
Interaksi spesies dapat mempengaruhi ekosistem secara
kuat melalui dua rute yang berbeda (Levinton 1995).
Pertama, mungkin spesies biological interactor dan
mempengaruhi spesies lain melalui predator atau
12
kompetitor. Pada ekosistem laut, predator selalu
berpengaruh kuat terhadap spesies mangsa, pada titik
penghancuran. Alternatif lain, mungkin spesies sebagai
habitat fabric interactor, dan mengubah habitat fisiknya
sendiri (Lawton dan Jones 1995). Berang-berang,
misalnya, mengubah hidrologi aliran sungai dan secara
radikal mengubah dengan segera batas air (watershed),
aliran unsur hara, dan struktur habitat spesies akuatik
dan teresterial sekitar (Pollock et al. 1995).
Invertebrata marine deposit feeder menggali lubang pada
sedimen yang lunak dan memakan beberapa bagian dari
sedimen, mencerna dan mengasimilasi beberapa bahan
organik hidup dan tidak hidup dalam suatu proses.
Lubang
dan aktivitas memakan mengubah fabrik
sedimen, dan pada gilirannya akan mengubah
lingkungan untuk deposit feeder itu sendiri tetapi juga
organisme mikrobial dan untuk spesies bentik yang lain.
Atas dasar itu Lawton dan Jones (1995) menyimpulkan
bahwa deposit feeder adalah engineers dan
mempengaruhi pabrik habitat ekosistem. Deposit feeder,
dengan demikian, berinteraksi langsung dengan spesies
lain melalui kompetisi ruang dan makanan, dan
karenanya juga berfungsi sebagai biological interactors.
Penggalian lubang dan aktivitas makan biasanya
meningkatkan kandungan air sedimen, dan terbentuk
banyak sekali fecal pellet yang meningkatkan ukuran
butiran sedimen dari lumpur yang halus menjadi pasir
halus, dan selalu terjadi oksigenasi sedimen dalam
proses ini. Penggalian lubang pada permukaan sedimen
13
akan membentuk atau menciptakan tiga dimensi struktur
ekosistem sedimen (Levinton 1995). Pengadukan fisik
sedimen, atau disebut bioturbation, meningkatkan
penetrasi oksigen. Ini biasanya akan menghasilkan suatu
lapisan horizontal yang disebut redox potential
discontinuity (RPD), yaitu batas antara reaksi oksidatif
di atas dan reaksi reduksi di bawahnya. Reaksi oksidatif
dan reduktif melintasi lapisan interface ini difasilitasi
oleh berbagai jenis bakteria yang memperoleh energi
dari oksidasi dan reduksi senyawa-senyawa sulfur.
Deposit feeder bisa memodifikasi kandungan air
sedimen, gradien kimia vertikal (vertical chemical
gradient), dan paras makanan. Deposit feeder juga
mengambil ruang dan bisa memonopoli lingkungan,
dengan demikian akan mengusir spesies lain ke luar.
Contoh yang paling sederhana adalah tube-dwellers
(polychaeta) yang bisa menghambat keberadaan penggali
atau tube-dweller lain.
Secara relatif mudah untuk menemukan contoh dimana
herbivora atau paras konsumer yang lebih tinggi dapat
menyebabkan perubahan komposisi spesies, keragaman,
produktivitas, dekomposisi, daur unsur hara, masuk dan
keluarnya unsur hara, atau proses geomorfik dan
hidrologi (Huntly 1991). Namun, secara umum pengaruh
konsumer terhadap dinamika ekosistem masih
diperdebatkan secara keras. Banyak penelitian telah
dilakukan terhadap konsumer pada paras ekosistem
akuatik daripada di teresterial (Carpenter et al. 1991).
Belum memperjelas bahwa pengaruh yang kuat
14
diperlihatkan terhadap komposisi spesies, produktivitas,
dan dinamika unsur hara dalam ekosistem itu.
Paling banyak bukti yang tegas bahwa herbivora
mempengaruhi proses-proses dalam ekosistem datang
dari manipulasi ekperimental populasi herbivora, salah
satunya secara langsung tiadanya herbivora atau
manipulasi konsumer paras tinggi yang mengendalikan
ukuran atau komposisi paras trofik herbivora.
Eksperimen ini menghasilkan beberapa demonstrasi
memperjelas herbivora besar mempengaruhi dinamika
ekosistem (misalnya, produktivitas primer dan laju daur
unsur hara) (Pollock et al, 1995; Power 1990).
Pengaruh konsumer terhadap proses-proses ekosistem
umumnya adalah efek umpan balik. Jenis dan jumlah
organisme yang ada dalam suatu ekosistem secara
mendasar terkendala oleh berbagai sifat paras ekosistem
itu sendiri. Sifat paras ekosistem tersebut antara lain
terbatasnya jumlah organisme dalam suatu lingkungan,
dan pengaruh lokasi dan aktivitas yang ada di dalamnya.
Kepadatan populasi dan perilaku konsumer adalah cara
dimana organisme itu terdistribusi dan menggunakan
habitatnya, secara kuat dikendalikan oleh sifat paras
ekosistem itu. Yang paling sederhana, produktivitas
primer dari suatu ekositem sudah dirancang suatu batas
maksimum kepadatan populasi konsumer yang mampu
ditunjangnya. Ini adalah dasar dari argumen Oksanen
dan Fretwell yang menyatakan bahwa konsumer akan
secara kuat membatasi biomasa tumbuhan pada paras
produktivitas ekosistem yang menunjang biomassa
15
herbivoras tinggi, tetapi tidak cocok untuk menunjang
cukup karnivora pada batas herbivora. Variasi dalam
produktivitas
primer pada skala kecil juga
mempengaruhi perilaku banyak herbivora, dan dengan
demikian menentukan pola dampaknya dalam kawasan
itu.
Aspek-aspek lingkungan lain, juga membatasi kepadatan
populasi dan perilaku herbivora. Sumber air adalah foci
hewan dalam beraktivitas pada banyak ekosistem
teresterial, yang pada gilirannya akan mengubah
dinamika vegetasi dan unsur hara. Fragmentasi habitat
dan isolasi juga bisa mempengaruhi jenis, jumlah, dan
pengaruh konsumer. Spesies hewan bisa berbeda
kemampuannya untuk mengeksploitasi habitat (Foster
dan Gaines 1991).
Herbivoras secara nyata mempengaruhi komposisi
spesies komunitas tumbuhan pada tempat mereka diam
(Huntly 1991). Spesies tumbuhan berbeda dalam
fonologi tumbuhnya, laju tumbuh maksimum, tipe
ukuran dan pola alokasi, uptake dan retensi unsur hara
dan air, dan kualitas dan kuantitas serasah (Pastor et al.
1993; Wedin 1995). Dengan demikian, herbivora yang
mengubah komposisi komunitas tumbuhan akan selalu
mengubah dinamika ekosistem. Walaupun selalu kurang
dianggap, herbivora juga bisa mempengaruhi perilaku
tumbuhan, yaitu, herbivora bisa mengubah cara dimana
tumbuhan dari satu fungsi spesies dan interaksinya
dengan spesies lain atau komponen abiotik dari
lingkungannya.
Dengan
menggunakan
istilah
16
“behavior”, perilaku, Huntly (1995) menunjukkan
konsep yang sama untuk memahami proses yang terjadi
pada hewan dengan predator: seekor predator dapat
mengubah kelimpahan populasi mangsa dan dengan
demikian mengubah efek kuantitatif spesies itu terhadap
spesies lain atau komponen ekosistem tetapi tidak
mengubah aturan yang menjelaskan interaksi ini.
Alternatifnya, predator dapat menyebabkan perubahan
dalam perilaku mangsanya, mengubah bagaimana
interaksinya dengan lingkungan (Huntly 1991).
Efek non-trofik yang dihasilkan dari efek langsung
konsumer terhadap lingkungan fisika-kimiawi (seperti
pergerakan dan struktur tanah, sedimen, atau material
lain; penggalian lubang, pembuatan jalan kecil) dan juga
dari efek non-trofik terhadap tumbuhan (terinjak-injak;
tergunting; tergores; atau terpotong tetapi bukan
termakan, atau sebaliknya menyebabkan gugur daun).
Efek non-trofik ini, oleh Lawton dan Jones (1995)
digolongkan ke dalam “allogenic engeneering”, kurang
menjadi kajian jika dibandingkan dengan efek trofik.
Tentu saja efek nontrofik berang-berang (beaver)
bertanggungjawab untuk suatu porsi utama pengaruhnya
terhadap ekosistem. Siput seperti Littorina littorea
terbatas pembentukan habitatnya pada dasar perairan
lunak yang dangkal, sebagai akibat dari pemerataan pada
saat grazing. Sejumlah konsumer mempengaruhi tanah
dengan penggundukan, pengadukan, dan pembuatan
terusan atau terowongan, dan mempengaruhi aerasi,
pergerakan air, relief topografi, dan dinamika unsur hara.
17
Herbivora selalu, melalui jalur trofik dan non-trofik,
secara kuat memodifikasi struktur lingkungan baik
secara spatial maupun temporal, hal ini bisa
menyebabkan fungsi ekosistem terpola oleh konsumer
(Grimm 1995). Variasi dalam kecocokan habitat dalam
ruang dan waktu memiliki efek yang kuat terhadap
populasi dan komunitas. Variasi lingkungan memberikan
kesempatan buat populasi menanggapi cara-cara yang
nonlinear dan nonadditive yang dihasilkan dalam pola
kelimpahan spesies. Hal itu memperlihatkan bahwa
dinamika ekosistem juga dipengaruhi oleh semacam
struktur lingkungan yang konsumer buat.
Efek herbivora dalam ekosistem kadang secara
konseptual sebagai penghancur, sebagai herbivora yang
secara fisik menggangu pola jalur atau bisa memakan
tumbuhan. Huntly (1995) menyimpulkan bahwa
herbivora dapat secara nyata mempengaruhi struktur dan
fungsi ekosistem dan merupakan suatu kajian yang
menarik (1) pengaruh konsumer terhadap perilaku
tumbuhan, (2) pengaruh konsumer pada paras bentang
alam, (3) efek non-trofik konsumer, dan (4) efek
konsumer
terhadap
struktur
ekosistem
dan
konsekuensinya terhadap proses-proses ekosistem.
Fauna tanah memainkan peran nyata dalam proses paras
ekosistem pada ekosistem teresterial melalui interaksinya
dengan komunitas mikrobial dan pengubahan
lingkungan fisik. Pada ekosistem teresterial ini, fauna
tanah merupakan komponen utama jaringan makanan
sebagai dekomposer (peluluh) dan merupakan kunci
18
pengatur peluluhan dan proses mineralisasi unsur hara.
(Parmelee 1995). Walaupun sebagian terbesar sistem,
komunitas mikrobial mampu memineralisasi kurang
lebih 90% karbon (C) dan nitrogen (N), akitivitasnya
sendiri diatur oleh fauna tanah. Fauna tanah mengatur
aktivitas mikroba dengan langsung memakan bakteri dan
fungi, dan dengan pemindahan propagul mikroba ke
substrat yang baru. Setelah memakan mikroba, fauna
tanah mengekskresikan N anorganik yang kemudian
tersedia untuk aktivitas mikroba lebih lanjut atau diambil
(uptake) oleh tumbuhan.
Dua kelompok yang selalu mendominasi secara numerik
dalam komunitas fauna tanah adalah nematoda dan
microarthropoda. Kelompok fauna ini, keragaman
spesiesnya sangat tinggi, dan seluruh kelompok trofik
terwakili (baketrivora, fungivora, herbivora, imnivora,
predator). Karena kelimpahan dan keragaman yang
tinggi, dan keberadaannya pada setiap paras trofik,
komunitas nematoda dan mikroarthropoda tanah dapat
secara sensistif berfungsi sebagai detektor perubahan
parameter-parameter ekosistem.
Nematoda adalah cacing gelang mikroskopis yang
mendiami lapisan tipis air pada partikel tanah, dan selalu
dalam jumlah jutaan individu per meter bujur sangkar.
Dua kelompok besar nematoda yang paling penting yang
mempengaruhi turnover unsur hara dengan memakan
mikroba adalah bakterivora dan fungivora. Dinamika
komunitas dan populasi bakteriovora telah diketahui
secara positif ada hubungannya dengan kepadatan dan
19
produksi bakteri. Demikian juga , nematoda fungivora
diketahui menurunkan kepadatan hypha fungi.
Komunitas mikroarthropoda terdiri dari sebagian besar
tungau (mite) dan kolembola (collembola) yang
mendiami ruang pori yang berisi udara dalam tanah, dan
jumlahnya ratusan ribu per meter bujur sangkar.
Mikroarthropoda yang memakan fungi (fungivora)
secara khusus mempengaruhi peluluhan serasah dan
dinamika nitrogen (N) pada ekosistem teresterial. Mikroarhtropoda juga bisa mempengaruhi laju daur unsur hara
dengan memangsa nematoda bakteriopora (Santos et al.
1981).
Berang-berang (Castor canadensis) memepengaruhi
keadaan dan proses ekosistem (misalnya; daur
biogeokemikal, retensi unsur hara, geomorfologi,
keragaman hayati (biodiversity), dinamika komunitas,
dan kompleksitas struktur) dengan mengubah sifat-sifat
fisik aliran air dan hutan riparian (Pollock et al. 1995).
Berang-berang mempengaruhi distribusi, standing stock,
dan ketersediaan unsur-unsur kimia dengan mengubah
hidrologi; mengubah geomorfologi aliran dengan adanya
dam yang memerangkap sedimen; dan mengubah iklim
mikro karena bertambah luasnya permukaan air. Berangberang juga meningkatkan keragaman dan biomassa
tumbuhan, vertebrata, dan invertebrata, dan juga
mengubah dinamika suksesi komunitas riparian. Pollock
et al. (1995) menyimpulkan bahwa proses dan kondisi
paras ekosistem dapat diubah secara radikal oleh
dinamika populasi spesies tertentu seperti berang-berang.
20
Berang-berang mempengaruhi proses-proses abiotik
dengan mengubah kondisi hidrologi aliran dan hutan
yang berhampiran. Perubahan hidrologi akan mengubah
dalam jangka pendek dan panjang geomormologi,
biogeokemistri, dan iklim mikro. Pengubahan geomorfik
aliran dan lantai lembah telah banyak terjadi sebagai
akibat dam yang dibuat oleh berang-berang. Dam yang
dibuat itu akan menurunkan kecepatan aliran air,
meningkatkan laju sedimentasi. Contohnya, hampir
10.000 m3 sedimen/km aliran ditahan oleh dam berangberang pada aliran sungai Matamek dan Moise, Quebec,
Canada (Naiman et al. 1986).
Berang-berang mempengaruhi dinamika komunitas
tumbuhan riparian (Johnston dan Naiman 1990b),
organisme bentik pada aliran (McDowell dan Naiman
1986), ikan (Dahm dan Sedell 1986), hewan liar
(Petersen dan Low 1977; McKelvey et al. 1983),
keragaman komunitas dan struktur aliran/sungai dan
hutan (Naiman et al. 1984; Johnston dan Naiman,
1990a), dan nilai nutrisi spesies tumbuhan tertentu
(Basey et al. 1990).
Ecosystem engeneers adalah organisme yang secara
langsung maupun tidak langsung memodulasi atau
mengatur ketersediaan sumberdaya untuk spesies lain,
dengan mengubah keadaan fisik material abiotik maupun
biotik (Lawton dan Jones 1995). Ada dua jenis
engineers: autogenic angineers mengubah lingkungan
melalui struktur fisik mereka sendiri, yaitu, jaringan
hidup atau mati. Allogenic engineers mengubah
21
lingkungan dengan transformasi material hidup dan tak
hidup dari satu keadaan fisik ke yang lain, melalui
mekanis atau cara lain.
Ada sejumlah contoh engineering: hewan bentik
(Levinton 1995; Giblin et al. 1995); herbivora (Huntly
1995); invertebrata dan mikroorganisme (Andersen
1995); dan berang-berang (beaver) (Pollock et al. 1995).
Berang-berang membuat dam yang mengubah hidrologi,
sedimen, dan retensi bahan organik, daur unsur hara,
peluluhan dan komposisi dan keragaman komunitas
tumbuhan dan hewan (Naiman et al. 1988; Pollock et al.
1995). Pada lingkungan bentik perairan laut aktivitas
hewan penggali lubang memainkan peran dominan
dalam
menentukan
struktur
sedimen,mengubah
kecocokan habitat untuk spesies organisme lain
(Meadows dan Meadows 1991; Levinton 1995; Giblin et
al. 1995).
Dampak ekologis engineer tergantung pada skala spatial
dan temporal aksinya (Lawtion dan Jones 1995). Enam
skala faktor dampak, yaitu (1) life time per capita
aktivitas indivual organisme; (2) densitas populasi, (3)
distribusi spatial populasi, regional maupun lokal; (4)
lamanya waktu populasi berada di suatu tempat; (5) daya
tahan konstruksi, artifak, dan dampak ketidakberadaan
engineer; dan (6) jumlah dan tipe aliran sumberdaya
yang dimodulasi oleh konstruksi dan artifak, dan jumlah
spesies lain yang tergantung kepada aliran sumberdaya
ini.
22
Proses-proses ekosistem seperti produksi primer dan
peluluhan /dekomposisi kadang-kadang dipertahankan
pada paras mendekati konstan meskipun cekaman secara
substansial terhadap spesies yang melakukan proses itu
sangat kuat (Howart 1991; Lawton dan Brown 1993;
Anderson 1995). Daya tahan terhadap perubahan seperti
itu pada paras ekosistem menggambarkan suatu
kelengkapan fungsi sistem; spesies dengan fungsi yang
sama menggantikan spesies yang hilang akibat cekaman.
Fungsi saling melengkapi, kadang-kadang diistilahkan
“redundancy” , juga terjadi dalam situasi dimana spesies
pendatang menyebabkan perubahan yang besar dalam
suatu komunitas tetapi tidak mempengaruhi prosesproses ekosistem yang ada (Vitousek 1990). Ada
sejumlah kasus perubahan besar pada proses ekosistem
yang dapat akhirnya terkait dengan perubahan dalam
populasi spesies tunggal (Carpenter dan Kitchell 1993;
Pollock et al. 1995). Penentuan bila fungsi saling
melengkapi itu terjadi dan memahami faktor-faktor yang
mengendalikannya tergantung pada pertalian antara
ekologi populasi dan ekosistem (Frost et al. 1995).
Energi memainkan peran penting sekali dalam seluruh
aspek penelitian ekologi, termasuk diantaranya: (1)
ekologi biofisik (biophisical ecologi), yang mempelajari
perangkat individu organisme dengan lingkungannya
melalui suatu perubahan energi dan materi; (2) ekologi
jaring makanan (food web ecology), di mana efisiensi
transmisi energi ke rantai makanan memainkan peran
dalam struktur jaring makanan; (3) teori komunitas, di
23
mana hubungan antara ketersediaan energi dan kekayaan
spesies dalam komunitas ekologi ditemui (Currie 1991);
(4) teori ekosistem, di mana hipotesis untuk sifat-sifat
statis dan dinamis ekosistem seperti suksesi melibatkan
prinsip-prinsip energi (Odum 1971); dan (5) teori
evolusi, di mana termodinamika sistem organisasi diri
dapat diterapkan terhadap evolusi biologis (Brown
1995).
3. Lingkungan dan Keystone Spesies
Keystone adalah stone (batu) pada puncak suatu archa
yang menyokong batu-batu lain dan menjaga seluruh
archa dari kerubuhan. Keystone species adalah spesies di
mana keberadaan sebagian besar spesies lain yang ada
dalam suatu ekosistem tergantung. Jika suatu keystone
spesies hilang atau musnah dari suatu sistem, spesies
yang tergantung kepadanya juga akan hilang. Keystone
species bisa berasal dari top carnivores (karnivora
puncak) yang menjadi penjaga keberadaan mangsa,
herbivora besar yang membentuk suatu sistem dengan
spesies lain, tumbuhan tertentu yang menyokong
kehidupan serangga tertentu yang menjadi mangsa
burung, kelelawar yang menyebarluaskan biji-bijian
tanaman, dan banyak lagi organisme lain.
Konsep Keystone species menjadi arus utama dalam
literatur-literatur ekologi dan biologi konservasi sejak
diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Robert T.
Paine seorang ahli zoologi pada tahun 1969. Keystone
24
species biasanya terlihat bila hilang atau diambil dari
satu ekosistem, menghasilkan perubahan yang dramatis
terhadap spesies yang tertinggal dalam komunitas itu.
Fenomena ini diamati pada ekosistem dan organisme
dalam kisaran yang luas. Keystone species adalah suatu
spesies yang kelulushidupan sejumlah spesies lain
tergantung kepadanya.
Keystone species adalah spesies yang keberadaannya
menyumbangkan suatu keragaman hidup dan yang
kepunahannya
secara
konsekuen
menimbulkan
kepunahan bentuk kehidupan lain. Keystone species
adalah spesies yang dampaknya terhadap komunitas dan
ekosistem tempat dia hidup sangat besar, dan tak
seimbang dengan kelimpahannya (Power dan Mills
1995). Mereka memainkan peran yang besar dalam
struktur komunitas. Keystone predator: predator yang
memainkan peran tak seimbang dalam struktur
komunitas. Contoh termasuk bintang laut (Pisaster
ochraceus) dan berang-berang laut (Enhydra lutris).
Keystone species adalah spesies yang memperkaya
fungsi ekosistem dalam suatu cara yang unik dan nyata
melalui
aktivitasnya,
dan
efeknya
adalah
ketidakseimbangan terhadap kelimpahan numeriknya.
Kepunahan atau diambilnya spesies ini menyebabkan
bermulanya perubahan pada struktur ekosistem dan
selalu mengurangi keragaman (diversitas).
Keystone species memiliki beberapa aspek khusus yang
membuat mereka lebih berarti dalam suatu ekosistem.
Sebagai contoh, tumbuhan dengan jumlah biomassa
25
yang besar (kanopi yang rimbun) adalah penting, bukan
merupakan suatu keystone species. Tetapi di ekosistem
sub-tidal, kepunahan atau pengambilan bintang laut
secara besar-besaran dapat menyebabkan predator lain
berkembang pesat dan menyapu bersih berbagai jenis
alga yang hidup di ekosistem itu. Dengan demikian
bintang laut adalah keystone species. Sulit untuk
meramalkan atau mengetahui apakah spesies tertentu
adalah keystome species. Biasanya baru akan disadari
setelah spesies itu punah atau diambil dari ekosistem itu,
dan akan terlihat efeknya. Hal itu memperlihatkan bahwa
banyak sistem memiliki keystone species, tetapi itu
belum banyak diketahui oleh banyak orang. Konsep ini
dapat diterapkan terhadap kelompok spesies dan juga
satu individu spesies.
Pakar-pakar ilmu pengetahuan tentang ekologi mengerti
bahwa komunitas hidup baik tumbuhan maupun hewan
tergantung secara kuat pada salah satu yang lain untuk
lulushidup. Tumbuhan memberikan unsur hara esensial
dan energi untuk hewan yang memakan tunas atau
memamah daun-daunnya dan, akhirnya, karnivora
memakan herbivora ini. Bila tumbuhan dan hewan mati,
fungi, mikroba, dan organisme lain menambang unsur
hara dari jaringan yang mati dan mengembalikan unsur
kimia ke tanah. Terjadi pengayaan baru, tanah menjadi
siap kembali menyokong generasi lain dari tumbuhan
dan hewan.
Tumbuhan dan hewan saling terkait pada banyak paras
dan dalam cara yang hampir tak terbatas. Berbagai
26
spesies tumbuhan, misalnya, menyandarkan diri kepada
hewan – serangga, kelelawar, hewan pengerat dan yang
lainnya – untuk membawa pollen dan pembuahan biji.
Dan, berbagai hewan mengharapkan tumbuhan sebagai
shelter (tempat berteduh) – percabangan untuk tempat
meletakkan sarang atau tumbuhan yang tinggi untuk
menghindari diri dari predator atau penyergapan mangsa.
Begitu pula, akar menahan tanah untuk melawan erosi,
menjaga terjadinya pelumpuran masuk ke aliran dan air
tetap jernih untuk kehidupan ikan dan organisme lain.
Di dakam suatu habitat, setiap spesies berhubungan
dengan dan tergantung pada spesies lain, dan masingmasing spesies menyumbang kepada integritas seluruh
habitat itu. Beberapa spesies memberikan layanan
esensial yang juga unik terhadap habitatnya. Tanpa kerja
dari spesies kunci ini, perubahan habitat akan terlihat
nyata dan berpengaruh. Pakar ilmu pengetahuan
menyebut spesies yang memainkan peran amat penting
ini dengan nama “keystone species”. Kepunahan atau
lenyapnya suatu keystone dari ekosistem akan memicu
hilangnya spesies residen yang lain, dan hubungan yang
rumit diantara spesies residen yang tinggal menjadi
terlepas dan terurai. Dalam efek domino ini, spesies akan
hilang seperti mengalirnya air, hilangnya satu spesies
akan diikuti oleh spesies lain.
Gajah rupanya merupakan keystone species pada padang
rumput Afrika. Ini berarti, tanpa gajah, padang rumput
berhenti jadi padang rumput, akan ditumbuhi oleh
tumbuhan berkayu, berubah menjadi hutan atau semak
27
belukar. Sebagai keystone species, gajah menghalangi
perubahan padang rumput menjadi hutan atau belukar
dengan melakukan penyiangan pohon dan semak. Gajah
memakan tunas-tunas tumbuhan berkayu, merenggut
pohon-pohon muda sampai keakar-akarnya. Cepat atau
lambat gajah akan mendorong tumbuhan yang besar,
merenggut tanaman yang kecil, atau membunuh secara
perlahan.
Sebagai pengganti dari usaha gajah mencegah terjadinya
penghutanan padang rumput, gajah berpesta pora dengan
rumput yang menghijau. Pemamahan ini tidak akan
merusak padang rumput – telah terjadi keharmonisan
antara padang rumput dan perumput. Rumput hidup
menyenangkan dengan perumput dengan pengorbanan
sedikit daunnya untuk menjaga akar dan pertumbuhan.
Rumput dan perumput hidup dalam keharmonisan.
De Leo dan Levin (1997) memberikan diskripsi yang
baik tentang konsep Keystone species dan kelompok
fungsional. Smirnova (1998) mencatat, “dinamika
populasi keystone species merupakan suatu pola mosaik
suksesi vegetasi”. Daur ulang energi dan materi
didominasi oleh aktivitas hidup keystone species, dan
aktivitas ini menentukan perubahan utama pada skala
spatial atau temporal di tempat dimana spesies itu
terdapat. Mosaik populasi dari spesies kunci memiliki
dimensi spatial dan temporal yang paling besar, dan
mosaik populasi dari spesies yang di bawahnya
ditentukan oleh spesies kunci.
28
Perlu digarisbawahi bahwa kita mengusulkan keystone
species hanya spesies yang populasinya menyokong atau
secara esensial mengubah pola vegetasi ekosistem
(Khanina 1998). Di bawah pemahaman seperti itu,
misalnya, hanya pohon yang dapat dianggap sebagai
keystone species komunitas hutan (detritus ecosystem),
dan bison yang dapat dipandang sebagai keystone
species komunitas padang rumput (pasture ecosystem).
Tipe ekosistem akan berubah bila keystone species
hilang karena beberapa sebab, atau bila keystone baru
yang lebih kuat datang ke ekosistem itu.
Mozaik suksesi pada tumbuhan dihasilkan dari
kehancuran biotik dan abiotik pada skala spatiotemporal
yang berbeda. Hirarki kehancuran vegetasi ini dihasilkan
dalam suatu pola hirarki mozaik populasi tumbuhan.
Contoh kehancuran dalam skala yang relatif besar pada
daerah sedang (temperata) adalah (1) catastrophic event
(bencana besar) (seperti kebakaran, angin ribut/topan);
(2) pathogens (seperti fungi atau insekta); dan (3) pola
makan mammalia (seperti bison atau berang-berang).
Setiap tahun, jutaan dolar dibelanjakan untuk
pengelolaan dan pemantauan lingkungan (Carpenter
1998). Hal itu diyakini secara luas bahwa ilmu
pengetahuan memiliki peran untuk bermain dalam
aktivitas ini. Sebagaimana dicatat oleh Schulze dan
Mooney (1993), keystone species bisa dipandang sebagai
kelompok funfsional. Mereka menyimpulkan bahwa
tantangan utama dalam penelitian bagi pakar ekologi
adalah meramalkan yang mana spesies dalam komunitas
29
adalah keystone species atau memiliki efek kunci, atau
yang mana spesies yang bisa cocok di bawah kondisi
lingkungan yang berubah. Davic (2000) berpendapat
bahwa pakar-pakar ekologi dapat menjawab tantangan
ini hanya jika konsep Paine tentang keystone predation
dipertahankan.
Davic (2000) dan Piraino dan Fanelli (1999) merevisi
konsep asli Paine (1966, 1969) tentang keystone species,
menentang penggunaan key dan keystone species
dipertukarkan. Mereka mendefinisikan keystone species,
sebagai suatu spesies predator yang secara potensial
memelihara kekayaan keragaman spesies di dalam
kelompok fungsional komunitas mangsa. Penulis ini
mengusulkan bahwa “keystone” species adalah predator,
dan beranggapan herbivora tidak merupakan keystone
species, tetapi agaknya adalah “key species”.
Definisi ini, walaupun mengacu kepada konsep awal
Paine, terlalu terbatas cakupannya (Higdon 2002). Suatu
spesies dengan suatu fungsi ekosistem yang penting
dapat dipandang sebagai keystone species, dan ini akan
termasuk herbivora dan juga karnivora. Sebagai suatu
contoh, kelinci sepatu salju (Lepus americanus)
mempengaruhi pola vegetasi melalui memakan tunas
(browsing) dan merupakan sumber mangsa penting bagi
berbagai jenis burung dan predator mamalia. Keberadaan
kelinci membantu pemeliharaan keragaman spesies yang
tinggi pada komunitas predator. Jika itu lenyap akan
menghasilkan perubahan yang nyata pada komposisi
hutan dan kemunduran populasi karnivora secara
30
substansial. Kemunduran ini jauh lebih berat daripada
kehilangan spesies mangsa yang lain. Kelinci sepatu
salju dengan demikian memiliki “disproportionate
effect” (Piraino dan Fanelli 1999) pada komunitas
vertebrata. Keystone predator dapat sebagai keystone
species, tetapi keystone species tidak selalu adalah
predator.
Hilangnya suatu spesies dapat menyebabkan beberapa
efek atau pengaruh terhadap spesies yang tinggal dalam
suatu ekosistem – apa jenisnya dan seberapa banyak
sangat tergantung atas karakteristik ekosistem itu dan
atas peran yang diberikan oleh spesies itu dalam
strukturnya. Cascade effect terjadi bila kepunahan lokal
satu spesies secara signifikan mengubah ukuran populasi
spesies lain. Cascade effect seperti itu terutama mungkin
bila hilangnya spesies keystone predator, keystone
mutualist, atau mangsa specialist predator.
Seberapa banyak spesies predator yang hilang dapat
mempengaruhi ukuran populasi mangsa tergantung
kepada seberapa banyak predator membatasi populasi
mangsa. Jika ukuran populasi mangsa ditentukan oleh
kenyataan lain selain daripada predasi, itu dikatakan
donor-controlled. Misalnya, invertebrata yang menggali
lubang seperti mussel atau bernacle hanya
mengkonsumsi
sebagian
kecil
plankton
laut,
konsekuensinya pengambilan invertebrata ini tidak akan
mempengaruhi ukuran populasi plankton.
31
Pada sistem kendali predator (predator-controlled
system), ukuran populasi mangsa ditentukan oleh predasi
(pemangsaan). Dalam sistem seperti itu, dampak
hilangnya pemangsa dapat secara substansial
berpengaruh besar dalam rantai makanan. Jadi dapat
dikatakan bahwa keystone predator tidak hanya
mempengaruhi ukuran populasi mangsa tetapi juga
keragaman spesies komunitas.
Dari kawasan dingin di Alaska sampai ke kawasan panas
di Baja California, pada pantai berbatu yang terdedah
antara pasang tinggi dan rendah, hidup sekelompok
organisme laut dalam kondisi keseimbangan yang peka
terhadap yang lainnya. Tetapi salah satu organisme,
starfish (Pisaster ochraceus), adalah pilar dari komunitas
yang kestabilan seluruh sistem tergantung kepadanya.
Jika predator tunggal itu hilang atau diambil, perubahan
dramatis terhadap keragaman dan densitas terhadap
seluruh spesies lain yang ada dalam komunitas itu.
Starfish adalah keystone spesies pada kawasan intertidal.
Ilustrasi yang baik tentang konsep keystone species
Paine diperlihatkan oleh sea otter (berang-berang laut)
yang dahulunya mendiami kawasan yang sangat luas
mulai dari kepulauan Jepang, terus ke Aleutian Islands,
ke bawah ke pantai Amerika Utara dan sampai ke selatan
Baja California. Kembalinya sea otter ke selatan
California, misalnya, mengembalikan padang ganggang
dan kehidupan laut yang berasosiasi dengannya. Hal itu
karena salah satu makanan favorit sea otter adalah sea
32
urchine, yang
ganggang.
akhirnya
memulihkan
kumpulan
Paine (1969) tidak hanya menciptakan istilah “keystone
species”, tetapi juga memperlihatkan karekteristik yang
dibutuhkan untuk satu spesies dapat memiliki status
keystone: (1) itu harus memberikan efek top-down
(seperti predasi) terhadap trofik yang dibawahnya, (2) itu
melindungi monopolisasi sumberdaya yang kritis
(seperti kompetisi terhadap ruang) pada paras trofik yang
lebih rendah. Sinergi antara keduanya, top-down
(predasi) dan bottom-up (kompetisi) menghasilkan
interaksi yang harus (3) menstabilkan keragaman
komunitas. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan itu,
Davic (2002) masih meragukan penggunaan istilah “key
species atau ecologically dominant species”, atau dalam
kasus berang-berang (beaver), “ecosystem engineers”
(Jones et al. 1994). Davic (2002) dan Higdon (2002)
sepakat bahwa tidak seluruh keystone species mesti
predator. Konsep keystone species Paine (1969) dapat
dikembangkan terhadap produser primer, fungi, dan
bakteria yang memiliki kemampuan bi-directional (topdown, bottom-up) dalam rantai makanan.
Kesehatan lingkungan selalu diukur dari keberadaan,
ketidakberadaan, atau kelimpahan suatu spesies indikator
pada suatu tipe habitat. Suatu spesies indikator adalah
spesies yang memiliki kisaran toleransi ekologis sempit
yang keberadaan dan ketidakberadaannya adalah indikasi
yang baik terhadap kondisi lingkungan. Beberapa spesies
diketahui memiliki peran yang besar yang tak sebanding
33
dalam menentukan stuktur komunitas secara keseluruhan
dalam suatu ekosistem. Spesies ini disebut keystone
species.
Salah satu kontribusi penting yang fundamental konsep
keystone species adalah perhatian terhadap studi ini
dapat menggambarkan kekuatan interaksi yang berbeda
dalam jaring makanan komunitas (Mills et al. 1993).
Kontribusi penting yang kedua dari paradigma keystone
adalah implikasinya yang hanya spesies minoritas
memiliki interaksi kuat yang mempengaruhi komposisi
komunitas.
Di awal 1960an, pakar-pakar ekologi mengakui adanya
“keystone groups”, atau “functional groups”. Penelitipeneliti menjelaskan banyak sistem dimana kelompok
spesies berfungsi sebagai satu unit, secara kolektif
memainkan peran yang nyata sebagai suatu keystones
species dalam sistem yang lain (Levin dan Peale
1995).Di dalam kelompok fungsional ini, peran-peran
tertentu diisi oleh satu dari beberapa spesies secara
dipertukarkan; ini adalah redundansi ---“ecosystem
insuranca”.
4. Kepiting sebagai Keystone Spesies Ekosistem
Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekoton yang
terletak pada daerah pertemuan antara ekosistem laut dan
ekosistem daratan, karena itu memiliki karakteristik
yang unik, dengan faktor-faktor lingkungan yang
34
menggambarkan lingkungan darat dan laut, dan
kekhasan sendiri terutama faktor lingkungan yang sangat
berfluktuatif. Kawasan hutan mangrove memiliki fungsi
sebagai penghambat intrusi air laut, gelombang ataupun
angin yang merusak ekosistem darat. Ekosistem
mangrove merupakan ekosistem terbuka, terjadi
pertukaran materi dan energi dengan ekosistem laut dan
daratan.
Komunitas mangrove diakui secara luas merupakan
unsur penting pada ekosistem pantai tropis (Robertson
1991), memiliki sistem produktif yang tinggi yang
berfungsi sebagai nursery ground untuk banyak spesies
organisme laut yang komersial. Sebaliknya, komunitas
mangrove juga penstabil sedimen yang selalu mobil dan
berperan sebagai pelindung terhadap erosi pantai.
Walaupun demikian pentingnya peran kawasan hutan
mangrove, ekosistem ini seringkali mendapat tekanan
yang amat berat, baik di negera berkembang maupun
negara belum berkembang. Tanpa menghiraukan
masyarakat sekitar, habitat ini selalu dianggap sebagai
suatu yang terbaik untuk dikonversi menjadi peruntukan
lain dan tanpa pandang bulu dibabat untuk industri,
pertanian atau pemukiman. Di kawasan Asia Tenggara,
banyak kawasan ini dimanfaatkan untuk proyek-proyek
budidaya secara besar-besaran.
Terlalu sedikit diketahui tentang banyak komunitas alam
di Indonesia ini, khususnya di Riau untuk meramalkan
efek manusia terhadap lingkungan. Keadaan yang
menyedihkan tentang komunitas mangrove itu, terutama
35
kritis karena tekanan pembangunan yang terus menerus
meningkat; karena banyak pusat-pusat pengembangan
pembangunan berada di kawasan pesisir; dan karena
adanya konflik kepentingan, preservasi perikanan pantai,
dan pengelolaan dan konservasi yang berkelanjutan pada
ekosistem ini sangat penting.
Tinjauan ekologi hutan mangrove memberikan kepada
kita terjadinya defisiensi untuk mengerti sistem ini dari
dua perspektif atau pandangan yang berbeda: pertama,
ada keterbatasan dalam pengertian umum kita terhadap
struktur proses pada komunitas mangrove (ini disebut
sudut pandang “pure science”); dan, kedua, ada masalah
pengertian spesifik bagaimana sistem mangrove dikelola
untuk memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan
dampak manusia (ini disebut sudut pandang “applied
science”). Kedua pandangan ini, tentu saja, adalah
pengetahuan yang saling terkait bagaimana sistem ini
mesti
meningkatkan
kemampuan
kita
untuk
mengelolanya – tetapi isu-isu pentingnya teori umum
mungkin bisa secara praktik berkurang dan vise versa.
Peran yang dimainkan oleh kepiting sesarmid dalam
menentukan struktur dan fungsi hutan mangrove tropis
adalah suatu isu yang menjangkau kedua perspektif atau
pandangan tadi.
Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan
hutan mangrove: spesies yang aktivitasnya mempunyai
pengaruh utama pada berbagai proses paras ekosistem
(McGuinness 1992). Jika demikian, kemudian informasi
terhadap perannya adalah kritis untuk pengertian ekologi
36
secara umum bagaimana fungsi hutan mangrove, dan
untuk maksud khusus pengelolaan dan konservasi
ekosistem itu.
Smith et al. (1991)mengusulkan bahwa kepiting
sesarmid bisa mendiami posisi kunci (keystone) dalam
ecologi hutan mangrove Australia. Konklusi ini
didasarkan
atas
hasil
kajian
terakhir
yang
memperlihatkan efek penting invertebrta ini terhadap
daur karbon pada komunitas mangrove, dan terhadap
struktur hutan.
Peran potensial kepiting, dan invertebrata lain, dalam
daur materi pada komunitas mangrove telah banyak
dikenal untuk waktu lama. Aspek feeding biology
kepitng
Chiromanthes
onychophorum
dan
menyimpulkan bahwa kepiting bisa agen yang nyata
dalam mendegradasi daun mangrove menjadi partikelpartikel ukuran detritus dalam rawa-rawa dimana
kepiting itu hidup.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2002)
diketahui bahwa kepiting sesarmid di kawasan hutan
mangrove memegang peran dalam pemanfaatan serasah,
melalui konsumsi dan pemendaman serasah daun.
Kelompok Sesarma yang terdiri dari S. gittatum, S.
smithi, dan Nanosesarma minutum. Energi detritus yang
berasimilasi di dalam tubuh kepiting yang diubah
menjadi jaringan atau produk reproduktif menjadi
material yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen tingkat
tinggi. Peran yang demikian dapat disimpulkan bahwa
37
kepiting sesarmid merupakan keystone species di
kawasan hutan mangrove.
Dari 63% serasah daun yang tertinggal di lantai hutan,
lebih kurang 36% dimanfaatkan oleh makrofauna bentik
(kepiting), tercabik-cabik menjadi fragmen, dan
mengalami peluluhan. Peran yang dimainkan kepiting
dalam struktur dan fungsi ekologis di kawasan hutan ini
dapat terlihat dari pemanfatan serasah, baik itu
dimanfaatkan oleh untuk dikonsumsi maupun membawa
serasah masuk ke dalam lubang. Di samping itu, peran
lain yang dimainkan kepiting dalam fungsi daerah
asuhan (“nursery ground”) melalui penyediaan larvanya
sebagai sumber makanan bagi hewan lain.
Pada kawasan hutan mangrove terlihat adanya interaksi
lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur yang
akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting
sebagai konsumen dan detrivora, dan mikroba sebagai
pengurai. Hubungan antara kepiting (konsumen) dan
pengurai merupakan interaksi terdekat Hamidy 2002).
Kepiting membantu mencabik-cabik serasah yang akan
mempermudah pengurai dalam aktivitasnya. Hasil
peluluhan ini akan dimanfaatkan oleh mikroba itu
sendiri, tetapi yang paling penting adalah merupakan
umpan balik ke tumbuhan sendiri (mangrove).
Dari diskusi
memodifikasi
dengan, (1)
makanan, (2)
yang disebut di atas, kepiting mampu
lingkungan kawasan hutan mangrove
memanfaatkan serasah sebagai sumber
mengahsilkan fragmen (cabikan) serasah,
38
dan (3) membuat lubang sebagai “bioturbator” yang
merupakan pengendali ekosistem sedimen. Ketiga
kemampuan ini menempatkan kepiting memegang peran
dalam suatu ekosistem atau lingkungan (keystone
species).
Kepiting juga mempunyai efek langsung melalui
kemampuan mereka menggali lubang. Percobaan yang
dilakukan oleh Smith et al. (1991) menunjukkan bahwa
pengurangan kelimpahan kepiting di suatu kawasan
hutan mangrove akan meningkatkan konsentrasi sulfida
dan amonium dalam tanah, dan menurunkan
produktivitas keluaran reproduktif oleh mangrove.
Dapat disimpulkan bahwa kepiting berfungsi dalam
mengkonservasi nutrien dalam sistem dan mempertinggi
mineralisasi melalui proses pencabikan serasah yang
akan mempermudah dan mempercepat peluluhan oleh
mikroba.
Tantangan
utama
keilmuan
adalah
mengevaluasi arti penting keragaman kehidupan dalam
tanah dan sedimen untuk fungsi ekosistem, misalnya
mengidentifikasi “keystone species”. Dari hasil kajian,
kepiting ternyata memegang peran sebagai “keystone
species” di kawasan hutan mangrove, namun belum
dapat ditentukan dengan pasti spesies mana yang
memegang peran itu.
5. Penutup
Pengetahun
interdisipliner
tentang
lingkungan
diperlukan untuk memahami dan memecahkan
39
permasalahan yang ada, agar manusia dapat semakin
bijaksana dalam mengelola dan melaksanakan
kegiatannya.
Dalam permasalahan lingkungan, yang dipersoalkan
ialah perubahan yang diakibatkan oleh perbuatan
manusia. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan
takhidup di suatu tempat yang berinterkasi membentuk
suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi oleh
adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh
arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu.
Sistem yang demikian bekerja pula dengan secara
sistematis dan teratur pada sistem alami (ekosistem).
Bila ini diterapkan terhadap ekosistem, keystone spesies
adalah spesies yang memberi kontribusi terhadap fungsi
ekosistem secara unik. Invertebrata marine deposit
feeder menggali lubang pada sedimen yang lunak dan
memakan beberapa bagian dari sedimen, mencerna dan
mengasimilasi beberapa bahan organik hidup dan tidak
hidup dalam suatu proses.
Jenis dan jumlah organisme yang ada dalam suatu
ekosistem secara mendasar terkendala oleh berbagai sifat
paras ekosistem itu sendiri. Sifat paras ekosistem
tersebut antara lain terbatasnya jumlah organisme dalam
suatu lingkungan, dan pengaruh lokasi dan aktivitas yang
ada di dalamnya. Sumber air adalah foci hewan dalam
beraktivitas pada banyak ekosistem teresterial, yang pada
gilirannya akan mengubah dinamika vegetasi dan unsur
hara.
40
Fauna tanah mengatur aktivitas mikroba dengan
langsung memakan bakteri dan fungi, dan dengan
pemindahan propagul mikroba ke substrat yang baru.
Dua kelompok yang selalu mendominasi secara numerik
dalam komunitas fauna tanah adalah nematoda dan
microarthropoda. Karena kelimpahan dan keragaman
yang tinggi, dan keberadaannya pada setiap paras trofik,
komunitas nematoda dan mikroarthropoda tanah dapat
secara sensistif berfungsi sebagai detektor perubahan
parameter-parameter ekosistem.
Keystone species adalah spesies di mana keberadaan
sebagian besar spesies lain yang ada dalam suatu
ekosistem tergantung. Keystone species biasanya terlihat
bila hilang atau diambil dari satu ekosistem,
menghasilkan perubahan yang dramatis terhadap spesies
yang tertinggal dalam komunitas itu. Fenomena ini
diamati pada ekosistem dan organisme dalam kisaran
yang luas. Keystone species adalah suatu spesies yang
kelulushidupan sejumlah spesies lain tergantung
kepadanya.
Kontribusi penting yang kedua dari paradigma keystone
adalah implikasinya yang hanya spesies minoritas
memiliki interaksi kuat yang mempengaruhi komposisi
komunitas.
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekoton yang
terletak pada daerah pertemuan antara ekosistem laut dan
ekosistem daratan, karena itu memiliki karakteristik
yang unik, dengan faktor-faktor lingkungan yang
41
menggambarkan lingkungan darat dan laut, dan
kekhasan sendiri terutama faktor lingkungan yang sangat
berfluktuatif. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem
terbuka, terjadi pertukaran materi dan energi dengan
ekosistem laut dan daratan.
Peran yang dimainkan oleh kepiting sesarmid dalam
menentukan struktur dan fungsi hutan mangrove tropis
adalah suatu isu yang menjangkau kedua perspektif atau
pandangan tadi. Dapat dsimpulkan bahwa kepiting
berfungsi dalam mengkonservasi nutrien dalam sistem
dan mempertinggi mineralisasi melalui proses
pencabikan serasah yang akan mempermudah dan
mempercepat peluluhan oleh mikroba.
Bagi
banyak
orang
yang
merasa
dirinya
bertanggungjawab terhadap lingkungan alami ini, maka
konsep keystone species harus dipahami dengan benar
dan baik. Gajah kita yang di Riau hanya tinggal beberapa
ekor saja lagi, apakah mungkin dia itu berfungsi sebagai
keystone species. Kalau betul berfungsi sebagai keystone
species, terlalu gegabah dan sangat berbahaya
membiarkan gajah menuju kepunahan. Ini hanya sekedar
contoh, masih banyak lain lagi yang dapat dikaji lebih
mendalam.
42
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan tertatih-tatih, akhirnya sampai jua saya kepuncak
karir saya dalam bidang keilmuan. Tertatih-tatih karena
saya berjalan sendiri dalam menempuh segala onak dan
duri yang ada disekeliling jalan yang saya lalui. Hanya
dorongan semua keluarga dan beberapa yunior saya,
yang selalu memberi semangat dan dorongan yang tak
terhingga.
Pendidikan Pasca Sarjana (S2) dan S3 saya lalui dengan
baik dan selamat di Institut Teknologi Bandung,
Bandung. Dengan bantuan dana TMPD saya menjalani
pendidikan Pasca Sarjana. Dana itu dirasakan sangat
minim sekali, terutama saat saya menjalani pendidikan
S3. Hampir-hampir saya mundur dari gelangang yang
sudah saya rintis karena ketiadaan dana. Minta bantuan
ke kanan dan kiri tak satupun orang yang mau peduli dan
tak mau memberi. Semua acuh tentang itu, terutama
institusi dimana saya telah mengabdikan diri hampir 30
tahun. Namun semangat selalu diberikan oleh seluruh
keluarga. Akhirnya dapat jualah saya menyelesaikan
pendidikan S3 saya, saat umur saya telah mencapai 58
tahun.
Pada kesempatan ini izinlah saya menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
istri tercinta Ainnanur Yusuf, dan kedua anak kami yang
43
tersayang: Nana Rahayu (yang sedang studi di Jepang)
dan Rasdian Hamidy (Bandung), yang dengan penuh
pengorbanan tetap setia mendoakan dan mendampingi
saya. Mungkin selama saya menjalani pendidikan kurang
mendapat perhatian dan kasih sayang dari saya. Semua
itu Allah SWT. yang akan membalasnya, tapi hal itu
saya lakukan demi mencapai sebuah cita-cita.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya
sampaikan juga kepada kakanda Mohd. Yusuf dan
keluarga dan Kakanda Zainal Abidin dan keluarga,
kakanda Nuraini. Yang tak bosan-bosannya memberikan
semangat dan dorongan untuk mencapai semua cita-cita
saya ini. Sumbangan moral dan material sangat banyak
saya terima terutama dari kakanda Mohd. Yusuf, tak
sanggup saya menyebutkannya disini. Insya Allah Tuhan
akan memberikan rahmat panjang umur kepada mereka
dan selalu dilimpahkan rezqi dan hidayah dari Allah
SWT.. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada
anak-anak dari ketiga kakak-kakak saya tersebut,
terutama kepada ananda Yusman Yusuf dan salah satu
yang istimewa juga adalah kemenakanda Syamsuri yang
selalu memberi disaat keritis dalam penyelesaian akhir
pendidikan saya.
Kepada kedua orang tua saya almarhum (Nikmat dan
Thaat), saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
karena kedua orang tua saya itu telah mencurahkan kasih
sayang yang begitu tulus kepada saya, dan kepada
almarhum kakanda Mohd. Yasir. Saya berdoa semoga
44
Allah SWT menyayangi mereka sebagaimana mereka
menyayangi saya.
Tingkat pendidikan yang saya nikmati saat ini tak
terlepas dari pendidikan awal yang saya lalui. Ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada semua guru-guru
Sekolah Rakyat di Lubuk Jambi, guru-guru di SMP
Negeri Teluk Kuantan, dan guru-guru di SPMA Negeri
Padang, terutama kepada Kepala Sekolahnya Mohd.
Yusuf Luthan yang telah membentuk watak saya sebagai
pencinta lingkungan.
Semua dosen di Fak. Perikanan UNRI dan Fak.
Perikanan, IPB pada saat saya mengikuti pendidikan di
S1 Perikanan. Juga kepada semua dosen di ITB Jurusan
Biologi yang telah memberikan ilmunya pada saat saya
mengikuti pendidikan Pasca Sarjana, terutama kepada
Prof. Dr. Solekasono Sastrodihardjo selaku pembimbing
S2 dan promotor S3, Dr. Adianto, dan Dr.
Taufikurrahman. Jasa beliau tak mungkin dapat saya
balas, hanya ucapan terima kasih dan salam hormat dari
saya. Dan juga ucapan terima kasih kepada Dr. Nurzali
Naamin (almarhum) yang telah memberikan arahan dan
saran kepada saya pada saat saya mau mengikuti
promosi doktor di ITB.
Kepada Dekan dan semua staf di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan juga saya sampaikan terima kasih saya,
yang telah ikut membantu dalam proses pengusulan saya
menduduki jabatan Guru Besar tersebut. Dan juga saya
sampaikan kepada Rektor sebagai Ketua Senat dan
45
kepada seluruh anggota senat Guru Besar UNRI yang
telah memberi kepercayaan dan kehormatan kepada saya
sebagai Guru Besar Tetap dalam Ekologi Muara dan
Pantai pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
UNRI.
Kepada semua pihak yang tak mungkin saya sebutkan
satu persatu, teruma kepada rekan-rekan yunior di
Jurusan Ilmu Kelautan saya sampaikan ucapan terima
kasih dan salut saya atas semua dorongan dan jalinan
kerja sama yang baik selama ini.
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT
dan memohon ampunan-Nya, maka saya akhiri
penyampaian pidato ilmiah ini.
Wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.
46
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.M. 1995. Soil organisms as engineers:
microsite modulation of macroscale processes. In
Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking
species & ecosystem. Chapman & Hall, New York,
p. 94-106.
Basey, J.M., S.H. Jenkis, and G.C. Miller 1990. Food
selection by beavers in relation to inducible
defenses of Populus tremuloides. Oikos 59:57-92.
Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend 1996.
Ecology: individuals, population and communities
(3rd Edition). Blackwell Science, London, 1068 pp.
Brown, J.H. 1995. Organisms and species as complex
adaptive systems: linking the biology of population
with the physics of ecosystem. In Jones, C. G. and
J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 16-24.
Cargill, S.M. and R.L. Jefferies 1984. The effects of
grazing by lesser snow geese on the vegetation of a
sub-arctic salt marsh. J.Appl. Ecol. 21:669-686.
Carpenter, S. R. (ed.) 1988. Complex interaction in lake
communities. Springer-Verlag, New York.
Carpenter, S. R. 1998. Keystone species and AcademicAgency Collaboration. Conservation Ecology
47
(online)
2(1):R2.
URL:
http//www.consecol.org/Journal/vol2/iss1/resp2.
Carpenter, S. R., T.M. Frost, J.F. Kitchell, T.K. Kratz,
D.W. Schindler, J. Shearer, W.G. Sprules, M.J.
Vanni, and A.P. Zimmerman 1991. Patterns of
primary production and herbivory in 25 North
American lake ecosystems, in Comparative
Analysis of Ecosystems: Patterns, Mechanisms,
and Theories (eds. J.J. Cole, G. Lowett, and S.
Findlay), Springer-Verlag, New York, pp.67-96.
Carpenter, S.R. 1986. Partitioning herbivory and its
effect on coral reef algae. Ecol. Monogr. 56:345363.
Carpenter, S.R. 1998. Keystone species and academicagency collaboration. Conservation Ecology
2(1):R2. Available from Internet. URL:
http//www.consecol.org/vol2/iss1/resp3.
Carpenter, S.R. and J.F. Kitchell (eds.) 1993. The
Trophic Cascade in Lakes. Cambridge University
Press, Cambridge.
Currie, D.J. 1991. Energy and large-scale patterns of
animal- and plant-species richness. Am. Nat.
137:27-49.
Davic, R. D., 2000. Ecological dominants vs. keystone
species: a call for reason. Conservation Ecology
4(1):r2
(online)
URL:
http//www.consecol.org/Journal/vol6/iss1/resp2.
48
Davic, R. D., 2002. Herbivores as keystone predators.
Conservation Ecology 6(2): r8. (online) URL:
http://www.consecol.org/vol6/iss2/art8.
De Leo, G.A., and S. Levin 1997. The multifaceted
aspects of ecosystem integrity. Conservation
Ecology
(online)
1(1):3.
URL:
http://www.consecol.org/vol1/iss1/art3.
Foster, J. and M.S. Gaines 1991. The effects of a
successional habitat mosaic on a small mammal
community. Ecology 72:1358-1373.
Frost, T.M., S.R. Carpenter, A.R. Ives, and T.K. Kratz
1995. Species compensation and complementarity
in ecosystem function. In Jones, C. G. and J. H.
Lawton (eds), Linking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 240-262.
Giblin, A.E., K.H. Foreman, and G.T. Banta 1995.
Biogechemical processes and marine benthic
community structure: which follows which? In
Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking
species & ecosystem. Chapman & Hall, New York,
p. 37-44.
Grimm, N. B. 1995. Why link species and ecosystem? A
perspective from ecosystem ecology. In Jones, C.
G. and J. H. Lawton (eds), Linking species &
ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 5-15.
Hamidy, R. 2002. Transpor materi dari serasah
mangrove dengan kajian khusus pada peran
49
kepiting Brachyura. Disertasi. Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Higdon, J. W. 2002. Functionally dominant herbivores
as keystone species. Conservation Ecology 6(2):r4
(online)
URL:
http//www.consecol.org/Journal/vol6/iss2/resp4.
Howart, R.W. 1991. Comparative responses of aquatic
ecosystem to toxic chemical stress, in
Comparative analyses of ecosystems: Patterns,
Mechanisms, and Theories (eds). J.J. Cole, G.
Lovett, and S. Findlay), Springer-Verlag, New
York, pp. 169-195.
Huntly, N. 1995. How important consumer species to
ecosystem functioning? In Jones, C. G. and J. H.
Lawton (eds), Linking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 72-83.
Huntly, N. J. 1991. Herbivores and the dynamics of
communities and ecosystem. Annu. Rev. Ecol. Syst.
22:477-504.
Johnston, C.A. and R.J. Naiman 1990a. Aquatic patch
creation in relation to beaver population trends.
Ecology 71:1617-1621.
Johnston, C.A. and R.J. Naiman 1990b. Browse
selection by beaver: effects on riparian forest
composition. Can. J. For. Res. 20:1036-1043.
50
Jones, C. G., J. H. Lawton and M. Shachak 1994.
Organisms as ecosystem engineers. Oikos 69: 373386.
Khanina, L. 1998. Determining keystone species.
Conservation Ecology (online) 2(2):R2. URL:
http/www.consecol.org/Journal/vol2/iss2/resp2.
Khanina, L. 1998. Determining keystone species.
Conservation Ecology (online) 2(2):R2. URL.
http://www.consecol.org/vol2/iss2/resp2.
Kotler, B.K. and R.D. Holt 1989. Predation and
competition: the interaction of two types of species
interactions. Oikos 54:256-260.
Krebs, C.J. 1985. Ecology. The experimental analysis of
distribution and abundance, Third Edition. Harper
& Row, New York.
Lawton, J. H. and C. G. Jones 1995. Organisms as
ecosystem engineers. In Jones, C. G. and J. H.
Lawton (eds), Linking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 141-150.
Lawton, J.H., and V.K. Brown 1993. Redundancy in
ecosystem, in Biodiversity and ecosystem function
(eds). E.D. Schulze and H.A. Mooney), SpringerVerlag, Berlin, pp. 255-270.
Levinton, J. 1995. Bioturbators as ecosystem engineers:
control of the sediment fabric, inter-individual
interaction, and material fluxes. In Jones, C. G. and
51
J. H. Lawton (eds), Linking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 141-150.
Levinton, J. S. 1977. The ecology of deposit-feeding
communities: Quisset Harbor, Massachusetts, in
Ecology of Marine Benthos (ed. B. C. Coull),
University of South Carolina, Columbia, p. 191228.
Levinton, J. S. and G. R. Lopez 1977. A model of
renewable resources and limitation of depositfeeding benthic population. Oecologia 31:177-190.
Lopez, G. R. and J. S. Levinton 1987. Ecology of
deposit-feeding animals in marine sediments. Q.
Rev. Biol. 62:235-260.
Malley, D. F. 1978. Degradation of mangrove leaf litter
by the tropical sesarmid crab Chiromanthes
onychophorum. Mar. Biol. 49: 409-419.
McGuinness, KA 1992. Disturbance and the mangrove
forest of Darwin Harbour. In: I. Moffatt, A. Webb,
Conservation and Development Issues in North
Australia, Australian National University Press, p.
55-62.
McNaughton, S.J. 1985. Ecology of grazing ecosystem:
the Serengeti. Ecol. Monogr. 55:259-294.
Meadows, P.S. and A. Meadows (eds.) 1991. The
Environmental Impact of Burrowing Animals and
Animal Burrows. Clarendon Press, Oxford.
52
Mills, L. S., M. E. Soule, and D. F. Doak 1993. The
keystone-species concept in ecology and
conservation. BioScience April 1993 v43 n4
p219(6), 1-8.
Odum, E. P., 1971. Fundamentals of Ecology, W. B.
Sounders Company, Philadelphia, PA., 574 p.
Odum, H.T. 1992. Ekologi system, suatu pengantar.
Gadjah Mada University Press, Jogyakarta.
Oksanen, L., S.D. Fretwell, J. Arruda, and P. Niemela
1981. Exploitation ecosystems in gradients of fire
on nitrogen cycling in tallgrass prairie.
Biogeochemistry 24:67-84.
Paine, R. T. 1966. Food web complexity and species
diversity. Am. Nat. 100: 65-75.
Paine, R.T. 1969. A note on trophic complexity and
community stability. Am. Nat. 103: 91-93.
Parmelee, R. W. 1995. Soil fauna: linking different
levels of the ecological hierarchy. In Jones, C. G.
and J. H. Lawton (eds), Linking species &
ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 107116.
Pastor, J., B. Dewey, C.A. McClaugherty, and J.M.
Melillo 1993. Moose browsing and soil: a model.
Biogeochemistry 5:109-131.
Piraino, S. and G. Fanelli 1999. Keystone species: what
are we talking about?. Conservation Ecology
53
3(1):r4
(online)
URL:
http//www.consecol.org/Journal/vol3/iss1/resp4.
Pollock, M. M., R. J. Naiman, H. E. Erickson, C. A.
Johnston, J. Pastor, and G. Oinay 1995. Beaver as
engineers: influences on biotic and abiotic
characteristics of drainage basins. In Jones, C. G.
and J. H. Lawton (eds), Linking species &
ecosystem. Chapman & Hall, New York, p. 117126.
Power, M.E. 1990. Resource enhancement by indirect
effects of grazers: armored catfish, algae, and
sediment. Ecology 71:887-894.
Rhoad, D. C. 1967. Biogenic reworking of intertidal and
subtidal
sediments
in
Buzzards
Bay,
Massachusetts. J. Geol. 75:461-474.
Robertson, A. I. 1988. Decomposition of mangrove leaf
litter in tropical Australia. J. Exp. Nat. Biol. Ecol.
116: 235-247.
Robertson, A.I and N. C. Duke 1987. Mangrove as
nursery site: comparisons of the abundance and
species composition of fish and crustaceans in
mangrove and other nearshore habitats in tropical
Australia. Mar. Biol. 96: 193-205.
Robertson, A.I. 1991. Plant-animal interactions and the
structure and function of mangrove forest
ecosystem. Aust. J. Ecol. 16: 433-443.
54
Rodriguez, G. 1987. Structure and Production in
Neotropical Mangrove. Trends in Ecol. and Evol.
2: 264-267.
Schulze, E. D. & H. A. Mooney 1993. Ecosystem
function of biodiversity: a summary. Pages 497510. in E. D. Schulze and H. A. Mooney, editors.
Biodiversity and ecosystem function. Springerverlag, Berlin, Germany.
Smirnova, O. V. 1998. Population organization of
bioscience design of forest landscapes. Uspehi
sovremennoj biologii 118:148-165. (In Russian
with English resume).
Smith III, T. J., K. G. Boto, S. D. Frusher & R. L.
Giddins 1991. Keystone species and mangrove
forest dynamics: the influence of burrowing by
crabs on soil nutrient status and forest productivity.
Est. Coast. Shelf Sci. 33: 419-432.
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi lingkungan hidup dan
pembangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Soemarwoto, O. 1991. Indonesi dalam kancah isu
lingkungan global. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Staples, D. J. 1980. Ecology of juvenile and adolescent
Banana Prawn, Penaeus merguensis, in a
mangrove estuary and adjacent off-shore area of
the Gulf of Carpentaria. I. Immigration and
55
settlement of post larvae. Aust. J. Mar. Freshw.
Res. 31: 635-652.
Sterner, R.W., J.J. Elser and D.O. Hessen 1992.
Stoichiometric relationships among producers and
consumers in food webs. Biogeochemistry 17:4967.
Vitousek, P. M. 1990. Biological invasions and
ecosystem processes: toward an integration of
population biology and ecosystem studies. Oikos
57: 7-13.
Vitousek, P.M. 1990. Biological invasion and ecosystem
properties: towards an integration of population
biology and ecosystem studies. Oikos 57:7-13.
Wedin, D. A. 1995. Species, nitrogen, and grassland
dynamics: the constraints of stuff. In Jones, C. G.
and J. H. Lawton (eds), Linking species &
ecosystem. Chapman & Hall, New York, p.253262.
56
RIWAYAT HIDUP
Prof. Dr. Ir. Rasoel Hamidy, MS
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan
: 130 527 687
: Pembina Utama Madya, IV/d
: Guru Besar Tetap dalam
Ekologi Muara dan Pantai, Fak.
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau
Unit Kerja
: Jurusan Ilmu Kelautan
Fak. Perikanan dan Ilmu
Kelautan, UNRI
Tempat dan tgl lahir : Lubuk Jambi, 07 Maret 1944
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status Keluarga
: Menikah dengan Ainannur
Yusuf (50 tahun), dikarunia dua
orang anak:
1. Nana Rahayu (25 tahun)
2. Rasdian Hamidy (19 tahun)
PENDIDIKAN
1. S3 (Doktor) dalam Ekologi, Jurusan Biologi,
Institut Teknologi Bandung, Bandung 2002.
2. S2 (Megister) dalam Biologi Lingkungan,
Jurusan Biologi, Institut Teknologi Bandung,
Bandung 1984.
57
3. S1 (Insinyur) dalam Perikanan Laut, Fak.
Perikanan UNRI dan Fak. Perikanan IPB Bogor
1975.
4. SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas)
Negeri Padang, 1964
5. SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri Teluk
Kuantan, 1961
6. SR (Sekolah Rakyat) Lubuk Jambi, 1958.
PELATIHAN
1. Pelatihan tenaga peneliti di UNRI 1979
2. Akta V 1982
3. Instructional Improvement Work Shop IKIP
Medan 13 –30 January 1986
4. Instructor for a cource in Instructional
Improvement, UNRI Pekanbaru 1987.
5. National Consultation on Self Help Group in
Indonesia, 22-24 July 1987
6. Mengikuti Coastal Zone Management Workshop
for Indonesia Marine Scientists University of
Miami 6 Juni – 30 Juni 1995
7. Mengikuti training dalam Ekofisiologi di Arhus
University, Denmark 1997.
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Staf Pengajar pada Fak. Perikanan dan Ilmu
Kelautan UNRI 1976 – sampai sekarang
2. Ketua Jurusan Budidaya Perikanan, 1978
58
3. Pembantu Dekan II, Fakultas Perikanan 19781981
4. Pembantu Dekan II, Fakultas Perikanan 1981 –
1982
5. Pembantu Dekan I , Fak. Perikanan 1985 – 1989
6. Ketua LPIU-MSEP Fak. Perikanan 1988 – 1990.
7. Ketua LPIU-MSEP Fak. Perikanan 1992 – 1994
8. Ketua Lembaga Penelitian UNRI 1994 – 1997.
9. Ketua Quality Assurance UNRI 2003 – sekarang
PERKULIAHAN
1. Pencemaran Laut
2. Budidaya Muara dan Pantai
3. IKLH
4. Pengendalian Kualitas Air Laut
5. System dan Teknologi Budidaya
6. Aquaculture Engineering
7. Ekotoksikologi
8. Fisiologi Lingkungan
9. Ekologi Mangrove
10. Eksplorasi Sumberdaya Hayati Laut 1998 sekarang
11. Pengelolaan Wilayah Pesisir 1998 – sekarang
12. Metodologi Ekologi Muara dan Pantai 1995 –
sekarang
13. Pengelolaan Wilayah Pesisir S2 Lingkungan
2003 – sekartang
14. Statistik Lingkungan S2 Lingkungan 2003 –
sekarang
59
TESIS DAN DISERTASI
Tesis
Disertasai
: Pengaruh penghawaan terhadap daya
racun Sevin dalam air, ITB, Bandung
: Transpor materi dari serasah mangrove
dengan kajian khusus pada peran
kepiting Brachyura, ITB, Bandung
KARYA ILMIAH/LAPORAN PENELITIAN
 Inventarisasi kolam di Kab. Kampar 1977
 Seminar Pembangunan Daerah Riau dalam
rangka persiapan Pelita III
 Inventarisasi jenis-jenis ikan ikan di Sungai
Sail, Pekanbaru 1979
 Penelitian tentang pembenihan ikan dalam
bak semen 1981
 Tenaga penatar dalam penataran petani
tambak di Kuala Enok 1980
 Tenaga penatar dalam penataran petani kolam
di Pasir Pengarayan 1981
 Penelitian tentang pemberian oksigen dalam
pengangkutan benih ikan 1981
 Penelitian tentang aspek biologi Danau Raja,
Rengat, 1982
 Tenaga penatar lingkungan hidup se Riau dari
1985 – 1991
 Penelitian tentang pengaruh Lumpur terhadap
daya racun dharmasan 60 EC, 1988
60
 Anggota penyusun ANDAL Duri Steam
Flood, Duri 1989.
 Penelitian tentang kematangan kelamin ikan
patin (Pangasius sp.) di sungai Indragiri,
1989.
 Seminar
tentang
Bioteknologi
dalam
Budidaya ikan di Fakultas Perikanan
Universitas Bung Hatta, Padang 1993.
 Seminar tentan deforestasi Hutan Bakau di
daerah Riau 1993.
 Penelitian tentang ekosistem muara sungai
siak, Riau: Kondisi Biologis, 1993
 Studi pendahuluan tentang ekologi ikan
genera Periophthalmodon di Perairan Pulau
bengkalis, Riau, 1994.
 Kebiasaan
makan
ikan
Gelodok
Periophthalmododn schloseri di perairan
selat Bengkalis, Riau, 1995.
 Short Courese in Marine and Coast Resources
Management and Conservation May 28 June 28, 1995 di Miami University, Miami
Florida, USA.
 Komposisi jenis dan sebaran gastropoda
secara vertikal di daerah mangrove muara
sungai Dumai, Dumai 1995.
 Pengaruh minyak mentah Sei Karas terhadap
defoliasi seedling bakau hijau (Rhizophora
apiculata), 1995.
61
 Studi tentang hubungan kandungan bahan
organik dalam sedimen dengan kelimpahan
makrozoobentos di Bengkalis 1995.
 Hubungan kandungan bahan organik sedimen
dengan struktur komunitas gastropoda di
kelurahan Batu Panjang, Rupat 1995.
 Studi struktur komunitas dan evaluasi kondisi
ekologis hutan mangrove di Pulau Rupat,
Bengkalis 1996.
 Bioekologi Ikan Tembakul, Periophthalmus,
di Perairan Dumai, Riau, 1997
 Monitoring PLTA Koto Panjang, 1997
 Evaluasi RKL dan RPL Pertamina Unit
Pengolahan Dumai, 1997.
 Evaluasi RKL dan RPL Pertamina Unit
Pengolahan Sei. Pakning, 1997
 UKL dan UPL Instalasi Pengolahan Air
Bersih Sei. Pakning 1997.
 Short Cource in Ecotoxicology in Aahus
University, Denmark 1997.
 Peserta pada Penataran dan Lokakarya
Metode Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat yang diselenggarakan oleh
DP3M Dirjen Dikti tanggal 4 – 7 Agustus
1997 di Universitas Bengkulu.
 Studi tentang kecepatan gugur daun
mangrove di desa Purnama, Dumai 1998.
62
 Studi pertumbuhan gastropoda (Cerithidea
cingulata) di hutan mangrove Purnama,
Dumai 1998.
 Keragaman organisme makrobentik efifauna
di zona intertidal pulau Rupat, Bengkalis
1998
 Tingkah laku dan lubang galian Uca di hutan
mangrove Purnama, Dumai 1999.
 Produksi serasah hutan mangrove di desa
Purnama, Dumai 1999
 Pemetaan sebaran kepiting secara horizontal
di hutan mangrove sekitar marine station,
Dumai 1999.
 Tingkah laku dan lubang galian Uca di hutan
mangrove Purnama, Dumai 1999.
 Nara Sumber pada Diskusi Reguler Jaring
Net Sessi II Pengendalian Pencemaran
Sungai di Riau yang diselenggarakan oleh
Yayasan Riau Mandiri dan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI, 3 Juli
1999.
 Nara Sumber pada Penataran Pengelolaan
Wilayah
Pesisir
dan
Lautan
yang
diselenggarakan oleh PPLH, Lemlit UNRI
1999.
 Instruktur pada Kursus Analisis Dampak
Lingkungan Tipe A Angkatan III yang
berlangsung dari tanggal 2 – 14 Agustus 1999
yang diselenggrakan oleh PPLH UNRI.
63
 Komposisi jenis mangrove berdasarkan
keterendaman oleh air pasang di Desa
Purnama, Dumai 1999.
 Kecepatan peluruhan serasah mangrove.
 Bakteri pengurai dan penghancur serasah
mangrove.
 Uji pemberian makan terhadap kepiting yang
hidup di kawasan hutan dengan serasah.
 Penelitian ekspor impor bahan organik yang
berasal dari serasah mangrove di muara
sungai Mesjid Dumai.
 Penelitian tentang ikan-ikan pemakan serasah
mangrove di pantai Purnama, Dumai.
TULISAN LEPAS,MEDIA MASSA, SEMINAR dan
PENATARAN
1. Gajah Riau diambang kepunahan
2. Hutan daerah Riau sebagai salah satu mata rantai
hutan tropis yang terancam. Seminar di Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau,
1985
3. Pengelolaan lingkungan perairan
4. Pengelolaan sumberdaya hayati laut, seminar
dalam rangka lustrum V UNRI 1987.
5. Peranan ilmu kelautan (marine science)
Universitas Riau, Pekanbaru
6. Tiga tahun mengawakai Lembaga Penelitian
Universitas Riau, Pekanbaru
64
7. Mutu sungai Siak dalam perbincangan
8. Penduduk, sumberdaya alam, dan pencagaran,
disampaikan pada penetaran lingkungan hidup
Pemda Riau.
9. Begitu pentingkah hutan bakau (mangrove) itu?
10. Ikan-ikan sungai yang punya pola migrasi di
daerah Riau terancam punah
11. Peruntukan sungai di Riau
12. Pengolahan limbah cair secara biologis
13. Kepedulian Perguruan Tinggi terhadap masalahmasalah lingkungan
14. Sumbangsih
Perguruan
Tinggi
dalam
mengangkat kasus-kasus lingkungan
15. Universitas Riau: Harapan dan Kenyataan
16. Peran serta masyarakat sebagai bagian positif
dalam menunjang kebersihan kota
17. Peranan biologi dalam mencegah dan memantau
pencemaran sungai
18. Mutu lingkungan dalam perdebatan
19. Arti lingkungan hidup bagi masyarakat desa
20. Universitas Riau dalam meningkatkan SDM dan
IPTEK
21. Fungsi dan manfaat sumberdaya mangrove
22. Teknik rehabilitasi dan konservasi hutan
mangrove
KEGIATAN LAIN
1. Memberi kuliah di Fak. Perikanan, Bung Hatta,
Padang, 1985 – 1991
65
2. Memberi pada Fak. Pertanian Universitas Riau
sampai sekarang
3. Tim Ahli pada Biro Bina Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, Kantor Gubernur
4. Anggota Tim Teknis AMDAL, Bappeda Riau
5. Penyusun
Neraca
Kependudukan
dan
Lingkungan Hidup daerah Riau
6. Dan kegiatan-kegiatan lain yang ber-hubungan
dengan lingkungan hidup.
7. Tim Andal Study, Kampar-Indragiri River Basin
Development Project, kerjasama UNRI dan JICA
Japan
8. Tim Pengajar pada pelatihan pengelolaan hutan
mangrove lestari
9. Sebaran tipe-tipe habitat dan sumberdaya hayati
kelautan serta potensinya di Prop. Riau. Seminar
Pelatihan Riau Coastal Zone and Land Use
Management, Bappeda Tk. I Riau.
10. Hutan daerah Riau sebagai salah satu mata rantai
hutan tropis yang terancam. Seminar. Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau,
April 1985.
66
KEYSTONE SPECIES
DALAM EKOLOGI
Oleh:
RASOEL HAMIDY
PIDATO PENGUKUHAN SEBAGAI GURU
BESAR TETAP
DALAM BIDANG EKOLOGI MUARA DAN
PANTAI
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAK. PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
8 MEI 2004
67
Download