BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kepemimpinan Situasional 2.1.1 Pengertian Kepemimpinan Salah satu faktor utama terciptanya produktivitas tinggi adalah dengan memiliki pemimpin yang mampu menampilkan kepemimpinannya secara profesional. Eksistensi pemimpin semakin penting ketika ia memiliki kemampuan dalam mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama, mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, serta dapat memperbaiki kelompok yang berada didalam organisasi tersebut. Menurut Lensufiie (2010:2), kepemimpinan merupakan pondasi dan tulang punggung dalam sebuah organisasi. Karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan di definisikan ke dalam ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam administrasi, dan persepsi mengenai pengaruh yang sah. Namun dalam arti yang lebih dalam, pemimpin yang dimaksudkan di dalam ‘Leadership’ harus diartikan sebagai seseorang yang memimpin sebuah organisasi atau institusi dan terlibat di dalamnya. Menurut Pamungkas (2011:107), Kepemimpinan merupakan sebuah seni, bagaimana seorang pemimpin dapat mendorong, memotivasi, mengarahkan orang lain, melakukan sesuatu yang ingin dilakukan karena dia (orang tersebut) memang 9 10 ingin melakukannya, yang sebenarnya tujuan akhirnya adalah tujuan bersama (bagi pemimpin maupun orang tersebut). Menurut Dubrin (Brahmasari dan Suprayetno, 2008) kepemimpinan itu adalah upaya mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan, cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, tindakan yang menyebabkan orang lain bertindak atau merespon dan menimbulkan perubahan positif, kekuatan dinamis penting yang memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan diantara bawahan agar tujuan organisasional dapat tercapai. Menurut Danim (2008:48) kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi peserta pelatihan agar tetap berperilaku dalam koridor tujuan yang dikehendaki. Berdasarkan teori-teori diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain baik secara kelompok atau individual untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. 2.1.2 Pengertian Kepemimpinan Situasional Menurut Daft (2011: 340-342) pendekatan Hersey dan Blanchard banyak berfokus kepada karakteristik pengikut dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang sesuai. Dengan kesiapan tugas yang rendah, yang disebabkan oleh kemampuan atau pendidikan yang minim maupun kegelisahan, membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda daripada bawahan dengan kesiapan tugas yang tinggi serta memiliki kemampuan yang baik, keahlian, 11 kepercayaan diri, dan kemauan untuk bekerja. Menurut teori situasional, seorang pemimpin dapat menggunakan satu dari empat gaya kepemimpinan, berdasarkan gabungan perilaku hubungan (perhatian terhadap manusia) dan tugas (perhatian terhadap produksi). Gaya yang sesuai bergantung kepada tingkat kesiapan pengikut. Gaya pemimpin Berbagi ide dan membantu pengambilan keputusan Berpartisipasi (Perilaku Suportif) Perilaku hubungan Menjual S3 S2 Menyuruh Mendelegasian Mengalihkan tanggung jawab atas keputusan dan penerapannya S4 Menjelaskan keputusan dan member kesempatan untuk meminta klarifikasi Memberikan arahan spesifik dan mengawasi kinerja S1 Perilaku Tugas (Bimbingan) Kesiapan Pengikut Tinggi R1 Mampu dan mau atau percaya diri Sedang R2 Mampu tapi tidak mau atau tidak percaya diri Bawahan Langsung Rendah R3 Tidak mampu tapi mau atau percaya diri R4 Tidak mampu dan tidak mau atau tidak percaya diri Atasan Langsung Gambar 2.1 Hersey and Blanchard’s Situasional Theory of Leadership 12 Gambar di atas merangkum hubungan antara gaya kepemimpinan dan kesiapan pengikut, dimana : 1) Gaya Menyuruh (Telling) Mencerminkan perhatian besar terhadap tugas dan perhatian kecil terhadap manusia dan hubungan. Gaya yang sangat bersifat direktif ini meliputi pengarahan secara eksplisit tentang bagaimana tugas-tugas harus diselesaikan. Gaya ini sesuai untuk pengikut dengan kesiapan yang rendah karena mereka tidak mampu atau tidak mau mengambil tanggung jawab atas perilaku tugas mereka sendiri, baik karena rendahnya kemampuan dan keahlian, minimnya pengalaman, maupun kegelisahan. Pemimpin memberi tahu pengikutnya secara spesifik tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana caranya, dan kapan dilakukannya. 2) Gaya Menjual (Selling) Gaya menjual berdasarkan perhatian besar terhadap manusia maupun tugas. Lewat pendekatan ini, pemimpin menjelaskan keputusan dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan pertanyaan dan memperoleh kejelasan dan pemahaman mengenai pekerjaan. Gaya ini ampuh untuk pengikut dengan tingkat kesiapan sedang. Contohnya, pengikut mungkin minim pendidikan dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan mereka, namun memiliki kepercayaan diri, minat, dan kemauan belajar yang tinggi. 13 3) Gaya Berpartisipasi (Participating) Berdasarkan gabungan perhatian besar terhadap manusia dan hubungan dan perhatian kecil terhadap produksi. Pemimpin berbagi ide dengan bawahan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi, serta membantu mengambil keputusan. 4) Gaya Mendelegasikan (Delegating) Mencerminkan perhatian kecil terhadap hubungan maupun tugas. Gaya kepemimpinan ini memberikan sedikit arahan dan dukungan karena sang pemimpin melemparkan tanggung jawab keputusan dan penerapannya kepada bawahan. 2.1.3 Jenis – Jenis Kepemimpinan Kartini (2010) membagi jenis kepemimpinan menjadi dua, yaitu : - Pemimpin Formal Seseorang yang dipilih oleh organisasi / lembaga tertentu ditunjuk sebagai seorang pemimpin, berdasarkan keputusan dan promosi secara resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai tujuan organisasi. - Pemimpin Informal Seseorang yang tidak mendapatkan pengakuan formal sebagai pemimpin namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, ia 14 mencapai kedudukan sebagai seseorang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. 2.1.4 Komponen-Komponen Di Dalam Kepemimpinan Menurut Lensufiie (2010:3-13), didalam struktur kepemimpinan, pemimpin tidak dapat berdiri sendiri. Pemimpin adalah salah satu komponen di dalam kepemimpinan. Artinya, ada komponen-komponen lain di dalam sebuah struktur kepemimpinan, yaitu : 1) Pemimpin Seorang pemimpin harus memiliki persyaratan sebagai berikut : a) Visi, sebagai penggerak organisasi atau komunitas yang di pimpinnya, tujuannya untuk memberikan arah jalannya organisasi. b) Spirit, memberikan semangat, daya dorong, atau energi yang besar untuk mencapai misinya. c) Karakter, merupakan sifat dasar dari seorang yang diakui oleh orang lain. d) Integritas, penyatuan diri seseorang dengan apa yang diyakininya baik untuk dilakukan secara menyeluruh, seorang profesional yang menyukai pekerjaannya akan bekerja dengan baik bukan karena upah atau diawasi namun karena ia berfikir ia dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan baik. e) Kapabilitas, seorang pemimpin harus mampu meletakkan dirinya didalam organisasi serta turut bekerja didalam organisasi sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. 15 2) Kemampuan Menggerakkan Baik buruknya kemampuan menggerakkan seorang pemimpin terletak pada hal-hal sebagai berikut : a) Energi, pemimpin harus mampu menggerakkan dan memberikan energi sehingga para pengikutnya mengetahui arah dan tujuan yang hendak dicapai. b) Relasi, pengikut memiliki relasi dengan pemimpin, karena dengan melaksanakan komando berarti ada unsur saling percaya antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin yakin bahwa pengikutnya akan mampu melaksanakan perintah dengan baik dan pengikut percaya bahwa tugas yang diberikan kepadanya adalah berguna bagi kebaikan mereka. c) Respon, seseorang akan merespon tugasnya dengan baik apabila ada unsur respek pada pemberi tugas. Sikap respek atau segan kepada pemimpin tidak datang dengan otomatis. Sikap tersebut muncul karena pemimpin memberi contoh yang dilihat oleh pengikutnya, dimana contoh tersebut dapat dilakukan dengan baik oleh sang pemimpin. Dengan demikian, pengikut akan berusaha menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin, karena ia memiliki kepercayaan dari sang pemimpin dan tidak ingin mengecewakan pemberi tugas yang dihormatinya. 3) Pengikut Pengikut adalah salah satu unsur yang penting didalam kepemimpinan. Mengapa seseorang mau menjadi pengikut ada beberapa alasan seperti : 16 a) Otoritas, seorang pengikut menempatkan dirinya di bawah kepemimpinan seseorang karena sang pemimpin mendapat legitimasi dari otoritas tertentu. b) Respek, adanya pengakuan seorang pengikut kepada seorang pemimpin bahwa sang pemimpin lebih baik dari dirinya. c) Takluk, berbeda dengan pengikut yang respek terhadap pemimpin, pengikut yang takluk akan mengikuti pemimpin karena tidak memiliki pilihan lain. Ia harus mengikuti pemimpin tersebut, karena kalau tidak mau tunduk, ia akan dipecat. Kepemimpinan dengan pola seperti ini bisa berjalan, namun tidak akan berlangsung lama, kecuali adanya konsolidasi sistem dan perubahan sikap pemimpin dan pengikut. d) Oportunis, ada jenis pengikut yang tidak kreatif atau tidak memiliki visi dalam hidupnya. Akibatnya, ia mencari-cari pemimpin yang dirasa sesuai dengan pola hidupnya. Pengikut jenis ini menganggap pemimpin adalah seorang yang bisa membawa dirinya kepada kesuksesan. 4) Tujuan Tujuan di dalam kepemimpinan merupakan alasan utama mengapa sebuah organisasi dibentuk. Tujuan berbeda dengan visi yang sifat awalnya lebih personal dan individual. Tujuan adalah suatu hal yang akan diwujudkan oleh organisasi. Sebuah tujuan haruslah baik dan membawa perubahan kepada hal yang baik pula. Tujuan dapat berupa visi tunggal dari seorang pemimpin, atau terbentuk dari gabungan visi seluruh komponen di dalam organisasi. 17 5) Organisasi Seorang pemimpin memiliki gambaran tujuan di dalam visi pribadinya. Untuk mencapai tujuan tersebut pemimpin membutuhkan wadah untuk mewujudkan visinya. Organisasi merupakan wadah atau tempat kepemimpinan berada. Organisasi dapat memiliki bentuk dan sifat yang bermacam-macam, seperti organisasi sosial, organisasi bisnis, perusahaan, koperasi dan lain-lain. Gambar 2.2 Ilustrasi Komponen Leadership 2.2 Pelatihan 2.2.1 Pengertian Pelatihan Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi. Pelatihan membantu karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan organisasi dalam mencapai tujuannya. 18 Menurut Mathis & Jackson (2006:301) pelatihan adalah sebuah proses dimana memberikan karyawan pengetahuan, dan keterampilan yang spesifik dan dapat di identifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Menurut Sofyandi (2008:113) pelatihan adalah suatu program yang diharapkan dapat memberikan rangsangan atau stimulasi kepada seseorang untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam pekerjaan tertentu dan memperoleh pengetahuan umum dan pemahaman terhadap keseluruhan lingkungan kerja dan organisasi. Menurut Veithzal dan Ella (2010:211) pelatihan sebagai bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktik daripada teori. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas mengenai pelatihan dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan kerja bagi karyawan dan sebagai jembatan untuk perkembangan pengetahuan, kecakapan, pengalaman, sehingga menjadi stimulasi untuk melakukan pekerjaan lebih baik sesuai dengan keinginan dan tujuan perusahaan. Suatu perusahaan perlu melaksanakan program pelatihan bagi karyawan baru maupun karyawan lama yang sudah berpengalaman. Karena karyawan yang sudah berpengalaman dan menduduki jabatan tertentu diperusahaan, belum tentu mempunyai kemampuan yang sesuai dengan persyaratan yang diperlukan dalam jabatan tertentu. 19 Dengan diselenggarakannya pelatihan bagi karyawan, akan diperoleh efektivitas dan efisiensi kerja di perusahaan dan diharapkan pelatihan dapat meningkatkan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan karyawan, sehingga kinerja mereka juga dapat meningkat dengan baik. 2.2.1 Tujuan Pelatihan Tujuan perusahaan menyelenggarakan pelatihan terhadap karyawan karena perusahaan menginginkan adanya perubahan dalam kinerja karyawan, sehingga sesuai dengan tujuan perusahaan. Menurut Mangkunegara (2006:52) beberapa tujuan pelatihan adalah sebagai berikut : 1) Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi. 2) Meningkatkan produktivitas kerja. 3) Meningkatkan kualitas kerja. 4) Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia. 5) Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja. 6) Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara maksimal. 7) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja. 8) Menghindarkan keusangan. 9) Meningkatkan perkembangan pribadi pegawai. Menurut Dessler (2009) tujuan pelatihan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif. 20 2) Mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional. 3) Mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman karyawan dan manajemen (pimpinan). Tujuan pelatihan tersebut akan terlaksana dengan baik apabila pelatihan diberikan secara tepat dan adanya kerjasama yang baik antara karyawan maupun pimpinan. Keberhasilan dari pelatihan juga harus diukur dalam hubungannya dengan serangkaian tujuan karena pelatihan jarang mempunyai anggaran yang tidak terbatas dan organisasi mempunyai banyak kebutuhan pelatihan, maka diperlukan adanya penetapan prioritas. 2.2.2 Tahap-tahap Pelatihan Pelatihan dirasa penting manfaatnya karena tuntutan pekerjaan dan jabatan sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi kerja, kemajuan teknologi dan semakin ketatnya persaingan dalam organisasi. Menurut Mangkunegara (2006:52) tahapan-tahapan penyusunan pelatihan hendaknya dilakukan memperhatikan : 1) Mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan. 2) Menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan. 3) Menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya. 4) Menetapkan metode pelatihan. 5) Mengadakan percobaan (try out) dan revisi. 6) Mengimplementasikan dan mengevaluasi. dengan 21 Setiap pelatihan harus terlebih dahulu ditetapkan secara jelas sasaran yang ingin dicapai agar pelaksanaan program pelatihan dapat diarahkan ke pencapaian tujuan perusahaan. 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelatihan Menurut Rivai dan Sagala (2010:225-226), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelatihan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode, tujuan pelatihan, dan lingkungan yang menunjang. Metode pelatihan terbaik tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelatihan yaitu : 1) Cost effectiveness (efektivitas biaya) : Tingkat maksimalisasi sumber daya organisasi untuk memperoleh hasil terbanyak/menekan kerugian. 2) Materi program yang dibutuhkan : Materi disusun dari estimasi kebutuhan tujuan pelatihan, kebutuhan dalam bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan pengetahuan yang diperlukan. 3) Prinsip-prinsip pembelajaran : Pedoman dimana proses belajar akan berjalan lebih efektif agar dapat berkembang dan diimplementasikan. 22 4) Ketepatan dan kesesuaian fasilitas : Fasilitas kerja merupakan suatu bentuk pelayanan bagi instansi terhadap pegawai agar menunjang kinerja dalam memenuhi kebutuhan pegawai, sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja pegawai. 5) Kemampuan dan preferensi peserta pelatihan : Sangat penting untuk memperhitungkan tipe pekerja dan jenis pekerja yang akan dilatih. 6) Kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan : Mencari sumber-sumber informasi yang lain, yang mungkin berguna dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan. 2.3 Kepuasan Kerja Karyawan 2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robbins & Judge (2007) Kepuasan kerja adalah suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya dimana dalam pekerjaan tersebut seseorang dituntut untuk berinteraksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakansanaan organisasi untuk memenuhi standar kinerja. Menurut Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Menurut Grenberg & Baron dalam Wibowo (2007:299), mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka. 23 Menurut Kreitner & Kinicki (2009:170), kepuasan kerja merupakan suatu respon yang mempengaruhi emosional terhadap berbagai segi dari pekerjaan seseorang. Dari beberapa pengertian kepuasan kerja diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kepuasan kerja karyawan merupakan keadaan emosional dari setiap individu terhadap pekerjaannya baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan. 2.3.2 Teori Kepuasan Kerja Menurut Rivai dan Sagala (2010:856): 1) Teori keadilan (Equity theory) Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: gaji/upah, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya 24 dengan rasio input orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan. 2) Teori dua faktor (Two factor theory) Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang continue. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies ialah faktorfaktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene actors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasaan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antarpribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor 25 ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan. 2.3.3 Faktor-faktor Kepuasan Kerja Menurut Kreitner & Kinicki dalam Wibowo (2007:302) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut: 1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan sesuatu hasil pemenuhan harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan. 3) Value attainment (pencapaian nilai) Gagasan Value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 26 4) Equity (keadilan) Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukan pekerjaan lainnya. 5) Dispositional/genetic components (komponen genetik) Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model ini menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan. Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2006:212), adalah sebagai berikut: 1. The work it self (pekerjaan itu sendiri) Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja. Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan. 2. Pay (gaji) Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga 27 kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Hal paling penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji di persepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 3. Promotion Opportunity (kesempatan promosi) Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai kompensasi. Contohnya, apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja karyawan tersebut juga meningkat. 4. Supervisor (atasan) Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. 5. Co-Worker (rekan kerja) Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para 28 pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber-sumber semangat, kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. 6. Working Condition (kondisi kerja) Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif, dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. 2.3.4 Korelasi Kepuasan Kerja Menurut Kreitner & Kinicki dalam Wibowo (2007:304), terdapat hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain yang dapat bersifat positif atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah sampai kuat. Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa manajer dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Beberapa korelasi kepuasan kerja adalah sebagai berikut: 1) Job Performances (Prestasi Kerja) Kontroversi terbesar dalam penelitian organisasi adalah tentang hubungan antara kepuasan dan prestasi kerja atau kinerja. Ada 29 yang menyatakan bahwa kepuasan mempengaruhi pretasi kerja lebih tinggi, sedangkan lainnya berpendapat bahwa prestasi kerja mempengaruhi kepuasan. Penelitian terdahulu untuk menghapuskan kontroversi tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan kinerja. 2) Absenteeism (kemangkiran) Kemangkiran merupakan hal mahal dan manajer secara tetap mencari cara untuk menguranginya. Satu rekomendasi telah meningkatkan kepuasan kerja. Apabila rekomendasinya sah, akan terdapat korelasi negatif yang kuat antara kepuasan dan kemangkiran. Dengan kata lain, apabila kepuasan meningkat, kemangkiran akan turun. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan terdapat hubungan negatif yang lemah antara kepuasan dan kemangkiran. Oleh karena itu, manajer akan menyadari setiap penurunan signifikan dalam kemangkiran akan meningkat kepuasan kerja. 3) Turnover (Perputaran) Perputaran sangat penting bagi manajer karena mengganggu kontinuitas organisasi dan sangat mahal. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif moderat antara kepuasan dan perputaran. Dengan kekuatan hubungan tertentu, manajer disarankan untuk mengurangi perputaran dengan meningkatkan kepuasan kerja. 30 2.4 Kinerja Karyawan 2.4.1 Pengertian Kinerja Pada dasarnya, perusahaan tentu membutuhkan karyawan sebagai tenaga kerja yang meningkatkan kualitas produk dan jasa untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa karyawan yang terlatih, organisasi tidak akan mencapai kinerja yang baik dan akan menjauhkan organisasi dari tujuannya. Dengan demikian, manajemen kinerja merupakan kebutuhan mutlak bagi organisasi untuk mencapai tujuan dengan mengatur kerjasama secara harmonis dan terintegrasi antara pemimpin dan bawahannya. Amstrong & Baron dalam Wibowo (2007:2) mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategi organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi ekonomi. Sedangkan pengertian kinerja menurut Wibowo (2007:2) adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil dari yang dicapai dari pekerjaan tersebut. 2.4.2 Pengertian Kinerja Karyawan Kinerja memiliki dua asumsi, yaitu kinerja organisasi dan kinerja karyawan (individu). Pengertian kinerja karyawan adalah prestasi yang dicapai individu berdasarkan target kerja yang diembannya atau tingkat pencapaian dari beban kerja yang telah ditargetkan oleh organisasi kepadanya. Kinerja karyawan adalah hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran ditempat kerja, dan sikap kooperatif yang dapat 31 diukur dalam standar kerja. Sedangkan pengertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban bahwa tercapai atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Menurut Mangkunegara (2009:9), definisi kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis & Jackson (2006:378), kinerja karyawan adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Dari beberapa sumber diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi dari hasil kerja yang dapat dinilai secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. 2.4.3 Faktor-faktor Kinerja Menurut Prawirosentono dalam Sutrisno (2010:176-177) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah : 1. Efektifitas dan Efisiensi Dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik buruknya kinerja diukur dengan efektifitas dan efisiensi. Masalahnya adalah bagaimana proses terjadinya efisiensi dan efektifitas organisasi. Dikatakan efektif bila hal itu memuaskan sebagai pendorong untuk mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak. Artinya, efektifitas dari kelompok bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. 32 Sedangkan efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. 2. Otoritas dan Tanggung Jawab Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggung jawab telah didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja karyawan tersebut. Kinerja karyawan akan terwujud bila karyawan mempunyai komitmen dengan organisasinya dan ditunjang dengan disiplin kerja yang tinggi. 3. Disiplin Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan karyawan. Dengan demikian, bila peraturan atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu diabaikan atau sering dilanggar, maka karyawan mempunyai disiplin yang buruk. Sebaliknya, bila karyawan tunduk pada ketetapan perusahaan, menggambarkan adanya kondisi disiplin yang baik. 33 4. Inisiatif Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan positif dari atasan, kalau dia memang atasan yang baik. Disini tampak jelas bahwa pengertian kinerja itu lebih sempit sifatnya, yaitu hanya berkenaan dengan apa yang dihasilkan seseorang dari tingkah laku kerjanya. Biasanya orang yang mempunyai tingkat prestasi yang tinggi disebut sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang tingkat prestasinya rendah, dikatakan sebagai tidak produktif atau dikatakan kinerjanya rendah. Menurut A. Dale Timple (Mangkunegara, 2009:15) faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (Disposisional) yaitu faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Sedangkan menurut Keith Davis (Mangkunegara,2009:13) faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge + skill). Dimana artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) apalagi 34 IQ superior, very superior, gifted, dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka akan mudah mencapai kinerja yang maksimal. 2.4.4 Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan faktor kunci dalam mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efesien, karena adanya kebijakan organisasi atas program yang lebih baik untuk sumber daya manusia mereka. Penilaian atau pengukuran kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai jadwal waktu yang ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang diharapkan,Wibowo (2007:319). Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Setiap orang sebagai pelaku yang melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan fungsinya harus dinilai kinerjanya. Penilaian hanya berkepentingan untuk mengukur apa yang penting dan relevan. Hal-hal yang diukur tergantung pada apa yang dianggap penting oleh stakeholders dan pelanggan. Menurut Wibowo (2007:320) pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara: 1. Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi. 35 2. Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbandingan. 3. Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja. 4. Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu diberi perhatian prioritas. 5. Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas. 6. Mempertimbangkan penggunaan sumber daya. 7. Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan. 2.4.5 Jenis Sistem Penilaian Kinerja Sistem penilaian kinerja dapat dikategorikan berdasarkan pengarah kinerja, dan pengarah kinerja inilah yang menjadi fokus pengukuran. Menurut Berger & Berger (2007:111-112) kategori sistem penilaian tersebut adalah: 1. Trait-based (berbasis sifat) Diasumsikan bahwa sifat tertentu merupakan pengarah kerja, jadi yang diukur adalah karakter pribadi pemegang pekerjaan. 2. Behaviour Based (berbasis prilaku) Diasumsikan bahwa perilaku tertentu merupakan pengarah kinerja, jadi yang diukur adalah apa yang dilakukan oleh pemegang pekerjaan. 3. Knowledge/SkillBased (berbasis pengetahuan/keterampilan) Diasumsikan bahwa pengetahuan/keterampilan tertentu 36 merupakan pengarah kinerja, jadi yang diukur adalah apa yang diketahui/diaplikasikan oleh pemegang pekerjaan. Apabila sifat, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan ini terkait dengan keberhasilan organisasi yang diharapkan, disebut sebagai kompetensi. 4. Result Based (berbasis hasil) Diasumsikan bahwa pencapaian sasaran sama dengan kinerja, jadi yang diukur adalah apa yang berhasil dicapai oleh pemegang pekerjaan. Jenis sistem penilaian yang terbaik dan paling sesuai bagi suatu organisasi, sangat tergantung pada sasaran yang ingin dicapai melalui sistem penilaian ini. Apakah organisasi memprioritaskan penggunaan sistem penilaian kinerja untuk meningkatkan pemahaman pemegang pekerjaan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, untuk pengembangan individu, atau perencanaan dan pengendalian kinerja. 2.4.6 Elemen-elemen Untuk Mengukur Kinerja Karyawan Menurut Mathis & Jackson (2006:378), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: 37 1. Kuantitas dari hasil Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. 2. Kualitas dari hasil Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3. Ketepatan waktu dari hasil Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian. 4. Kehadiran atau absensi Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada perusahaan. 5. Kemampuan bekerja sama Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan. 38 2.5 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti / Tahun Judul Hasil Penelitian Ida Ayu Brahmasari dan Pengaruh Budaya Organisasi, Terdapat pengaruh antara kepemimpinan terhadap kinerja Paniel Siregar / 2009 Kepemimpinan Situasional dan pegawai. Kesimpulan tersebut didapat dari Hipotesis Pola Komunikasi terhadap yang membuktikan (β4 = 0,347; CR= 4.551) di mana Disiplin Kerja dan Kinerja hasil Karyawan pada PT Central kepemimpinan situasional secara signifikan berpengaruh Proteinaprima Tbk terhadap kinerja karyawan. Hal ini menunjukan bahwa perhitungan menujukkan bahwa variabel hubungan antara kedua variabel tersebut adalah positif atau searah. Utin Nina Hermiana, Pengaruh Pelatihan dan Analisis statistik dengan menggunakan persamaan Liliyana, dan Desvira Pengembangan terhadap Kinerja struktural ( Structural Equation) menunjukkan variabel Zain / 2009 Karyawan UKM Kerajinan pelatihan terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja Anyaman Bambu di Kabupaten karyawan UKM kerajinan anyaman bambu di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat Sambas Kalimantan Barat, besarnya pengaruh yaitu 0,43 atau 43%. Ini berarti variabel pelatihan secara parsial ikut berperan di dalam pembentukan kinerja karyawan. Melalui pelatihan yang telah diikuti, karyawan dapat memperbaiki pekerjaan mereka dan ini berdampak terhadap kinerja mereka. Bambang Harsono/ 2009 Pengaruh Pendidikan dan Hasil analisis menunjukkan bahwa jalur langsung Pelatihan, Kepuasan Kerja Kepuasan Kerja memiliki pengaruh signifikan positif terhadap Kinerja Pegawai (0,706/0,000) terhadap Kinerja Pegawai, dan memiliki dengan Komitmen Organisasi korelasi/hubungan sebagai Variabel Intervening terhadap Kinerja Pegawai merupakan jalur yang paling pada Sekretariat Dewan kuat di banding jalur yang lain. Maka jalur langsung Perwakilan Rakyat Daerah inilah yang paling tepat untuk dipilih dibandingkan jalur Kabupaten Karanganyar yang lain (0,954/0,000) signifikan positif 39 2.6 Kerangka Pemikiran PT COX and TIHAYA INDONESIA PELATIHAN (X₂) KEPEMIMPINAN SITUASIONAL (X₁) • • • • • Telling Selling • Participating Delegating Pengetahuan yang spesifik mengenai alat fasilitas dan pelayanan Keterampilan yang spesifik dalam mengahasilkan dan menyajikan produk KEPUASAN KARYAWAN (Y) • • • • • • Pekerjaan itu sendiri Rekan kerja Atasan Gaji Kesempatan promosi KINERJA KARYAWAN (Z) • • • • • Kuantitas dari hasil Kualitas dari hasil Ketepatan waktu Kehadiran Kemampuan bekerja sama Sumber : Penulis Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran 40 2.7 Hipotesis Menurut Sugiyono (2008:93), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Ho : tidak ada pengaruh antar variabel Ha : ada pengaruh antar variabel Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta tinjauan pustaka, maka kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut: • Untuk T – 1 1. Hipotesis 1 Ho : Variabel kepemimpinan situasional dan pelatihan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. Ha : Variabel kepemimpinan situasional dan pelatihan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. 2. Hipotesis 2 Ho : Variabel kepemimpinan situasional tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. Ha : Variabel kepemimpinan situasional berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. 41 3. Hipotesis 3 Ho : Variabel pelatihan tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. Ha : Variabel pelatihan berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan. • Untuk T – 2 4. Hipotesis 4 Ho : Variabel kepemimpinan situasional, pelatihan dan kepuasan kerja karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha : Variabel kepemimpinan situasional, pelatihan dan kepuasan kerja karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel kinerja karyawan. 5. Hipotesis 5 Ho : Variabel kepemimpinan situasional tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha : Variabel kepemimpinan situasional berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. 6. Hipotesis 6 Ho : Variabel pelatihan tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha : Variabel pelatihan berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. 42 7. Hipotesis 7 Ho : Variabel kepuasan kerja karyawan tidak berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha : Variabel kepuasan kerja karyawan berkontribusi secara parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.