BAB II

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kepemimpinan Situasional
2.1.1
Pengertian Kepemimpinan
Salah satu faktor utama terciptanya produktivitas tinggi adalah dengan
memiliki pemimpin yang mampu menampilkan kepemimpinannya secara
profesional. Eksistensi pemimpin semakin penting ketika ia memiliki kemampuan
dalam mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai
tujuan bersama, mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, serta dapat
memperbaiki kelompok yang berada didalam organisasi tersebut.
Menurut Lensufiie (2010:2), kepemimpinan merupakan pondasi dan
tulang punggung dalam sebuah organisasi. Karena tanpa kepemimpinan yang baik
akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan di definisikan ke
dalam ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi,
kedudukan dalam administrasi, dan persepsi mengenai pengaruh yang sah. Namun
dalam arti yang lebih dalam, pemimpin yang dimaksudkan di dalam ‘Leadership’
harus diartikan sebagai seseorang yang memimpin sebuah organisasi atau institusi
dan terlibat di dalamnya.
Menurut Pamungkas (2011:107), Kepemimpinan merupakan sebuah seni,
bagaimana seorang pemimpin dapat mendorong, memotivasi, mengarahkan orang
lain, melakukan sesuatu yang ingin dilakukan karena dia (orang tersebut) memang
9
10
ingin melakukannya, yang sebenarnya tujuan akhirnya adalah tujuan bersama
(bagi pemimpin maupun orang tersebut).
Menurut Dubrin (Brahmasari dan Suprayetno, 2008) kepemimpinan itu
adalah upaya mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai
tujuan, cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, tindakan yang
menyebabkan orang lain bertindak atau merespon dan menimbulkan perubahan
positif, kekuatan dinamis penting yang memotivasi dan mengkoordinasikan
organisasi dalam rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa
percaya diri dan dukungan diantara bawahan agar tujuan organisasional dapat
tercapai.
Menurut
Danim
(2008:48)
kepemimpinan
adalah
kemampuan
mempengaruhi peserta pelatihan agar tetap berperilaku dalam koridor tujuan yang
dikehendaki.
Berdasarkan
teori-teori
diatas,
dapat
disimpulkan
bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain baik secara kelompok atau
individual untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
2.1.2
Pengertian Kepemimpinan Situasional
Menurut Daft (2011: 340-342) pendekatan Hersey dan Blanchard banyak
berfokus
kepada
karakteristik
pengikut
dalam
menentukan
perilaku
kepemimpinan yang sesuai. Dengan kesiapan tugas yang rendah, yang disebabkan
oleh
kemampuan
atau
pendidikan
yang
minim
maupun
kegelisahan,
membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda daripada bawahan dengan
kesiapan tugas yang tinggi serta memiliki kemampuan yang baik, keahlian,
11
kepercayaan diri, dan kemauan untuk bekerja. Menurut teori situasional, seorang
pemimpin dapat menggunakan satu dari empat gaya kepemimpinan, berdasarkan
gabungan perilaku hubungan (perhatian terhadap manusia) dan tugas (perhatian
terhadap produksi). Gaya yang sesuai bergantung kepada tingkat kesiapan
pengikut.
Gaya pemimpin
Berbagi ide dan
membantu
pengambilan
keputusan
Berpartisipasi
(Perilaku
Suportif)
Perilaku
hubungan
Menjual
S3
S2
Menyuruh
Mendelegasian
Mengalihkan
tanggung
jawab atas
keputusan dan
penerapannya
S4
Menjelaskan
keputusan dan
member
kesempatan
untuk meminta
klarifikasi
Memberikan
arahan
spesifik dan
mengawasi
kinerja
S1
Perilaku Tugas
(Bimbingan)
Kesiapan Pengikut
Tinggi
R1
Mampu dan mau
atau percaya diri
Sedang
R2
Mampu tapi tidak
mau atau tidak
percaya diri
Bawahan Langsung
Rendah
R3
Tidak mampu tapi
mau atau percaya
diri
R4
Tidak mampu dan
tidak mau atau
tidak percaya diri
Atasan Langsung
Gambar 2.1 Hersey and Blanchard’s Situasional Theory of Leadership
12
Gambar di atas merangkum hubungan antara gaya kepemimpinan dan kesiapan
pengikut, dimana :
1) Gaya Menyuruh (Telling)
Mencerminkan perhatian besar terhadap tugas dan perhatian kecil
terhadap manusia dan hubungan. Gaya yang sangat bersifat direktif ini
meliputi pengarahan secara eksplisit tentang bagaimana tugas-tugas
harus diselesaikan. Gaya ini sesuai untuk pengikut dengan kesiapan
yang rendah karena mereka tidak mampu atau tidak mau mengambil
tanggung jawab atas perilaku tugas mereka sendiri, baik karena
rendahnya kemampuan dan keahlian, minimnya pengalaman, maupun
kegelisahan. Pemimpin memberi tahu pengikutnya secara spesifik
tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana caranya, dan kapan
dilakukannya.
2) Gaya Menjual (Selling)
Gaya menjual berdasarkan perhatian besar terhadap manusia maupun
tugas. Lewat pendekatan ini, pemimpin menjelaskan keputusan dan
memberikan
kesempatan
kepada
bawahan
untuk
mengajukan
pertanyaan dan memperoleh kejelasan dan pemahaman mengenai
pekerjaan. Gaya ini ampuh untuk pengikut dengan tingkat kesiapan
sedang. Contohnya, pengikut mungkin minim pendidikan dan
pengalaman untuk melakukan pekerjaan mereka, namun memiliki
kepercayaan diri, minat, dan kemauan belajar yang tinggi.
13
3) Gaya Berpartisipasi (Participating)
Berdasarkan gabungan perhatian besar terhadap manusia dan
hubungan dan perhatian kecil terhadap produksi. Pemimpin berbagi
ide dengan bawahan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk
berpartisipasi, serta membantu mengambil keputusan.
4) Gaya Mendelegasikan (Delegating)
Mencerminkan perhatian kecil terhadap hubungan maupun tugas. Gaya
kepemimpinan ini memberikan sedikit arahan dan dukungan karena
sang pemimpin melemparkan tanggung jawab keputusan dan
penerapannya kepada bawahan.
2.1.3
Jenis – Jenis Kepemimpinan
Kartini (2010) membagi jenis kepemimpinan menjadi dua, yaitu :
-
Pemimpin Formal
Seseorang yang dipilih oleh organisasi / lembaga tertentu ditunjuk
sebagai seorang pemimpin, berdasarkan keputusan dan promosi secara
resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi,
dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk
mencapai tujuan organisasi.
-
Pemimpin Informal
Seseorang yang tidak mendapatkan pengakuan formal sebagai
pemimpin namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, ia
14
mencapai kedudukan sebagai seseorang yang mampu mempengaruhi
kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.
2.1.4
Komponen-Komponen Di Dalam Kepemimpinan
Menurut
Lensufiie
(2010:3-13),
didalam
struktur
kepemimpinan,
pemimpin tidak dapat berdiri sendiri. Pemimpin adalah salah satu komponen di
dalam kepemimpinan. Artinya, ada komponen-komponen lain di dalam sebuah
struktur kepemimpinan, yaitu :
1) Pemimpin
Seorang pemimpin harus memiliki persyaratan sebagai berikut :
a) Visi, sebagai penggerak organisasi atau komunitas yang di pimpinnya,
tujuannya untuk memberikan arah jalannya organisasi.
b) Spirit, memberikan semangat, daya dorong, atau energi yang besar untuk
mencapai misinya.
c) Karakter, merupakan sifat dasar dari seorang yang diakui oleh orang lain.
d) Integritas, penyatuan diri seseorang dengan apa yang diyakininya baik
untuk dilakukan secara menyeluruh, seorang profesional yang menyukai
pekerjaannya akan bekerja dengan baik bukan karena upah atau diawasi
namun karena ia berfikir ia dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan
baik.
e) Kapabilitas, seorang pemimpin harus mampu meletakkan dirinya didalam
organisasi serta turut bekerja didalam organisasi sesuai dengan
kemampuan yang ia miliki.
15
2) Kemampuan Menggerakkan
Baik buruknya kemampuan menggerakkan seorang pemimpin terletak pada
hal-hal sebagai berikut :
a) Energi, pemimpin harus mampu menggerakkan dan memberikan energi
sehingga para pengikutnya mengetahui arah dan tujuan yang hendak
dicapai.
b) Relasi, pengikut memiliki relasi dengan pemimpin, karena dengan
melaksanakan komando berarti ada unsur saling percaya antara pemimpin
dan pengikut. Pemimpin yakin bahwa pengikutnya akan mampu
melaksanakan perintah dengan baik dan pengikut percaya bahwa tugas
yang diberikan kepadanya adalah berguna bagi kebaikan mereka.
c) Respon, seseorang akan merespon tugasnya dengan baik apabila ada unsur
respek pada pemberi tugas. Sikap respek atau segan kepada pemimpin
tidak datang dengan otomatis. Sikap tersebut muncul karena pemimpin
memberi contoh yang dilihat oleh pengikutnya, dimana contoh tersebut
dapat dilakukan dengan baik oleh sang pemimpin. Dengan demikian,
pengikut akan berusaha menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin, karena
ia memiliki kepercayaan dari sang pemimpin dan tidak ingin
mengecewakan pemberi tugas yang dihormatinya.
3) Pengikut
Pengikut adalah salah satu unsur yang penting didalam kepemimpinan.
Mengapa seseorang mau menjadi pengikut ada beberapa alasan seperti :
16
a) Otoritas, seorang pengikut menempatkan dirinya di bawah kepemimpinan
seseorang karena sang pemimpin mendapat legitimasi dari otoritas
tertentu.
b) Respek, adanya pengakuan seorang pengikut kepada seorang pemimpin
bahwa sang pemimpin lebih baik dari dirinya.
c) Takluk, berbeda dengan pengikut yang respek terhadap pemimpin,
pengikut yang takluk akan mengikuti pemimpin karena tidak memiliki
pilihan lain. Ia harus mengikuti pemimpin tersebut, karena kalau tidak mau
tunduk, ia akan dipecat. Kepemimpinan dengan pola seperti ini bisa
berjalan, namun tidak akan berlangsung lama, kecuali adanya konsolidasi
sistem dan perubahan sikap pemimpin dan pengikut.
d) Oportunis, ada jenis pengikut yang tidak kreatif atau tidak memiliki visi
dalam hidupnya. Akibatnya, ia mencari-cari pemimpin yang dirasa sesuai
dengan pola hidupnya. Pengikut jenis ini menganggap pemimpin adalah
seorang yang bisa membawa dirinya kepada kesuksesan.
4) Tujuan
Tujuan di dalam kepemimpinan merupakan alasan utama mengapa sebuah
organisasi dibentuk. Tujuan berbeda dengan visi yang sifat awalnya lebih
personal dan individual. Tujuan adalah suatu hal yang akan diwujudkan oleh
organisasi. Sebuah tujuan haruslah baik dan membawa perubahan kepada hal
yang baik pula. Tujuan dapat berupa visi tunggal dari seorang pemimpin, atau
terbentuk dari gabungan visi seluruh komponen di dalam organisasi.
17
5) Organisasi
Seorang pemimpin memiliki gambaran tujuan di dalam visi pribadinya. Untuk
mencapai tujuan tersebut pemimpin membutuhkan wadah untuk mewujudkan
visinya. Organisasi merupakan wadah atau tempat kepemimpinan berada.
Organisasi dapat memiliki bentuk dan sifat yang bermacam-macam, seperti
organisasi sosial, organisasi bisnis, perusahaan, koperasi dan lain-lain.
Gambar 2.2 Ilustrasi Komponen Leadership
2.2
Pelatihan
2.2.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja
seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi. Pelatihan membantu
karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna
meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan organisasi
dalam mencapai tujuannya.
18
Menurut Mathis & Jackson (2006:301) pelatihan adalah sebuah proses
dimana memberikan karyawan pengetahuan, dan keterampilan yang spesifik dan
dapat di identifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini.
Menurut Sofyandi (2008:113) pelatihan adalah suatu program yang
diharapkan dapat memberikan rangsangan atau stimulasi kepada seseorang untuk
dapat meningkatkan kemampuan dalam pekerjaan tertentu dan memperoleh
pengetahuan umum dan pemahaman terhadap keseluruhan lingkungan kerja dan
organisasi.
Menurut Veithzal dan Ella (2010:211) pelatihan sebagai bagian
pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif
singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktik daripada teori.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas mengenai pelatihan dapat
disimpulkan bahwa pelatihan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
keterampilan kerja bagi karyawan dan sebagai jembatan untuk perkembangan
pengetahuan, kecakapan, pengalaman, sehingga menjadi stimulasi untuk
melakukan pekerjaan lebih baik sesuai dengan keinginan dan tujuan perusahaan.
Suatu perusahaan perlu melaksanakan program pelatihan bagi karyawan
baru maupun karyawan lama yang sudah berpengalaman. Karena karyawan yang
sudah berpengalaman dan menduduki jabatan tertentu diperusahaan, belum tentu
mempunyai kemampuan yang sesuai dengan persyaratan yang diperlukan dalam
jabatan tertentu.
19
Dengan diselenggarakannya pelatihan bagi karyawan, akan diperoleh
efektivitas dan efisiensi kerja di perusahaan dan diharapkan pelatihan dapat
meningkatkan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan karyawan, sehingga
kinerja mereka juga dapat meningkat dengan baik.
2.2.1
Tujuan Pelatihan
Tujuan perusahaan menyelenggarakan pelatihan terhadap karyawan karena
perusahaan menginginkan adanya perubahan dalam kinerja karyawan, sehingga
sesuai dengan tujuan perusahaan. Menurut Mangkunegara (2006:52) beberapa
tujuan pelatihan adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi.
2) Meningkatkan produktivitas kerja.
3) Meningkatkan kualitas kerja.
4) Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia.
5) Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja.
6) Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara
maksimal.
7) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
8) Menghindarkan keusangan.
9) Meningkatkan perkembangan pribadi pegawai.
Menurut Dessler (2009) tujuan pelatihan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan lebih cepat dan lebih efektif.
20
2) Mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional.
3) Mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama
dengan teman-teman karyawan dan manajemen (pimpinan).
Tujuan pelatihan tersebut akan terlaksana dengan baik apabila pelatihan
diberikan secara tepat dan adanya kerjasama yang baik antara karyawan maupun
pimpinan. Keberhasilan dari pelatihan juga harus diukur dalam hubungannya
dengan serangkaian tujuan karena pelatihan jarang mempunyai anggaran yang
tidak terbatas dan organisasi mempunyai banyak kebutuhan pelatihan, maka
diperlukan adanya penetapan prioritas.
2.2.2
Tahap-tahap Pelatihan
Pelatihan dirasa penting manfaatnya karena tuntutan pekerjaan dan jabatan
sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi kerja, kemajuan teknologi dan
semakin ketatnya persaingan dalam organisasi. Menurut Mangkunegara (2006:52)
tahapan-tahapan
penyusunan
pelatihan
hendaknya
dilakukan
memperhatikan :
1) Mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan.
2) Menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan.
3) Menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya.
4) Menetapkan metode pelatihan.
5) Mengadakan percobaan (try out) dan revisi.
6) Mengimplementasikan dan mengevaluasi.
dengan
21
Setiap pelatihan harus terlebih dahulu ditetapkan secara jelas sasaran yang
ingin dicapai agar pelaksanaan program pelatihan dapat diarahkan ke pencapaian
tujuan perusahaan.
2.2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelatihan
Menurut Rivai dan Sagala (2010:225-226), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pelatihan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode, tujuan
pelatihan, dan lingkungan yang menunjang. Metode pelatihan terbaik tergantung
dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelatihan
yaitu :
1) Cost effectiveness (efektivitas biaya) :
Tingkat maksimalisasi sumber daya organisasi untuk memperoleh
hasil terbanyak/menekan kerugian.
2) Materi program yang dibutuhkan :
Materi disusun dari estimasi kebutuhan tujuan pelatihan, kebutuhan
dalam bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan pengetahuan
yang diperlukan.
3) Prinsip-prinsip pembelajaran :
Pedoman dimana proses belajar akan berjalan lebih efektif agar dapat
berkembang dan diimplementasikan.
22
4) Ketepatan dan kesesuaian fasilitas :
Fasilitas kerja merupakan suatu bentuk pelayanan bagi instansi
terhadap pegawai agar menunjang kinerja dalam memenuhi kebutuhan
pegawai, sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja pegawai.
5) Kemampuan dan preferensi peserta pelatihan :
Sangat penting untuk memperhitungkan tipe pekerja dan jenis pekerja
yang akan dilatih.
6) Kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan :
Mencari sumber-sumber informasi yang lain, yang mungkin berguna
dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan.
2.3
Kepuasan Kerja Karyawan
2.3.1
Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Robbins & Judge (2007) Kepuasan kerja adalah suatu sikap
umum individu terhadap pekerjaannya dimana dalam pekerjaan tersebut seseorang
dituntut untuk berinteraksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan
kebijakansanaan organisasi untuk memenuhi standar kinerja.
Menurut Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi
karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai
penting.
Menurut Grenberg & Baron dalam Wibowo (2007:299), mendeskripsikan
kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual
terhadap pekerjaan mereka.
23
Menurut Kreitner & Kinicki (2009:170), kepuasan kerja merupakan suatu
respon yang mempengaruhi emosional terhadap berbagai segi dari pekerjaan
seseorang. Dari beberapa pengertian kepuasan kerja diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum kepuasan kerja karyawan merupakan keadaan
emosional dari setiap individu terhadap pekerjaannya baik yang menyenangkan
atau yang tidak menyenangkan.
2.3.2 Teori Kepuasan Kerja
Menurut Rivai dan Sagala (2010:856):
1) Teori keadilan (Equity theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak
puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam
suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen
utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan
ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang
dianggap
mendukung
pekerjaannya,
seperti
pendidikan,
pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau
perlengkapan
yang
dipergunakan
untuk
melaksanakan
pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh
seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti:
gaji/upah, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan
kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Menurut teori ini,
setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya
24
dengan rasio input orang lain. Bila perbandingan itu dianggap
cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan
itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan
kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak
seimbang akan timbul ketidakpuasan.
2) Teori dua faktor (Two factor theory)
Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu
merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang continue. Teori
ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok
yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies ialah faktorfaktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja
yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada
kesempatan
untuk
berprestasi,
kesempatan
memperoleh
penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan
menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak
selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene actors)
adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasaan, yang
terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antarpribadi, kondisi
kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan
biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi
faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor
25
ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak
akan kecewa meskipun belum terpuaskan.
2.3.3 Faktor-faktor Kepuasan Kerja
Menurut Kreitner & Kinicki dalam Wibowo (2007:302) terdapat lima
faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:
1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan
karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu
untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan sesuatu hasil
pemenuhan
harapan.
Pemenuhan
harapan
mencerminkan
perbedaaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh
individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa
yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan
individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas
harapan.
3) Value attainment (pencapaian nilai)
Gagasan Value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil
dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja
individual yang penting.
26
4) Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi
dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan
merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara
hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan
dengan perbandingan antara keluaran dan masukan pekerjaan
lainnya.
5) Dispositional/genetic components (komponen genetik)
Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja
sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model
ini menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting
untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik
lingkungan pekerjaan.
Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2006:212),
adalah sebagai berikut:
1. The work it self (pekerjaan itu sendiri)
Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja. Ada
beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang
menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta
perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan.
2. Pay (gaji)
Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang
diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga
27
kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Hal paling penting ialah sejauh mana
gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji di persepsikan sebagai adil
didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan
standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan
ada kepuasan kerja.
3. Promotion Opportunity (kesempatan promosi)
Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam
kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil beberapa
bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai
kompensasi. Contohnya, apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji
karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja
karyawan tersebut juga meningkat.
4. Supervisor (atasan)
Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan
fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan
sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai
pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan
pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada
ketertarikan antarpribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai
yang serupa.
5. Co-Worker (rekan kerja)
Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan
sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para
28
pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam satu
ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian
kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber-sumber
semangat, kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu.
Kelompok
kerja
yang
baik
dapat
membuat
pekerjaan
menjadi
menyenangkan.
6. Working Condition (kondisi kerja)
Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang
mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif,
dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik
dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.
2.3.4
Korelasi Kepuasan Kerja
Menurut Kreitner & Kinicki dalam Wibowo (2007:304), terdapat
hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain yang dapat bersifat positif
atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah sampai kuat.
Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa manajer dapat mempengaruhi dengan
signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja.
Beberapa korelasi kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
1) Job Performances (Prestasi Kerja)
Kontroversi terbesar dalam penelitian organisasi adalah tentang
hubungan antara kepuasan dan prestasi kerja atau kinerja. Ada
29
yang menyatakan bahwa kepuasan mempengaruhi pretasi kerja
lebih tinggi, sedangkan lainnya berpendapat bahwa prestasi kerja
mempengaruhi
kepuasan.
Penelitian
terdahulu
untuk
menghapuskan kontroversi tersebut menunjukan bahwa terdapat
hubungan positif rendah antara kepuasan dan kinerja.
2) Absenteeism (kemangkiran)
Kemangkiran merupakan hal mahal dan manajer secara tetap
mencari cara untuk menguranginya. Satu rekomendasi telah
meningkatkan kepuasan kerja. Apabila rekomendasinya sah, akan
terdapat korelasi negatif yang kuat antara kepuasan dan
kemangkiran. Dengan kata lain, apabila kepuasan meningkat,
kemangkiran akan turun. Penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan terdapat hubungan negatif yang lemah antara
kepuasan dan kemangkiran. Oleh karena itu, manajer akan
menyadari setiap penurunan signifikan dalam kemangkiran akan
meningkat kepuasan kerja.
3) Turnover (Perputaran)
Perputaran sangat penting bagi manajer karena mengganggu
kontinuitas organisasi dan sangat mahal. Penelitian menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif moderat antara kepuasan dan
perputaran.
Dengan
kekuatan
hubungan
tertentu,
manajer
disarankan untuk mengurangi perputaran dengan meningkatkan
kepuasan kerja.
30
2.4
Kinerja Karyawan
2.4.1
Pengertian Kinerja
Pada dasarnya, perusahaan tentu membutuhkan karyawan sebagai tenaga
kerja yang meningkatkan kualitas produk dan jasa untuk mencapai tujuan
organisasi. Tanpa karyawan yang terlatih, organisasi tidak akan mencapai kinerja
yang baik dan akan menjauhkan organisasi dari tujuannya. Dengan demikian,
manajemen kinerja merupakan kebutuhan mutlak bagi organisasi untuk mencapai
tujuan dengan mengatur kerjasama secara harmonis dan terintegrasi antara
pemimpin dan bawahannya.
Amstrong & Baron dalam Wibowo (2007:2) mengatakan bahwa kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan
strategi organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi ekonomi.
Sedangkan pengertian kinerja menurut Wibowo (2007:2) adalah tentang
melakukan pekerjaan dan hasil dari yang dicapai dari pekerjaan tersebut.
2.4.2
Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja memiliki dua asumsi, yaitu kinerja organisasi dan kinerja
karyawan (individu). Pengertian kinerja karyawan adalah prestasi yang dicapai
individu berdasarkan target kerja yang diembannya atau tingkat pencapaian dari
beban kerja yang telah ditargetkan oleh organisasi kepadanya. Kinerja karyawan
adalah hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi
kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output,
jangka waktu output, kehadiran ditempat kerja, dan sikap kooperatif yang dapat
31
diukur dalam standar kerja. Sedangkan pengertian kinerja dalam organisasi
merupakan jawaban bahwa tercapai atau tidaknya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
Menurut Mangkunegara (2009:9), definisi kinerja karyawan adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Mathis & Jackson (2006:378), kinerja karyawan adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Dari beberapa sumber diatas dapat
disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi dari hasil kerja yang dapat dinilai
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
2.4.3
Faktor-faktor Kinerja
Menurut Prawirosentono dalam Sutrisno (2010:176-177) faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah :
1. Efektifitas dan Efisiensi
Dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran
baik buruknya kinerja diukur dengan efektifitas dan efisiensi.
Masalahnya adalah bagaimana proses terjadinya efisiensi dan
efektifitas organisasi. Dikatakan efektif bila hal itu memuaskan
sebagai pendorong untuk mencapai tujuan, terlepas apakah efektif
atau tidak. Artinya, efektifitas dari kelompok bila tujuan kelompok
tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan.
32
Sedangkan efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang
dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
2. Otoritas dan Tanggung Jawab
Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggung jawab telah
didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas.
Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui
apa yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam rangka
mencapai tujuan organisasi. Kejelasan wewenang dan tanggung
jawab setiap orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja
karyawan tersebut. Kinerja karyawan akan terwujud bila karyawan
mempunyai komitmen dengan organisasinya dan ditunjang dengan
disiplin kerja yang tinggi.
3. Disiplin
Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap
hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan
ketetapan perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan dan hormat
terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan karyawan.
Dengan demikian, bila peraturan atau ketetapan yang ada dalam
perusahaan itu diabaikan atau sering dilanggar, maka karyawan
mempunyai disiplin yang buruk. Sebaliknya, bila karyawan
tunduk
pada ketetapan perusahaan, menggambarkan adanya
kondisi disiplin yang baik.
33
4. Inisiatif
Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam
bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan
tujuan organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian
atau tanggapan positif dari atasan, kalau dia memang atasan yang
baik. Disini tampak jelas bahwa pengertian kinerja itu lebih sempit
sifatnya, yaitu hanya berkenaan dengan apa yang dihasilkan
seseorang dari tingkah laku kerjanya. Biasanya orang yang
mempunyai tingkat prestasi yang tinggi disebut sebagai orang yang
produktif, dan sebaliknya orang yang tingkat prestasinya rendah,
dikatakan sebagai tidak produktif atau dikatakan kinerjanya
rendah.
Menurut A. Dale Timple (Mangkunegara, 2009:15) faktor-faktor kinerja
terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (Disposisional)
yaitu faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang. Sedangkan faktor
eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal
dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja,
bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Sedangkan menurut
Keith
Davis
(Mangkunegara,2009:13)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi
(motivation). Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge + skill). Dimana artinya,
pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) apalagi
34
IQ superior, very superior, gifted, dan genius dengan pendidikan yang memadai
untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka
akan mudah mencapai kinerja yang maksimal.
2.4.4 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja merupakan faktor kunci dalam mengembangkan suatu
organisasi secara efektif dan efesien, karena adanya kebijakan organisasi atas
program yang lebih baik untuk sumber daya manusia mereka. Penilaian atau
pengukuran kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan
kinerja terdapat deviasi dari rencana yang ditentukan, atau apakah kinerja dapat
dilakukan sesuai jadwal waktu yang ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah
tercapai sesuai dengan yang diharapkan,Wibowo (2007:319).
Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan
organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui
kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Setiap orang sebagai
pelaku yang melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan fungsinya harus dinilai
kinerjanya. Penilaian hanya berkepentingan untuk mengukur apa yang penting
dan relevan. Hal-hal yang diukur tergantung pada apa yang dianggap penting oleh
stakeholders dan pelanggan.
Menurut Wibowo (2007:320) pengukuran kinerja yang tepat dapat
dilakukan dengan cara:
1.
Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan
telah terpenuhi.
35
2.
Mengusahakan
standar
kinerja
untuk
menciptakan
perbandingan.
3.
Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat
kinerja.
4.
Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa
yang perlu diberi perhatian prioritas.
5.
Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas.
6.
Mempertimbangkan penggunaan sumber daya.
7.
Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.
2.4.5 Jenis Sistem Penilaian Kinerja
Sistem penilaian kinerja dapat dikategorikan berdasarkan pengarah
kinerja, dan pengarah kinerja inilah yang menjadi fokus pengukuran. Menurut
Berger & Berger (2007:111-112) kategori sistem penilaian tersebut adalah:
1.
Trait-based (berbasis sifat)
Diasumsikan bahwa sifat tertentu merupakan pengarah kerja,
jadi yang diukur adalah karakter pribadi pemegang pekerjaan.
2.
Behaviour Based (berbasis prilaku)
Diasumsikan bahwa perilaku tertentu merupakan pengarah
kinerja, jadi yang diukur adalah apa yang dilakukan oleh
pemegang pekerjaan.
3.
Knowledge/SkillBased (berbasis pengetahuan/keterampilan)
Diasumsikan
bahwa
pengetahuan/keterampilan
tertentu
36
merupakan pengarah kinerja, jadi yang diukur adalah apa yang
diketahui/diaplikasikan oleh pemegang pekerjaan. Apabila
sifat, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan ini terkait
dengan keberhasilan organisasi yang diharapkan, disebut
sebagai kompetensi.
4.
Result Based (berbasis hasil)
Diasumsikan bahwa pencapaian sasaran sama dengan kinerja,
jadi yang diukur adalah apa yang berhasil dicapai oleh
pemegang pekerjaan.
Jenis sistem penilaian yang terbaik dan paling sesuai bagi suatu organisasi,
sangat tergantung pada sasaran yang ingin dicapai melalui sistem penilaian ini.
Apakah organisasi memprioritaskan penggunaan sistem penilaian kinerja untuk
meningkatkan pemahaman pemegang pekerjaan terhadap pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya, untuk pengembangan individu, atau perencanaan dan
pengendalian kinerja.
2.4.6 Elemen-elemen Untuk Mengukur Kinerja Karyawan
Menurut Mathis & Jackson (2006:378), kinerja pada dasarnya adalah apa
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang
umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:
37
1. Kuantitas dari hasil
Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif
melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan
kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
2. Kualitas dari hasil
Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif
keluaran mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu
seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
3. Ketepatan waktu dari hasil
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal.
Penundaan
penggunaan
waktu
dapat
menimbulkan
berbagai
konsekuensi biaya besar dan kerugian.
4. Kehadiran atau absensi
Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah
perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada
perusahaan.
5. Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga
dapat meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan.
38
2.5
Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Peneliti / Tahun
Judul
Hasil Penelitian
Ida Ayu Brahmasari dan
Pengaruh Budaya Organisasi,
Terdapat pengaruh antara kepemimpinan terhadap kinerja
Paniel Siregar / 2009
Kepemimpinan Situasional dan
pegawai. Kesimpulan tersebut didapat dari Hipotesis
Pola Komunikasi terhadap
yang membuktikan (β4 = 0,347; CR= 4.551) di mana
Disiplin Kerja dan Kinerja
hasil
Karyawan pada PT Central
kepemimpinan situasional secara signifikan berpengaruh
Proteinaprima Tbk
terhadap kinerja karyawan. Hal ini menunjukan bahwa
perhitungan
menujukkan
bahwa
variabel
hubungan antara kedua variabel tersebut adalah positif
atau searah.
Utin Nina Hermiana,
Pengaruh Pelatihan dan
Analisis statistik dengan menggunakan persamaan
Liliyana, dan Desvira
Pengembangan terhadap Kinerja
struktural ( Structural Equation) menunjukkan variabel
Zain / 2009
Karyawan UKM Kerajinan
pelatihan terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja
Anyaman Bambu di Kabupaten
karyawan UKM kerajinan anyaman bambu di Kabupaten
Sambas Kalimantan Barat
Sambas Kalimantan Barat, besarnya pengaruh yaitu 0,43
atau 43%. Ini berarti variabel pelatihan secara parsial ikut
berperan di dalam pembentukan kinerja karyawan.
Melalui pelatihan yang telah diikuti, karyawan dapat
memperbaiki pekerjaan mereka dan ini berdampak
terhadap kinerja mereka.
Bambang Harsono/ 2009
Pengaruh Pendidikan dan
Hasil analisis menunjukkan bahwa jalur langsung
Pelatihan, Kepuasan Kerja
Kepuasan Kerja memiliki pengaruh signifikan positif
terhadap Kinerja Pegawai
(0,706/0,000) terhadap Kinerja Pegawai, dan memiliki
dengan Komitmen Organisasi
korelasi/hubungan
sebagai Variabel Intervening
terhadap Kinerja Pegawai merupakan jalur yang paling
pada Sekretariat Dewan
kuat di banding jalur yang lain. Maka jalur langsung
Perwakilan Rakyat Daerah
inilah yang paling tepat untuk dipilih dibandingkan jalur
Kabupaten Karanganyar
yang lain
(0,954/0,000)
signifikan
positif
39
2.6
Kerangka Pemikiran
PT COX and TIHAYA INDONESIA
PELATIHAN (X₂)
KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
(X₁)
•
•
•
•
•
Telling
Selling
•
Participating
Delegating
Pengetahuan
yang
spesifik
mengenai alat fasilitas dan
pelayanan
Keterampilan yang spesifik
dalam
mengahasilkan
dan
menyajikan produk
KEPUASAN KARYAWAN
(Y)
•
•
•
•
•
•
Pekerjaan itu sendiri
Rekan kerja
Atasan
Gaji
Kesempatan promosi
KINERJA KARYAWAN (Z)
•
•
•
•
•
Kuantitas dari hasil
Kualitas dari hasil
Ketepatan waktu
Kehadiran
Kemampuan bekerja sama
Sumber : Penulis
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
40
2.7 Hipotesis
Menurut
Sugiyono
(2008:93),
hipotesis
merupakan
jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum
didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.
Ho : tidak ada pengaruh antar variabel
Ha : ada pengaruh antar variabel
Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta tinjauan
pustaka, maka kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
•
Untuk T – 1
1. Hipotesis 1
Ho : Variabel kepemimpinan situasional dan pelatihan tidak memiliki
kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel
kepuasan kerja karyawan.
Ha : Variabel kepemimpinan situasional dan pelatihan memiliki
kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel
kepuasan kerja karyawan.
2. Hipotesis 2
Ho : Variabel kepemimpinan situasional tidak berkontribusi secara
parsial dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja
karyawan.
Ha : Variabel kepemimpinan situasional berkontribusi secara parsial
dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.
41
3. Hipotesis 3
Ho : Variabel pelatihan tidak berkontribusi secara parsial dan
signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.
Ha : Variabel pelatihan berkontribusi secara parsial dan signifikan
terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.
•
Untuk T – 2
4. Hipotesis 4
Ho : Variabel kepemimpinan situasional, pelatihan dan kepuasan
kerja karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara
simultan terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha : Variabel kepemimpinan situasional, pelatihan dan kepuasan
kerja karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara
simultan terhadap variabel kinerja karyawan.
5. Hipotesis 5
Ho : Variabel kepemimpinan situasional tidak berkontribusi secara
parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha : Variabel kepemimpinan situasional berkontribusi secara parsial
dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
6. Hipotesis 6
Ho : Variabel pelatihan tidak berkontribusi secara parsial dan
signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha : Variabel pelatihan berkontribusi secara parsial dan signifikan
terhadap variabel kinerja karyawan.
42
7. Hipotesis 7
Ho : Variabel kepuasan kerja karyawan tidak berkontribusi secara
parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha :
Variabel kepuasan kerja karyawan berkontribusi secara parsial
dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Download