bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Indonesia adalah negara yang rawan tsunami, karena merupakan daerah
pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng
Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sejumlah daerah di pulau-pulau yang
berhadapan langsung dengan zona penunjaman antar lempeng ini, seperti bagian barat
Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa, Nusa Tenggara, bagian utara Papua, serta
Sulawesi dan Maluku merupakan kawasan yang sangat rawan tsunami. Catatan
sejarah tsunami di Indonesia menunjukkan bahwa kurang lebih 172 tsunami yang
terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1600–20121.1 Berdasarkan sumber
pembangkitnya diketahui bahwa 90% dari tsunami tersebut disebabkan oleh aktivitas
gempabumi tektonik, 9% akibat aktivitas vulkanik dan 1% oleh tanah longsor yang
terjadi dalam tubuh air (danau atau laut) maupun longsoran dari darat yang masuk ke
dalam tubuh air.Kondisi geografis, geologi, topografi, hidrologi, iklim dan
lingkungan Indonesia menempatkan Indonesia sebagai daerah yang subur dan kaya
akan bahan mineral. Namun di sisi lain Indonesia dihadapkan dengan potensi
berbagai macam bencana, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah
longsor, banjir dan lain sebagainya. Hal ini merupakan kejadian alam yang umum
terjadi. Sebagian jenis bahaya tidak dapat dicegah maupun dihindari. Tentu dari
kejadian demi kejadian tersebut mengakibatkan korban baik berupa materil atau non
materil. Tak sedikit pula yang menjadi penyintas dan juga korban jiwa. Tentu hal ini
(baca: jumlah korban) dapat dikurangi jika paradigma dalam pengurangan resiko
bencana dapat disampaikan ke masyarakat dan juga tersedianya fasilitas untuk
mengevakuasi para penyintas di daerah bahaya bencana. Dari kejadian demi kejadian
bencana pemerintah belajar betul bagaimana unutk mengurangi resiko bencana
1
terutama penyediaan fasilitas tempat evakuasi penyintas. Data menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi
di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.1 Wilayah
Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan
dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim.
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan
batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi
tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk
bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
melaporkan bencana Hidrometeorologi (Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor dsb)
terjadi sebanyak 560-an kasus dalam kurun waktu Januari – Juni 2013 dengan korban
1
Potensi Ancaman Bencana, http://www.bnpb.go.id/page/read/6/potensi-ancaman-bencana, diakses 15
juli 2013
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat
lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc)
yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa - Nusa Tenggara - Sulawesi, yang sisinya berupa
pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi
tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi,
tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di
Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan
gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh
pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan
daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600?2000 terdapat 105 kejadian
tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung
berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan
wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau
Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian
Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami.
Dalam kurun waktu tahun 1600-2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya
diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut. Pada tahun 2006
saja terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek
dan beberapa daerah lainnya.
2
252 orang tewas, 512.080 jiwa menjadi pengungsi, 30.525 rumah belum lagi fasilitas
umum seperti sekolah, rumah sakit dan kantor pemerintahan. D.I. Yogyakarta sendiri
merupakan daerah yang terletak di beberapa hazard diantaranya gunung berapi
(Gunung Merapi), gempa bumi (baik tektonik –patahan Kali Opak- maupun vulkanik
– Gunung Merapi) serta tsunami dari pesisir selatan Yogya (Samudra Hindia). pada
saat gempa Bantul tercatat korban meninggal 4.143 jiwa, pengungsi 779.287 jiwa2.
Hampir seluruh Kabupaten/Kota di garis pantai pada masuk dalam tingkat risiko
Sangat Tinggi dan Tinggi karena perkiraan tinggi gelom bang di atas tiga meter.
Karena itu, maka jumlah penduduk yang terpapar adalah 5.031.147 jiwa.
Tempat evakuasi bagi para penyintas agar bisa melakukan kegiatan sehari-hari
pasca bencana juga menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah, negara donor dan
juga lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengurangan resiko bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan membangun tempat
evakuasi bencana sebagai masterplan pengurangan resiko tsunami di Indonesia.
Shelter tsunami tersebut akan dipusatkan di tiga titik diantaranya Bali, Nusa Tenggara
dan sepanjang pantai selatan Jawa termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta sendiri,
2
Rekap Data Korban Gempa Bantul 7 Juni, http://gudeg.net/id/news/comment/2006/06/4090/RekapData-Korban-Gempa-Bantul-7-Juni.html#.Umh-i_lkOSp
Proses pendataan korban gempa bumi berkekuatan 5,9 SK di DIY & Jateng, khususnya di
Kabupaten Bantul, baik korban fisik maupun hayati, masih terus diperbaiki oleh Pemerintah
Kabupaten Bantul, sesuai dengan pernyataan Bupati Bantul Idham Samawi melalui press release 25
Juni yang lalu. Hal ini berkaitan erat dengan pembagian bantuan living cost sebesar Rp 90.000,- per
jiwa dan beras 10 kg per jiwa selama satu bulan. Namun dari rekap data korban fisik dan hayati yang
diterima GudegNet dari MediaCenter Bantul tidak menunjukkan adanya perubahan statistik yang
berarti sejak tanggal 7 Juni 2006. Sedangkan rekap data bantuan living cost belum tersedia.
Misalnya di Kecamatan Jetis yang memiliki empat kelurahan, yaitu Patalan, Sumberagung,
Canden, dan Tirtomulyo, jumlah korban meninggal sejumlah 830 jiwa dari total penduduk yang
mengungsi 50.980 jiwa. Sementara unit rumah penduduk yang rata tanah sebanyak 11.356 unit
bangunan, rusak berat 2.610 unit bangunan, dan rusak ringan 664 unit bangunan. Kemudian di
Kecamatan Bambanglipuro, tercatat total korban meninggal sejumlah 607 jiwa dari tiga kelurahan,
yaitu Sidomulyo, Mulyodadi, dan Sumbermulyo. Penduduk yang mengungsi sejumlah 37.028 jiwa.
Unit rumah penduduk yang mengalami rusak total (rata tanah) sebanyak 6.587 unit bangunan, rusak
berat 2.732, dan rusak ringan 816 unit bangunan.
Total korban fisik dan hayati di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut: korban meninggal
4.143 jiwa, pengungsi 779.287 jiwa, rumah penduduk yang rusak total 71.763 unit, rusak berat 71.372
unit, dan rusak berat 66.359 unit bangunan.
3
terdapat tiga wilayah yang akan dijadikan masterplan shelter tsunami diantaranya di
Kulonprogo, Gunungkidul dan Bantul. Tempat evakuasi tsunami yang dibangun,
akan disesuaikan dengan kondisi daerah.3 Terpilihnya Kabupaten Bantul sebagai
lokasi penelitian ini, karena daerah ini selain belum mempunyai desain tempat
evakuasi tsunami sebagai acuan dalam penentuan rencana tata ruang wilayah
(RTRW), pada tahun 2006 terjadi tsunami yang mencapai Kabupaten Bantul dengan
ketinggian 3,4 m.(Bangun Mardiyanto,dkk,2013). serta demi mewujudkan misi
Kabupaten Bantul yaitu, meningkatnya kewaspadaan terhadap potensi bencana dan
upaya pengurangan pengurangan resiko bencana dengan memeperhatikan penataan
ruang dan pelestarian lingkungan.
B.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini kami membagi menjadi dua, antara lain permasalahan
non arsitektural dan permasalahan arsitektural. Pada permasalahan non arsitektural
metitikberatkan pada upaya merumuskan masalah-masalah yang lebih bersifat makro
3
BNPB Akan Bangun Shelter Pengungsian Tsunami,
http://krjogja.com/read/147644/page/tentang_kami, diakses 24 Oktober 2013.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan membangun shelter pengungsian
bencana sebagai masterplan pengurangan resiko tsunami di Indonesia. Shelter tsunami tersebut akan
dipusatkan di tiga titik diantaranya Bali Nusa Tenggara dan sepanjang pantai selatan termasuk
Yogyakarta. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho
mengungkapkan, proyek pengadaan shelter tsunami tersebut rencananya akan dijalankan mulai tahun
2013 mendatang. "Khusus di Yogyakarta, terdapat tiga wilayah yang akan dijadikan masterplan shelter
tsunami diantaranya di Kulonprogo, Gunungkidul dan Bantul," ujarnya di sela the 5th Asian
Minesterial Conference on Disaster Risk Reduction, di Jogja Expo Center (JEC), Senin (22/10).
Menurutnya, shelter tsunami yang dibangun, akan disesuaikan dengan kondisi daerah. "Misalnya
Gunungkidul yang memiliki daerah berbukit, maka akan dibangunkan tangga dan rambu jalur
evakuasi ke bukit untuk menghindari tsunami. Namun untuk Bantul yang datar, akan dibangun shelter
di lokasi tinggi seperti bukit buatan," jelasnya.
Selain pembangunan shelter tsunami, terdapat tiga program lain yang dilakukan BNPB dalam
masterplan pengurangan dampak tsunami. Diantaranya penguatan rantai peringatan dini tsunami mulai
dari sirene, pendeteksi gempa, hingga warning ke masyarakat, peningkatan kapasitas dan sosialisasi
serta pembangunan kemandirian instrumentasi kebencanaan secara nasional."Anggaran untuk semua
program di tahun 2013 nanti berkisar sampai Rp1 Triliun. Sebenarnya secara ideal, anggaran yang
dibutuhkan berkisar Rp16,5 Triliun. Karenanya, dengan pendanaan yang terbatas tersebut, kami hanya
akan membangun sesuai dengan prioritas," imbuhnya
4
dan messo. Sedangkan permasalahan arsitektural menitikberatkan pada upaya
merumuskan bagaimana mengelola masalah mikro.

Bagaimana menata landscape yang bisa mengurangi resiko bencana di pesisir
Kab. Bantul.

Bagaimana merancang tempat evakuasi tsunami di pesisir Kab. Bantul yang
berfungsi untuk menaungi kegiatan para penyintas dan juga warga lokal ketika
tidak ada bencana.

Bagaimana menata ruangan yang ada di bangunan tempat evakuasi tsunami.

Bagaimana bentuk tempat evakuasi tsunami yang aman dan nyaman di pesisir
Kab. Bantul.
C.
Tujuan dan Sasaran
Adapun tujuan dan sasaran dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Tujuan
 Memahami masalah umum maupun khusus serta kegiatan para penyintas
pada saat bencana terjadi dan fasilitas apa yang diperlukan warga lokal pada
saat tidak terjadi bencana di pesisir Kab. Bantul.
 Menyusun suatu konsep perencanaan dan perancangan bangunan Tempat
Evakuasi Tsunami di Pesisir Kab. Bantul.
 Menciptakan desain Tempat Evakuasi Tsunami di pesisir Kab. Bantul.
2.
Sasaran
Konsep perencanaan dan perancangan dari bangunan Tempat Evakuasi
Tsunami di Pesisir Kab. Bantul yang sesuai dengan RTRW Kabupaten Bantul 20102015 yang diadopsi dari perencaan peletakan tempat evakuasi oleh GTZ dan Tim
Kerja Kabupaten Bantul. Secara rinci perencanaan dan perancangan berupa bentuk
konsep tapak, konsep fungsi, konsep ruang, konsep bentuk, konsep sistem bangunan.
5
D.
Lingkup Pembahasan Arsitektural
Sebuah bangunan Tempat Evakuasi Tsunami di pesisir Kab. Bantul serta
berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat. Dengan menjadikan sistem standart
arsitektur sebagai acuan untuk mewujudkan penataan bidang, ruang dan massa.
Meliputi konfigurasi ruang dan aspek-aspek fungsi yang mendukung dalam setiap
kegaitan baik di dalam bangunan itu sendiri atau disekitarnya.
E.
Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan
kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisa data yang berbentuk non
numerik atau data-data yang tidak diterjemahkan dalam bentuk angka-angka dengan
menggunakan analisa deskriptif dan analisa overlay peta hasil digitasi. Metode
kuantitatif digunakan untuk menganalisa data yang tersaji dalam bentuk angka-angka
dengan menggunakan sistem skor (numerik). Serta pembahsan yang digunakan dalam
menyusun studi perencanaan dan perancangan arsitektur Tempat Evakuasi Tsunami
di Pesisir Kab. Bantul dilakukan dalam 4 (empat) pokok bahasan, yaitu:
 Tinjauan pustaka: terdiri dari tinjauan umum tentang bencana alam dan gempa
bumi, tsunami, tinjauan bangunan tempat evakuasi tsunami , tinjauan RTRW Kab.
Bantul.
 Tinjauan Lokasi: terdiri dari latar belakang pemilihan tapak, alternatif dan analisas
tapak analisa jenis dan pelaku kegiatan analisa zonasi, analisa kebutuhan ruang
dan pendekatan besaran ruang serta analisa perilaku.
 Pendekatan konsep / analisis: proses konseptual pra perancangan yang
mengintegrasikan analisis kajian pustaka dan lapangan serta standart bangunan
tempat evakuasi tsunami.
 Konsep perencaaan dan perancangan bangunan tempat evakuasi akhir di pesisir
Kab. Bantul.
6
F.
Sistematika penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari 5 bab. Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V.

Bab I Pendahuluan: berisi tentang latar belakang perancangan bangunan
tempat evakuasi tsunanami, masalah, tujuan dan sasaran, lingkup dan
sitematika pemhasan ,serta kerangka berfikir.

Bab II Tinjauan Pustaka: berisi tentang tinjauan pustaka dan tinjauan lapangan
tentang bangunan temapt evakuasi tsunami. Tinjauan pustaka berisi tentang
antara lain bencana alam (tsunami), RTRW Kab. Bantul , kajian konseptual dan
standart arsitektural. Tinjauan lapangan berisi contoh-contoh kasus tipologi
bangunan sejenis sebagai pendekatan precedent dan kasus pembanding

Bab III Lokasi Tempat Evakuasi Tsunami di pesisir Kab. Bantul: berisi data
mengenai kondisi lokasi dan site terpilih dan analisis potensi site terpilih yang
nantinya akan mempengaruhi konsep perancangan.

Bab IV Pendekatan Konsep: berisi tentang proses konseptual pra perancangan
yang mengintegrasikan analisis kajian pustaka dan lapangan serta standart
bangunan tempat evakuasi tsunami. Serta menanalisis kebutuhan ruang, analisis
sirkulasi,analisis iklim dan tapak, analisis struktur bangunan dan sistem
bangunan

Bab V Konsep Rancangan: bab ini membahas kesimpulan dari hasil rumusan
permasalahan dan gagasan awal untuk mendesain bangunan tempat evakuasi
tsunami di pesisir Kab. Bantul dari kesimpulan hasil penulisan.
G.
Keaslian Penulisan
Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli. Belum ada penulis yang menulis
skripsi tentang hal yang sama, yaitu tentang Tempat Evakuasi Tsunami Yang
Berfungsi Ganda Pusat Kegiatan Masyarakat di Pesisir Kab. Bantul, D.I.
Yogyakarta. Khususnya di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas
Teknik UGM.
7
H.
Kerangka Berpikir
Dalam suatu perancangan arsitektur diperlukan suatu konsep berpikir secara
sistematis dan terarah dalam melaksanakan proses disain. Konsep berpikir ini
terangkum dalam suatu kerangka berpikir yang menjadi acuan berpikir secara
sistematis dalam pemecahan masalah desain atau perancangan arsitektur. Kerangka
berpikir merupakan suatu bagan atau diagram yang menjelaskan proses perancangan
dari penemuan kasus proyek atau latar belakang, maksud dan tujuan, perumusan
masalah, hingga proses dan produk disain perancangan arsitektur. Adapun kerangka
berpikir tersebut adalah seperti gambar 1.1.
8
Gambar 1. 1 Skema Kerangka Berpikir
Sumber: Priyo as, 2013
9
Download