INDUKSI DAN PROSES EMBRIOGENESIS SOMATIK SENGON (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) DIPENGARUHI PERLAKUAN CAHAYA RIFKI WAHYUNINGTIYAS DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Dipengaruhi Perlakuan Cahaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Rifki Wahyuningtiyas NIM G34110020 ABSTRAK RIFKI WAHYUNINGTIYAS. Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Dipengaruhi Perlakuan Cahaya. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan DORLY. Sengon merupakan tanaman berkayu yang cepat tumbuh dan banyak dibudidayakan karena kayunya mempunyai berbagai macam manfaat. Namun kebutuhan bibit sengon belum dapat terpenuhi disebabkan proses perbanyakan bibit secara konvensional memerlukan waktu yang lama dan kualitas bibit yang dihasilkan tidak seragam. Oleh karena itu, diperlukan teknik perbanyakan yang efektif untuk meningkatkan penyediaan bibit yang berkualitas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggunakan teknik kultur jaringan tanaman melalui embriogenesis somatik. Penelitian yang telah dilakukan tentang embriogenesis somatik sengon belum mampu menghasilkan bibit sengon. Penelitian ini bertujuan menguji dan membandingkan perlakuan cahaya untuk optimalisasi embriogenesis somatik sengon. Perlakuan cahaya untuk induksi dan proses embriogenesis yang dicoba pada penelitian ini terdiri atas empat macam, yaitu 28 hari terang (28T), 7 hari gelap 21 hari terang (7G21T), 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari terang (7G7T7G7T), dan 14 hari gelap 14 hari terang (14G14T). Perlakuan cahaya dengan iluminan 2800 lux diberikan setelah kalus kompak disubkultur pada media MS diperkaya dengan thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan cahaya telah meningkatkan pembentukan kalus embriogenik dan mempercepat proses pembentukan embrio somatik pada perlakuan 28T. Namun embrio somatik yang dihasilkan tidak normal karena hanya berkembang sampai pada fase kotiledon. Kata kunci: cahaya, embriogenesis somatik, kalus embriogenik, sengon ABSTRACT RIFKI WAHYUNINGTIYAS. Induction and Process of Somatic Embryogenesis in Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Through Light Treatments. Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and DORLY. Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) is a fast-growing woody plant that widely cultivated because it has a lot of benefits. However, the needs of sengon seedlings cannot be fulfilled because the conventional cultivation takes more time and it results various qualities. Therefore, the effective cultivation is required to improve the supply and quality of seedlings. One of them is the plant tissue culture technique through somatic embryogenesis. The previous studies have not been able to produce sengon seedlings through somatic embryo. This research aims at comparing of the effective light treatments to optimize somatic embryogenesis of sengon. There were 4 kinds of light treatments during callus incubation in this research which were 28 days light (28T), 7 days dark 21 days light (7G21T), 7 days dark 7 days light 7 days dark 7 days light (7G7T7G7T), and 14 days dark 14 days light (14G14T). Light treatments with 2800 lux illuminances were given after the compact callus was subcultured on MS medium which was enriched with 1 mg/L thidiazuron and 1.8 g/L proline. The result showed that the light treatments had enhanched embryogenic callus formation and had accelerated the processing of somatic embryo formation in 28T. However, somatic embryo products were abnormal because they only developed to the cotyledon stage. Keywords: embryogenic callus, Falcataria moluccana, light, somatic embryogenesis INDUKSI DAN PROSES EMBRIOGENESIS SOMATIK SENGON (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) DIPENGARUHI PERLAKUAN CAHAYA RIFKI WAHYUNINGTIYAS Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya tulis dengan judul “Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Dipengaruhi Perlakuan Cahaya” dapat diselesaikan. Penulis menyadari kegiatan pembuatan karya tulis ini tidak dapat berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena, MSi dan Dr Ir Dorly, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan pengarahan dan nasihat dari sebelum dimulainya penelitian ini hingga karya tulis ini diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran. Terima kasih kepada Ari Sunandar, MSi yang telah memberikan pengarahan di laboratorium selama penulis melakukan penelitian. Penulis ucapkan terima kasih kepada ibu dan suami tercinta yang selalu mendoakan serta memberi dukungan. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Biologi 48, Birena Al-Hurriyyah, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas motivasi dan bantuan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Maret 2016 Rifki Wahyuningtiyas DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Botani Umum Sengon 2 Kultur Jaringan Sengon 4 Embriogenesis Somatik 4 METODE 5 Waktu dan Tempat 5 Bahan 5 Alat 6 Prosedur Penelitian 6 HASIL 7 Penyediaan Kalus Kompak 7 Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik 7 Pengaruh Cahaya terhadap Kecepatan Induksi Embriogenesis Somatik 8 PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN 9 12 Simpulan 12 Saran 12 DAFTAR PUSTAKA 12 LAMPIRAN 17 RIWAYAT HIDUP 18 DAFTAR TABEL 1 Pengaruh perlakuan cahaya terhadap induksi dan embriogenesis somatik sengon sampai umur 11 minggu proses 8 DAFTAR GAMBAR 1 Induksi kalus kompak pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L 2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L pada perlakuan 28T 3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon pada perlakuan cahaya yang berbeda 7 8 9 DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi media dasar MS (Murashige Skoog) 17 PENDAHULUAN Latar Belakang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) adalah tanaman berkayu yang pertumbuhannya cepat serta mampu beradaptasi pada berbagai jenis tanah sehingga menjadi salah satu jenis pohon unggulan dalam program pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat di Indonesia (Krisnawati et al. 2011). Sengon mempunyai manfaat ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis sengon di antaranya mampu memperbaiki kesuburan tanah karena bersimbiosis dengan bakteri Rhizhobium sehingga dapat memfiksasi nitrogen bebas dari udara (Mansur 2000), serta tegakan sengon dapat menahan erosi tanah dan air (Widyastuti 2007). Manfaat ekonomis sengon terbesar ialah dari pengolahan kayunya. Kayu sengon dapat diolah menjadi bahan baku pulp, kayu lapis, bahan konstruksi ringan (misalnya panel, perabotan, dan kabinet), bahan kemasan ringan (misalnya peti, kotak kayu, dan palet), korek api, serta alat musik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Selain itu, manfaat ekonomis sengon nonkayu yaitu daun sengon dapat digunakan sebagai pakan ternak yang baik karena mengandung protein tinggi. Tajuk pohonnya yang rindang dapat dimanfaatkan sebagai pohon penaung di beberapa areal perkebunan (Hardiatmi 2010), serta kulit kayunya yang mengandung tanin dapat digunakan sebagai penyamak (Olivia 2012). Pemanfaatan kayu sengon dalam jumlah besar harus diimbangi budidaya yang didukung dengan usaha untuk memperbanyak bibit sengon. Pembibitan sengon secara konvensional dapat dilakukan melalui pembibitan langsung dari biji atau stump (tunggul pohon), melalui pencangkokan maupun stek. Namun, pembibitan secara konvensional tersebut memiliki beberapa kekurangan, di antaranya membutuhkan waktu yang lama, kualitas bibit yang belum tentu baik, dan bibit yang dihasilkan tidak seragam. Oleh karena itu, pengembangan teknik pembibitan yang efektif diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas bibit sengon, di antaranya menggunakan teknik kultur jaringan. Penggunaan kultur jaringan memungkinkan diperoleh bibit yang berkualitas baik, seragam, dan dapat diperbanyak dalam jumlah besar serta tersedia dalam waktu cepat (Hartmann et al. 1990). Teknik kultur jaringan yang dapat dilakukan untuk tujuan ini salah satunya melalui embriogenesis somatik. Regenerasi melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan organogenesis karena embrio somatik mempunyai struktur bipolar yang mengandung meristem tunas apikal (pucuk) dan akar. Embrio somatik akan berkembang melalui pembelahan kedua meristem tersebut untuk membentuk tanaman utuh sama seperti dari embrio zigotik atau biji (Philips et al. 1995). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan embriogenesis somatik, di antaranya sumber eksplan yang digunakan, komposisi nitrogen dan karbohidrat, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, serta kondisi lingkungan (Ammirato 1983). Kondisi lingkungan yang mempengaruhi di antaranya suhu, kelembapan, dan cahaya (William 2005). Cahaya merupakan faktor lingkungan yang kompleks dengan berbagai komponen sinyal seperti kualitas cahaya, intensitas cahaya, fotoperiode, dan arah cahaya yang secara berbeda akan memodulasi berbagai aspek perkembangan tanaman. Kualitas cahaya dan fotoperiode merupakan faktor 2 yang paling berpengaruh terhadap morfogenesis tanaman secara in vitro (Morini et al. 2000). Penelitian tentang embriogenesis somatik sengon telah dilakukan menggunakan berbagai macam eksplan antara lain tunas apikal, tunas aksilar, biji, dan daun muda. Sulistiani (1997) melaporkan bahwa eksplan berupa biji setengah tua (immature) yang dikultur pada media MS (Murashige Skoog) ditambah kinetin 0,5 mg/L dan 2,4-D 1-3 mg/L dapat menginduksi kalus embriogenik sebanyak 80%-100%. Eksplan berupa aksis embrio yang dikultur pada media MS diperkaya dengan thidiazuron 2 mg/L dan IAA (Indole 3 Acetic Acid) 0,05 mg/L dapat menginduksi kalus embriogenik (Sumiasri et al. 2006, Priadi et al. 2008). Penggunaan media MS ditambah thidiazuron 1,5 mg/L dengan masa penginduksian selama 8 minggu merupakan perlakuan terbaik untuk menginduksi kalus embriogenik sengon, namun tidak sampai membentuk embrio somatik (Ahmad 1998). Penelitian yang telah dilakukan oleh Hartati (2011) menunjukkan bahwa eksplan aksis embrio yang dikultur pada media MS ditambah thidiazuron 0,1 mg/L dan IAA 0,25 mg/L dapat menginduksi kalus embriogenik hingga berkembang menjadi embrio somatik, tetapi tidak dapat berkembang menjadi planlet. Sunandar (2015) menyatakan bahwa media MS diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L, serta perlakuan tujuh hari pertama gelap kemudian dipindah ke terang kontinyu pada hari berikutnya merupakan kombinasi perlakuan terbaik meskipun belum berhasil membentuk planlet atau bibit sengon. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji dan membandingkan durasi pencahayaan untuk optimalisasi embriogenesis somatik sengon dari kalus kompak agar dihasilkan embrio somatik normal. TINJAUAN PUSTAKA Botani Umum Sengon Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) dikelompokkan ke dalam Famili Leguminoceae dengan Sub-famili Mimosoidae. Rata-rata pertumbuhan sengon pada umur 2 tahun mencapai tinggi 13 m dengan diameter 15 cm, pada umur 4 tahun tingginya mencapai 17 m dengan diameter 27 cm (Fadri 2010). Pertumbuhan sengon selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter mencapai 100 cm (Atmosuseno 1999). Menurut Hidayat (2002), pertumbuhan diameter sengon yang baik rata-rata 7 cm per tahun dan pertambahan tingginya 8 m per tahun dalam tahun pertama penanaman. Rata-rata pertambahan tinggi pohon sengon pada umur 2 sampai 5 tahun yaitu 4 m per tahun. Pada umur 8-9 tahun pertambahan tinggi mencapai 1-1,5 m, sedangkan pada umur 10 tahun pertambahan tinggi sekitar 1 m per tahun. Pertambahan tinggi sengon berkurang seiring dengan bertambahnya umur pohon (Hatmani 1995). 3 Pertambahan diameter batang sengon juga mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur pohon. Sumarna (1961) menyebutkan bahwa rata-rata pertambahan diameter batang sengon pada tahun pertama penanaman hingga umur 6 tahun mencapai 4-5 cm. Susila (2011) menambahkan, pada umur 8-9 tahun pertambahan diameter batang sengon sekitar 3 cm per tahun, pada umur 10 tahun pertambahannya mencapai 2,1 cm per tahun. Sengon biasanya dipanen saat berumur kurang dari 10 tahun, karena umur tersebut merupakan waktu pemanenan yang paling baik serta dalam upaya untuk menghindari busuk akar (Aris 2013). Sengon mempunyai tajuk yang lebar mendatar, namun apabila tumbuh di tempat terbuka cenderung memiliki kanopi berbentuk seperti payung. Batang sengon umumnya tidak berbanir, tumbuh lurus, dan berbentuk silindris. Kulit luarnya berwarna putih keabu-abuan, tidak beralur, dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. 1989). Sengon mempunyai daun majemuk menyirip ganda dengan panjang mencapai 40 cm. Satu tangkai daun terdiri atas 15-25 anak daun berbentuk lonjong. Panjang anak daun antara 6-12 mm dan lebarnya antara 3-5 mm (Soerianegara dan Lemmens 1993). Sengon mulai berbunga sejak umur 3 tahun, pada bulan Maret-Juni dan Oktober-Desember. Penyerbukan bunga sengon dibantu oleh angin dan serangga (Santoso 1992). Bunga sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm dan berwarna putih kekuningan. Bunga sengon bertipe hermaprodit terdiri atas bunga jantan dan bunga betina dalam satu bunga (Soerianegara dan Lemmens 1993). Bunga sengon memiliki panjang kelopak bunga antara 2-2,5 mm, serta panjang daun mahkota antara 5-7 mm (DJK 1976). Sengon biasanya berbuah pada bulan Juli-September dan Januari-Februari (Santoso 1992). Buah sengon matang sekitar 2 bulan setelah pembungaan (Hidayat et al. 2003). Buah sengon berbentuk polong yang retak pada kedua sisinya saat sudah tua (mature) (Alrasjid 1973). Buahnya pipih, tipis, tidak bersekat, dan berukuran panjang antara 10-13 cm serta lebar 2 cm. Setiap polong berisi 15-20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, dan berkulit keras, serta berwarna hijau ketika masih muda kemudian berubah menjadi coklat kehitaman ketika sudah tua. Biji sengon mempunyai lebar dan panjang antara 3-4 mm dan 6-7 mm (Siregar et al. 2011). Sengon merupakan jenis pohon daerah tropis yang mampu tumbuh optimal pada suhu antara 22-29 °C. Tempat tumbuh terbaik untuk sengon yaitu pada ketinggian 10-800 mdpl, terletak antara 10 ºLS - 3 ºLU yang memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Curah hujan tahunan yang optimal untuk pertumbuhan sengon ialah 2000-2700 mm, kelembapan udara yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar 50%-75% (Prihmantoro 1991). Sengon memiliki beragam manfaat dari daun, batang hingga perakarannya. Sengon juga bisa menjadi pohon alternatif yang dapat ditanam secara ekstensif untuk tujuan rehabilitasi lahan marginal karena sengon mempunyai kemampuan memperbaiki struktur tanah di sekitarnya. Kelebihan lain dari sengon yaitu kemampuannya tumbuh pada tanah berkadar garam tinggi. Kemampuan ini memungkinkan tetap tersedianya kawasan hijau sebagai area tangkapan air di daerah pesisir yang terpengaruh oleh air laut (Hardiatmi 2010). 4 Kultur Jaringan Sengon Kultur jaringan tanaman merupakan cara untuk memperbanyak tanaman secara cepat dengan menggunakan potongan jaringan tanaman (eksplan) yang ditumbuhkan pada lingkungan aseptik secara in vitro, sehingga menghasilkan tanaman yang seragam dalam jumlah banyak. Kultur jaringan didasarkan pada sifat totipotensi sel, yaitu setiap sel tanaman mampu tumbuh menjadi tanaman utuh saat ditempatkan pada lingkungan yang sesuai (Bonga 1982). Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan kultur jaringan tanaman adalah penambahan zat pengatur tumbuh yang tepat pada media serta kondisi lingkungan kultur yang sesuai (Katuuk 1989). Eksplan merupakan bagian dari tanaman yang dipotong dan ditumbuhkan pada media kultur (George dan Sherrington 1984). Setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai eksplan, tetapi sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lebih sulit tumbuh dibandingkan dengan sel-sel yang masih bersifat meristematik. Eksplan dapat diambil dari tunas pucuk, tunas aksilar, ujung akar, atau daun muda. Pemilihan eksplan harus memperhatikan organ sumber eksplan, umur tanaman induk, kualitas tanaman induk, dan musim saat eksplan diambil (Gunawan 1992). Ukuran eksplan juga berpengaruh terhadap keberhasilan kultur jaringan tanaman, yaitu eksplan yang sangat kecil membutuhkan media dengan penambahan zat pengatur tumbuh yang lebih kompleks untuk membentuk morfologi tanaman secara lengkap dibandingkan dengan eksplan yang ukurannya besar (Evans et al. 1981). Penelitian kultur jaringan tanaman sengon yang sudah dilakukan antara lain regenerasi dan multiplikasi tunas sengon secara in vitro oleh Sinha dan Mallick (1993) menggunakan media MS ditambah BA (Benzyladenin) 2 mg/L. Damanik (1999) melakukan penelitian tentang embriogenesis somatik sengon yang menunjukkan bahwa eksplan kotiledon setengah tua yang dikultur pada media MS ditambah 2,4-D 4 mg/L atau pikloram 12 mg/L mampu menginduksi kalus embriogenik. Penelitian tentang kriopreservasi sengon yang dilakukan oleh Sudarmonowati et al. (1998) dengan metode vitrifikasi (Gliserol 20% + Etilen glikol + DMSO 10% + Sukrosa 0,3 M) mampu meningkatkan daya hidup tunas pucuk sengon. Embriogenesis Somatik Metode regenerasi tanaman secara kultur in vitro ada dua macam, yaitu organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis dibedakan menjadi dua macam, yaitu organogenesis langsung dan tidak langsung. Organogenesis langsung adalah proses pembentukan tunas adventif langsung dari eksplan. Tunas adventif yang dihasilkan berupa struktur unipolar dengan jaringan pembuluh masih terhubung dengan jaringan induknya (Qosim 2006). Organogenesis tidak langsung adalah proses pembentukan tunas adventif melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Yeoman 1986). Embriogenesis somatik merupakan suatu proses perkembangan sel somatik membentuk tanaman baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih 2002). Teknik embriogenesis somatik 5 sangat prospektif diterapkan untuk perbanyakan tanaman (Senaretna 1992) karena peluang bibit yang dihasilkan lebih banyak dan waktu yang diperlukan lebih singkat dibandingkan dengan organogenesis. Pada embriogenesis somatik, setiap sel jaringan yang ditanam berpotensi berkembang menjadi individu baru (Roostika et al. 2009). Regenerasi melalui embriogenesis somatik tidak hanya untuk perbanyakan tanaman secara masal tetapi juga untuk mempelajari fisiologi perkembangan embrio dan genetika tanaman transgenik, sintesis senyawa metabolit, serta produksi benih sintetik (de Almeida dan de Almeida 2006). Embriogenesis somatik dibedakan menjadi dua macam, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Embriogenesis langsung adalah proses pembentukan embrio langsung dari eksplan, sedangkan embriogenesis tidak langsung adalah proses pembentukan embrio yang didahului dengan induksi dan proliferasi kalus (Qosim 2006). Respon tanaman untuk menghasilkan kalus embriogenik bervariasi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis eksplan, zat pengatur tumbuh, cahaya, dan asam amino (Ahmed et al. 1996). Dalam proses embriogenesis somatik, sel embriogenik akan mengalami perkembangan secara bertahap seperti pada embriogenesis zigotik (George dan Sherrington 1984). Perkembangan sel-sel embriogenik menjadi embrio somatik ditandai dengan bentuk sel yang berdiferensiasi menjadi bentuk globular, kemudian berubah menjadi bentuk hati, torpedo, lalu fase kotiledon hingga embrio dewasa (Bhojwani dan Razdan 1983). Embrio somatik yang berkembang akan mempunyai dua meristem (bipolar), yaitu meristem apikal yang akan berkembang menjadi bagian tunas dan meristem distal yang akan berkembang menjadi akar (Ammirato 1983). Embriogenesis somatik lebih unggul dibandingkan organogenesis selain karena bipolar, juga karena berasal dari sel tunggal, sehingga jumlah planlet yang dihasilkan lebih banyak dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Selain itu, penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika (Purnamaningsih 2002). METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan September 2015 di Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan induksi kalus adalah daun sengon dari biji yang dikecambahkan secara in vitro. Biji yang digunakan adalah biji lokal dari Usaha Dagang (UD) Tanjung Harapan, Sumedang, Jawa Barat, hasil panen pada bulan September 2013. Bahan yang digunakan sebagai eksplan induksi embriogenesis somatik adalah kalus kompak dari daun yang diinkubasi 6 secara in vitro. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962), serta zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa thidiazuron dan asam amino berupa prolin. Alat Alat-alat yang digunakan yaitu laminar airflow cabinet, autoklaf, botol kultur, alat diseksi, lup, luxmeter, dan peralatan standar laboratorium kultur jaringan. Prosedur Penelitian Perkecambahan Biji Biji sengon dicuci dengan deterjen, dibilas, kemudian direndam selama 15 menit dalam air panas yang sudah dididihkan sebelumnya kemudian dibiarkan terendam dalam air dingin selama 18 jam. Biji akan mengembang dan ukurannya akan membesar dua kali lipat. Biji yang mengembang, selanjutnya dimasukkan ke dalam laminar, direndam dalam 20% (v/v) larutan pemutih-disinfektan komersial dan dikocok selama 15 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril 3 kali. Biji direndam dalam larutan tween 20 pada konsentrasi 2% (v/v) selama 10 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril 3 kali dan dikeringanginkan selama 15 menit. Biji ditanam pada media MS tanpa ZPT dengan temperatur 25±2 ºC pada kondisi terang selama 4 minggu hingga terbentuk tanaman. Induksi Kalus Daun yang digunakan sebagai eksplan untuk induksi kalus adalah daun majemuk berwarna hijau tua yang berada di urutan kedua atau ketiga dari pucuk tanaman berumur 4 minggu yang dikecambahkan secara in vitro (Sunandar 2015). Daun diambil dari tanaman kemudian disayat secara membujur tetapi tidak sampai putus. Daun dikultur pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L (Chabra et al. 2008, Sunandar 2015) selama 4 minggu pada kondisi 7 hari pertama gelap kemudian 21 hari selanjutnya terang dengan temperatur 25±2 ºC hingga terbentuk kalus kompak pada minggu ke-4. Satu botol kultur terdiri atas 5 eksplan. Induksi Embriogenesis Somatik dengan Perlakuan Cahaya Kalus kompak yang terbentuk dipindahkan ke media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L (Sunandar 2015). Satu botol kultur terdapat 5 kalus kompak. Kultur ditempatkan pada ruangan gelap atau terang sesuai dengan perlakuan cahaya. Sumber cahaya berasal dari lampu TL (Tubular lamp) dengan iluminans 2800 lux. Kultur diinkubasi selama 7 minggu pada temperatur 25±2 ºC. Perubahan morfologi kalus dan embrio somatik yang terbentuk diamati setiap 3 hari sekali. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan durasi pencahayaan yang terdiri atas empat taraf, yaitu (1) 28 7 hari terang (28T); (2) 7 hari gelap 21 hari terang (7G21T); (3) 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari terang (7G7T7G7T); dan (4) 14 hari gelap 14 hari terang (14G14T). Tiap taraf percobaan diulang 4 kali dengan 6 botol kultur per ulangan dan tiap botol kultur terdapat 5 eksplan. HASIL Penyediaan Kalus Kompak Tahap awal untuk induksi embriogenesis somatik sengon pada penelitian ini adalah pembentukan kalus kompak sebagai sumber eksplan. Pembentukan kalus diawali dengan pembengkakan eksplan pada 2 mst (minggu setelah tanam), kemudian kalus mulai terbentuk pada bagian sayatan eksplan yang bersentuhan langsung dengan media. Kalus kompak terbentuk setelah 4 mst, dengan ciri berwarna hijau dan strukturnya tidak mudah terpisah (Gambar 1). Keberhasilan induksi kalus kompak pada penelitian ini mencapai 60%-85% dari total eksplan. a b c Gambar 1 Induksi kalus kompak pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L. (a) Eksplan berupa daun sengon pada 0 mst (b) Pembentukan kalus ditandai dengan membengkaknya eksplan dan terbentuknya kalus di bagian sayatan pada 2 mst, (c) Kalus kompak pada 4 mst. Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik Kalus kompak yang dihasilkan pada tahapan sebelumnya, disubkultur pada media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L. Kalus kompak berkembang menjadi kalus embriogenik pada 5 mst atau satu minggu setelah subkultur. Persentase pembentukan kalus embriogenik dari kalus kompak antara 20% sampai 44%. Kalus kompak yang membentuk kalus embriogenik tertinggi pada perlakuan 28 hari terang (28T) (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan terang pada minggu pertama kultur lebih efektif untuk induksi kalus embriogenik dari pada perlakuan gelap. Selanjutnya, kalus embriogenik akan mengalami proses perkembangan embriogenesis yang ditandai dengan munculnya embrio fase globular, hati, torpedo lalu fase kotiledon pada perlakuan 28T (Gambar 2). 8 Tabel 1 Pengaruh perlakuan cahaya terhadap induksi dan proses embriogenesis somatik sengon sampai umur 11 minggu Perlakuan cahaya* Pembentuk kalus embriogenik dari kalus kompak (%)** 28T 7G21T 7G7T7G7T 14G14T 44 25 20 41 Embrio somatik (%)*** Fase globular Fase hati dari Fase kotiledon dari kalus fase globular dari fase hati embriogenik 36 13 100 26 0 0 41 14 0 19 0 0 * Angka menunjukkan jumlah hari, T menunjukkan perlakuan terang, G menunjukkan perlakuan gelap ** Setiap perlakuan diulang 4 kali dengan 6 botol kultur tiap ulangan dan tiap botol terdapat 5 eksplan kalus kompak *** Nilai 0 menunjukkan tidak terbentuknya embrio somatik a b c d Gambar 2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L pada perlakuan 28T. (a) Kalus embriogenik pada akhir 5 mst, (b) Fase globular pada awal 6 mst, (c) Fase hati pada akhir 6 mst, (d) Fase kotiledon pada 8 mst. Persentase pembentukan embrio somatik fase globular dari kalus embriogenik antara 19% sampai 41%. Persentase pembentukan embrio somatik fase globular perlakuan 7G7T7G7T lebih tinggi namun tidak jauh berbeda dengan perlakuan 28T. Embrio somatik fase globular kemudian berkembang menjadi fase hati dengan persentase pembentukan embrio somatik fase hati yaitu 13% pada perlakuan 28T dan 14% pada perlakuan 7G7T7G7T. Embrio somatik fase hati berkembang lebih lanjut menjadi fase kotiledon pada perlakuan 28T dengan persentase sebesar 100% karena seluruh embrio somatik fase hati berhasil berkembang menjadi fase kotiledon, sedangkan fase hati pada perlakuan 7G7T7G7T tidak mampu berkembang menjadi fase kotiledon hingga umur 11 mst. Fase globular pada perlakuan 7G21T dan 14G14T tidak mampu berkembang menjadi fase hati (Tabel 1). Perlakuan cahaya terbaik untuk induksi kalus embriogenik dan pembentukan embrio somatik yaitu perlakuan 28T. Pengaruh Cahaya terhadap Kecepatan Induksi Embriogenesis Somatik Perlakuan cahaya tidak hanya mempengaruhi inisiasi embriogenesis dan pembentukan embrio somatik tetapi juga mempengaruhi kecepatan proses embriogenesis somatik sengon. Pada perlakuan 28T mampu menginisiasi kalus embriogenik dan embrio somatik dengan waktu tercepat dan embrio somatik 9 dapat berkembang hingga fase kotiledon. Perlakuan 7G7T7G7T menghasilkan embrio somatik hingga fase hati, sedangkan perlakuan 7G21T dan 14G14T hanya menghasilkan embrio somatik hingga fase globular. Pada perlakuan 28T, kalus embriogenik terbentuk pertama kali pada akhir minggu ke-5, embrio fase globular pada awal minggu ke-6, embrio fase hati terbentuk pada akhir minggu ke-6, dan embrio fase kotiledon terbentuk pada minggu ke-8 setelah subkultur. Namun, fase kotiledon tidak berkembang lebih lanjut menjadi planlet. Perlakuan lain (7G21T; 7G7T7G7T; 14G14T) menghasilkan kalus embriogenik pada waktu yang bersamaan yaitu pada akhir minggu ke-6 dan diikuti dengan terbentuknya embrio fase globular pada awal minggu ke-7. Perlakuan 7G21T dan 14G14T hanya menghasilkan embrio somatik hingga fase globular, sedangkan perlakuan 7G7T7G7T menghasilkan embrio somatik hingga fase hati pada akhir minggu ke-9 (Gambar 3). Gambar 3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon dari kalus kompak pada perlakuan cahaya yang berbeda: 28 hari terang (28T); 7 hari gelap 21 hari terang (7G21T); 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari terang (7G7T7G7T); 14 hari gelap 14 hari terang (14G14T). PEMBAHASAN Proses induksi embriogenesis somatik sengon pada penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu penyediaan kalus kompak sebagai eksplan, induksi kalus embriogenik, dan proses embriogenesis somatik. Pada tahap penyediaan kalus kompak, eksplan mendapat perlakuan cahaya yang sama. Setelah 4 mst, 85% kalus kompak terbentuk pada bagian eksplan yang tersayat. Kalus kompak yang terbentuk mempunyai ciri berwarna hijau segar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sunandar (2015) yang menyatakan bahwa induksi kalus kompak pada perlakuan 7 hari gelap kemudian terang kontinyu merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan kalus kompak berwarna hijau. Menurut George (1993), perlakuan gelap pada awal induksi kalus dapat menurunkan pencoklatan (browning) pada jaringan eksplan. Pencoklatan dapat menghambat pertumbuhan 10 bahkan dapat menyebabkan kematian jaringan eksplan. Selain itu, perlakuan gelap pada awal induksi kalus dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap hormon serta menjadi sinyal bagi jaringan tanaman untuk menentukan arah perkembangan selanjutnya (Zobayed dan Saxena 2003). Kalus kompak dengan ciri berwarna hijau segar merupakan kalus yang berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik. Kalus kompak yang disubkultur pada media MS diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L berkembang menjadi kalus embriogenik. Kalus embriogenik mempunyai ciri berwarna putih bening atau putih susu, teksturnya tidak kompak (remah), dan mudah memisah (friabel). Kalus embriogenik yang terbentuk selanjutnya mengalami pendewasaan (maturation) yang dicirikan dengan pertambahan volume dan perubahan warna kalus menjadi putih kekuningan, kemudian kuning kecoklatan. Perubahan warna pada kalus mengindikasikan perkembangan kalus yang semakin dewasa (Widyawati 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Avivi et al. (2010) pada embriogenesis somatik kakao yang menyebutkan bahwa perubahan warna kalus yang semula putih kekuningan menjadi kuning kecoklatan merupakan ciri kalus embriogenik yang mengalami pendewasan. Semua perlakuan cahaya pada penelitian ini dapat menghasilkan kalus embriogenik, namun perlakuan terang kontinyu (28T) pada kultur mampu menghasilkan kalus embriogenik dengan persentase tertinggi dibandingkan perlakuan gelap terlebih dahulu pada awal kultur (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa induksi kalus embriogenik sengon dari kalus kompak membutuhkan perlakuan terang di awal kultur. Kalus embriogenik akan mengalami embriogenesis yang ditandai dengan terbentuknya embrio fase globular, hati, torpedo lalu fase kotiledon pada media yang sama yaitu media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L. Sunandar (2015) menyebutkan bahwa embrio somatik pada sengon diduga merupakan respon terhadap tingginya konsentrasi auksin endogen yang disebabkan oleh penambahan thidiazuron pada media. Thidiazuron adalah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang paling aktif dan sesuai digunakan untuk tanaman berkayu (Thomas dan Puthur 2004). Thidiazuron dapat merangsang pembentukan kalus dan embrio somatik pada konsentrasi antara 0,22 sampai 2,20 mg/L (Huetterman dan Preece 1993). Thidiazuron pada konsentrasi rendah pada umumnya digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik (Priadi et al. 2006). Thidiazuron memiliki dua fungsi pada induksi embriogenesis somatik, yaitu berperan sebagai sitokinin yang mendorong pembelahan dan diferensiasi sel (Aboshama 2011), serta menginduksi auksin endogen (Murthy et al. 1996) yang berfungsi untuk merangsang pembentukan embrio somatik. Selain itu, pada media juga ditambahkan asam amino berupa prolin sebagai sumber nitrogen dapat meningkatkan proses embriogenesis somatik (Purnamaningsih 2002). Pada penelitian ini, hanya perlakuan 28T yang menghasilkan embrio somatik hingga fase kotiledon. Pada perlakuan 28T, minggu pertama induksi kalus embriogenik mendapat pencahayaan (terang), sedangkan pada perlakuan lainnya dalam kondisi gelap. Hal ini mengindikasikan bahwa pencahayaan pada tahap awal induksi embriogenesis somatik berperan penting, selain untuk induksi kalus embriogenik juga untuk proses embriogenesis somatik. Fenomena tersebut didukung dari hasil perlakuan lainnya (7G21T, 7G7T7G7T, 14G14T) bahwa kalus embriogenik yang tumbuh dari perlakuan gelap pada minggu awal kultur, 11 proses embriogenesis somatiknya terhambat. Menurut Zobayed dan Saxena (2003), perlakuan gelap pada awal induksi embriogenesis somatik dapat meningkatkan pembentukan hormon endogen yang menyebabkan kandungan auksin terus meningkat sehingga dapat menyebabkan perkembangan embrio somatik terhambat. Perlakuan gelap juga menyebabkan peningkatan sintesis etilen (Sasaki 2002) yang dapat menghambat proses embriogenesis somatik. Embrio somatik yang telah memasuki fase kotiledon pada penelitian ini tidak dapat berkembang menjadi planlet. Hal ini diduga karena embrio somatik yang telah terinduksi mengalami embriogenesis sekunder yang ditandai dengan ukurannya yang besar dan permukaan yang tidak rata sehingga tidak berkembang menjadi planlet (Sunandar 2015). Menurut Sunandar (2015), embrio somatik abnormal pada sengon kemungkinan merupakan respon terhadap tingginya konsentrasi auksin endogen yang disebabkan oleh penggunaan thidiazuron secara kontinyu pada media induksi embriogenesis somatik sengon. Konsentrasi auksin endogen yang tinggi kemungkinan menginduksi pembelahan asimetris pada epidermis embrio somatik primer sengon. Keberadaan auksin pada embrio somatik menghentikan tahap diferensiasi dan mengembalikan jaringan menjadi tidak terdiferensiasi (Terzi dan Lochiavo 1990). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Păunescu (2008) tentang embriogenesis somatik sekunder pada Alyssum borzaeanum yang menyebutkan bahwa pembentukan embrio somatik sekunder ditandai dengan dediferensiasi jaringan parenkim dasar pada embrio somatik primer dan pembelahan sel secara asimetris sehingga embrio menjadi berukuran besar dan menghasilkan struktur embriogenik baru. Pardal (2002) menambahkan bahwa embrio somatik sekunder terbentuk karena terjadi proliferasi pada sel-sel di permukaan embrio somatik primer yang mengakibatkan embrio tidak dapat berdiferensiasi menuju fase selanjutnya. Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pembentukan embrio somatik. Menurut Meneses et al. (2005), adanya cahaya pada tahap induksi embriogenesis somatik dapat membantu pembentukan embrio. Uozumi et al. (1993) juga menyebutkan bahwa cahaya dapat meningkatkan kecepatan pembentukan embrio pada beberapa tanaman. Keperluan cahaya selama proses embriogenesis somatik secara in vitro tergantung pada spesies tanaman yang diuji. Embrio somatik dari beberapa tanaman terinduksi jika eksplan dikultur dalam kondisi terang (Martin dan Nadgauda 2003), sedangkan embrio somatik pada tanaman lain terinduksi jika dikultur dalam kondisi gelap (Gogate et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terang kontinyu untuk induksi embriogenesis somatik menghasilkan embrio somatik yang abnormal. Perlakuan cahaya yang dapat dicoba pada penelitian selanjutnya untuk mengatasi embrio yang abnormal adalah perlakuan terang di awal induksi embriogenesis somatik kemudian dikombinasikan dengan perlakuan gelap. 12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Proses induksi embriogenesis somatik sengon terdiri atas tiga tahap, yaitu penyediaan kalus kompak sebagai eksplan, induksi kalus embriogenik, dan proses embriogenesis somatik. Induksi embriogenesis somatik sengon dari kalus kompak pada media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L dipengaruhi oleh durasi pencahayaan yang bersumber dari lampu TL (Tubular lamp) dengan iluminan 2800 lux. Perlakuan 28 hari terang (28T) menghasilkan kalus embriogenik dengan persentase tertinggi dan pembentukan embrio somatik dengan waktu tercepat hingga membentuk fase kotiledon. Inisiasi kalus embriogenik terjadi pada 5 minggu setelah tanam (mst), yang dilanjutkan dengan proses embriogenesis somatik. Pada perlakuan 28T, fase globular, hati, dan kotiledon berturut-turut terjadi pada awal 6 mst, akhir 6 mst, dan 8 mst. Embrio somatik yang dihasilkan tidak normal karena hanya berkembang sampai pada fase kotiledon. Saran Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan perlakuan cahaya yang berbeda dengan memberikan perlakuan terang di awal induksi embriogenesis somatik kemudian dikombinasikan dengan perlakuan gelap, misalnya 7 hari terang 21 hari gelap, 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap, dan 14 hari terang 14 hari gelap. Selain itu, perlu diteliti lebih lanjut tentang jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk media pendewasaan embrio somatik sengon. Uji lanjut untuk menentukan waktu subkultur kalus embriogenik juga perlu dilakukan sehingga embrio somatik dapat berkembang menjadi planlet atau tanaman. DAFTAR PUSTAKA Aboshama HMS. 2011. Somatic embryogenesis proliferation, maturation, and germination in Cajanus cajan. World J Agric Sci. 7: 86-95. Ahmad AG. 1998. Penggunaan thidiazuron untuk induksi embriogenesis somatik sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ahmed R, Gupta SD, De DN. 1996. Somatic embryogenesis and plant regeneration from leaf derived callus of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus L.). Plant Cell Rep. 15: 531-535. Alrasjid H. 1973. Laporan No 157: Beberapa Keterangan tentang Albizia falcataria (L.) Fosberg. Bogor (ID): LPH (Lembaga Penelitian Hutan). 13 Ammirato V. 1983. The regulation of somatic embryo development in plant cell culture: suspention cultur techniques and hormone requirements. Nature Biotechnol. (1): 68-74. Aris A. 2013. Kajian Pengelolaan hutan rakyat jenis sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen): kasus Desa Kasenet Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Atmosuseno BS. 1999. Budidaya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Avivi S, Prawoto A, Oetami RF. 2010. Regenerasi embriogenesis somatik pada beberapa klon kakao Indonesia dari eksplan bunga. J Agron Indones. 38: 138-143. Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. New York (US): Elsevier. Bonga JM. 1982. Tissue Culture Techniques in Forestry. Boston (US): Martinus Nijhoff publisher. Chabra G, Chaudhary D, Varma M, Sainger M, Jaiwal PK. 2008. TDZ-induced direct shoot organogenesis and somatic embryogenesis on cotyledonary node explants of lentil (Lens culinaris Medik.). Physiol Mol Biol Plants. 14:347-353. Damanik RIM. 1999. Pengembangan metode regenerasi embrio somatik dan proliferasi tunas secara in vitro pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. De Almeida M, de Almeida CV. 2006. Somatic embryogenesis and in vitro plant regeneration from pejibaye adult plant leaf primordial. Pesq Agropec Bras. 41: 1449-1452. [DJK] Direktorat Jendral Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta (ID): Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian. Evans DA, Sharp WR, Flick CE. 1981. Growth and behavior of cell culture: embryogenesis and organogenesis. Di dalam: Thorpe TA, editor. Plant Tissue Culture: Methode and Aplication for Agriculture. Sydney (AU): Academic Press. hlm: 45-53. Fadri A. 2010. Pertumbuhan tanaman sengon (Parserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada kebun campuran di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliyang Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eversley (GB): Exegetics Ltd. George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. Part I. Eversley (GB): Exegetics Ltd. Gogate SS, Nadgauda RS. 2003. Direct induction of somatic embryogenesis from immature zygotic embryo of cashewnut (Anacardium occidentale L.). Sci Hort. 97: 75-82. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor (ID): Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Insitut Pertanian Bogor. Hardiatmi S. 2010. Investasi tanaman kayu sengon dalam wanatani cukup menjanjikan. J Inov Pertan. 9: 17-21. 14 Hartati NS. 2011. Modifikasi kandungan lignin kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) melalui rekaya gen 4-courmarate ligase (4CL) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hartmann HT, Kester DE, Davies FT. 1990. Plant Propagation Principles and Practices. New Jersey (US): Prentice-Hall International Inc. Hatmani SR. 1995. Pengaruh komposisi media dan dosis pupuk NPK terhadap pertumbuhan bibit sengon (Parserianthes falcataria (L.) Nielsen) yang dikembangkan dari benih dan kultur jaringan pada berbagai komposisi media tanam [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hidayat J. 2002. Paraserianthes falcataria. Jakarta (ID): Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Hidayat J, Irianto D, Ochsner P. 2003. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Seed Leaflet. 81: 1-2. Huetterman CA, Preece JE. 1993. Thidiazuron a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell Tiss Org Cult. 33: 105-119. Katuuk JRP. 1989. Tehnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta (ID): Depdikbud Ditjen Pendidikan Tinggi. Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen: Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor (ID): CIFOR Indonesia. Mansur I. 2000. Diversity of rhizobium nodulaty the tree legums Acacia mangium and Paraserianthes falcataria and their interaction with arbuscular mycorhizal fungi in young seedling [tesis]. Canterbury (GB): University of Kent. Martawijaya AI, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Martin KP. 2003. Plant regeneration through direct somatic embryogenesis on seed coat explants of cashew (Anacardium occidentale L.). Sci Hort. 98: 299-304. Meneses A, Dora FD, Munoz M, Arrieta G, Espinoza AM. 2005. Effect of 2,4-D, hydric stress, and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis. Rev Biol Trop. 53: 361-368. Morini S, D’Onotrio C, Bellocchini G, Fisichella M. 2000. Effect 2,4-D and light quality on callus production and differentiation from in vitro cultured quince leaves. Plant Cell Tiss Org Cult. 63: 47-55. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol Plant. 15: 473-497. Murthy BNS, Singh RP, Saxena KP. 1996. Induction of high-frequency somatic embryogenesis in geranium (Pelargonium hortorum Baley cv Ringo Rose) cotyledonary cultures. Plant Cell Rep. 15: 423-426. Olivia RD. 2012. Keragaman genetik populasi sengon (Parserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada hutan rakyat di Jawa berdasarkan penanda RAPD [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pardal SJ. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi pada tanaman kedelai. Bul Agron Bio. 5: 37-44. Păunescu A. 2008. Histological investigation of the secondary somatic embriogenesis of Alyssum borzaeanum (Brassicaceae). Phytol Balcan. 14: 111-118. 15 Philips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration by organogenesis from callus and cell suspension culture. Di dalam: Gamborg OL, Philips GC, editor. Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods. Berlin (DE): Springer-Verlag. hlm: 67-79. Priadi D, Puspitaningrum A, Hartati NS. 2006. Mikropropagasi sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) melalui induksi tunas ketiak kotiledon menggunakan thidiazuron. J Hut Tropi. 2: 55-58. Priadi D, Yeni I, Hartati NS. 2008. Pengaruh zat pengatur tumbuh dan jenis potongan kotiledon terhadap pembentukan kalus sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Rimba Kehut. 13: 65-69. Prihmantoro H. 1991. Budidaya albizia. Trubus Edisi Juni: 34-36. Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Bul Agro Biol. 5: 51-58. Qosim WA. 2006. Studi iradiasi sinar gamma pada kultur kalus nodular manggis untuk meningkatkan keragaman genetik dan morfologi regeneran [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Roostika I, Arief VN, Sunarlim N. 2009. Regenerasi kultur lengkeng dataran rendah CV Diamond River melalui embriogenesis somatik. J Hort. 19: 1422. Santoso. 1992. Budidaya Sengon. Jakarta (ID): Kanisius. Sasaki H. 2002. Brassinolide promotes an adventitious shoot regeneration from cauliflower hypocotil segment. Plant Cell Tiss Org Cult. 71: 111-116. Senaretna. 1992. Artificial seeds. Biotechnol Adv. 10: 379-392. Sinha RK, Mallick R. 1993. Regeneration and multiplication of shoot in Albizia falcataria. Plant Cell Tiss Org Cult. (32): 259-261. Siregar I Z, Yunanto T, Ratnasari J. 2011. Kayu Sengon. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor (ID): Plant Resources of South-East Asia, PROSEA. Sudarmonowati E, Adisoemarto S, Soetisna U, Priadi D, Hartati S, Rachmawati S, Mulyaningsih ES. 1998. Laporan Teknik Proyek pengembangan Bioteknologi: Pengembangan Teknologi Konservasi Tanaman Secara In Vitro. Bogor (ID): Puslitbang Bioteknologi LIPI. Sulistiani E. 1997. Studi pembentukan kalus embrional dan introduksi gen marker dengan bantuan Agrobacterium tumifaciens pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumarna K. 1961. Tabel Tegakan Normal Sementara untuk Albizia falcataria. Bogor (ID): Lembaga Penelitian Kehutanan. Sumiasri N, Priadi D, Yokota S, Yoshizawa N. 2006. Tissue culture of fast growing tropical trees in Indonesia: Mangium (Acacia mangium Wild) and Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Di dalam: Immamura Y, Umezawa T, Hata T, editor. 6th International Wood Science Symposium, Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resource; 2005 Agustus 29-31; Bali, Indonesia. Kyoto (JP): Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University. hlm 123-130. 16 Sunandar A. 2015. Induksi embriogenesis somatik sengon (Falcataria moluccana) dengan perlakuan thidiazuron, prolin, dan cahaya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Susila IWW. 2011. Model dugaan volume dan riap tegakan sengon (Paraserianthes falcataria Backer) di Desa Suter Kintamani Bali. Agroteksos. 21: 29-38. Syamsudin MA. 2003. Kultur in vitro sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Terzi M, Loschiavo F. 1990. Somatic embryogenesis. Di dalam: Bhojwani SS, editor. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Amsterdam, Nederland. Amsterdam (NL): Elsevier, hlm 54-66. Thomas TD, Puthur JT. 2004. Thidiazuron induced high frequency shoot organogenesis in callus from Kigelia pinnata. Bot Bull Acad Sin. 45: 307313. Uozumi N, Kohketsu K, Okamoto A, Kobayashi T. 1993. Light dependency in celery somatic embryogenesis and planlet development in suspension culture. Plant Tiss Cult Lett. 10: 25-32. Widyastuti DE. 2007. Keragaman genetik dengan penanda RAPD fenotipa pertumbuhan dan pendugaan heritabilitas pada sengon (Parserianthes falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widyawati G. 2010. Pengaruh variasi konsentrasi NAA dan BAP terhadap induksi kalus jarak pagar (Jatropha curcas L.) [tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. William RR. 2005. The In vitro Environment, Supplement for Short Course on Plant Tissue Culture. Brisbane (AU): University of Queensland. Yeoman MM. 1986. Plant Cell Culture Technology, Botanical Monographs Vol.23. London (GB): Blackwell Scientific Publication. Zobayed SMA, Saxena PK. 2003. In vitro regeneration of Echinacea purpurea L.: Enhancement of somatic embryogenesis by indolebutyric acid and dark preincubation. In vitro Cell Dev Biol Plant. 39: 605-61 17 Lampiran 1 Komposisi media dasar MS (Murashige Skoog) Bahan Kimia Konsentrasi (mg/L) Hara Makro 1650 NH4NO3 1900 KNO3 440 CaCl2·2H2O 370 MgSO4·7H2O 170 KH2PO4 Hara Mikro 22,3 MnSO4·4H2O 8,6 ZnSO4·7H2O 6,2 H3BO3 0,83 KI 0,25 Na2MoO4·2H2O 0,025 CuSO4·5H2O 0,025 CoCl·6H2O Iron 37,3 Na2EDTA 27,8 FeSO4·7H2O Vitamin 2 Glycine 0,5 Nicotine Acid 0,5 Pyrodoxin HCL 0,1 Thyamine HCL 100 Myo Inositol 30000 Sukrosa 3000 Gellan gum pH 5,6 - 5,8 Sumber: Murashige dan Skoog (1962) 19 18 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 09 Desember 1992, merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Toha Mahfudi dan Ibu Khusnul Khotimah. Penulis lulus dari SDN 8 Tembokrejo Muncar Banyuwangi tahun 2005, kemudian lulus dari SMPN 1 Srono Banyuwangi pada tahun 2008, dan lulus dari SMAN 1 Genteng Banyuwangi pada tahun 2011. Penulis diterima di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan pada tahun 2011. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kepengurusan Gugus Disiplin Asrama (GDA) 2011-2012, Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) 20112012, Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Biologi (BP Himabio) 2012-2013, Serambi Ruhiyah Mahasiswa G (SerumG) FMIPA 2012-2014, serta Bimbingan Remaja dan Anak (Birena) LDK Al-Hurriyyah 2011-2015. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI), Biologi Dasar, dan Kultur Jaringan Tanaman. Selama menempuh studi di Departemen Biologi, penulis melaksanakan studi lapang di Taman Wisata Alam Telaga Warna Cisarua Bogor Jawa Barat pada tanggal 02 Juli sampai 04 Juli 2013, dengan laporan berjudul “Interaksi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Pengunjung di Taman Wisata Alam Telaga Warna” dibimbing oleh Dr Kanthi Arum Widayati. Selain itu, penulis juga melaksanakan praktik lapang di PT. Blambangan Food Packer Indonesia (BFPI) Muncar Banyuwangi Jawa Timur pada tanggal 26 Juni sampai 24 Juli 2014, dengan laporan berjudul “Produksi dan Quality Control Pengalengan Ikan Sarden (Sardinella longiceps) Di PT. BFPI” dibimbing oleh Dr Ir Ibnul Qayim.