Templat tugas akhir S1

advertisement
INDUKSI DAN PROSES EMBRIOGENESIS SOMATIK
SENGON (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes)
DIPENGARUHI PERLAKUAN CAHAYA
RIFKI WAHYUNINGTIYAS
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi dan Proses
Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby &
Grimes) Dipengaruhi Perlakuan Cahaya adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Rifki Wahyuningtiyas
NIM G34110020
ABSTRAK
RIFKI WAHYUNINGTIYAS. Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik
Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Dipengaruhi Perlakuan
Cahaya. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan DORLY.
Sengon merupakan tanaman berkayu yang cepat tumbuh dan banyak
dibudidayakan karena kayunya mempunyai berbagai macam manfaat. Namun
kebutuhan bibit sengon belum dapat terpenuhi disebabkan proses perbanyakan
bibit secara konvensional memerlukan waktu yang lama dan kualitas bibit yang
dihasilkan tidak seragam. Oleh karena itu, diperlukan teknik perbanyakan yang
efektif untuk meningkatkan penyediaan bibit yang berkualitas. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah menggunakan teknik kultur jaringan tanaman melalui
embriogenesis somatik. Penelitian yang telah dilakukan tentang embriogenesis
somatik sengon belum mampu menghasilkan bibit sengon. Penelitian ini bertujuan
menguji dan membandingkan perlakuan cahaya untuk optimalisasi embriogenesis
somatik sengon. Perlakuan cahaya untuk induksi dan proses embriogenesis yang
dicoba pada penelitian ini terdiri atas empat macam, yaitu 28 hari terang (28T), 7
hari gelap 21 hari terang (7G21T), 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari
terang (7G7T7G7T), dan 14 hari gelap 14 hari terang (14G14T). Perlakuan cahaya
dengan iluminan 2800 lux diberikan setelah kalus kompak disubkultur pada media
MS diperkaya dengan thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan cahaya telah meningkatkan pembentukan kalus
embriogenik dan mempercepat proses pembentukan embrio somatik pada
perlakuan 28T. Namun embrio somatik yang dihasilkan tidak normal karena
hanya berkembang sampai pada fase kotiledon.
Kata kunci: cahaya, embriogenesis somatik, kalus embriogenik, sengon
ABSTRACT
RIFKI WAHYUNINGTIYAS. Induction and Process of Somatic Embryogenesis
in Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Through Light
Treatments. Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and DORLY.
Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) is a fast-growing
woody plant that widely cultivated because it has a lot of benefits. However, the
needs of sengon seedlings cannot be fulfilled because the conventional cultivation
takes more time and it results various qualities. Therefore, the effective cultivation
is required to improve the supply and quality of seedlings. One of them is the
plant tissue culture technique through somatic embryogenesis. The previous
studies have not been able to produce sengon seedlings through somatic embryo.
This research aims at comparing of the effective light treatments to optimize
somatic embryogenesis of sengon. There were 4 kinds of light treatments during
callus incubation in this research which were 28 days light (28T), 7 days dark 21
days light (7G21T), 7 days dark 7 days light 7 days dark 7 days light
(7G7T7G7T), and 14 days dark 14 days light (14G14T). Light treatments with
2800 lux illuminances were given after the compact callus was subcultured on MS
medium which was enriched with 1 mg/L thidiazuron and 1.8 g/L proline. The
result showed that the light treatments had enhanched embryogenic callus
formation and had accelerated the processing of somatic embryo formation in
28T. However, somatic embryo products were abnormal because they only
developed to the cotyledon stage.
Keywords: embryogenic callus, Falcataria moluccana, light, somatic embryogenesis
INDUKSI DAN PROSES EMBRIOGENESIS SOMATIK
SENGON (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes)
DIPENGARUHI PERLAKUAN CAHAYA
RIFKI WAHYUNINGTIYAS
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala
atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya
tulis dengan judul “Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik Sengon
(Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) Dipengaruhi Perlakuan Cahaya”
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari kegiatan pembuatan karya tulis ini tidak dapat berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Dr Ir Ence Darmo
Jaya Supena, MSi dan Dr Ir Dorly, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu memberikan pengarahan dan nasihat dari sebelum dimulainya penelitian ini
hingga karya tulis ini diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi sebagai dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran. Terima kasih kepada Ari Sunandar, MSi yang telah
memberikan pengarahan di laboratorium selama penulis melakukan penelitian.
Penulis ucapkan terima kasih kepada ibu dan suami tercinta yang selalu
mendoakan serta memberi dukungan. Terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan Biologi 48, Birena Al-Hurriyyah, serta semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu atas motivasi dan bantuan selama penulis
melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Maret 2016
Rifki Wahyuningtiyas
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Botani Umum Sengon
2
Kultur Jaringan Sengon
4
Embriogenesis Somatik
4
METODE
5
Waktu dan Tempat
5
Bahan
5
Alat
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL
7
Penyediaan Kalus Kompak
7
Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik
7
Pengaruh Cahaya terhadap Kecepatan Induksi Embriogenesis Somatik
8
PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
9
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL
1 Pengaruh perlakuan cahaya terhadap induksi dan
embriogenesis somatik sengon sampai umur 11 minggu
proses
8
DAFTAR GAMBAR
1 Induksi kalus kompak pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L
2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS ditambah
thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L pada perlakuan 28T
3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon pada
perlakuan cahaya yang berbeda
7
8
9
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media dasar MS (Murashige Skoog)
17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) adalah tanaman
berkayu yang pertumbuhannya cepat serta mampu beradaptasi pada berbagai jenis
tanah sehingga menjadi salah satu jenis pohon unggulan dalam program
pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat di Indonesia (Krisnawati et
al. 2011). Sengon mempunyai manfaat ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis
sengon di antaranya mampu memperbaiki kesuburan tanah karena bersimbiosis
dengan bakteri Rhizhobium sehingga dapat memfiksasi nitrogen bebas dari udara
(Mansur 2000), serta tegakan sengon dapat menahan erosi tanah dan air
(Widyastuti 2007). Manfaat ekonomis sengon terbesar ialah dari pengolahan
kayunya. Kayu sengon dapat diolah menjadi bahan baku pulp, kayu lapis, bahan
konstruksi ringan (misalnya panel, perabotan, dan kabinet), bahan kemasan ringan
(misalnya peti, kotak kayu, dan palet), korek api, serta alat musik (Soerianegara
dan Lemmens 1993). Selain itu, manfaat ekonomis sengon nonkayu yaitu daun
sengon dapat digunakan sebagai pakan ternak yang baik karena mengandung
protein tinggi. Tajuk pohonnya yang rindang dapat dimanfaatkan sebagai pohon
penaung di beberapa areal perkebunan (Hardiatmi 2010), serta kulit kayunya yang
mengandung tanin dapat digunakan sebagai penyamak (Olivia 2012).
Pemanfaatan kayu sengon dalam jumlah besar harus diimbangi budidaya
yang didukung dengan usaha untuk memperbanyak bibit sengon. Pembibitan
sengon secara konvensional dapat dilakukan melalui pembibitan langsung dari biji
atau stump (tunggul pohon), melalui pencangkokan maupun stek. Namun,
pembibitan secara konvensional tersebut memiliki beberapa kekurangan, di
antaranya membutuhkan waktu yang lama, kualitas bibit yang belum tentu baik,
dan bibit yang dihasilkan tidak seragam. Oleh karena itu, pengembangan teknik
pembibitan yang efektif diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas
bibit sengon, di antaranya menggunakan teknik kultur jaringan. Penggunaan
kultur jaringan memungkinkan diperoleh bibit yang berkualitas baik, seragam, dan
dapat diperbanyak dalam jumlah besar serta tersedia dalam waktu cepat
(Hartmann et al. 1990). Teknik kultur jaringan yang dapat dilakukan untuk tujuan
ini salah satunya melalui embriogenesis somatik.
Regenerasi melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan organogenesis karena embrio somatik mempunyai struktur
bipolar yang mengandung meristem tunas apikal (pucuk) dan akar. Embrio
somatik akan berkembang melalui pembelahan kedua meristem tersebut untuk
membentuk tanaman utuh sama seperti dari embrio zigotik atau biji (Philips et al.
1995). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan embriogenesis somatik, di
antaranya sumber eksplan yang digunakan, komposisi nitrogen dan karbohidrat,
jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, serta kondisi lingkungan (Ammirato
1983). Kondisi lingkungan yang mempengaruhi di antaranya suhu, kelembapan,
dan cahaya (William 2005). Cahaya merupakan faktor lingkungan yang kompleks
dengan berbagai komponen sinyal seperti kualitas cahaya, intensitas cahaya,
fotoperiode, dan arah cahaya yang secara berbeda akan memodulasi berbagai
aspek perkembangan tanaman. Kualitas cahaya dan fotoperiode merupakan faktor
2
yang paling berpengaruh terhadap morfogenesis tanaman secara in vitro (Morini
et al. 2000).
Penelitian tentang embriogenesis somatik sengon telah dilakukan
menggunakan berbagai macam eksplan antara lain tunas apikal, tunas aksilar, biji,
dan daun muda. Sulistiani (1997) melaporkan bahwa eksplan berupa biji setengah
tua (immature) yang dikultur pada media MS (Murashige Skoog) ditambah
kinetin 0,5 mg/L dan 2,4-D 1-3 mg/L dapat menginduksi kalus embriogenik
sebanyak 80%-100%. Eksplan berupa aksis embrio yang dikultur pada media MS
diperkaya dengan thidiazuron 2 mg/L dan IAA (Indole 3 Acetic Acid) 0,05 mg/L
dapat menginduksi kalus embriogenik (Sumiasri et al. 2006, Priadi et al. 2008).
Penggunaan media MS ditambah thidiazuron 1,5 mg/L dengan masa
penginduksian selama 8 minggu merupakan perlakuan terbaik untuk menginduksi
kalus embriogenik sengon, namun tidak sampai membentuk embrio somatik
(Ahmad 1998).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Hartati (2011) menunjukkan bahwa
eksplan aksis embrio yang dikultur pada media MS ditambah thidiazuron 0,1
mg/L dan IAA 0,25 mg/L dapat menginduksi kalus embriogenik hingga
berkembang menjadi embrio somatik, tetapi tidak dapat berkembang menjadi
planlet. Sunandar (2015) menyatakan bahwa media MS diperkaya thidiazuron 1
mg/L dan prolin 1,8 g/L, serta perlakuan tujuh hari pertama gelap kemudian
dipindah ke terang kontinyu pada hari berikutnya merupakan kombinasi perlakuan
terbaik meskipun belum berhasil membentuk planlet atau bibit sengon.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji dan membandingkan durasi pencahayaan
untuk optimalisasi embriogenesis somatik sengon dari kalus kompak agar
dihasilkan embrio somatik normal.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Umum Sengon
Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & Grimes) dikelompokkan
ke dalam Famili Leguminoceae dengan Sub-famili Mimosoidae. Rata-rata
pertumbuhan sengon pada umur 2 tahun mencapai tinggi 13 m dengan diameter
15 cm, pada umur 4 tahun tingginya mencapai 17 m dengan diameter 27 cm
(Fadri 2010). Pertumbuhan sengon selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m
dengan diameter mencapai 100 cm (Atmosuseno 1999). Menurut Hidayat (2002),
pertumbuhan diameter sengon yang baik rata-rata 7 cm per tahun dan
pertambahan tingginya 8 m per tahun dalam tahun pertama penanaman. Rata-rata
pertambahan tinggi pohon sengon pada umur 2 sampai 5 tahun yaitu 4 m per
tahun. Pada umur 8-9 tahun pertambahan tinggi mencapai 1-1,5 m, sedangkan
pada umur 10 tahun pertambahan tinggi sekitar 1 m per tahun. Pertambahan tinggi
sengon berkurang seiring dengan bertambahnya umur pohon (Hatmani 1995).
3
Pertambahan diameter batang sengon juga mengalami penurunan seiring dengan
pertambahan umur pohon. Sumarna (1961) menyebutkan bahwa rata-rata
pertambahan diameter batang sengon pada tahun pertama penanaman hingga
umur 6 tahun mencapai 4-5 cm. Susila (2011) menambahkan, pada umur 8-9
tahun pertambahan diameter batang sengon sekitar 3 cm per tahun, pada umur 10
tahun pertambahannya mencapai 2,1 cm per tahun. Sengon biasanya dipanen saat
berumur kurang dari 10 tahun, karena umur tersebut merupakan waktu pemanenan
yang paling baik serta dalam upaya untuk menghindari busuk akar (Aris 2013).
Sengon mempunyai tajuk yang lebar mendatar, namun apabila tumbuh di
tempat terbuka cenderung memiliki kanopi berbentuk seperti payung. Batang
sengon umumnya tidak berbanir, tumbuh lurus, dan berbentuk silindris. Kulit
luarnya berwarna putih keabu-abuan, tidak beralur, dan tidak mengelupas
(Martawijaya et al. 1989). Sengon mempunyai daun majemuk menyirip ganda
dengan panjang mencapai 40 cm. Satu tangkai daun terdiri atas 15-25 anak daun
berbentuk lonjong. Panjang anak daun antara 6-12 mm dan lebarnya antara 3-5
mm (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Sengon mulai berbunga sejak umur 3 tahun, pada bulan Maret-Juni dan
Oktober-Desember. Penyerbukan bunga sengon dibantu oleh angin dan serangga
(Santoso 1992). Bunga sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm
dan berwarna putih kekuningan. Bunga sengon bertipe hermaprodit terdiri atas
bunga jantan dan bunga betina dalam satu bunga (Soerianegara dan Lemmens
1993). Bunga sengon memiliki panjang kelopak bunga antara 2-2,5 mm, serta
panjang daun mahkota antara 5-7 mm (DJK 1976).
Sengon biasanya berbuah pada bulan Juli-September dan Januari-Februari
(Santoso 1992). Buah sengon matang sekitar 2 bulan setelah pembungaan
(Hidayat et al. 2003). Buah sengon berbentuk polong yang retak pada kedua
sisinya saat sudah tua (mature) (Alrasjid 1973). Buahnya pipih, tipis, tidak
bersekat, dan berukuran panjang antara 10-13 cm serta lebar 2 cm. Setiap polong
berisi 15-20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, dan
berkulit keras, serta berwarna hijau ketika masih muda kemudian berubah menjadi
coklat kehitaman ketika sudah tua. Biji sengon mempunyai lebar dan panjang
antara 3-4 mm dan 6-7 mm (Siregar et al. 2011).
Sengon merupakan jenis pohon daerah tropis yang mampu tumbuh optimal
pada suhu antara 22-29 °C. Tempat tumbuh terbaik untuk sengon yaitu pada
ketinggian 10-800 mdpl, terletak antara 10 ºLS - 3 ºLU yang memiliki 15 hari
hujan dalam 4 bulan kering. Curah hujan tahunan yang optimal untuk
pertumbuhan sengon ialah 2000-2700 mm, kelembapan udara yang dibutuhkan
untuk tumbuh berkisar 50%-75% (Prihmantoro 1991).
Sengon memiliki beragam manfaat dari daun, batang hingga perakarannya.
Sengon juga bisa menjadi pohon alternatif yang dapat ditanam secara ekstensif
untuk tujuan rehabilitasi lahan marginal karena sengon mempunyai kemampuan
memperbaiki struktur tanah di sekitarnya. Kelebihan lain dari sengon yaitu
kemampuannya tumbuh pada tanah berkadar garam tinggi. Kemampuan ini
memungkinkan tetap tersedianya kawasan hijau sebagai area tangkapan air di
daerah pesisir yang terpengaruh oleh air laut (Hardiatmi 2010).
4
Kultur Jaringan Sengon
Kultur jaringan tanaman merupakan cara untuk memperbanyak tanaman
secara cepat dengan menggunakan potongan jaringan tanaman (eksplan) yang
ditumbuhkan pada lingkungan aseptik secara in vitro, sehingga menghasilkan
tanaman yang seragam dalam jumlah banyak. Kultur jaringan didasarkan pada
sifat totipotensi sel, yaitu setiap sel tanaman mampu tumbuh menjadi tanaman
utuh saat ditempatkan pada lingkungan yang sesuai (Bonga 1982). Faktor yang
berpengaruh dalam keberhasilan kultur jaringan tanaman adalah penambahan zat
pengatur tumbuh yang tepat pada media serta kondisi lingkungan kultur yang
sesuai (Katuuk 1989).
Eksplan merupakan bagian dari tanaman yang dipotong dan ditumbuhkan
pada media kultur (George dan Sherrington 1984). Setiap bagian tanaman dapat
digunakan sebagai eksplan, tetapi sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lebih
sulit tumbuh dibandingkan dengan sel-sel yang masih bersifat meristematik.
Eksplan dapat diambil dari tunas pucuk, tunas aksilar, ujung akar, atau daun
muda. Pemilihan eksplan harus memperhatikan organ sumber eksplan, umur
tanaman induk, kualitas tanaman induk, dan musim saat eksplan diambil
(Gunawan 1992). Ukuran eksplan juga berpengaruh terhadap keberhasilan kultur
jaringan tanaman, yaitu eksplan yang sangat kecil membutuhkan media dengan
penambahan zat pengatur tumbuh yang lebih kompleks untuk membentuk
morfologi tanaman secara lengkap dibandingkan dengan eksplan yang ukurannya
besar (Evans et al. 1981).
Penelitian kultur jaringan tanaman sengon yang sudah dilakukan antara lain
regenerasi dan multiplikasi tunas sengon secara in vitro oleh Sinha dan Mallick
(1993) menggunakan media MS ditambah BA (Benzyladenin) 2 mg/L. Damanik
(1999) melakukan penelitian tentang embriogenesis somatik sengon yang
menunjukkan bahwa eksplan kotiledon setengah tua yang dikultur pada media MS
ditambah 2,4-D 4 mg/L atau pikloram 12 mg/L mampu menginduksi kalus
embriogenik. Penelitian tentang kriopreservasi sengon yang dilakukan oleh
Sudarmonowati et al. (1998) dengan metode vitrifikasi (Gliserol 20% + Etilen
glikol + DMSO 10% + Sukrosa 0,3 M) mampu meningkatkan daya hidup tunas
pucuk sengon.
Embriogenesis Somatik
Metode regenerasi tanaman secara kultur in vitro ada dua macam, yaitu
organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis dibedakan menjadi dua macam,
yaitu organogenesis langsung dan tidak langsung. Organogenesis langsung adalah
proses pembentukan tunas adventif langsung dari eksplan. Tunas adventif yang
dihasilkan berupa struktur unipolar dengan jaringan pembuluh masih terhubung
dengan jaringan induknya (Qosim 2006). Organogenesis tidak langsung adalah
proses pembentukan tunas adventif melalui pembentukan kalus terlebih dahulu
(Yeoman 1986).
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses perkembangan sel somatik
membentuk tanaman baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik
tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih 2002). Teknik embriogenesis somatik
5
sangat prospektif diterapkan untuk perbanyakan tanaman (Senaretna 1992) karena
peluang bibit yang dihasilkan lebih banyak dan waktu yang diperlukan lebih
singkat dibandingkan dengan organogenesis. Pada embriogenesis somatik, setiap
sel jaringan yang ditanam berpotensi berkembang menjadi individu baru
(Roostika et al. 2009). Regenerasi melalui embriogenesis somatik tidak hanya
untuk perbanyakan tanaman secara masal tetapi juga untuk mempelajari fisiologi
perkembangan embrio dan genetika tanaman transgenik, sintesis senyawa
metabolit, serta produksi benih sintetik (de Almeida dan de Almeida 2006).
Embriogenesis somatik dibedakan menjadi dua macam, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Embriogenesis langsung adalah proses pembentukan
embrio langsung dari eksplan, sedangkan embriogenesis tidak langsung adalah
proses pembentukan embrio yang didahului dengan induksi dan proliferasi kalus
(Qosim 2006). Respon tanaman untuk menghasilkan kalus embriogenik bervariasi
bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis eksplan, zat pengatur tumbuh, cahaya,
dan asam amino (Ahmed et al. 1996).
Dalam proses embriogenesis somatik, sel embriogenik akan mengalami
perkembangan secara bertahap seperti pada embriogenesis zigotik (George dan
Sherrington 1984). Perkembangan sel-sel embriogenik menjadi embrio somatik
ditandai dengan bentuk sel yang berdiferensiasi menjadi bentuk globular,
kemudian berubah menjadi bentuk hati, torpedo, lalu fase kotiledon hingga
embrio dewasa (Bhojwani dan Razdan 1983). Embrio somatik yang berkembang
akan mempunyai dua meristem (bipolar), yaitu meristem apikal yang akan
berkembang menjadi bagian tunas dan meristem distal yang akan berkembang
menjadi akar (Ammirato 1983). Embriogenesis somatik lebih unggul
dibandingkan organogenesis selain karena bipolar, juga karena berasal dari sel
tunggal, sehingga jumlah planlet yang dihasilkan lebih banyak dan dapat
diperoleh dalam waktu yang singkat. Selain itu, penggunaan embrio somatik dapat
mempercepat keberhasilan program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika
(Purnamaningsih 2002).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan September 2015 di
Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan induksi kalus adalah daun
sengon dari biji yang dikecambahkan secara in vitro. Biji yang digunakan adalah
biji lokal dari Usaha Dagang (UD) Tanjung Harapan, Sumedang, Jawa Barat,
hasil panen pada bulan September 2013. Bahan yang digunakan sebagai eksplan
induksi embriogenesis somatik adalah kalus kompak dari daun yang diinkubasi
6
secara in vitro. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige dan
Skoog 1962), serta zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa thidiazuron dan asam
amino berupa prolin.
Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu laminar airflow cabinet, autoklaf, botol
kultur, alat diseksi, lup, luxmeter, dan peralatan standar laboratorium kultur
jaringan.
Prosedur Penelitian
Perkecambahan Biji
Biji sengon dicuci dengan deterjen, dibilas, kemudian direndam selama 15
menit dalam air panas yang sudah dididihkan sebelumnya kemudian dibiarkan
terendam dalam air dingin selama 18 jam. Biji akan mengembang dan ukurannya
akan membesar dua kali lipat. Biji yang mengembang, selanjutnya dimasukkan ke
dalam laminar, direndam dalam 20% (v/v) larutan pemutih-disinfektan komersial
dan dikocok selama 15 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril 3 kali. Biji
direndam dalam larutan tween 20 pada konsentrasi 2% (v/v) selama 10 menit,
kemudian dibilas dengan akuades steril 3 kali dan dikeringanginkan selama 15
menit. Biji ditanam pada media MS tanpa ZPT dengan temperatur 25±2 ºC pada
kondisi terang selama 4 minggu hingga terbentuk tanaman.
Induksi Kalus
Daun yang digunakan sebagai eksplan untuk induksi kalus adalah daun
majemuk berwarna hijau tua yang berada di urutan kedua atau ketiga dari pucuk
tanaman berumur 4 minggu yang dikecambahkan secara in vitro (Sunandar 2015).
Daun diambil dari tanaman kemudian disayat secara membujur tetapi tidak
sampai putus. Daun dikultur pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L
(Chabra et al. 2008, Sunandar 2015) selama 4 minggu pada kondisi 7 hari pertama
gelap kemudian 21 hari selanjutnya terang dengan temperatur 25±2 ºC hingga
terbentuk kalus kompak pada minggu ke-4. Satu botol kultur terdiri atas 5 eksplan.
Induksi Embriogenesis Somatik dengan Perlakuan Cahaya
Kalus kompak yang terbentuk dipindahkan ke media MS yang diperkaya
thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L (Sunandar 2015). Satu botol kultur terdapat
5 kalus kompak. Kultur ditempatkan pada ruangan gelap atau terang sesuai
dengan perlakuan cahaya. Sumber cahaya berasal dari lampu TL (Tubular lamp)
dengan iluminans 2800 lux. Kultur diinkubasi selama 7 minggu pada temperatur
25±2 ºC. Perubahan morfologi kalus dan embrio somatik yang terbentuk diamati
setiap 3 hari sekali.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan perlakuan durasi pencahayaan yang terdiri atas empat taraf, yaitu (1) 28
7
hari terang (28T); (2) 7 hari gelap 21 hari terang (7G21T); (3) 7 hari gelap 7 hari
terang 7 hari gelap 7 hari terang (7G7T7G7T); dan (4) 14 hari gelap 14 hari terang
(14G14T). Tiap taraf percobaan diulang 4 kali dengan 6 botol kultur per ulangan
dan tiap botol kultur terdapat 5 eksplan.
HASIL
Penyediaan Kalus Kompak
Tahap awal untuk induksi embriogenesis somatik sengon pada penelitian
ini adalah pembentukan kalus kompak sebagai sumber eksplan. Pembentukan
kalus diawali dengan pembengkakan eksplan pada 2 mst (minggu setelah tanam),
kemudian kalus mulai terbentuk pada bagian sayatan eksplan yang bersentuhan
langsung dengan media. Kalus kompak terbentuk setelah 4 mst, dengan ciri
berwarna hijau dan strukturnya tidak mudah terpisah (Gambar 1). Keberhasilan
induksi kalus kompak pada penelitian ini mencapai 60%-85% dari total eksplan.
a
b
c
Gambar 1 Induksi kalus kompak pada media MS ditambah thidiazuron 1 mg/L.
(a) Eksplan berupa daun sengon pada 0 mst (b) Pembentukan kalus
ditandai dengan membengkaknya eksplan dan terbentuknya kalus di
bagian sayatan pada 2 mst, (c) Kalus kompak pada 4 mst.
Induksi dan Proses Embriogenesis Somatik
Kalus kompak yang dihasilkan pada tahapan sebelumnya, disubkultur pada
media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L. Kalus kompak
berkembang menjadi kalus embriogenik pada 5 mst atau satu minggu setelah
subkultur. Persentase pembentukan kalus embriogenik dari kalus kompak antara
20% sampai 44%. Kalus kompak yang membentuk kalus embriogenik tertinggi
pada perlakuan 28 hari terang (28T) (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa
perlakuan terang pada minggu pertama kultur lebih efektif untuk induksi kalus
embriogenik dari pada perlakuan gelap. Selanjutnya, kalus embriogenik akan
mengalami proses perkembangan embriogenesis yang ditandai dengan munculnya
embrio fase globular, hati, torpedo lalu fase kotiledon pada perlakuan 28T
(Gambar 2).
8
Tabel 1 Pengaruh perlakuan cahaya terhadap induksi dan proses embriogenesis
somatik sengon sampai umur 11 minggu
Perlakuan
cahaya*
Pembentuk kalus
embriogenik dari kalus
kompak (%)**
28T
7G21T
7G7T7G7T
14G14T
44
25
20
41
Embrio somatik (%)***
Fase globular
Fase hati dari Fase kotiledon
dari kalus
fase globular
dari fase hati
embriogenik
36
13
100
26
0
0
41
14
0
19
0
0
* Angka menunjukkan jumlah hari, T menunjukkan perlakuan terang, G menunjukkan perlakuan
gelap
** Setiap perlakuan diulang 4 kali dengan 6 botol kultur tiap ulangan dan tiap botol terdapat 5
eksplan kalus kompak
*** Nilai 0 menunjukkan tidak terbentuknya embrio somatik
a
b
c
d
Gambar 2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS ditambah
thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L pada perlakuan 28T. (a) Kalus
embriogenik pada akhir 5 mst, (b) Fase globular pada awal 6 mst, (c)
Fase hati pada akhir 6 mst, (d) Fase kotiledon pada 8 mst.
Persentase pembentukan embrio somatik fase globular dari kalus
embriogenik antara 19% sampai 41%. Persentase pembentukan embrio somatik
fase globular perlakuan 7G7T7G7T lebih tinggi namun tidak jauh berbeda dengan
perlakuan 28T. Embrio somatik fase globular kemudian berkembang menjadi fase
hati dengan persentase pembentukan embrio somatik fase hati yaitu 13% pada
perlakuan 28T dan 14% pada perlakuan 7G7T7G7T. Embrio somatik fase hati
berkembang lebih lanjut menjadi fase kotiledon pada perlakuan 28T dengan
persentase sebesar 100% karena seluruh embrio somatik fase hati berhasil
berkembang menjadi fase kotiledon, sedangkan fase hati pada perlakuan
7G7T7G7T tidak mampu berkembang menjadi fase kotiledon hingga umur 11 mst.
Fase globular pada perlakuan 7G21T dan 14G14T tidak mampu berkembang
menjadi fase hati (Tabel 1). Perlakuan cahaya terbaik untuk induksi kalus
embriogenik dan pembentukan embrio somatik yaitu perlakuan 28T.
Pengaruh Cahaya terhadap Kecepatan Induksi Embriogenesis Somatik
Perlakuan cahaya tidak hanya mempengaruhi inisiasi embriogenesis dan
pembentukan embrio somatik tetapi juga mempengaruhi kecepatan proses
embriogenesis somatik sengon. Pada perlakuan 28T mampu menginisiasi kalus
embriogenik dan embrio somatik dengan waktu tercepat dan embrio somatik
9
dapat berkembang hingga fase kotiledon. Perlakuan 7G7T7G7T menghasilkan
embrio somatik hingga fase hati, sedangkan perlakuan 7G21T dan 14G14T hanya
menghasilkan embrio somatik hingga fase globular.
Pada perlakuan 28T, kalus embriogenik terbentuk pertama kali pada akhir
minggu ke-5, embrio fase globular pada awal minggu ke-6, embrio fase hati
terbentuk pada akhir minggu ke-6, dan embrio fase kotiledon terbentuk pada
minggu ke-8 setelah subkultur. Namun, fase kotiledon tidak berkembang lebih
lanjut menjadi planlet.
Perlakuan lain (7G21T; 7G7T7G7T; 14G14T) menghasilkan kalus
embriogenik pada waktu yang bersamaan yaitu pada akhir minggu ke-6 dan
diikuti dengan terbentuknya embrio fase globular pada awal minggu ke-7.
Perlakuan 7G21T dan 14G14T hanya menghasilkan embrio somatik hingga fase
globular, sedangkan perlakuan 7G7T7G7T menghasilkan embrio somatik hingga
fase hati pada akhir minggu ke-9 (Gambar 3).
Gambar 3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon dari
kalus kompak pada perlakuan cahaya yang berbeda: 28 hari terang
(28T); 7 hari gelap 21 hari terang (7G21T); 7 hari gelap 7 hari terang
7 hari gelap 7 hari terang (7G7T7G7T); 14 hari gelap 14 hari terang
(14G14T).
PEMBAHASAN
Proses induksi embriogenesis somatik sengon pada penelitian ini terdiri atas
tiga tahap, yaitu penyediaan kalus kompak sebagai eksplan, induksi kalus
embriogenik, dan proses embriogenesis somatik. Pada tahap penyediaan kalus
kompak, eksplan mendapat perlakuan cahaya yang sama. Setelah 4 mst, 85%
kalus kompak terbentuk pada bagian eksplan yang tersayat. Kalus kompak yang
terbentuk mempunyai ciri berwarna hijau segar. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sunandar (2015) yang menyatakan bahwa induksi kalus kompak pada
perlakuan 7 hari gelap kemudian terang kontinyu merupakan perlakuan terbaik
yang menghasilkan kalus kompak berwarna hijau. Menurut George (1993),
perlakuan gelap pada awal induksi kalus dapat menurunkan pencoklatan
(browning) pada jaringan eksplan. Pencoklatan dapat menghambat pertumbuhan
10
bahkan dapat menyebabkan kematian jaringan eksplan. Selain itu, perlakuan gelap
pada awal induksi kalus dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap hormon
serta menjadi sinyal bagi jaringan tanaman untuk menentukan arah perkembangan
selanjutnya (Zobayed dan Saxena 2003).
Kalus kompak dengan ciri berwarna hijau segar merupakan kalus yang
berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik. Kalus kompak yang
disubkultur pada media MS diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L
berkembang menjadi kalus embriogenik. Kalus embriogenik mempunyai ciri
berwarna putih bening atau putih susu, teksturnya tidak kompak (remah), dan
mudah memisah (friabel). Kalus embriogenik yang terbentuk selanjutnya
mengalami pendewasaan (maturation) yang dicirikan dengan pertambahan
volume dan perubahan warna kalus menjadi putih kekuningan, kemudian kuning
kecoklatan. Perubahan warna pada kalus mengindikasikan perkembangan kalus
yang semakin dewasa (Widyawati 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang didapatkan oleh Avivi et al. (2010) pada embriogenesis somatik kakao yang
menyebutkan bahwa perubahan warna kalus yang semula putih kekuningan
menjadi kuning kecoklatan merupakan ciri kalus embriogenik yang mengalami
pendewasan. Semua perlakuan cahaya pada penelitian ini dapat menghasilkan
kalus embriogenik, namun perlakuan terang kontinyu (28T) pada kultur mampu
menghasilkan kalus embriogenik dengan persentase tertinggi dibandingkan
perlakuan gelap terlebih dahulu pada awal kultur (Tabel 1). Hal ini
mengindikasikan bahwa induksi kalus embriogenik sengon dari kalus kompak
membutuhkan perlakuan terang di awal kultur.
Kalus embriogenik akan mengalami embriogenesis yang ditandai dengan
terbentuknya embrio fase globular, hati, torpedo lalu fase kotiledon pada media
yang sama yaitu media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L.
Sunandar (2015) menyebutkan bahwa embrio somatik pada sengon diduga
merupakan respon terhadap tingginya konsentrasi auksin endogen yang
disebabkan oleh penambahan thidiazuron pada media. Thidiazuron adalah zat
pengatur tumbuh golongan sitokinin yang paling aktif dan sesuai digunakan untuk
tanaman berkayu (Thomas dan Puthur 2004). Thidiazuron dapat merangsang
pembentukan kalus dan embrio somatik pada konsentrasi antara 0,22 sampai 2,20
mg/L (Huetterman dan Preece 1993). Thidiazuron pada konsentrasi rendah pada
umumnya digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik (Priadi et al.
2006). Thidiazuron memiliki dua fungsi pada induksi embriogenesis somatik,
yaitu berperan sebagai sitokinin yang mendorong pembelahan dan diferensiasi sel
(Aboshama 2011), serta menginduksi auksin endogen (Murthy et al. 1996) yang
berfungsi untuk merangsang pembentukan embrio somatik. Selain itu, pada media
juga ditambahkan asam amino berupa prolin sebagai sumber nitrogen dapat
meningkatkan proses embriogenesis somatik (Purnamaningsih 2002).
Pada penelitian ini, hanya perlakuan 28T yang menghasilkan embrio
somatik hingga fase kotiledon. Pada perlakuan 28T, minggu pertama induksi
kalus embriogenik mendapat pencahayaan (terang), sedangkan pada perlakuan
lainnya dalam kondisi gelap. Hal ini mengindikasikan bahwa pencahayaan pada
tahap awal induksi embriogenesis somatik berperan penting, selain untuk induksi
kalus embriogenik juga untuk proses embriogenesis somatik. Fenomena tersebut
didukung dari hasil perlakuan lainnya (7G21T, 7G7T7G7T, 14G14T) bahwa
kalus embriogenik yang tumbuh dari perlakuan gelap pada minggu awal kultur,
11
proses embriogenesis somatiknya terhambat. Menurut Zobayed dan Saxena
(2003), perlakuan gelap pada awal induksi embriogenesis somatik dapat
meningkatkan pembentukan hormon endogen yang menyebabkan kandungan
auksin terus meningkat sehingga dapat menyebabkan perkembangan embrio
somatik terhambat. Perlakuan gelap juga menyebabkan peningkatan sintesis etilen
(Sasaki 2002) yang dapat menghambat proses embriogenesis somatik.
Embrio somatik yang telah memasuki fase kotiledon pada penelitian ini
tidak dapat berkembang menjadi planlet. Hal ini diduga karena embrio somatik
yang telah terinduksi mengalami embriogenesis sekunder yang ditandai dengan
ukurannya yang besar dan permukaan yang tidak rata sehingga tidak berkembang
menjadi planlet (Sunandar 2015). Menurut Sunandar (2015), embrio somatik
abnormal pada sengon kemungkinan merupakan respon terhadap tingginya
konsentrasi auksin endogen yang disebabkan oleh penggunaan thidiazuron secara
kontinyu pada media induksi embriogenesis somatik sengon. Konsentrasi auksin
endogen yang tinggi kemungkinan menginduksi pembelahan asimetris pada
epidermis embrio somatik primer sengon. Keberadaan auksin pada embrio
somatik menghentikan tahap diferensiasi dan mengembalikan jaringan menjadi
tidak terdiferensiasi (Terzi dan Lochiavo 1990). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Păunescu (2008) tentang embriogenesis somatik sekunder pada
Alyssum borzaeanum yang menyebutkan bahwa pembentukan embrio somatik
sekunder ditandai dengan dediferensiasi jaringan parenkim dasar pada embrio
somatik primer dan pembelahan sel secara asimetris sehingga embrio menjadi
berukuran besar dan menghasilkan struktur embriogenik baru. Pardal (2002)
menambahkan bahwa embrio somatik sekunder terbentuk karena terjadi
proliferasi pada sel-sel di permukaan embrio somatik primer yang mengakibatkan
embrio tidak dapat berdiferensiasi menuju fase selanjutnya.
Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pembentukan embrio somatik. Menurut Meneses et al. (2005), adanya cahaya
pada tahap induksi embriogenesis somatik dapat membantu pembentukan embrio.
Uozumi et al. (1993) juga menyebutkan bahwa cahaya dapat meningkatkan
kecepatan pembentukan embrio pada beberapa tanaman. Keperluan cahaya
selama proses embriogenesis somatik secara in vitro tergantung pada spesies
tanaman yang diuji. Embrio somatik dari beberapa tanaman terinduksi jika
eksplan dikultur dalam kondisi terang (Martin dan Nadgauda 2003), sedangkan
embrio somatik pada tanaman lain terinduksi jika dikultur dalam kondisi gelap
(Gogate et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terang
kontinyu untuk induksi embriogenesis somatik menghasilkan embrio somatik
yang abnormal. Perlakuan cahaya yang dapat dicoba pada penelitian selanjutnya
untuk mengatasi embrio yang abnormal adalah perlakuan terang di awal induksi
embriogenesis somatik kemudian dikombinasikan dengan perlakuan gelap.
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses induksi embriogenesis somatik sengon terdiri atas tiga tahap, yaitu
penyediaan kalus kompak sebagai eksplan, induksi kalus embriogenik, dan proses
embriogenesis somatik. Induksi embriogenesis somatik sengon dari kalus kompak
pada media MS yang diperkaya thidiazuron 1 mg/L dan prolin 1,8 g/L
dipengaruhi oleh durasi pencahayaan yang bersumber dari lampu TL (Tubular
lamp) dengan iluminan 2800 lux. Perlakuan 28 hari terang (28T) menghasilkan
kalus embriogenik dengan persentase tertinggi dan pembentukan embrio somatik
dengan waktu tercepat hingga membentuk fase kotiledon. Inisiasi kalus
embriogenik terjadi pada 5 minggu setelah tanam (mst), yang dilanjutkan dengan
proses embriogenesis somatik. Pada perlakuan 28T, fase globular, hati, dan
kotiledon berturut-turut terjadi pada awal 6 mst, akhir 6 mst, dan 8 mst. Embrio
somatik yang dihasilkan tidak normal karena hanya berkembang sampai pada fase
kotiledon.
Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan perlakuan cahaya yang berbeda
dengan memberikan perlakuan terang di awal induksi embriogenesis somatik
kemudian dikombinasikan dengan perlakuan gelap, misalnya 7 hari terang 21 hari
gelap, 7 hari terang 7 hari gelap 7 hari terang 7 hari gelap, dan 14 hari terang 14
hari gelap. Selain itu, perlu diteliti lebih lanjut tentang jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang tepat untuk media pendewasaan embrio somatik sengon.
Uji lanjut untuk menentukan waktu subkultur kalus embriogenik juga perlu
dilakukan sehingga embrio somatik dapat berkembang menjadi planlet atau
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Aboshama HMS. 2011. Somatic embryogenesis proliferation, maturation, and
germination in Cajanus cajan. World J Agric Sci. 7: 86-95.
Ahmad AG. 1998. Penggunaan thidiazuron untuk induksi embriogenesis somatik
sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Ahmed R, Gupta SD, De DN. 1996. Somatic embryogenesis and plant
regeneration from leaf derived callus of winged bean (Psophocarpus
tetragonolobus L.). Plant Cell Rep. 15: 531-535.
Alrasjid H. 1973. Laporan No 157: Beberapa Keterangan tentang Albizia
falcataria (L.) Fosberg. Bogor (ID): LPH (Lembaga Penelitian Hutan).
13
Ammirato V. 1983. The regulation of somatic embryo development in plant cell
culture: suspention cultur techniques and hormone requirements. Nature
Biotechnol. (1): 68-74.
Aris A. 2013. Kajian Pengelolaan hutan rakyat jenis sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen): kasus Desa Kasenet Banjarmangu Kabupaten
Banjarnegara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Atmosuseno BS. 1999. Budidaya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Avivi S, Prawoto A, Oetami RF. 2010. Regenerasi embriogenesis somatik pada
beberapa klon kakao Indonesia dari eksplan bunga. J Agron Indones. 38:
138-143.
Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice.
New York (US): Elsevier.
Bonga JM. 1982. Tissue Culture Techniques in Forestry. Boston (US): Martinus
Nijhoff publisher.
Chabra G, Chaudhary D, Varma M, Sainger M, Jaiwal PK. 2008. TDZ-induced
direct shoot organogenesis and somatic embryogenesis on cotyledonary
node explants of lentil (Lens culinaris Medik.). Physiol Mol Biol Plants.
14:347-353.
Damanik RIM. 1999. Pengembangan metode regenerasi embrio somatik dan
proliferasi tunas secara in vitro pada tanaman sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
De Almeida M, de Almeida CV. 2006. Somatic embryogenesis and in vitro plant
regeneration from pejibaye adult plant leaf primordial. Pesq Agropec Bras.
41: 1449-1452.
[DJK] Direktorat Jendral Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia.
Jakarta (ID): Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian.
Evans DA, Sharp WR, Flick CE. 1981. Growth and behavior of cell culture:
embryogenesis and organogenesis. Di dalam: Thorpe TA, editor. Plant
Tissue Culture: Methode and Aplication for Agriculture. Sydney (AU):
Academic Press. hlm: 45-53.
Fadri A. 2010. Pertumbuhan tanaman sengon (Parserianthes falcataria (L.)
Nielsen) pada kebun campuran di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliyang
Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eversley
(GB): Exegetics Ltd.
George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. Part I. Eversley (GB):
Exegetics Ltd.
Gogate SS, Nadgauda RS. 2003. Direct induction of somatic embryogenesis from
immature zygotic embryo of cashewnut (Anacardium occidentale L.). Sci
Hort. 97: 75-82.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor (ID): Depdikbud
Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Insitut
Pertanian Bogor.
Hardiatmi S. 2010. Investasi tanaman kayu sengon dalam wanatani cukup
menjanjikan. J Inov Pertan. 9: 17-21.
14
Hartati NS. 2011. Modifikasi kandungan lignin kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen) melalui rekaya gen 4-courmarate ligase (4CL)
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hartmann HT, Kester DE, Davies FT. 1990. Plant Propagation Principles and
Practices. New Jersey (US): Prentice-Hall International Inc.
Hatmani SR. 1995. Pengaruh komposisi media dan dosis pupuk NPK terhadap
pertumbuhan bibit sengon (Parserianthes falcataria (L.) Nielsen) yang
dikembangkan dari benih dan kultur jaringan pada berbagai komposisi
media tanam [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hidayat J. 2002. Paraserianthes falcataria. Jakarta (ID): Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan.
Hidayat J, Irianto D, Ochsner P. 2003. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.
Seed Leaflet. 81: 1-2.
Huetterman CA, Preece JE. 1993. Thidiazuron a potent cytokinin for woody plant
tissue culture. Plant Cell Tiss Org Cult. 33: 105-119.
Katuuk JRP. 1989. Tehnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.
Jakarta (ID): Depdikbud Ditjen Pendidikan Tinggi.
Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen: Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor (ID): CIFOR
Indonesia.
Mansur I. 2000. Diversity of rhizobium nodulaty the tree legums Acacia mangium
and Paraserianthes falcataria and their interaction with arbuscular
mycorhizal fungi in young seedling [tesis]. Canterbury (GB): University of
Kent.
Martawijaya AI, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1989. Atlas Kayu Indonesia
Jilid II. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Martin KP. 2003. Plant regeneration through direct somatic embryogenesis on
seed coat explants of cashew (Anacardium occidentale L.). Sci Hort. 98:
299-304.
Meneses A, Dora FD, Munoz M, Arrieta G, Espinoza AM. 2005. Effect of 2,4-D,
hydric stress, and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis.
Rev Biol Trop. 53: 361-368.
Morini S, D’Onotrio C, Bellocchini G, Fisichella M. 2000. Effect 2,4-D and light
quality on callus production and differentiation from in vitro cultured quince
leaves. Plant Cell Tiss Org Cult. 63: 47-55.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays
with tobacco tissue cultures. Physiol Plant. 15: 473-497.
Murthy BNS, Singh RP, Saxena KP. 1996. Induction of high-frequency somatic
embryogenesis in geranium (Pelargonium hortorum Baley cv Ringo Rose)
cotyledonary cultures. Plant Cell Rep. 15: 423-426.
Olivia RD. 2012. Keragaman genetik populasi sengon (Parserianthes falcataria
(L.) Nielsen) pada hutan rakyat di Jawa berdasarkan penanda RAPD
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pardal SJ. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi pada
tanaman kedelai. Bul Agron Bio. 5: 37-44.
Păunescu A. 2008. Histological investigation of the secondary somatic
embriogenesis of Alyssum borzaeanum (Brassicaceae). Phytol Balcan. 14:
111-118.
15
Philips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration by
organogenesis from callus and cell suspension culture. Di dalam: Gamborg
OL, Philips GC, editor. Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental
Methods. Berlin (DE): Springer-Verlag. hlm: 67-79.
Priadi D, Puspitaningrum A, Hartati NS. 2006. Mikropropagasi sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) melalui induksi tunas ketiak
kotiledon menggunakan thidiazuron. J Hut Tropi. 2: 55-58.
Priadi D, Yeni I, Hartati NS. 2008. Pengaruh zat pengatur tumbuh dan jenis
potongan kotiledon terhadap pembentukan kalus sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen). Rimba Kehut. 13: 65-69.
Prihmantoro H. 1991. Budidaya albizia. Trubus Edisi Juni: 34-36.
Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan
beberapa gen yang mengendalikannya. Bul Agro Biol. 5: 51-58.
Qosim WA. 2006. Studi iradiasi sinar gamma pada kultur kalus nodular manggis
untuk meningkatkan keragaman genetik dan morfologi regeneran [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Roostika I, Arief VN, Sunarlim N. 2009. Regenerasi kultur lengkeng dataran
rendah CV Diamond River melalui embriogenesis somatik. J Hort. 19: 1422.
Santoso. 1992. Budidaya Sengon. Jakarta (ID): Kanisius.
Sasaki H. 2002. Brassinolide promotes an adventitious shoot regeneration from
cauliflower hypocotil segment. Plant Cell Tiss Org Cult. 71: 111-116.
Senaretna. 1992. Artificial seeds. Biotechnol Adv. 10: 379-392.
Sinha RK, Mallick R. 1993. Regeneration and multiplication of shoot in Albizia
falcataria. Plant Cell Tiss Org Cult. (32): 259-261.
Siregar I Z, Yunanto T, Ratnasari J. 2011. Kayu Sengon. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Timber Trees: Major Commercial
Timbers. Bogor (ID): Plant Resources of South-East Asia, PROSEA.
Sudarmonowati E, Adisoemarto S, Soetisna U, Priadi D, Hartati S, Rachmawati S,
Mulyaningsih ES. 1998. Laporan Teknik Proyek pengembangan
Bioteknologi: Pengembangan Teknologi Konservasi Tanaman Secara In
Vitro. Bogor (ID): Puslitbang Bioteknologi LIPI.
Sulistiani E. 1997. Studi pembentukan kalus embrional dan introduksi gen marker
dengan bantuan Agrobacterium tumifaciens pada tanaman sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sumarna K. 1961. Tabel Tegakan Normal Sementara untuk Albizia falcataria.
Bogor (ID): Lembaga Penelitian Kehutanan.
Sumiasri N, Priadi D, Yokota S, Yoshizawa N. 2006. Tissue culture of fast
growing tropical trees in Indonesia: Mangium (Acacia mangium Wild) and
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Di dalam: Immamura Y,
Umezawa T, Hata T, editor. 6th International Wood Science Symposium,
Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest
Resource; 2005 Agustus 29-31; Bali, Indonesia. Kyoto (JP): Research
Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University. hlm 123-130.
16
Sunandar A. 2015. Induksi embriogenesis somatik sengon (Falcataria
moluccana) dengan perlakuan thidiazuron, prolin, dan cahaya [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Susila IWW. 2011. Model dugaan volume dan riap tegakan sengon
(Paraserianthes falcataria Backer) di Desa Suter Kintamani Bali.
Agroteksos. 21: 29-38.
Syamsudin MA. 2003. Kultur in vitro sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Terzi M, Loschiavo F. 1990. Somatic embryogenesis. Di dalam: Bhojwani SS,
editor. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Amsterdam,
Nederland. Amsterdam (NL): Elsevier, hlm 54-66.
Thomas TD, Puthur JT. 2004. Thidiazuron induced high frequency shoot
organogenesis in callus from Kigelia pinnata. Bot Bull Acad Sin. 45: 307313.
Uozumi N, Kohketsu K, Okamoto A, Kobayashi T. 1993. Light dependency in
celery somatic embryogenesis and planlet development in suspension
culture. Plant Tiss Cult Lett. 10: 25-32.
Widyastuti DE. 2007. Keragaman genetik dengan penanda RAPD fenotipa
pertumbuhan dan pendugaan heritabilitas pada sengon (Parserianthes
falcataria (L.) Nielsen) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Widyawati G. 2010. Pengaruh variasi konsentrasi NAA dan BAP terhadap induksi
kalus jarak pagar (Jatropha curcas L.) [tesis]. Surakarta (ID): Universitas
Sebelas Maret.
William RR. 2005. The In vitro Environment, Supplement for Short Course on
Plant Tissue Culture. Brisbane (AU): University of Queensland.
Yeoman MM. 1986. Plant Cell Culture Technology, Botanical Monographs
Vol.23. London (GB): Blackwell Scientific Publication.
Zobayed SMA, Saxena PK. 2003. In vitro regeneration of Echinacea purpurea L.:
Enhancement of somatic embryogenesis by indolebutyric acid and dark preincubation. In vitro Cell Dev Biol Plant. 39: 605-61
17
Lampiran 1 Komposisi media dasar MS (Murashige Skoog)
Bahan Kimia
Konsentrasi (mg/L)
Hara Makro
1650
NH4NO3
1900
KNO3
440
CaCl2·2H2O
370
MgSO4·7H2O
170
KH2PO4
Hara Mikro
22,3
MnSO4·4H2O
8,6
ZnSO4·7H2O
6,2
H3BO3
0,83
KI
0,25
Na2MoO4·2H2O
0,025
CuSO4·5H2O
0,025
CoCl·6H2O
Iron
37,3
Na2EDTA
27,8
FeSO4·7H2O
Vitamin
2
Glycine
0,5
Nicotine Acid
0,5
Pyrodoxin HCL
0,1
Thyamine HCL
100
Myo Inositol
30000
Sukrosa
3000
Gellan gum
pH
5,6 - 5,8
Sumber: Murashige dan Skoog (1962)
19
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 09 Desember 1992,
merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Toha Mahfudi dan Ibu Khusnul
Khotimah. Penulis lulus dari SDN 8 Tembokrejo Muncar Banyuwangi tahun
2005, kemudian lulus dari SMPN 1 Srono Banyuwangi pada tahun 2008, dan
lulus dari SMAN 1 Genteng Banyuwangi pada tahun 2011. Penulis diterima di
Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan pada tahun 2011.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kepengurusan Gugus
Disiplin Asrama (GDA) 2011-2012, Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) 20112012, Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Biologi (BP Himabio) 2012-2013,
Serambi Ruhiyah Mahasiswa G (SerumG) FMIPA 2012-2014, serta Bimbingan
Remaja dan Anak (Birena) LDK Al-Hurriyyah 2011-2015. Selain itu, penulis juga
pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI), Biologi Dasar,
dan Kultur Jaringan Tanaman.
Selama menempuh studi di Departemen Biologi, penulis melaksanakan
studi lapang di Taman Wisata Alam Telaga Warna Cisarua Bogor Jawa Barat
pada tanggal 02 Juli sampai 04 Juli 2013, dengan laporan berjudul “Interaksi
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Pengunjung di Taman
Wisata Alam Telaga Warna” dibimbing oleh Dr Kanthi Arum Widayati. Selain
itu, penulis juga melaksanakan praktik lapang di PT. Blambangan Food Packer
Indonesia (BFPI) Muncar Banyuwangi Jawa Timur pada tanggal 26 Juni sampai
24 Juli 2014, dengan laporan berjudul “Produksi dan Quality Control
Pengalengan Ikan Sarden (Sardinella longiceps) Di PT. BFPI” dibimbing oleh Dr
Ir Ibnul Qayim.
Download